Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt karena


rahmat-Nya jualah sehingga buku ini dapat terbit lagi sebagai cetakan
kedua (cetakan pertama, 2005) dan berada di hadapan pembaca.
Buku ini disusun sebagai penyikapan penulis atas dinamika
perubahan yang terjadi di bidang manajemen pendidikan di Indonesia.
Berbagai perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selama
sepuluh tahun terakhir ini mengilhami pikiran penulis yang dituangkan
dalam buku ini. Seperti sudah jamak terjadi, berbagai kebijakan pemerintah
di bidang pendidikan selalu memunculkan pesimisme namun tidak kurang
juga memberi harapan barn bagi perbaikan pendidikan. Itulah sebabnya
penulis memandang -tulisan dalam buku ini lebih tepat dilihat sebagai
upaya melihat peluang dan tantangan manajemen pendidikan dalam
menjawab perubahan yang terjadi di bidang pendidikan.
Pada bagian lain buku ini mengungkapkan bagaimana dinamika
manajemen tenaga kependidikan, khususnya guru di Indonesia. Dengan
memahami tulisan yang terdapat pada bagian ini, pembaca dapat melihat
sejumlah persoalan yang dihadapi dalam pembinaan tenaga kependidikan
sekaligus dapat memulai sejumlah peluang yang dapat diraih dalam
menata manajemen tenaga kependidikan di Indonesia.
Perjuangan penulis untuk melahirkan buku ini tentu saja tidak luput
dari bantuan banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tiada terhingga
kepada keluarga tercinta: istri Nuri Emmiyati yang dengan kesabaran dan
dukungannya yang membuat buku ini bisa terwujud, serta anak-anak
tercinta: Naurah Jinan, Safira Salsabila, dan Ariq Baihaki Ramadhan yang
menjadi pemicu semangat bagi penulis dalam melahirkan
buku ini. Terima kasih yang tidak terhingga juga disampaikan
kepada Dra. Deri Bangkona, M.Sc., Ph.D., Ketua Badan Penerbit UNM yang
senantiasa mendorong penulis dan bahkan menjadi penyunting buku ini.
Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah mendukung proses
penerbitan buku ini. Tanpa bantuan semua pihak, buku ini mustahil dapat
diterbitkan.
Akhirnya penulis menyadari buku ini tidak luput dari kekurangan.
Untuk itu masukan dari pembaca sangat diharapkan dalam
menyempurnakan buku ini.

Makassar, 19 Mei 2018


PENGUATAN LAYANAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
BAGI PENINGKATAN KINERJA GURU

A. Pendahuluan
Hampir setiap pembicaraan mengenai peningkatan mutu
pendidikan tidak terlepas dari persoalan kinerja tenaga kependidikan,
khususnya guru. Hal ini karena guru merupakan pihak terdepan yang
secara langsung menentukan dalam proses pembelajaran di kelas yang
pada gilirannya mempengaruhi hasil pendidikan. Karena itu, semakin baik
kinerja guru di kelas semakin baik hasil pendidikan.
Walaupun disadari pentingnya peningkatan kinerja guru, berbagai
fakta menunjukkan bahwa kinerja guru belum menunjukkan tanda-tanda
yang menggembirakan. Penelitian pada guru mata pelajaran umum
menunjukkan bahwa kinerja guru masih berada pada level sedang.
Penelitian Abdullah (2001) pada guru pendidikan agama Islam di Kota
Makassar juga menunjukkan kinerja guru yang tergolong sedang. Dengan
berdasar pada temuan-temuan penelitian tersebut kiranya masih sulit
diharapkan peningkatan kualitas pendidikan secara maksimal.
Di luar faktor-faktor rendahnya mutu sumber daya guru,
pembinaan dalam jabatan memegang peranan penting bagi peningkatan
kinerja guru. Pembinaan dalam jabatan berkaitan dengan layanan
manajemen pendidikan. Hal ini berarti manajemen pendidikan memegang
peranan penting dalam meningkatkan kinerja guru. Salah satu fungsi
manajemen adalah mengembangkan sumberdaya manusia. Dengan
demikian, manajemen pendidikan yang efektif dan efisien memberikan
peluang bagi tumbuh dan berkembangnya SDM pendidikan, termasuk
peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Manajemen pendidikan dirumuskan sebagai upaya
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan guna mencapai tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien. Tilaar (1999) mengemukakan pengertian
manajemen yaitu: “berbagai usaha untuk mewujudkan visi, misi dan
program dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.” Dari kedua
pengertian tersebut, paling tidak manajemen pendidikan mengandung
unsur-unsur berikut.
1. Mempunyai visi dan misi yang jelas.
2. Mempunyai seperangkat strategi untuk mewujudkan rencana yang
telah disepakati.
3. Mempunyai rencana, baik jangka panjang, menengah, jangka pendek
yang disusun secara rapih dan terarah.
4. Suatu organisasi yang dinamis untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan.
5. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Kelima unsur manajemen pendidikan tersebut memiliki kesesuaian
dengan ikhtiar peningkatan kinerja guru. Manajemen pendidikan yang
berorientasi pada peningkatan kinerja guru adalah manajemen yang
memiliki visi, misi, strategi dan program pembinaan profesional guru bagi
pencapaian secara maksimal tujuan pembelajaran pada khususnya dan
tujuan pendidikan pada umumnya.
Berdasarkan hal tersebut maka ada tiga pilar utama layanan
manajemen pendidikan yang perlu diperkuat dalam manajemen sistem
pendidikan nasional. Ketiga pilar tersebut adalah kepemimpinan, birokrasi
yang profesional, dan supervisi pendidikan. Ketiga pilar tersebut
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 9.1 Tiga Pilar Utama Layanan Manajemen Pendidikan

B. Kepemimpinan Sebagai Layanan Manajemen


prestasi guru dan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok menuju tercapainya tujuan (Robbins &
Coulter, 1999), Kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting dalam
fungsi manajemen. Banyak bukti empirik yang menunjukkan bahwa
kepemimpinan berdampak pada kinerja personil. Bahkan jauh sebelumnya,
De Roche (1978) mengungkapkan adanya sejumlah penelitian yang
mengungkapkan adanya hubungan antara peran kepala sekolah sebagai
pemimpin dengan produktivitas dan siswa.
Berbagai teori kepemimpinan juga menunjukkan hasil konsisten
mengenai pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja guru. Teori perilaku
kepemimpinan mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang efektif (yang
mendorong kinerja bawahan) adalah kepemimpinan yang memperhatikan
dua aspek secara bersamaan: orientasi terhadap tugas dan orientasi
terhadap manusia (Hoy & Miskel, 1987). Orientasi terhadap tugas
melahirkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, tugas yang jelas,
dan sistem komunikasi yang permanen. Orientasi terhadap manusia
melahirkan kepemimpinan kesejawatan; kemauan pemimpin
mendengarkan suara hati bawahan, memanusiakan bawahan, dan
mendorong partisipasi bawahan dalam berbagai aspek kehidupan
organisasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa penerapan kepemimpinan
partisipatif meningkatkan komitmen bawahan terhadap tugas dan pada
gilirannya meningkatkan kinerja mereka.
Dalam dunia pendidikan, kepemimpinan 9,9 (orientasi tugas baik [9]
dan orientasi manusia baik [9]) menjadi mutlak diperlukan dalam
mengoptimalkan fungsi manajemen pendidikan. Orientasi tugas
diperlukan karena tugas pendidikan adalah untuk mencapai target atau
tujuan kurikulum. Targettarget itu perlu dioperasionalisasikan dalam
bentuk petunjuk, standarisasi, dan aliran komunikasi yang jelas. Para guru
perlu dipacu untuk mencapai target-target tersebut.
Kepemimpinan yang berorientasi manusia juga diperlukan karena
peristiwa kependidikan dicirikan oleh kesejawatan yang tinggi. Guru
adalah para profesional yang preferensinya adalah kelompok sejawat atau
profesi. Guru perlu dimanusiakan, apalagi pekerjaannya adalah usaha
mulia memanusiakan anak didik. Karena itu pola pengambilan keputusan
perlu melibatkan guru dan staf lainnya karena dengan itu guru merasa
dihargai dan didengarkan.
Dalam prakteknya, masih banyak pemimpin pendidikan yang
mempraktekkan kepemimpinan yang otoriter yang hanya didorong oleh
semangat ingin dihormati dan dihargai. Padahal penghargaan dan
kehormatan tidak muncul dari gaya tukang pukul, atau gaya tukang sate
tetapi lebih disebabkan oleh kompetensi atau kapasitas kepemimpinan
yang dimiliki seseorang. Hal ini berarti bahwa kompetensi kepemimpinan
merupakan persyaratan bagi kepemimpinan yang efektif.
Dari studi mengenai sekolah unggul, Wayson, Mitchell, Pinnel &
Landis (1988) mengemukakan berbagai rekomendasi yang perlu dilakukan
dalam menjalankan peran kepemimpinan kepala sekolah yang meliputi:
1. Kepala sekolah mempraktekkan kepemimpinan yang kuat dalam
melakukan upaya-upaya pembaharuan.
2. Kepala sekolah menjadi pemimpin bagi peningkatan kualitas
pembelajaran dan pengembangan kurikulum.
3. Kepala sekolah harus memonitor kualitas pengajaran di sekolah.
4. Kepala sekolah harus menciptakan lingkungan belajar yang tertib di
sekolah.
5. Kepala sekolah harus bertindak sebagai pengembang staf.
Berdasarkan itu semua, maka tenaga kependidikan yang
menduduki posisi kepemimpinan mutlak memiliki pemahaman dan
keterampilan tentang kepemimpinan. Ini berarti bahwa pengangkatan
pemimpin pendidikan, khususnya kepala sekolah perlu mempersyaratkan
kualifikasi profesional para calon.

C. Birokrasi-Profesional Sebagai Layanan Manajemen


Pendidikan pada dasarnya pekerjaan profesional. Sebagai pekerjaan
profesional, para guru lebih tunduk pada kode etik profesional, mengacu
pada preferensi kelompok sejawat/profesi, dan pengabdian yang sebesar-
besarnya ditujukan bagi kemaslahatan anak didik (Mien).
Meskipun pekerjaan pendidikan bersifat profesional, peranan
birokrasi tetap penting. Di mana pun di dunia ini, birokrasi dalam sistem
pendidikan tetap ada. Birokrasi dianggap penting, sebagaimana konsep
Max Weber, untuk menciptakan sistem organisasi yang efisien melalui
pembagian pekerjaan dan spesialisasi, ketidakberpihakan (impersonal),
hierarki kewenangan, peraturan dan perundang-undangan, dan orientasi
karier yang jelas (Hoy & Miskel, 1987). Namun kenyataannya sistem
birokrasi pendidikan di Indonesia dipraktekkan secara berlebihan.
Menurut Tilaar (1999 f organisasi pendidikan nasional ditandai oleh
beratnya beban birokrasi. Birokrasi di tingkat pusat begitu dominan
sehingga tidak memungkinkan adanya suatu kesepakatan strategi pada
tingkat pelaksanaan. Akibatnya ialah sulit untuk mewujudkan langkah-
langkah serta usaha untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan, selain
daripada usaha untuk mewujudkan kurikulum nasional, kebijakan
nasional yang jauh dari jangkauan kehidupan masyarakat yang nyata. Ada
indikasi pada era otonomi sekarang, keruwetan birokrasi pada tingkat
pusat berpindah ke kabupaten/kota. Gejala ini tampak dalam beberapa hal
seperti kenaikan pangkat/jabatan guru yang tertunda atau sengaja
ditunda, pembayaran gaji yang sering terlambat, dan pengangkatan pejabat
pendidikan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan
pengalaman.
Pada level sekolah, praktek birokrasi yang berlebihan juga sering
terjadi. Penyebab utamanya adalah kuatnya pengaruh birokrasi
pemerintah terhadap sistem persekolahan. Pengaruh birokrasi pemerintah
dijalankan melalui peran kepala sekolah dan aparat pendidikan lainnya.
Kepala sekolah yang karena kepatuhannya terhadap aturan dan perintah
atasan terpaksa mengabaikan standar profesionalisme yang seharusnya
dijunjung tinggi. Karena itu tidak heran sering terjadi konflik antara guru
(yang cenderung berpegang pada nilai profesional) dan kepala sekolah dan
pengelola pendidikan lainnya (yang cenderung lebih berorientasi
birokrasi). Semakin tinggi derajat konflik yang terjadi semakin besar
kemungkinannya mempengaruhi kinerja guru.
Cukup banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang
menunjukkan terlalu kuatnya orientasi birokrasi dalam persekolahan dan
dalam sistem pendidikan pada umumnya. Karena itu, kebijakan otonomi
daerah dan kemudian diharapkan terjadi otonomi sekolah, dapat
memperpendek jalur birokrasi. Di samping itu diharapkan penguatan
peran organisasi profesi sebagai kelompok preferensi guru yang setia
memberikan perlindungan kepada pemangku jabatan guru.
Tilaar (1992) menekankan perlunya pendekatan birokrasi-
profesional melalui parameter dan fungsi sebagai berikut: (1) spesialisasi
horisontal, (2) pelatihan yang intensif, (3) unit-unit dasar yang lebih luas
dibandingkan unit di atas, (4) tugas kerja standar dengan otonomi
individual, supervisi oleh para profesional, dan administrasi yang prima,
(5) keputusan diambil dari bawah (bottom-up), dan (6) kekuasaan
berdasarkan kewenangan profesional. Parameter dan fungsi tersebut
selayaknya menjadi orientasi layanan birokrasi pendidikan di Indonesia.

D. Supervisi Sebagai Layanan Manajemen


Salah satu fungsi manajemen adalah pengawasan dan salah satu
dimensi pengawasan adalah pembinaan atau supervisi. Supervisi
pendidikan/pengajaran pada dasarnya bertujuan untuk membantu guru
dalam memecahkan masalah pengajaran yang dihadapi. Meskipun tujuan
supervisi itu sudah diketahui oleh pelaksana pendidikan, tetapi tampaknya
supervisi yang ideal belumlah terlaksana dengan baik. Praktek supervisi
masih sering dibelokkan sebagai alat penilaian untuk menghukum guru;
supervisi yang lebih berorientasi administrastif daripada akademik; dan
masih rendahnya frekuensi kunjungan supervisor ke sekolah. Ketiga
masalah tersebut menjadi penghambat dalam upaya peningkatan kinerja
guru.
Karena itu, upaya untuk mengoptimalkan layanan manajemen
pendidikan tidak dapat dilakukan tanpa melakukan perubahan mendasar
dalam sistem supervisi pendidikan nasional. Pertama, diperlukan upaya
strategis dalam membakukan sistem rekrutmen tenaga pengawas
SD/SLTP/SLTA pada semua jenjang dan jenis pendidikan. Untuk masa
yang akan datang hendaknya tidak dapat lagi dibenarkan pengangkatan
pengawas yang semata memperpanjang masa pensiun pejabat yang
bersangkutan meskipun tidak memiliki kualifikasi keahlian untuk itu. Para
pengawas sebaiknya diseleksi dari guru-guru pembina yang
berpengalaman ditambah dengan pendidikan khusus mengenai supervisi
pendidikan.
Kedua, perlunya dilakukan sistem pembinaan karier yang
berkelanjutan bagi tenaga pengawas itu sendiri. Tugas pengawas adalah
tugas profesional-fungsional yang karenanya perlu didudukkan sama
dengan pekerjaan profesional lainnya. Karena itu perlu ada penjenjangan
karier bagi pengawas sehingga memiliki orientasi karier masa depan yang
jelas. Selain itu diperlukan sistem pembinaan yang memadai bagi
pengawas itu sendiri. Karena jika guru disupervisi oleh pengawas, maka
semestinya ada pula pihak mensupervisi pengawas.
Ketiga, perlunya pencerahan kembali terhadap fungsi supervisi itu
sendiri sehingga tidak dengan mudah dibelokkan sebagai alat penilaian
untuk menghukum guru. Para pejabat pendidikan, kepala sekolah
pengawas dan bahkan guru sendiri perlu memahami secara benar konsepsi
supervisi. Wiles & Bondi (1996) mengemukakan paling tidak terdapat enam
konsepsi utama supervisi, yaitu: (1) supervisi sebagai kegiatan
administrasi, (2) supervisi sebagai pekerjaan kurikulum, (3) supervisi
sebagai fungsi pengajaran, (4) supervisi sebagai kegiatan hubungan
manusia, (5) supervisi sebagai manajemen dan (6) supervisi sebagai
peranan kepemimpinan. Tidak satu pun konsepsi supervisi itu yang
menyebutkan bahwa supervisi merupakan alat penilaian/hukuman.

E. Penutup
Optimalisasi pelayanan manajemen dalam meningkatkan kinerja
guru terkait dengan tiga pilar manajemen: kepemimpinan, birokrasi dan
supervisi pendidikan. Pembenahan terhadap ketiga dimensi tersebut
diharapkan dapat memperbaiki kinerja tenaga kependidikan dan kinerja
sistem pendidikan nasional pada umumnya. Guna memperkuat ketiga
pilar layanan manajemen tersebut maka disarankan: (1) perlunya kebijakan
otonomi daerah memberikan ruang bagi penguatan peran sekolah dalam
mengembangkan sistem kepemimpinan, birokrasi dan supervisi
pendidikan dan (2) perlunya rekrutmen kepala sekolah dan pengawas
pendidikan didasarkan pada kompetensi, lebih dari persyaratan-
persyaratan lainnya.
PERANAN GURU DALAM MENGANTISIPASI
TANTANGAN PENDIDIKAN MASA DEPAN

A. Pendahuluan
Dari zaman ke zaman, guru telah menunjukkan peranannya dalam
penyelenggaraan pembangunan nasional, khususnya di bidang
pendidikan. Kalangan ahli pendidikan dan para ekonom menggambarkan
peranan guru itu dalam kerangka teori modal manusia. Menurut teori itu,
pendidikan (dan guru) memberikan sumbangan yang sangat penting bagi
peningkatan kesejahteraan individu dan masyarakat. Dari segi individu,
pendidikan telah secara nyata memberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan dan taraf hidup seseorang. Dari segi masyarakat, berbagai
bukti juga menunjukkan adanya kaitan antara tingkat pendidikan rata-rata
penduduk dengan penghasilan/pendapatan suatu negara.
Berdasarkan berbagai fakta pula, para sosiolog pendidikan
menempatkan guru dan dunia pendidikan pada umumnya dalam posisi
sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Dalam peranan itu, keberadaan
guru diharapkan membantu memecahkan berbagai masalah dan tantangan
yang dihadapi oleh individu dan masyarakat.
Dalam beberapa tahun yang akan datang misalnya, masyarakat
Indonesia dihadapkan oleh berbagai tantangan terutama yang bersumber
dari perubahan sosial yang berlangsung cepat seiring dengan datangnya
abad 21. Beberapa perubahan itu bahkan telah terbaca sejak sekarang. Dari
sisi ekonomi misalnya, pada tingkat ASEAN, telah disepakati kawasan
perdagangan bebas (At PA) yang berlaku sejak 2003. Sementara itu, pada
tingkat Asia Pasifik, APEC telah menyepakati kawasan perdagangan bebas
pada 2020. Kedua bentuk kesepakatan ini mengiringi gerakan globalisasi
dunia.
Tantangan lainnya bersumber dari kemajuan teknologi. Abad 21
diyakini membawa berbagai perubahan melalui temuan-temuan piranti
teknologi bam yang lebih canggih. Sebagai akibat-nya, terjadi globalisasi
informasi yang berlangsung cepat.
Dunia pendidikan sangat merasakan dampak positif dari
perkembangan teknologi itu. Dengan bantuan teknologi, peristiwa
pembelajaran dapat berlangsung antar sekolah/PT, bahkan antar-negara.
Dalam sekejap, seseorang dapat mengakses informasi dari berbagai
belahan dunia.
Perubahan sosial, ekonomi dan teknologi itu membawa konsekuensi
terhadap dunia pendidikan dalam mempersiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas untuk menghadapi perubahan-perubahan itu. Perlunya
penyiapan sumber daya manusia, juga didorong oleh adanya kesenjangan
mutu pendidikan antara negara maju dan negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Hasil studi menunjukkan adanya perbedaan dari segi
lama waktu belajar dan hasil belajar siswa antara negara berkembang dan
negara maju. Menurut studi yang dimaksud, negara-negara berkembang
membutuhkan waktu belajar lebih lama dibandingkan dengan negara
industri maju dengan perbandingan 3:1, padahal hasilnya hanya 48 persen
untuk pelajaran membaca dan 50 persen dalam pelajaran ilmu pengetahuan
(Yahya, 1996). Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan itu antara lain
adalah rendahnya mutu anak saat masuk sekolah dan sedikitnya jam
belajar para siswa yaitu sekitar 50 persen dari jam belajar di negara-negara
maju.
Guru sebagai salah satu komponen sistem pendidikan mempunyai
peran yang sangat penting bagi terciptanya tenaga terdidik dan terampil
yang dibutuhkan dalam pembangunan nasional. Untuk itu perlu dilakukan
peninjauan kembali terhadap kompetensi profesional guru dalam
mengantisipasi tantangan pendidikan di masa depan.
B. Guru Sebagai Pusat Pembaharuan
Guru berperanan penting dalam proses pembaharuan pendidikan.
Murphy (1992) bahkan menempatkan guru sebagai pemimpin
pembelajaran daripada sekedar fasilitator. Posisi sebagai pemimpin
mengandung makna bahwa guru merupakan pusat inisiatif pembelajaran
dan karenanya lebih banyak mengembangkan diri secara mandiri dan tidak
lagi terlalu tergantung pada inisiatif kepala sekolah dan supervisor seperti
yang masih banyak terjadi saat ini. Perubahan-perubahan berlangsung
dengan cepat, dan karenanya guru dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai perkembangan di bidang keahliannya.
Kedudukan guru sebagai pemimpin secara jelas dapat dilihat pada
Gambar 10. 1. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat
pendidikan pada tingkat kabupaten/kota berperan sebagai pembina,
orangtua sebagai mitra, kepala sekolah sebagai fasilitator, dan siswa
sebagai pebelajar.
Pentingnya pembaharuan yang terpusat pada komponen guru juga
didasarkan pada kondisi tenaga guru di Indonesia. Data menunjukkan
bahwa kualifikasi tenaga guru belum seperti yang diharapkan. Sebagian
besar guru sekolah dasar masih berkualifikasi pendidikan SPG atau
sederajat

Gambar 10.1 Kerangka Pembaharuan Sekolah


(Diadaptasi dari Murphy, 1992:90)
C. Kemampuan Utama yang Perlu Dimiliki Guru
Tantangan utama dunia pendidikan di masa datang adalah
peningkatan kualitas pendidikan agar setara dengan negara-negara maju.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, maka guru sebagai pilar utama
pendidikan perlu memiliki tiga kemampuan dasar: kemampuan
profesional, sikap profesional, dan kemampuan pendukung. Jalinan ketiga
kemampuan tersebut akan membentuk sosok guru profesional plus.

Kemampuan Profesional
Kemampuan profesional adalah kemampuan inti yang harus
dimiliki oleh seorang guru. Kemampuan profesional itulah yang
membedakan profesi guru dengan profesi lainnya. Kemampuan ini pula
yang mengarahkan tingkah laku seorang guru. Bidang-bidang kemampuan
profesional guru dikemukakan pada Gambar 10. 2.

Pengelolaan Kelas
1. Mendemonstrasikan teknik pengelolaan kelas secara rutin
2. Mempertahankan perilaku kelas yang diinginkan
Pengajaran
3. Memfokuskan dan menjaga perhatian siswa terhadap pelajaran

4. Memberikan kesempatan kepada siswa mereviu dan melakukan


praktek
5. Mendemonstrasikan keterampilan bertanya
6. Menetapkan strategi untuk mengevaluasi kemajuan belajar siswa
7. Mendemonstrasikan berbagai metode mengajar
Iklim Kelas
8. Menciptakan iklim belajar yang positif
9. Meningkatkan konsep diri yang positif pada diri pebelajar (siswa)
10. Menciptakan lingkungan kelas yang positif
Gambar 10. 2 Bidang Keterampilan dan Kompetensi Guru
(Diadaptasi dari Virgilio, Teddlie & Oesher, 1991:52).
Sikap Profesional
Pemilikan kemampuan tersebut perlu ditunjang oleh sikap, antara
lain motivasi dan komitmen (Verspoor, 1989). Motivasi berkaitan dengan
dorongan melakukan sesuatu. Guru profesional adalah guru yang
senantiasa termotivasi dalam meningkatkan pembelajaran siswa.
Komitmen adalah jalinan antara loyalitas dan orientasi terhadap
pencapaian tujuan. Menarik untuk menganalisis temuan Sheerly
sebagaimana dikutip oleh Sahertian (1992) yang mengemukakan bahwa
guru yang berusia 21-25 tahun mempunyai cita-cita, aspirasi, semangat,
dan rencana hidup yang berbeda dengan mereka yang sudah berumur di
atas 50 tahun. Guru yang berusia muda sangat berambisi dalam berkarier,
dan sebaliknya, guru yang sudah lanjut usia semangatnya berkurang.

Keterampilan Pendukung
Sikap profesional berkaitan dengan adanya dukungan kemampuan
lain seperti kemampuan berpikir meta, kemampuan melaksanakan
penelitian kelas bagi perbaikan pembelajaran, kemampuan menggunakan
teknologi informasi, dan penguasaan bahasa internasional (Arismunandar,
1997). Keempat kemampuan tersebut dijelaskan berikut ini.
1. Kemampuan berpikir meta
Salah satu karakteristik pembelajaran yang menonjol di masa depan
adalah penggunaan metode yang merangsang kemampuan berpikir siswa
(kritis, kreatif dan abstrak). Karena itu, guru di masa depan perlu
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Secara sempit, berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan menilai
keakuratan suatu pernyataan, sedangkan berpikir kreatif adalah
kemampuan mengombinasikan ide-ide lama menjadi ide-ide baru untuk
mencapai tujuan (Marzano, et al., 1988). Beberapa strategi pembelajaran
mempersyaratkan kedua kemampuan berpikir tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya kemampuan berpikir
bagi guru. Hasil studi yang dilakukan oleh Seng (1991) menunjukkan
bahwa guru yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif mampu
menghasilkan ide-ide barn bagi pembelajaran. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa guru laki-laki lebih kreatif dibanding guru wanita.
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa guru yang tingkat
perkembangan kognitifnya tinggi, akan berpikir lebih abstrak, imajinatif,
kreatif, dan demokratis (Sahertian 1992). Kemampuan itu sangat
dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang terpusat pada aktivitas siswa.
Penelitian Glassberg (1979) yang dikutip oleh Sahertian, menyimpulkan
bahwa guru yang tingkat berpikir abstraknya tinggi memiliki daya
adaptasi dan gaya mengajar yang lebih fleksibel serta lebih efektif
mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa di kelas.
2. Kemampuan melaksanakan penelitian kelas
Penelitian bertujuan untuk menemukan dan menguji teori-teori.
Dalam konteks pengajaran di kelas, penelitian diharapkan mampu
menemukan solusi terhadap masalah-masalah pembelajaran yang
dihadapi guru dan siswa. Dilihat dari kepentingan guru, penelitian kelas
bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pengajarannya dan secara
administratif hasil penelitian itu dapat digunakan oleh guru untuk
kenaikan pangkat.
Penelitian kelas meliputi empat tahapan utama, yaitu: (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi/evaluasi, dan (4) refleksi (Tiro,
1997). Perencanaan meliputi kegiatan perumusan masalah berkaitan
dengan upaya perbaikan terhadap keadaan pengajaran yang ada,
penentuan strategi untuk memecahkan masalah, dan prosedur observasi/
evaluasi.
Tahap pelaksanaan berupa penerapan strategi pengajaran yang
digunakan dan bersamaan dengan itu dilakukan observasi dan evaluasi
mengenai keberhasilan strategi yang diterapkan. Tahap refleksi meliputi
pemberian kesempatan kepada siswa dan juga guru untuk mengemukakan
kesannya mengenai strategi yang telah diterapkan dan merencanakan
perbaikan pada siklus penelitian selanjutnya.
3. Kemampuan menggunakan teknologi informasi
Karakteristik penting abad 21 adalah semakin canggihnya teknologi
informasi. Dunia pendidikan harus mengadaptasikan diri terhadap
perkembangan itu melalui pemanfaatan perangkat teknologi informasi
untuk memudahkan “pembelajaran.
Sampai saat ini telah banyak perangkat teknologi informasi yang
digunakan dalam pembelajaran, seperti alat pandang-dengar. Teknologi
yang paling mutakhir digunakan di dunia pendidikan adalah internet dan
video conference.
Semakin massalnya penggunaan teknologi informasi ini,
menyebabkan guru perlu menguasai berbagai teknologi, khususnya yang
sudah sering digunakan di dunia pendidikan.
4. Kemampuan dalam bahasa internasional
Kemampuan atau penguasaan bahasa internasional oleh guru
maupun dosen di Indonesia masih sangat rendah. Hal yang sama juga
terjadi pada siswa. Menurut Malik (1996) dengan hanya empat jam
pertemuan dalam satu minggu (kurang dari 10 persen), dipandang tidak
cukup memadai untuk mempelajari bahasa asing seperti halnya bahasa
Inggris.
Globalisasi mempersyaratkan penguasaan bahasa internasional,
khususnya bahasa Inggris. Banyak bahan-bahan pelajaran diterbitkan
dalam bahasa Inggris. Demikian pula berbagai program komputer yang
beredar di Indonesia, pada umumnya menggunakan bahasa Inggris.
Karena itu guru perlu lebih akrab dengan bahasa-bahasa internasional.
Di samping keempat faktor tersebut beberapa faktor pendukung
lainnya yaitu: (1) perlunya dikurangi birokrasi dan kontrol bagi guru, dan
sebaliknya pemberian otonomi profesi yang lebih besar; (2) perlunya
diciptakan standar yang ketat bagi lulusan sekolah menengah yang akan
menjadi guru, dan (3) perlunya pendidikan dalam jabatan (in-service
training) yang permanen bagi guru.
Wayson, et al., (1988) mengemukakan hal-hal penting dalam
mendukung profesi guru, yaitu: (1) peningkatan gaji guru agar lebih
kompetitif dengan profesi lainnya, (2) pemberian beasiswa kepada siswa
sekolah menengah yang layak untuk menjadi guru, dan (3)
pembebastugasan guru dari pekerjaan non pengajaran.

D. Penutup
Masa depan pembangunan di Indonesia memberikan harapan
sekaligus tantangan. Dalam situasi demikian, dunia pendidikan,
khususnya guru perlu melakukan langkah-langkah persiapan untuk
menghadapi tantangan tersebut. Di atas semuanya, guru perlu melakukan
berbagai usaha secara terus-menerus dalam meningkatkan kemampuan.
Arah dari semua itu adalah untuk menciptakan sosok guru masa depan
yaitu “guru profesional plus”.
STRES KERJA TENAGA PENGAJAR: SUMBER-SUMBER
DAN STRATEGI PENGELOLAAN

A. Pendahuluan
Dalam satu dasawarsa terakhir semakin berkembang minat di
kalangan ahli berbagai disiplin ilmu untuk mengkaji fenomena stres kerja.
Hal itu disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga alasan. Pertama, stres
kerja merupakan gejala alamiah yang sulit dihindarkan oleh individu
karena hampir semua kondisi kerja dapat menyebabkan stres (Keita &
Jones, 1990).
Kedua, dibandingkan dengan faktor lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial, faktor lingkungan kerja memberikan sumbangan yang
lebih besar terhadap stres hidup yang dialami individu (Baron &
Greenberg, 1990). Begitu pentingnya faktor itu, sehingga bisa membawa
pengaruh negatif terhadap kehidupan keluarga individu (Fletcher, 1993).
Ketiga, dan paling penting, kenyataan bahwa stres kerja membawa
dampak negatif bagi individu dan manajemen. Bagi individu, stres
merupakan salah satu faktor pengganggu keseimbangan psikologis dan
biologis (Dua, 1994). Secara psikis, hasil penelitian menunjukkan bahwa
peristiwa hidup yang menekan berkaitan dengan gejala kecemasan dan
depresi (Afzalur, 1996). Stres juga menyebabkan timbulnya kegelisahan,
ketegangan, dan ketidakstabilan emosi individu (Davis & Newstroom,
1989). Secara biologis, stres kerja berdampak negatif bagi kesehatan fisik
berupa munculnya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, penyempitan
pembuluh darah, dan diabetes (Baron & Greenberg, 1990).
Dampak stres yang bersifat individual lainnya muncul dalam
bentuk perilaku. Hal ini tampak melalui gejala-gejala yang dialami
individu, seperti kehilangan nafsu makan atau terlalu banyak makan,
kesulitan tidur, menjadi perokok dan peminum alkohol, dan
penyalahgunaan obat-obatan (Atkinson, 1990). Selain itu, stres
menyebabkan munculnya perasaan ketidakmampuan bersantai,
ketidakmampuan bekerja sama, dan ketidakmampuan mengatasi masalah
(Davis & Newstrom, 1989).
Dari segi manajemen, stres kerja berpengaruh terhadap kinerja,
produktivitas, dan semangat kerja individu (Robbins, 1990). Stres kerja juga
membawa kerugian finansial yang cukup besar, berupa kehilangan
penghasilan, biaya program pencegahan, penurunan produktivitas, biaya
penggantian pekerja, cuti sakit, premi asuransi, pengunduran diri lebih
dini, kehilangan klien, pencurian, dan sabotase (Mitchell & Larson, Jr.,
1987).
Ketiga alasan tersebut juga mendasari pentingnya kajian stres kerja
tenaga pengajar, khususnya guru dan dosen. Beberapa temuan penelitian
menunjukkan bahwa guru mengalami stres yang bersumber dari
lingkungan kerjanya (Borg & Riding, 1993; Fontana & Aboserie, 1993; Smith
& Bourke, 1992). Temuan Borg dan Riding misalnya, mengungkapkan
sebanyak 16,5 persen guru menyatakan pekerjaannya sangat menekan, 47,2
persen yang menyatakan sedang, 30,7 persen yang menyatakan agak
menekan, dan hanya 5,7 persen yang menyatakan pekerjaannya tidak
menekan. Fontana dan Abouserie (1993) malahan menemukan bahwa 23,2
persen dari sampel guru SD dan sekolah menengah mengalami stres yang
serius, 72,6 persen sampel guru mengalami stres sedang, dan hanya 4,2
persen guru yang tidak mengalami stres.
Penelitian terhadap populasi guru (SD, SLTP dan SMU) di Sulawesi
Selatan menemukan angka persentase guru yang mengalami stres serius
(tinggi dan sangat tinggi) lebih besar, yaitu 30,27 persen, sedangkan guru
yang mengalami stres kerja sedang sebesar 48,11 persen dan yang
mengalami stres kerja kurang serius hanya 21,62 persen (Arismunandar,
1997). Persentase guru yang mengalami stres kerja serius itu memunculkan
penafsiran bahwa rata-rata satu dari tiga guru mengalami stres kerja yang
serius.
Besarnya persentase guru yang mengalami stres kerja serius dalam
penelitian tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Data mengenai
penderita gangguan jiwa (berat) yang dialami oleh guru di beberapa daerah
di Indonesia justru lebih memprihatinkan. Data 1996 mengenai pasien
rawat inap di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lawang, Kabupaten Malang
misalnya, mengungkapkan bahwa dari 82 orang pasien rawat inap RSJ
Lawang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sebanyak 45 orang (54,9
persen) yang berprofesi guru, sedangkan 37 orang (45,1 persen) lainnya
berasal dari berbagai bidang pekerjaan, antara lain: kesehatan,
perhubungan, dan pemerintahan daerah (Sub Bagian Tata Usaha Rumah
Sakit Jiwa Pusat Lawang, 1997). Dari sumber yang sama juga diketahui
bahwa sebagian besar pasien guru itu berprofesi sebagai guru SD.
Data lainnya menunjukkan kebanyakan pasien gangguan jiwa yang
berobat di Rumah Sakit Jiwa Jakarta adalah pegawai negeri dan sebagian
besar di antaranya adalah guru (“Pasien Gangguan,” 1993). Kondisi yang
lebih memprihatinkan terjadi di propinsi lain. Di Jawa Barat, diperkirakan
30 persen guru sekolah negeri dan swasta mengidap gangguan jiwa,
sementara di Jawa Tengah diperkirakan 40 persen guru mengalami
gangguan jiwa (“Ciptakan Rasa, 1993).
Meskipun tidak sebesar resiko stres yang dialami oleh guru,
fenomena stres kerja di kalangan dosen juga perlu mendapat perhatian.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa para dosen mengalami stres yang
disebabkan oleh faktor pekerjaannya (Dua, 1994; Gmelch & Bum, 1993).
Salah satu temuan penelitian bahkan menunjukkan sebanyak 13 stresor
potensial dosen dinilai serius oleh lebih dari 40 persen responden (Gmelch
& Bums, 1993).
Dari berbagai bukti empiris yang telah dikemukakan, tampak bahwa
profesi tenaga pengajar rentan terhadap stres kerja. Hal itu berbeda dengan
anggapan umum yang menyatakan bahwa profesi tenaga pengajar, seperti
profesor, kurang mengalami stres karena mereka lebih dapat mengontrol
pekerjaannya, dibandingkan dengan pekerjaan sebagai buruh kasar atau
sekretaris (Mondy & Noe, 1987). Ada beberapa penyebab rentannya guru
dan dosen terhadap stres, yaitu beban kerja yang berlebihan, tugas-tugas
yang bersifat repetitif, dan tanggung jawab yang besar bagi keberhasilan
peserta didiknya.
Kenyataan tersebut membawa implikasi praktis dan teoretis
terhadap perlunya diketahui sumber-sumber atau faktor stres (stresor)
tenaga pengajar. Pengetahuan terhadap stresor kerja akan membantu
individu dalam mengelola stres kerja mereka.

B. Konsep Stres Kerja


Istilah stres kerja digunakan untuk menunjukkan keadaan tertekan
yang dialami individu yang disebabkan oleh kondisi atau situasi yang
terjadi di lingkungan kerjanya. Istilah itu membedakannya dengan jenis
stres hidup lainnya yang bersumber dari lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial (Robbins, 1990).
Kajian stres kerja dewasa ini banyak didasarkan pada pendekatan
psikologik sebagai reaksi atas kelemahan pendekatan fisiologik dan
pendekatan stimulus. Pendekatan psikologik atau penilaian kognitif
(cognitif appraisal) diilhami oleh pemikiran Lazarus dan kawan-kawan yang
memperkenalkan teori kognitif dalam mengkaji fenomena stres. Aspek
kunci pendekatan itu adalah “penilaian kognitif” individu terhadap
lingkungannya (Lazarus & Folkman, 1986).
Penilaian kognitif meliputi dua dimensi: penilaian primer dan
penilaian sekunder (Cox & Ferguson, 1991). Penilaian primer berkenaan
dengan penilaian individu untuk menentukan apakah suatu stimulus atau
situasi membahayakan, mengancam, atau menantang, sedangkan penilaian
sekunder berkenaan dengan penilaian individu terhadap kemampuannya
mengatasi stimulus tersebut. Dari perspektif ini, stres terjadi manakala
terdapat ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian yang sangat berarti
antara persepsi individu terhadap suatu tuntutan yang dihadapinya dan
kemampuannya mengatasi tuntutan tersebut. Dengan kata lain stres terjadi
apabila individu merasakan: (1) bahwa suatu situasi atau tuntutan
mengancam tujuan penting individu, dan (2) bahwa individu tidak mampu
mengatasi situasi potensial tersebut (Lazarus & Folkman, 1986).
Pendekatan ini juga memandang bahwa suatu situasi yang terjadi
dapat menimbulkan reaksi stres yang berbeda pada setiap individu (Baron
& Greenberg, 1990). Perbedaan reaksi stres ini disebabkan oleh pengaruh
perbedaan individu dalam proses penilaian kognitif. Karena itu,
karakteristik individu, seperti pola perilaku dan lokus kendali, dan
karakteristik lingkungan, seperti dukungan sosial, berperan dalam
penilaian stres individu.

C. Sumber-sumber Stres Tenaga Pengajar


Sumber-sumber Stres Kerja Guru
Berbagai penelitian telah mengungkapkan sumber-sumber stres
kerja guru. Salah satu di antaranya adalah penelitian Feitler & Tokar (1982)
yang menemukan bahwa stresor dominan yang menduduki peringkat
pertama adalah “siswa yang berkelakuan buruk terus-menerus.” Penelitian
lainnya terhadap sampel guru seni musik dan guru matematika
menemukan bahwa “pekerjaan ekstrakurikuler” merupakan stresor paling
dominan pada kedua kelompok guru tersebut (Hodge, Jupp & Taylor,
1994).
Temuan lainnya mengungkapkan bahwa faktor beban kerja
merupakan sumber stres utama guru. Penelitian Capel (1992) misalnya,
mengungkapkan empat faktor beban kerja yang menyebabkan tingginya
stres guru, yaitu: (1) terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, (2)
tidak memadainya waktu untuk melakukan pekerjaan, (3) tuntutan
pekerjaan di luar jam sekolah, dan (4) terlalu banyaknya pekerjaan tulis-
menulis.
Dalam penelitian terhadap guru IP A, disebutkan secara eksplisit
bahwa tugas-tugas pengajaran merupakan stresor paling dominan
(Okebukola & Jegede, 1992). Stresor tersebut adalah: (1) kesulitan
memperoleh peralatan pengajaran IP A, (2) mengajarkan materi pelajaran
yang sulit, (3) tidak memadainya waktu mengajarkan materi silabus, (4)
mengajarkan materi yang tidak sesuai dengan keahlian, dan (5) memenuhi
tuntutan kurikulum barn.

Sumber-sumber Stres Kerja Dosen


Penelitian mengenai stres kerja dosen masih sangat terbatas.
Walaupun demikian beberapa di antaranya telah mengeksplorasi
fenomena stres kerja yang dialami oleh dosen. Temuan Dua (1994)
misalnya, mengungkapkan enam faktor stres kerja dosen di perguruan
tinggi, yaitu kebermaknaan pekerjaan, beban kerja, iklim politik pekerjaan,
hubungan antar personil, kondisi kerja, dan reorganisasi perguruan tinggi.
Penelitian itu juga menemukan hal menarik, yaitu dosen yang
berusia lebih muda mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan
dosen yang berusia lebih tua. Temuan itu sejalan dengan beberapa
penelitian terhadap kelompok guru. Fenomena itu dapat dipahami
berdasarkan penjelasan Mohammed (1991) bahwa mereka yang lebih muda
berada pada fase kehidupan yang membuat mereka idealis, antusias,
dengan harapan baru yang menjanjikan. Sementara di dunia nyata, mereka
menghadapi kenyataan hidup yang sama sekali berbeda dengan
harapannya. Sebaliknya, guru yang lebih tua bersikap lebih realistis, hanya
memikirkan bagaimana mengakhiri sisa pengabdiannya dengan tenang,
pensiun dengan aman, dan tidak ingin mempunyai banyak masalah
dengan para pemegang otoritas. Hal-hal terakhir itulah yang membuat
guru yang lebih tua kurang mengalami stres.
Penelitian sebelumnya juga telah mendeskripsikan secara rinci
sumber-sumber stres dosen. Stresor tersebut adalah: (1) tingginya
ekspektasi diri, (2) mencari dukungan dana untuk penelitian, (3) tidak
memadainya waktu mengikuti perkembangan terbaru di bidang keahlian,
(4) tidak memadainya gaji yang diterima, (5) menyiapkan
naskah/presentasi, (6) beban kerja yang terlalu berat, (7) tuntutan
pekerjaan yang mengganggu waktu pribadi, (8) keyakinan bahwa
kemajuan karier tidak terjadi sebagaimana mestinya, (9) gangguan
panggilan telepon dan tamu; dan (10) keikutsertaan dalam rapat pertemuan
yang terlalu banyak menggunakan waktu (Gmelch, Wilke & Lovrich, 1984).
Penelitian lebih lanjut mengeksplorasi sumber-sumber stres dosen
dan perspektif peran gandanya, sebagai tenaga pengajar dan sebagai ketua
jurusan. Penelitian itu mengungkapkan sebanyak 13 stresor utama
dosen/ketua jurusan dan enam di antaranya yang mempunyai peringkat
paling atas adalah: (1) beban kerja yang terlalu berat, (2) perolehan
persetujuan atas proposal dan pembiayaan, (3) tuntutan untuk tetap
mengikuti perkembangan terkini dalam bidang ilmunya, (4) mematuhi
peraturan perguruan tinggi, (5) pekerjaan yang mengganggu kegiatan
pribadi, dan (6) membuat keputusan yang mempengaruhi orang lain
(Gmelch & Bums, 1993).
D. Strategi Pengelolaan Stres
Strategi pengelolaan stres berkenaan dengan upaya yang dilakukan
individu terhadap stresor untuk mencegah, menghindari atau mengontrol
stres (Litt & Turk, 1985). Dalam pengertian yang hampir sama, pengelolaan
stres diartikan sebagai usaha perubahan perilaku dan kognisi seseorang
secara konstan untuk mengelola tuntutan spesifik, baik eksternal maupun
internal, yang dinilai membebani atau melebihi kemampuan sumber daya
seseorang (Folkman, Lazarus, Dunkel-Scheiter, DeLongis, & Gruen, 1986).
Pengelolaan stres mempunyai beberapa fungsi. Dua diantaranya
yang paling utama adalah: (1) pengaturan perasaan yang tertekan atau
disebut pengelolaan yang berfokus pada perasaan, dan (2) perubahan
hubungan individu-lingkungan yang menyebabkan stres atau disebut
pengelolaan yang berfokus pada masalah (Folkman, et al., 1986).
Berdasarkan kedua fungsi tersebut, beberapa penulis
mengemukakan berbagai teknik pengelolaan stres. Baron & Greenberg
(1990) dan Luthans (1989) membagi pengelolaan stres menjadi dua, yaitu
strategi organisasi dan strategi individual. Menurut Luthans, strategi
organisasi meliputi teknik-teknik sebagai berikut:
1. Pendapatan iklim organisasi yang suportif, yaitu upaya penciptaan
struktur organisasi yang lebih organik dan terdesentralisasi, dengan
mengutamakan pembuatan keputusan partisipatif dan aliran
komunikasi ke atas.
2. Pengayaan rancangan tugas, yaitu upaya perbaikan faktor-faktor isi
pekerjaan (seperti tanggung jawab, penghargaan, dan peluang untuk
berprestasi).
3. Pengurangan konflik dan perumusan peranan organisasi, yaitu upaya
perumusan harapan yang jelas dari setiap pekerjaan dan penyediaan
informasi dan dukungan yang diperlukan.
4. Perencanaan dan pengembangan jalur karier, yaitu upaya perumusan
peluang karier bagi individu dan strategi untuk mencapainya.
Sementara itu, berdasarkan kedua fungsi utama pengelolaan stres
yang telah dikemukakan, Folkman, et al, (1986) merumuskan strategi
pengelolaan stres yang lebih berpusat pada individu. Strategi yang
dimaksud adalah sebagai berikut
1. Strategi konfrontatif, yaitu usaha agresif untuk mengubah situasi stres.
2. Strategi menjauhi, yaitu usaha untuk melepaskan diri dari situasi stres.
3. Mengontrol diri, yaitu usaha untuk mengatur perasaan diri sendiri.
4. Mencari dukungan sosial, yaitu pencarian dukungan informasi,
dukungan kebendaan, dan dukungan emosional.
5. Menerima tanggung jawab, yaitu mengakui peranan diri dalam situasi
stres.
6. Mencari pelarian atau menghindari, antara lain dengan menghayalkan
situasi stres segera berlalu atau mencari pelarian dalam bentuk perilaku
seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
7. Memecahkan masalah secara terencana, yaitu, usaha sengaja yang
berfokus pada masalah yang dimaksudkan untuk mengubah situasi dan
penggunaan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah.
8. Menilai secara positif yaitu usaha memberikan makna positif terhadap
situasi stres dengan memfokuskan perhatian pada pertumbuhan
personal.
Di samping strategi individual tersebut, dua teknik lainnya yang
sering digunakan dalam mengatasi stres adalah latihan fisik dan
rileksasi/meditasi. Latihan fisik dilakukan melalui kegiatan olahraga
secara terakhir. Rileksasi dilakukan melalui pengendoran otot dan urat
syaraf, sedangkan meditasi dilakukan dengan cara mengambil posisi fisik
yang menyenangkan, menutup mata, dan menjernihkan pikiran dari hal-
hal yang mengganggu.
Gaziel (1993) menggolongkan strategi pengelolaan stres ke dalam
empat kategori, yaitu:
1. Strategi behavioral aktif, meliputi tindakan perlawanan untuk
mengubah sumber-sumber stres.
2. Strategi kognitif aktif, meliputi tindakan penilaian masalah,
membicarakan sumber-sumber sties dengan orang lain dan mencari
lebih banyak informasi;
3. Strategi behavioral inactive, meliputi tindakan melarikan diri atau
menjauhi sumber-sumber stres; dan
4. Strategi kognitif inactive, yaitu perasaan ketidakberdayaan, menganggap
tidak ada orang yang mampu menolong, dan lebih bersikap pasrah.
Dalam konteks pengelolaan secara fisik, Mictchell & Larson, Jr.
(1987) mengungkapkan tiga strategi dalam mengatasi stres.
1. Perawatan medis. Tekanan darah tinggi dapat diturunkan melalui
upaya kedokteran. Masalah kesulitan tidur dan depresi juga dapat
diobati secara kedokteran.
2. Terapi perilaku. Teknik ini telah sukses diterapkan dalam mengatasi
berbagai masalah seperti kecemasan, depresi, alkoholisme, kebiasaan
merokok, dan tingginya angka absensi.
3. Perawatan fisik. Beberapa orang melakukan teknik tanpa melalui terapi
atau pengobatan, seperti pemijatan, mandi sauna, dan sebagainya.
Dari berbagai analisis terungkap, tidak satupun strategi yang
terbukti efektif untuk semua situasi stres. Walaupun demikian, ditemukan
dua pendekatan yang efektif digunakan oleh guru, yaitu: (1) mencari lebih
banyak informasi mengenai stresor yang dihadapi, dan (2) mengambil
tindakan yang tegas dalam menghadapi stresor berdasarkan pemahaman
guru saat itu (Utt & Turk, 1985).
Penelitian Okebukola & Jegede (1992) mengindetifikasi lima strategi
yang paling banyak digunakan guru, yaitu: (1) berpikir positif (misalnya,
mengatakan kepada diri: “imbalan bagi seorang guru akan didapatkan di
surga”), (2) melakukan usaha-usaha improvisasi, (3) senantiasa bersikap
riang, (4) membagi ide dan peralatan laboratorium dengan sejawat, dan (5)
bersikap rileks dan santai.
Kunci untuk memilih strategi pengelolaan stres adalah: sejauh mana
kemampuan seseorang mengontrol situasi eksternal yang menyebabkan
stres. Jika seseorang yakin dapat mengontrol penyebab stres, maka pilihan
strateginya adalah melakukan pemecahan masalah secara terencana. Tetapi
apabila situasi stres diyakini tidak dapat dikontrol (seperti gaji) maka
pilihan strateginya adalah “berpikir atau memberikan penilaian secara
positif.”

E. Penutup
Sebagai penutup, disimpulkan sebagai berikut. Pertama, situasi dan
kondisi pengajaran mempunyai potensi membuat guru dan dosen
mengalami stres. Kedua, karakteristik individu dan karakteristik
lingkungan berkaitan dengan stres kerja tenaga pengajar. Ketiga, terdapat
beberapa strategi pengelolaan stres, tetapi pilihan strategi pengelolaan
tergantung pada kemampuan individu mengontrol situasi atau kondisi
yang menjadi penyebab stres.
Dari uraian ini pula, disarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama,
untuk menghindari akibat yang lebih serius, para guru dan dosen perlu
menemukenali sumber-sumber stres kerjanya dan memilih strategi
pengelolaan yang tepat untuk mencegah dan mengatasi stres. Kedua, kepala
sekolah, pimpinan perguruan tinggi, dan jajaran pembina tenaga pengajar
pada umumnya perlu mengambil langkah-langkah organisasi yang tepat
guna membantu guru dan dosen mengelola stresnya. Ketiga, organisasi
profesi guru, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), seyogianya
lebih meningkatkan perhatian dan usahanya ke arah perbaikan situasi kerja
guru dan dosen di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai