A. Pendahuluan
Hampir setiap pembicaraan mengenai peningkatan mutu
pendidikan tidak terlepas dari persoalan kinerja tenaga kependidikan,
khususnya guru. Hal ini karena guru merupakan pihak terdepan yang
secara langsung menentukan dalam proses pembelajaran di kelas yang
pada gilirannya mempengaruhi hasil pendidikan. Karena itu, semakin baik
kinerja guru di kelas semakin baik hasil pendidikan.
Walaupun disadari pentingnya peningkatan kinerja guru, berbagai
fakta menunjukkan bahwa kinerja guru belum menunjukkan tanda-tanda
yang menggembirakan. Penelitian pada guru mata pelajaran umum
menunjukkan bahwa kinerja guru masih berada pada level sedang.
Penelitian Abdullah (2001) pada guru pendidikan agama Islam di Kota
Makassar juga menunjukkan kinerja guru yang tergolong sedang. Dengan
berdasar pada temuan-temuan penelitian tersebut kiranya masih sulit
diharapkan peningkatan kualitas pendidikan secara maksimal.
Di luar faktor-faktor rendahnya mutu sumber daya guru,
pembinaan dalam jabatan memegang peranan penting bagi peningkatan
kinerja guru. Pembinaan dalam jabatan berkaitan dengan layanan
manajemen pendidikan. Hal ini berarti manajemen pendidikan memegang
peranan penting dalam meningkatkan kinerja guru. Salah satu fungsi
manajemen adalah mengembangkan sumberdaya manusia. Dengan
demikian, manajemen pendidikan yang efektif dan efisien memberikan
peluang bagi tumbuh dan berkembangnya SDM pendidikan, termasuk
peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Manajemen pendidikan dirumuskan sebagai upaya
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan guna mencapai tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien. Tilaar (1999) mengemukakan pengertian
manajemen yaitu: “berbagai usaha untuk mewujudkan visi, misi dan
program dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.” Dari kedua
pengertian tersebut, paling tidak manajemen pendidikan mengandung
unsur-unsur berikut.
1. Mempunyai visi dan misi yang jelas.
2. Mempunyai seperangkat strategi untuk mewujudkan rencana yang
telah disepakati.
3. Mempunyai rencana, baik jangka panjang, menengah, jangka pendek
yang disusun secara rapih dan terarah.
4. Suatu organisasi yang dinamis untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan.
5. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Kelima unsur manajemen pendidikan tersebut memiliki kesesuaian
dengan ikhtiar peningkatan kinerja guru. Manajemen pendidikan yang
berorientasi pada peningkatan kinerja guru adalah manajemen yang
memiliki visi, misi, strategi dan program pembinaan profesional guru bagi
pencapaian secara maksimal tujuan pembelajaran pada khususnya dan
tujuan pendidikan pada umumnya.
Berdasarkan hal tersebut maka ada tiga pilar utama layanan
manajemen pendidikan yang perlu diperkuat dalam manajemen sistem
pendidikan nasional. Ketiga pilar tersebut adalah kepemimpinan, birokrasi
yang profesional, dan supervisi pendidikan. Ketiga pilar tersebut
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 9.1 Tiga Pilar Utama Layanan Manajemen Pendidikan
E. Penutup
Optimalisasi pelayanan manajemen dalam meningkatkan kinerja
guru terkait dengan tiga pilar manajemen: kepemimpinan, birokrasi dan
supervisi pendidikan. Pembenahan terhadap ketiga dimensi tersebut
diharapkan dapat memperbaiki kinerja tenaga kependidikan dan kinerja
sistem pendidikan nasional pada umumnya. Guna memperkuat ketiga
pilar layanan manajemen tersebut maka disarankan: (1) perlunya kebijakan
otonomi daerah memberikan ruang bagi penguatan peran sekolah dalam
mengembangkan sistem kepemimpinan, birokrasi dan supervisi
pendidikan dan (2) perlunya rekrutmen kepala sekolah dan pengawas
pendidikan didasarkan pada kompetensi, lebih dari persyaratan-
persyaratan lainnya.
PERANAN GURU DALAM MENGANTISIPASI
TANTANGAN PENDIDIKAN MASA DEPAN
A. Pendahuluan
Dari zaman ke zaman, guru telah menunjukkan peranannya dalam
penyelenggaraan pembangunan nasional, khususnya di bidang
pendidikan. Kalangan ahli pendidikan dan para ekonom menggambarkan
peranan guru itu dalam kerangka teori modal manusia. Menurut teori itu,
pendidikan (dan guru) memberikan sumbangan yang sangat penting bagi
peningkatan kesejahteraan individu dan masyarakat. Dari segi individu,
pendidikan telah secara nyata memberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan dan taraf hidup seseorang. Dari segi masyarakat, berbagai
bukti juga menunjukkan adanya kaitan antara tingkat pendidikan rata-rata
penduduk dengan penghasilan/pendapatan suatu negara.
Berdasarkan berbagai fakta pula, para sosiolog pendidikan
menempatkan guru dan dunia pendidikan pada umumnya dalam posisi
sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Dalam peranan itu, keberadaan
guru diharapkan membantu memecahkan berbagai masalah dan tantangan
yang dihadapi oleh individu dan masyarakat.
Dalam beberapa tahun yang akan datang misalnya, masyarakat
Indonesia dihadapkan oleh berbagai tantangan terutama yang bersumber
dari perubahan sosial yang berlangsung cepat seiring dengan datangnya
abad 21. Beberapa perubahan itu bahkan telah terbaca sejak sekarang. Dari
sisi ekonomi misalnya, pada tingkat ASEAN, telah disepakati kawasan
perdagangan bebas (At PA) yang berlaku sejak 2003. Sementara itu, pada
tingkat Asia Pasifik, APEC telah menyepakati kawasan perdagangan bebas
pada 2020. Kedua bentuk kesepakatan ini mengiringi gerakan globalisasi
dunia.
Tantangan lainnya bersumber dari kemajuan teknologi. Abad 21
diyakini membawa berbagai perubahan melalui temuan-temuan piranti
teknologi bam yang lebih canggih. Sebagai akibat-nya, terjadi globalisasi
informasi yang berlangsung cepat.
Dunia pendidikan sangat merasakan dampak positif dari
perkembangan teknologi itu. Dengan bantuan teknologi, peristiwa
pembelajaran dapat berlangsung antar sekolah/PT, bahkan antar-negara.
Dalam sekejap, seseorang dapat mengakses informasi dari berbagai
belahan dunia.
Perubahan sosial, ekonomi dan teknologi itu membawa konsekuensi
terhadap dunia pendidikan dalam mempersiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas untuk menghadapi perubahan-perubahan itu. Perlunya
penyiapan sumber daya manusia, juga didorong oleh adanya kesenjangan
mutu pendidikan antara negara maju dan negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Hasil studi menunjukkan adanya perbedaan dari segi
lama waktu belajar dan hasil belajar siswa antara negara berkembang dan
negara maju. Menurut studi yang dimaksud, negara-negara berkembang
membutuhkan waktu belajar lebih lama dibandingkan dengan negara
industri maju dengan perbandingan 3:1, padahal hasilnya hanya 48 persen
untuk pelajaran membaca dan 50 persen dalam pelajaran ilmu pengetahuan
(Yahya, 1996). Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan itu antara lain
adalah rendahnya mutu anak saat masuk sekolah dan sedikitnya jam
belajar para siswa yaitu sekitar 50 persen dari jam belajar di negara-negara
maju.
Guru sebagai salah satu komponen sistem pendidikan mempunyai
peran yang sangat penting bagi terciptanya tenaga terdidik dan terampil
yang dibutuhkan dalam pembangunan nasional. Untuk itu perlu dilakukan
peninjauan kembali terhadap kompetensi profesional guru dalam
mengantisipasi tantangan pendidikan di masa depan.
B. Guru Sebagai Pusat Pembaharuan
Guru berperanan penting dalam proses pembaharuan pendidikan.
Murphy (1992) bahkan menempatkan guru sebagai pemimpin
pembelajaran daripada sekedar fasilitator. Posisi sebagai pemimpin
mengandung makna bahwa guru merupakan pusat inisiatif pembelajaran
dan karenanya lebih banyak mengembangkan diri secara mandiri dan tidak
lagi terlalu tergantung pada inisiatif kepala sekolah dan supervisor seperti
yang masih banyak terjadi saat ini. Perubahan-perubahan berlangsung
dengan cepat, dan karenanya guru dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai perkembangan di bidang keahliannya.
Kedudukan guru sebagai pemimpin secara jelas dapat dilihat pada
Gambar 10. 1. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat
pendidikan pada tingkat kabupaten/kota berperan sebagai pembina,
orangtua sebagai mitra, kepala sekolah sebagai fasilitator, dan siswa
sebagai pebelajar.
Pentingnya pembaharuan yang terpusat pada komponen guru juga
didasarkan pada kondisi tenaga guru di Indonesia. Data menunjukkan
bahwa kualifikasi tenaga guru belum seperti yang diharapkan. Sebagian
besar guru sekolah dasar masih berkualifikasi pendidikan SPG atau
sederajat
Kemampuan Profesional
Kemampuan profesional adalah kemampuan inti yang harus
dimiliki oleh seorang guru. Kemampuan profesional itulah yang
membedakan profesi guru dengan profesi lainnya. Kemampuan ini pula
yang mengarahkan tingkah laku seorang guru. Bidang-bidang kemampuan
profesional guru dikemukakan pada Gambar 10. 2.
Pengelolaan Kelas
1. Mendemonstrasikan teknik pengelolaan kelas secara rutin
2. Mempertahankan perilaku kelas yang diinginkan
Pengajaran
3. Memfokuskan dan menjaga perhatian siswa terhadap pelajaran
Keterampilan Pendukung
Sikap profesional berkaitan dengan adanya dukungan kemampuan
lain seperti kemampuan berpikir meta, kemampuan melaksanakan
penelitian kelas bagi perbaikan pembelajaran, kemampuan menggunakan
teknologi informasi, dan penguasaan bahasa internasional (Arismunandar,
1997). Keempat kemampuan tersebut dijelaskan berikut ini.
1. Kemampuan berpikir meta
Salah satu karakteristik pembelajaran yang menonjol di masa depan
adalah penggunaan metode yang merangsang kemampuan berpikir siswa
(kritis, kreatif dan abstrak). Karena itu, guru di masa depan perlu
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Secara sempit, berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan menilai
keakuratan suatu pernyataan, sedangkan berpikir kreatif adalah
kemampuan mengombinasikan ide-ide lama menjadi ide-ide baru untuk
mencapai tujuan (Marzano, et al., 1988). Beberapa strategi pembelajaran
mempersyaratkan kedua kemampuan berpikir tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya kemampuan berpikir
bagi guru. Hasil studi yang dilakukan oleh Seng (1991) menunjukkan
bahwa guru yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif mampu
menghasilkan ide-ide barn bagi pembelajaran. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa guru laki-laki lebih kreatif dibanding guru wanita.
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa guru yang tingkat
perkembangan kognitifnya tinggi, akan berpikir lebih abstrak, imajinatif,
kreatif, dan demokratis (Sahertian 1992). Kemampuan itu sangat
dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang terpusat pada aktivitas siswa.
Penelitian Glassberg (1979) yang dikutip oleh Sahertian, menyimpulkan
bahwa guru yang tingkat berpikir abstraknya tinggi memiliki daya
adaptasi dan gaya mengajar yang lebih fleksibel serta lebih efektif
mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa di kelas.
2. Kemampuan melaksanakan penelitian kelas
Penelitian bertujuan untuk menemukan dan menguji teori-teori.
Dalam konteks pengajaran di kelas, penelitian diharapkan mampu
menemukan solusi terhadap masalah-masalah pembelajaran yang
dihadapi guru dan siswa. Dilihat dari kepentingan guru, penelitian kelas
bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pengajarannya dan secara
administratif hasil penelitian itu dapat digunakan oleh guru untuk
kenaikan pangkat.
Penelitian kelas meliputi empat tahapan utama, yaitu: (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi/evaluasi, dan (4) refleksi (Tiro,
1997). Perencanaan meliputi kegiatan perumusan masalah berkaitan
dengan upaya perbaikan terhadap keadaan pengajaran yang ada,
penentuan strategi untuk memecahkan masalah, dan prosedur observasi/
evaluasi.
Tahap pelaksanaan berupa penerapan strategi pengajaran yang
digunakan dan bersamaan dengan itu dilakukan observasi dan evaluasi
mengenai keberhasilan strategi yang diterapkan. Tahap refleksi meliputi
pemberian kesempatan kepada siswa dan juga guru untuk mengemukakan
kesannya mengenai strategi yang telah diterapkan dan merencanakan
perbaikan pada siklus penelitian selanjutnya.
3. Kemampuan menggunakan teknologi informasi
Karakteristik penting abad 21 adalah semakin canggihnya teknologi
informasi. Dunia pendidikan harus mengadaptasikan diri terhadap
perkembangan itu melalui pemanfaatan perangkat teknologi informasi
untuk memudahkan “pembelajaran.
Sampai saat ini telah banyak perangkat teknologi informasi yang
digunakan dalam pembelajaran, seperti alat pandang-dengar. Teknologi
yang paling mutakhir digunakan di dunia pendidikan adalah internet dan
video conference.
Semakin massalnya penggunaan teknologi informasi ini,
menyebabkan guru perlu menguasai berbagai teknologi, khususnya yang
sudah sering digunakan di dunia pendidikan.
4. Kemampuan dalam bahasa internasional
Kemampuan atau penguasaan bahasa internasional oleh guru
maupun dosen di Indonesia masih sangat rendah. Hal yang sama juga
terjadi pada siswa. Menurut Malik (1996) dengan hanya empat jam
pertemuan dalam satu minggu (kurang dari 10 persen), dipandang tidak
cukup memadai untuk mempelajari bahasa asing seperti halnya bahasa
Inggris.
Globalisasi mempersyaratkan penguasaan bahasa internasional,
khususnya bahasa Inggris. Banyak bahan-bahan pelajaran diterbitkan
dalam bahasa Inggris. Demikian pula berbagai program komputer yang
beredar di Indonesia, pada umumnya menggunakan bahasa Inggris.
Karena itu guru perlu lebih akrab dengan bahasa-bahasa internasional.
Di samping keempat faktor tersebut beberapa faktor pendukung
lainnya yaitu: (1) perlunya dikurangi birokrasi dan kontrol bagi guru, dan
sebaliknya pemberian otonomi profesi yang lebih besar; (2) perlunya
diciptakan standar yang ketat bagi lulusan sekolah menengah yang akan
menjadi guru, dan (3) perlunya pendidikan dalam jabatan (in-service
training) yang permanen bagi guru.
Wayson, et al., (1988) mengemukakan hal-hal penting dalam
mendukung profesi guru, yaitu: (1) peningkatan gaji guru agar lebih
kompetitif dengan profesi lainnya, (2) pemberian beasiswa kepada siswa
sekolah menengah yang layak untuk menjadi guru, dan (3)
pembebastugasan guru dari pekerjaan non pengajaran.
D. Penutup
Masa depan pembangunan di Indonesia memberikan harapan
sekaligus tantangan. Dalam situasi demikian, dunia pendidikan,
khususnya guru perlu melakukan langkah-langkah persiapan untuk
menghadapi tantangan tersebut. Di atas semuanya, guru perlu melakukan
berbagai usaha secara terus-menerus dalam meningkatkan kemampuan.
Arah dari semua itu adalah untuk menciptakan sosok guru masa depan
yaitu “guru profesional plus”.
STRES KERJA TENAGA PENGAJAR: SUMBER-SUMBER
DAN STRATEGI PENGELOLAAN
A. Pendahuluan
Dalam satu dasawarsa terakhir semakin berkembang minat di
kalangan ahli berbagai disiplin ilmu untuk mengkaji fenomena stres kerja.
Hal itu disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga alasan. Pertama, stres
kerja merupakan gejala alamiah yang sulit dihindarkan oleh individu
karena hampir semua kondisi kerja dapat menyebabkan stres (Keita &
Jones, 1990).
Kedua, dibandingkan dengan faktor lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial, faktor lingkungan kerja memberikan sumbangan yang
lebih besar terhadap stres hidup yang dialami individu (Baron &
Greenberg, 1990). Begitu pentingnya faktor itu, sehingga bisa membawa
pengaruh negatif terhadap kehidupan keluarga individu (Fletcher, 1993).
Ketiga, dan paling penting, kenyataan bahwa stres kerja membawa
dampak negatif bagi individu dan manajemen. Bagi individu, stres
merupakan salah satu faktor pengganggu keseimbangan psikologis dan
biologis (Dua, 1994). Secara psikis, hasil penelitian menunjukkan bahwa
peristiwa hidup yang menekan berkaitan dengan gejala kecemasan dan
depresi (Afzalur, 1996). Stres juga menyebabkan timbulnya kegelisahan,
ketegangan, dan ketidakstabilan emosi individu (Davis & Newstroom,
1989). Secara biologis, stres kerja berdampak negatif bagi kesehatan fisik
berupa munculnya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, penyempitan
pembuluh darah, dan diabetes (Baron & Greenberg, 1990).
Dampak stres yang bersifat individual lainnya muncul dalam
bentuk perilaku. Hal ini tampak melalui gejala-gejala yang dialami
individu, seperti kehilangan nafsu makan atau terlalu banyak makan,
kesulitan tidur, menjadi perokok dan peminum alkohol, dan
penyalahgunaan obat-obatan (Atkinson, 1990). Selain itu, stres
menyebabkan munculnya perasaan ketidakmampuan bersantai,
ketidakmampuan bekerja sama, dan ketidakmampuan mengatasi masalah
(Davis & Newstrom, 1989).
Dari segi manajemen, stres kerja berpengaruh terhadap kinerja,
produktivitas, dan semangat kerja individu (Robbins, 1990). Stres kerja juga
membawa kerugian finansial yang cukup besar, berupa kehilangan
penghasilan, biaya program pencegahan, penurunan produktivitas, biaya
penggantian pekerja, cuti sakit, premi asuransi, pengunduran diri lebih
dini, kehilangan klien, pencurian, dan sabotase (Mitchell & Larson, Jr.,
1987).
Ketiga alasan tersebut juga mendasari pentingnya kajian stres kerja
tenaga pengajar, khususnya guru dan dosen. Beberapa temuan penelitian
menunjukkan bahwa guru mengalami stres yang bersumber dari
lingkungan kerjanya (Borg & Riding, 1993; Fontana & Aboserie, 1993; Smith
& Bourke, 1992). Temuan Borg dan Riding misalnya, mengungkapkan
sebanyak 16,5 persen guru menyatakan pekerjaannya sangat menekan, 47,2
persen yang menyatakan sedang, 30,7 persen yang menyatakan agak
menekan, dan hanya 5,7 persen yang menyatakan pekerjaannya tidak
menekan. Fontana dan Abouserie (1993) malahan menemukan bahwa 23,2
persen dari sampel guru SD dan sekolah menengah mengalami stres yang
serius, 72,6 persen sampel guru mengalami stres sedang, dan hanya 4,2
persen guru yang tidak mengalami stres.
Penelitian terhadap populasi guru (SD, SLTP dan SMU) di Sulawesi
Selatan menemukan angka persentase guru yang mengalami stres serius
(tinggi dan sangat tinggi) lebih besar, yaitu 30,27 persen, sedangkan guru
yang mengalami stres kerja sedang sebesar 48,11 persen dan yang
mengalami stres kerja kurang serius hanya 21,62 persen (Arismunandar,
1997). Persentase guru yang mengalami stres kerja serius itu memunculkan
penafsiran bahwa rata-rata satu dari tiga guru mengalami stres kerja yang
serius.
Besarnya persentase guru yang mengalami stres kerja serius dalam
penelitian tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Data mengenai
penderita gangguan jiwa (berat) yang dialami oleh guru di beberapa daerah
di Indonesia justru lebih memprihatinkan. Data 1996 mengenai pasien
rawat inap di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lawang, Kabupaten Malang
misalnya, mengungkapkan bahwa dari 82 orang pasien rawat inap RSJ
Lawang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sebanyak 45 orang (54,9
persen) yang berprofesi guru, sedangkan 37 orang (45,1 persen) lainnya
berasal dari berbagai bidang pekerjaan, antara lain: kesehatan,
perhubungan, dan pemerintahan daerah (Sub Bagian Tata Usaha Rumah
Sakit Jiwa Pusat Lawang, 1997). Dari sumber yang sama juga diketahui
bahwa sebagian besar pasien guru itu berprofesi sebagai guru SD.
Data lainnya menunjukkan kebanyakan pasien gangguan jiwa yang
berobat di Rumah Sakit Jiwa Jakarta adalah pegawai negeri dan sebagian
besar di antaranya adalah guru (“Pasien Gangguan,” 1993). Kondisi yang
lebih memprihatinkan terjadi di propinsi lain. Di Jawa Barat, diperkirakan
30 persen guru sekolah negeri dan swasta mengidap gangguan jiwa,
sementara di Jawa Tengah diperkirakan 40 persen guru mengalami
gangguan jiwa (“Ciptakan Rasa, 1993).
Meskipun tidak sebesar resiko stres yang dialami oleh guru,
fenomena stres kerja di kalangan dosen juga perlu mendapat perhatian.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa para dosen mengalami stres yang
disebabkan oleh faktor pekerjaannya (Dua, 1994; Gmelch & Bum, 1993).
Salah satu temuan penelitian bahkan menunjukkan sebanyak 13 stresor
potensial dosen dinilai serius oleh lebih dari 40 persen responden (Gmelch
& Bums, 1993).
Dari berbagai bukti empiris yang telah dikemukakan, tampak bahwa
profesi tenaga pengajar rentan terhadap stres kerja. Hal itu berbeda dengan
anggapan umum yang menyatakan bahwa profesi tenaga pengajar, seperti
profesor, kurang mengalami stres karena mereka lebih dapat mengontrol
pekerjaannya, dibandingkan dengan pekerjaan sebagai buruh kasar atau
sekretaris (Mondy & Noe, 1987). Ada beberapa penyebab rentannya guru
dan dosen terhadap stres, yaitu beban kerja yang berlebihan, tugas-tugas
yang bersifat repetitif, dan tanggung jawab yang besar bagi keberhasilan
peserta didiknya.
Kenyataan tersebut membawa implikasi praktis dan teoretis
terhadap perlunya diketahui sumber-sumber atau faktor stres (stresor)
tenaga pengajar. Pengetahuan terhadap stresor kerja akan membantu
individu dalam mengelola stres kerja mereka.
E. Penutup
Sebagai penutup, disimpulkan sebagai berikut. Pertama, situasi dan
kondisi pengajaran mempunyai potensi membuat guru dan dosen
mengalami stres. Kedua, karakteristik individu dan karakteristik
lingkungan berkaitan dengan stres kerja tenaga pengajar. Ketiga, terdapat
beberapa strategi pengelolaan stres, tetapi pilihan strategi pengelolaan
tergantung pada kemampuan individu mengontrol situasi atau kondisi
yang menjadi penyebab stres.
Dari uraian ini pula, disarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama,
untuk menghindari akibat yang lebih serius, para guru dan dosen perlu
menemukenali sumber-sumber stres kerjanya dan memilih strategi
pengelolaan yang tepat untuk mencegah dan mengatasi stres. Kedua, kepala
sekolah, pimpinan perguruan tinggi, dan jajaran pembina tenaga pengajar
pada umumnya perlu mengambil langkah-langkah organisasi yang tepat
guna membantu guru dan dosen mengelola stresnya. Ketiga, organisasi
profesi guru, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), seyogianya
lebih meningkatkan perhatian dan usahanya ke arah perbaikan situasi kerja
guru dan dosen di Indonesia.