Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH PEGELOLAAN LIMBAH

BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BIOREMEDIASI

Disusun oleh
Kelompok 2

Dhaifan Haryo W P (17513029)


Rizky Aditya D (17513031)
Rizky Farhan Tamimi (17513051)
Aditiya Ramadhan (17513056)
Anisa Sarah Florensia (17513061)
M. Rami Ramadhan (17513069)

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
2019
KATA PENGENTAR
Segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
hidayah serta ilmu yang bermanfaat. Sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam selalu
penulis curahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang telah menuntun kita
ke jalan yang benar. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengelolaan Limbah B3 yang diampu oleh Ibu Fina Binazir Maziya, S.T., M.T.
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Ibu Fina Binazir Maziya, S.T., M.T. selaku dosen pengampu mata kuliah
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
2. Teman-teman kelompok 2 dan semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini.
Penulis telah berusaha untuk menyusun makalah ini sebaik mungkin.
Namun, penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar penyusunan makalah yang berikutnya dapat lebih baik lagi.

Yogyakarta, 18 November 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lingkungan kita sedang terancam. Secara mengejutkan udara yang kita
hirup, air yang kita minum dan tanah yang kita andalkan untuk menanam bahan
makanan telah terkontaminasi secara langsung oleh hasil aktivitas manusia. Polusi
dari sampah industri seperti tumpahan bahan kimia, produk rumah tangga dan
peptisida telah menyebabkan kontaminasi pada lingkungan. Bertambahnya jumlah
bahan kimia beracun menyebabkan ancaman bagi kesehatan lingkungan dan
organisme hidup yang ada di dalamnya.
Perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya bidang industri,
senantiasa meningkatkan kemakmuran dan dapat menambah lapangan pekerjaan
bagi masyarakat kita. Namun di lain pihak, perkembangan industri memiliki
dampak terhadap meningkatnya kuantitas dan kualitas limbah yang dihasilkan
termasuk di dalamnya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Bila
tidak ditangani dengan baik dan benar, limbah B3 akan menimbulkan pencemaran
terhadap lingkungan.
Pencemaran atau polusi bukanlah merupakan hal baru, bahkan tidak sedikit
dari kita yang sudah memahami pengaruh yang ditimbulkan oleh pencemaran atau
polusi lingkungan terhadap kelangsungan dan keseimbangan ekosistem. Polusi
dapat didefinisikan sebagai kontaminasi lingkungan oleh bahan-bahan yang dapat
mengganggu kesehatan manusia, kualitas kehidupan, dan juga fungsi alami dari
ekosistem. Walaupun pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh proses
alami, aktivitas manusia yang notabenenya sebagai pengguna lingkungan adalah
sangat dominan sebagai penyebabnya, baik yang dilakukan secara sengaja
ataupun tidak.
Berdasarkan kemampuan terdegradasinya di lingkungan, polutan
digolongkan atas dua golongan:
1. Polutan yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu bahan
seperti sampah yang mudah terdegradasi di lingkungan. Jenis polutan ini
akan menimbulkan masalah lingkungan bila kecepatan produksinya lebih
cepat dari kecepatan degradasinya.
2. Polutan yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi
(nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang
cukup serius.
Untuk mengatasi limbah (khususnya limbah B3) dapat digunakan metode
biologis sebagai alternatif yang aman, karena polutan yang mudah terdegradasi
dapat diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti
CO2 dan H2O. Cara biologis atau biodegradasi oleh mikroorganisme, merupakan
salah satu cara yang tepat, efektif dan hampir tidak ada pengaruh sampingan pada
lingkungan. Hal ini dikarenakan tidak menghasilkan racun ataupun blooming
(peledakan jumlah bakteri). Mikroorganisme akan mati seiring dengan habisnya
polutan dilokasi kontaminan tersebut.
Hanya bioteknologi yang dipertimbangkan untuk menjadi kunci dalam
mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan manusia. Bioteknologi juga
menjadi peralatan yang bagus untuk pembelajaran atau perbaikan terhadap
buruknya kesehatan akibat polusi lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penyusun
menemukan beberapa permasalahan dalam pembuatan makalah ini, yaitu diantara
sebagai berikut :
1. Apakah pengertian Bioremediasi ?
2. Apakah tujuan dari Biormediasi ?
3. Apa sajakah mikroorganisme yang berperan dalam proses Bioremediasi
?
4. Bagaimanakah proses Bioremediasi ?
5. Apa sajakah jenis-jenis Bioremediasi ?
6. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Bioremediasi?
7. Apa sajakah kekurangan dan kelebihan Bioremediasi ?
1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan
Adapun tujuan dan maksud penulisan makalah ini, diantaranya :
1. Untuk Mengetahui pengertian Bioremediasi
2. Untuk mengetahui tujuan penggunaan dari Bioremediasi
3. Untuk mengetahui mikroorganisme yang berperan dalam Bioremedisi
4. Untuk mengetahui proses Bioremediasi
5. Untuk mengetahui jenis-jenis Bioremediasi
6. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioremediasi
7. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan Bioremediasi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bioremediasi

Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi


lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan
pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan,
karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-tahun untuk mengurangi
senyawa organic dan bahan beracun baik yang berasal dari limbah rumah tanggga
maupun industry. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat
efektif dan mrah dari sis ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang
terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun (Munir, 2006).
Teknologi bioremediasi oleh mikroba merupakan hasil pemikiran yang
sistematik dari integrasi berbagai bidang ilmu, antara lain mikrobiologi, ekologi,
fisiologi, biokimia, dan genetika yang dipadukan dengan menggunakan prinsip
rekayasa untuk memaksimumkan reaksi metabolic mikroba yang diinginkan
dalam pemulihan lingkungan yang tercemar. Pemahaman tentang mikrobiologi
dan lingkungannya merupakan faktor penting dalam perkembangan teknologi
biodegradasi. Kunci utama penentu keberhasilan pengolahan limbah pencemar di
lingkungan secara biologi adalah mengetahui faktor-faktor yang berinteraksi
dalam biodegradasi itu sendiri.
Sejumlah senyawa kimia berbahaya (kontaminan/pencemar) dan
kelompok bahan buangan sudah diperbaiki melalui bioremediasi. Bioremediasi
merupakan proses perbaikan bahan buangan atau limbah dengan melibatkan
mikrorganisme. Terdapatnya senyawa berbahaya dalam lingkungan karena,
kondisi lingkungan tersebut tidak memungkinkan aktivitas mikroba untuk
melakukan degradasi secara biokimia. Optimalisasi kondisi lingkungan tersebut
melalui pemahaman prinsip biologik mengenai senyawa yang akan diurai, dan
pengaruh kondisi lingkungan terhadap kemampuan mikroorganisme dan reaksi
katalisisnya (Hamdiyati, 2013).
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme yang telah dipilih
untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar
polutan tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi
tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.
Bioremediasi mempunyai dua tujuan yaitu (Almuthmainah, 2013):
a. Menstimulasi pertumbuhan mikroba baik yang indigenus yaitu mikroba
asli maupun non indigenus non indigenus atau mikroba yang sengaja
dimasukkan dari luar ke daerah yang terkontaminasi.
b. Menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk meningkatkan
intensitas kontak langsung antara mikroba dengan senyawa kontaminan di
lingkungan baik yang terlarut maupun yang terikat oleh partikel untuk
mengalami biotransformasi, biodegradasi, bahkan sampai biomineralisasi.

2.2 Jenis-Jenis Mikroorganisme Yang Berperan Dalam Bioremediasi


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bioremediasi adalah salah satu
teknologi alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan dengan memanfaatkan
bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme akan mendegradasi zat pencemar atau
polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Polutan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik (buatan).
Bahan pencemar dapat dibedakan berdasarkan kemampuan terdegradasinya di
lingkungan yaitu (Cookson, 1995):
a. Bahan pencemar yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu
bahan yang mudah terdegradasi di lingkungan dan dapat diuraikan atau
didekomposisi, baik secara alamiah yang dilakukan oleh dekomposer
(bakteri dan jamur) ataupun yang disengaja oleh manusia, contohnya
adalah limbah rumah tangga. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah
lingkungan bila kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan
degradasinya.
b. Bahan pencemar yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi
(nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang
cukup serius. Contohnya adalah jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan
merkuri.
Sedangkan senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya dapat
dibedakan menjadi :
a. Senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam dan jumlahnya
(konsentrasinya) sangat tinggi, contohnya antara lain minyak mentah (hasil
penyulingan), fosfat dan logam berat.
b. Senyawa xenobiotik yaitu senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang
sebelumnya tidak pernah ditemukan di alam, contohnya adalah pestisida,
herbisida, plastik dan serat sintesis.
Dalam bioremediasi, lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang
berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa
senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme, umumnya
berlangsung melalui proses yang sama. Polimer alami yang mendapat perhatian
karena sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu) terutama
bagian ligninnya.

2.3 Proses Bioremediasi


Proses utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan
biokatalis. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia
polutan tersebut. Enzim mempercepat proses tersebut dengan cara menurunkan
energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi. Pada
proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi
senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Pada banyak kasus, biotransformasi
berujung pada biodegradasi. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di
lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar
bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi
kimia yang cukup kompleks dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya
dan tidak beracun. Misalnya mengubah bahan kimia menjadi air dan gas yang
tidak berbahaya misalnya CO2. Dalam proses degradasinya, mikroba
menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya
melalui berbagai proses oksidasi. Enzim yang dihasilkan juga berperan untuk
mengkatalis reaksi degradasi, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk mencapai keseimbangan. Lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia
yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa
senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme umumnya
berlangsung melalui proses yang sama.
Supaya proses tersebut dapat berlangsung optimal, diperlukan kondisi
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangangbiakan mikroorganisme. Tidak terciptanya kondisi yang optimum
akan mengakibatkan aktivitas degradasi biokimia mikroorganisme tidak dapat
berlangsung dengan baik, sehingga senyawa-senyawa beracun menjadi persisten
di lingkungan. Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan pemahaman akan prinsip-
prinsip biologis tentang degradasi senyawa-senyawa beracun, pengaruh kondisi
lingkungan terhadap mikroorganisme yang terkait dan reaksi-reaksi yang
dikatalisnya. Salah satu cara untuk meningkatkan bioremediasi adalah melalui
teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk
mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi.
Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman
kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi
tidak berbahaya.
Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan unsur yang
berbahaya di permukaan bumi, sehingga kontaminasi logam berat di lingkungan
merupakan masalah yang besar. Persoalan spesifik logam berat di lingkungan
terutama akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam
menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara maupun air. Bahan pencemar
senyawa anorganik/mineral misalnya logam-logam berat seperti merkuri (Hg),
kadmium (Cd), Timah hitam (pb), tembaga (Cu), timbal (Pb), dan garam-garam
anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat yang masuk ke dalam
tubuh biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam organ-organ
tubuh. Mikroba memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan katalis serta
sebagai donor atau reseptor elektron dalam metabolisme energi. Kemampuan
interaksi mikroba terhadap logam antara lain (Cokkson, 1995). :
a. Mengikat ion logam yang ada di lingkungan eksternal pada permukaan sel
serta membawanya ke dalam sel untuk berbagai fungsi sel. Contohnya
bakteri Thiobaccilus sp. Mampu menggunakan Fe dalam aktivasi enzim
format dehidrogenase pada sitokrom
b. Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron dalam
metabolisme energi.
c. Mengikat logam sebagai kation pada permukaan sel yang bermuatan
negatif dalam proses yang disebut biosorpsi.

Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat dilakukan


dengan cara detoksifikasi, biohidrometakurgi, bioleaching, dan bioakumulasi.
a. Detoksifikasi (biosorpsi) pada prinsipnya mengubah ion logam berat
yang bersifat toksik menjadi senyawa yang bersifat tidak toksik. Proses ini
umumnya berlangsung dalam kondisi anaerob dan memanfaatkan senyawa
kimia sebagai akseptor elektron.
b. Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat
pada suatu senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa
yang dapat larut dalam air.
c. Bioleaching merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat
dari senyawa yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya
mikroba menghasilkan asam dan senyawa pelarut untuk membebaskan ion
logam dari senyawa pengikatnya. Proses ini biasanya langsung diikuti
dengan akumulasi ion logam.
d. Bioakumulasi merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang
berhubungan dengan lintasan metabolism.
Interaksi mikroba dengan logam di alam adalah imobilisasi logam dari fase
larut menjadi tidak atau sedikit larut sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh
mikroba pendegradasi logam yaitu :
a. Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens mampu mengubah Cr
(VI) menjadi Cr (III) dengan bantuan senyawa-senyawa hasil
metabolisme, misalnya hidrogen sulfida, asam askorbat, glutathion, sistein,
dll.
b. Desulfovibrio sp. membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan
hidrogen sulfida yang dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
c. Desulfuromonas acetoxidans merupakan bakteri anerobik laut yang
menggunakan sulfur dan besi sebagai penerima elektron untuk
mengoksidasi molekul organik dalam endapan yang bisa menghasilkan
energi.
d. Bakteri pereduksi sulfat contohnya Desulfotomaculum sp. Dalam
melakukan reduksi sulfat, bakteri ini menggunakan sulfat sebagai sumber
energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan organik
sebagai sumber karbon. Karbon tersebut selain berperan sebagai sumber
donor elektron dalam metabolismenya juga merupakan bahan penyusun
selnya. Adapun reaksi reduksi sulfat oleh bakteri ini adalah sebagai
berikut.
e. Bakteri belerang, khususnya Thiobacillus ferroxidans banyak berperan
pada logam-logam dalam bentuk senyawa sulfida untuk menghasilkan
senyawa sulfat.
f. Mikroalga contohnya Spirulina sp., merupakan salah satu jenis alga
dengan sel tunggal yang termasuk dalam kelas Cyanophyceae. Sel
Spirulina sp. berbentuk silindris, memiliki dinding sel tipis. Alga ini
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat ion-ion logam dari
larutan dan mengadsorpsi logam berat karena di dalam alga terdapat gugus
fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi
tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol,
sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
g. Jamur Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. dapat
mengakumulasikan Pb dari dalam perairan, Citrobacter dan Rhizopus
arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium. Penggunaan jamur
mikoriza juga telah diketahui dapat meningkatkan serapan logam dan
menghindarkan tanaman dari keracunan logam berat.

2.4 Jenis-Jenis Bioremediasi


Bioremediasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu :
a. Biostimulasi
Biostimulasi adalah memperbanyak dan mempercepat
pertumbuhan mikroba yang sudah ada di daerah tercemar dengan cara
memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu
penambahan nutrien dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada dalam
jumlah sedikit, maka harus ditambahkan mikroba dalam konsentrasi
yang tinggi sehingga bioproses dapat terjadi. Mikroba yang
ditambahkan adalah mikroba yang sebelumnya diisolasi dari lahan
tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di laboratorium
di perbanyak dan dikembalikan ke tempat asalnya untuk memulai
bioproses. Namun sebaliknya, jika kondisi yang dibutuhkan tidak
terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara
umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang
tercemar.
b. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan penambahan produk mikroba
komersial ke dalam limbah cair untuk meningkatkan efisiensi dalam
pengolahan limbah secara biologi. Cara ini paling sering digunakan
dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Hambatan
mekanisme ini yaitu sulit untuk mengontrol kondisi situs yang
tercemar agar mikroba dapat berkembang dengan optimal. Selain itu
mikroba perlu beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Menurut
Munir (2006), dalam beberapa hal, teknik bioaugmentasi juga diikuti
dengan penambahan nutrien tertentu.
Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme
yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang
dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk
beradaptasi.
c. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau
tanah yang tercemar.
Bioremediasi berdasarkan lokasi terdapat 2 macam yaitu:
a. In situ, yaitu dapat dilakukan langsung di lokasi tanah
tercemar ( proses bioremediasi yang digunakan berada pada
tempat lokasi limbah tersebut). Proses bioremadiasi in situ
pada lapisan surface juga ditentukan oleh faktor bio-kimiawi
dan hidrogeologi.

Gambar 1. Bioremediasi In Situ


b. Ex situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil
limbah tersebut lalu ditreatment ditempat lain, setelah itu baru
dikembalikan ke tempat asal. Lalu diberi perlakuan khusus
dengan memakai mikroba. Bioremediasi ini bisa lebih cepat
dan mudah dikontrol dibanding in-situ, ia pun mampu me-
remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih
beragam.

Gambar 2. Bioremediasi Ex- Situ

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bioremediasi.


Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim.
Dengan demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim
pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan
kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan
faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses bioremediasi, yang meliputi
kondisi tanah, temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
a. Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung
kelancaran aliran nutrient, enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya
aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob sehingga
proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah yang
cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun
kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung
dengan baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran
sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.
b. Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-
40˚C. Cookson (2003) mengatakan bahwa temperatur yang digunakan
pada suhu 38˚C bukan pilihan yang valid karena tidak sesuai dengan
kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme patogen. Pada
temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat
mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik
menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses
biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi
tempat dilaksanakannya bioremediasi
c. Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun
kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan
demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi
hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a)
kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c)
kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya
oksigen, merupakan salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi
hidrokarbon minyak
d. pH.
Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat
jarang namun ada yang melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dari 4,5
menjadi 7,4 dengan penambahan kapur meningkatkan penguraian minyak
menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah kelarutan,
bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro
nutrien. Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun,
sedangkan penurunan pH menurunkan ketersediaan NO3- dan Cl- .
Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam akan lebih berperan
dibandingkan bakteri asam.
e. Kadar H2O dan karakter geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi.
Nilai aktivitas air dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9 - 1.0,
umumnya kadar air 50-60%. Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang
poros.
f. Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas
pertanian mungkin tak perlu ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon
ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dengan makro & mikro nutrisi
yang lain. Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon,
energy dan keseimbangan metabolisme sel. Dalam penanganan limbah
minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber
nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme
berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
g. Interaksi antar Polusi.
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam
mengoptimalkan aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah
interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di lingkungannya. Salah
satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan proses
transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energy
yang dihasilkan.

2.5 Kelebihan dan Kekurangan Bioremediasi


A. Kelebihan bioremediasi sebagai berikut (Cookson, 1995)
1. Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah tersebut
dengan lahan yang sempit sekalipun.
2. Mengubah pollutant bukan hanya memindahkannya.
3. Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang cepat.
4. Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan mikroba
yang secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah).
5. Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia
berbahaya.
6. Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.
B. Kekurangan bioremediasi sebagai berikut (1995):
1. Tidak semua bahan kimia dapat diolahsecara bioremediasi.
2. Membutuhkan pemantauan yang ekstensif .
3. Membutuhkan lokasi tertentu.
4. Pengotornya bersifat toksik
5. Padat ilmiah
6. Berpotensi menghasilkan produk yangtidak dikenal
7. Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain
8. Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji

2.6 Contoh-Contoh Bioremediasi Dalam Kehidupan Sehari-Hari


a. Bioremediasi Sebagai Pengendali Pencemaran Air
Sehubungan dengan bioremediasi, Pemerintah Indonesia telah mempunyai
payung hukum yang mengatur standar baku kegiatan Bioremediasi dalam
mengatasi permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan
perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida)
melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kep Men LH No.128 tahun 2003,
tentang tatacara dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi
dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis (Bioremediasi) yang
juga mencantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan menggunakan
mikroba lokal.
Pada dasarnya, pengolahan secara biologi dalam pengendalian
pencemaran air, termasuk upaya bioremediasi, dengan memanfaatkan bakteri
bukan hal baru namun telah memainkan peran sentral dalam pengolahan limbah
konvensional sejak tahun 1900-an (Mara & Dunchan, 2003). Saat ini,
bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang mengandung
senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi dan biasanya dihubungkan
dengan kegiatan industri, antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon,
dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida
(Tortora, 2010), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat pada
perairan tergenang (Great Lakes Bio Systems. Inc. Co Orb-3.com/).
Pengembangan IPTEK dalam bioremediasi untuk detoksifikasi atau menurunkan
polutan dalam pengendalian pencemaran air telah menjadikan metoda ini
menjadi lebih menguntungkan dibandingkan dengan metoda yang menggunakan
bahan kimia. Bahkan, saat ini, flokulan umum yang berbahan baku Alum untuk
menurunkan bahan pencemar air sungai telah bisa digantikan dengan
bioflokulan yang mikroorganismanya diisolasi dari proses lumpur aktif dan
diketahui dapat menurunkan turbiditi sebesar 84-94%). Selain itu, kehandalan
mikroba termasuk diantaranya bakteri, jamur, dan protozoa dalam pengolahan
air limbah dan peranannya dalam menjaga keseimbangan ekologis perairan
sudah banyak dielaborasi (Hamdiyati, 2013).
Lebih lanjut mikroorganisme yang digunakan biasanya yang menempel,
mikroorganisme ini keberadaannya menempel pada suatu permukaan misalnya
pada batuan ataupun tanaman air. Selanjutnya diaplikasikan pada Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPA) misalnya dengan sistem trickling filter. Selama
pengolahan aerobik air limbah domestik, genus bakteri yang sering ditemukan
berupa Gram-negatif berbentuk batang heterotrofik organisme, termasuk
Zooglea, Pseudomonas, Chromobacter, Achromobacter, Alcaligenes dan
Flavobacterium. Filamentous bakteri seperti genera Beggiatoa, Thiotrix dan
Sphaerotilus juga ditemukan dalam biofilm, sebagaimana organisme seperti
genera Beggiatoa, Thiotrix dan Sphaerotilus juga ditemukan dalam biofilm,
sebagaimana organisme seperti Nitrosomonas dan nitrifikasi Nitrobacter.
(Priadie, 2012)
Gambar 3. Proses self-purification di sungai yang diadopsi pada IPAL
penduduk (Mudrack and Kunst, 1986; dalam Paul Lessard and Yann Le Bihan,
2003)

b. Bioremediasi Logam Timbal (Pb) Dalam Tanah


Pada tahun 90-an, penanganan dan pengelolaan limbah padat di industri
kertas umumnya dibuang secara timbunan terbuka (open dumping) di lokasi
sekitar pabrik. Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 33
Tahun 2009 (pasal 3) tentang Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun menyatakan bahwa penanggungjawab
usaha atau kegiatan wajib melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah
bahan berbahaya dan beracun yang diakibatkan dari usaha atau kegiatannya.
Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemulihan lahan terkontaminasi limbah
bahan berbahaya dan beracun. Salah satunya limbah bahan berbahaya dan
beracun tersebut adalah timbal (Pb) yang dihasilkan oleh kegiatan industri kertas
proses deinking. Logam Pb merupakan logam berat yang sangat beracun dan
tidak dibutuhkan oleh manusia, sehingga bila makanan tercemar oleh logam
tersebut, tubuh akan mengeluarkannya. Di dalam tubuh manusia, logam Pb bisa
menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb)
dan sebagian kecil logam Pb dieksresikan lewat urin atau feses karena sebagian
terikat oleh protein, sedangkan sebagian lagi terakumulasi dalam ginjal, hati,
kuku, jaringan lemak, dan rambut. Salah satu pilihan untuk mengatasi masalah
kontaminasi oleh logam Pb adalah bioremediasi menggunakan mikroba
(Suhendrayatna. Tindakan remediasi perlu dilakukan agar lahan yang tercemar
dapat digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman.
Laju degradasi mikroba terhadap logam berat tergantung pada beberapa
faktor, yaitu aktivitas mikroba, nutrisi, derajat keasaman dan faktor lingkungan
(Donlon, 2006). Teknologi bioremediasi ada dua jenis, yaitu ex-situ dan in situ.
Ex-situ adalah pengelolaan yang meliputi pemindahan secara fisik bahan-bahan
yang terkontaminasi ke suatu lokasi untuk penanganan lebih lanjut (Vidali,
2001). Penggunaan bioreaktor, pengolahan lahan (landfarming), pengkomposan
dan beberapa bentuk perlakuan fase padat lainnya adalah contoh dari teknologi
ex-situ, sedangkan teknologi in situ adalah perlakuan yang langsung diterapkan
pada bahan-bahan kontaminan di lokasi tercemar (Vidali, 2001). Tanah
terkontaminasi logam Pb dapat dipulihkan dengan proses bioremediasi. Hal ini
ditunjukkan dari kemampuan mikroba untuk mengubah logam yang semula aktif
menjadi tidak aktif, (Sugesti, dkk., 2011)

c. Peranan Mikroba Tanah Pada Kegiatan Rehabilitasi Lahan Bekas


Tambang
Sesungguhnya apabila lingkungan memadai maka proses bioremediasi
dapat berlangsung dengan sendirinya di alam (intrinsic bioremediation) karena
lingkungan mempunyai kemam-puan untuk memulihkan dirinya sendiri, yang
dikenal sebagai daya lenting. Na-mun pada lahan bekas tambang yang te-lah
mengalami tingkat degradasi yang tinggi, kecepatan untuk memulihkan diri jauh
lebih lambat dari kecepatan akumu-lasi logam, maka campur tangan manusia
diperlukan supaya lingkungan mampu mendukung berlangsungnya proses biore-
mediasi. Proses bioremediasi yang meli-batkan upaya manusia disebut engineered
bioremediation (Anas, 1997). Engineer-ed bioremediation dapat dilakukan mela-
lui dua cara, nutrient amendment dan bio-augmentation, yaitu perbaikan unsur
hara supaya cukup dan seimbang (sufficient and ballance) dan pemberian
inokulum mikroba fungsional dengan jenis dan jumlah yang memadai untuk
berlang-sungnya suatu proses bioremediasi. Nutrient amendment perlu dilakukan
untuk memperbaiki ketersediaan unsur-unsur hara. Seperti halnya organisme la-in
yang lebih tinggi, mikroba juga me-merlukan unsur-unsur hara makro dan mikro
untuk pertumbuhannya. Keterse-diaan unsur hara sangat diperlukan oleh mikroba
untuk menyusun sel-sel tubuh-nya, sebagai aktivator enzim dan sebagai aseptor
elektron dalam proses respirasi. Karena aplikasi bioremediasi di la-pangan sangat
tergantung pada sifat fisik dan kimia lingkungan maka faktor-faktor kebutuhan
oksigen atau sumber energi, pH, ketersediaan sumber karbon, kadar air, dan suhu
lingkungan harus diperhati-kan sebab faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi
aktivitas mikroba yang di-pekerjakan. Masing-masing mikroba me-merlukan
kebutuhan lingkungan yang spesifik. Dengan perbaikan-perbaikan faktor
lingkungan pada lahan bekas tambang di-harapkan lahan tersebut cocok untuk
mendukung pertumbuhan mikroba yang mampu melakukan proses bioremediasi
sehingga pada lahan tersebut akan terjadi suksesi kolonisasi oleh mikroba. Namun
demikian, apabila perbaikan lingkungan sudah dilakukan tetapi proses bioremedi-
asi tidak terjadi maka perlu dilakukan inokulasi mikroba yang diperlukan (bio-
augmentasi) (Widyati, 2008).

d. Bioremediasi Limbah Cair


Teknologi remediasi ini diterapkan untuk melenyapkan bahan pencemar
kontaminasi perairan. Perangkat bioremediasi yang digunakan dapat berupa
gabungan beberapa reaktor yang saling berhubungan satu sama lain atau terdiri
dari bioreaktor tunggal (sequencing bath reactor/SBR). Prinsip kerja SBR adalah
sistem curah (bath). Metodenya dilakukan dengan menambahkan bahan
pencemar ke dalam suatu bioreaktor tunggal yang telah berisi medium cair
untuk pertumbuhan mikroba. Kultur mikroba yang digunakan adalah kultur
campur. Proses degradasi bahan pencemar berlangsung secara suksesi hingga
satu siklus degradasi lengkap selesai (Almuthmaina, 2013).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi
bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi
bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan
air).
b. Jenis-jenis bioremediasi meliputi :
Bioremediasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu :
1) Biostimulasi, yaitu memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan
mikroba yang sudah ada di daerah tercemar dengan cara memberikan
lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrien
dan oksigen.
2) Bioaugmentasi, yaitu penambahan produk mikroba komersial ke
dalam limbah cair untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan
limbah secara biologi.
3) Bioremediasi Intrinsik, terjadi secara alami di dalam air atau tanah
yang tercemar.
Bioremediasi berdasarkan lokasi, meliputi :
1) In situ, yaitu dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar (
proses bioremediasi yang digunakan berada pada tempat lokasi
limbah tersebut).
2) Ex situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil
limbah tersebut lalu ditreatment ditempat lain, setelah itu baru
dikembalikan ke tempat asal.
3.2 Saran
Penyusun menyarankan agar makalah ini dapat digunakan sebaik-baiknya
serta kita harus bisa menjaga lingkungan dengan baik dengan cara membuang
sampah pada tempatnya. Lingkungan merupakan tempat kita yang harus
dilestarikan dan dijaga. Karena hal tersebut juga bisa bermanfaat untuk manusia.
DAFTAR ISI

Almuthmainah. 2013. Pengolahan Limbah Cair Dengan Bioremediasi.


Universitas Indonesia. Tesis.
Anas, I. 1997. Polusi dan Bioremediasi Tanah. Diktat Kuliah Bioteknologi Tanah.
Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan).
Donlon, D.L. dan Bauder, J.W. A General Essay on Bioremediation of
Contaminated Soil,
http://waterquality.montana.edu/docs/methane/Donlan.shtml, diakses: 18
November 2019.
Widyati E. 2008. Peranan mikroba tanah pada kegiatan rahabilitasi lahan bekas
tambang
(Roles of Soil Microbes in Ex-Mining Land Rehabilitation). Vol. V No. 2 :
151-160, 2008. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Hamdiyati Yanti. 2013. Mikrobiologi Lingkungan (Mikrobiologi Tanah Dan
Mikrobiologi Air). Jakarta: Saliwa.
Mara, Duncan and Horan,N.J, 2003 Handbook of water and wastewater
microbiology, ISBN 0-12-470100-0. Elsevier
Munir Erman. 2006. Pemafaatan Mikroba Dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi
Alternative Untuk Pelestarian Lingkungan. Universitas Sumatra Utara.
Pidato pengukuhan guru besar.
Priadie Bambang. 2012. Teknik Bioremediasi Sebagai Alternative Dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air. Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pasca Sarjana UNDIP. Volume 10, Issue 1: 38-48 (2012)
Sugesti, dkk. 2011. Bioremediasi Logam Timbal (Pb) Dalam Tanah
Terkontaminasi Limbah Sludge Industri Kertas Proses Deinking. Balai
Besar Pulp dan Kertas. Jurnal Selulosa, Vol. 1, No. 1, Juni 2011 : 31 – 41.
Tortora Gerard J. et al. 1992. Microbiology an Introduction. Fourth Ed. The
Benjamin
Cummings Publishing Company, Inc.
Vidali, M. 2001. Bioremediation. An overview. Pure Appl. Chem., Vol. 73, pp.
1163-1172.

Anda mungkin juga menyukai