Di rumahnya, Tyas tampak melamun sambil memikirkan nasib sahabat setianya itu.
“Ada apa Yas? Kok kamu nggak seperti biasanya, malah tampak lesu dan kurang
semangat.” Papa bertanya sambil menegur.
“Memangnya ada apa dengan Dwi sehingga membuatmu muram, Apa dia sedang
sakit?” Tyas menggeleng kepada ayah.
“Sekarang Dwi sudah pindah rumah. Kata tetangga sebelah rumahnya Dwi ikut orang
tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya habis di PHK dan memilih untuk menjadi
petani”.
Sambil menatap Tiyas papa termenung memikirkan ucapan tiyas dengan rasa setengah
tidak percaya.
“Kalau Papa tidak langsung percaya, Coba tanya deh, sama Pak RT atau ke tetangga
lain” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Maksudmu?”
“Aku pengen Dwi bisa disini lagi” Tyas memohon dengan agak mendesak.
“Baik kalau itu bisa biki kamu seneng. Tapi, kamu harus bisa mencari alamat rumah
Dwi yang di desa” kata Papa.
Berkat bantuan pemilik kontrakan bekas rumah Dwi akhirnya tiga hari kemudian Tiyas
berhasil memperoleh alamat rumah Dwi yang berada di desa. Ia merasa sangat
senang. Kemudian Papa bersama dengan Tiyas datang ke rumah Dwi di sebuah desa
terpencil dan lokasi rumahnya masih masuk ke dalam lagi. Bisa di tempuh dengan jalan
kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa
gembira hati Dwi ketika bertemu dengan Tiyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk
melepas rasa rindu. pada awalnya Dwi sangat kaget dengan kedatangan Tiyas secara
tiba-tiba.
“Maaf ya Yas. Aku tak sempat memberi kabar ke kamu kalo aku mau pindah”
“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku sudah ketemu kamu dan merasa senang.”
Setelah berbincang cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada
orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, mereka menyerahkan segala
keputusan kepada Dwi sendiri.
“Begini, Wik, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu untuk ikut kami ke
Surabaya. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana
Wi, apakah kamu bersedia ikut?” Tanya Papa.
“Soal sekolahmu,” lanjut Papa, “kamu nggak usah khawatir. Sseluruh biaya
pendidikanmu biar papa yang menanggung.”
“Baiklah kalau memang Bapak dan Tiyas menghendaki saya ikut, saya mau pak. Saya
juga mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu
saya dan keluarga saya.”
Kemudian Tiyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak mata
Tyas berkaca kaca tidak kuat menahan kebahagiaan. Kini Dwi tinggal di rumah Tiyas.
Sementara orang tuanya tetap tinggal di desa. Selain untuk mengerjakan sawah,
mereka juga merawat nenek Dwi yang sudah semakin tua.
Pemimpi Dalam Amplop
Semakin lama rasa penasanku menggunung. Dengan perasaan yang gemetaran, aku
menarik nafasku dalam-dalam. Aku menutup mataku, aku menghitung mundur untuk
membukanya.
“Bismillahirohmanirohim, 3, 2, 1,” aku menghitungnya sambil membukanya perlahan.
Aku membuka mataku, sedikit demi sedikit. Perasaanku sangat lega ketika aku melihat
tulisan di dalamnya “LULUS” dengan rata-rata nilai 92. Aku langsung sujud syukur, air
mata menetes membasahi pipiku. Namun, aku masih memikirkan. Perjuangan dan
perjalanan hidupku akan semakin berat. Aku harus mencari sekolah baruku nanti. Aku
hanya mempunyai tekad yang kuat, untuk mengangkat ekonomi keluarga.