Anda di halaman 1dari 27

RESUME

METODOLOGI STUDI ISLAM

OLEH
ELVIN SAHRAIN
193052002

UIN SULTAN AMAI GORONTALO

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH

2020
1. AQIDAH SYARI'AH DAN AKHLAK

A. AQIDAH

a. Pengertian
Akidah berakar dari kata yang berarti tali pengikat sesuatu dengan yang lain,
sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika masih dapat dipisahkan
berarti belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum ada akidahnya. Dalam pembahasan
yang masyhur akidah diartikan sebagai iman, kepercayaan atau keyakinan.
kajian Islam, akidah berarti tali pengikat batin manusia dengan yang diyakininya
sebagai Tuhan yang Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam semesta ini.
Akidah sebagai sebuah keyakinan kepada hakikat yang nyata yang tidak menerima keraguan
dan bantahan. Apabila kepercayaan terhadap hakikat sesuatu itu masih ada unsur keraguan
dan kebimbangan, maka tidak disebut akidah. Jadi akidah itu harus kuat dan tidak ada
kelemahan yang membuka celah untuk dibantah.
Sedangkan M. Syaltut menyampaikan bahwa akidah adalah pondasi yang di atasnya
dibangun hukum syariat. Syariat merupakan perwujudan dari akidah. Oleh karena itu hukum
yang kuat adalah hukum yang lahir dari akidah yang kuat. Tidak ada akidah tanpa syariat dan
tidak mungkin syariat itu lahir jika tidak ada akidah.
yang membahas akidah disebut ilmu akidah. Ilmu akidah menurut para ulama adalah
sebagai berikut:

a. Syekh Muhammad Abduh mengatakan ilmu akidah adalah ilmu yang membahas tentang
wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap ada pada-Nya, juga membahas tentang rasul-
rasul-Nya, meyakinkanmereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada mereka, apa yang boleh
dihubungkan pada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkan kepada diri mereka.

b. Sedang Ibnu Khaldun mengartikan ilmu akidah adalah ilmu yang membahas kepercayaan-
kepercayaan iman dengan dalil-dalil akal dan mengemukakan alasan-alasan untuk menolak
kepercayaan yang bertentangan dengan kepercayaan golongan salaf dan ahlus sunnah.

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu akidah adalah ilmu yang
membicarakan segala hal yang berhubungan dengan rukun iman dalam Islam dengan dalil-
dalil dan bukti-bukti yang meyakinkan. Semua yang terkait dengan rukun iman tersebut sudah
disebutkan dalam Al-Qur’an
surah al-Baqarah ayat 285:

"Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari


Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul Nya. (mereka mengatakan):
«Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasul-
Nya», dan mereka mengatakan: «Kami dengar dan Kami taat.» (mereka berdoa):
“Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”(Q.S. Al-
Baqarah [2] :285)

Dalam suatu hadis Nabi Saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril mengenai iman
dengan mengatakan:
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul-
Nya dan hari akhirat. Dan juga engkau beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk.” (
HR. Bukhari )

Berdasarkan hadis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rukun iman itu ada enam:
a. Iman kepada Allah
b. Iman kepada Malaikat Allah
c. Iman kepada kitab-kitab Allah
d. Iman kepada Rasul-Rasul Allah
e. Iman kepada hari akhir,
f. Iman kepada qada’ dan qadar.
Sebagaimana telah kita diketahui bahwa agama Islam itu berasal dari empat sumber:
al-Qur’an, hadis/sunnah Nabi, ijma’ (kesepakatan) dan qiyas. Akan tetapi untuk akidah Islam
sumbernya hanya dua saja, yaitu al-Qur’an dan hadis sahih, Hal itu berarti akidah mempunyai
sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang bagi seseorang untuk
meragukannya. Untuk sampai pada tingkat keyakinan dan kepastian ini, akidah Islam harus
bersumber pada dua warisan tersebut yang tidak ada keraguan sedikitpun bahwa ia diketahui
dengan pasti berasal dari Nabi. Tanpa informasi dari dua sumber utama al-Qur’an dan hadis,
maka sulit bagi manusia untuk mengetahui sesuatu yang bersifat gaib tersebut.

b. Dalil / Argumentasi dalam Akidah

Argumentasi yang kuat dan benar yang memadai disebut Dalil. Dalil dalam akidah
ada dua yaitu:
a. Dalil ‘Aqli.

Dalil yang didasarkan pada penalaran akal yang sehat. Orang yang tidak mampu
mempergunakan akalnya karena ada gangguan, maka tidak dibebani untuk memahami
Akidah. Segala yang menyangkut dengan Akidah, kita tidak boleh meyakini secara ikut-
ikutan, melainkan berdasarkan keyakinan yang dapat dipelajari sesuai dengan akal yang sehat.

b. Dalil Naqli.

Dalil naqli adalah dalil yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunah.Walaupun akal
manusia dapat menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi, namun harus disadari bahwa
betapapun kuatnya daya pikir manusia, ia tidak akan sanggup mengetahui hakikat zat Allah
yang sebenarnya. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki yang ghaib, untuk
mengetahui yang ghaib itu kita harus puas dengan wahyu Allah. Wahyu itulah yang disebut
dalil Naqli.Kebenaran dalil Naqli ini bersifat Qat‘iy (pasti), kebenarannya mutlak serta
berlaku untuk semua ruang dan waktu. Dalil Naqli ada dua yaitu al-Qur’an dan hadis Rasul.
Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal, cukup diyakini kebenarannya tanpa harus
membuktikan dengan akal. Termasuk ke dalam bagian ini adalah hakikat hal-hal yang
ghaib, seperti kiamat, alam barzakh, alam makhsyar, surga, neraka, malaikat,dan lain
sebagainya.

c. Tujuan Akidah Islam

Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yaitu:


a. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah. Karena Allah adalah Pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya
kepada-Nya .

b. Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan yang timbul dari lemahnya akidah. Karena
orang yang lemah akidahnya, adakalanya kosong hatinya dan adakalanya terjerumus pada
berbagai kesesatan dan khurafat.

c. Ketenangan jiwa dan pikiran tidak cemas. Karena akidah ini akan memperkuat hubungan
antara orang mukmin dengan Allah, sehingga ia menjadi orang yang tegar menghadapi segala
persoalan dan sabar dalam menyikapi berbagai cobaan.

d. Meluruskan tujuan dan perbuatan yang menyimpang dalam beribadah kepada Allah serta
berhubungan dengan orang lain berdasarkan ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw.

e. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan yang


baik untuk beramal baik. Sebab setiap amal baik pasti ada balasannya. begitu sebaliknya,
setiap amal buruk pasti juga ada balasannya. Di antara dasar akidah ini adalah mengimani
kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.

“Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang


dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
An’am [6]: 132)

Nabi Muhammad Saw. juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:

“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang
mukmin yang lemah dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah
terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan
lemah. Jika engkauditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan: Seandainya aku
kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Itu takdir Allah dan apa yang Dia
kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.”
(HR Muslim)

f. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun


kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan.” ( QS. An-Nahl [16] : 97)

B. SYARI’AH

a. Pengertian
» Secara Etimologi Kata Syari’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata Syara’a yang
berarti jalan.Syari’ah Islam berarti jalan dalam agama Islam atau peraturan dalam Islam.
» Secara Terminologi Syari’ah adalah suatu sistem norma Ilahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan
manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan di alam semesta.Berdasarkan pengertian diatas,
syari’ah dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu :
1. Ibadah. Ibadah adalah peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
2. Mu’amalah. Mu’amalah adalah peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan seluruh alam.

b. Ruang Lingkup Syari’ah Islam


Ruang lingkup syari’ah mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah Khusus ( Ibadah Makhdah ) yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, meliputi Rukun Islam.
2. Ibadah Umum ( Mu’amalah dalam arti luas ) yaitu peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam lainnya, meliputi
mu’amalah dalam arti khusus, munakahat, jinayat, siyasah dan peraturan-peraturan lain yang
seperti makanan, minuman, berburu dan lain-lain.
c. Tujuan Syari’ah Islam
Tujuan Syari’ah Islam yang : paling utama adalah untuk membangun kehidupan
manusia atas dasar ma’rufat ( kebaikan-kebaikan ) dan membersihkannya dari munkarat (
keburukan-keburukan ).
1. Ma’rufat adalah nama untuk semua kebajikan atau sifat-sifat yang baik, yang sepanjang masa
telah diterima sebagai sesuatu yang baik oleh hati nurani manusia.
Syari’ah Islam membagi ma’ruf itu dalam 3 kategori, yaitu :
a. Fardhu : wajib.
b. Sunah : anjuran.
c. Mubah : boleh.
2. Munkarat adalah nama untuk segala dosa dan kejahatan yang sepanjang masa telah dikutuk
oleh watak manusia sebagai sesuatu yang jahat.
Syari’ah Islam membagi munkarat itu dalam 2 kategori, yaitu :
a. Haram.
b. Makruh.
c. Pelaksanaan Syari’ah Islam
Dalam melaksanakan syari’ah ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Bahwa ketentuan Allah dan Rasul-Nya tentang pelaksanaan Syari’ah Islam tidak semata-
mata didasarkan atas klasifikasi hukum saja, misalnya wajib, sunah, mubah, makruh maupun
haram.
Tetapi juga harus didasarkan pada niat yang ikhlas karena niat dapat mengubah
klasifikasi hukum tertentu. Misalnya amalan syari’ah yang termasuk dalam kategori wajib
seperti shalat. Jika dilaksanakan dengan niat ikhlas karena Allah, maka kewajiban terpenuhi
dan sekaligus mendapatkan pahala.
Dalam melaksanakan Syari’ah Islam hendaknya disertai dengan sikap wara’ dan hati-
hati, serta niat yang ikhlas agar pelaksanaan syari’ah tersebut tidak menjadi sia-sia di sisi
Allah swt.
2. Bahwa ketentuan Allah dan Rasul-Nya tentang pelaksanaan Syari’ah Islam berhubungan erat
dengan situasi dan kondisi, misalnya dalam situasi perang, shalat dapat dilaksanakan dengan
cara menjama’ atau mengqashar seperti dalam keadaan musafir, bisa dilaksanakan dengan
duduk seperti dalam kondisi sakit dan sebagainya.Perubahan situasi dan kondisi sama sekali
tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syari’ah. Kewajiban mutlak harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi apapun juga, namun
peraturan pelaksanaannya boleh mengalami perubahan sesuai dengan ketentuan syari’ah,
karena dalam pelaksanaan syari’ah terdapat kategori rukhsah ( keringanan )..

C. AKHLAK

a. Pengertian
Secara bahasa kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlak, yang merupakan
bentuk jamak dari kata khuluq atau al-khaliq yang berartia) tabiat, budi pekerti,
b) kebiasaan atau adat,
c) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan
Sedangkan pengertian secara istilah, akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada
jiwa manusia, yang melahirkan perbuatan-perbuatan yang mudah, tanpa melalui proses
pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan (hal) tersebut melahirkan perbuatan
yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan hukum Islam, disebut akhlak yang baik.
Jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk. Sebagian
ulama’ memberi de¿nisi mengenai akhlak, yaitu:
“Akhlak adalah sifat manusia yang terdidik”
Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat di dalam jiwa, maka perbuatan baru
disebut akhlak kalau terpenuhi beberapa syarat, yaitu:

a. Perbuatan itu dilakukan berulang-ulang. Kalau perbuatan itu dilakukan hanya sesekali saja,
maka tidak dapat disebut akhlak. Misalnya, pada suatu saat, orang yang jarang berderma tiba-
tiba memberikan uang kepada orang lain karena alasan tertentu. Tindakan seperti ini tidak
bisa disebut murah hati berakhlak dermawan karena hal itu tidak melekat di dalam jiwanya.

b. Perbuatan itu timbul mudah tanpa dipikirkan atau diteliti terlebih dahulu sehingga benar-
benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah
dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang tidak disebut akhlak.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran
agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang
disebut al-akhlak al-karimah. Hal ini tercantum antara lain dalam sabda Rasulullah saw;
Rasulullah bersabda:“ Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia” (HR. Al-Hakim)

b. Macam-Macam Akhlak
1. Akhlak Wadҕ’iyyah
Akhlak Waঌ'iyyah adalah norma yang mengajarkan kepada manusia dengan
berpedoman kepada olah pikir dan pengalaman manusia. manusia dengan menggunakan
akhlaknya berpikir dan bertindak kearah yang baik dan benar dengan menjadikan akal sebagai
rujukan dalam perbuatan kehidupan sehari-hari.Dengan demikian, akhlak, ini hanya
mempunyai satu macam sanksi, yaitu sanksi yang datang dari masyarakat (sesama manusia)
semata-mata.
2. Akhlak Islam
Norma keagamaan adalah akhlak yang mengajarkan akhlak kepada manusia dengan
mengambil tuntunan yang telah diberikan Allah Swt. dan Rasulullah saw. dalam Al-Qur’an
dan hadisDengan demikian akhlak ini mempunyai dua macam sanksi apabila dilanggar. Yang
pertama adalah sanksi dari Tuhan (bersifat gaib) dan yang kedua adalah sanksi yang datang
dari masyarakat (sesama manusia).
Adapun ciri-ciri akhlak Islam adalah:

1) Kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah al-mutlaqah), yaitu kebaikan yang terkandung


dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun untuk
masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu dan tempat apapun;

2) Kebaikannya bersifat menyeluruh (al-sʑ alahʑ iyyah al-ammah), yaitu


kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia di
segala zaman dan di semua tempat;

3) Tetap dan kontekstual, yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya


bersifat tetap, tidak berubah oleh perubahan waktu dan tempat atau perubahan kehidupan
masyarakat;

4) Kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzƗm al-mustajab), yaitu kebaikan yang terkandung dalam
akhlak Islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan sehingga ada sanksi hukum tertentu
bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya; dan

5) Pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhҕitʑah). Karena akhlak Islam bersumber


dari Tuhan, maka pengaruhnya lebih kuat dari akhlak ciptaan manusia, sehingga seseorang
tidak berani melanggar kecuali setelah ragu-ragu dan kemudian akan menyesali perbuatannya
untuk selanjutnya bertaubat dengan sungguh-sungguh dan tidak melakukan perbuatan yang
salah lagi. Ini terjadi karena agama merupakan pengawas yang kuat. Pengawas lainnya adalah
hati nurani yang hidup yang didasarkan pada agama dan akal sehat yang dibimbing oleh
agama serta diberi petunjuk.
2. AL-QUR’AN, HADIS DAN IJTIHAD

A. AL-QUR’AN

a. Pengertian al-Qur’an
Secara etimologi para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-Qur’an.
Berikut adalah beberapa pendapat tersebut.
a. Menurut al-Lihyany (w. 215 H)
Menurut al-Lihyany (w. 215 H) dan segolongan ulama lain kata Qur’an adalah
bentuk masdar dari kata kerja (fi›il), artinya membaca, dengan perubahan bentuk kata/tasrif (
Dari tasrif tersebut, kata artinya bacaan yang bermakna isim maf›ul (artinya yang dibaca.
Karena al-Qur›an itu dibaca maka dinamailah al-Qur’an. Kata tersebut selanjutnya digunakan
untuk kitab suci yang diturunkan Allah Swt., kepada Nabi Muhammad Saw, Ditinjau dari
pengertian secara terminologi, para ulama’ juga berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan
al-Qur’an. Perbedaan itu terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan
perbedaan dalam menyebutkan unsur-unsur, sifat-sifat atau aspek-aspek yang terkandung di
dalam al-Qur’an itu sendiri yang memang sangat luas dan komprehensif. Semakin banyak
unsur dan sifat dalam mendefinisikan al-Qur’an, maka semakin panjang redaksinya. Namun
demikian, perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat prinsipil, justru perbedaan
pendapat tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga jika pendapat-pendapat itu
digabungkan, maka pemahaman terhadap pengertian al-Qur’an akan lebih luas dan
komprehensif. Beberapa pendapat ulama’ mengenai definisi al-Qur’an secara terminologi di
antaranya adalah:
b. Syeikh Muhammad Khuiari Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islwm, Syeikh Muhammad Khuiari Beik
mengemukakan definisi al-Qur’an sebagai berikut:Artinya:
al-Qur’an ialah lafaz (ϔirman Allah) yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada
Muhammad Saw, untuk dipahami isinya dan selalu diingat, yang dis-ampaikan dengan cara
mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fwtihah dan diakhiri
dengan surat an-Nas.
c. Subhi aalih
Subhi aalih mengemukakan definisi al-Qur’an sebagai berikut :Artinya: al-Qur’an
adalah kitab (Allah) yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw, yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang dis-ampaikan secara mutawatir, dan bernilai
ibadah membacanya.
d. Syeikh Muhammad Abduh
Sedangkan Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan al-Qur’an dengan pengertian
sebagai berikut.
Kitab (al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang terpelihara
di dalam dada orang yang menjaga(nya) dengan menghafalnya (yakni) orang-orang Islam.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian al-
Qur’an sebagai berikut :
1. Al-Qur’an adalah firman atau kalam Allah Swt.
2. Al-Qur’an terdiri dari lafaz berbahasa Arab.
3. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
4. Al-Qur’an merupakan kitab Allah Swt., yang mengandung mu’jizat bagi Nabi Muhammad
Saw, yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril.
5. Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan).
6. Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah.
7. Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah an-NƗs.
8. al-Qur’an senantiasa terjaga/terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian orang Islam
yang menjaganya dengan menghafal al-Qur’an.

B. HADIS

a. Pengertian
“Hadis” atau al-hadits menurut bahasa, berarti al-jadi’d (sesuatu yang baru), lawan
kata dari al-qadim. Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk pluralnya adalah al-
ahadits.Hadis sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim dari tahdith yangberarti
pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Barangkali al-Farra’ telah memahami arti ini ketika
berpendapat bahwa mufrad kata ahadits adalah uhdutsah (buah pembicaraan). Lalu kata
ahadith itu dijadikan jama’ dari kata hadith.
Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadis lalu mereka
menggunakannya sebagai lawan kata qadim (lama), dengan memaksudkan qadim sebagai
kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam
Sharah al-Bukhari, Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata, bahwa dimaksud dengan hadits menurut
pengertian shara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan hal itu seakan-akan
dimaksudkan sebagai bandingan Alquran yang qadim.
Adapun secara terminologis, menurut ulama hadis sendiri ada beberapa perbedaan
definisi yang agak berbeda diantara mereka. Perbedaan tersebut ialah tentang hal ihwal atau
sifat Rasul sebagai hadis dan ada yang mengatakan bukan hadis. Ada yang menyebutkan
taqrir Rasul secara eksplisit sebagai bagian dari bentuk-bentuk hadis dan ada yang
memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau af’al-nya.
Ulama ushul memberikan definisi yang terbatas, yaitu “Segala perkataan Nabi SAW yang
dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum shara’.” Dari pengertian di atas bahwa segala
perkataan atau aqwal Nabi, yang tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak
mengandung misi kerasulannya, seperti tentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan,
minum, atau segala yang menyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk hadis.
Ahli Hadis memberi definisi yang saling berbeda. Perbedaan tersebut
mengakibatkan dua macam ta’rif hadis. Pertama, ta’rif hadis yang terbatas, sebagaimana
dikemukakan oleh jumhur al-muhaddisin, “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang
sebagainya.”
Ta’rif ini mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan
dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad SAW yang lain, yang semuanya hanya
disandarkan kepadanya saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan
tabi’in.Kedua, pengertian yang luas, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian muhaddisin,
tidak hanya mencakup sesuatu yang di-marfu’-kan kepada Nabi SAW saja, tetapi juga
perkatan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in pun disebut
hadis. Pemberian terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
disebut berita yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang
disandarkan kepada tabi’in disebut maqthu’. Sebagaimana dikatakan oleh Mahfudh,
“Sesungguhnya hadis itu bukan hanya yang di-marfu’-kan kepada Nabi SAW saja, melainkan
dapat pula disebutkan pada apa yang mauquf dan maqthu’. Begitu juga dikatakan oleh al-
Tirmisi.Dari beberapa pengertian di atas, baik dari ulama ushul maupun dari ulama hadis,
dapat ditarik benang merah bahwa hadis adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW, sahabat, dan tabiin yang dapat dijadikan hukum syara’. Maka pemikir
kontemporer membagi hadis menjadi dua, yaitu hadis tasyri’ dan hadis ghair tasyri’.

C. IJTIHAD

a. Pengertian
Sebelum membahas lebih jauh mengenai redefinisi ijtihad, terlebih dahulu kita akan
membahas mengenai ijtihad sebagaimana yang dipahami saat ini. Secara etimologi kata
ijtihad (‫( اجتھاد‬berasal dari kata al-jahd, al-juhd, (‫( الجھد‬dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan,
kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd
menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata
ijtihad yaitu bentuk mashdar tsulatsi mazid dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan yang
berarti ‫ جد و بذل وسعھا‬, ّbersungguh-sungguh dan mencurahkan segala kemampuannya, kata
ijtihad juga bermakna kesungguhan, kegiatan dan ketekunan.
Imam Al-Jauhari menyebutkan bahwa kata “Al-Jahdu dan al-Juhdu” kedua-duanya memiliki
arti kemampuan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : (Orang-orang munafik) yaitu
orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan
sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain
sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan
membalas penghinaan mereka itu,dan untuk mereka azab yang pedih. QS At-Taubah : 79.
Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara al-Jahdu dan al-
Juhdu. Ia menyebutkan bahwa “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang-orang Hijaz
sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd memiliki arti mengerahkan
segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd mengandung makna kesulitan.” Berkaitan
dengan kata ijtihad, Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya:
‫صلوا علي وجتھدوا في الدعاء‬

Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’aDalam Bab ‘Kaifa


As Sholah ‘Alan Nabiyi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam’ An-Nasa’i meriwayatkan

bahwa Zaid bin Kharijah berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda :


…pada waktu sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”Dalam riwayat yang lainnya
dari Aisyah ra istri Nabi sempat mengomentari perilaku Rasulullah ketika memasuki bulan
Ramadhan. Ibnu Majah menukilkan dari Aisyah ra:

‫في يجتھد وسلم عليه هللاا صلى هللاا رسول كان‬

‫غيره في يجتھد ماال األواخر العشر‬

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam


terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain.” HR. Muslim.

Bila kita perhatikan maka tidak ada perbedaan mendasar antara kata al-Jahdu dan
ijtihad, hal ini karena dua kata ini memiliki satu sumber yang sama. Kata al-Jahdu yang
berarti mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila
tidak menemui sebuah kesulitan, artinya kedua kata ini saling melengkapi.

Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad dengan menggabungkan


dua unsur tersebut. Beliau menyebutkan bahwa Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan
oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan
yang ada. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata ijtihad secara bahasa memiliki makna yang
tidak jauh berbeda dengan istilah syara’ yaitu :

Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat.


Sedangkan ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari
(jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya itu.”

Menurut Ibrahim Husain “Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan
sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam,
baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syari’ah yang
disebut maslahat. Sementara itu Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa Ijtihad adalah
penggunaan akal fikiran semaksimal

mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara. Adapula Al-Amidi


mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

Mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat


zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.Sementara itu
Al-Ghazali merumus-kan ijtihad sebagai berikut :

Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memper-oleh hukum-hukum


syar’i. Para sahabat Nabi memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "Penelitian dan pemikiran
untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang
terdekat itu diperoleh darinash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat
itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan
"mashlahat."
Kata ijtihad bila dilihat lebih luas lagi memiliki makna khusus dan makna umum. Dalam
makna yang khusus ijtihad dipahami memiliki makna yang sinonim dengan qiyas. Hal ini
sebagaimana diebutkan oleh
Muhammad bin Idris as-Syafi’i ra dalam ar-Risalahnya ada bab yang judulnya Qiyas, Ijtihad,
Istihsan dan Ikhtilaf. Pada bab Qiyas ditanyakan: “Apa itu qiyas, apakah Qiyas sama dengan
ijtihad ataukah keduanya adalah kata yang memiliki arti berbeda?” Aku (Syafi’i) menjawab:
“Kedua adalah dua kata untuk satu makna”. Dalam hal ini Imam Syafi’i menyebutkan bahwa
antara qiyas dan ijtihad adalah semakna. Sebenarnya penyamaan ini bisa kita lihat dari sisi
bahwa dalam prosess ijtihad, qiyas menjadi salah satu metode dalam menghasilkan suatu
hukum, sehingga wajar jika beliau menyamakan antara keduanya. Penggunaan qiyas sebagai
metode sejatinya juga lebih dulu dilakukan oleh Abu Hanifah, sebagai penggagas mazhab
Hanafiyah, beliau memopulerkan penggunaan qiyas. Hal itu dapat dimaklumi mengingat
mazhab yang dikembangkannya disebut dengan madrasah ra’yu. Ensiklopedia fiqih Islam
yang dikenal dengan nama Mausu’ah Fiqh Jamal Abdun Naser’ (Ensiklopedia Fiqih Jamal
Abdun Naser), pada pasal Anwa’ Ijtihad (bentuk-bentuk ijtihad), setelah menjelaskan makna
ijtihad dalam arti yang umum, memerikan apa arti ijtihad khusus. Disebutkan: “Kedua, ijtihad
lewat pemikiran pribadi.Ijtihad yang dilakukan ketika tidak ditemukan teks-teks Al-Qur’an
dan hadis juga tidak ada ijma’ berkenaan dengan sebuah masalah. Demikian pula mencakup
proses penyimpulan sebuah hukum syar’i dengan memakai kaedah-kaedah umum syariat.
Ijtihad yang semacam ini disebut Ijtihad Ra’yu”.
Muhammad Salam Madkur meng-gambarkan sikap para sahabat sekaitan dengan masalah
ijtihad tidak hanya melakukan qiyas tapi juga mencakup Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah
dan Istihsan. Beliau menulis: “Ijtihad para sahabat Nabi ada tiga bentuk. Pertama, penjelasan
teks-teks syar’i dan penafsir-annya. Kedua, mengqiyaskan masalah dengan teks-teks syar’i
dan ijma’. Ketiga, Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah, Istihsan. Kelompok ketiga inilah yang
sering dilakukan oleh para sahabat”. Hadis dari Mu’adz Bin Jabal ra berkenaan dengan
pengutusannya ke Yaman sangat jelas bagaimana ia berijtihad dengan ra’yu-nya. Dalam
dialognya dengan Rasulullah saw yang ditulis oleh ad-Darimi dalam Sunannya menyebutkan:
“Rasulullah bertanya kepada Mu’adz, Bila ada masalah yang menuntutmu menyelesaikannya
bagaimana engkau akan menyelesai-kannya?” “Aku akan menyelesaikannya dengan
berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya. Rasulullah saw kembali bertanya: “Seandainya
masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat dalam Kitab Allah apa yang kau perbuat?”
“Aku akan berpegangan dengan sunnah Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab. “Bila
masalahnya tidak kau temukan dalam Kitab Allah dan sunnah RasulNya?”, tanya Nabi.
Mu’adz menjawab: “Ajtahidu bira’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku
sendiri).Saifuddin al-Amidi as-Syafi’i (W. 631 H) berkata: “Ijtihad adalah usaha serius untuk
sampai pada zhan tentang hukum syar’i sehingga seseorang akan merasakan bahwa sulit
dibayangkan kemampuannya lebih dari itu”. Ibnu Subki berpendapat:

c . Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah system hukum yang integral dan
universal, ia menjadi ujung tombak bagi permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.
Ijtihad dalam Islam disandarkan pada dalil-dalil Umum yang terdapat di Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Di antara ayat yang menjadi dasar bagi ijtihad adalah firman
Allah Ta’ala :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. QS An-Nisaa : 59

Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad
yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurâ
bainahum”, kata “syura”dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu
untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada dalil yang
terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga
dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu
agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu(mujaddid) tersebut sudah
barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ahdalam ilmu
syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah
ijtihad itu sendiri.

Ali Hasbalah yang dikutip Satria Efendi M. Zein, perintah mengembalikan sesuatu
yang diperdebat-kan kedalam Al-Quran dan Sunnayh adalah peringatan agar orang tidak
mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan jalan ijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-
Quran dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang sisebutkan dalam Al-Quran karena persamaan ‘illatnya
seperti dalam praktek qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan
syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah
dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (Q.S.An-
Nisa : 105)

3. FIQH DAN USUL FIQH

a. Pengertian Fiqh
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah,karena fiqh itu pada
hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah1. Fiqh secara etimologi berarti pemahaman
yang mendalam danmembutuhkan pengerahan potensi akal2. Sedangkan secara
terminologifiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum
syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal
sehat (mukallaf) dan diambildari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah
yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalilyang tafsili.Penggunaan kata “syariah” dalam
definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu
sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas
menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah.
Dengandemikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalahkeimanan atau “aqidah”
tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalamuraian ini. penggunaan kata “digali dan
ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan,
penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan
mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah
memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan
yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan
Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari’ah. Untuk
mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang
mendalam tentang syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan
situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci.
Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan
sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
b. Pengertian Usul Fiqh
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti
“sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh
itu adalahilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang
terinci. Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.4 Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh
terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan
salat itulah yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al- Qur;an maupun
hadis bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan
salat. Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara’”.
Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syarah ada aturan yang harus
menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu
menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul Fiqh”. Dari penjelasan
ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu
pedoman yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam
usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya.Sedangkan fiqh itu hukum-
hukum syara’ yang telah digali dandirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah
ditentukan itu.
c. Ruang Lingkup Fiqh Dan Usul Fiqh
a. Ruang Lingkup Fiqh
Ruang lingkup ilmu Fiqh, meliputi berbagai bidang di dalam
hukum-hukum syara’, antara lain :
1. Ruang lingkup Ibadat, ialah cara-cara menjalankan tata cara peribadatan kepada Allah SWT.
2. Ruang lingkup Mu’amalat, ialah tata tertib hukum dan peraturan hubungan antar manusia
sesamanya.
3. Ruang lingkup Munakahat, ialah hukum-hukum kekeluargaan dalamhukum nikah dan akibat-
akibat hukumnya.
4. Ruang lingkup Jinayat, ialah tindak pelanggaran atau penyimpangan dari aturan hukum Islam
sebagai tindak pidana kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi pribadi, keluarga,
masyarakat, dan Negara.
b. Ruang Lingkup Usul Fiqh
Berdasarkan kepada beberapa definisi di atas, terutama definisiyang dikemukakan
oleh al Baidhawi dalam kitab Nihayah al-Sul, yangmenjadi ruang lingkup kajian (maudhu’).
Ushul fiqh, secara globaladalah sebagai berikut:6
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat(mujtahid ) dengan berbagai
permasalahannya.Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 :
8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu:
a. Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah/ hasil ) yang dicari oleh
ushul fiqh.
b. Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karenasemuanya ini adalah
mutsmir (pohon). .
c. Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah), karena iniadalah thariq al-istitsmar
(jalan / proses pembuahan). Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq
(tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat (kemadharatan), dan dalalah bil
ma’na al-ma’qul (makna rasional).
d. Mustamtsir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan
kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga
harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.

d. Kegunaan Fiqh Dan Usul Fiqh

Kegunaan utama ushul fiqh adalah untuk mengetahui kaidah- kaidah yang bersifat
kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk diterapkan pada dalil-dalil tafsili
(terperinci) sehinggan dapat diistinbathkan hukum syara’ yang di tunjukkannya. Dengan
ushul fiqh dapat dapat dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan
bertentangan satu sama lain.Sementara kegunaan utama fiqh untuk dapat menerapkan hukum
syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataaan mukallaf. Fiqh hukum syara’ terhadap segala
perbuatan dan perkataaan mukallaf. Fiqh merupakan rujukan bagi hakim dalam menetapakan
putusannya dan menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan fiqh
menjadi petunjuk berharaga bagi setiap mukallaf dalam menetapkan hukum perkataan dan
perbuatannya sehari-hari.

d. Kompponen Hukum Syar’i


Hukmu syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.

1. Al-Hakim
Hakim adalah Pembuat hukmu (syar’i). dalam pengertian Islam adalah Allah SWT.
Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi
kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun
untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.

2. Al-Hukmu

Definisi Hukmu menurut ahli usul fiqh adalah Khithab (doktrin) Allah yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau penetapan. Sedangkan
menurut ahli fiqih (Fuqaha) adalah suatu karakter (sifat) yang merupakan iplikasi dari khithab
tersebut.

1. Al-Mahkum
Yang dimaksud dengan mahkum adalah perbuatan yang dihukumi. Dalam hal ini
mahkum tersebut adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf. Jadi
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak mukallaf tidak dikenai hukum, misalnya
perbuatan anak kecil, orang gila ataupun orang yang sama sekali tidak mengerti peraturan
syari’at.
2. Al-Mahkum ‘Alaihi
alaihi adalah orang yang dibebani hukum (subjek hukum), yakni mukallaf (orang
yang sudah mencapai akil balig, sehat rohani, islam dan sudah sampai da’wah syariat
kepadanya). Dengan demikian orang-orang yang tidak memenuhi kriteria diatas tidak
terbebani hukum.

4. TAFSIR

a. pengertian tafsir

Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara –yufassiru -
tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian.Sedangkan Tafsir menurut terminologi (istilah),
sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya Menurut al-Kilbiy dalam
kitab at-Taṣliy, sebagaimana yang telah dikutip oleh Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali.
Tafsir ialah mensyarahkan al-Qur‟an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya Menurut Ali
Ḥasan al-‟Ariḍ, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadz al-
Qur‟an makna-makna yang ditunjukkan dan hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
atau pun tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan
tersusun.4Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy tafsir adalah:
‫علم يثحث فيه عه القرأن الكريم مه حيث داللته علي المراد حسة الطاقح الثشريح‬

Artinya: “suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang keadaan-keadaan al-Qur‟an


al-karim dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat
disanggupi manusia.”5Sebatas yang dapat disanggupi manusia memiliki pengertian bahwa
tidaklah suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yangmutasyabihat
dan tidak dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh
Allah.Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur‟an, salah satu di
antaranya adalah di dalam ayat 33 dari surat al-Furqān:

Artinya: ”Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf al-
mugaṭṭa” (membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan menjelaskan
maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan oleh para ulama tafsir
dengan “al-īḍāḥ wa al-tabyīn” (menjelaskan dan menerangkan).8 Dari sini dapat disimpulkan
bahwa tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan tentang keadaan al-Qur‟an dari berbagai
kandungan yang dimilikinya kepada apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan
penafsir.

b. Metode Tafsir

Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.9
Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan
manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu
yang ditentukan.10Definisi ini menggambarkan bahwa metode tafsir al-Qur‟an tersebut
berisiseperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan al-Qur‟an.
Adapun metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode menafsirkan al-
Qur‟an.Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara yang
ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan aturan dan tatanan yang
konsisten dari awal hingga akhir.Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam
khazanah intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian tersendiri jauh setelah
tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir
tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.12 Dalam perkembangan metodologi selanjutnya,
Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi empat:

1. Metode Taḥlīliīy

Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metodepenafsiran yang
berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan
ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian dan
kandungan lafadz-lafadznya,hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-
hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat
para sahabat dan ulama-ulama lainnya.

a. Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy

Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya melakukan sebagai berikut:


1) Menerangkan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara
satu surah dengan surah lain.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbāb al- nuzūl).
3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk
menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat
bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang
sebelum dan padamasanya.
4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap perlu. Khususnya,
apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balāgah.
6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat
aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
7) Menerangkan makna dan maksud syara‟ yang terkandung dalam ayat bersangkutan.
Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayatayat lainnya, hadits Nabi
SAW, pendapat para sahabat dan tabi‟in, di samping ijtihad mufassir sendiri. Apabila
tafsir ini bercorak al-tafsīr al-„ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-tafsīr al-
adābi al-ijtimā‟i mufassir biasanya mengutip pendapat para ilmuwan sebelumnya, teori-
teori ilmiah modern, dan lain sebagainya.

2. Metode Ijmālī

Metode Ijmālī dalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-
Qur‟an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau
penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.
Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri Khaeruman,
mendefinisikan bahwa metode tafsir ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur‟an dengan
mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat
al-Qur‟an.

Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana metode Taḥlīliīy,
yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam
metode ini mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara
global.

Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur‟an secara garis
besar. Sistematika mengikuti urutan surah-surah al-Qur‟an dalam muṣḥaf Ustmani, sehingga
makna-makna dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur‟an sendiri dengan menambahkan
kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para
pembaca untuk memahaminya.22 Dengan kata lain makna yang diungkapkan itu biasanya
diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama‟,
dan mudah dipahami orang. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan metode ini,
mufassir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbāb al-nuzūl atau peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan
dengannya.

3. Metode Muqāran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang membahas
suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antar ayat dengan
hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antarapendapat-pendapat para ulama‟ tafsir
dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.25

a. Macam-macam Metode Muqāran

Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini menjadi tiga bagian yaitu:
a. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain Yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan
redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki
redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Pertentangan makna di antara
ayat-ayat al-Qur‟an dibahas dalam ilm al-nasikh wa al-mansukh.

b. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan Hadits

Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan berbeda
atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadits
yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Qur‟an. Hadits itu haruslah shahih. Hadits dhaif
tidak diperbandingkan, karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin
bertolak.31karena pertentangannya dengan ayat al-Qur‟an. Setelah itu mufassir melakukan
analisis terhadap latarbelakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.

c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain


Mufassir membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf maupun
khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat manqūl (pengutipan)
maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran). Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an tertentu
ditemukan adanya perbedaan di antara ulama‟ tafsir. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan
hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan dan sudut pandang masing-masing.

Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang lain,
mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan dan mencari titik temu di antara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah
membahas kualitas argumentasi masing-masing.

4. Metode Mauḍū’i

Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-
nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung
oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik
argumen yang berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.Jadi, dalam metode
ini, tafsir al-Qur‟an tidak dilakukan ayat demi ayat.
5. ILMU KALAM
a. Pengertian

Dari segi etimologis, perkataan ilmu Kalam terdiri atas dua perkataan: ilmu = pengetahuan,
kalam = perkataan, percakapan. Kedua perkataan itu berasal dari bahasa Arab. Kemudjan
Ilmu Kalam ini digunakan sebagai nama dari ilmu yang mambahas atau membicarakan aqidah-
aqidah dalam Islam.

Tidak begitu dapat dipastikan apakah Ilmu Kalam itu singkatan dari Ilmu Kaiamuilah (ilmu
tentang kalam atau firman Allah), atau singkatan dari ilmu Kalam al-Mutakallimin (ilmu tentang
kalam atau pembicaraan/perdebatan para mutakalliminin). Jadi tidak dapat dipastikan mengapa
ilmu yang membicarakan aqidah-aqidah dalam Islam disebut Ilmu Kalam. Namun demikian
penamaan Ilmu Kalam itu memiliki beberapa alasan sebagai berikut:

a. Persoalan kaiamuilah (apakah firman Allah itu diciptakan atau bukan, hadits atau qadim?)
merupakan persoalan yang diperdebatkan dengan sengit sekali di kalangan para ulama pada
abad kedua dan ketiga Hijrah, dan persoalan itu cukup menggoncangkan umat, karena Daulat
Bani Abbasiah, yang menganut paham Mu'tazilah, pernah lebih dari sepuluh tahun
memaksa ulama-ulama supaya menganut paham bahwa kaiamuilah itu makhluk.

b. Sebagian dari ulama-ulama dalam bidang aqidah Islam ini berusaha menjelaskan dan
membela aqidah Islam dengan menggunakan metoda ilmu logika atau mantiq, yang lazim
digunakan oleh para filosof. Para ulama itu, dalam rangka membedakan diri mereka dengan
para filosof, menyebut metoda yang mereka pakai dengan sebutan al-kalam, sehingga
mereka dapat disebut ahlul-kalam, sedang para filosof dapat disebut ahlul-manthiq

c. .Pembicaraan dalam bentuk perdebatan pada lapangan aqidah Islam, yang pada masa
Rasulullah daifmasa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) tidak pernah
terjadi, ternyata sejak abad kedua Hijrah menjadi muncul dan bahkan sangat sengit.
Masalah-masalah yang didiamkan saja oleh dua atau tiga generasi pertama umat Islam
(generasi salaf), sejak abad kedua tidak didiamkan lagi, tapi dibicarakan dan diperdebatkan.

d. Masalah-masalah yang diperdebatkan dalam lapangan aqidah itu lebih dirasakan sebagai
masalah-masalah yang terbatas pada pembicaraan, dan jauh kaitannya dengan pengamalan.

Boleh jadi karena keempat hal di atas, atau karena sebagiannya, maka ilmu yang berbicara
dalam lapangan aqidah Islam menjadi populer dengan sebutan Ilmu Kalam, kendati ada
sebagian ulama, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hanbali
membenci nama Ilmu Kalam tersebut. Mereka lebih senang memakai nama Ilmu Tauhid, Ilmu
Ushuluddin, atau Ilmu 'Aqaid.

Di dunia Barat, pembicaraan tentang aqidah disebut teologi. Dengan demikian ilmu yang
membicarakan aqidah Islam, disebut oleh sarjana-sarjana Barat dengan nama Teologi Islam,
Sebutan Teologi Islam di negeri kita ini sudah menjadi populer pula, sebagai salah satu dari
sekian nama yang diberikan bagi ilmu yang membicarakan aqidah Islam.

Itulah pengertian ilmu. Kalam secara etimologis, yakni arti menurut asal katanya.

1. Nama-nama Lain Bagi Ilmu Kalam.

1. Ilmu Tauhid dan sebab penamaannya.

Ilmu Kalam dinamai juga ilmu Tauhid, yakni ilmu yang membahas tentang kepercayaan
dan keyakinan akan sifat Wahdah (Esa) bagi Allah dengan berpegang kepada ajaran yang
dibawakan oleh para Rasul-Nya. Dinamakan ilmu Tauhid, karena yang banyak dibicarakan
dalam ilmu ini ialah tentang ke-EsaaroTuhan.

2. Ilmu Aqidah dan sebab penamaannya.

Ilmu Aqidah ialah ilmu yang membahas tentang keyakinan terhadap Allah, para Rasul,
malaikat-malaikat, kitab-kitab Allah hari Akhir dan keyakinan terhadap Qadha dan Qadar.
Sebab dinamakan ilmu Aqidah, karena ilmu ini banyak membicarakan soal aqidah (keyakinan).

3. Ilmu Ushuluddin dan sebab penamaannya.

Ilmu Ushuluddin ialah ilmu yang membicarakan pokok-pokok agama, yakni keimanan,
sedang keimanan merupakan pokok-pokok asasi agama. Jadi sebab ilmu Kalam dinamakan
juga ilmu Ushuluddin ialah karena ilmu ini membicarakan pokok-pokok agama, yakni
keimanan.

C. Fungsi Ilmu Kalam.


1. Menjelaskan akidah Islam, memperkuat dan membelanya.

Allah SWT telah mengajarkan kepada hambaNya dengan perantaraan utusanNya, yaitu apa
yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits, mengenai akidah yang hak, yang didalam-nya
terdapat pokok-pokok azaz untuk perbaikan dan kesejahte-raan manusia dunia akhirat.
Berkenaan dengan itu, Allah telah menjadikan derajat kaum Mutakalimin sebagai orang-orang
ahli pikir dan ahli banding pendukung dan pembela Sunnah. Mereka xneneliti ilmu-ilmu yang
tersusun dan teratur yang dapat me-ngupas dan membahas, menyisihkan ilmu dan perbuatan
ahli bid'ah yang bersimpang siur tidak menentu dan sangat berten-tangan dengan ajaran-ajaran
Sunnah. Sejak itulah lahir golongan ahli Kalam yang berhasil mengatur amalan-amalan yang baik
dan berhasil pula mengembangkan Sunnah dan memelihara aqidah-aqidah yang diterima dari
ajaran-ajaran asli dari Nabi SAW.

Dengan iiraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kehadiran ilmu Kalam
adalah berfungsi sebagai penjelas tentang aqidah Islam sekaligus memperkuat dan membelanya
dari berbagai penyimparigan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.

2. Menolak aqidah yang sesat.

Sebagian besar pembahasan ilmu Kalam ini berusaha meng-hindari tantangan-tantangan


dengan cara memberikan penjelas-an-penjelasan duduk perkarannya timbul pertentangan itu, ke-
mudian membuat suatu garis kritik sehat berdasarkan logika menurut hal-hal yang lazim.
Pembahasan ilmu Kalam ini berisi-kan pemulihan kembali ke jalan yang murni, mengadakan
pem-baharuan dan perbaikan terhadap ajaran-ajaran yang telah di-perbuat dan diwariskan oleh
para ahli hawa nafsu yang sesat.

Jadi jelas bahwa ilmu Kalam berfungsi sebagai penolak akidah yang sesat.

D. Peranan Dalil-Dalil Yang Digunakan.

1. Dalil naqli dan peranannya.

Dalil Naqli ialah dalil yang diambil dari Al-Qur'an dan Hadits yang shahih.

Contoh dalil Naqli:

Ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil naqli dalam ilmu Kalam:

Artinya:

"Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mu'min. (Al-Ankabut: 44)

Peranan dalil naqli.

Para Ulama telah sepakat bahwa yang dapat dijadikan sebagai dalil naqli bagi ilmu Kalam
ialah Wahyu Allah.
Mengenai peranan wahyu Allah dalam ilmu Kalam, benar-benar amat penting. Karena
kenyataan menunjukkan, bahwa derajat akal manusia itu tidak sama satu sama lain, ada yang
ber-pendapat tinggi dan ada yang didapat oleh akal yang berderajat tinggi, kecuali dengan cara
sederhana dan ringkas saja. Yang demikian itu bukan saja karena ketidaksamaan tingkat
pendidik-an mereka masing-masing, tetapi bahkan juga karena ketidaksamaan fitrah kejadian
mereka itu yang hal itu merupakan Qodrat dan Iradat Allah SWT.

2. Dalil aqli dan peranannya.

Dalil aqly (akal) ialah dalil-dalil yang lahir dari akal fikiran menurut hukumnya yang sah.
Kalati akal sudah mampu berdalil aqly (logis), maka akal itu mudah menerima segala
keterangan dari Al-Qur'an dan Hadits, yang dalam ilmu Tauhid di sebut dalil naqly.

Dalam lintasan dalam fikiran akal manusia ini, tidak lepas dari dua macam, yaitu soal-soal
badihy dan nazhai.

Badihy yaitu suatu perkara yang mudah difahami dengan tidak memerlukan ta-ammul
(berfikir). Misalnya: hitungan 2 - 1 = 1; matahari itu terang; malam itu gelap; dan sebagainya.

Nazhari ialah suatu perkara yang tidak mudah difahaminya, dan memerlukan ta-ammul
(berfikir), misalnya hitungan 71/8 x 31/2 x 51/7 = ....; bumi ini berbentuk bulat telur; Allah itu
Sedia dan Kekal adaNya.

Dalil-dalil akal untuk menetapkan adaNya Allah sungguh banyak sekali, hingga pernah
para pujangga mengemukakan sebagai berikut:

Artinya:

Banyak sekali jalan menetapkan adanya Allah, yaitu sebanyak nafas para makhluk.

Salah satu contoh jalan menetapkan adaNya Allah melalui akal misalnya: kita memakai baju
pasti ada yang membuatriya; rumah yang kita tempati pasti ada pembuatnya (yaitu tukang
kayu/ tukang batu), bumi yang kita gunakan untuk segala kebutuhan hidup ini pasti ada
pembuatnya, langit yang tinggi tanpa ketahu-an tiangnya itu pasti ada pembuatnya, matahari
yang senantiasa terbit disebelah timur dan terbenam disebelah barat itu pasti ada pembuatnya.

Baju, rumah dan jenis perangkat kebudayaan lainnya, pembuatnya adalah manusia.
Sedangkan bumi, langit, Matahari tak mungkin diciptakan oleh manusia atau makhluk lainnya;
maka jelas bahwa Yang menciptakan bumi, langit dan matahari itu adalah Dzat Yang Maha
Pencipta yakni Allah SWT.

Peranan dalil aqal.

Dimaksudkan dengan aqal yang dapat berperan sebagai pe-rumus dalil bagi ilmu Kalam
ialah akal yang sehat dan mukallaf.
Mengenai peranan akal dalam ilmu kalam sangat penting dan menentukan dengan asalan
sebagai berikut:

a. Dengan jalan akal, maka seseorang dapat mengetahui adanya Dzat Allah, sifat-sifatNya,
dan berbagai pengetahuanyang hasil dari nazhar.

b. Pendapat akal dapat sampai hakikat kebenaran sesuatu.

c. Pendapat akal tidak terbatas.

Itulah sebabnya, Al-Qur'an dalam tuntunannya untuk mengakui adaNya Allah dan ke-
EsaanNya, mendorong agar mempergunakan akal untuk berhkir dalam lapangannya yang telah
ditentukan yaitu alam semesta yang terbentang diluar diri manusia yang ada dalam dirinya
sendiri.

6. TASAWUF
a. Pengertian
1. Secara Lughawi
Dalam mengajukan teori tentang pengertian tasawuf, baik secara etimlogi maupun secara
istiah, para ahli berbeda pendapat. Secara etimologi, pengertian tasawuf terdiri atas beberapa
macam pengertian berikut.
Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ ahlu suffah “, yang
berarti sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidup nya di isi dengan banyak berdiam
di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidup nya untuk beribadah kepada
Allah.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “ shafa”. Kata “ shafa “.
Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan diri nya di hadapan Tuhan-Nya.
Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf”. Makna
“shaf” ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di saf yang paling
depan.
Keempat, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-
orang dari Bani Shufah.
Kelima, tasawuf ada yang menisbahkannya dengan kata istilah bahasa Grik atau
Yunani, yakni “ saufi “. Istilah ini disamakan makna nya dengan kata “ hikmah “, yang berarti
kebijaksanaan.
Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “ shaufanah”, yaitu
sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di
tanah Arab, dan pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam
kesederhanaannya.
Ketujuh, ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shuf” yang berarti
bulu domba atau wol.
2. Secara Istilah
Pengertian tasawuf secara istilahi telah banyak diformulasikan pula ahli yang satu dan
lainnya berbeda, sesuai dengan selera nya masing-masing.
1. Menurut Muhammad Ali Al-Qassab. Ia memberikan ulasan, “ tasawuf adalah akhlak muia
yang timbul pada waktu mulia dari seseorang yang muia di tengah-tengah kaum nya yang
mulia pula”.
2. Menurut Syamnun. Ia menyatakan, “ tasawuf adalah hendaklah engkau memiliki sesuatu dan
tidak dimiliki sesuatu”.
3. Menurut Al-Junaidi. Ia mendefinisikan , “ Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa saja
yang mengganggu perasaan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal
(nstink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala
seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat,
memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua orang,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti conth Rasulullah
dalam hal syariat”.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, terutama pengertian yang di ungkapkan
Al-Junaidi, kita dapat meringkas pengertian tasawuf ssebagai berikut: Ilmu Tasawuf adalah
lmu yang mempelajari usaha-usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu,
mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju ke abadian, saling mengingatkan antar
manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam
mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.

b. Dasar-dasar Tasawuf

1. Dasar Al-Qur’an
Dalam hal iniah, tasawuf pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau
keagamaan. Moral ke agamaan ini banyak di singgung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran islam, sebab tasawuf ditimba
dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta
ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah itu
sendiri.
2. Dasar Hadits
Sejalan dengan apa yang disitir dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan diatas,
ternyata tasawuf juga dpat dilihat dalam kerangka hadits. Umumnya yang di nyatakan
sebagai landasan ajaran-ajaran tasawuf adalah hadits-hadits berikut.
a. “ Barang siapa yang mengenal diri nya sendiri, maka akan mengenal Tuhan-Nya”.
b. “Auku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku”.
Hadits di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu.
c. Ciri Umum Tasawuf
Karena sulitnya memberikan definisi yang lengkap tentang tasawuf, Abu Al-Wafa’ Al-
Ghainimi At-Taftazani [ peneliti tasawuf ] tidak merumuskan definisi tasawuf dalam bukunya
Madkhal ila At-Tasawwuf Al-Islami [ Pengantar ke Tasawuf Islam ]. Menurutnya secara
umum tasawuf mempunyai lima ciri umum yaitu: 1] Peningkatan moral; [pemenuhan fana
[sirna] dalam realitas mutlak; [3] pengetahuan intuitif langsung; [4] timbul nya rasa
kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena tercapainya maqamat [
maqam-maqam atau beberapa tingkatan]; dan [5] penggunaan simbol-simbol pengungkapan
yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.
d. Istilah-istilah Tasawuf
Harun Nasutian berpendapat bahwa istilah-istilah tasawuf dibagi menjadi lima diantaranya :

1. Ahl as-suffah (orang yang pindah)

Artinya orang yang ikut pindah dengan Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Ada kata
lain Suffah artinya serambi tempat duduk yakni serambi masjid Nabawi di Madinah yang
disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan
Muhajirin di masa Rasululloh saw. Mereka biasa dipanggil ahli suffah (pemilik serambi)
karena diserambi masjid itulah mereka bernaung.

2. S ̣aff (Barisan)

Artinya barisan maksudnya kaum sufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas dan
senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam sholat berjamaah.

3. Ṣufi (Suci )
Artinya suci lahiriyah maupun bathiniyah
4. Sophos (Kebijaksanaan
Artinya kebijaksanaan maksudnya sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap
bijaksana.
5. Ṣūf ( Bulu domba )
Disebut suf karena banyak orang sufi yang senang memakai pakaian yang terbuat dari
bulu domba yang kasar sebagai lambang akan kerendahan hati mereka, juga untuk
menghindari sikap sombong di hatinya disamping untuk menenangkan jiwa. Serta
meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.

e. Maqam-Maqam Dalam Tasawuf


1. Tobat
Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islami, tobat adalah rasa
penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta
meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan doaa.
2. Zuhud
Secara umum, zuhud dapat di artikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa
ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.
3. Faqr [fakir]
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa
puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
4. Sabar
Menurut Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
a. Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya.
b. Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-
Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
c. Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan,
pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.

5. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima. Syukur
diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah.
6. Rela [Rida]
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang di anugerahkan Allah
SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan
Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya.
7. Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan
ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya
kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai