Prasetyo mengatakan Kejagung saat menangani kasus ini menerima serangan balik koruptor lewat
sejumlah fitnah. "Kami difitnah menerima uang, itu bull**** semua," ujarnya. Dia juga geram
ketika banyak kalangan yang meminta Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa personel
kejaksaan terkait dugaan penerimaan dana dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho
untuk mengamankan kasus dana bantuan.
"Ketika ada yang mengatakan, kenapa KPK nggak meriksa Kejaksaan Agung? KPK tahu persis
apa yang mereka lakukan," kata Prasetyo.
Kejaksaan telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dana bantuan ini, yakni Gatot Pujo dan
Kepala Kesbangpolinmas Sumatera Utara, Eddy Sofyan. Gatot juga telah dijadikan tersangka oleh
KPK dalam kasus suap. Isu pemberian duit kepada Kejaksaan itu terungkap dalam penyidikan di
KPK. Istri Gatot, Evy Susanti, mengaku pernah dimintai duit oleh pengacara suaminya, Otto
Cornelis Kaligis, sebesar Rp 500 juta untuk diserahkan kepada Direktur Penyidikan Kejagung saat
itu, Maruli Hutagalung. Pemberian itu bertujuan agar kasus bantuan sosial ini tak menyentuh
Gatot. Kejaksaan berulangkali membantahnya. "Jaksa Agung sama sekali tak ada kaitan dengan
itu," kata Prasetyo.
Kasus dugaan suap sengketa Pilkada yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar.
Tahun 2013 silam, Otto sempat menjadi kuasa hukum mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil
Mochtar. Saat itu Akil terlibat kasus dugaan suap sengketa di berbagai pilkada.
Namun pada Februari 2014, Otto Hasibuan memutuskan mundur sebagai kuasa hukum Akil.
Keputusan tersebut diambil Otto karena ada benturan kepentingan setelah terungkap dalam
dakwaan, bahwa Akil juga dikaitkan dalam pilkada Jawa Timur.
Padahal saat itu dia juga tengah membela Khofifah Indar Parawangsa di Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk kasus pilkada Jawa Timur. Di mana, pada saat MK memutuskan memenangkan
Sukarwo sebagai Gubernur Jawa Timur, Akil menjadi salah satu hakim panel.
Sidang Etik Polri kasus polisi tembak polisi
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri akan menggelar sidang komisi kode etik untuk
Brigadir Rangga Tianto, tersangka penembak teman sesama anggota polisi, Bripka Rahmat
Effendi setelah pengadilan menjatuhkan vonis. “Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) akan
dilaksanakan setelah selesai proses di peradilan umum,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum
Mabes Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra saat dihubungi, Sabtu, 27 Juli 2019.
Menurut Asep hal itu dilakukan untuk membuktikan perbuatan tersangka atas tindak pidana
pembunuhan terhadap Bripka Rahmat Effendi. Apalagi dalam Pasal 338 KUHP yang dituduhkan
kepada tersangka Rangga Tianto, dirinya terancam 15 tahun penjara.
Tidak tertutup kemungkinan Polri akan memecat Brigadir Rangga. "Bisa saja dia dikenai
Pemecatan Dengan Tidak Hormat," kata Asep.
Brigadir Rangga menembak tewas temannya sendiri, Bripka Rahmat Effendy pada 25 Juli 2019
di Mapolsek Cimanggis. Kejadian bermula ketika Rangga menangkap FZ, keponakan Rahmat
karena terlibat tawuran di wilayah Depok pada 25 Juli 2019. Orang tua FZ datang ke Polsek
Cimanggis bersama Brigadir Rangga dan seorang anggota polisi lainnya.
Rangga meminta Rahmat agar FZ dilepaskan dan dibina orang tuanya. Menolak, Rahmat
bersikukuh memproses FZ secara hukum. "Obrolan itu menjadi obrolan yang panas." Tak lama
setelah cekcok, Rangga menembakkan pistolnya ke tubuh Rahmat dengan membabi buta.
Asep menyebut tujuh dari sembilan peluru ditembakkan dalam kasus polisi tembak polisi ini.
Bripka Rahmat tewas dengan luka tembak di antaranya pada dada, leher, paha, dan perut.
Kasus Atut Chosiyah penanganan KPK