Anda di halaman 1dari 32

PORTOFOLIO KASUS MEDIK

CAP (Community-acquired Pneumonia) dengan Atelektasis

Disusun oleh :
Isna Mahmudah, dr.

Pembimbing:
Achmad Nurdin, dr., Sp.P

Pendamping :
Kurniati, dr., Sp.KK
Lisa Puspitorini, dr., Sp.S

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2019

1
Portofolio Kasus
No. ID dan Nama Peserta : Isna Mahmudah
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Ibnu Sina Gresik
Topik : Kasus medik : CAP (Community-acquired Pneumonia) dengan Atelektasis
Tanggal (kasus): 15 Desember 2019
Nama Pasien: Ny. M / 36 th No RM: 744291
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Kurniati, Sp.KK
dr. Lisa Puspitorini, Sp.S
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Seorang perempuan, usia 36 tahun datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan keluhan utama
demam sejak 3 hari.
Tujuan: Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, pedoman diagnosis, tatalaksana atelektasis ec
pneumonia serta contoh laporan kasus terkait atelektasis ec pnemonia.
a Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & E-mail Pos
diskusi

Data pasien Nama: Ny. M / 36 th No RM: 744291


Nama Klinik: RSUD Ibnu Sina Telp: 081555376960 Terdaftar sejak: 15 Desember
2019
Data utama untuk bahan diskusi

1. Diagnosis/ Gambaran Klinis/Laboratoris


ANAMNESIS
Keluhan Utama: Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina pada tanggal 15 Desember 2019, Jam 15.20
WIB dengan demam. Menurut pasien demam dirasakan sejak 1 minggu sebelum MRS dan
diikuti dengan keluhan berat saat bernapas yang dirasakan sejak 3 hari sebelum MRS. Sesak
napas tidak diikuti suara mengi dan tidak dipengaruhi oleh posisi tubuh. Sesak napas dirasakan
sama baik pada posisi duduk maupun berbaring. Keringat dingin saat malam hari disangkal.
Nyeri saat bernapas disangkal. Keluhan bengkak pada kedua tungkai disangkal.
Selain itu, pasien mengeluh batuk tidak berdahak dan pilek sejak 6 hari sebelum
MRS. Ingus berwarna putih. Keluhan batuk bercampur darah disangkal. Sebelumnya
sudah berobat di klinik dokter umum sejak 5 hari sebelum MRS diberi obat batuk dan
pilek namun keluhan tidak membaik. Penurunan berat badan disangkal.

2
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : GCS 456
Tekanan darah : 121/81 mmHg, pada lengan kanan dengan posisi berbaring.
Nadi : 91 x/ menit, teratur, kuat angkat
Sp02 : 90%
Pernapasan : 28 x/menit, teratur
Suhu : 36,9 oC
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 27,1 (overwight)
Kepala & leher : konjungtiva anemis -/-, ikterus (-), cyanosis (-), dyspneu (+).
pernafasan cuping hidung (-).
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi (-), deformitas (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi
Gerak napas sebelah kanan tertinggal

Palpasi
 Gerakan napas sebelah kanan tertinggal
 Fremitus raba sebelah kanan menurun

Perkusi
Dextra Sinistra
Redup Sonor

Auskultasi
Dextra Sinistra
 Vesikuler menghilang  Vesikuler
 Tidak ditemukan wheezing  Tidak ditemukan wheezing
 Tidak ditemukan rhonchi  Tidak ditemukan rhonchi

Abdomen : inspeksi tampak jahitan bekas SC, BU (+) normal, perkusi timpanik / normal
hepar/lien tidak teraba
Extremitas : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik,
edema ekstrimitas bawah -/-.

3
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP (15/12/2019)
Hb 9,2 g/dL
Leukosit 13.100 /uL
Trombosit 422.000 / uL
MCV 88
MCH 29
MCHC 33
PCV 48,8 %
GDA 188 mg/dl
SGOT 14,1
SGPT 8,8
BUN 16,0
SK 1,91
Natrium 139
Kalium 4,6
Chloride 106
Anti-HIV: non reaktif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG (15/12/2019)

4
Foto thorax (16/12/2019)

Foto thorax (17/12/2019)

5
2. Riwayat Kesehatan/ Penyakit

Pasien sebelumnya melahirkan anak ke 4 lewat SC. Sebelumnya pasien terdiagnosa


asma sejak 3 tahun terakhir di poli RS BDH Surabaya dengan riwayat pengobatan Berotec
(Fenoterol Hydrobromide), Amoxcillin, dan obat racikan kapsul. Pasien hanya kontrol ke poli
paru RS BHD saat ada keluhan batuk dan sesak saja. Saat usia kehamilan 7 bulan di paru pasien
dicurigai terdapat cairan setelah di USG di RS BDH, dari hasil pemeriksaan USG tidak
didapatkan cairan. Riwayat kencing manis (-).

3. Riwayat Keluarga

Ayah pasien memiliki riwayat sakit yang sama yakni asma. Riwayat kencing manis pada
keluarga (-) asma (-) pengobatan paru (-)

4. Riwayat Sosial

Pasien sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Kebiasaan merokok (-) dalam lingkungan
rumah tidak ada yang merokok.
Assesment
CAP (Community-acquired Pneumonia) dengan atelektasis

Planning
Diagnosis: Darah Lengkap, Foto Thorax AP, Foto Thorax lateral Dextra, Pungsi pleura dextra
Terapi:
- O2 nasal 4 lpm
- Inj. Levofloxacin 1 x 500 mg
- Nebul Ventolin/8 jam
- P/O Tab. Codein 3 x 10 mg
Monitoring
- Keluhan
- Vital Sign
Edukasi :
- Bed rest
- Etika batuk
- Minum obat secara teratur

6
Perkembangan Pasien

Tanggal S O A P

16 Desember Keluhan batuk KU cukup - CAP PDx: Foto lateral dextra


2019 (+) GCS 456 - Opasitas
PTx:
Sesak napas (+)
homogen - O2 nasal 4 lpm
Vital sign: - Inj. Levofloxacin 1 x
pulmonalis
TD: 121/83 500 mg
dextra suspek - Nebul ventolin/8 jam
N: 110/m
- P/O Tab. Codein 3 x
RR: 24x/m Atelektasis atau
10 mg
T: 36,7 oC massa dextra. - P/O Tab. Tremenza 3
x1
SpO2: 88-90%
(tanpa O2) PMx: keluhan, vital sign

Pungsi plura
dextra : tidak
didapatkan
cairan

17 Desember Keluhan batuk KU cukup - CAP PDx: -


2019 (+) GCS 456 - Atelektasis
PTx:
Sesak napas (-)
dextra. - O2 nasal 4 lpm
Vital sign: - Inj. Levofloxacin 1 x
TD: 120/80 500 mg
- Nebul ventolin/8 jam
N: 112/m
- P/O Tab. Codein 3 x
RR: 23x/m 10 mg
T: 36,2 oC - P/O Tab. Tremenza 3
x1
SpO2: 90%
(tanpa O2) R/KRS
- P/O Tab.
Foto Thorax Levofloxacin 1 x 500
lateral Dextra : mg
- P/O Caps. OBC 3 x 1
Tanpak - P/O Tab. Tremenza 3
perselubungan x1
hemithorax
dextra anterior
suspek
keradangan
paru

7
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pneumonia Komunitas
1.1 Definisi
Pneumonia merupakan suatu peradangan akut parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Etiologi oleh Mycobacterium
tuberkulosis tidak termasuk pneumonia yang dimaksud. Sedangkan peradangan
paru yang disebabkan oleh non-mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi,
bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (Soepandi et al.,
2014). Pneumonia komunitas atau CAP (Community-acquired Pneumonia) adalah
pneumonia yang didapat di masyarakat (Soedarsono et al., 2013).
1.2 Epidemiologi
Dewasa ini, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
kedelapan pada dewasa di Amerika Serikat dengan total jumlah kematian sebesar
60.000 per tahun. Sedangkan jumlah insiden pneumonia komunitas pada anak dan
dewasa diperkirakan sebesar 9,2 – 33 per 1,000 penduduk (Kaysin & Viera, 2016).
Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95 % laki-laki dan 46,05 % perempuan,
dengan crude fatality rate (CFR) 7,6 % (Kemenkes, 2010). Jumlah presentase
pasien CAP di rawat inap yang ada di beberapa Rumah Sakit di Indonesia mencapai
4,1 – 25,5 % dari semua pasien paru yang dirawat (Soepandi et al., 2014).
Angka kematian pneumonia komunitas di dunia dieperkirakan sebesar 2 %
pada pasien rawat jalan, 5-20 % pada pasien rawat inap, dan lebih dari 50 % pada
pasien di ruang intensif. Sedangkan di Indonesia, presentase kematian akibat CAP
dari data yang tersebar di beberapa Rumah Sakit di Indonesia sebesar 6,2 – 20,5 %
(Soepandi et al., 2014).
1.3 Klasifikasi
Pneumonia secara umum dibagi berdasarkan klinis & epidemiologis,
berdasarkan kuman penyebab dan berdasarkan predileksi infeksi. Dalam
tatalaksana pneumonia, pendekatan yang dipakai umumnya berdasarkan klasifikasi
klinis & epidemiologis (Soepandi et al., 2014).
Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia dibedakan menjadi
pneumonia komunitas (Community-Acquired Pneumonia: CAP), pneumonia
didapat di Rumah Sakit (Hospital-Acquired Pneumonia: HAP), Health Care

8
Associated Pneumonia: HCAP dan pneumonia akibat pemakaian ventilator
(Ventilator Associated Pneumonia: VAP) (Mandell et al., 2007).
Berdasarkan kuman penyebab, pnemuonia dibedakan menjadi pneumonia
bakterial/tipikal, pneumonia atipikal (oleh Mycoplasma, Legionella, Chlamydia),
pneumonia virus dan pneumonia jamur (Soedarsono et al., 2013). Sedangkan
berdasarkan predileksi infeksi, pnemuonia dibedakan menjadi pneumonia lobaris,
bronkopneumonia, pneumonia interstisial (Husain et al., 2015).
1.4 Etiologi
Etiologi pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai kuman, yaitu bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa
kuman Gram positif merupakan penyebab utama pneumonia komunitas. Namun di
Indonesia, menurut data beberapa Rumah sakit pada tahun 2012 menunjukkan
penyebab terbanyak pneumonia komunitas di ruang rawat inap dari bahan sputum
adalah kuman gram negatif (seperti Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter
baumqnii, Pseudomortas aeruginosa) sedangkan gram positif (seperti
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus)
ditemukan dalam jumlah sedikit (Soepandi et al., 2014).
Menurut konsensus ATS / American Thoracic Society, etiologi pneumonia
juga dapat dikelompokkan berdasarkan tempat perawatan pasien dan faktor risiko
sebelum didiagnosis pneumonia komunitas seperti pada tabel berikut. (Mandell et
al., 2007).

Tabel 1. Etiologi pneumonia komunitas berdasarkan tempat perawatan (Mandell et


al., 2007).
Tipe Pasien Etiologi
Rawat Jalan Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus influenzae
Chlamidophila pneumoniae
Virus respirasi

9
Rawat Inap Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamidophila pneumoniae
Haemophilus influenzae
Legionella spp
Virus respirasi

Ruang rawat insentif Streptococcus pneumoniae


Staphylococcus aureus
Legionella spp
Basil Gram negatif
Haemophilus influenzae

Tabel 2. Etiologi pneumonia komunitas berdasarkan faktor risiko (Kaysin & Viera,
2016; Mandell, 2007).
Faktor risiko Keterangan Patogen
Peminum alkohol Flora oral anaerob, Klebsiella
pneumoniae, Mycobacterium
tuberculosis, Streptococcus
pneumoniae
Aspirasi Flora oral anaerob
Bioterorisme Bacillus anthracis (anthrax),
Francisella tularensis (tularemia),
Yersinia pestis (pes)
Penyakit paru obstruktif kronik atau Chlamydophila pneumoniae,
merokok Haemophilus influenzae, Legionella
sp, Moraxella catarrhalis,
Pseudomonas aeruginosa atau basil
gram negatif lain, S. pneumoniae
Paparan kotoran burung atau Histoplasma capsulatum
kelelawar
Paparan hewan ternak atau kucing Coxiella burnetii (Q fever)
yang sedang melahirkan
Infeksi HIV (tahap awal) H. influenzae, M. tuberculosis, S.
pneumoniae
Infeksi HIV (tahap lanjut) Aspergillus dan Cryptococcus species,
H. capsulatum, H. influenzae,
Nocardia species, mycobacterium non
tuberkulosis, Pneumocystis jiroveci

10
Menginap di hotel atau perjalanan Legionella sp
menggunakan kapal pesiar dalam 2
minggu terakhir
Tertular influenza di masyarakat H. influenzae, influenza dan virus
respirasi lain, S. pneumoniae,
Staphylococcus aureus (termasuk
MRSA)
Pengguna narkoba suntik Bakteri anaerob, M. tuberculosis, S.
aureus (termasuk MRSA), S.
pneumoniae
Abses paru Flora oral anaerob, M. tuberculosis,
mycobacterium non tuberkulosis, S.
aureus (termasuk MRSA)
Riwayat bepergian atau tinggal di Middle East respiratory syndrome
Negara Timur Tengah
Riwayat bepergian atau tinggal di Avian influenza, severe acute
Asia Timur & Tenggara respiratory syndrome
Riwayat bepergian atau tinggal di Blastomyces dermatitidis
Amerika bagian tenggara dan south-
central yang berbatasan dengan
Mississippi dan lembah sungai Ohio
Riwayat bepergian atau tinggal di Coccidioides sp, Hantavirus sp
Amerika bagian selatan

1.5 Patogenesis
Pneumonia dapat terjadi ketika terjadi kegagalan mekanisme pertahanan lokal
pada paru atau terjadi resistensi sistemik pada saat sistem pertahanan tubuh
menurun. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pertahanan tubuh antara lain
penyakit kronis, defisiensi imunologis, penggunaan obat imunosupresif, dan
leukopenia. Sedangkan mekanisme pertahanan lokal pada paru dapat dapat
dipengaruhi oleh faktor berikut:
 Kehilangan atau penekanan refleks batuk akibat koma, anestesi, gangguan
neuromuskuler, pengaruh obat-obatan, atau nyeri dada (yang dapat
menyebabkan aspirasi dari cairan lambung)
 Cedera pada mukosilier (gangguan fungsi siliaris atau epitel silia) akibat asap
rokok, inhalasi gas panas atau korosif, virus, atau defek genetik pada fungsi
silia (immotile cilia syndrome)
 Akumulasi sekresi seperti pada kondisi fibrosis kistik dan obstruksi bronkus

11
 Gangguan dengan proses fagositik atau bakterisidal dari makrofag alveolar,
yang disebabkan oleh alkohol, asap tembakau, anoksia, atau keracunan
oksigen
 Kongesti paru dan edema (Husain et al., 2015).

Risiko terjadinya infeksi pada paru juga sangat tergantung dari kemampuan
mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai saluran napas antara lain: inokulasi
lansung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan kolonisasi
pada permukaan mukosa. Dari keempat cara tersebut, kolonisasi merupakan
penyebab terbanyak. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, infeksi
mikroorganisme atipikal, infeksi mikobakteria atau jamur. Sebagian besar bakteri
dengan ukuran 0,5-2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau
alveoli dan selanjutnya terjadi infeksi. Bila terjadi kolonisasi mikroorganisme pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran
pernapasan bawah dan terjadi inokulasi maka hal ini merupakan awal dari
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru (Soedarsono et al, 2013).

1.6 Diagnosis
Diagnosis pneumonia didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika
pada foto toraks terdapat infiltrat / air bronchogram ditambah dengan beberapa
gejala di bawah ini:
 Batuk
 Perubahan karakteristik sputum/purulen
 Suhu tubuh > 38,0 °C (aksila) / riwayat demam
 Nyeri dada
 Sesak
 Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau < 4500 (Soepandi et al., 2014).

12
Bagi dokter umum, pedoman prediksi klinis yang menggabungkan antara
gejala dan hasil pemeriksaan fisik (Gambar 1) dapat membantu untuk menghasilkan
rasio kemungkinan dalam mendiagnosis CAP beserta tatalaksananya. Dokter
memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menyingkirkan pneumonia (LR- =
0,25), yang berarti pasien tanpa kelainan tanda vital dengan hasil pemeriksaan paru
normal tidak mungkin menderita pneumonia. Akan tetapi, kemampuan untuk
mendiagnosis pneumonia secara klinis sedikit kurang pasti (LR + = 2,0). Sehingga
pemeriksaan pencitraan paru bermanfaat untuk pasien dengan kemungkinan CAP
yang memiliki kelainan tanda vital dan pemeriksaan fisik (Kaysin & Viera, 2016).

Gambar 1. Skor prediksi untuk diagnosis pneumonia komunitas


(Kaysin & Viera, 2016).

Berikut tahapan diagnosis pneumonia dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang:
1. Anamnesis
Pneumonia merupakan salah satu diagnosis dari gejala dysnpea akut yang
didapat melalui proses anamnesis. Karakteristik gejala pneumonia adalah
dyspnea yang cepat menghebat, terutama pada penderita yang sebelumnya
menderita bronkitis atau infeksi saluran napas atas. Selain itu terdapat gejala
panas, menggigil, nyeri dada, batuk dan dahak purulen atau seperti karat (rusty
sputum).

13
Diagnosis banding dari dyspnea akut juga perlu dipikirkan dimana dapat
dipetakan melalui proses anamnesis yang cermat. Penyebab dyspnea akut yang
paling sering adalah edema paru akut yang biasanya terjadi pada penderita
penyakit jantung atau hipertensi. Pada pemeriksaan fisik edema paru,
didapatkan ronki basah halus dan difus, terdapat dahak kental kemerahan &
berbuih, serta terdapat nyeri kardiovaskuler & sembab kaki. Diagnosis
banding lain adalah tromboemboli paru akut dimana pasien memiliki faktor
risiko dalam waktu pasca bedah atau dalam keadaan inaktif. Penyebab yang
lain dyspena akut adalah pneumthoraks spontan yang biasa terjadi pada usia
muda dengan keluhan nyeri dada yang menonjol.
Dypnea akut pada anak – anak juga sering dijumpai seperti kasus infkesi
croup, epiglositis, laringitis dan laringotrakeobronkitis akut. Gejala batuk
melengking dan stridor inspiratoir merupakan tanda dari penyakit tersebut
(Hariadi et al., 2012).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pneumonia biasanya terjadi proses konsolidasi. Meskipun
konsolidasi juga dapat terjadi pada kondisi lain seperti edema paru dan
infiltrasi sel ganas. Konsolidasi merupakan keadaan dimana sinus terisi cairan
atau sel. Konsolidasi dapat terjadi pada sebagian kecil dari lobus atau
mengenai seluruh lobus. Tanda diagnostik fisik konsolidasi adalah:
 Inspeksi: bentuk toraks: tetap, gerakan pernapasan menurun/tertinggal
 Palpasi: gerakan pernapasan menurun/tertinggal, fremitus suara
meningkat pada pneumonia lobaris
 Perkusi: pada pneumonia lobaris, batas redup atau pekak sesuai dengan
batas lobus
 Asukultasi: suara napas bronkovesikuler sampai bronkial, suara
tambahan krepitasi, fremitus dengar meningkat, bronkofoni positif,
suara bisik positif (Hariadi et al., 2012).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan biakan diperlukan untuk menentukan kuman penyebab
menggunakan bahan sputum, darah, atau aspirat endotrakeal, aspirat jaringan
paru dan bilasan bronkus. Penyebab spesifik pneumonia harus dicari karena
dapat mengubah penatalaksanaan standar yang bersifat empiris. Pemeriksaan

14
lanjutan tersebut berdasarkan kecurigaan patogen penyebab (sesuai data klinis
dan epidemiologi) sehingga spektrum antibiotik dapat diperluas, dipersempit
atau berubah berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik lanjutan tersebut
(Soepandi et al., 2014).
Pemeriksaan biakan secara rutin untuk pasien rawat jalan sifatnya
opsional. Sedangkan pemeriksaan biakan darah dan apusan sputum serta kultur
sputum harus dilakukan pada pasien rawat inap dengan indikasi klinis untuk
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Pemeriksaan invasif hanya dilakukan pada pneumonia berat dan pneumonia
yang tidak respons dengan pemberian antibiotik. Penyebab pneumonia
memang sulit ditemukan dan rnemerlukan waktu beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya. Namun karena pneumonia dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera diobati, maka pengobatan awal pneumonia
diberikan antibiotik secara empiris (Soepandi et al., 2014).

Gambar 2. Pemeriksaan penunjang pada pneumonia komunitas


(Mandell et al., 2007)
Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk mengetahui
penanda infeksi pneumonia, yakni PCT (procalcitonin) dan CRP (C-reactive
protein). PCT pada infeksi dan inflamasi akan meningkat terutama pada

15
infeksi bakterial berat, sepsis, syok septik dan sindrom disfungsi multiorgan
(Multiorgan Dysfunction Syndrome / MoDS). Pada pneumonia komunitas
pemeriksaan PCT dapat mendukung diagnosis dan menjadi prediktor
komplikasi dan peningkatan angka kematian. Selain itu, pemeriksaan PCT
disertai CRP dapat meningkatkan ketepatan diagnosis pneumonia. Kadar PCT
> 2 ng/mL menjadi prediktor bakteremia, sepsis, syok septik dan MoDS.
Manfaat hasil PCT dapat menilai waktu memulai pemberian antibiotik dan
waktu penghentian antibiotik, sehingga tidak terjadi pemberian antibiotik
secara berlebihan. Sedangkan CRP (nilai normal: 3 mg/L) merupakan salah
satu penanda inflamasi meskipun memiliki spesifisitas yang rendah. Hal ini
disebabkan CRP juga terdapat pada berbagai keadaan lain seperti obesitas,
merokok, diabetes melitus, uremia, hipertensi, kurang aktifitas, terapi
pengganti hormon, gangguan tidur, kelelahan kronik, konsumsi alkohol,
depresi dan penuaan. Kadar CRP di atas 100mg/L dapat digunakan untuk
menentukan prognosis dan kebutuhan ventilasi mekanik pada pasien
pneumonia.
Pemeriksaan laboratorium untuk menemukan bakteri atipik antara lain:
 Isolasi biakan (sensitifitas sangat rendah)
 Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)
 Polymerase Chain Reaction (PCR)
 Uji serologi (Cold agglutinin, Uji fiksasi komplemen terkait diagnosis
M. pneumoniae, Microimmunofluorescence (MIF), terkait standar
diagnosis serologi untuk C. pneumoniae & antigen dari urin untuk
standar pemeriksaan diagnosis Legionella) (Soepandi et al., 2014).

Pemeriksaan pencitraan paru menggunakan foto toraks telah menjadi


metode standar untuk mendiagnosis pneumonia. Namun, ultrasonografi / USG
paru memiliki potensi untuk mendiagnosis pneumonia secara lebih akurat dan
efisien, seperti pada efusi pleura, pneumotoraks, emboli paru, dan kontusio
paru. USG paru dapat dilakukan melalui bedside examination dalam waktu
rata-rata 13 menit serta tanpa adanya paparan radiasi. Sehingga USG dapat
menjadi pilihan diagnostik ke depan dalam fasilitas kesehatan primer dan
penanganan gawat darurat. Selain itu, pemeriksaan CT- computed tomography

16
scan toraks dapat dilakukan sebagai penunjang diagnosis seperti pada kasus
penyakit paru interstitial, lesi kavitas, sarkoidosis dan keganasan (Kaysin &
Viera, 2016).
1.7 Tatalaksana
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut Pneumonia Severity Index (PSI) atau
CURB-65/CRB-65. Sistem skor tersebut dapat membantu untuk. mengidentifikasi
apakah pasien dapat berobat jalan atau rawat inap, dirawat di ruangan biasa atau di
ruang intensif (Soepandi et al., 2014).

Tabel 3. Sistem skor menurut CURB-65 (Lim et al, 2009)


Variabel prognostik
(nilai 1 poin untuk setiap variabel)
Confusion new onset
Ureum > 20 mg/dL (7.14 mmol/L)
Respiratory rate / ≥ 30 x per menit
frekuensi napas
Blood pressure / Tekanan sistolik < 90 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≤ 60 mm Hg
Age / usia ≥ 65 tahun

Gambar 3. Penilaian tingkat kesadaran / confusion pada skor


CURB-65/CRB-65 (Lim et al., 2009 ; Soepandi et al., 2014).

17
Penilaian berat pneumonia dengan menggunakan sistem skor CURB-65 adalah
sebagai berikut:
 Skor 0 – 1 : risiko kematian rendah, pasien dapat berobat jalan
 Skor 2 : risiko kematian sedang, dapat dipertimbangkan untuk dirawat
 Skor > 3 : risiko kematian tinggi dan dirawat harus ditatalaksana sebagai
pneumonia berat
 Skor 4 atau 5 : harus dipertimbangkan perawatan intensif (Soepandi et al.,
2014).

18
Tabel 4. Skor PSI / Pneumonia Severity Index (Bartlett et al, 2000)
Karakteristik pasien Nilai

Faktor demografik
 Umur Umur (tahun)
Laki-laki Umur (tahun) – 10
Perempuan + 10
 Penghuni panti werda
Penyakit komorbid
 Keganasan +30
 Penyakit hati +20
 Penyakit jantung kongestif +10
 Penyakit serebrovaskular +10
 Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisis
 Gangguan kesadaran +20
 Frekuensi napas > 30 x/menit +20
 Tekanan darah sistolik < 90 mmHg +20
 Suhu tubuh < 35 C atau > 40 ° C +15
 Frekuensi nadi > 125 x/menit +10
Hasil laboratorium
 pH < 1.35 +30
 BUN > 10.7 mmol/L +20
 Natrium < 130 mEq/L +20
 Glukosa > 13.9 mmol/L +10
 Hematokrit < 30% +10
 Tekanan O2 darah arleri < 60 mmHg +10
+10
 Efusi pleura

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merekomendasikan jika


menggunakan kriteria PSI yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komunitas adalah:
1. Skor PSI lebih dari70
2. Bila skor PSI kurang dari 70, pasien tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini.
 Frekuensi napas > 30 kali/menit
 PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
 Foto toraks menujukkan infiltrat multilobus
 Tekanan sistolik < 90 mmHg
 Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA (Soepandi et al., 2014).

19
Tabel 5. Derajat skor risko PSI (Bartlett et al, 2000)
Total Poin Risiko Kelas risiko Angka Perawatan
kematian
Tidak Rendah I 0,1 % Rawat jalan
diprediksi
< 70 II 0,6 % Rawat jalan
71- 90 III 2,8 % Rawat jalan/inap
91 – 130 Sedang IV 8,2 % Rawat inap
>130 Berat V 29,2 % Rawat inap

Gambar 4. Alur diagnosis dan tatalaksana pneumonia komunitas


(Soepandi et al., 2014).

Penatalaksanaan pneumonia komunitas dibagi menjadi :


a. Pasien rawat jalan
- Pengobatan suportif/simtomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

20
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
- Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
b. Pasien rawat inap di ruang rawat biasa
- Pengobatan suportif / simtomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
c. Pasien rawat inap di ruang rawat intensif
- Pengobatan suportif / simtomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simtomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik diberikan sesegera mungkin
- Bila ada indikasi pasien dipasang ventilasi mekanis (Soepandi et al.,
2014).

21
Tabel 6. Petunjuk terapi empiris untuk pneumonia komunitas menurut PDPI
(Soepandi et al., 2014).
Rawat jalan Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat
pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya:
- Golongan β laktam atau β laktam ditambah anti β
laktamase, atau
- Makrolid baru (klaritromisin, azitromisin)
Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat
pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya:
- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg,
moksiflokasin) atau
- Golongan β laktam ditambah anti β laktamase, atau
- β laktam ditambah makrolid

Rawat inap non - Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg,


ICU moksiflokasin) atau
- β laktam ditambah makrolid

Ruang rawat inap Tidak ada faktor risiko pseudomonas:


intensif β laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin
sulbaktam) ditambah makrolid baru atau fluorokinolon
respirasi intravena

Pertimbangan Bila ada faktor risiko pseudomonas:


khusus - Antipneumokokal, antipseudomonas β laktam
(piperacilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau
meropenem) ditambah levofloksasin 750 mg atau
- β laktam seperti tersebut diatas ditambah
aminoglikosida dan azitromisin atau
- β laktam seperti tersebut diatas ditambah
aminoglikosida dan antipneumokokal fluorokuinolon
(untuk pasien yang alergi penisilin, β laktam diganti
dengan aztreonam)

Bila curiga disertai infeksi MRSA:


- Tambahkan vankomisin atau linezolid

Pengobatan pneumonia atipik tetap menggunakan antibiotik sebagai terapi


utama. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.
pneunoniae, C. pneumoniae dan Legionella adalah golongan: Makrolid baru
(azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) & fluorokuinolon respirasi
(levofloksasin, moksifloksasin). Sedangkan untuk pneumonia karena virus
influenza (H5Nl, HlNl, H7N9, H3N2), diberikan secepat mungkin yakni dalam 48

22
jam pertama dengan dosis oseltamivir 2 x 75 mg per hari selarna 5 hari (Soepandi
et al., 2014).

Gambar 5. Dosis oseltamivir (Soepandi et al., 2014).

Gambar 6. Pemilihan antibiotik untuk sulih terapi pada pneumonia


komunitas (Soepandi et al., 2014).

Pemberian antibiotik dievaluasi secara klinis dalam 72 jam pertama, yakni jika
didapatkan perbaikan klinis terapi dapat dilanjutkan, atau jika perburukan maka

23
antibiotik harus diganti sesuai hasil biakan atau pedoman empiris. Pasien
pneumonia yang dirawat di IGD, pemberian antibiotik segera diberikan sejak di
IGD dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit karena dapat menurunkan angka
kematian. Pasien pneumonia berat yang datang ke IGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka pasien dirawat inap di ruang rawat biasa
bila terjadi respiratory distress maka pasien dirawat di ruang rawat intensif.
Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang
diberikan secara intravena dan antibiotik oral yang efektifitasnya mampu
mengimbangi efektivitas antibiotik intravena yang telah digunakan. Perubahan ini
dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat
berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih
rendah). Contoh terapi sequential: levofloksasin atau moksifloksasin intravena ke
preparat oral. Contoh switch over: seftasidim IV ke siprofloksasin oral. Contoh step
down: amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim IV ke cefiksim oral. Kriteria untuk
perubahan obat suntik ke preparat oral pada pneumonia komunitas antara lain:
hemodinamik stabil, gejala klinis membaik, dapat minum obat per oral, fungsi
gastrointestinal normal. Sedangkan kriteria klinis stabil antara lain: suhu < 37,8 °
C, frekuensi nadi < l00x/menit, frekuensi napas < 24 x/menit, tekanan darah sistolik
> 90 mmHg, saturasi oksigen arteri > 90 % atau PO2 > 60 mmHg (Soepandi et al.,
2014).
Lama terapi menggunakan preparat intravena diberikan 2-3 hari (paling aman
3 hari) kemudian pada hari ke-4 dapat diganti preparat oral sehingga pasien dapat
berobat jalan. Pada pasien yang dirawat di ruangan pemberian intravena dapat di
sulih terapi ke oral setelah 3 hari dan pasien di ICU dapat diberikan sulih terapi ke
oral setelah 7 hari. Sedangkan lama pemberian antibiotik secara keseluruhan
(intravena/oral) minimal 5 hari dan tidak demam 48-72 jam. Namun pada umumnya
lama pengobatan 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72 jam
pertama (Soepandi et al., 2014).
Sebelum terapi dihentikan, pasien dievaluasi klinis dan sebaiknya dalam
kondisi sebagai berikut: tidak memerlukan suplemen oksigen (kecuali karena
penyakit dasarnya) dan tidak lebih dari satu tanda-tanda ketidakstabilan klinis
(frekuensi nadi > 100 x/menit, frekuensi napas > 24 x/menit, tekanan darah sistolik
< 90 mmHg) (Soepandi et al., 2014).

24
1.8 Prognosis
Pada umumnya prognosis pneumonia komunitas adalah dubia ad bonam /
baik, tergantung dari faktor pasien, mikroorganisme dan penggunaan antibiotik
yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada pasien yang dirawat. Angka kematian pasien pneumonia
komunitas kurang dari 5% pada pasien rawat jalan dan 20 % pada pasien rawat inap
(Soepandi et al., 2014).

Tabel 7. Angka kematian berdasarkan derajat beratnya penyakit (Soepandi et al.,


2014).

Tabel 7. Angka kematian berdasarkan derajat beratnya penyakit


(Lim et al., 2009).
CURB-65 CRB-65
Nilai Angka kematian Nilai Angka kematian
0–1 2,0 % 0 2–3%
2 8,3 % 1–2 13,3 %
3–5 22,3 % 3–4 34,4 %

25
2. Atelektasis
2.1 Definisi
Atelektasis merupakan keadaan dimana terjadi kolapsnya paru atau alveolus.
Alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga tidak terjadi pertukaran gas.
Atelektsis mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi
dan kecepatan pernafasan berkurang. Atelektasis merupakan penyakitgangguan
restriktif paru. Dengan adanya atelektasis, maka bagian paru sekitarnya mengalami
suatu enfisema kompensasi sehingga terjadi herniasi hemithorak yang sehat kearah
hemethorax yang atelektasis (Wedding et al, 2005).

2.2 Klasifikasi atelektasis


Pembagian berdasarkan meanisme terjadinya dibagi menjadi tiga mekanisme
yang menyebabkan atau berkontribusi pada pengembangan atelektasis yakni (White
GC, 2002);
 Atelektasis resorbsi
Atelektasis resorpsi terjadi akibat tidak adanya udara didalam alveolus,
apabila aliran masuk udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang
berada di dalam alveolus akhirnya berdifusi dan alveolus akan kolaps.
Penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat penimbunan mukus dan
obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu,
setiap keadaan menyebabkan akumulasi mukus, seperti fibrosis kistik,
pneumonia, atau bronkitis kronik, meningkatkan resiko atelektasis resorbsi.
Atelektasis jenis ini juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang
menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan tanpa surfaktan, tegangan
permukaan alveolus sangat tinggi. Meningkatkan kemungkinan kolapsnya
alveolus (White GC, 2002).
 Atelektasis kompresi
Atelektasis paling sering dihubungkan dengan penimbunan cairan darah
atau udara dalam kavum pleura, yang secara mekanis menyebabkan kolaps paru
di sebelahnya. Atelektasis jenis ini sering pada efusi pleura dari penyebab apa
pun, namun mungkin yang paling sering dihubungkan dengan hidrotoraks pada
payah jantung kongesti. Pneumotoraks dapat juga menyebabkan atelektasis
kompresi pada penderita dengan tirah baring dan penderita denan asites,

26
atelaktasis basal menyebabkan posisi diafragma yang lebih tinggi (Robbins,
2013).
 Atelektasis Kontraksi
Terjadi bila perubahan fibrosis pada paru dan pleura yang menghambat
ekspensi dan meningkatkan daya recoil pada ekspirasi (Robins, 2013).
 Atelektasis kronik
Atelektasis kronik dibagi menjadi dua yakni atelektasis lobus medialis
(Right middle lobe syndrome) dan atelktasis bulat (round atelectasis)
o Atelectasis lobus medialis
Atelectasis yang terjadi pada lobus medius paru kanan akibat
penekana bronkus lobus medius oleh suatu tumor atau pembesaran getah
bening. Paru-paru yang tersumbat dan mengkerut dapat mengalami infeksi
seperi pneumonia atau bronkhiektasis atau terbentuk jaringan parut/fibrotik.
o Atelectasis bulat (round atelectasis)
Atelektasis bulat biasanya merupakan komplikasi penyakit pleura
yang diinduksi asbes (asbestosis), tetapi juga dapat disebabkan oleh jenis
jaringan parut kronis lainnya dan penebalan pleura (Robbins, 2013).

2.3 Etiologi
Etiologi terbanyak dari atelektasis adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan
ekstrinsik (Wedding, 2005). Etiologi intrinsik atelektasis adalah sebagai berikut :
o Obstruktif
Penyebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus.
Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil.
Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya peradangan intraluminar yang
menyebabkan penumpukan sekret yang berupa mukus, tumor atau benda asing
yang berada di dalam bronkus. Selain itu, dapat juga diakibatkan penekanan dari
luar, seperti adanya tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran
pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran
darah sehingga alveoli akan mengkerut dan memadat. Jaringan paru-paru yang
mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan
mengalami infeksi.

27
Etiologi ekstrinsik dapat disebabkan adalah sebagai berikut;
o Tekanan ekstra pulmonary yang diakibatkan oleh pneumothorax, cairan
pleura, peninggian diafragma, herniasi organ dalam abdomen ke dalam
rongga thorax, maupun tumor thorax seperti tumor mediastinum.
o Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan menyebabkan
perkembangan paru yang tidak sempurna, misalkan pada kasus
poliomyelitis dan kelainan neurologis lainnya. Gerak napas yang
terganggu akan mempengaruhi kelancaran pengeluaran sekret bronkus
akan menyebabkan penyumbatan bronkus yang dapat menyebabkan
atelektasis.
o Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau trauma thorak
yang menahan rasa sakit, keadaan ini juga akan menghambat
pengeluaran sekret bronkus yang dapat memperberat terjadinya
atelektasis.

2.4 Menifestasi Klinis


Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis.
Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang
ringan. Gejalanya dapat berupa gangguan pernafasan, nyeri dada, batuk. Jika disertai
infeksi, dapat terjadi demam dan peningkatan nadi, hingga syok (Robbins, 2013).
Pada perkusi redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema kompensasi.
Pada atelektasis yang luas, atelektasis yang melibatkan lebih dari satu lobus, bising
nafas akan melemah atau sama sekali tidak terdengar, biasanya didapatkan adanya
perbedaan gerak dinding thorak, gerak sela iga dan diafragma. Pada perkusi dapat
ditemukan batas jantung dan mediastinum yang bergeser dan letak diafragma mungkin
meninggi (Robbins, 2013).

2.5 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis atelectasis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan fisik, radiologi (foto thorax PA dan lateral) yang dapat ditemukan tanda-
tanda “Loss of Lung Volume” dan bronkoskopi dan bronkografi/CT Scan yang
bertujuan untuk mengetahui lokasi obstruksi bronkus (Duggan and Kavanagh, 2005).

28
Tanda-tanda Loss of lung volume dapat dikenali dengan beberapa karakteristik
(Ruppel, 2012);
1. ciri-ciri umum diantaranya yakni;
1.) Pergeseran mediastinum : trachea dan jantung bergeser ke sisi yang
mengalami atelectasis
2.) Elevasi diafragma : diafragma terangkat ke atas pada sisi paru yang
mengalami atelectasis
3.) Drooping of shoulder : bahu pada lengan yang mengalami atelectasis
posisinya lebih rendah disbanding sisi sehat
4.) Penyempitan ICS : ICS pada sisi yang mengalami atelectasis Nampak
menyempit
2. Berpindahnya posisi fisura paru ; diperlukan foto thorax (sisi lateral) untuk
mengetahui pergeseran posisi fisura obliq dan transversal.
3. Bergesernya hilus paru; pada posisi normal hilus paru kanan sedikit lebih
rendah disbanding hilus paru sebelah kiri. Posisi ini bisa berubah bila terjadi
atelectasis pada satu lobus paru.
4. Hemithorax menjadi asimetris; dalam keadaan atelectasis, maka sisi paru yang
mengalami atelectasis pada pemeriksaan fisik akan asimetris.
5. Hiperinflasi/ Emphysema Compensatory; bagian paru yang tidak mengalami
atelectasis, akan nampak lebih hitam dan terjadi dilatasi pembuluh darah.
6. Perubahan volume paru; dalam keadaan normal, volume paru kanan (55%)
lebih besar disbanding volume paru (45%) kiri. Sehingga pada keadaan
atelectasis dapat berubah.

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan penanganan adalah menghilangkan sumbatan bronkus dan
percabangannya sehingga jaringan alveoli paru kembali mengembang.
Tindakan yang biasa dilakukan (Schindler, 2005) :
 Pemberian oksigenasi
 Pemberian terapi simtomatis
 Pemberian antibiotik diberikan untuk semua infeksi
 Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur
lainnya

29
 Fisioterapi (masase atau latihan pernapasan)
 Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena
kembali bisa mengembang
 Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
 Pengobatan tumor atau keadaan lainnya
 Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang,
menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru
yang terkena mungkin perlu dilakukan segmentomi/lobektomi/pneumektomi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File, Jr. TM, Musher DM, Fine MJ. 2000. Practice Guidelines
for the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infectious
Diseases, 31: pp 347–82, dilihat 17 Desember 2019,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10987697

Duggan, M. and Kavanagh, B. P. 2005. ‘Pulmonary atelectasis: A pathogenic perioperative


entity’, Anesthesiology, 102(4), pp. 838–854, dilihat 17 Desember 2019,
http://rc.rcjournal.com/content/57/1/26/tab-pdf

Hariadi S, Amin M, Wibisono MJ, Hasan H. 2012. Dasar-dasar Diagnostik Fisik Paru,
Cetakan 4, Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.Soetomo, Surabaya, pp
14, 66-67
Husain AN, Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease, 9th Ed, Elsevier Inc, Philadelpia, pp 702-704
Kaysin A & Viera A. J. 2016. Community-Acquired Pneumonia in Adults: Diagnosis and
Management. American Academy Family Physician, pp. 698-706, dilihat 17 Desember
2019, https://www.aafp.org/afp/2016/1101/p698.html
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Data sentinel Severe Acute Respiratory
Infection (SARI) 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dilihat 17
Desember 2019 repository.litbang.kemkes.go.id/.../PS1%2030%20-
%20SEVERE%20ACUTE%20RES.
Lim W S, Baudouin S V, George R C, Hill A T, Jamieson C, Le Jeune I, Macfarlane J T, Read
R C, Roberts H J, Levy M L, Wani M, Woodhead M A. 2009. British Thoracic Society
guidelines for the management of community acquired pneumonia in adults: update
2009. Thorax, 64, pp. iii27-28, dilihat 17 Desember 2019,
https://thorax.bmj.com/content/thoraxjnl/64/Suppl_3/iii1.full.pdf
Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC,. Dowell SF,
File TM,. Musher DM, Niederman MS, Torres A, Whitney CG. 2007. Infectious
Diseases Society of America/American Thoracic Society consensus guidelines on the
management of community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis. 44: pp S27–
72 dilihat 12 Mei 2019 https://www.thoracic.org/statements/resources/tb-opi/idsaats-
cap.pdf
Robbins 2013. Basic Pathology. ELSEVIER. p. 460. ISBN 978-1-4377-1781-5.

Ruppel, G. L. 2012. ‘What is the clinical value of lung volumes?’, Respiratory Care, 57(1),
pp. 26–38, dilihat 17 Desember 2019, doi: 10.4187/respcare.01374.

Schindler, M. B. .2005. ‘Treatment of atelectasis: Where is the evidence?’, Critical Care, 9(4),
pp. 341–342, dilihat 17 Desember 2019, doi: 10.1186/cc3766.

Soedarsono, Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Cetakan
5, Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.Soetomo, Surabaya, pp 153-83

31
Soepandi PZ, Burhan E, Nawas A, Giriputro S, Isbaniah F, Agustin H, Handayani D. 2014.
Pneumonia Komunitas: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, Edisi 2.
Badan Penerbit FKUI, Jakarta, pp 1 – 38
Wedding, Mary Ellen; Gylys, Barbara A. (2005). Medical Terminology Systems: A Body
Systems Approach: A Body Systems Approach. Philadelphia, Pa: F. A. Davis
Company, pp 167-170, Dilihat 17 Desember 2019,
https://books.google.co.id/books/about/Medical_Terminology_Systems.html?id=w
MttDgAAQBAJ&printsec=frontcover&source=kp_read_button&redir_esc=y#v=one
page&q&f=false

White, Gary C. (2002). Basic Clinical Lab Competencies for Respiratory Care, 4th ed. Delmar
Cengage Learning. p. 230. ISBN 978-0-7668-2532-1.

32

Anda mungkin juga menyukai