Anda di halaman 1dari 28

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN KACANG HIJAU

(Vigna radiata) YANG DIAPLIKASIKAN BERBAGAI JENIS


AMELIORAN DI BERBAGAI JENIS TANAH
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah sebagai media tumbuh tanaman mempunyai fungsi menyediakan

air, udara dan unsur-unsur hara untuk pertumbuhan tanaman namun demikian

kemampuan tanah menyediakan unsur hara sangat terbatas. Hal tersebut di atas

mendorong manusia berpikir dan berusaha untuk melestarikan kesuburan

tanahnya. Salah satu dari usaha manusia untuk melestarikan tanahnya adalah

dengan penammbahan bahan pupuk yang dikenal dengan istilag “pemupukan”.

Namun apabila usaha pemupukan tersebut tidak menjadi efektif pada tanah-tanah

tertentu seperti tanah masam, tentu perlu dilakukan cara lain atau langkah lain

sebagai jalan keluar untuk ,enyelesaikan masalah tanah masam ini.

Tingginya presentase tanah masam yang berada di belahan bumi Indonesia

menjadi salah satu kendala utama dalam berbudidaya tanaman. Lebih dari

setengah bahagian tanah yang terbentang di Indonesia yaitu 63% adalah tanah

masam. Keterbatasan tanaman yang dapat ditanam pada tanah masam mengiringi

timbulnya pemikiran bagaimana cara mengatasi dan pengelolaan tanah yang

sedemikian rupa agar tanah masam bukan lagi menjadi penghambat dalam

berbudidaya tanaman. Dengan adanya pengaplikasian amelioran yang merupakan

bahan pembenah tanah yang terdiri dari banyak jenis dapat menjadi sebuah solusi

untuk memperbaiki sifat tanah yang bersifat masam yang dampak akhirnya akan

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga tanaman tidak

dapat lagi berproduksi secara maksimal.


Tanaman kacang hijau merupakan tanaman yang cukup banyak

dibudidayakan oleh penduduk Indonesia dan biasa untuk dilakukan sebagai bahan

penelitian dikarenakan pembudidayaan dari tanaman kacang hijau tidaklah sulit

dan tidak menuntut banyak syarat tumbuh.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah agar para praktikan paham dan mengerti

bagaimana dan langkah-langkah yang diambil ketika menghadapi tanah-tanah

yang bersifat kurang baik maupun yang telah baik bagi pertumbuhan dan

perkembangan tanaman.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kacang Hijau (Vigna radiata)

Kacang hijau atau (Vigna radiata) berasal dari famili pabaceae alias

polong-polongan, kacang hijau dan kecambahnya banyak manfaat bagi

kesehatan. Kandungan proteinnya cukup tinggi dan merupakan sumber

mineral penting seperti kalsium dan foepor dan sangat diperlukan tubuh.

Sementara itu kandungan lemaknya merupakan asam lemak tak jenuh

sehingga aman dikonsumsi oleh orang-orang dengan masalah

obesitas(Kuswono,2012).

Kacang hijau termasuk jenis tanaman yang relatif muda termasuk

tanaman yang relatif mudah untuk ditanam tanaman tidak tergantung pada iklim

tertentu dengan memperhatikan kecukupan faktor-faktor ekternal seperti air dan

mineral,kelembaban, suhu serta cahaya kacang hijau dapat tumbuh dengan

baik(Kuswono,2012).

Kacang hijau merupakan salah satu tanaman semusim yang berumur

pendek (±60 hari).Tanaman ini disebut juga mungbean, green gram atau golden

gram. Dalam dunia tumbuh-tumbuhan, tanaman ini diklasifikasikan sebagai

berikut, divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae,

ordo Rosales, famili Papilionaceae, genus Vigna, spesies Vigna

radiate(Atman,2007).

Tanaman kacang hijau berbatang tegak dengan ketinggian sangat

bervariasi, antara 30-60 cm, tergantung varietasnya. Cabangnya menyamping

pada bagian utama, berbentuk bulat dan berbulu.Warna batang dan cabangnya ada
yang hijau dan ada yang ungu. Daunnya trifoliate (terdiri dari tiga helaian) dan

letaknya berseling. Tangkai daunnya cukup panjang, lebih panjang dibandingkan

daunnya. Warna daunnya hijau muda sampai dengan hijau tua. Bunga kacang

hijau berwarna kuning, tersusun dalam tandan, keluar pada cabang serta batang,

dan dapat menyerbuk sendiri. Biji kacang hijau memiliki ukuran lebih kecil

dibanding biji kacang-kacangan lainnya. Warna bijinya kebanyakan hijau kusam

atau hijau mengkilap, beberapa ada yang berwarna kuning, cokelat dan hitam

.Tanaman kacang hijau berakar tunggang dengan akar cabang pada

permukaan(Atman,2007).

2.2 Jenis Amelioran

2.2.1 Biochar

Biochar atau yang lebih kita kenal sebagai arang merupakan materi padat

yang terbentuk dari karbonisasi biomasa. Biochar dapat ditambahkan ke tanah

dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi tanah dan mengurangi emisi dari

biomasa yang secara alami terurai menjadi gas rumah kaca. Biochar juga

mempunyai fungsi untuk mengikat karbon cukup besar (Beaton, 1985).

Pembuatan biochar sudah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu di Amazon

(Terra Preta). Kegiatan ini mengubah limbah pertanian menjadi membenah tanah

yang dapat mengikat karbon, meningkatkan keamanan pangan dan mengurangi

pembukaan hutan. Proses tersebut menghasilkan serat yang baik dan arang yang

sangat porous yang membantu tanah menahan hara dan air (Beaton,1985).

Menurut Coleman (1958), Bahan baku pembuatan biochar umumnya

adalah residu biomasa pertanian atau kehutanan, termasuk potongan kayu,


tempurung kelapa, tandan kelapa sawit, tongkol jagung, sekam padi atau kulit

buah kacang-kacangan, kulit-kulit kayu, sisa-sisa usaha perkayuan, serta bahan

organik yang berasal dari sampah kertas, sampah kota dan kotoran hewan. Bila

limbah tersebut mengalami pembakaran dalam keadaan oksigen yang rendah atau

tanpa oksigen akan dihasilkan 3 substansi, yaitu; metana dan hidrogen yang dapat

dijadikan bahan bakar, bio-oil yang dapat diperbaharui, dan arang hayati (biochar)

yang mempunyai sifat stabil dan kaya karbon (>50%).

Biochar berguna sebagai alat yang penting untuk meningkatkan keamanan

pangan dan keragaman tanaman di wilayah dengan tanah yang miskin hara,

kekurangan bahan organik, dan kekurangan air dan ketersediaan pupuk kimia.

Biochar juga meningkatkan kualitas dan kuantitas air dengan meningkatnya

penyimpanan tanah bagi unsur hara dan agrokimia yang digunakan oleh tumbuhan

dan tanaman. Selain itu penambahan biochar ke tanah meningkatkan ketersediaan

kation utama dan posfor, total N dan kapasitas tukar kation tanah (KTK) yang

pada akhimya meningkatkan hasil karena dapat mengurangi risiko pencucian hara

khususnya kalium dan N-NH4(Jones,1979).

2.2.2 Kapur

Kapur pertanian merupakan hasil penggilingan bahan baku dari batu kapur

hingga menjadi bahan halus. Sumber batu kapur di Indonesia tersedia melimpah,

terdapat hampir di setiap propinsi(Kamprath,1970).

Anjuran pengapuran tanah di Indonesia dimulai pada tahun 80-an,

bersamaan dengan perkembangan pertanian yang begitu cepat yang terkenal

dengan istilah “revolusi hijau”. Dengan pertimbangan ketersediaan sumber bahan

bakunya yang melimpah, kapur pertanian yang hingga kini digunakan adalah
Kalsit [CaCO3] dan Dolomit [CaMg(CO3)2]. Untuk diketahui saja bahwa kalsit

yang beredar di pasaran tidak murni sebagai kalsium karbonat (CaCO3), tetapi

mengandung juga magnesium karbonat (MgCO3) tetapi dengan persentase yang

lebih kecil daripada kalsium karbonat. Sedangkan dolomit mengandung

magnesium karbonat dengan persentase lebih tinggi daripada kalsium

karbonat(Kamprath,1970).

Manfaat kapur pertanian di dalam tanah menyangkut dua hal, yaitu

meningkatkan pH tanah dan sebagai sumber unsur kalsium (Ca) dan magnesium

(Mg). Seperti sudah diketahui bahwa jika jumlah ion hidrogen di dalam larutan

tanah semakin besar maka tingkat kemasaman tanahnya akan semakin naik atau

dengan kata lain pH tanahnya akan semakin turun.(Jones,1979).

2.2.3 Pupuk Kandang

Pupuk kandang merupakan pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang

digunakan untuk menyediakan unsur hara bagi tanaman. Pupuk kandang berperan

untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Komposisi unsur hara

yang terdapat pada pupuk kandang sangat tergantung pada jenis hewan, umur, alas

kandang dan pakan yang diberikan pada hewan tersebut(Sanchez,1976).

Setiap jenis hewan tentunya menghasilkan kotoran yang memiliki

kandungan hara unik. Namun secara umum kotoran hewan mengandung unsur

hara makro seperti nitrogen (N), posfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium

(Mg) dan belerang (S). Bila dibandingkan dengan pupuk kimia sintetis, kadar

kandungan unsur hara dalam pupuk kandang jauh lebih kecil. Oleh karena itu,

perlu pupuk yang banyak untuk menyamai pemberian pupuk

kimia(Sanchez,1976).
Seperti jenis pupuk organik lainnya, pupuk kandang memiliki sejumlah

kelebihan seperti kemampuannya untuk merangsang aktivitas biologi tanah dan

memperbaiki sifat fisik tanah. Hanya saja kelemahannya adalah bentuknya yang

kamba (bulky) dan tidak steril, bisa mengandung biji-bijian gulma dan berbagai

bibit penyakit atau parasit tanaman. Macam-macam pupuk kandang diantaranya

adalah kotoran sapi, kotoran kambing, kotoran ayam, air kencing (urine) dan

lainnya(Sanchez,1976).

2.3 Jenis Tanah

2.3.1 Inseptisol

Inceptisols adalah tanah yang belum matang (immature) dengan

perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan

masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisolss untuk

pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang

berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya

untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki (Soepardi,1983).

Salah satu penciri terpenting bagi inceptisol adalah ditemukannya horizon

kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak

ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai inceptisol bila mempunyai

horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan horizon maka

tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri inceptisol (Virginia,1970).

Inceptisols yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukan

yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K)

maupun masukan organik (pencampuran sisa panen kedalam tanah saat


pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila

tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-

Organik dan kapasitas pertukaran kation (KPK) dalam Inceptisols dapat

terbentuk hampir di semua tampat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub

sampai tropika (Kussow,1971).

2.3.2 Ultisol

Kata Ultisol berasal dari bahasa latin Ultimus, yang berarti terakhir atau

dalam arti hal Ultisol, tanah yang paling terkikis dan memperlihatkan pengaruh

pencucian yang terakhir. Ultisol memiliki horizon argilik degan kejenuhan basa

yang rendah. Biasanya terdapat alumunium yang dapat dipertukarkan dalam

jumlah yang tinggi. Pertanian dapat dipertahankan dengan perladangan berpisah

atau dengan penggunaan pupuk (Kussow,1971).

Tanah Ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 45%

dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar

kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai

peranan yang penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia.

Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini,

kecuali terkendala oleh iklim dan relief (Buckman,1960).

Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang

tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti

fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam,

serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang

sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik

yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro
serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong

terjadinya erosi tanah (Buckman,1960).

Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui

pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah

adaptif, penerapan tekhnik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari),

terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran

yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan

jasad renik tanah. Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti

di Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5

sudah dianggap baik(Buckman,1960).

2.3.3 Gambut

Tenik budidaya dilahan gambut sangat erat kaitannya dengan kompleks

permasalahan lahan gambut dimana dilihat dari kesuburan tanahnya relatif rendah

dan sifat fisik untuk pH rendah, KTK rendah untuk sifat kimianya dan kehidupan

biologi tanah sangat tidak berimbang karena areal atau lahan yang tergenang yang

mengakibatkan sukarnya mikroorganisme merombak jasad hidup yang telah mati.

Sehingga upaya dalam teknik budidaya dilahan gambut adalah memaksimalkan

fungsi lahan gambut dengan memanfaatkan ketebalan 1,4 m – 2 m yang dapat

dimanfaatkan untuk pertanian dan sebagai potensi menyimpan karbon dah bahan

organik dengan mengolah lahan agar mampu sebagai tempat hidup tanaman

diatasnya. Pemupukan berimbang dengan pemberian pupuk kandang (bahan

organik), dengan memperhatikan konsentrasi pemberian unsure N, P dan K pada

tanah, usaha perbaikan tanah dengan pengapuran, pemberian ameliorasi pada

tanah untuk menetralkan fungsi pH pada tanah guna pertumbuhan tanaman,


pembuatan tata air mikro dalam penyediaan pasokan air untuk usaha budidaya

dilahan gambut (Jones,1979).

Pengembangan usaha pertanian di lahan gambut dihadapkan pada berbagai

masalah yang berkenaan dengan pengelolaan air dan kesuburan tanah (sifat fisik,

kimia, biologi tanah).Pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam

pengembangan lahan gambut.Pengelolaan air dihadapkan pada dua permasalahan,

yaitu ketepatan drainase dan upaya mempertahankan muka air tanah.Muka air

tanah harus dipertahankan minimal di atas lapisan pirit, karena kondisi tergenang

pirit relatif stabil dan tidak membahayakan. Dengan adanya pengaturan dan

penggantian air secara berkala maka kadar asam organik dapat diturunkan yang

mengakibatkan peningkatan pH tanah dan meningkatkan hasil tanaman. Kendala

sifat fisik tanah utamanya adalah rendahnya bulk density (0,1 – 0,2g.cm-3)yang

menyebabkan daya tumpu (bearing capacity) tanah rendah sehingga mudah

mengalami subsiden. Subsiden dan dekomposisi bahan organik dapat

menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapisan gambut

mengandung pirit (FeS2) atau pasir kuarsa. Selain itu, apabila gambut mengalami

kekeringan yang berlebihan akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak

karena partikel–partikel gambut mempunyai lapis luar kaya resin yang

menghambat (Jones,1979).
III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan praktikum Kesuburan dan Pemupukan ini dilaksanakan pada bulan

Maret sampai dengan bulan April 2019 yang bertepatan pada setiap hari Senin

pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Ilmu Tanah dan UPT

(Unit Pelaksanaan Teknis) lahan percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Riau.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum Kesuburan dan Pemupukan ini adalah

cangkul, parang, ayakan tanah, karung goni, polybag 25 x 25 cm, gunting,

timbangan digital, selotip, kertas, alat tulis, gembor, penggaris, pH meter, gelas

beaker, spatula, gelas ukur, botol filum dan shaker.

Bahan yang digunakan pada praktikum Kesuburan dan Pemupukan ini

adalah lahan, tanah inceptisol sebanyak 50 kg, tanah ultisol sebanyak 50 kg, tanah

gambut atau histosol sebanyak 50 kg, amelioran berupa pupuk kandang, dolomit,

dan biochar, pupuk anorganik berupa urea sebanyak 0,125 gram/polybag, TSP

sebanyak 0,25 gram/polybag, KCl sebanyak 0,18 gram/polybag, benih kacang

hijau (Vigna radiata L.), agrisoy, air, aquades, H2O, KCl, buffer 4, buffer 7 dan

aluminium foil.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada praktikum Kesuburan dan

Pemupukan ini adalah metode RAL (Rancangan Acak Lengkap) Faktorial yang
menggunakan 2 perlakuan berupa jenis tanah dan amelioran. Jenis tanah yang

digunakan sebanyak 3 taraf yaitu T1 = tanah ultisol, T2 = tanah inceptisol dan T3

= tanah gambut atau histosol. Sedangkan amelioran yang digunakan juga

sebanyak 3 taraf yaitu A1 = pupuk kandang, A2 = dolomit dan A3 = biochar.

Penelitian yang dilakukan pada setiap perlakuan ini dilakukan pengulangan

sebanyak 3 kali ulangan yang dilakukan pada petak percobaan berukuran 5 x 7 m

dengan jarak antar polybag yaitu 20 cm.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembukaan Lahan

1. Alat yang digunakan untuk pembukaan lahan disiapkan terlebih dahulu.

2. Lahan dibuka seluas 5 x 7 m menggunakan cangkul dan parang.

3. Lahan dibersihkan dari sampah dan gulma – gulma menggunakan cangkul

dan parang.

4. Sampah dan gulma – gulma dibuang pada tempat pembuangan sampah.

5. Lahan yang dibuka diratakan menggunakan cangkul.

3.4.2 Pengayakan Tanah

1. Tanah inceptisol, ultisol dan gambut masing – masing diambil sebanyak 50

kg.

2. Masing – masing tanah tersebut diayak menggunakan ayakan tanah sampai

tanah menjadi halus.


3. Tanah hasil ayakan dimasukkan kedalam polybag berukuran 25 x 25 cm,

dimana 1 jenis tanah dimasukkan kedalam 9 buah polybag dan dibawa

menuju petak percobaan.

3.4.3 Aplikasi Amelioran

1. Masing – masing tanah yang terdapat pada setiap polybag diberi amelioran

berupa pupuk kandang, dolomit dan biochar dengan dosis yang sudah

ditentukan.

2. Tanah yang sudah diberi amelioran diberi label pada polybag yang berisi

kode perlakuan.

3. Polybag yang sudah diberi label disusun berdasarkan metode pengambilan

acak.

3.4.4 Aplikasi Rhizobium dan Penanaman

1. Benih kacang hijau (Vigna radiata L.) yang akan digunakan diambil.

2. Benih tersebut direndam menggunakan air selama 10 menit.

3. Benih yang mengapung dibuang karena menandakan benih tersebut tidak

bagus, kemudian air pada wadah dibuang.

4. Agrisoy dengan dosis yang telah ditentukan ditambahkan kedalam wadah

berisi benih tersebut dan ditunggu selama 5 menit.

5. Lubang tanam dibuat pada setiap polybag yang berisi tanah dengan

kedalaman sekitar 1 – 2 cm.

6. Benih tersebut diambil dan dimasukkan pada lubang tanam yang telah

dibuat pada polybag.


7. Penyiraman tanaman dilakukan setiap sore hari.

3.4.5 Aplikasi Pupuk Anorganik

1. Pupuk urea ditimbang sebanyak 0,125 gram/polybag, pupuk TSP ditimbang

sebanyak 0,25 gram/polybag dan pupuk KCl ditimbang sebanyak 0,18

gram,/polybag.

2. Lubang tanam pupuk dibuat dengan sistem tugal pada setiap polybag yang

sudah ditumbuhi dengan tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.).

3. Pupuk urea, TSP dan KCl dimasukkan pada setiap lubang tanam pupuk

yang ada pada polybag dengan dosis yang telah ditentukan.

4. Lubang tanam pupuk ditutup setelah pupuk diaplikasikan.

5. Penyiraman tanaman dilakukan setiap sore hari.

3.4.6 Analisis Tanah

1. Analisis tanah berupa analisis warna tanah dan pH tanah.

2. Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan terlebih dahulu.

3. Analisis warna tanah menggunakan buku warna tanah dengan cara

menyamakan warna sampel tanah dengan warna yang ada dibuku tersebut.

4. Analisis pH tanah dilakukan dengan cara menghaluskan tanah terlebih

dahulu menggunakan ayakan tanah kecil.

5. Tanah yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 gram dengan

timbangan digital dan dimasukkan ke dalam 2 botol filum.

6. KCl dimasukkan ke dalam botol filum dengan perbandingan 1:5, dan H2O

dimasukkan pada botol filum kedua dengan perbandingan 1:1.


7. Botol filum ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan karet serta

diberi label jenis tanah.

8. Botol filum berisi tanah dan larutan kemudian dishaker selama beberapa

menit.

9. pH tanah diukur menggunakan pH meter digital yang dikalibrasi dengan

buffer 7 kemudian buffer 4.

3.4.7 Pengamatan

1. Pengamatan dilakukan pada 35 HST (Hari Setelah Tanam) dan 42 HST

(Hari Setelah Tanam).

2. Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman menggunakan

penggaris.

3. Pengamatan juga dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun dan umur

tanaman berbunga.

3.5 Parameter Pengamatan

Parameter yang digunakan pada praktikum Kesuburan dan Pemupukan ini

adalah tinggi tanaman, jumlah daun dan umur berbunga.

3.6 Analisis Data

Data analisis menggunakan analisis ragam berdasarkan uji F pada taraf 5%.

Apabila hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap

peubah yang diukur maka analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple
Range Test (DMRT) pada taraf 5% untuk membandingkan rerata masing –

masing perlakuan.

Metode linear yang digunakan adalah :

Yijk = µ + Mi + Bj + (MB)ij + εijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan untuk perlakuan jenis tanah taraf ke – i dan jenis

amelioran ke – j

µ = Nilai tengah umum

Mi = Pengaruh perlakuan jenis tanah ke – i

Bj = Pengaruh perlakuan jenis amelioran ke – j

(MB)ij = Pengaruh interaksi perlakuan jenis tanah ke – i dan jenis amelioran ke – j

εijk = Pengaruh galat perlakuan jenis tanah ke – i dan jenis amelioran ke – j


IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.1 Analisis Tanah

Analisis Tanah
Jenis Tanah pH Tanah
Warna Tanah
H2O KCl
Ultisol Reddish yellow Hue 7,5YR 4,29 4,98
Inceptisol Dark brown Hue 10YR 4,47 4,75
Gambut Black Hue 5YR 3,44 2,54
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Indonesia. Tanah Ultisol yaitu tanah yang memiliki kemasaman kurang dari 5,5

sesuai dengan sifat kimia, komponen kimia tanahnya yang berperan terbesar

dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH

yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari

batuan yang utuh (belum melapuk)(Beaton,1985).

Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena

batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi Tanah Ultisol menurut Soil

Taxonomy. Beberapa jenis Tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16

cmol kg-1 liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi Tanah

Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali Tanah

Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH

6,80−6,50) ( Hermawan dkk., 2014). Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada Tanah

Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar

antara 2,90−7,50 cmol kg-1, 6,11−13,68 cmol kg-1, dan 6,10−6,80 cmol kg-1,

sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi

(>17 cmol kg-1) (Beaton,1985).


Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik

yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi

ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta

oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga

merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan

makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Kamprath,1970).

Berdasarkan pada tabel 4.1 tanah ultisol yang diamati memilik ph tanah

yang rendah yang berarti asam, hal sejalan dengan teori menurut Sanchez (1976)

kondisi ph tanah ultisol memiliki tingkat kemasaman tanah kurang dari 5,5, tanah

yang masam ini disebabkan oleh pelapukan mineral-mineral primer yang ada di

dalam tanah sehingga terjadinya pelepasan ion Al di dalam tanah serta curah

hujan yang cukup tinggi. Untuk warna tanah ultisol memiliki kandungan hematit

yang tinggi dikarenakan warna tanah yang mendekati warna merah.

Berdasarkan tabel 4.1 tanah inseptisol yang diamati memiliki ph tanah

yang berkisar antara 4,47-4,75 hal ini sejalan dengan teoi yang disampaikan

Kussow (1971) menyatakan bahwa inceptisol merupakan ordo tanah yang belum

berkembang lanjut dengan ciri-ciri bersolum tebal antara 1.5-10 meter di atas

bahan induk, bereaksi masam dengan pH 4.5-6.5. Bila mengalami perkembangan

lebih lanjut pH naik menjadi kurang dari 5.0, dan kejenuhan basa dari rendah

sampai sedang. Tekstur seluruh solum ini umumnya adalah liat, sedang

strukturnya remah dan konsistensi adalah gembur. Secara umum, kesuburan dan

sifat kimia Inceptisol relatif rendah, akan tetapi masih dapat diupayakan untuk

ditingkatkan dengan penanganan dan teknologi yang tepat (Sudirja, 2007). Untuk
warna tanah inseptisol memiliki kandungan geothit yang tinggi dikarenakan warna

tanah mendekati warna yang gelap seperti coklat ataupun hitam.

Berdasarkan tabel 4.1 tanah gambut yang diamati memiliki ph berkisar

antara 2,54-3,44, ph tanah ini sangat rendah sesuai dengan teori yang disampaikan

oleh Kussow (1971) tanah gambut merupakan tanah yang berbahan induk dari sisa

tumbuhan dengan proses dekomposisi anaerobic terhambat, tidak atau hanya

sedikit (<5%) mengandung tanah mineral yang berkristal. Rangkaian

penyusunnya berupa bahan karbon, yang mana bahan organik ini adalah rantai

karbon yang sebagian besar berupa lignin, hemiselulosa dan humik. Tanah

gambut juga bersifat sarang (porous) dan sangat ringan, sehingga mempunyai

kemampuan menyangga sangat rendah, kandungan hara relatif rendah dan banyak

mengandung asam-asam organik yang menyebabkan pH gambut sangat rendah

(pH antara 2,7 – 5,0). Kualitas air gambut dipengaruhi oleh bahan penyusun

gambut, ketebalan, tingkat dekomposisi dan tata air serta lingkungan gambut

tersebut. Untuk warna tanah, gambut memiliki kandungan goethite yang tinggi

dikarenakan warna tanahnya yang hitam atau gelap.

Tabel 4.2 Tinggi Tanaman

Tinggi Tanaman (cm)


Perlakuan Ulangan
35 HST 42 HST
T1A1 1 22 23
T1A1 2 40 54
T1A1 3 37 51
T1A2 1 - -
T1A2 2 26,5 30
T1A2 3 42,5 55
T1A3 1 - -
T1A3 2 11 15,5
T1A3 3 9 9
Kontrol - - -
T2A1 1 25,5 25,5
T2A1 2 23 22
T2A1 3 - -
T2A2 1 19 20
T2A2 2 19 22
T2A2 3 23,5 27
T2A3 1 19 20,5
T2A3 2 20,5 20
T2A3 3 17,5 22,5
Kontrol - 24,5 24,5
T3A1 1 - -
T3A1 2 - -
T3A1 3 - -
T3A2 1 25 17
T3A2 2 - -
T3A2 3 - -
T3A3 1 - -
T3A3 2 - -
T3A3 3 - -
Kontrol - - -

Keterangan:

T1 = Ultisol

T2 = Inceptisol

T3 = Gambut

A1 = Pupuk Kandang

A2 = Dolomit

A3 = Biochar

Pengamatan tinggi tanaman terlihat pada tabel 4.2 bahwa terdapat tanaman

kacang hijau yang pertumbuhan tinggi tanamannya cukup maksimal yaitu pada

tanah inceptisol yang diberi amelioran pupuk kandang, tanah inseptisol

merupakan tanah yang tidak memiliki banyak masalah pada sifat-sifat tanah,

sehingga dapat dikatakan sudah cukup subur, kesuburan tanah ini hanya
memerlukan perlakuan pupuk kandang sehingga sudah dapat memberikan

pertumbuhan yang baik bagi tanaman kacang hijau.

Tanah gambut sendiri sangat minimal pertumbuhan dari tinggi tanaman

kacang panjang, hal ini seharusnya tidak terjadi pada perlakuan tanah gambut

yang diberi amelioran berupa dolomit, menurut Buckman (1960) dolomit dapat

menaikkan ph dari tanah gambut, dolomit yang memiliki kandungan kalsium yang

tinggi dapat mengatasi penguraian bahan organic yang tinggi pada tanah gambut

sehingga ph dari tanah gambut dapat diseimbangkan dengan diberikannya

dolomit. Namun diduga karena perawatan tanaman berupa penyiraman dan

penyiangan gulma yang kurang rutin dilaksanakan menjadi faktor utama

minimnya pertumbuhan tinggi tanaman pada tanaman kacang hijau.

Tabel 4.3 Jumlah Daun

Jumlah Daun
Perlakuan Ulangan
35 HST 42 HST
T1A1 1 10 11
T1A1 2 19 21
T1A1 3 16 18
T1A2 1 - -
T1A2 2 14 16
T1A2 3 20 21
T1A3 1 - -
T1A3 2 8 9
T1A3 3 2 3
Kontrol - - -
T2A1 1 13 14
T2A1 2 12 12
T2A1 3 - -
T2A2 1 10 11
T2A2 2 14 15
T2A2 3 12 14
T2A3 1 9 10
T2A3 2 11 11
T2A3 3 10 13
Kontrol - 12 14
T3A1 1 - -
T3A1 2 - -
T3A1 3 - -
T3A2 1 8 3
T3A2 2 - -
T3A2 3 - -
T3A3 1 - -
T3A3 2 - -
T3A3 3 - -
Kontrol - - -

Keterangan:

T1 = Ultisol

T2 = Inceptisol

T3 = Gambut

A1 = Pupuk Kandang

A2 = Dolomit

A3 = Biochar

Pengamatan jumlah daun terlihat pada tabel 4.3 bahwa terdapat tanaman

kacang hijau yang jumlah daun tanamannya cukup banyak, yaitu pada tanah

inceptisol yang diberi amelioran pupuk kandang, tanah inseptisol merupakan

tanah yang tidak memiliki banyak masalah pada sifat-sifat tanah, sehingga dapat

dikatakan sudah cukup subur, kesuburan tanah ini hanya memerlukan perlakuan

pupuk kandang sehingga sudah dapat memberikan pertumbuhan yang baik bagi

tanaman kacang hijau, untuk tanah gambut sendiri sangat sedikit jumlah daun dari

tanaman kacang panjang, hal ini sehrusnya tidak terjadi pada perlakuan tanah

gambut yang diberi amelioran berupa dolomit, menurut Buckman (1960) dolomit

dapat menaikkan ph dari tanah gambut, dolomit yang memiliki kandungan


kalsium yang tinggi dapat mengatasi penguraian bahan organik yang tinggi pada

tanah gambut sehingga ph dari tanah gambut dapat diseimbangkan dengan

diberikannya dolomit. Namun diduga karena perawatan tanaman berupa

penyiraman dan penyiangan gulma yang kurang rutin dilaksanakan menjadi faktor

utama minimnya jumlah daun pada tanaman kacang hijau.

Daun-daun banyak yang berguguran pada jenis tanah masam seperti tanah

ultisol dan gambut dikarenakan ph tanah yang masam mengakibatkan tanaman

mengalami kekurangan unsur hara dan keracunan Al, namun dengan pemberian

amelioran dolomit seharusnya tanaman dapat tumbuh baik dengan jumlah daun

yang banyak tetapi hal ini tidak terjadi dikarenakan perawatan tanaman yang

kurang rutin dilaksanakan.

Tabel 4.4 Umur Berbunga

Perlakuan Ulangan Umur Berbunga (HST)


T1A1 1 -
T1A1 2 42
T1A1 3 42
T1A2 1 -
T1A2 2 42
T1A2 3 42
T1A3 1 -
T1A3 2 -
T1A3 3 -
Kontrol - -
T2A1 1 -
T2A1 2 -
T2A1 3 -
T2A2 1 -
T2A2 2 -
T2A2 3 42
T2A3 1 -
T2A3 2 -
T2A3 3 -
Kontrol - 42
T3A1 1 -
T3A1 2 -
T3A1 3 -
T3A2 1 -
T3A2 2 -
T3A2 3 -
T3A3 1 -
T3A3 2 -
T3A3 3 -
Kontrol - -

Keterangan:

T1 = Ultisol

T2 = Inceptisol

T3 = Gambut

A1 = Pupuk Kandang

A2 = Dolomit

A3 = Biochar

Pengamatan umur berbunga terlihat pada tabel 4.4, umur berbunga dari

tanaman kacang panjang hanya bisa diamati pada tanah ultisol yang diberi

ameliorant dolomit, serta tanah inseptisol yang diberi dolomit, untuk tanah

gambut semua perlakuan ameliorant tidak memberikan dampak yang baik

terhadap munculnya bunga. Munculnya bunga merupakan fase generatif dari

suatu tanaman, tidak tumbuhnya bunga pada tanah gambut dikarenakan ph tanah

yang masam mengakibatkan tanaman tidak mendapatkan unsur hara yang cukup

namun lain hal dengan tanah ultisol yang diberi perlakuan dolomit, tanaman

kacang hijau telah sampai pada fase berbunga yang sesuai yaitu pada umur 42 hari
setelah tanam, tanah ultisol mengalami kenaikan ph dengan diberinya dolomit dan

unsur phospat yang diikat oleh Al pada tanah masam dilepas dengan Al yang

berikatan dengan gugus karboksil yang terkandung pada dolomit, unsur P sangat

berperan dalam pertumbuhan generative tanaman oleh karena itu lepasnya unsur P

menjadi salah satu faktor penting berbunganya tanaman kacang hijau.


V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat ketidaksinergisan yang

terjadi antara pendugaan dengan fakta yang terjadi di lapangan, pertumbuhan

tanaman kacang hijau seharusnya sangat maksimal di ketiga jenis tanah dengan

ameliorant yang masing-masing memiliki fungsi untuk membenah tanah,

pembenahan tanah tersebut dapat memperbaiki sifat fisik,sifat kimia, serta sifat

biologi tanah yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman

hingga optimal. Namun dikarenakan praktikan yang kurang rutin dalam

melakukan perawatan tanaman, faktor ektesernal lah yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang hijau tersebut, sebut saja gulma

yang tidak disiangi serta kadar air yang tidak ditambah melalui penyiraman

tanaman mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang hijau

tidak sampai pada hasil yang optimal.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan adalah praktikan seharusnya lebih menjaga dan

merawat tanaman dengan rajin dan rutin, dikarenakan faktor lingkungan dapat

menjadi faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

tanaman menjadi tidak optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Atman. 2007. Teknologi Budidaya Kacang Hijau (Vigna radiata L.) di

Lahan Sawah. Jurnal Ilmiah Tambua. 4(1) : 89-95.

Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4thed. Collier Macmillan Company.

New york.

Buckman, O. H., and N. C. Brady. 1960. The Nature and Properties of Soils.

6thed. The Macmillan Company. New York.

Coleman, N. T., E. J. Kamprath and S. B. Weed. 1958. Soil Fertility. Agron. 10:

474-522.Fox.

Jones, Ulysses. S. 1979. Fertilizers and Soil Fertility. Reston Publishing

Company, Inc.

Kamprath. 1970. Phosphate Sorption Isotherms for Evaluating The

Phosphate Requirements of Soil. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 34:902-7.

Kussow, W. R. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Soil Fertility Project.

Kuswono. 2012. Kacang Hijau. Bulletin Direktorat Budidaya Aneka Kacang

Dan Umbi.

Sanchez, Pedro A. 1976. Properties and Management of Soils in The

Tropic. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons. New York,

London, Sydney, Toronto.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Tanah. Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Virginia.Kamprath, E. J. 1970. Aluminum Excahangeable as a Criterion

Liming for Leached Mineral Soils. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 34: 252-256.

Anda mungkin juga menyukai