Anda di halaman 1dari 16

BAB I

LATAR BELAKANG.

A. Pendahuluan.

Kasus pelanggaran HAM atau yang biasa kita sebut HAM memang harus kita ketahui
bersama, karena kasus pelnggaran ham sekarang telah banyak sekali yang terjadi, dari
masyarakat atas hingga masyarakat bawah sekali pun. Agar kita mengetahui kasus
pelanggaran ham, maka kita harus mengetahui contohnya terlebih dahulu, supaya kita
mengetahui pelanggaran ham tersebut secara menyeluruh hingga akar – akarnya. Kasus HAM
cukup lumayan bangyak dan terjadi setiap tahunnya. Contoh saja pada kaus Abilio Jose
Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM) Ad Hoc di jakarta atas dukwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi
vonis penjara 3 tahun.

Sebuah putusan hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda
tanya besar. Benarkah keputusan hakim tersebut benar – benar berdasarkan rasa keadilan atau
hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat
pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik.
Beberapa.

Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu
dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti
bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila
terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap
terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim
dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari
Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat
Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta
mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir
rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”
Oleh karena itu, peulis memiliki hasrat untuk melakukan studi terhadap kasus yang
menyeret mantan Gubernur Timtim tersebut.

B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana posisi kasus pelanggaran HAM berat di timor – timur?
2. Bagaimana analisi terhadap putusan pengadilan HAM Ad Hoc dengan terdakwa?
3. Bagaimana jika kasus tersebut ditinjau dari pertanggung jawaban komando?

C. Tujuan penelitian.
1. Untuk mengetahui dan memahami posisi kasu pelanggaran HAM berat di Timor –
timur.
2. Untuk mengetahui dan memahami analisis dari putusan pengadilan HAM Ad Hoc
terhadap terdakwa.
3. Untuk mengetahui dan memahami kasus tersebut jika ditinjau dari segi pertanggung
jawaban komando.
BAB II

PEMBAHASAN.

A. Posisi kasus pelanggaran HaM berat di Timor – timur.

Studi kasus pelanggaran Ham berat Timor – timur yang dipilih adalah terdakwa
Abilio Jose Osario Soares (mantan Gubernur Tim – tim) serta terdakwa Eurico Guterres
(mantan wakil panglima pasukan pejuang integrasi. Secara garis besar akan dijelaskan
peristiwa berdarah kasus pelanggaran HAM berat yang dikutip dari putusan pengadilan HAM
Ad Hoc jakarta pusat atas nama para terdakwa diatas.

Setelah presiden B.J Habibie membuat kebijakan atau opsi kepad masyarakat timor –
timur apakah memilih “merdeka” atau “integrasi” ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia(NKRI) makan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat timor – timur mulai
memanas dan sering terjadi perselisihan/permusuhan dan kekerasan antar kelompok
masyarakat prokemerdekaan dan masyarakat prointegritas/otonomi, yakni antara lain:

Sebelum dilaksanakannya jajak pendapat untuk menentukan nasib masyarakat timor –


timur, Abilio Jose Osario Soares mengadakan pertemuan di kantor Gubernur provinsis timor
– timur di Dili, dengan para bupati sewilayah timor – timur guna memberi pengarahan yang
antara lain mengatakan bahwa untuk menghadapi segala kemungkinan, perlu dibentuk
organisasi politik serta jajak pendapat dengan nama Forum Persatuan Demokrasi dan
Keadilan (FPDK) dari barisan rakyat timor – timur di masing – masing kabupaten tingkat II.
Organisasi ini dibuat guna menampung aspirasi rakyat timor – timur prointegrasi dalam
menghadapi jajak pendapat serta membentuk organisasi pengamanan swakarsa (PAM
SUAKARSA) berdasarkan undang – undang no. 20 tahun 1982 tentang ketentuan –
ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI;

Berdasarkan hasil rapat Muspida tersebut di tiap – tiap wilayah kabupaten dan
kotamadya berdiri organisasi kemasyarakatan berupa:

a. PAM SUAKARSA yang dibiayai dari APBD masing – masing dari daerah tingkat
dua;
b. Organisasi – organisasi yang dbersifat kemasyarakatan yang tumbuh secara
spontanitas secara de facto diakui keberadaannya oleh Abilio Jose Osario Soares dan
para bupati/wali kota yang sumber pembiayaannya berasal dari swadaya masyarakat
itu sendiri yang prointegritas, sehingga:
1) Di kabupaten Covalima berdiri organisasi; PAM SUAKARSA, FPDK, BRTT
(barisan rakyat timor –timur), MAHIDI (Mati Hidup Demi Indonesia),
LAKSAUR.
2) Di kabupaten dan Kota Administratif dili, berdiri organisasi; PAM SUAKARSA,
FPDK, BRTT, BMP (Besi Merah Putih), Oan Klibur Ba Damai, liquisi, Saka
Ermere Darah Merah Putih, MAHIDI, selain PAM SUAKARSA organisasi –
organisasi tersebut setelah jajak pendapat bergabung dengan PPI (Pasukan
Pejuang Integritas dan UNTAS/Uni Timor Satria) yang dipimpin oleh Eurico
Gutteres.
3) Di Kabupaten Liquisi berdiri organisasi berdiri organisasi; PAM SUAKARSA,
FPDK, BRTT, BMP.

Di kabupaten Liquisa, pada tanggal 3 April 1999 kelompok prokemerdekaan


melakukan ancaman pembunuhan terhadap kelompok pro-integritas Masa Besi Merah Putih
(BMP) di Desa Dato Kecamatan Liquisa kabupaten Liquisa;

Pada tanggal 4 april 1999 masa pro kemerdekaan yang dipimpin oleh Jasinto Da
Costa Pereira melakukan pembakaran terhadap milik kelompok pro-integritas masa BMP,
sebab masa BMP dari Pekelara dan Maubara telah lebih dahulu membakar rumah anggota
massa prokemerdekaan, yaitu rumah: Felisberto Dos Santos dan membunuh anaknya yang
bernama: Elidio.

Pada tanggal 5 april 1999 Pastor Henry dari Maubara memberi informasi kepada
massa prokemerdekaan bahwa masyarakat prointegrisa massa BMP akan menyerang daerah
Liquisa dan membunuh massa prokemerdekaan. Oleh karena ketakutan akan dibunuh,
akhirnya massa prokemerdekaan mengungsi ke kediaman Pastor Rafael Dos Santos di
komplek Gereja Liquisa. Atas informasi Pastor Henry tersebut kelompok prokemerdekaan
yang dipimpin oleh Jasinto Da Costa Pereira beserta anggotanya berangkat ke perbatasan
Maubara Liquisa untuk mengatasi rencana penyerangan kelompok pro-integritas massa
BMP, tetapi ternyata pada saat kedua belah pihak bertemu di Batu Blete, pihak kelompok
pro-integritas BMP bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI) langsung menembaki anggota prokemerdekaan sehingga
menimbulkan korban jiwa 2 orang meninggal dunia dan 7 orang luka – luka, diantaranya
bernama: Jose dari Hatukesia dan Sirilio Dos Santos kena peluru dipaha. Pada pukul 13.00
WITA kelompok massa prokemerdekaan dari beberapa tempat telah mengungsi ke kediaman
Pastor Rafael di komplek gereja Liquisa yang berjumlah kurang lebih 2.000 orang. Pada saat
yang sama, pasukan TNI dan anggota POLRI telah mengelilingi komlep gereja Liquisa
tersebut, dalam waktu tidak beberapa lama kemudian datang massa BMP dengan melakukan
penembakan – penembakan ke udara sehingga pengungsi prokemerdekaan menjadi panik dan
ketakutan.

Pada hari selasa tanggal tanggal 6 april 1999 sekitar pukul 07.00 WITA kurang lebih
300 orang dari pro-integritas mass BMP dipimpin oleh Manuel Sousa berkumpul dan
mengelilingi kediaman Pastor Rafael di komplek Gereja Liquisa, ada yang membawa senjata
api, senjata api rakitan, parang, samurai, pisau, alat pemukul, alat penusuk, panah, alat – alat
lainnya, serta berteriak –teriak agar pengungsi prokemerdekaan keluar meninggalkan
komplek gereja tersebut. Sekitar pukul 08.00 WITA pagi Pastor Rafael didatangi oleh dua
anggota brimob bernama Damianus Dapa dan Fransiskus Salamali meminta agar Jacinto dan
Gregotio Dos santos diserahkan kepada kelompok pro-integritas massa BMP, tetapi ditolak
oleh Pastor rafael karena takut dibunuh. Sekitar pukul 13.00 WITA lima orang anggota
POLRI dipimpin oleh Lettu Pol. Jhon Rea datang datang ke rumah kediaman Pastor Rafael
untuk meminta agar Jacinto diserhakan. Namun, Pastor Rafael bersedia menyerahkannya
dengan syarat bahwa Jacinto dan kawan – kawannya di bawa ke polda Timor – timur di Dilli
dan Massa BMP ditarik dari Liquisa. Namun, pada saat itu kelompok pro-integritas massa
BMP yang tidak sabaran justru melakukan ancaman terhadap para pengungsi
prokemerdekaan dengan berteriakan, “tinggalkan komplek ini atau lapisan kedua akan
datang, biarpun kalian berada dalam gereja, nati pukul 01.00 WITA kami akan menyerang
gereja.” Mereka berteriak sambil melemparkan batu ke kediaman Pastor Rafael yang
dikelilingi pagar tembok sehingga situasi sangat menakutkan dan semakin mencekam, karena
pasukan TNI dari kodam 1638/Liquisi dan anggota brimob/POLRI dari polres Liquisa telah
bergabung dengan masyarakat pro-integritas BMP.

Pada hari minggu tanggal 05 september 1999 setelah pelaksanaan jajak pendapat,
masa prointegritas/otonomi yang mengalami kekalahan dalam pemungutan suara, massa
printegritas/otonomi yang menduga adanya kecurangan yang dilakukan pihak UNAMET
beserta masyarakat prokemerdekaan dalam menghitung pemungutan suara, dimana pihak
UNAMET tidak bertindak netral dalam pelaksanaan pemungutan suara, bahkan keberatan
yang diajukan massa prointegritas/otonomi, dan sebagai pelampiasan tersebut, massa
prointegritas yang dilengkapi senjata api dan senjata tajam menyerang masa kelompok
prokemerdekaan yang terdiri dari atas penduduk sipil, yang mereka ketahui mengungsi dan
berlindung Diosi Dili wilayah hukum kepolisian Restor Dili. Akhirnya para pengungsi
berdatangan ke komplek polda timor – timur dili, pelabuhan laut dili dan di tempat – tempat
lain yang dianggap aman oleh pengungsi. Setelah diketahui kertas palsu pemilihan yang
berhamburan sepanjang jalan dan halaman di Diosis Dili dan di lokasi rumah kediaman
Uskup Belo, lalu kelompok Pro-integritas melakukan penyerangan dengan cara melakukan
penembakan dengan menggunakan senjata api rakitan, melakukan penusukan dan
pembacokan dengan menggunakan parang dan samurai terhadap para pengungsi dari
prokemerdekaan yang sedang berlindung di kantor Diosis Dili dan mengakibatkan korban
penduduk sipil dan para pengungsi di kediaman Uskup Belo menderita luka – luka yaitu:
Masquta Da Costa Rego, Notana Soares, Joao Bernandino Soares dan Vicente A.G De sousa,
penyerangan terhadap masyarakat prngungsi di Diosis Dili disertai juga dengan pembakaran
Gedung di Diosis Dili sehingga musnah terbakar.

Bentrok berkembang secara cepat ke jalan raya sepanjang jalan pantai kelapa (keluar
pelabuhan Dili) menuju berkumpulnya pemuda – pemuda prokemerdekaan yang berlindung
di Diosis Dili. Parapemuda prointegritas dengan anggota TNI yang tersebar di berbagai
tempat di Dili telah menyerang para pemuda dari kelompok prokemerdekaan sehingga jatuh
korban yang sangat sulit diketahui jumlah secara pasti.

B. Analisis putusan pengadilan HAM Ad Hoc terdakwa Abilio Jose Osario Soared.

Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan
Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di
Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja
meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-
benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu
keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing
hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan
tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam
Undang-Undang u Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa
pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut
pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan
jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3
tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares. Bagi orang yang awam
dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan
keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan
pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti
bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan. Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan
bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang
ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Jika melihat pada ketentuan tersebut,
memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM. Terhadap asas berlaku surut
yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu pernah diajukan permohonan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan
Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap
bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (1) KUHP

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review Abilio Osario


Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No.
065/PUU-II/2004 yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H.

Dalam pointers berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian


Kasus Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dari www.akilmochtar.com), hakim konstitusi
HM. Akil Mochtar, S.H., M.H. menulis antara lain bahwa:
Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena
merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui
Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-
retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan
hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.

(a) pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus


delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan

(b) Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut
UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya
rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU
Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc.

Perdebatan penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya,
penerapan asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan HAM
untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam putusan
sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian terhadap praktik
pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas non-retroaktif demi tegaknya
keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada praktik negara-negara sejak pengadilan
penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo, pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia
dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem.
Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara lain adalah kejahatan
pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas oleh
karena itu asas retroaktif dapat diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28
J ayat (2).

Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan


terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat
Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang
dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya
rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi
kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas.
Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya
khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang
Indonesia”Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui
hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai
Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu
teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-
terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.

Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain :

1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia

2. Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang

3. Kurang adanya penegakan hukum yang benar.

Dan masih banyak sebab – sebab lain.

C. Kaus Abilio Jose Osario Soares jika ditinjau dari segi pertanggung jawaban
komando.

Dalam perkara Abilio Jose Osorio Soare jika dikaitkan dengan pertanggung jawaban
komando, Abilio didakwa oleh JPU berdasarkan Pasal 42 ayat (2) (a) yang kemudian
dihubungkan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan tertentu yang dilakukan oleh anak
buahnya. JPU mendakwa Abilio selaku Gubernur Timor-Timur yang memiliki kedudukan
sebagai pimpinan bersalah atas dua peristiwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
anak buahnya. Dalam dakwaan kesatu JPU mendakwa bahwa Abilio selaku pimpinan telah
membiarkan para anak buahnya melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan
terhadap penduduk sipil. Ada tiga tempat dimana peristiwa pembunuhan terjadi, yaitu
Kabupaten Liquisa, Kabupaten Dilli/Kota Administratif Dilli dan Kabupaten Covalima
(Suai). Sementara dakwaan kedua JPU mempersalahkan Abilio atas dasar tanggung jawab
pimpinan terhadap anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa penganiayaan
di tiga tempat yang sama terjadinya peristiwa pembunuhan. Dengan demikian yang
membedakan dakwaan kesatu dan kedua terletak pada jenis pelanggaran HAM berat yang
dilakaukan oleh para anak buah Abilio.

Dalam menganalisis kasus Abilio hal pertama yang perlu untuk dibahas adalah siapa
pelaku yang dikualifikasi sebagai anak buah Abilio yang melakukan pelanggaran HAM berat.
Ini penting untuk menentukan apakah Abilio bisa dipersalahkan berdasarkan tanggung jawab
pimpinan atau tidak. Bila dicermati dakwaan JPU terkesan bahwa anak buah Abilio yang
dipersalahkan melakukan pelanggaran HAM berat tidaklah mereka yang masuk katagori
pelaku pelanggaran HAM berat, tetapi adalah pimpinan yang memiliki anak buah yang
melakukan pelanggaran HAM berat. Dalam dakwaan kesatu dan kedua yang dianggap oleh
JPU sebagai anak buah Abilio adalah Bupati Liquisa, Bupati Covalima, dan Wakil Panglima
Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). Padahal mereka bukanlah anak buah yang melakukan
pelanggaran HAM berat di tiga tempat. Artinya Abilio tidak dipersalahkan atas dasar
tindakan anak buah sebagai pelaku, melainkan atas dasar kesalahan dari anak buah yang
mempunyai kedudukan sebagai pimpinan yang anak buahnya melakukan pelanggaran HAM
berat. Dakwaan yang dibangun oleh JPU sebenarnya tidak konsisten dengan konsep tanggung
jawab pimpinan yang dikenal dalam hukum pidana internasional. Tanggung jawab pimpinan
hanya berlaku bagi pimpinan yang memiliki kendali efektif atas anak buah yang melakukan
pelanggaran HAM berat. Abilio harus dianggap tidak memiliki kendali efektif atas para
pelaku pelanggaran HAM mengingat mereka berada jauh dibawah kendali efektif Abilio. Bila
logika JPU diikuti maka Abilio-pun bisa dimintai pertanggung jawaban secara pidana.
Pertanyaannya kapankah pertanggung jawaban ini akan berakhir? Memang ada wacana
bahwa pertanggung jawaban akan berhenti pada derajat kedua ke atas maupun ke bawah.
Namun, konsep demikian sama sekali bukan apa yang dimaksud dengan tanggung jawab
pimpinan dalam hukum pidana internasional. Kesalahan fatal dari pemahaman JPU atas
konsep tanggung jawab pimpinan adalah tidak memposisikan para Bupati dan Wakil
Panglima PPI sebagai pelaku yang melakukan pelanggaran HAM berat. Ini merupakan faktor
penting. Jika para Bupati dan Wakil Panglima bukan merupakan pelaku maka Abilio
seharusnya tidak bisa dipersalahkan atas dasar tanggung jawab pimpinan menurut hukum
pidana internasional.

Bila Abilio hendak didakwa atas dasar tanggung jawab pimpinan dalam hukum
pidana internasional, JPU seharusnya mendalilkan bahwa para Bupati maupun Wakil
Panglima PPI adalah pelaku pelanggaran HAM berat. Ini dilakukan dengan cara
mengargumentasikan dan mengungkap bukti-bukti bahwa para Bupati maupun Wakil
Panglima PPI melakukan tindakan-tindakan seperti merencanakan, memerintahkan atau
melakukan pelanggaran HAM berat tertentu. Selanjutnya bila dicermati tiga syarat yang
harus dibuktikan oleh JPU untuk mempermasalahkan Abilio sebagai pimpinan maka syarat
yang diurai oleh JPU sangat lemah. JPU mengargumentasikan bahwa antara Abilio dengan
para anak buahnya yang melakukan pelanggaran HAM terdapat kendali efektif.
Permasalahan utama adalah mereka yang dikualifikasi oleh JPU sebagai para anak buah
Abilio bukanlah para pelaku pelanggaran HAM berat. Mereka adalah pimpinan dari anak
buah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Bahkan anak buah ini tidak berada dibawah
kendali efektif dari pimpinan yang merupakan anak buah Abilio. Oleh karenanya patut
dipertanyakan apakah Abilio memiliki kendali efektif atas para pelaku yang benar-benar
melakukan pelanggaran HAM berat? Berikutnya adalah syarat kedua. Menurut JPU, Abilio
mengetahui dan secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa
bawahannya dan organaisasi massa lainnya, antara lain: Pam swakaersa sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan (untuk dakwaan
kesatu) dan penganiayaan (untuk dakwaan kedua) terhadap para penduduk sipil pro
kemerdekaan baik yang berada dalam kompleks gereja Liquisa, di komplek Gereja Ave
Maria atau di tempat-tempat lain di wilayah Propinsi Timor-Timur. Disini perlu
dipertanyakan tindakan anak buah yang mana sepatutnya diketahui oleh Abilio? Bila yang
menjadi jawaban adalah para Bupati dan wakil Panglima PPI, maka mereka sebenarnya
bukan para pelaku pelanggaran HAM berat. Sementara bila jawabannya adalah para pelaku
yang dilapangan, pertanyaannya apakah Abilio yang tidak mempunyai kendali efektif
terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat bisa dianggap mengetahui atau patut
mengetahui pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh mereka? Ini mengingat pelaku
bukanlah anak buah yang berada dibawah kendali efektifnya Abilio. Dengan demikian sulit
diterima oleh logika bahwa Abilio harus mengetahui atau sepatutnya mengetahui anak buah
dilapangan yang melakukan pelanggaran HAM berat. Pemenuhan syarat tanggung jawab
pimpinan ketigapun tidak akurat. Tindakan pencegahan diargumentasikan bahwa Abilio tidak
mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangan untuk
mencegah atau mengentuikan perbuatan tersebut. Abilio dianggap tidak melakukan
pencegahan, atau langkah-langkah berupa memerintahkan kepada aparat keamanan untuk
mencegah terjadinya bentrokan antara kelompok pro integrasi dengan pro kemerdekaan atau
menyerahkan para pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Apa yang disampaikan oleh JPU sama sekali bukan dalam
rangka memenuhi unsur ketiga. Adapun yang didalilkan oleh JPU lebih merupakan tidak
diambilnya kebijakan oleh Abilio, dalam lingkup tugas yang dimiliki, untuk mencegah
meluasnya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Ini berarti Abilio telah gagal dalam
menjalankan fungsi pimpinan secara administratif. Mengingat kegagalan bersifat
administratif maka sanksi yang dijatuhkan tidak seharusnya sanksi pidana, tetapi sanksi
administratif.

Sayangnya ketidak akuratan persepsi JPU tentang pembuktian konsep dan unsur-
unsur tentang pembuktian konsep dan unsur tanggung jawab pimpinan dalam hukum pidana
internasional kemudian diikuti dan dikukuhkan oleh majelis hakim baik ditingkat Pengadilan
Ad Hoc HAM maupun kasasi untuk memvonis Abilio bersalah.
BAB III

PENUTUP.

Kesimpulan.

 Dalam kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Timor – timor, diawali atau dipicu
dari pergolakan dua kolompok yang mendukung lepasnya timor – timor dari
Indonesia atau tetap beradi di wilayah Indonesia.
 Dalam kasus yang menimpa terdakwa Abilio Joese Osario Soares, ada beberapa hal
yang dapat disimak dari keputusan pengadilan HAM Ad Hoc yaitu:
1. vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-
Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan
primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya
adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman
minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim
yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan
denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares. Bagi orang yang awam dalam
bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan
keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah
melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila
terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
2. Publik dapat merasakan suatu perlakuan "diskriminatif'' dengan keputusan
terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran
HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim.
Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan
kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan
dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak
pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta
mengatakan, "Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya
khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan
oleh orang Indonesia.
 Kasus Abilio menunjukkan bahwa ada kesalahan mendasar dari pemahaman konsep
tanggung jawab pimpinan. Tanggung jawab pimpinan menurut hukum pidana
internasional telah disamakan dengan tanggung jawab pimpinan yang dikenal secara
administratif.
Daftar pustaka:

 Gulton Binsar. 2010. Pelanggaran HAM dalam hukum keadaan darurat di


Indonesia : mengapa pengadilan HAM ad hoc Indonesia kurang efektif?.
Jakarta: Gramedia pustaka utama.
 http://halamanhukum.blogspot.com/2009/05/penerapan-konsep-tanggung-
jawab.html
 http://nefi34na.blogspot.com/2012/05/makalah-hak-azasi-manusia-dalam-
konteks.html
 Undang – undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
ANALISIS KASUS ABILIO JOSE OSARIO SOARES.

MATA KULIAH HUKUM HAK ASASI MANUSIA, SEMESTER


GENAP,
TAHUN AKADEMIK, 2014 - 2015.

Oleh:

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2014 - 2015.

Anda mungkin juga menyukai