Anda di halaman 1dari 20

TRAUMA ABDOMEN

Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat


Dosen Koordinator : Ns. Aries Abiyoga, M.Kep

Disusun oleh :
Kelompok 2

Ade Prihastini 16.0354.689.01 Muhammad Derianto 16.0388.723.01


Alex 16.0358.693.01 Muri Agustiana 16.0393.728.01
Darmayanti 16.0362.697.01 Novi Trisnawati 16.0400.735.01
Diva Grasia L 16.0366.701.01 Rachmah Maiayana 16.0407.742.01
Elva Vera Fauziah 16.0368.703.01 Oktavia Darwinto P 16.0405.740.01
Felia Maulida 16.0372.707.01 Salmah Assegaf 16.0413.748.01
Heni Puspita Sari 16.0377.712.01 Sinta Yendi 16.0419.754.01
Laila Tifah 16.0383.718.01 Vivin Sumarni 16.0424.759.01

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA
SAMARINDA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44
tahun diseluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta
pertahun) kecelakan dijalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memprediksik bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat
ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecatatan (Peden, 2004).
Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah factor, salah satunya
tingkat ekonomi merupakan factor penentu utama. Laporan WHO 2004
mengutip angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor
keparahan (ISS) dari 9 atau elbih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan
secara lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan angka kematian,
termasuk pra-rumah sakit dan dirumah sakit, adalah 35% di negara-negara
berpenghasilan tinggi, namum mengingkat menjadi 55% dinegara
berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah.
Dalam system kesehatan yang canggih, korban di bawa kerumah sakit
terdekat kemudian dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat
darurat. Pengobatan berpusat pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini
menyatu ke perawatan definitive dalam operasi, dengan control jalan nafas,
ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca mengetahui dan memahami
tentang trauma abdomen, serta dapat menerapkan tindakan keperawatan terkait
dengan pengetahuan yang ada
2. Tujuan Khusus
a. Agar dapat mengetahui pengertian dari trauma abdomen
b. Agar dapat mengetahui manajemen injury pada trauma abdomen
c. Agar dapat mengetahui perbedaan anatomi dan fisiologi anak
d. Primary survey
e. Resusitasi
f. Secondary survey

C. Manfaat
1. Meningkatkan pengetahuan bagi pembaca agar dapat mengetahui
penanganan pada trauma abdomen
2. Dijadikan sebagai referensi dalam mengembangakan ilmu kedawat
daruratan pada trauma abdomen
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Trauma Abdomen


Trauma abdomen adalah cedera pada adomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau disengaja. Trauma abdomen
adalah kejadian atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolism, kelainan imunologi
dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen merupakan emergency
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Klasifikasi trauma
abdomen berdasarkan jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu trauma tajam
(penetrans) dan trauma tumpul (blunt trauma).
1. Trauma tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi atau terpotong. Luka tembak dengan
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energy kinetic yang lebih besar
terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan
lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%),
diafragma (20%), dan colon (15%).%). Luka tembak menyebabkan
kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru,
dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru
oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh
darah abdominal (25%).
2. Trauma Tumpul
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil
yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat
merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan
ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan
mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing
injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi
bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun
komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang
cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma
decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian
yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur
hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen.
Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.

B. Manajemen Injury
Berdasarkan jenis organ yang cedera, organ intraabdomen dapat dibagi
menjadi dua yaitu organ padat dan orang berongga. Yang termasuk dalam organ
padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pancreas, buli buli, organ genetalia
interna pada wanita, dan diafragma, sedangkan yang termasuk organ berongga
yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum), ureterdan saluran
empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada pasien yang
mengalami trauma tumpul abdomen antara lain:
a. Cedera Hati/Hepar
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya
terlindung dengan baik, namun organ tersebut sering mengalami cedera
selain organ limpa. Cedera organ hati paling utama disebabkan karena
ukurannya, lokasinya dan kapsulnya yang tipis yang disebut Glisson
capsule. Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul. Hati
menempati hampir seluruh regio hypochondrica dextra, sebagian di
epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio hypochondrica sinistra
sejauh linea mammilaria. Hati dapat mengalami cedera dikarenakan trauma
tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering
mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang mengalami
trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati dalam 30 tahun
terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan banyaknya
penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu studi
retrospective yang pernah dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota
Barcelona, Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis trauma hati, 87
pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan tindakan
operasi ( 26% )(She et al., 2016).
Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada
ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda
syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya tanda-
tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine,
tekanan vena sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen
memberikan gambaran suatu trauma hati.
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih
dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul. Kadar
enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa
terdapat cidera pada hati, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu
perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hati lainnya. Peningkatan serum
bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah
trauma (Garcia et al., 2010).
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma
merupakan gejala yang sering terjadi. Nyeri tekan dan defans muskuler
tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan
iritasi peritoneum. Pemeriksaan CT scan akurat dalam menentukan lokasi
dan luas trauma hati, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan
organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi
yang terjadi setelah trauma hati yang memerlukan penanganan segera
terutama pada pasien dengan trauma hati berat, dan digunakan untuk
monitor kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat bermanfaat
dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati. Dengan CT scan
menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan
pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif
dari kasus trauma hati (Njile, 2012).
b. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang
merupakan jaringan limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa berukuran
kira-kira sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah hemidiafragma
kiri. Proyeksi letak limpa pada abdomen yaitu berada di hypocondriaca
sinistra. Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel
pada permukaan bawah diafragma dan terlindung oleh lengkung iga. Sumbu
panjangnya terletak sepanjang iga 10. Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11
dan terpisah dari diaphragma dan pleura(Sander, 2015).
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada ada
tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan ada
atau tidaknya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan hebat akibat
cedera limpa dapat mengakibatkan syok hipovolemik berat. Hipotensi atau
takikardi merupakan tanda yang menunjukan adanya cedera limpa. Tanda-
tanda lain adanya cedera pada limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang
jelas, diikuti oleh nyeri abdomen terutama kuadran kiri atas, datang dengan
gambaran menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas yang nyeri
apabila di tekan disertai tanda anemia sekunder.
c. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti
dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada
usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis secara
umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada duodenum
biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis cedera
usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan
rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan
pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada
rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam rongga retroperitoneal
(Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
d. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah
ginjal. Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma.
Trauma ginjal dapat menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun
sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara
konservatif. Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20
tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah pada kasus-kasus
trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan
lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi.
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau
laserasi dan hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen.
Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga
bawah, atau distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma
pada ginjal (Indradiputra and Hartono, 2016)
e. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan
kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas
harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen,
contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil.
Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pasien
dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan
abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam setelah trauma,
dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial. Diagnosis dengan penentuan
amilase serum biasanya tidak terlalu membantu dalam proses akut.
Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih spesifik (Aziz,
Bota and Ahmed, 2014).
f. Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat
pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya
cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska trauma.
Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-
tiba dari deselerasi dan akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi,
benturan langsung pada daerah lumbal 2 dan 3. Gerakan tiba-tiba dari ginjal
menyebabkan terjadinya gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan
terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada pasien dengan
kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri pada
flank sampai ke perut bawah. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang
menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc.

C. Perbedaan Anatomi dan Fisiologi Anak


Secara garis besar penilaian dan pengelolaan trauma pada anak tidak
berbeda dengan dewasa, namun karakteristik anatomi pada anak memerlukan
perhatian khusus.. Anatomi abdomen yang unik pada anak berpengaruh
terhadap respon biomekanik terhadap trauma, adapun kharakterisitik khusus
anatomi pada anak adalah sebagai berikut:
1. Ukuran dan bentuk
Oleh karena ukuran tubuh anak yang kecil, energi yang ditimbulkan oleh
gaya linier dari sumber trauma akan mengakibatkan gaya yang lebih besar
pada suatu unit area tubuh. Energi yang besar tersebut diterima oleh tubuh
yang mengandung sedikit jaringan lemak, jaringan ikat yang kurang elastis
dan organ-organ abdomen yang saling berdekatan. Akibat keadaan ini
trauma majemuk sering ditemukan pada anak. Lima belas persen anak-anak
dengan cedera intra abdomen juga terdapat di bagian tubuh yang lain,
sehingga diperlukan pemeriksaan yang seksama.
Ukuran kepala relatif lebih besar dibandingkan tubuh sehingga pada
anak cenderung kepala mengenai tanah ketika jatuh. Immobilisasi spinal
harus dipikirkan untuk mempertahankan alignment.
Dinding otot abdomen pada anak-anak lebih tipis daripada dewasa
terutama pada usia 2 tahun pertama kehidupan oleh karenanya kurang dapat
memberikan perlindungan terhadap struktur didalamnya. Tulang rusuk
anak-anak lebih fleksibel daripada dewasa sehingga dapat mengurangi
resiko patah tulang.
Perbandingan solid organ anak lebih besar dibandingkan dengan dewasa
sehingga banyak surface area yang terekspose sehingga organ tersebut
beresiko untuk mengalami cedera. Lien pada anak mempunyai kapsul yang
lebih tebal dibandingkan dewasa. Pada anak yang masih muda intestine
tidak sepenuhnya terfiksasi pada rongga intraperitoneal seperti sigmoid dan
kolon kanan potensial mengalami deselerasi serta kompresi.
Kandung kencing meluas sampai level umbilikus setelah lahir dan lebih
ekspose terhadap direct impact pada bagian bawah abdomen.
2. Struktur Tulang
Struktur tulang pada anak belum sepenuhnya mengalamai kalsifikasi
dan terdiri dari pusat pertumbuhan sehingga akan lebih lunak. Oleh karena
itu organ dalam seringkali mengalami trauma tanpa disertai oleh fraktur
tulang sekitarnya. Disamping itu arcus costarum bersudut lebih tumpul
dibandingkan dengan dewasa sehingga organ visera pada abdomen atas
kurang terlindungi. Dengan demikian lien dan hepar merupakan dua organ
visera yang paling sering mengalami trauma. Jaringan lebih elastik
berhubungan dengan regangan dan robekan cedera spinal cord yang serius
dapat terjadi tanpa tanda-tanda adanya trauma.
3. Luas Permukaan Tubuh
Anak-anak mempunyai lemak tubuh yang kurang dan memiliki luas
permukaan tubuh yang luas sehingga dapat menyebabkan kehilangan panas
secara cepat. Oleh karena itu hipotermi lebih mudah terjadi karena energi
panas akan cepat hilang melalui permukaan tubuh yang relatif lebih luas
sehingga harus ditutupi dan mempertahankan temperatur serta observasi
tanda adanya hipotermia. Oleh karena anak-anak mempunyai
disproporsional luas permukaan tubuh dan kurangnya termoregulasi,
mempertahankan suhu pada injuri pada anak menjadi sangat penting.
4. Tekanan Darah
Tekanan darah tidak dapat dipakai sebagai patokan adanya syok pada
anak yang mengalami trauma. Anak-anak dapat memiliki tekanan darah
normal sampai fase terakhir syok Observasi secara hati-hati dan mencari
tanda-tanda di kulit, capillary refill, takikardia, dan takipneu. Oleh karena
kompensasi yang unik pada anak maka hipotensi sekunder dari hipovolemik
syok akan terlambat. Resusitasi awal yang agresif pada anak merupakan
indikasi pada kasus injuri pada anak.
5. Status Psikologis
Keadaan emosional yang tidak stabil sifat regresi dan non koperatif pada
anak sering menyulitkan proses anamnesa dan penilaian pemeriksaan fisik.
Oleh karena itu dokter yang memeriksa seorang anak dengan trauma harus
mampu membujuk dan menenangkannya sehingga data-data yang akurat
dapat diperoleh.
6. Efek Jangka Panjang
Oleh karena seorang anak masih akan mengalamai pertumbuhan dan
perkembangan maka trauma majemuk yang berat dan menyebabkan
kecacatan akan menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari. Enam
puluh persen anak yang mengalami trauma majemuk akan mengalamai
gangguan kepribadian setelah satu tahun meninggalkan trumah sakit. Oleh
karena itu pengelolaan awal yang tepat sangat penting untuk mengurangi
kecacatan pada anak yang mengalami trauma sehingga kualitas hidup
selanjutnya akan mencapai keadaan yang optimal.

D. Primary Survey dan Resusitasi


Tindakan pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan
sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien
dari ancaman kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan secepat
mungkin dalam memastikan kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda
vital yang diperiksa saat pasien trauma datang ke ruang gawat darurat menjadi
petunjuk tingkat cedera yang terjadi. Masalah sirkulasi merupakan masalah
pada primary survey yang sering dihadapi pada pasien trauma tumpul abdomen.
Syok karena perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin untuk tindakan
lebih lanjut.
1. Airway : Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau
obstruksi,
2. Breathing: Memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur,
tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas
vesikuler,
3. Circulation: Nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mnt, tekanan darah
dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis,
kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik apabila ada
perdarahan. Penurunan kesadaran.
4. Disability: Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor
apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis.
5. Exposure/Environment: Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada
wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.

E. Secondary survey
Setelah primary survey selesai baru dilakukan secondary survey berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang lengkap.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis cedera
intraabdomen. Pada pasien dengan hipotensi paska trauma, sangat penting
untuk mengevaluasi apakah pasien tersebut mengalami cedera abdomen atau
tidak. Tingkat kewaspadaan yang tinggi terhadap terjadinya cedera
intraabdomen dan pemeriksaan yang komperhensif sangat diperlukan dalam
manajemen trauma secara umum.
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada
saat pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik
cukup akurat dalam menentukan cedera intraabdomen pada pasien dengan
kesadaran baik dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan
fisik.
a. Inspeksi
Penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bagian
depan sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum
sesuai anatomi abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya
goresan/laserasi, robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status
hamil pada perempuan. Adanya jejas, laserasi di dinding perut, atau
perdarahan dibawah kulit (hematome) setelah trauma dapat memberikan
petunjuk adanya kemungkinan kerusakan organ di bawahnya.
Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena
kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya
iritasi peritoneal. Pergerakan pernafasan perut yang tertinggal
merupakan salah satu tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi
abdomen yang terlihat sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt
Sign) sering ditemukan sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ
intraabdomen.

Gambar 1.1 Seat belt sign, jejas menyerupai sabuk


pengaman pada pasien trauma tumpul abdomen

b. Auskultasi
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada
robekan (perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan
kebanyakan menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada
auskultasi toraks kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma.
Perdarahan intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat
memberikan gambaran ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus.
Cedera pada struktur yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang
belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak
terdapat cedera di intraabdomen, sehingga tidak adanya bunyi usus
bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal
c. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukkan adanya peritonitis tetapi masih meragukan. Perkusi juga
dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di
kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum. Perkusi redup
hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga
perut yang berarti kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari
organ-organ usus. Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan
adanya tanda-tanda peritonitis umum(
d. Palpasi
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi.
Nyeri juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri
sangat penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena.
Nyeri abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting
kemungkinan peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah
maupun isi usus. Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen
(voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen.
Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang
penting dari iritasi peritoneum. Palpasi menentukan adanya nyeri tekan
superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika
tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya
menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus
yang mengiritasi peritoneum

2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien
trauma adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi,
DPL, CT scan dan laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan
tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien
trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi
dengan Ultrasonografi (USG) abdomen, atau CT scan. Pasien trauma
tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG
di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum untuk
menyingkirkan cedera intraabdomen.
a. Pemeriksaan laboratorium
di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi arti kecuali
digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik
selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti
misalnya serial haematocrit dan hemoglobin untuk monitor kehilangan
darah, amylase untuk monitor adanya trauma pancreas. Pemeriksaan
laboratorium awal yang diperlukan dalam manajemen trauma abdomen
antara lain:
1) Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Hct) dan platelet (PLT)
2) Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan
adanya disfungsi ginjal.
3) Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
4) Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis
metabolik.
5) Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT,
untuk menilai adanya koagulopati
6) Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.
b. Foto polos abdomen
Berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas
intraabdomen. Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa
terlihat pada foto polos abdomen. Foto tegak dapat menunjukan udara
bebas intraperitoneal yang disebabkan oleh perforasi organ visera
berongga, adanya nasogastric tube pada rongga thoraks (cedera
diaphragma). Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks
anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus
dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang
hemodinamik stabil, maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam
keadaan terlentang dan tegak mungkin berguna untuk mengetahui
adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di
bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga
menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak
dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat
digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk
mengetahui udara bebas intraperitoneal.Pengenalan diagnostic
peritoneal lavage (DPL) pada tahun 1965 memberikan metode yang
aman dan murah yang dengan cepat dapat mengidentifikasi adanya
cedera intraabdomen. DPL merupakan tes cepat dan akurat yang
digunakan untuk mengidentifikasi cedera intraabdomen setelah trauma
tumpul pada pasien hipotensi paska trauma tanpa indikasi yang jelas
untuk laparotomi eksplorasi abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL
sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya.
Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit turun
tanpa alasan yang jelas, pasien cedera abdominal dengan gangguan
kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera abdominal dan
cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang
pelvis. Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien
hamil, pernah operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila
hasil DPL nantinya tidak akan merubah penatalaksanaan. Kriteria
standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya
10 mL darah, lavage berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari
100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3,
amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau
serat makanan.
c. Ultrasonografi (USG)
Telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir untuk evaluasi
pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG untuk
mencari cairan bebas intraperitoneal. Hal ini dapat dilakukan dengan
cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan DPL
untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati
dan limpa meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di
intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi
atau di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa
menunda tindakan resusitasi pada pasien tersebut.
Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage
adalah USG merupakan tindakan yang noninvasif. USG dapat
mendeteksi adanya laserasi pada hati dan ginjal, namun tidak mampu
secara tepat memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi.
Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut setelah USG dinyatakan
negatif pada pasien yang stabil. Sensitivitas berkisar dari 85% sampai
99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%. Sebuah studi
mengemukanan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan
seperti pada trauma tumpul.
d. Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)
Metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Metode pencitraan CT scan
telah membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan
trauma tumpul abdomen. Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah
pasien yang memerlukan tindakan pembedahan dan operasi non
terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan dalam menilai tingkat beratnya
cedera intraabdomen masih dipertanyakan. Suatu penelitian
menyatakan bahwa grading trauma hati preoperative dengan CT scan
dihubungkan dengan penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai.
Harus ditekankan untuk mengambil tindakan intervensi operasi
didasarkan pada stabilitas hemodinamik pasien tanpa memperhatiakan
grading CT scan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44
tahun diseluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta
pertahun) kecelakan dijalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memprediksik bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat
ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecatatan (Peden, 2004).
Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah factor, salah satunya
tingkat ekonomi merupakan factor penentu utama. Laporan WHO 2004
mengutip angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor
keparahan (ISS) dari 9 atau elbih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan
secara lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan angka kematian,
termasuk pra-rumah sakit dan dirumah sakit, adalah 35% di negara-negara
berpenghasilan tinggi, namum mengingkat menjadi 55% dinegara
berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah.

B. Saran
Diharapkan mahasiswa keperawatan maupun pembaca mengetahui konsep
teori trauma pada Abdomen. Mahasiswa keperawatan mampu
mengimplementasikan pengetahuannya dalam penanganan pada pasien yang
mengalami trauma pada Abdomen.
DAFTAR PUSTAKA

Wiargitha Ketut I (2017). Prediktor Klinis Lesi Intraabdomen Pada Penderita Trauma
Tumpul Abdomen Yang Dirawat Konservatif Di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Denpasar
Pratama Andi Djaja (2014). Trauma Abdomen Pada Anak.

Anda mungkin juga menyukai