Haji merupakan wisata spiritual yang menuju ‘taman rohani’ bagi individu yang
merindukan akan kehadiran sang Maha kekasih, yakni Allah Swt. Dalam perjalanan ibadah
haji, individu diundang oleh sang maha kasih untuk menikmati perjamuan spiritual seperti
berdekat-dekatan (muqarabah), mencurahkan isi hati (munajat), dan bercengkrama. Segala
fasilitas rohaniah disediakan, agar tidak ada jarak antara yang merindukan dan yang
dirindukan. Begitu sang kekasih mengundangnya, dengan tanpa mempertimbangkan aspek-
aspek material (uang, jabatan dan kecapean fisik), sang kekasih pun langsung mengucapkan
labbayka Allahumma labbayk (aku penuhi panggilan-Mu ya Allah).
Nilai dan hikmah haji sangat tergantung pada kesanggupan bagi orang yang
melaksanakannya, mulai dari pembayaran ongkos naik haji (ONH) yang halal; melaksanakan
rukun islam yang lain seperti shalat, zakat dan puasa; persiapan mental yang utuh dan
tangguh sampai pada penyerahan nyawa.
Lafal sanggup (istaha’ah) mengandung arti kesiapan material dan spiritual. Bagi
mereka yang datang tanpa membawa kesanggupan spiritual seperti rasa iman yang benar,
maka yang ditemui hanyalah batu yang keras, tanah yang tandus, panas yang menyengat,
dingin yang menyayat kulit, dan egoisme yang tinggi. Namun bagi mereka yang datang
dengan penuh keikhlasan dan ketawadhuan, tentu akan mendapatkan pengakaman spiritual
yang mungkin tidak dapat dilukiskan di alam material.
Ibadah Qurban
Pengertian Qurban
Kurban secara bahasa berasal dari kata qarraba-qurbanan, yang artinya mendekatkan.
Adapun kurban menurut hukum syariah, ialah menyembelih hewan ternak dengan niat
beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Ibadah kurban merupakan syari’at para rasul yang masih berlaku sampai umat Nabi
Muhammad saw. Ibadah kurban telah ada pada zaman Nabi Adam dan zaman Nabi Ibrahim.
Namun, praktik ibadah kurban tersebut belum tentu sama. Ibadah kurban terus berlaku
sampai zaman Nabi Muhammad saw.
Ibadah kurban hukumnya sunah muakkadah. Artinya ibadah sunah yang mendekati
wajib. Namun demikian, ada ulama yang mengatakan bahwa ibadah kurban hukumnya wajib
bagi yang sudah mampu. Alasannya, perintah berkurban jelas terdapat di dalam Al-Qur’an
dan hadis Nabi.
Ibadah kurban dapat dilakukan setiap orang yang memiliki kemampuan menyediakan
hewan kurban. Bagi yang mampu, ibadah kurban dapat dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Adapun bagi yang memiliki keterbatasan, dapat melakukan ibadah kurban setiap memiliki
kemampuan berkurban.
Perintah melaksanakan ibdah kurban terdapat di dalam Al-Quran dan hadis Nabi. Di
antaranya terdapat dalam keterangan berikut :
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah saw. Telah bersabda, barang siapa yang mempunyai
kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat
solat kami”. (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, berikut : Dari Jabir, Rasulullah SAW.
Bersabda, “Janganlah kamu menyembelih untuk kurban kecuali yang musinnah (telah
berganti gigi). Jika sukar didapati maka boleh jaz’ah (yang baru berumur satu tahun lebih)
dari biri-biri. (H.R. Muslim)
“Barang siapa menyembelih hewan kurban sebelum salat (hari raya Idul
Adha) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang
siapa menyembelih kurban sesudah salat (hari raya) dan dua khutbahnya,
sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya, dan ia telah menjalani
aturan islam.” (H.R. Bukhari)
Selain pada hari raya Idul Adha, pemotongan hewan kurban dapat dilakukan pada hari
Tasyrik, yaitu tanggal 11,12, dan 13 Zulhijjah. Oleh karena itu, bagi orang yang tidak dapat
melakukan pemotongan hewan kurban pada 10 Zulhijjah, dapat melakukannya pada hari
Tasyrik. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW berikut;
1. Menyediakan hewan kurban (unta sapi, kerbau, domba, atau kambing) yang
memenuhi syarat syara’. Adapun syarat syara’, yaitu sehat, tidak cacat, hak milik
(bukan hasil curian atau penipuan) dan telah mencapai umur.
2. Menyediakan peralatan yang dibutuhkan .
3. Memotong hewan kurban, baik oleh diri sendiri maupun menitipkannya kepada
panita.
4. Menguliti, memotong, dan menimba daging untuk dibagikan. Adapun yang
berhak menerima daging kurban, yaitu muqarrib (yang berkurban), dan orang lain
yang membutuhkannya. Namun, diutamakan bagi fakir miskin dan anak yatim.
5. Mendistribusikan daging kepada yang berhak menerima.
Daftar Pustaka
Wahyudin, Udin dkk. 2008. Fikih untuk Kelas V. Grafindo Media Pratama : Bandung
Muhaimin, Abdul Mujib. 2017. Teori Kepribadain Perspektif Psikologi Islam Edisi
Kedua. Rajawali Pers : Jakarta