Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan paper ini
dengan judul “Kista Bartholini”. Penyelesaian Paper ini banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang tulus kepada dr. Muslich Perangin Angin, Sp. OG selaku pembimbing,
yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada kami
untuk menyelesaikan Paper ini.

Penulis menyadari bahwa Paper ini tentu tidak terlepas dari kekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukkan
dan saran yang membangun. Semoga paper ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Medan, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ i

Daftar Isi.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3

2.1. Definisi ......................................................................................................... 3

2.2. Penyebab....................................................................................................... 4

2.3. Tanda dan Gejala ........................................................................................ 13

2.4. Diagnosis .................................................................................................... 14

2.5. Penatalaksanaan .......................................................................................... 14

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya wanita yang meninggal oleh
penyebab kematian yang terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya
(tidak termasuk kasus kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan,
melahirkan dan dalam masa nifas tanpa memperhitungkan lama kehamilan per
100.000 kelahiran hidup. Indikator ini secara langsung digunakan untuk memonitor
kematian terkait dengan kehamilan, bersalin dan nifas. AKI dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan
selama kehamilan dan melahirkan (BPS, 2014).
Angka kematian ibu (AKI) Indonesia sampai saat ini masih tinggi dan ini
merupakan suatu problem kesehatan yang sampai saat ini belum dapat diatasi
secara tuntas. Berdasarkan SDKI tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per
100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Thailand hanya 44 per 100.000
kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per
100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu pada tahun 2012 Kemenkes RI
meluncurkan program Expanding Maternal dan Neonatal Survival (EMAS) dalam
rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25% (SDKI, 2012).
Angka Kematian Ibu (AKI)di Indonesia bervariasi. Di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, ditemukan angka kematian ibu sebesar 99 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2008, tahun 2009 menjadi 130 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2010
sebesar 114 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2011 meningkat menjadi 130 per
100.000 kelahiran hidup, dan tahun 2012 menurun kembali menjadi 100 per
100.000 kelahiran hidup (Dinkes NTB, 2012).
SDKI tahun 2012 menyebutkan bahwa penyebab langsung kematian ibu yang
utama adalah perdarahan (30,3%). Sebab lainyaituhipertensi dalam kehamilan
(HDK) (27,1%), infeksi (7,3%), partus lama (5%), dan abortus (5%). Berdasarkan
audit maternal perinatal tahun 2010 dan hasil analisis yang dilakukan dari
rekapitulasi review kematian ibu, diketahui bahwa proporsi kematian ibu di Pulau
Lombok disebabkan oleh penyebab obstetri langsung yaitu perdarahan 30,23%,

1
preeklampsi/eklampsi 23,7%, infeksi dan emboli air ketuban, sedangkan penyebab
tidak langsung menyumbang 42,1% dari kematian ibu yaitu penyakit jantung 26,3
%, TBC paru, malaria dan hepatitis (Dinkes NTB, 2012).
Perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian yaitu perdarahan postpartum
primer dan perdarahan postpartum sekunder. Perdarahan postpartum primer yaitu
perdarahan pasca salin yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran, sedangkan
perdarahan postpartum sekunder yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi
setelah 24 jam pertama kelahiran (Manuaba, 2012).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Atonia Uteri
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya
atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama
masa kehamilan adalah 500-800ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika
uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan
menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak sedangkan volume darah
manusia hanya berkisar 5-6 liter saja (Manuaba, 2012).

Beberapa definisi tentang atonia uteri:


a. Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir)
(Wiknjosastro, 2010).
b. Ketidakmampuan uterus untuk berkontraksi sebagaimana mestinya setelah
plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri
terjadi ketika miometrium tidak dapat berkontraksi (Chapman, 2006).
c. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus otot/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Wiknjosastro, 2010).
3
d. Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana miometrium tidak dapat berkontraksi
dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya
plasenta menjadi tidak terkendali (Manuaba, 2012 ).
B. Penyebab
Kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun
demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal(Wiknjosastro,
2010) :
a. Peregangan uterus yang berlebihan
Otot-otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu,
setelah melewati batas tersebut terjadi kontraksi. Penyebab peregangan uterus
yang berlebihan antara lain:
1) Kehamilan ganda (gemeli)
Kehamilan ganda dapat didefinisikan sebagai suatu kehamilan dimana
terdapat dua atau lebih embrio atau janin sekaligus.
2) Polihidramnion
Suatu keadaan dimana jumlah air ketuban jauh lebih banyak dari normal,
biasanya lebih dari 2000 cc.
3) Makrosomia janin (janin besar)
Makrosomia adalah bayi yang berat badannya pada saat lahir lebih dari
4.000 gram.
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta
lahir (Oxorn, 2010).
b. Umur
Umur individu terhitung mulai saat dilahirkan hingga waktu umur tersebut
dihitung (Oxort, 2010).
Umur reproduksi terbagi :
1) Masa menunda kehamilan yakni umur < 20 tahun)
2) Masa menjarangkan kehamilan yakni umur 20-35 tahun
3) Masa mengakhiri kehamilan yakni umur > 35 tahun.
Seorang ibu hamil/bersalin dikatakan berisiko jika < 19 tahun atau > 35
tahun (Manuaba, 2012). Remaja berumur antara 15 sampai 19 tahun memiliki
kemungkinan lebih besar mengalami anemia dan berisiko lebih tinggi memiliki
janin yang pertumbuhannya terhambat, persalinan prematur, dan angka
4
kematian bayi yang tinggi. Ibu hamil yang berumur 35 tahun atau lebih,
mengalami perubahan pada alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi
(Chapman, 2006).
Menurut Puji Rochyati dan Hebert (2010), umur ibu hamil atau bersalin
yang termasuk risiko tinggi yaitu primipara muda kurang dari 16 tahun dan
primipara tua berusia lebih dari 35 tahun. Bertambahnya usia wanita
berhubungan dengan menurunnya fungsi dan kemampuan adaptasi organ-organ
tubuh secara keseluruhan sehingga meningkatkan risiko timbulnya kelainan-
kelainan seperti: hipertensi, diabetes melitus, tromboembolisme, perdarahan
postpartum primer yang secara keseluruhan akan meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas ibu selama kehamilan dan persalinan (Chapman,
2006).
c. Paritas
Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak
yang dapat hidup. Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin
hidup atau mati, bukan jumlah janin yang dilahirkan. Paritas adalah jumlah
kehamilan yang mencapai usia viabilitas dan bukan jumlah janin yang
dilahirkan. Paritas adalah seorang perempuan yang pernah melahirkan bayi
yang dapat hidup atau viable (Chapman, 2006).
Beberapa tingkatan paritas adalah:
1) Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi
viable.
2) Primipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi viable
sebanyak satu kali.
3) Multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi viable
sebanyak 2 kali atau lebih.
4) Grandemultipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi viable
lebih dari empat kali.
Paritas seorang ibu hamil/bersalin dikatakan berisiko tinggi
berdasarkan komplikasi obstetrik yaitu primipara primer atau sekunder dan
grandemultipara (Manuaba, 2012). Pada kehamilan seorang ibu yang
berulang kali (grande multipara), maka uterus juga akan berulang kali
teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus
segera setelah plasenta lahir. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi angka
5
kematian maternal, karena kasus perdarahan meningkat dengan
bertambahnya jumlah paritas. Ibu-ibu dengan kehamilan lebih dari satu kali
atau yangtermasuk multipara mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
terjadinya perdarahan pasca persalinan dibanding ibu-ibu yang termasuk
golongan primipara.
Primipara dan paritas tinggi (grande multipara) mempunyai angka
kejadian perdarahan pasca persalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah
(primipara), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama
merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan
pada paritas tinggi (grande multipara), fungsi reproduksi mengalami
penurunan sehingga kemungkinan terjadi perdarahan pasca persalinan
menjadi lebih besar (Manuaba, 2010).
d. Jarak Persalinan
Jarak persalinan yang kurang dari 2 tahun mengakibatkan kelemahan dan
kelelahan otot rahim, sehingga cenderung akan terjadi perdarahan postpartum
(Manuaba, 2010). Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2
tahun, kondisi rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik, sehingga
cenderung mengalami partus lama, atau perdarahan postpartum. Disamping itu,
persalinan berturut-turut dalam jarak waktu singkat mengakibatkan uterus
menjadi fibrotik, sehingga mengurangi daya kontraksi dan retraksi uterus.
Kondisi seperti ini yang berakibat terjadinya perdarahan postpartum (Manuaba,
2012).
e. Partus lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam
(Manuaba, 2012). Pada primigravida persalinan dikatakan lama bila
berlangsung 24 jam dan lebih dari 18 jam untuk multigravida yang disertai
komplikasi ibu maupun janin (Wiknjosastro, 2010). Penyebab persalinan lama
adalah kelainan letak janin, kelainan panggul, kelainan kekuatan his dan
mengejan, terjadi ketidakseimbangan sefalopelvik, pimpinan persalinan selama
proses persalinan yang salah dan primipara primer atau sekunder berusia tua.
Lamanya persalinan menyebabkan adanya gangguan yang terjadi pada kekuatan
his yang lemah, frekuensi his yang berkurang, lamanya kekuatan his
berlangsung, koordinasi tidak teratur. Sehingga dampak dari kegagalan his
6
tersebut menyebabkan persalinan berjalan lambat dan lama serta menyebabkan
terjadinya kelelahan pada otot uterus untuk berkontraksi (Manuaba, 2012).
Penatalaksanaan yang tidak sesuai dengan tahapan persalinan juga dapat
mempengaruhi terjadinya persalinan lama. Menurut Gulardi (2008), fase-fase
persalinan tiap paritas berbeda yaitu :
1) Fase laten memanjang
- Primipara berlangsung lebih dari 18 jam
- Multipara berlangsung lebih dari 12 jam
2) Fase aktif memanjang
- Primipara berlangsung lebih dari 12 jam
- Multipara berlangsung lebih dari 6 jam
3) Kala II lama
- Primipara berlangsung lebih dari 2 jam
- Multipara berlangsung lebih dari 1 jam.
Persalinan yang berlangsung lama dapat menimbulkan komplikasi baik
terhadap ibu maupun terhadap anak, dan akan meningkatkan angka kematian
ibu dan anak (Gulardi, 2008).
f. Kehamilan dengan mioma uterus
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma. Hal ini disebabkan karena
tingginya kadar estrogen pada kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke
uterus yang kemungkinan dapat mempercepat terjadinya pembesaran mioma
uteri ( Manuaba, 2010). Adapun pengertian mioma antara lain :
1) Mioma uteri adalah neoplasma yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat
yang menumpangnya sehingga dapat disebut juga leiomioma, fibromioma,
atau fibroid (Wiknjosastro, 2010).
2) Leiomyoma atau mioma uteri adalah tumor jinak uterus yang berbatas tegas,
disebut juga fibroid, fibroma, dan fibromioma (Oxord, 2010).
3) Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim, disertai jaringan ikatnya,
sehingga dapat dalam bentuk padat karena jaringan ikatnya dominan dan
lunak serta otot rahimnya dominan (Manuaba, 2012).
4) Mioma uteri adalah neoplasma yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat
yang menumpangnya sehingga dapat disebut juga leiomioma, fibromioma,
atau fibroid. Pertumbuhan mioma dapat mencapai berat lebih dari 5 kg.
Jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun, paling
7
banyak berumur 35-45 tahun (25%). Pertumbuhan mioma diperkirakan
memerlukan waktu 3 tahun agar dapat mencapai ukuran sebesar tinja, akan
tetapi beberapa kasus ternyata tumbuh cepat. Mioma uteri lebih sering
ditemui pada wanita nulipara atau yang kurang subur (Cunningham, 2011).
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan postpartum
adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalammiometrium
sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi (Oxorn, 2010).
g. Persalinan buatan/tindakan (SC dan vakum ekstraksi)
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi, yang mampu hidup,
dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Persalinan adalah pengeluaran
produk konsepsi yang dapat hidup melalui jalan lahir biasa. Persalinan buatan
adalah proses persalinan dengan bantuan dari tenaga luar (Wiknjosastro, 2010).
Ada beberapa macam persalinan buatan:
1) Sectio Caesaria
a) Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada
dinding uterus melalui dinding depan perut.
b) Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.
2) Vakum Ekstraksi
a) Vakum ekstraksi adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan
ekstraksi tenaga negatif (vakum) dikepalanya.
b) Vakum ekstraksi adalah tindakan obstetrik yang bertujuan untuk
mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengejan ibu dan
ekstraksi pada bayi.
c) Vakum ekstraksi adalah suatu persalinan buatan dengan prinsip antara
kepala janin dan alat penarik mengikuti gerakan alat vakum ekstraktor.
d) Vakum ekstraksi adalah suatu tindakan obstetrik yang bertujuan untuk
mempercepat persalinan pada keadaan tertentu dengan menggunakan
vacum ekstraktor. Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa
untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga
pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi (Oxorn,
2010).

8
h. Persalinan dengan kehamilan lewat waktu (postterm)
Persalinan dengan kehamilan lewat waktu (postterm) yaitu persalinan yang
terjadi pada ibu dengan kehamilan lewat waktu (Manuaba, 2012). Definisi
kehamilan lewat waktu (postterm) adalah kehamilan yang melewati 294 hari
atau lebih dari 42 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut
rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari (Wiknjosastro, 2010).
Postterm menunjukan atau menggambarkan keadaan janin yang lahir telah
melampaui batas waktu persalinannya, sehingga dapat menyebabkan beberapa
komplikasi. Definisi standar untuk kehamilan lewat bulan adalah 294 hari
setelah hari pertama menstruasi terakhir, atau 280 hari setelah ovulasi.
Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang sudah melewati 42 minggu.
Istilah lewat bulan ( postdate) digunakan karena tidak menyatakan secara
langsung pemahaman mengenai lama kehamilan dan maturitas janin.
Adapun pengaruh dari kehamilan lewat waktu yaitu morbiditas/mortalitas
ibu dapat meningkat sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak
menjadi lebih keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, partus lama,
dan perdarahan postpartum akibat bayi besar sehingga menjadikan otot uterus
lelah dan lemah untuk berkontraksi (Wiknjosastro, 2010).
i. Infeksi intrapartum
Infeksi intrapartum ialah suatu keadaan infeksi yang terjadi pada kehamilan
viable pada saat persalinan berlangsung. Infeksi intrapartum biasanya terjadi
pada keadaan KPD khususnya bila KPD telah terjadi lama. Kriteria infeksi
intapartum:
1) Leukosit > 15.000
2) Suhu tubuh > 38 C
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial
akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan
gangguan untuk melakukan kontraksi (Manuaba, 2012).
j. Partus presipitatus (persalinan yang cepat)
Partus presipitatus merupakan persalinan yang berlangsung sangat cepat,
dimana terjadi kemajuan cepat dari persalinan yang berakhir kurang dari 3 jam
dari kelahiran (Wiknjosastro, 2010). Kadang-kadang pada multipara dan jarang
sekali pada primipara terjadi persalinan yang terlalu cepat sebagai akibat his
yang kuat dan kurangnya tahanan dari jalan lahir. Sehingga sering petugas
9
belum siap untuk menolong persalinan dan ibu mengejan kuat tidak terkontrol,
kepala janin terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar
kemungkinan terjadi laserasi perineum. Penyebab partus presipitatus
diantaranya adalah adanya his `yang terlalu kuat dan terlalu sering yang disebut
tetania uteri, kurangnya tahanan jalan lahir pada saat proses persalinan
(Manuaba, 2012).
Partus presipitatus jarang disertai dengan komplikasi maternal yang serius
jika serviks mengadakan penipisan serta dilatasi dengan mudah, vagina
sebelumnya sudah teregang dan perineum dalam keadaan lemas (relaksasi).
Namun demikian, kontraksi uterus yang kuat disertai serviks yang panjang serta
kaku, vagina dan vulva atau perineum yang tidak teregang dapat menimbulkan
ruptur uteri atau laserasi yang luas pada serviks, vagina, vulva atau perineum.
Mortalitas dan morbiditas perinatal akibat partus presipitatus dapat meningkat
cukup tajam karena beberapa hal: Pertama, kontraksi uterus yang amat kuat dan
sering dengan interval relaksasi yang sangat singkat akan menghalangi aliran
darah uterus dan oksigenasi darah janin. Kedua, tahanan yang diberikan oleh
jalan lahir terhadap proses ekspulsi kepala janin dapat menimbulkan trauma
intrakranial meskipun keadaan ini seharusnya jarang terjadi. Ketiga, pada proses
kelahiran yang tidak didampingi, bayi bisa jatuh ke lantai dan mengalami cidera
atau memerlukan resusitasi yang tidak segera tersedia.
Persalinan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan
buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan
lemah untuk berkontraksi (Cunningham, 2011).
k. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas premature
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing yang
menghalangi kontraksi untuk memicu terjadinya perdarahan (Wiknjosastro,
2010).
l. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam
kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi
menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan Magnesium Sulfat
(MgSo4) yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada

10
preeklampsi/eklampsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang (Oxorn,
2010).
m. Persalinan dengan induksi oksitosin
Induksi persalinan adalah pencetusan persalinan buatan. Augmentasi
persalinan menggunakan teknik dan obat yang sama dengan induksi
persalinan, tetapi dilakukan setelah kontraksi dimulai secara spontan. Biasanya
induksi persalinan hanya dilakukan jika ibu memiliki masalah kebidanan atau
jika ibu maupun bayinya memiliki masalah medis. Pada induksi persalinan
biasanya digunakan oksitosin, yaitu suatu hormon yang menyebabkan
kontraksi rahim menjadi lebih kuat. Hormon ini diberikan melalui infus
sehingga jumlah obat yang diberikan dapat diketahui secara pasti. Selama
induksi berlangsung, denyut jantung janin dipantau secara ketat dengan
menggunakan alat pemantau elektronik. Jika induksi tidak menyebabkan
kemajuan dalam persalinan, maka dilakukan operasi SC. Pada augmentasi
persalinan diberikan oksitosin sehingga kontraksi rahim bisa secara efektif
mendorong janin melewati jalan lahir. Kadang terjadi kontraksi yang terlalu
kuat, terlalu sering atau terlalu kuat dan terlalu sering. Keadaan ini disebut
kontraksi disfungsional hipertonik dan sulit untuk dikendalikan. Jika hal ini
terjadi akibat pemakaian oksitosin, maka pemberian oksitosin segera
dihentikan. Diberikan obat pereda nyeri atau terbutalin maupun ritodrin untuk
membantu menghentikan maupun memperlambat kontraksi. Obat-obatan
uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi saat proses
persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah (Cunningham, 2011).
n. Anemia
Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Tarwoto dan Wasnidar
(2013), adalah sebagai berikut:
1) Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi
dalam darah. Pengobatannya yaitu keperluan zat besi untuk wanita hamil,
tidak hamil dan dalam laktasi yang dianjurkan adalah pemberian tablet besi.
2) Anemia megaloblastik adalah anemia karena kekurangan asam folat, jarang
sekali terjadi anemia karena kekurangan Vitamin B12 dan Air.
3) Anemia hipoplastik/aplastik adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi
sumsum tulang, membentuk sel darah merah baru.

11
4) Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau
pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala
utama adalah anemia dengan kelainan-kelainan gambaran darah, kelelahan,
kelemahan.
5) Anemia akibat gangguan fungsi ginjal yaitu gangguan atau gagal ginjal
kronis dapat menyebabkan terjadi penurunan dari produksi eritropoetin
(EPO), sehingga produksi sel darah merah pun akan menjadi turun.
6) Anemia akibat anormalitas sel darah merah atau anemia bulan sabit (Sickle
Cell) adalah kondisi serius di mana sel-sel darah merah berbentuk seperti
bulan sabit, atau seperti huruf C. Sulit bagi sel darah merah berbentuk bulan
sabit untuk melewati pembuluh darah terutama di bagian pembuluh darah
yang menyempit, karena sel darah merah ini akan tersangkut dan terjadilah
penggumpalan, akibatnya umur sel darah merah menjadi terlampau pendek,
yaitu sekitar 10 - 20 hari, sehingga sel darah merah yang beredar dalam
tubuh akan selalu kekurangan dan akan menimbulkan rasa sakit, infeksi
serius, dan kerusakan organ tubuh.
7) Anemia akibat pengeluaran darah yang berlebih, perdarahan baik akut
maupun kronis dapat mengakibatkan terjadinya anemia. Contoh pada
perdarahan akut antara lain dapat disebabkan oleh trauma, persalinan, contoh
pada perdarahan kronis antara lain, batuk darah kronis, menstruasi yang
berkepanjangan.
a. Klasifikasianemia menurut Depkes RI (2011):
1) Tidak anemia : ≥ 11 gr%
2) Anemia : < 11 gr% )
b. Klasifikasi anemia menurut WHO:
1) Normal : ≤ 11 gr %
2) Anemia ringan : 9-10 gr %
3) Anemia sedang : 7-8 gr%
4) Anemia berat : < 7 gr%
c. Klasifikasi menurut Manuaba (2010):
1) Tidak anemia : Hb 11 gr %)
2) Anemia ringan : Hb 9-10 gr %
3) Anemia sedang : Hb 7-8 gr %
4) Anemia berat : Hb < 7 gr %
12
Anemia penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus
uterus terhambat untuk berkontraksi.
o. Salah pimpinan kala III
Kala III merupakan periode waktu dimulai setelah bayi lahir dan berakhir
pada saat plasenta seluruhnya sudah dilahirkan. Otot uterus (miometrium)
berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya
bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat
perlekatan plasenta. Tempat perlekatan menjadi semakin mengecil, ukuran
plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat, menebal dan kemudian
lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah
uterus atau ke dalam vagina. Setelah plasenta lahir, dinding uterus akan
berkontraksi danmenekan semua pembuluh darah sehingga akan
menghentikan perdarahan dari tempat melekatnya plasenta. Sebelum uterus
berkontraksi, dapat terjadi kehilangan darah 350-560 cc/menit dari tempat
pelekatan plasenta.
Salah pimpinan kala III terjadi jika rahim di pijat-pijat untuk
mempercepat lahirnya plasenta. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan,
seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan
dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik
yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi
dan menahan plasenta (Oxorn, 2010).
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak
merembes.Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini
terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah.
b. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan
atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
c. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam kavum uteri dan
menggumpal.
13
d. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin,
gelisah, mual dan lain-lain (Wiknjosastro, 2010).
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan
bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500-1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
tertangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian
darah pengganti.
E. Penatalaksanaan
a. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penanganan awal yaitu
resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-
tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan
transfusi darah.
b. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uterus segera setelah lahirnya
plasenta (maksimal 15 detik).
1) Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum atau vagina dan serviks mengalami laserasi dan
jahit atau rujuk segera.
2) Jika uterus tidak berkontraksi maka :
a) Bersihkan bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lubang
serviks.
b) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
c) Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
d) Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.

14
e) Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-
lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg/IM (jangan diberikan jika hipertensi),
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml
RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin,
Ulangi KBI jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama
kala IV. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.
c. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus
posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekuensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetania uteri.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps
bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping
pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek
samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. Metilergonovin maleat
merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri
setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat
diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan
langsung pada miometrium jika diperlukan (IM) atau IV bolus 0,125 mg. Obat
ini dikenal dapat menyebabkan vaso spasme perifer dan hipertensi, dapat juga
menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan hipertensi. Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15
metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuskular, dan rektal. Pemberian
secara IM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis
maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi
perdarahan postpartum (5 tablet 200 μg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin
seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme
yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi
sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat,
15
dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini
menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
d. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang
berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika
dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim.
1) Ligasi arteri Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke
medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi
denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan
sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang
dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter
harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
2) Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternatif untuk
mengatasi perdarahan postpartum akibat atonia uteri.
3) Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan postpartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi
pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal (Cunningham, 2011).

16
BAB III
KESIMPULAN

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus / kontraksi rahim


yangmenyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Atonia uteri banyak
disebabkan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, kelelahan saat
persalinan, grande-multipara, anak terlalu besar, dan ada riwayat atona uteri
pada persalinan yang sebelumnya.
Atonia uteri dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala III
pada semua ibu yang bersalin. Sedangkan manajemen atonia uteri dilakukan
dengan masase dan kompresi bimanual yang akan menstimulasi kontraksi
uterus dan menghentikan perdarahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2014.
Jakarta. www.bps.go.id. Diunduh Juni 2016.
B-Linch, Christoper., Louis G. Keith, Andre B Lalonde., Mahantesh Karoshi.
2006. A Text Book of Postpartum Hemorrhage. United Kingdom: Sapiens
Publishing.
Chapman, Vicky.2006. The Midwife’s Labour & Birth Handbook. Jakarta: EGC.
Cunningham, F. Gary., Gant, Norman F., Leveno, Kenneth J., Gilstrap III, Larry
C.,Hauth, John C., Wenstrom, Katharine D. 2011. Obstetri Williams.Vol.7.
Edisi 21. Jakarta: EGC.
Depkes RI .2014. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. www.depkes.go.id. Di
unduh Mei 2016.
Dinkes Prov. NTB. 2012. Profil Kesehatan Dinkes NTB dalam Upaya Percepatan
Penurunan AKI dan AKB di NTB. NTB: Dinas Kesehatan Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
Gulardi, H. 2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
Jakarta: JNPK-KR.
JNPKR-KR. 2007. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: EGC.
Kementrian Riset dan Teknologi. 2012. Pedoman Etika Penelitian untuk
Meningkatkan Kualitas Peneliti. www.ristek.go.id. Diunduh Juni 2016.
Lucinda.2010. Hubungan Karakteristik Ibu Bersalin dengan Kejadian Perdarahan
Postpartum karena Atonia Uteri.
www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311090/Abstrak.pdf.
Diunduh tanggal Mei 2016.
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Ed. 2. Jakarta: EGC.
Manuaba, I.B.Gde., I.A, Chandranita. 2012. Gawat Darurat Obstetri-Ginekologi &
obstetric-ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.

18
Mousa HA, Blum J, Abou El Senoun G, Shakur H, Alfirevic Z. 2014. Treatment
for primary postpartum haemorrhage. Cochrane Database Syst Rev. 2014 Feb
13; (2):CD003249. Epub 2014 Feb 13.
Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Oxorn, Harry. 2010. Ilmu Kebidanan: Fisiologi dan Patologi Persalinan.
Jakarta: Yayasan Essentia Medica (YEM).
Pardosi, Maida. 2005. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan
pasca-persalinan dan upaya penurunannya. Medan. USU Institutional
Repository (USU-IR).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19654/1/pan-jul2006-
%20%286%29.pdf .
Praptisari, ayu., Idayani., Putu, Nita. 2012. Atonia Uteri kala III. Yogyakarta:
http://cahyatoshi12.com/2012/01/atonia-uteri.html. Diunduh Mei 2016.
Purwanti. 2015. Determinan penyebab perdarahan karena atonia uteri. Jurnal
Prada. ISSN 2087-6874 volume VI nomor 1 Juni 2015.
Rahardjo, Mudjia. 2012. Etika Penelitian. www.mudihardjo.com. Diunduh Juni
2016.
Roslyana, Sri., Sofwal, Widad. 2011. Risk Factors Early Postpartum Haemorrhage
at Sukadana Hospital, District East Lampung. The Faculty of Medicine
publishes journals. April 29, 2016 - Views: 2.http://obgin-
ugm.co,/wp/content/uploads/201207/Sri-Roslyana-naskah- publikasi.pdf .
Sastroasmoro, Sudigdo. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi-4.
Jakarta: EGC.
Tarwoto., Wasnidar. 2013. Buku Saku Anemia pada Ibu Hamil, Konsep dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Trans Info Media.
Trisnawati, Yuli. 2015. Pengaruh Umur dan Jarak Kehamilan Terhadap
Kejadian Perdarahan karena Atonia Uteri. Purwokerto.
http://seminarlppm.ump.ac.id/index.php/semlppm/article/view/187.
Diunduh Mei 2016.
Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Vol. 1 Edisi 4. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

19
Wetta, Luisa A., Jeff, Szychowski. 2013. Risk Factors for Uterine
Atony/Postpartum Hemorrhage Requiring Treatment after Vaginal
Delivery. Birmingham. Am J Obstet Gynecol. 2013 Jul;209(1):51.e1-6. doi:
10.1016/j.ajog.2013.03.011. Epub 2013 Mar 15.
Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:
PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Zuberi, Nadeen F. 2007. Uterine Atony at a Tertiary Care Hospital in Pakistan:
A Risk Factor Analysis Uterine Atony at a Tertiary Care Hospital in
Pakistan: A Risk Factor analysis. Pakistan: Journal of Pakistan Medical
Association. Department of Obstetrics and Gynaecology, The Aga
Khan University Karachi. April.
jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=3005.

20

Anda mungkin juga menyukai