Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHALUAN

1.1 Latar Belakang


Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini yaitu solutio placentae,abruptio
placentae,blatioplacentae,dan accidental hemorraghe. istilah ini atau nama lain yang lebih
deskriptif adalah premature separation of the normally implanted placenta (pelepasan dini
uri yang implantasinya normal). Bila terjadi kehamilan di bawah 20 minggu gejala
kliniknya serupa dengan abortus iminens. Secara definitif diagnosisnya baru bisa di
tegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal plasenta.
Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil
dan janinnya. pada perdarahan tersembunyi (cocealed hemorraghe) yang luas di mana
perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi sirkulasi utero-plasenta dan
menyebabkan hipoksia janin. Di samping itu,pembentukan hematoma retroplasenta yang
luas menyebabkan koagulopati konsumsi yang fatal bagi ibu.
(Prawirohardjo,s.2008:503)
Plasenta previa adalah Plasenta yang berimplantasi pada segman bawah rahim
demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.
Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau kalsifikasi dari plasenta previa ketika
pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun dalam masa intranatal, baik
dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena itu, pemeriksaan
ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuha antenatal ataupun intranatal

1
1.2 Tujuan

Untuk mengetahui penyebab dalam Perdarahan Antepartum yang meliputi

2.1.1 Solusio plasentta


2.1.2 Plasenta Previa
2.1.3 insersio Velamentosa
2.1.4 Ruptur Sinus Marginalis
2.1.5 Plasenta Sirkum Valata

Untuk mengetahui Kelainan dalam lamanya Kehamilan


2.2.1 Prematur
2.2.2 postmatur
2.2.3 IUGR
2.2.4 IUFD

2
BAB II

TINJAUN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Antepartum
salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan. Perdarahan
dapat terjadi pada setiap usia kehamilan,. Langkah pertama menghadapi setiap pasien
dengan perdarahan yang banyak adalah segera memberikan infus Ringer-Laktat atau
larutan garam fisiologik dan kecepatannya disesuaikan dengan kebutuhan setiap kasus,
serta memeriksa Hb dan golongan darah.
2.1.1 Solusio Plasenta
1. Pengertian
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir.(Prawirohardjo, s.
2008:502)
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang
normal pada uterus, sebelum janin di lahirkan. Defenisi ini berlaku pada kehamilan
dengan masa gestasi di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram. Proses
solusio plasenta di mulai dengan terjadinya perdarahan dalam desidua basalis yang
menyebabkan hematoma retroplasenta.
Hematoma dapat semakin membesar kearah pinggir plasenta sehingga jika
amniokhorion sampai terlepas, perdarahan akan keluar melalui ostium uteri
(perdarahan keluar ), sebaiknya apabila amniokhorion tidak terlepas, perdarahan
tertampung dalam uterus (perdarahan tersembunyi) .
Abrupsi plasenta merupakan perdarahan uterus yang terjadi setelah pelepasan
plasenta secara prematur yang terletak di area yang normal. Kondisi ini cenderung
tersembunyi pada hampir seperti kasus (y.i., tidak terlihat pengeluaran per vaginan)
dan terlihat pada dua per tiga kasus.(Holmes, D. 2011:151)

Klasifikasi

3
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis),dapat pula terlepas lebih luas (suliso plasenta parsialis),atau bisa
seluruh permukaan maternal terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang
terjadi alam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium
untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh
jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina (revelead hemorraghe). Akan
tetapi,ada kalanya ,walaupun jarang,perdarahan tersebut tidak keluar melalui
vagina (concealed hemorraghe) jika :
1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim.
2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah
karenanya.
4. Bagian terbawah janin,umumnya kepala,menenmpel ketat pada segmen
bawah rahim.
Dalam klinis solusio plasenta di bagi ke dalam berat ringannya gambaran
klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas,yaitu solusio
plasenta ringan,solusio plasenta sedang,dan solusio plasenta berat.Yang ringan
biasanya baru di ketahui setelah plasenta lahir dengan adanya hematoma yang tidak
luas pada permukaan maternal atau ada rupture sinus marginalis. Pembagian secara
klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena solusio plasenta sifatnya
berlangsung progesif yang berarti solusio plsenta yang ringan bisa berkembang
menjadi buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada kategori concealed
hemorraghe.(Prawirohardjo ,s.2008:503-504)
2. Macam solusio plasenta:
a. Solusio plasenta ringan
Luas permukaan yang terlepas tidak sampai 25 % atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
kurang dari 250 ml. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid
bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak.gejala-gejala
perdarahan sukar di bedakan dari plasenta previa kecual warna darah yang
kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.

4
Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit sekali
melahirkan gejala. Pada keadaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali
hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan
maternal plasenta.ini dpat di ketahui secara retrospektif pada inspeksi plasenta
setelah partus. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih
sedikit,sehingga belum keluar melalui vagina. Nyeri yang belum menyulitkan
membedakannya dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar berwarna
merah segar pada plasenta previa. Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu
ataupun janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan
kecuali pada palpasi sedikit rasa nyeri lokal pada tempat berbentuk hematom
dan perut sedikit tegang tapi bagian-bagian janin masih dapat di kenal.kadar
fibrinogen darah dalam batas-batas normal yaitu 350%.
b. Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%,tetapi belum mencapai
sepenuhnya (50% ). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tetapi
belum mencapai 1.000 ml.umumnya pertumpahan darah terjadi ke luar dan ke
dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa
nyeri pada perut yang terus-menerus,denyut jantung menjadi cepat,hipotensi
dan takikardi.
c. Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%,dan jumlah darah yang
keluar telah mencapai 1.000 ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi ke
luar dan ke dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinik
jelas,keadaan umum penderita buruk di sertai syok,dan hampir semua janinnya
telah meninggal.komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang di tandai pada
oliguri biasanya telah ada.
Perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan (defence musculaire)
disertai perdarahan yang berwarna hitam.oleh karena itu,palpasi bagian-bagian
janin tidak mungkin lagi di lakukan. Fundus uteri lebih tinggi dari pada yang
seharusnya oleh karena telah terjadi penumpukan darah di dalam rahim pada
kategori concealed hemorraghe. Jika dalam masa observasi tinggi fundus

5
bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi
langsung rahim kelihatan membulat dan kulit di atasnya kencang dan berkilat.
Pada auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat gangguan
anatomik dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum menjadi buruk di sertai syok.
Ada kalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk di bandingkan perdarahan
yang tidak seberapa keluar dari vagina. Hipofibrinogenemia dan oliguria boleh
jadi telah ada sebagai akibat komplikasi pembekuan darah intravaskular yang
luas (disseminated intravascular coagulation), dan gangguan fungsi ginjal.
Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150% dan telah ada
trombosipenia.(Prawirohardjo,s.2008:504)
3. Diagnosis
Dalam banyak hal di agnosi bisa di tegakkan berdasarkan gejala dan tanda
klinik yaitu perdarahan melalui vagina,nyeri pada uterus. Kontraksi tatanik pada
uterus,dan pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin
pada pemeriksaan dengan KTG. Namun,adakalanya pasien datang dengan gejala
mirip persalinan prematur,atau pun datang dengan perdarahan tidak banyak dengan
perut tegang ,tetapi janin telah meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa di
tegakkan secara retrospektif yaitu setelah partus dengan melihat adanya hematoma
retroplasenta.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya dengan
plasenta previa,tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG tidak
memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta yang
normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta pada solusio plasenta.
Kompleksitas gambaran normal retriplasenta ,kompleksitas vaskular rahim
sendiri,desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positip palsu. Di samping itu,solusio plasenta sulit
di bedakan dengan plasma itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan baru
sering bisa membantu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang telah
membeku dan akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam
kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.
(Prawirohardjo,s.2008:509)

6
Diagnosis biasanya ditegakan pada saat pemeriksaan klinis. Solusio tidak
parah, diagnosis hanya dapat ditegakkan, melalui inspeksi plasenta setelah kala tiga
persalinan selesai. Pada beberapa kasus, pemeriksaan ultrasound dapat membantu
memperlihatkan adanya bekuan retro plasenta previa. Pemeriksaan ultrasound juga
penting apa bila obrupsio di tangani secara konservatif. Diagnosis banding
obsurpsio plasenta secara umum dapat setelah solusio plasenta, pada ibu yang
mendapat resusitasi adekuat, sangat memuaskan.

Dampak pada ibu :

1. Hemoragi fetomaternal
Kondisi ini dapat memicu sensitisasi ibu terhadap antigen golongan darah
janin. Hal ini sangat penting untuk golongan darah rhesus D, dan semua ibu
yang memiliki darah rhesus D negatif harus menjalani tes Kleihauer untuk
menentukan luasnya hemoragi fetomaternal dan dosis imunoglobulin anti-D
yang sesuai.
2. Mortalitas maternal
Confidential Enquiries inti Marernal Mortality berikutnya terus mencatat
solusio plasenta sebagai penyebab utama kematian, biasanya sebagai dampak
dari komplikasi di atas.
3. Kekambuhan
Setelah terjadi satu kali solusio, angka kekambuhan mencapai 10 persen,
meningkat hingga 25 persen setelah 2 kali episode.

Dampak pada janin

1. Mortalitas perinatal
Solusio adalah penyebab utama kematian janin dan neonatus. Angka
mortalitas perinatal dipengaruhi oleh luasnya solusio, interval pelahiran, usia
kehamilan saat solusio dan pelahiran terjadi, dan faktor terkait lainnya,sepeti
retradasi pertumbuhan akibat plasenta yang buruk.
2. Hambatan pertumbuhan intrauterin

7
Kondisi ini kemudian memiliki dua komponen utama. Penyebab pertama
mungkin invasi trovoblas yang tidak adekuat pada arteri spiralis dan desidua
maternal, seperti pada peningkatan risiko preklamsi. Jika solusio bersifat kronis
atau berulang, area plasenta yang tersedia untuk pertukaran nutrien dan limbah
antar janin dan ibu semakin berkurang. Hal ini turut menyebabkan pertumbuhan
intrauterin.(Holmes, D.2011:153

4. Etiologi
Sebab yang primer dari solusio plasenta yang tidak di ketahui,tetapi terdapat
beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau
menyertai solusio plasenta dan di anggap sebagai faktor resiko.usia ibu dan paritas
yang tinggi berisiko lebih tinggi. Perbedaan suku kelihatan berpengaruh

Faktor resiko Resiko relatif


Pernah solusio plasenta 10-25
Ketuban pecah 2,4-3,0
preterm/korioamnionitis 2,1-4,0
Sindrome pre-eklamsia 1,8-3,0
Hipertensi kronik 1,4-1,9
Merokok/nikotin 5-8
Merokok+hipertensi kronik atau pre- 13%
eklamsia 8 dari 14
Pecandu kokain Meningkat s/d 7X meningkat
Mioma di belakang plasenta
Gangguan sistem pembekuan darah Jarang
berupa single-gene Jarang
mutation/tombofilia
Acquired antiphospholipid
autoantibodies
trauma abdomen dalam kehamilan
plasenta sirkumvalata

8
Seba

Dalam kapustakaan terdapat 5 kategori populasi perempuan yang beresiko


tinggi untuk solusi plasenta. Dalam kategori sosioekonomi termasuk keadaan yang
tidak kondusif seperti usia muda,primiparitas,single parent(hidup sendiri tanpa
suami), pendidkan yang rendah dan solusio plasenta rekurens. Dalam kategori fisik
termasuk trauma tumpul pada perut,umunya karena kekerasan dalam rumah tangga
atau kecelakaan dalam berkendaraan. Kategori kelainan pada rahim seperti
mioma terutama mioma submukosum di belakang plasenta atau uterus berseptum.
Kategori penyakit ibu sendiri memegang peran penting seperti penyakit tekanan
darah tinggi dan kelainan sistem pembekuan darah seperti trombofilia. Yang
terakhir dalah yang termasuk kategori sebab iatrogenik seperti merokok dan
kokain.(Prawirohardjo,s.2008:505-506)
Pada kebanyakan kasus solusio plasenta cenderung tidak diketahui, meskipun
bukti yang ada menunjukkan keterkaitan kasus ini dengan gangguan invasi
trofoblastik. Keterkaitan lainya meliputi troma abdomen secacara
langsung(mis.,kecelakaan lalu lintas, penyerangan, versi sefalik eksterna),paritas
tinggi, overdistensi uterus (polihidramnion, dan kehamilan kembar), dekompresi
uterus secara tiba-tiba, (mis., setelah pelahiran bayi kembar, pertama atau lepasnya
polihidramnion) dan kebiasaan merokok. Keterkaitan kondisi ini dengan hipertensi
dapat merefleksikan penyebab langsung atau dapat menyebabkan manifestasi dari
buruknya invlasi trovoblastik.(Homes, D.2011:151)
5. Patofisiologi
Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang
bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari
tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh
karena itu patofisiologisnya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen
etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang
di sebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam
vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang

9
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil
akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan
tipis yang tetap melekat pada mimoetrium. Dengan demikian,pada tingkat
permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas,kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta sekelilingnya yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala
kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir.alam
beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasma di sebabkan oleh putusnya
arteria spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi
penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi
janin. Hematoma yang terbentuk dengancepat meluas dan melepaskan plasenta
lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah keluar merembes antara
selaput ketuban dan mimetrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina
(revealed hemorraghe). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi
mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis
yang terputus. Walaupun jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di dalam
uterus (concealed hemorraghe).(Prawirohardjo,s.2008:506)
6. Gambaran klinik
Gambaran klinik pada penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat
ringannya atau luas permukaan maternal plasenta terlepas. Belum ada uji-coba
yang khas untuk menentukan diagnosisnya. Gejala dan tanda klinis yang klasik dari
solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui
vagina (80% kasus),rasa nyeri perut dan uterus tegang terus menerus mirip his
partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan tidak menunjukkan tanda atau gejala
klasik,gejala yang lahir mirip tanda prematur saja.oleh sebab itu,kewaspadaan atau
kecurigaan yang tinggi di perlukan dari pihak
pemeriksa.(Prawirohardjo,s.2008:507)
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klasik antara lain nyeri abomen , perdarahan per vaginan, dan
kontraksi uterus. Darah yang keluar dari vagin biasanya berwarna gelap dan tanpa
bekuan; akan tetapi mengingat perdarahan mungkin saja tersembunyi, tidak adanya

10
tanda-tanda perdarahan tidak lantas menyingkirkan diagnosis tersebut.solusio
plasenta kerap terjadi menjelang aterm dan seringkali di bagi kedalam 2 kelompok;
penyebab lain perdarahan vagina dan penyebab lain nyeri abdomen selama
kehamilan.(Holmes, D.2011:151-152)

a. Pengaruh Pada Ibu


1. Syok hipovalemik
Selama ini, jumlah darah yang hilang sering disepelehkan sebab beberapa
kasus hemoragi tersembunyi di balik plasenta dan dinding uterus. Selain itu,
beberapa pasien mengalami hipertensi sebelm solusio terjadi; ini menutupi
pengaruh hipotensi yang di sebabkan oleh pengeluaran darah. Pengukuran
tekanan vena pusat sangat bermanfaat dalam mengkaji derajat kehilangan
darah sekaligus penggantian cairan yang akurat.
2. Koagulasi intravaskular diseminata
Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) adalah peristiwa sekunder
yang terjadi menyusul terpicunya aktivasi sistem koagulasi secara luas.
Penggunaan fibrin, faktor pembekuan, trombosit terjadi, menyebabkan
perdarahan yang kontinu dan penipisan cadangan faktor-faktor tersebut
secara lebih lanjut. Pemicu yang diketahui mencetuskan DIC antara lain
pelepasan jaringan tromboplastin , kerusakan endotelial pembuluh darah
kecil, dan produksi fosfolipit prokoagulan yang menrupakan akibat skunder
dari koagulasi intravaskular. Insiden kasus ini bervariasi, namun DIC yang
serius kemungkinan terjadi pada 0,1 persen kehamilan. Pemeriksaan
laboratorium meliputi pengukuran masa trombin, produk
pemecahan/degradasi fibrin (FDP) , dan hitung trobosit. Tes ini harus diulangi
dalam interval yang teratur selama dilakukan resusitasi. Pada kasus DIC
berat, ahli hematologis harus di libatkan dalam perawatan ibu sejak dini.
3. Gagal ginjal akut
Kondisi ini merupakan konsekuensi dari perfusi ginjal yang buruk, yang
merupakan akibat skunder dari hipovolemia, hipotensi dan DIC (
mikrotrombi pada ginjal) . Awalnya, pasti mengalami oliguria dan, jika

11
penurunan perfusi ginjal terjadi dalam waktu lama, pasien dapat mengalami
nekrosis tubular akut. Setelah dilakukan penggantian cairan adekuat dan
penanganan DIC , pasien akan mengalami poliuria; selama fase ini, kadar
kreatinin dan urea plasma dapat terus mengikat. Keseimbangan cairan, asam-
basa, dan elektrolit harus di pantau dengan saksama. Terapi dialisis mungkin
diperlukan . Secara umum, prognosis gagal ginjal akut terjadi pada saat
persalinan. Kendati nyeri abdomen merupakan gejala yang sering muncul,
dan mungkin disebabkan oleh ekstravasasi darah kedalam miometrium ,
terjadi pula gambaran solusio ‘’ tersembunyi’’ . Beberapa ibu juga mengalami
mual, gelisah dan pingsan.
Jika darah yang keluar sangat banyak akan muncul tanda-tanda
hipovalemik, yang di ikuti dengan peningkatan frekuensi nadi, hipotensi, dan
tanda-tanda vasokonstriksi periver. Palpasi abdomen menunjukan adanya
nyeri tekan uterus yang kerap di gambarkan ‘’ keras seperti kayu’’ . Ukuran
uterus mungkin melebihi perkiraan berdasarkan kan usia gestasi dan janin
seringkali sulit teraba. Janin mungkin saja meninggal, mengalami destres,
atau tidak terpengaruh sama sekali; ini bergantung pada luasnya solusio dan
area lepasnya plasenta. Apa bila solusio memicu proses persalinan,
pemeriksaan vagina mungkin akan memperlihatkan adanya darah atau
pembukaan seviks.
8. Penanganan
Semua pasien yang tersangka solusio plasenta harus di rawat inap di rumah
sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk segera di lakukan pemeriksaan darah
lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah serta gambaran pembekuan darah
dengan memeriksa waktu pembekuan,waktu protombin,waktu tromboplastin
parsial,kadar fibrinogen dan kadar hancuran fibrin dan hancuran fibrinogen dalam
plasma. Pemeriksaan ultrasosnografi berguna terutama untuk membedakannya
dengan plasenta previa.
Penanganan ekspektatif pada kehamilan belum genap bulan berfaedah bagi
janin,tetapi umumnya persalinan preterm tidak terhindarkan baik spontan sebagai
komplikasi solusio plasenta maupun atas indikasi obstetrik yang timbul setelah

12
beberapa hari dalam rawatan.terhadap pemberian tokolisis masih terdapat silang
pendapat di samping keberhasilan yang belum menjanjikan.
Solusio plasenta yang luas adalah kondisi kedaruratan obstetri karena
membahayakan nyawa ibu maupun janin. Jika terjadi solusio dalam kapasitas yang
lebih kecil dan tidak terdapat tanda gawat janin, terutama jika usia kehamilan
memungkinkan untuk di tundanya pelahiran agar janin lebih matur, penanganan
konservatif dapat di lakukan. Tindakan ini memelukan pemantauan kesejahteraan
janin yang ketat dengan menggunakan pemindaian ultrasound untuk mengkaji
pertumbuhan janin , volume cairan ketuban, memerlukan arteri umbilikus dengan
menggunakan Doppler , dan kardiotokografi. Seperti pada banyak masalah
komplikasi obstetri , pelahiran di lakukan apa bila resiko menunda pelahiran janin
lebih tinggi dibandingkan melahirkan janin prematur , dan pengambilan keputusan
paling baik dilakukan bersama dokter anak setempat atau unit neonatus regional.

9. Komplikasi
Komplikasi solusi plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus
berulangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia,syok
hipovelomik,insufisiensi fungsi plasenta,gangguan pembekuan darah,gagal ginjal
mendadak,dan uterus couvelaire di samping komplisi sindroma infusiensi fungsi
plasenta pada janin berupa angka kematian perinatal yang tinggi. Sindroma
Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari kematian setelah
menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis
adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.(prawirohardjo,s.2008:510)

10. Prognosis
Soluio plasenta mempunya prognosis yang buruk bagi ibu hamil dan lebih
buruk lagi bagi janin jika di bandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta
ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada
kematian dan morbiditasnya rendah. Soluio plasenta sedang mempunyai prognosis
yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan morbiditas
perinatal yang tinggi di samping morbiditas ibu,yang lebih berat. Solusio plasenta

13
yang berat mempunyai prognosis paling buruk baik terhadap ibu lebih-lebih
terhadap janinnya.umumnya pada keadaan yang demikian janin telah mati dan
mortalitas maternal meningkat akibat salah satu komplikasi. Pada solusio plasenta
sedang dan berat prognosisnya juga bergantung pada kecepatan dan ketepatan
bantuan medik yang di peroleh pasien. Transfusi darah yang banyak dengan segera
dan terminasi kehamilan tepat waktu angat menurunkan morbiditas adan mortalitas
maternal dan perinatal.(prawirohardjo,s.2008:513)

14
2.1.2 Plasenta Previa
1. Pengertian
Plasenta previa adalah Plasenta yang berimplantasi pada segman bawah rahim
demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.
Sejalan dengan bertambahnya membesarnya rahim dan meluasnya segmen
bawah Rahim kearah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim
seolah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar
dan meluas dalam persalinan kala 1 bisa mengubah luas pembukaan serviks yang
tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau kalsifikasi dari
plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun
dalam masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital.
Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam
asuha antenatal ataupun intranatal. (Prawirohardjo,495:2009)

2. Klasifikasi
Belum ada kata sepakat diantara para ahli, terutama mengenai beberapa
pembukaan jalan lahir. Oleh karena pembagian tidak didasarkan pada keadaan
anatomi,melainkan pada keadaan fisiologi yang dapat berubah-ubah, maka
klasifikasi akan berubah setiap waktu. Misalnya pada pembukaan yang masih kecil,
seluruh permukaan ditutupi oleh jaringan plasenta (plasenta previa totalis), namun
pada pembukaan yang lebih besar, keadaan ini akan menjadi plasenta previa
lateralis.
Menurut Patrick (2009), plasenta previa dibagi menjadi beberapa jenis :
1. Plasenta previa totalis atau komplit
Adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum
2. Plasenta previa parsialis
Adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum
3. Plasenta previa marginalis

15
Adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum

4. Plasenta previa letak rendah


Adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim demikian rupa
sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2cm dari ostium uteri
internum. Jarak yang lebih dari 2cm dianggap plasenta letak normal.
(Prawirohardjo,495:2009)

5. Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah
diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa
desidua didaerah segmen bawah rahim taanpaa latar belakang lain yang mungkin.
Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi
desidua yang tidak memadai,mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrofi.
Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan,
miomektomi, dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian
atrofi di endometrium yang semuanya dapat di pandang sebagai faktor resiko bagi
terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden
dua sampai tiga kali. Pada perempuan perokok di jumpai insiden plasenta previa
lebih tinggi 2 kali lipat.Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran
rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi.
Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis
bias menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segman bawah rahim

16
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
(Prawirohardjo,496:2009)

6. Faktor Resiko Plasenta Previa


Ada beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya
:
a. Usia >35 tahun atau <20 tahun
b. Paritas
c. Riwayat pembedahan rahim
d. Jarak persalinan yang dekat < 2 tahun
e. Hipoplasia endometrium
f. Korpus luteum bereaksi lambat

7. Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin
juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak
plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagai mana diketahui tapak plasenta
terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh
menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya ismus uteri menjadi segmen bawah
rahim, maka plasenta yang berimplantasi disitu sedikit banyak akan mengalami
laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada
waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka dilatation da bagian tapak
plasentayang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal
dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karena
fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa
betapapun pasti akan terjadi. Perdarahan ditempat itu relative dipermudah dan
diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu
berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal,
dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan
sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada
laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta pada mana perdarahan akan

17
berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah
Rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan
mengulang kejadian perdarahan. Demikianlah perdarahan akan berulang tanpa
sesuatu sebab lain. Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri. Pada
plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal
dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada
bagian terbawah yaitu npda ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa
parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau
mulai persalianan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih
banyak pada perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal
tersebut perlu dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah bias terjadi pada
kehamilan 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34
minggu keatas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri
internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar Rahim dan tidak
membentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan
melepaskan tromboplastin kedalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat
jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang
tipis mudah diinfasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta
melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan
plasenta inkreta, bahan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai
menembus kebuli-buli dan ke rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan
inkreta lebih sering terjadi pada uterus yangt sebelumnya pernah bedah sesar.
Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya
elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatakan
kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala
tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna, atau setelah uri lepas karena
segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik. (Prawirohardjo,496-
497:2009)
8. Gambaran klinik

18
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus keluar
melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir
trimester kedua keatas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti
sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas setelah beberapa
waktu kemudian, jadi berulang. Pada setiap pengulangan terjadi mperdarahan yang
lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak rendah perdarahyan baru
terjadi pada waktu mulai persalinan, perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip
pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak
mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian , perdarahan bisa
berlangsung sampai pasca persalinan. Perdarahan bisa juga bertambah disebabkan
serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah
mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta
dengan tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta.
Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen
sering ditemui bagian terbawah janin masih tinggi diatas simpisis dengan letak
janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil
merasa nyeri dan perut tidak tegang. (Prawirohardjo,497-498:2009)
9. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang
mendertia plasena previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang
lebih banyak dan fatal.
a. Oleh kerena pembentukan segman rahim terjadi secara ritmik,maka plasenta-
plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin
banyak,dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderia
menjadi anemia bahkan syok.
b. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat
segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofloblas dengan kemampuan infasi
nya menerobos kedalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium dan
menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta dan bahkan plasenta perkreta.
Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatan lebih kuat tetapi vilinya
masih belum masuk kedalam miomerium. Walaupun biasanya tidak seluruh

19
permukaan maternal plasenta mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan
demikian terjadi retensio dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas
timbulah perdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada
uterus yang pernah secsio sesaria. Dilaporkan plasenta akreta terjadi 10-35%
pada pasien yang pernah secsio sesaria 1 kali,naik menjadi 60-65% bila telah
secsio sesaria 3kali.
c. Seviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat
potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. Oleh karena itu,
harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat ini misalnya
pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim
ataupun waktu mengeluarka plasenta dengan tangan pada retensio plasenta.
Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali
dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim,
ligasi arterja uterina, ligasi arteria ovalika, pemasangan tampon, atau ligasi
ateria hipogastrika, maka pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan
keluarnya adalah melakukan histerektomi total mobiditas dari semua tindakan
ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta previa.
d. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa
lebih sering diambil tindakan oprasi dengan segala konsekuensinya.
e. Kelahiran premature dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh
karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan
belum aterem. Pada kelamilan <37 minggu dapat dilakukan amniosentesis
untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian kortikoseteroit untuk
mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi.
f. Komplikasi lain dari plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan selain
masarawatan yang lebih lama, adalah beresiko tinggi untuk solusio plasenta
(resiko relative 13,8), sekseo sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin(RR 2,8),
perdarahan pasca persalinan (RR 1,7), kematian maternal akibat perdarahan
(50%), dan disseminated intravascular coagulation
(DIC).15,9%.(Prawirohardjo,499-500:2009)
10. Penanganan Plasenta Previa

20
Menurut Prof. DR. Dr. Sarwono Prawirohardjo. SpOG.2009. jakarta :
1) Perdarahan dalam trimester dua atau trimester tiga harus dirawat di rumah sakit.
Pasien diminta baring dan dikalukan pemeriksaan darah lengkap termasuk
golongan darah dan faktor Rh.pada kehamilan 24 minggu sampai 34 minggu
diberikan steroid dalam perawatan antenatal untuk perawatan paru janin.
2) Jika perdarahan terjadi pada trimester dua perlu diwanti-wanti karena
perdarahan ulangan biasanya lebih banyak. Jika ada gejala hipovelemik seperti
hipotensi, pasien tersebut mungkin mengalami perdarahan yang cukup berat,
lenih berat dari pada penampakannya secara klinis. Transfusi darah yang
banyak perlu segera diberikan.
3) Pada kondisi yang terlihat stabil di dalam rawatan di luar rumah sakit, hubungan
suami istri dan tumah tangga dihindari kecuali setelah pemeriksaan
ultrasonografi ulangan dianjurkan minimal setelah 4 minggu, memperlihatkan
ada migrasi plasenta menjauhi ostiun uteri internum (OUI)
4) Perdarahan dalam trimester tiga perlu pengawasan lebih ketat dengan istirahat
baring yang lebih lama dalam rumah sakit dan dalam keadaan yang cukup serius
untuk merawatnya sampai melahirkan.
5) Pada pasien dengan riwayat secsio sesaria perlu diteliti dengan ultrasonografi,
color doppler untuk melihat kemungkinan adanya plasenta akreta, inkreta atau
perkreta.
6) Secsio sesaria juga dilakukan apabila ada perdarahan banyak yang
menghawatirkan
Semua pasien dengan perdarahan pervaginam pada trimester tiga dirawat di
rumah sakit tanpa periksa dalam. Bila pasien dalam keadaan syok karena
perdarahan yang banyak, harus segera perbaiki keadaan umumnya dengan
pemberian infus atau transfusi darah.
Selanjutnya penanganan plasenta previa bergantung pada keadaan umum
pasien, kadar Hb, jumlah perdarahan, umur kehamilan, taksiran janin, jenis plasenta
previa dan paritas.

11. Terapi spesifik

21
a. Terapi ekspektatif
1. Tujuan terapi ekspektatif ialah upaya janin tidak terlahir premature, penderita
dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Upaya
diagnosis dilakuakn secara non-invasif. Pemantauan klinis dilaksanakan secara
ketat dan baik.
Syarat-syarat terapi ekspektatif:
a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemungkinan berhenti,
b. Belum ada tanda-tanda inpartu,
c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal),
d. Janin masih hidup.
2. Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotic profilaksis.
3. Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia
kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin.
4. Berikan tokolitik bila ada kontraksi:
a. MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjut 4 g setiap 6 jam
b. Nifedipin 3 x 20 mg/hari.
c. Betamethason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
5. Uji pematangan janin dengan Tes Kocok (Buble test) dari hasil amniosentesis.
6. Bila setelah usia kehamilan di atas 34 mingg, plasenta masih berada disekitar
ostium uteri internum, maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga
perlu dilakukan observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan
keadaan kegawat daruratan.
7. Bila perdarahan berhenti waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien
dapat dipulangkan utuk rawat jalan (kecuali apabila rumah pasien di luar kota
dan jarak untuk mencapai rumah sakit lebih dari 2 jam) dengan pesan untuk
segera kembali kerumah sakit apabila terjadi perdarahan ulang.
b. Terapi aktif (tindakan segera)
1. Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan
banyak harus segera ditatalaksana secara aktif tanpa memandang maturitas
janin.

22
2. Untuk diagnosis plasenta previa dan menentukan cara menyelesaikan
persalinan,setelah semua persyaratan dipenuhi, lakukan PDMO jika:
a. Usia kehamilan ≥ 37 minggu (berat badan ≥ 2500 gram) dan in partu, atau
b. Janin telah meninggal atau terdapat anomaly kangenital mayor
(missal:anensefali)
c. Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas
panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar)
i. Insersio Velamentosa
b. Definisi
Insertio Velametosa adalah talipusat yang tidak berinsersi pada jaringan
plasenta, tetapi pada selaput janin sehingga pembuluh darah umbilikus berjalan
diantara amnion dan korion menuju plasenta (Sarwono,ilmu kebidanan.2005).
c. Etiologi
Insersi Velametosa ini biasanya terjadi pada kehamilan ganda/gemeli,
karena pada kehamilan ganda sumber makanan yang ada pada plasenta akan
menjadi rebutan oleh janin, sehingga dengan adanya rebutan tersebut akan
mempengaruhi penanaman tali pusat/insersi.
d. Patofisiologis
Pada insersio velametosa tali pusat yang dihubungkan dengan plasenta oleh
pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam selaput janin. Kalau pembuluh
darah tersebut berjalan di daerah oestium uteri internum maka disebut vasa
previa. Hal ini dapat berbahaya bagi janin karena bila ketuban pecah pada
permulaan persalinan pembuluh darah dapat ikut robek sehingga terjadi
perdarahan antepartum dan jika perdarahan banyak kehamilan harus segera
diakhiri.
e. Tanda Dan Gejala :
Tanda dan Gejalanya belum diketahui secara pasti, perdarahan pada insersi
velametosa ini terlihat jika telah terjadi vasa previa yaitu perdarahan segera
setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak dengan cepat
bunyi jantung anak menjadi buruk bisa juga menyebabkan bayi meninggal.
2.1.3 Rupture Sinus Marginalis

23
1. Definisi
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila
terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit.
Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus-menerus.
Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Tekanan darah
tinggi, serta tidak ada gawat janin. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi,
karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.
Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini
adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman ( sarwono, 2005 ).
2. Predisposisi
Penyebab primer rupture sinus marginalis belum diketahui secara pasti, namun
ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
a. faktor utama :
Trauma yang dapat terjadi antara lain: dekompresi uterus pada hidramnion dan
gemeli; tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas,versi luar atau tindakan pertolongan persalinan; trauma langsung,
seperti jatuh, kena tendang,dan lain lain
b. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawiroharjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya
peningkatan kejadian solusio plasenta ringan sejalan dengan meningkatnya
umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi
frekuensi hipertensi menahun.
c. Faktor penggunaan kokain

Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan


pelepasan ketokolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya
vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta.
Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio
plasenta pada ibu-ibu pengguna kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%, dan
sekitar 7% pada solusio plasenta ringan.

24
d. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta
sampai dengan 25% pada ibu yang merokok kurang lebih 1 bungkus per hari.
Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter
lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya. Deering dalam
penelitiannya melaporkan bahwa risiko terjadinya solusio plasenta meningkat
40% untuksetiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan.
e. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio
plasenta adalah bahwa risiko berulangnya kejadian inipada kehamilan
berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan denga ibu hamil lainnya yang tidak
memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.
f. Pengaruh lain: seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada
vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya
kehamilan,dan lain lain.
g. Meskipun penyebabnya sampai kini belum diketahui dengan pasti, tetapi lebih
kepada peletakan plasenta dan usia kehamilan yang semakin tua terjadi pada
pertengahan segmen bawah rahim, dia akan sobek pembuluh darah pinggirnya
juga akan ikut pecah sehingga terjadi ruptur, plasenta yang letaknya normal
sekalipun akan meluaskan permukaannya. Sehingga mendekati atau menutup
sama sekali pembukaan jalan lahir. (Sarwono Prawirohardjo, 2005)
3. Diagnosis
Dari hasil anamnesa terdapat perdarahan pervaginam, warnanya kehitam-
hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang
sifatnya terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah
diraba, pada pemeriksaan dalam terdapat pembukaan dan ketuban tegang dan
menonjol. Pada waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa sakit dan menjelang
pembukaan lengkap perlu dipikirkan kemungkinan perdarahan karena sinus
marginalis yang pecah. Karena pembukaan mendekati lengkap,maka bahaya untuk
ibu maupun janinnya tidak terlalu besar. Pemeriksaan penunjang, dengan

25
ultrasonografi, dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding rahim.(Manuaba,
1998)
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis Ruptura sinus
marginalis antara lain:
1) Anamnesis: Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat
menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit; perdarahan pervaginam yang
sifatnya dapat hebat dan sekonyong konyong (non-recurrent) terdiri dari
bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman; Pergerakan anak masih terasa
dan bisa diraba; Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-
kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar
pervaginam; Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang
lain.
2) Inspeksi: terlihat pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan; Pucat,
sianosis dan berkeringat dingin; terlihat darah yang berwarna kehitam-hitaman
keluar pervaginam (tidak selalu).
3) Palpasi: teraba tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan;
Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden
uterus) baik waktu his maupun di luar his; nyeri tekan di tempat plasenta
terlepas; bagian-bagian janin masih mudah diraba, walau perut (uterus) tegang.
4) Auskultasi dapat dilakukan walau uterus tegang, bila denyut jantung terdengar
biasanya diatas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila
plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.
5) Pemeriksaan dalam dapat diraba: serviks uteri dapat telah terbuka atau masih
tertutup; kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang,
baik sewaktu his maupun di luar his; apabila plasenta sudah pecah dan sudah
terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada
pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering meragukan dengan plasenta
previa.
6) Pemeriksaan umum didapatkan tekanan darah semula mungkin tinggi karena
pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan
pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.

26
7) Pemeriksaan laboratorium hasil pemeriksaan Urin: Albumin (+),pada
pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit; Darah:
Hemoglobin (Hb) menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap
1 jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar
normalnya 150mg%).
8) Pemeriksaan plasenta: Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya
tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreter) dan terdapat
koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang
disebut hematoma reroplacenter.
9) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) ditemukan antara lain; terlihat daerah
terlepasnya plasenta, janin dan kandung kemih ibu, darah, tepian plasenta.
4. Prognosis
Prognosis pada ibu sangat tergantung pada luasnya plasenta yang terlepas dari
dinding uterus. Prognosis janin pada ruptur sinus marginalis kematian janin
tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus dan tuanya
kehamilan (Sarwono, 2005)

5. Manifestasi klinik
Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun
janinnya. Apabila terjadi perdarahan pervaginam,warnanya akan kehitam-hitaman
dan jumlahnya sedikit sekali. Perut mungkin terasa agak sakit atau terus menerus
agak tegang.uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus-menerus apakah akan
menjadi lebih tegang karena perdarahan terus-menerus. Bagian-bagian janin masih
mudah teraba. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio
plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman,
yang berbeda dengan perdarahan pada plasenta previa yang berwarna merah segar.
Apabila dicurigai keadaan demikian, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi.
(http://ameliawahyuni.blogspot.com/2008/01/solusio-plasenta.html).

27
6. Penanganan Ruptura sinus marginalis
Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan
(perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan
tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta
makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah
luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio
sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul innfus oksitosin untuk
mempercepat persalinan (Sarwono,2005)
Perut tegang sedikit, berarti perdarahannya tidak terlalu banyak, keadaan janin
masih baik dan dapat dilakukan penanganan secara konservatif dengan observasi
ketat, perdarahan berlangsung terus menerus ketegangan makin meningkat, dengan
janin yang masih baik harus segera dilakukan seksio caesarea, perdarahan yang
berhenti dan keadaan baik pada kehamilan prematur dilakukan rawat inap
(Manuaba, 1998).
7. Komplikasi
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas,
usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta ringan (ruptur sinus marginalis) ini
berlangsung.

Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu:

a. Syok perdarahan
Perdarahan antepartum dan intrapartum pada ruptura sinus marginalis
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan
segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari
perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk
menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada
pembekuan darah.
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu
pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat

28
mungkin. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan,
karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah.
Pemberian terapi cairan bertujuan mengembaikan stabilitas hemodinamik
dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah
segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat
memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor
pembekuan.
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena
perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang
baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan
intravaskuler.
Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis
korteks ginjal mendadak. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian
darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia,
secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan
pembekuan darah.

c. Kelainan pembekuan darah


Kelainan pembekuan darah biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardoyo di RSUPNCM
dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus
solusio plasenta yang ditelitinya yang di dalamnya termasuk kasus solusio
plasenta ringan (rupture sinus marginalis).
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450
mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma
kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
d. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase

29
1) Fase I: Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting.
Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu.
Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena
pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi
consumptive.diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan
tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut.
Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan
jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksiadan kerusakan
ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria.
2) Fase II:Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh
untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha
ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah
berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi
perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan
darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di
klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang
terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu
terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita
saat itu.
3) Komplikasi yang dapat terjadi pada janin: Fetal distress, gangguan
pertumbuhan/perkembangan. Hipoksia dan anemia.
4) Perdarahan antepartum yang sedikit, dengan uterus yang tidak
tegang,pertama kali harus ditangani sebgai kasus plasenta previa.
Apabila kemudian ternyata kemungkinan plasenta previa dapat
disingkirkan,barulah ditangani sebagai solusio plasenta. Apabila
kehamilannya kurang dari 36 minggu, dan perdarahannya kemudian
berhenti,perutnya tidak menjadi sakit,dan uterusnya tidak menjadi
tegang. Kiranya penderita dapat dirawat konservatif dirumah sakit denga
observasi ketat (Sarwono, 2005).
2.1.4 Plasenta Sirkumvalata

30
1. Definisi
Plasenta sirkumvalata adalah plasenta yang pada permukaan vetalis dekat
pinggir terdapat cincin putih. Cincin ini menandakan pinggir plasenta, sedangkan
jeringan di sebelah luarnya terdiri dari villi yang tumbuh kesamping dibawah
desidua. Diduga bahwa corionfrondosum terlalu kecil dan untuk mencukupi
kebutuhan, villi menyerbu kedalam desidua di luar permukaan frondosum, plasenta
jenis ini tidak jarang terjadi. Insidensinya lebih kurang 2-18 %. Menurut beberapa
ahli plasenta sirkumvalata sering menyebabkan abortus dan solusio plasenta.
Bila cincin putih ini letaknya dekat sekali ke pinggir plasenta, disebut plasenta
marginata. Kedua-duanya disebut sebagai plasenta ekstra coriel. Pada plasenta
marginata mungkin terjadi adeksi dari selaput sehingga plasenta lahir telanjang
tertinggalnya selaput ini dapat menyebabkan perdarahan dan infeksi. Diagnosis
plasenta sirkumvalata baru dapat ditegakan setelah plasenta lahir tetapi dapat
diduga bila ada perdarahan intermiten atau hidrorea.
2. Etiologi
Diduga bahwa corion frondosum terlalu kecil dan untuk mencukupi kebutuhan,
villi menyerbu kedalam desidua di luar permukaan frondosum.

3. Patofisiologi
Menurut para ahli sirkum valata ini sering menyebabkan abortus dan solusio
plasenta. Bila cincin putih ini letaknya dekat sekali ke pinggir plasenta.
4. Diagnose
Baru dapat ditegakkan setelah plasenta lahir tetapi dapat diduga bila ada perdarahan
intermitan atau hidrorea.
2.2 Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan

2.2.1 Prematur

1. Pengertian Prematur
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan
20-37 minggu dari hari pertama haid terakhir. (Prawirohardjo, 2010 : 668)

31
Persalinan prematur adalah persalinan yang dimulai setiap saat setelah awal
minggu ke-20 sampai akhir minggu gestasi ke-37 (varney,2008:782)
Persalinan premature adalah persalinan belum cukup umur dibawah 37 minggu
atau berat bayi kurang dari 2500 gram. Persalinan premature disebabkan oleh factor
kehamilan (perdarahan antepartum, hamil usia muda, grandemultipara, dan interval
pendek, ketuban pecah dini, kahamilan hidramnion, gangguan keseimbangan
hormonal, servik inkompeten, dan kelainan anatomi uterus, idiopatik dengan
meningkatnya reseptor (oksitosin, inositoltrifosfatase), pre eklampsi/eklampsia)
atau factor individu (keadaan social-ekonomi rendah (kerja keras dalam keadaan
hamil tua, gizi kurang dan atau anemia), penyakit sistemik (paru, jantung, hati,
diabetes militus, hipertensi, infeksi organ vital) infeksi kehamilan (koriomnionitis,
servinitis/endometritis) ifeksi plasenta ).
(Manuaba, 2008 : 184).

2. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi dan faktor medik mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur.
Kadang hanya resiko tunggal, dijumpai seperti distensi berlebihan uterus,
ketuban pecah dini atau trauma.
Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang
merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim
dan perubahan serviks, yaitu :
a. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus – hipotisis – adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stress pada ibu atau janin.
b. Inflamasi desidua – korloamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari
traktus genitoirunario atau infeksi sistemik.
c. Perdarahan desidua.
d. Peregangan uterus patologik.
e. Kelainan pada uterus atau serviks
Kondisi selama kehamilan berisiko terjadinya persalinan preterm adalah :
1) Janin dan Plasenta

32
a) Perdarahan trimester awal
b) Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, rasa previa)
c) Ketuban pecah dini (KPD)
d) Pertumbuhan janin terhambat
e) Cacat bawaan janin
f) Kehamilan ganda / gemeli
g) Polihidramnion
2) Ibu
a) Penyakit berat pada ibu
b) Diabetes melitus
c) Preeklamsi / hipertensi
d) Infeksi saluran kemih / genital / intrauterin
e) Penyakit infeksi dengan demam
f) Stress psikologik
g) Kelainan bentuk uterus / serviks
h) Riwayat persalinan preterm / abortus berulang
i) Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
j) Pemakaian obat narkotik
k) Trauma
l) Perokok berat
m) Kelainan imunologi / kelainan resus
(Prawirohardjo,2010:669-670)
3. Patofisologis
Persalinan prematur dapat diperkirakan dengan mencari faktor resiko mayor
atau minor.
a. Faktor resiko minor ialah penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
pada kehamilan lebih dari 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10
batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I
lebih dai 3 kali.
b. Faktor resiko mayor adalah kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus,
serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar atau

33
memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada
trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan prematur sebelumnya, operasi
abdominal pada kehamilan prematur, riwayat operasi konisasi, dan iritabilitas
uterus.
Pasien tergolong resiko tinggi bila dijumpai 1 atau lebih faktor resiko mayor atau
bila ada 2 atau lebih resiko minor atau bila ditemukan keduanya.
(metamorfosisofbutterfly.2013)
4. Tanda dan gejala
a. Kram hebat seperti pada saat menstruasi, kemungkinan tertukar dengan nyeri
disekitar ligamen.
b. Nyeri tumpul pada punggung bawah berbeda dari nyeri punggung bawah yang
biasa dialami oleh wanita hamil
c. Nyeri atau tekanan supra pubis – mungkin tertukar dengan infeksi saluran
kemih
d. Sensasi adanya tekanan atau berat pada pelvis

e. Perubahan karakter atau jumlah rabas vagina (lebih kental, lebih encer, berair,
berdarah, berwarna coklat, tidak berwarna).
f. Diare
g. Kontraksi uterus tidak dapat di palpasi (nyeri hebat atau tidak nyeri) yang
dirasakan lebih sering dari setiap 10 menit selama 1 jam atau lebih dan tidak
mereda dengan tidur berbaring.
h. Ketuban pecah dini
(Varney, 2002 : hal 784)
5. Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
persalinan preterm. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak
benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria dapat dipakai
sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu:
a. Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam
waktu 10 menit
b. Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)

34
c. Perdarahan bercak
d. Perasaan menekan daerah serviks
e. Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
dan penipisan 50-80 %
f. Presentasi jani rendah, sampai mencapai spina isiadika
g. Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan
preterm
h. Terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu
(Prawirohardjo,2010:671)
6. Penatalaksanaan
Setiap persalinan preterm harus dirujuk ke rumah sakit. Cari apakah faktor
penyulit ada. Dinilai apakah termasuk risiko tinggi atau rendah.
a. Sebelum dirujuk, berikan air minum 1.000 ml dalam waktu 30 menit dan nilai
apakah kontraksi berhenti atau tidak.
b. Bila kontraksi masih berlanjut, berikan obat takolitik seperti Fenoterol 5 mg
peroral dosis tunggal sebagai pilihan pertama atau Ritodrin mg peroral dosis
tinggi sebagai pilihan kedua, atau Ibuprofen 400 mg peroral dosis tungga
sebagai pilihan ketiga.
c. Bila pasien menolak dirujuk, pasien harus istirahat baring dan bayak minum,
tidak diperbolehkan bersenggama. Pasien diberi takolitik seperti Fenoterol 5 mg
peroral 6 jam atau Ritodrin 10 mg peroral tiap 4 jam atau Ibuprofen 400 mg
peroral tiap 8 jam sampai 2 hari bebas kontraksi.
d. Persalinan tidak boleh ditunda bila ada kontraindikasi mutlak (gawat janin,
karioamnionitis, perdarahan antepartum yang banyak) dan kontraindikasi
relative (gestosis, DM, pertumbuhan janin terhambat dan pembukaan serviks 4
cm)
(metamorfosisofbutterfly.2013).

2.2.2 Postmatur
1. Pengertian Postmatur

35
Yang disebut kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang umur
kehamilannya lebih dari 42 minggu (sarwono,2009:305)
Kehamilan posterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,
kehamilan lewat bulan, prolonget pregnancy, extended pregnancy, postdate atau
postdatetisme atau pasca maturitas, adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42
minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut
rumus naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari. (sarwono.2010:686)

2. Etiologi
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini sebab
terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Bebrapa teori yang diajukan pada
umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan posterm sebagai akibat
gangguan terhadap timbulnya persalinan.
a. Pengaruh progesteron
Pengaruh progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian
perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekular pada
persalinan dan meningkatkan sensivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga
beberapa penulis meduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena
masih berlangsungnya pengaruh progesteron.
b. Teori Oksitosin
1) Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm
memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin memegang peranan penting.
2) Oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan
persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang
pada usia kehamilan lanjut diduga sebgai salah satu factor penyebab kehamilan
postterm.
c. Teori Kortisol/ACTH janin
Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda “ untuk dimulainya
persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma
janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron
berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap

36
meningkatnya produksi prostaglandi. Pada cacat bawaan janin seperti anasefalus,
hiploplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin
menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan
dapat berlangsung lewat bulan.
d. Saraf Uterus
1) Tekanan pada ganglionservikalis dari pleksus frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus
2) Pada keadaan tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti ada kelainan letak, tali
pusat pendek dan bagian bawah masih tingi semuanya diduga sebagai penyebab
terjadinya kehamilan postterm.
e. Herediter
Morgen (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa bilamana
seseorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan,
maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan
postterm.
(prawiroharjo.2010:686-687)
3. Diagnosis
Diagnosis postdate, postterm, kehamilan serotinus atau postmature tidak sukar
asalkan mengetahui dengan baik tanggal menstruasi terakhir. Sebagian besar pasien,
terutama di Negara berkembang, tanggal menstruasinya tidak diketahui sehingga
diagnosis hamil serotinus dilakukan secara tidak langsung:
a. Mengetahui tanggal haid terakhir, maka perkiraan tanggal lahir dapat ditentukan
dengan rumus Naegele.
b. Menggunakkan ultrasonografi untuk memperkirakan berat janin, waktu persalinan,
memnentukkan biofisik profil janin/ kesejahteraan janin intrauteri.
c. Membandingkan dengan kehamilan orang lain uang sudah bersalin
d. Melalui perkiraan tahap aktivitas janin dalam rahim
( Manuaba, 2007 : 452).
4. Prognosis
Kalau persalinan terlambat 3 minggu atau lebih dari usia aterm, maka terdapat
peningkatan angka kematian yang cukup berarti. Beberapa ahli dapat menyatakan

37
kehamilan lewat bulan bila lebih dari 41 minggu karena angka mordibitas dan mortalitas
neonatus meningkat setelah usia 40 minggu. Namun kurang lebih 18 % kehamilan akan
berlanjut melebihi 41 minggu hingga 7% akan menjadi 42 minggu bergantung pada
populasi dan kriteria yang digunakan.
Seringnya kesalahan dalam mendefinisikan postmatur diperlukan deteksi sedini
mungkin untuk menghindari kesalahan dalam menentukan usia kehamilan.Jika Tp telah
ditentukan pada trimester terakhir atau berdasarkan data yang tidak dapat
diandalkan.Data yang terkumpul sering menunjukkan peningkatan resiko lahir mati
seiring peningkatan usia kehamilan lebih dari 40 minggu. Penyebab lahir matinya tidak
mudah dipahami dan juga tidak ada kesepakatan tentang pendekatan yang paling tepat
guna mencegah kematian tersebut. (Varney, 2007)
Kesepakatan yang ada adalah bahwa resiko mortalitas perinatal lebih tinggi pada
IUGR atau bayi SGA daripada AGA lewat bulan. Clausson et al Menegaskan bahwa
odds ratio untuk kematian perinatal untuk bayi AGA tidak berbeda signifkan pada bayi
post term. Namun bagi SGA mempunyai odds ratio 10,5 pada lahir post term.
Penatalaksanaaan aktif pada bagi AGA dengan lebih bulan kenyataan dapat mengubah
hasil positif yang diingunkan, angka penatalaksanaan anestesia epidural, persalinan
sesar, dan mortalitas. (Indriani. 2014)

5. Penatalaksanaan
Pengelolaan kehamilan lewat waktu kita awali dari umur kehamilan 41 minggu.
Hal ini disebabkan meningkatnya pengaruh buruk pada keadaan perinatal setelah umur
kehamilan 40 minggu dan meningkatnya insidensi janin besar.
Namun untuk mengurangi beban dan praktisan dari bidan dan puskesmas akan
dirujuk bila umur kehamilan > 41 minggu. Bila kehamilan > 40 minggu, ibu hamil
dianjurkan menghitng gerakan janin selama 24 jam (tidak boleh kurang 10kali), atau
menghitung jumlah gerakan janin persatuan waktu dan dibandingkan apakah mengalami
penurunan atau tidak.
Kriteria Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang
umur kehamilannya > 42 minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir

38
Kategori Kehamilan posterm Kehamilan postterm
tanpa kelainan dengan kelainan
Penilaian
 Skor bisop  Skor bisop > 5  skor biso < 5
 Pemantauan janin  Baik  ada kelainan
 Letak janin  Normal  ada kelainan

Penanganan
Polindes 1 penilaian umur kehamilan HPHT
2 riwayat obstetri yang lalu
3 tinggi fundus uteri
4 faktor resiko
5 kehamilan > 41 minggu (rujuk)
Puskesmas 1 penilaian umur kehamilan HPHT
2 riwayat obstetri yang lalu
3 tinggi fundus uteri
4 faktor resiko
5 kehamilan > 41 minggu (rujuk)

2.2.3 IUGR

1. Pengertian IUGR
Definisi menurut WHO (1969), janin yang mengalami pertumbuhan yang terhambat
adalah janin yang mengalami kegagalan dalam mencapai berat standard atau ukuran
standard yang sesuai dengan usia kehamilannya.
Menurut Gordon, JO (2005) pertumbuhan janin terhambat-PJT (Intrauterine Growth
Retardation) diartikan sebagai suatu kondisi dimana janin berukuran lebih kecil dari
standar ukuran biometri normal pada usia kehamilan. Kadang pula istilah PJT sering
diartikan sebagai kecil untuk masa kehamilan-KMK (small for gestational age). Umumnya

39
janin dengan PJT memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10. Artinya janin memiliki
berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang sama. Janin
dengan PJT pada umumnya akan lahir prematur (<37 minggu) atau dapat pula lahir cukup
bulan (aterm, >37 minggu). (Prima, 2013)
Pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin kurang dari 10% dari berat
yang harus dicapai pada usia kehamilan tertentu. Biasanya perkembangan yang terhambat
diketahui setelah 2 minggu tidak ada pertumbuhan. Dahulu PJT disebut sebagai
intrauterine growth retardation (IUGR), tetapi istilah retardation kiranya tidak tepat. Tidak
semua PJT adalah hipoksok atau patologik karena ada 25-60 % yang berkaitan dengan
konstitusi etnik dan besar orang tua. ( Prawirohardjo.2013: 697)
1. Etiologi
Penyebab PJT diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Hipertensi dalam kehamilan
b. Gemeli
c. Anomali janin/triosomi
d. Sindrom antifosfolipid
e. SLE
f. Infeksi: rubela, sifilis, CMV
g. Penyakit jantung
h. Asma
i. Gaya hidup: merokok, narkoba
j. Kekurangan gizi-ekonomi rendah
Pada kehamilan 16-20 minggu sebaiknya dapat ditentukkan apakah ada
kelainan/cacat janin. Apabila ada indikasin sebaiknya ditentukan adanya kelainan
genetik.
(Prawirohardjo.2013:697)
2. Patofisiologi
Pada kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta yang
abnormal, pasokan oksigen, masukan nutrisi, dan pengeluaran hasil metabolik menjadi
abnormal. Janin menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir sehingga
timbul PJT yang asimetrik yaitu lingkar perut yang jauh lebih kecil dari pada lingkar

40
kepala pada keadaan yang parah mungkin akan terjadi kerusakan tingkat seluler berupa
kelainan nukleus dan mitokondria.
Pada keadaan hipoksia, produksi radikal bebas di plasenta menjadi sangat banyak
dan antioksidan yang relatif kurang (misalnya : pre eklamsia) akan menjadi lebih parah.
Soothill dan kawan-kawan (1987) telah melakukan pemeriksaan gas darah pada PJT
yang parah dan menemuakn asidosis dan hiperkapnia, hipoglikemia dan eritroblastosis.
Kematian pada jenis asimetrik lebih parah jika dibandingkan dengan simetrik.
Penyebab PJT simetrik ialah faktor janin / lingkungan uterus yang kronik (diabetes,
hipertensi). Faktor janin ialah kelainan genetik (aneuplodi), umumnya trisomi 21, 13
& 18. Secara keseluruhan PJT ternyata hanya 20% saja yang asimetrik pada penelitian
terhadap 8.722 di Amerika.
(Prawirohardjo.2013: 697)

3. Tanda dan gejala


a. Uterus dan janin tidak berhasil tumbuh dengan kecepatan normal selama jangka
waktu 4 minggu.
b. Tinggi fundus uteri sedikitnya 2 cm lebih rendah dari pada yang diperkirakan
menurut umur atau lama kehamilan.
c. Berat badan ibu semakin menurun.
d. Gerakan janin semakin berkurang.
e. Volume cairan ketuban menurun
(Prima. 2013)
4. Diagnosis
Secara klinik awal pertumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28 minggu.
Namun, secara ultrasonografi mungkin sudah dapat diduga lebih awal dengan adanya
biometri dan taksiran berat janin yang tidak sesuai dengan usia gestasi. Secara klinik
pemeriksaan tinggi fundus umumnya dalam sentimeter akan sesuai dengan usia
kehamilan. Bila lebih rendah dari 3 cm, patut dicurigai adanya PJT, meskipun
sensitivitasnya hanya 40%. Smith dan kawan-kawan melakukan observasi pada 4.229
kasus dan menemukan bahwa pertumbuhan yang suboptimal sejak trimester pertama
berkaitan dengan kelahiran preterm dan kejadian PJT.

41
Sebaiknya kepastian PJT dapat dibuat apabila terdapat data USG sebelum 20
minggu sehingga pada kehamilan 32-34 minggu dapat ditentukan secara lebih tepat.
Biometri yang menetap terutama pengawasan lingkar abdomen yang tidak
bertambah merupakan pertanda awal PJT, terlebih diameter biparietal yang juga tidak
bertambah setelah lebih dari 2 minggu.
Pemeriksaan secara Doppler arus darah a. Umbilikal, a. Uterina, dan a. Spiralis
mungkin dapat mencurigai secara awal adanya arus darah yang abnormal atau PJT.
Cairan amnion merupakan pertanda kesejahteraan janin. Jumlah cairan amnion
yang normal merupakan indikasi fungsi sirkulasi janin relatif baik. Bila terdapat
oligohidramnion, patut dicurigai perburukan fungsi janin.
Patut difahami, sekalipun tidak ditemukan kelainan mayor pada USG, ternyata
masih mungkin ditemukan kelainan bawaan sebanyak 20%. (Prawirohardjo.2013: 697-
700)

5. Penatalaksaan
a. Penatalaksanaan antepartum
1) Di lakukan penyelidikan terhadap fungsi plasenta dan kondisi janin.
2) Bila tanda- tanda gawat janin tidak ada, kehamilan di biarkan berlangsung. Kita
harus membiarkan janin mencapai maturitasnya sejauh mungkin kehamilan di
akhiri hanya kalau terdapat tanda- tanda gawat janin.
3) Begitu diagnosis IUGR di buat, kelahiran harus di rampungkan sebelum 38
minggu. Bayi yang sudah tidak berkembang lagi dalam rahim akan tumbuh
lebih baik dalam bangsal anak.
4) Di upayakan untuk memperbaiki situasi dengan mengoreksi kelainan yang
mendasari seperti hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol dan

42
meningkatkan aliran darah kedalam uterus dengan mengatur posisi tidur pasien
lebihh banyak berbaring menyamping.
5) Kebanyakan kematian janin di dalam rahim setelah minggu ke- 36 kehamilan
dan sebelum di mulainya persalinan.
b. Penatalaksanaan persalinan
1) Bayi- bayi yang IUGR harus di lahirkan di rumah sakit dengan fasilitas khusus
untuk resiko tinggi, baik obstetrik maupun pediatrick
2) Serviks matang : di induksi, monitoring yang cermat dan kelahiran
pervaginam.
3) Serviks belum matang : infus oxytocin untuk mematangkan serviks yang di
ikuti oleh pemecahan ketuban secara artificial.
4) Indikasi dilakukannya section caesarea :
a) Gawat janin
b) Induksi gagal
c) Malpresentasi
d) Disproporsi
e) Serviks tidak matang pada pasien- pasien yang penyakitnya berat seperti
diabetes atau toksemia.
f) Bekas section caesarea.

2.2.4 IUFD
1. Pengertian IUFD
Menurut WHO dan The American College Of Obstetricians and Gynecologist yang
disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram
atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian
janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi.
(Prawirohardjo.2010:732)
IUFD adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan.
Kematian janin dalam kandungan (KJDK) atau intra uterine fetal deadth (IUFD), sering
dijumpai baik pada kehamilan dibawah 20 minggu maupun sesudah kehamilan 20 minggu
a. Sebelum 20 minggu :

43
Kematian janin dapat terjadi dan biasanya berakhir dengan abortus.bila hasil
konsepsi yang sudah mati tidak dikeluarkan dan tetap tinggal dalam rahim disebut
missed abortion.
b. Sesudah 20 minggu :
Biasanya ibu telah merasakan gerakan janin sejak kehamilan 20 minggu dan
seterusnya. Apabila wanita tidak merasakan gerakan janin dapat disangka terjadi
kematian dalam rahim.
(sichesse.2012)
2. Etiologi
Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin dapat
disebabkan oleh factor maternal, fetal, atau kelainan patologi plasenta.
a. Faktor maternal antara lain adalah:
Posterm (lebih dari 42 minggu), Diabetes Mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematosus, infeksi, hipertensi, pre eklampsia, eklampsia, hemoglobinopati, umur ibu
tua, penyakit Rhesus, rupture uteri, antifosfolipid syndrome, hipotensi akut ibu,
kematian ibu.
b. Faktor fetal antara lain adalah:
Hamil kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan congenital, kelainan genetic, infeksi.
c. Faktor plasental antara lain adalah:
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa.
d. Sedangkan faktor resiko terjadinya kematian janin intrauterine meningkat pada usia ibu
> 40 tahun, pada ibu infertile, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat
badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.
Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin dan
pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif untuk
mencari penyebab kematian janin termasuk analis kromosom, kemungkinan terpapar
infeksi untuk mengantisipasi kehamilan selanjutnya.
Pengelolaan kehamilan selanjutnya bergantung pada penyebab kematian janin.
Meskipun kematian janin berulang jarang terjadi, demi kesejahteraan keluarga, pada
kehamilan berikut diperlukan pengelolaan yang lebih ketat tentang kesejahteraan janin.

44
Pemantauan kesejahteraan janin dapat dilakukan dengan anamnesis, ditanyakan
aktivitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan dapat dilakukan pemeriksaan
kardiotokogragi.
(Prawirohardjo.2010:733)
3. Patofisiologis
Janin bisa juga mati di dalam kandungan (IUFD) karena beberapa faktor antara lain
gangguan gizi dan anemia dalam kehamilan hal tersebut menjadi berbahaya karena suplay
makanan yang dikonsumsi ibu tidak mencukupi kebutuhan janin. Sehingga pertumbuhan
janin terhambat dan dapat mengakibatkan kematian. Begitu pila dengan anemia, karena
anemia adalah kejadian kekurangan FE maka jika ibu kekurangan FE dampak pada janin
adalah irefersibel. Kerja organ-organ maupun aliran darah janin tidak seimbang dengan
pertumbuhan janin (IUGR). (Jahronah.2012)
4. Diagnosis
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam membuat diagnosis
kematian janin. Umumnya penderita hanya mengeluh gerakan janin berkurang, pada
pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut jantung janin. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan ultrasound, dimana tidak tampak adanya gerakan jantung janin. Pada
anamnesis gerakan menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan janin tidak ada, yang
terlihat pada tinggi fundus uteri menurun, berat badan ibu menurun, dan lingkaran perut ibu
mengecil.
Dengan fetoskop dan doppler tidak dapat didengar adanya denyut jantung janin.
Dengan sarana penunjang diagnostic lain yaitu USG, tampak gambaran janin tanda-tanda
kehidupan. Dengan foto radiologic setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps, tulang kepala
saling tumpang tindih (gejala ‘spaldin’) tulang belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang
kepala, tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah. Pemeriksaan hCG urin
menjadi negative setelah beberapa hari kematian janin. Komplikasi yang dapat terjadi ialah
trauma psikis ibu atau keluarga, apalagi bila waktu antara kematian janin dan persalinan
berlangsung lama. Bila terjadi ketuban pecah dapat terjadi infeksi. Terjadi koagulopati bila
kematian janin lebih dari 2 minggu.
(Prawirohardjo.2013:732-733)
5. Penilaian Klinik

45
a. Pertumbuhan janin (-), bahkan janin mengecil sehingga tinggi fundus uteri menurun.
b. DJJ tidak terdengar dengan fetoskop dan dipastikan dengan Doppler.
c. Keluhan ibu: menghilangnya gerak janin.
d. Berat badan Ibu menurun.
e. Tulang kepala kolaps.
f. USG: merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian
janin dimana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan.
g. Catatan: pemeriksaan radiologi dapat menimbulkan masalah dan tidak perlu.
h. Bila dilakukan 5 hari setelah kematian janin, akan tampak gambaran sebagai berikut:
2) Tulang kepala janin tumpang tindih satu sama lain.
3) Tulang belakang mengalami hiperfleksi.
4) Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
5) Edema di sekitar tulang kepala.
6) Pemeriksaan HCG urine menjadi negative. Hasil ini terjadi beberapa hari setelah
kematian janin.
(Saifuddin.2010:335)

6. Penatalaksanaan
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi.
Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaannya. Rekomendasikan
untuk segera diintervensi.
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan
kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila kematian janin terjadi
pada salah satu dari bayi kembar.
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu,
dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan dan gula darah. Diberikan KIE
pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin, rencana tindakan,
dukungan mental emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan
lahir pervaginam.

46
Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umumnya tanpa
komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin
atau misoprostol. Tindakan perabdominam bila janin letak lintang. Induksi persalinan dapat
dikombinasi oksitosin+misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pasca seksio
sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya rupture uteri.
Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal (50-
100 µg tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan diatas 28 minggu dosis
misoprostol 25 µg pervaginam/6 jam.
Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama keluarga.
Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkap penyebab
kematian janin.
(Prawirohardjo.2013:734)

47
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan. Perdarahan
dapat terjadi pada setiap usia kehamilan,. Langkah pertama menghadapi setiap pasien dengan
perdarahan yang banyak adalah segera memberikan infus Ringer-Laktat atau larutan garam
fisiologik dan kecepatannya disesuaikan dengan kebutuhan setiap kasus, serta memeriksa Hb
dan golongan darah.

48

Anda mungkin juga menyukai