I. DEFINISI
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya ikterus yang
bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005). Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan
bahwa hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana kadar bilirubin yang berlebihan dalam
darah yang biasa terjadi pada neonatus baik secara fisologis, patologis maupun keduanya.
III. KLASIFIKASI
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996),
(Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
b) Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg%
pada neonatus cukup bulan.
Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia,
sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas
darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern
ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan
yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12
mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg%
dan 15 mg%.
IV. ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut;
1. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada
hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh
yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak
kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak
berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus
yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
VI. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel
darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana
hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh
sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin
pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia,
ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran
empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan
efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung
dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas.
Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang
karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin
melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia,
dan hipoglikemia.
(Sumber: IDAI,2011)
VII. PATHWAY
VIII. KOMPLIKASI
1. Bilirubin encephahalopathi
2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang melengking.
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemi
a) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14 mg/dl
dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak
fisiologis.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan atresia
billiari.
X. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
4. Fenobarbital
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi untuk
menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin
dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
2. Sirkulasi
3. Eliminasi
4. Makanan / Cairan
a. Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada
menyusu botol
5. Neurosensori
a. Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal
yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.
a. Riwayat asfiksia.
7. Keamanan
c. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping
fototerapi.
8. Seksualitas
a. Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan reterdasi
pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar untuk usia gestasi (LGA), seperti
bayi dengan ibudiabetes.
b. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia,
asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
c. Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika.
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012.Nursing Interventions
Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. EGC.
Jakarta
Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis ,Missouri ;
Mosby.
NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014. Jakarta :
EGC
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktis Volume 2. EGC :Jakarta
Slusher, et all (2013). Treatment Of Neonatal Jaundice With Filtered Sunlight In Nigerian Neonates:
Study Protocol Of A Non-Inferiority, Randomized Controlled
Trial. http://www.trialsjournal.com/content/14/1/446: TRIALS
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama. Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.
JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.