Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PSIKOLOGI IBADAH

Psikologi Haji dan Umrah

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag

Disusun oleh :

1. Herdan Listianto 11170700000072


2. Savira Putri Wulandari 11170700000126
3. Rahajeng Vika Hapsari 11160700000061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan petunjuk, kekuatan, dan rahmat-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Psikologi Haji dan Umrah ini dengan baik dan terselesaikan
dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini terutama Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag selaku dosen
pembimbing dalam pelajaran Psikologi Ibadah, orang tua yang selalu memberikan
dukungan material maupun moral kepada penulis agar tercapainya penyusunan makalah
ini, teman-teman yang membantu pengumpulan materi, serta semua pihak yang turut
membantu dan mendukung hingga penyusunan makalah dapat terselesaikan.
Penulis menyadari makalah ini masih perlu pembenahan dan perbaikan karena
keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk mengembangkan makalah ini. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Jakarta, 19 Oktober 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya


dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibandingkan makhluk
lainya. Namun, Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaanya masih belum
selesai atau setengah jadi, sehingga ia masih harus berjuang menyempurnakan dirinya.
Agama Islam bertugas mendidik dhahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan
membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan aqidah
yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah kita akan menjadi orang yang
beruntung.Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang
merupakan rukun iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak
hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam mengerjakannya, namun
juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian jauh untuk mencapai
Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan dalam perjalanan, berpisah dengan
sanak keluarga dengan satu tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan kenikmatan
rohani. Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba memberi penjelasan
secara singkat mengenai pengertisn haji dan umrah, tujuan yang ingin kita capai dalam
haji dan umrah, dasar hukum perintah haji dan umrah, syarat, rukun dan wajib haji dan
umrah serta hal-hal yang dapat membatalkan haji dan umrah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan haji dan umrah?


2. Apa Manfaat haji dan umrah?
3. Apa saja syarat dan rukun haji dan Umrah dalam perspektif psikologisnya?
4. Apa saja yang diharamkan pada saat haji dan umrah?
5. Bagaimana dampak psikologis wisata spiritualitas?
6. Bagaimana ibadah qurban dalam perspektif psikologi?
C. Tujuan Penelitian
Setiap sesuatupasti mempunyai tujuan, begitu pula dengan makalah ini, penulis
menulisnya dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari haji dan umrah
2. Untuk mengetahui apa manfaat haji dan umrah
3. Untuk mengetahui apa saja syarat dan rukun haji dan umrah dalam perspektif
psikologisnya
4. Untuk mengetahui apa saja yang diharamkan pada saat haji dan umrah
5. Untuk mengetahui apa yang dimaskud psikologi wisata spiritualitas
6. Untuk mengatahui apa yang dimaksud dari ibadah qurban dalam perspektif
psikologisnya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Haji dan Umrah


Haji adalah berkunjung ketanah suci (ka’bah)) untuk melaksanakan amal ibadah
tertentu sesuai dengan syarat, rukun, dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
Haji diwajibkan bagi orang-orang islam yang sudah mampu atau mempunyai biaya
untuk melaksanakannya. Haji dilaksanakanibadah pada bulan zulhijjah.
Umrah adalah berkunjung ke tanah suci atau Baitullah dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah SWT dengan memenuhi syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh
syara’, dan waktunya boleh kapan saja tidak ditentukan seperti halnya haji.

1. Perbedaan Haji dan Umrah

Ibadah haji dan umrah adalah suatu ibadah yang dikerjakan oleh umat Islam di
tanah suci (Mekkah). Cara melakukan ibadah haji dan umroh tidak sama, karena
memiliki perbedaan dari segi rukun umrah dan wajib umrah, terkadang masih
banyak orang yang belum mengetahui perbedaannya. Berikut perbedaan haji dan
umroh:
a. Ibadah haji dilakukan seumur hidup sekali dalam setahun, sedangkan umrah
dapat dilakukan setiap hari dalam setahun kecuali hari ibadah haji.
b. Pada pelaksannaan haji adanya wukuf diarafah (termasuk rukun haji)
sedangkan pelaksanaan umrah tidak ada wukuf diarafah.
c. waktu pelaksanaan ibadah haji lebih lama karena ibadah haji lebih banyak
memakan waktu dibandingkan dengan ibadah umrah. karena dalam umrah, kita
hanya butuh 3 pekerjaan saja, yaitu berihram dari miqat, bertawaf tujuh kali
putaran di sekeliling Ka’bah, lalu berjalan kaki antara bukit Shafa dan Marwah
tujuh kali putaran, dan bercukur rambut kemudian selesai
d. Dalam pelaksanaan ibadah haji lebih memerlukan tenaga atau fisik yang lebih
baik dibandingkan dengan ibadah umrah, karena dalam ibadah haji kegiatan
yang dilakukan lebih banyak dan lebih rumit dibandingkan ibadah umrah.
e. Hukum ibadah haji adalah wajib sedangkan hukum umroh adalah sunnah.
B. Manfaat Haji dan Umrah
1. Di berkahi oleh Allah
Bagi orang beragama islam pasti sudah tidak asing lagi dengan umrah. Umrah
merupakan kegiatan ibadah haji namun haji kecil yang bisa dilakukan bersamaan
dengan hari raya haji atau di waktu lainnya.
Umrah ini bisa dilakukan secara fleksibel karena waktunya bisa kapan saja dan
biasanya harga dari umrah ini juga lebih murah dibandingkan haji besar. Ibadah
haji umrah ini meskipun tidak seutama seperti haji besar namun dianjurkan untuk
dilaksanakan.
Pelaksanakan Ibadan haji umrah sama halnya dengan haji besar yaitu dengan
melakukan ihram, tawaf, sai dan diakhiri dengan tahalul. Perbedaannya hanya di
dalam haji umrah tidak ada menginap di mina. Manfaat dan keutamaan orang yang
melaksanakan haji umrah ini .
Perintah melakukan kegiatan haji umrah tertera pada al-quran di surah al
baqarah ayat 196 "dan sempurnakanlah Ibadan haji dan umrah karena Allah."
Bukan hanya itu saja nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan perintah
sahabatnya untuk melakukan Ibadan umrah. Berikut ini adalah manfaat dan
keutamaan bagi orang yang melaksanakan haji umrah. Dan terdapat 3 manfaat haji
dan umrah:
Orang-orang yang melakukan Ibadan haji umrah akan senantiasa diberikahi oleh
Allah swt sesuai dengan ucapan Rasulullah yang berbunyi "mereka yang datang
dan melaksakan Ibadan haji umrah di makkah maka mereka itu adalah para tamu
Allah, karena mereka mendatangi rumah-Nya dan memenuhi panggilan-Nya. Oleh
karena itu, Allah Ta'ala akan mengabulkan doa mereka". Allah sangat menyenangi
orang yang bertamu ke rumah Allah atau baitullah mekkah. Jadi bagi orang yang
melaksanakan ibadah haji umrah akan mendapatkan balasan dikabulkan doanya.
Tentu saja anda harus berdoa dengan khusuk dan iklhas supaya bisa dikabulkan.

2. Penebus dosa
Ibadah haji umrah juga bisa menjadi salah satu media penebus dosa, hal ini
seperti sabda rasulullah "sekali umrah merupakan penebus dosa yang telah
dilakukan hingga umrah berikutnya", jadi bagi anda yang ingin menebus dosa atau
bertaubat bisa dengan cara melakukan ibadah haji umrah.
3. Dijanjikan mati syahid
Nabi Muhammad juga pernah berkata demikian "bagi siapapun yang bermaksud
melakasanakan haji atau umrah namun wafat dalam perjalanannya maka Allah akan
memberikannya surga tanpa pengadilan. Allah berbangga pada mereka yang
melaksanakan tawaf di baitullah."
Jadi bagi anda yang melaksankan ibadah haji atau umrah harus senantiasa
memiliki hati yang ikhlas terutama saat terjadi musibah meninggal dunia karena
sejatinya Allah swt sedang menghadiahkan surga pada orang tersebut.

C. Syarat Wajib dan Rukun Haji dan Umrah

1. Syarat Wajib Haji

Rasjid (2014: 248) menyebutkan empat syarat wajib haji. Jika sudah memenuhi
syarat yang ada di bawah ini, seseorang diwajibkan menjalankan ibadah haji sesegera
mungkin. Jika ada orang yang sudah memenuhi syarat-syarat wajib haji, tetapi masih
melalaikannya, maka ia berdosa karena kelalaian tersebut. Adapun empat syarat tersebut
adalah sebagai berikut :

a) Orang yang beragama Islam, artinya tidak sah dan tidak wajib bagi
orang kafir.
b) Berakal, artinya tidak wajib bagi orang gila.
c) Baligh, artinya tidak wajib bagi anak-anak yang belum mencapainya.
d) Mampu. Pengertian mampu di sini ada dua macam, yaitu:
1. Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan syarat memiliki
bekal yang cukup untuk pergi ke Makkah dan sebaliknya, ada
kendaraan yang bisa menjadikannya sampai ke Mekkah, aman
perjalanannya dan bagi perempuan, hendaknya bersama dengan
mahram-nya atau perempuan lain yang ia percayai.
2. Mampu mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh orang yang
bersangkutan, tetapi dengan jalan menggantinya dengan orang lain.
Misalnya, seseorang yang sudah meninggal dunia. Namun, ketika ia
masih hidup, ia telah mencukupi syarat-syarat wajib haji, maka
hajinya wajib dikerjakan oleh orang lain.
2. Rukun Haji dan Umrah

Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Wadlih (Yunus, 1936: 24), rukun haji adalah sesuatu
yang harus dilakukan dalam haji dan jika tidak dilakukan salah satu atau lebih, maka
akan menyebabkan haji tidak sah. Dalam kitab ini juga, terdapat enam rukun haji,
yaitu:
a. Berniat, adapun niat haji adalah sebagai berikut.

b. Ber-ihram

Dalam segi psikologi, pada saat berihram akan membentuk kepribadian yang
mengharamkan atau menahan diri terhadap perilaku yang dilarang, demi persatuan
dan kesamaan derajat antar sesama manusia dan merendah diri di hadapan Allah.
c. Wuquf di ‘Arafah

Sabiq (2013: 132) menyatakan, bahwa maksud dari wuquf di sini adalah hadir dan
berada di bagian manapun di Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, bangun, di atas
kendaraan, duduk, berbaring, berjalan, dalam keadaan suci, ataupun tidak.
Dalam segi psikologi, pada saat wuquf akan membentuk kepribadian yang
menghentikan seluruh kegiatan duniawi dalam waktu sesaat, kecuali hanya
menunaikan shalat, berzikir dan berdoa kepada Allah, dengan harapan agar mereka
terbebas dari belenggu hawa nafsu dan materi.
d. Thawaf di Ka’bah

Dalam buku Fiqh Islam (2014: 253), thawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak
tujuh kali, thawaf rukun disebut sebagai thawaf ifadhah. Adapun syarat sah thawaf
adalah menutup aurat, suci dari hadaats dan najis, Ka’bah berada di sebelah kiri
orang yang thawaf, dimulai dari Hajar Aswad dan diakhiri di Hajar Aswad pula,
dilakukan tujuh kali, serta dilaksanak di dalam masjid.
Dalam segi psikologi, pada saat thawaf di Ka’bah akan membentuk kepribadian
yang hanya menuju kepada Allah. Hal itu ditunjukkan dengan dalam thawaf selalu
melihat Ka’bah yang merupakan wujud keutuhan orientasi hidup semua umat Islam
menuju satu tujuan, yakni Allah.
e. Sa’i di antara Bukit Shafa dan Marwah

Dalam segi psikologi, pada saat Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah akan terbentuk
kepribadian yang selalu bekerja keras, dengan lari-lari kecil, dalam mencapai suatu
tujuan, seperti bekerja mencari nafkah (mencari air zam-zam untuk diminum di
musim kemarau) dalam menghidupi diri dan keluarga tanpa merasakan kelelahan.

f. Tahallul, yaitu mencukur atau menggunting rambut

Dalam segi psikologi, pada saat tahallul akan membentuk kepribadian yang tidak
melakukan sesuatu kecuali yang dihalalkan melakukannya. Namun untuk mencapai
kehalalan, maka diperlukan pengorbanan dengan mencukur beberapa helai rambut.

3. Wajib Haji

Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Wadlih (Yunus, 1936: 24), wajib haji adalah hal-hal yang
harus dilakukan ketika haji dan jika salah satu atau lebih dari wajib haji tidak dilakukan,
maka haji seseorang tetap sah. Namun, ia harus membayar dam atau denda. Adapun
wajib haji dalam buku Fiqh As-Sunnah (2013: 138--169) adalah sebagai berikut.
a. Bermalam (mabit) di Muzdalifah

Bermalam di Muzdalifah dilakukan setelah orang yang haji selesai melaksanakan


wuquf di Arafah. Menurut Madzhab Syafi’i, perbuatan yang wajib hanyalah berada di
Muzdalifah pada separuh kedua malam hari setelah wuquf di Arafah. Tidak
disyaratkan harus berdiam di sana, yang terpenting adalah melewati Muzdalifah.

Dalam segi psikologi, pada saat mabit akan membentuk kepribadian yang mandiri
dan siap susah karena ditempatkan pada kondisi dan situasi yang seadanya.

b. Melempar Jumrah

Hari-hari untuk melempar jumrah terdiri dari tiga atau empat hari, yaitu satu hari
Nahar dan dua atau tiga hari Tasyriq. Waktu yang paling utama adalah pada tanggal 10
Dzuhlhijjah adalah ketika Nahar, yaitu waktu dhuha sebelum matahari terbit.
Sedangkan, waktu paling utama untuk melempar jumrah pada hari Tasyriq adalah
sejak tergelincirnya matahari pada tengah hari sampai terbenamnya matahari di ufuk
barat.

Jumlah keseluruhan kerikil yang digunakan untuk melempar jumrah adalah 70


atau 49 kerikil. Perinciannya adalah 7 kerikil dilemparkan ke Jumrah ‘Aqabah pada
hari Nahar, 21 dilemparkan ke tiga jumrah (‘Ula, Wustha dan ‘Aqabah). Tiap jumrah
dilemparkan oleh 7 kerikil pada tanggal sebelas Dzulhijjah. 21 kerikil lagi
dilemparkan pada tanggal kedua belas dan tiga belas Dzulhijjah, seperti pada tanggal
sebelas Dzulhijjah.

Dalam segi psikologi, pada saat melempar jumrah akan terbentuk kepribadian
yang selalu membuang dan memerangin setan, baik setan yang ada dalam dirinya
(hawa nafsu) maupun setan melalui melempar jumrah.

c. Bermalam (mabit) di Mina

Bermalam di Mina merupakan wajib haji bagi Madzhab Maliki, Syafi’I dan
Hambali. Sedangkan, menurut Madzhab Hanafi, hal tersebut merupakan sunnah.
Bermalam di Mina dilakukan selama tiga atau dua malam pada tanggal kesebelas dan
dua belas Dzulhijjah.
Waktu yang tepat untuk bertolak dari Mina ke Mekkah adalah sebelum matahari
terbenam pada tanggal kedua belas Dzul Hijjah setelah melempar jumrah menurut
Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hambali. Sedangkan, menurut Madzhab Hanafi, waktu
untuk kembali ke Mekkah dari Mina adalah sebelum fajar terbit pada hari ketiga belas
Dzulhijjah.

d. Hadyu

Hadyu adalah hewan kurban yang disembelih di tanah haram dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Adapun hewan yang dikurbankan berupa unta, sapi,
kambing, baik jantan maupun betina. Jumlah minimal hewan yang dikurbankan adalah
satu ekor kambing, dan sepertujuh unta atau sapi.
Dalam segi psikologi, dengan melakukan Hadyu maka akan terbentuk kepribadian
yang sadar akan kesalahannya pada saat haji dengan caramengalirkan darah kambin,
unta atau sapi karena kepribadian yang baik yaitu jika khilaf dan melakukan
kesalahan, maka segera sadar dan menembusnya dengan pengorbanan.
e. Mencukur atau Menggunduli Rambut

Mayoritas ulama ahli fiqih menyatakan, bahwa mencukur atau menggunduli


rambut termasuk dalam wajib haji yang jika ditinggalkan tidak menyebabkan haji
tidak sah, melainkan hanya harus menggantinya dengan dam. Sedangkan, Madzhab
Syaf’I berpendapat, bahwa mencukur ata menggunduli rambut merupakan rukun haji
yang jika tidak dilakukan akan menyebabkan hai tidak sah.
f. Thawaf Wada’

Thawaf Wada’ merupakan thawaf perpisahan kepada Baitullah. Menurut Madzhab


Maliki, Dawud, Syafi’i and Ibnu Mundzir berpendat, bahwa hukum thawaf wada’
adalah wajib. Sedangkan, menurut Madzhab Hambali, Hanafi dan riwayat lain dalam
Madzhab Syafi’i, hukum thawaf wada’ adalah sunnah.

D. Hal yang Diharamkan Haji dan Umrah

Dalam buku Fiqh Al-Islam (2014: 265--266), ada beberapa larangan haji dan umrah
(ketika memakai pakaian ihram), baik yang dikhususkan untuk laiki-laik, perempuan,
ataupun yang umum untuk keduanya.
1. Larangan Bagi Laki-Laki

a) Memakai pakaian yang berjahit.


b) Menutup kepala, kecuali karena suatu keperluan, namun ia wajib membayar
dam

2. Larangan Bagi Perempuan

Menutup muka dan kedua telapak tangan, kecuali jika terdesak, namun ia
wajib membayar fidyah.

3. Larangan Bagi Laki-Laki dan Perempuan

a. Memakai wewangian

b. Menghilangkan rambut atau bulu badan lainnya

c. Memotong kuku

d. Melakukan akad nikah, menikahkan, atau menjadi wali dalam akad nikah.

e. Bersetubuh dan pendahuluannya. Bersetubuh bukan hanya dilarang, tetapi


juga bisa membatalkan umrah dan membatalkan haji jika belum melaksanakan
tahallul awal.

f. Berburu dan membunuh binatang darat yang liar dan haram dimakan.

E. Psikologi Wisata Spiritualitas


Haji merupakan wisata spiritual yang menuju ‘taman rohani’ bagi individu yang
merindukan akan kehadiran sang Maha kekasih, yakni Allah Swt. Dalam perjalanan
ibadah haji, individu diundang oleh sang maha kasih untuk menikmati perjamuan spiritual
seperti berdekat-dekatan (muqarabah), mencurahkan isi hati (munajat), dan
bercengkrama. Segala fasilitas rohaniah disediakan, agar tidak ada jarak antara yang
merindukan dan yang dirindukan. Begitu sang kekasih mengundangnya, dengan tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek material (uang, jabatan dan kecapean fisik), sang kekasih
pun langsung mengucapkan labbayka Allahumma labbayk (aku penuhi panggilan-Mu ya
Allah).

Nilai dan hikmah haji sangat tergantung pada kesanggupan bagi orang yang
melaksanakannya, mulai dari pembayaran ongkos naik haji (ONH) yang halal;
melaksanakan rukun islam yang lain seperti shalat, zakat dan puasa; persiapan mental
yang utuh dan tangguh sampai pada penyerahan nyawa.

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya maqam Ibrahim;


barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Lafal sanggup (istaha’ah) mengandung arti kesiapan material dan spiritual. Bagi
mereka yang datang tanpa membawa kesanggupan spiritual seperti rasa iman yang benar,
maka yang ditemui hanyalah batu yang keras, tanah yang tandus, panas yang menyengat,
dingin yang menyayat kulit, dan egoisme yang tinggi. Namun bagi mereka yang datang
dengan penuh keikhlasan dan ketawadhuan, tentu akan mendapatkan pengakaman
spiritual yang mungkin tidak dapat dilukiskan di alam material.

F. Psikologi Qurban
Kurban secara bahasa berasal dari kata qarraba-qurbanan, yang artinya
mendekatkan. Adapun kurban menurut hukum syariah, ialah menyembelih hewan
ternak dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Ibadah kurban merupakan syari’at para rasul yang masih berlaku sampai umat
Nabi Muhammad saw. Ibadah kurban telah ada pada zaman Nabi Adam dan zaman Nabi
Ibrahim. Namun, praktik ibadah kurban tersebut belum tentu sama. Ibadah kurban terus
berlaku sampai zaman Nabi Muhammad saw.

Dengan turunnya perintah Allah SWT itu, secara manusiawi, juga merasa
kesedihan untuk menyembelih putranya yang sudah lama diidam-idamkan. Namun Nabi
Ibrahim tidak menampakkan hal itu dalam keluarganya, agar keluarga tidak merasa sedih.
Dengan segala cara Nabi Ibrahim memanjatkan do’a kepada Allah agar diberikan
kekuatan lahir batin dalam menghadapi cobaan tersebut. Nabi Ibrahim lebih tunduk dan
ta’at pada perintah Allah SWT untuk segera melalukan qurban, walaupun anaknya
sendiri. Firman Allah dalalm lanjutan surat Ash-Shaaffat, ayat 103-107 yang artinya :

“Tatkala keduanya telah berserah diri (kepada Allah) dan Ibrahim


membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan
kami panggilan dia: Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasa kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami
tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

Secara manusiawi akan terlintas dalam benak bahwa mengapa Nabi Ibrahim,
tidak menampakkan sikap dan perilaku kesusahan, gelisah atau takut kehilangan anak
kesayangannya? Lantaran Nabi Ibrahim sangat mencintai Allah SWT dengan sepenuh
jiwa dan raga.

Selain itu, Nabi Ibrahim juga sangat taat kepada segala perintah Allah SWT.
Harta benda, jiwa raga, bahkan keluarga sekalipun wajib dikorbankan di jalan Allah SWT
agar menjadi mukmin sejati. Di sisi lain, seorang mukmin sejati juga selalu ingin belajar
dari akhlak dan sikap Rasul SAW beserta para sahabat beliau, saat mereka meninggalkan
kampung halaman, tanah air, harta benda, dan keluarga mereka. Mereka hijrah ke
Madinah menyelamatkan diri dan agama mereka (Islam) semata-mata mengharapkan
ridha dan karunia Allah SWT.

Para orang-orang terdahulu rela dengan iklas mengorbankan diri dan hartanya
dijalan agama demi menggapai surga Allah. Tengoklah pengorbanan salah seorang
sahabat Nabi SAW, Shuhab ar-Rumi. Ia berkata; “Ketika aku hendak berhijrah dari
Mekkah kepada Nabi SAW di Madinah, Bangsa Qurasy berkata kepadakan, “Wahai
Shuhaib, kamu datang kepada kami sedang tidak ada harta disisimu, padahal kamu akan
keluar dari kota Mekkah ini beserta hartamu. Demi Allah, yang demikian itu tidak terjadi
selama-lamanya. Lalu aku berkata kepada mereka, “Bagaimana jika harta ini aku
serahkan kepada kaliah, apakah kalian akan melepaskan diriku?” Bangsa Qurasy
menjawab, “Ya.” Maka aku serahkan hartaku kepada mereka, lalu akupun dibebaskan.
Setelah itu aku pergi hingga sampai ke kota Madinah. Setiba di kota Madinah, peristiwa
yang dialami Shuhaib terdengar oleh Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Untunglah
Shuhaib, Untunglah Shuhaib”.

Terkait dengan peristiwa ini, maka turunlah firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah” (QS. Al-Baqaraah” 207). Sungguh orang-orang yang sudah memahami arti agama
secara mendalam, mereka tidak akan ragu berjuang dan memberikan segala yang ada
pada dirinya untuk kemuliaan agamanya. Di sisi lain, orang mukmin sejati adalah orang
telah mengikat janji dengan Allah SWT karena menghara ridha dan syurga-Nya. Orang
mukmin yang demikian tidak pernah ingkar janji terhadap waktu, tenaga, harga, dan jiwa
demi membela agama Allah.

Karenanya, diantara ciri orang mukmin sejati adalah iklas yang setiap saat siap
membuktikan kesungguhannya berkorban karena Allah SWT dalam setiap denyut dan
langkah di realitas ini. Ia selalu mendahulukan kepentingan agama Allah daripada
kepentingan mengejar duniawi. Jika ada dua kepentingan yang kontradiksi, orang
mukmin sejati ini selalu menyegerakan kepentingan menjalankan perintah-perintah Allah
SWT daripada kepentingan dirinya,
Peristiwa qurban atau berkurban, baik yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim,
pengorbanan yang dilaksanakan sahabat Rasulullah SAW, Shuhaib ar-rumi, sejunlah
qurban setelah shalat ‘Idul Adha, serta pengorbanan yang diperankan oleh pribadi-pribadi
muslim di seantero jagat in, termasuk kaum muslimin di Indonesia dapat dikatakan
sebagai bentuk pemberdayaan kepribadian manusia (muslim) secara utuh, baik dari aspek
daya kesadaran, rasa/resap maupun daya kerja.

Upaya pemberdayaan ini dimaksudkan agar pribadi-pribadi muslim dalam


mengkonstruksi diri dapat menjadi mukmin sejati yang mampu mengenali, menganalisis,
memahami dan memaknai ajaran agamanya secara haqqul yaqin (segi kognisi). Chaplin
(1995), memandang kognisi sebagai suatu konsep umum yang meliputi semua bentuk
pengenalan. Termasuk di dalamnya hal; mengamati, melihat, memperhatikan,
memberikan membayangkan, memperkirakan, berfikir, mempertimbangkan, menduga
dan menilai.

Sisi kognisi sebagai salah satu aspek kepribadian yang menekankan pikiran-
pikiran sadar pada manusia. Proses kognisi itu berkembang dalam beberapa tahap; yang
dimulai dari sejak bayi hingga dewasa. Jeans Piaget mengemukakan teori perkembangan
kognisi dengan empat tahapan perkembangan, yaitu sensor motorik (0-2 tahun),
praopreasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-12 tahun) dan operasional forman (12
tahun ke atas).

Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan peristiwa qurban, maka segala tindakan
yang dilakukan pribadi muslim bermula dari penalaran, cernaan pikiran dan penilaian
yang mendalam hingga menemukan kesimpulan bahwa qurban memiliki nilai-nilai yang
esensial untuk diimplementasikan sebagai wujud pengamalan ajaran agama. Dengan
pengembangan sisi kesadaran ini, selanjutnya akan membentuk dan menguatkan aspek
resap/rasa (segi afektif) yang mendalam, sehingga sejumlah pengetahuan, pemahaman
dan pemaknaan mengenai perbuatan qurban tidaklah sia-sia dilakukan, dan bila tidak
dilaksanakan akan merasa kurang dalam dirinya.

Dimensi afeksi ini merupakan bagian kepribadian yang berupa perasaan atau
emosi pada diri individu. Chaplin (1995) menjelaskan afeksi sebagai satu kelas yang luas
dari proses-proses mental, termasuk perasaan, emosi suasanya hati dan temoeramen.
Perkembangan tahapan ranah afeksi ini pada hakikatnya hjuga dimulai sejak bayi, kanak-
kanak, remaja, dewasa dan lansia.

Oleh karena itu, hasi resapan yang mendalam itu coba diinternalisasikan dan
dikaitkan dengan berbagai gambar ganjaran yang akan diterimanya, akan menenangkan
batin dan merasakan gejala mampu dalam dirinya sehingga rela melakukan qurban
semta-mata mengharap ridha Ilahi. Dengan begitu, arah kepada konsepsi “sami’na wa
ata’na” yang disebutkan dalam Al-Qur’an menjadi karakter yang siap melekat dalam
dirinya.

Berpijak dari internalisasi kedua aspek tersebut, baru kemudian seorang muslim
bergegas untuk melakukan tindakan nyata dengan berqurban (ranah konasi). Hal ini juga
didasarkan pada reward yang akan diperoleh dari peristiwa qurban, yaitu balasan
kebajikan yang melimpah dari Allah nanti di akhirat. Perbuatan yang dilakukan itu
semata-mata mengharap ridha dan rahmat Allah. Orang-orang yang mendapat rahmat dan
ridha Allah orang-orang yang bertakwa dan tunduk atas segala perintah Allah.

Penampakan dimensi konasi pada diri manusia dapat berupa reaksi, berusaha,
berkemauan, dan berkehendak. Menurut Freud konasi merupakan wujud dari konasi dan
afeksi dalam bentuk tingkah laku. Pada perkembangan kepribadiannya, Freud
memandang bahwa tahun-tahun permulaan masa kanak-kanak merupakan dasar
pembentukan kepribadian. Dengan demikian secara bertahap sejalan dengan
perkembangan anak menjadi remaja dan dewasa, maka perubahan perilaku juga
mengiringi kehidupan seseorang.

Gejala ini akan tampak pada realitas seseorang dalam berqurban, bukan hanya
sekedar ria atau ingin dilihat orang lain agar dikenal taat dan beriman. Jika seperti ini niat
dan perbuatannya, maka pelaksanaan qurban yang dilakukan tidak bernilai apa-apa
dihadapan Allah. Namun jika perbuatan yang dilakukan berlandaskan pada ketakwaan
dan keimanan, maka dimensi ikhlas akan berpatri pada pribadi muslim yang berqurban.
Dan wacana ini akan sangat bernilai dihadapan Allah. Allah tidak butuh daging qurban
yang disembelih oleh hamba-hambanya pada saat Idul Adha, yang Allah nilai adalah
sikap dan perbuatan ikhlas, ketakwaan dan keimanan hamba-hambaNya dalam
melaksanakan qurban sebagai perintah-Nya.
Oleh karena itu, hanya orang-orang yang mampu memberdayakan aspek kognisi,
afeksi dan konasi secara baik, benar dan mendalam saja yang mendapat reward (pahala)
dari hasi berqurbannya di dunia. Bahkan, dalam perintah berqurban itu pula akan
memberi insight psikologis bagi pemberdayaan mentalitas, religiusitas dan spiritualitas
muslim dalam realitas sosialnya untuk menjadi manusia insan kamil (muslim sejati).

1. Hukum Ibadah Qurban

Ibadah kurban hukumnya sunah muakkadah. Artinya ibadah sunah yang


mendekati wajib. Namun demikian, ada ulama yang mengatakan bahwa ibadah kurban
hukumnya wajib bagi yang sudah mampu. Alasannya, perintah berkurban jelas terdapat
di dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi.

Ibadah kurban dapat dilakukan setiap orang yang memiliki kemampuan


menyediakan hewan kurban. Bagi yang mampu, ibadah kurban dapat dilaksanakan
setiap satu tahun sekali. Adapun bagi yang memiliki keterbatasan, dapat melakukan
ibadah kurban setiap memiliki kemampuan berkurban.

Perintah melaksanakan ibdah kurban terdapat di dalam Al-Quran dan hadis Nabi.
Di antaranya terdapat dalam keterangan berikut :

Sungguh, kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka


laksanakanlah solat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (Qs. Al-Kausar[108]:1-
2)

Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam Hadist, berikut :


Dari Abu Hurairah, “Rasulullah saw. Telah bersabda, barang siapa yang
mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati
(menghampiri) tempat solat kami”. (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah)

Berdasarkan uraian tersebut, ibadah kurban dilakukan sebagai persembahan


kepada Allah dan menyantuni manusia. Allah hanya akan menerima ibadah kurban yang
didasari keimanan yang benar kepada Allah. Seseorang yang memiliki keikhlasan tinggi
akan semakin dekat dengan Allah. Sebaliknya, seseorang yang melakukannya dengan
tujuan keduniaan, ia akan semaki jauh dari Allah.

2. Ketentuan Ibadah Kurban


Berikut ketentuan ibadah kurban;
a. Binatang yang Sah sebagai Hewan Kurban
Binatang yang sah untuk dikurbankan adalah binatang yang tidak cacat, seperti
buta, pincang, sangat kurus, sakit, putus telingan atau ekornya, dan terlalu tua. Oleh
karena itu hewan kurban harus dalam kondisi sempurna.
Selain itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya sebagai berikut;
1) Jika seseorang berkurban dengan domba, harus yang telah berumur satu tahun
lebih atau sudah berganti gigi.
2) Jika seseorang berkurban dengan kambing, harus yang telah berumur dua tahun
lebih.
3) Jika seseorang berkurban dengan unta, harus yang telah berumur lima tahun lebih.
4) Jika seseorang berkurban dengan sapi atau kerbau, harus yang telah berumur dua
tahun lebih.
b. Ketentuan yang Berkurban (Muqarrib)
Setiap muslim dapat berkurban secara sendirian, bersama keluarga, atau orang
lain. Jika berkurban seekor kambing atau domba hanya cukup untuk satu orang.
Adapun jika berkurban seekor unta, sapi, atau kerbau, dapat dikurbankan untuk tujuh
orang.
Jika seseorang ingin berkurban dengan memotong sapi, ia dapat mengajak
keluarga atau orang lain. Dengan kata lain, untuk berkurban dapat dilakukan dengan
cara patungan. Ketentuan pembagian jumlah orang yang berkurban tersebut, sesuai
keterangan hadis berikut :
c. Waktu Penyembelihan Kurban
Penyembelihan kurban yaitu pada Hari Raya Idul Adha 10 Zulhijjah. Waktunya
setelah dua khutbah Idul Adha sampai terbenam matahari. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW berikut;

“Barang siapa menyembelih hewan kurban sebelum salat (hari raya Idul Adha)
maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa
menyembelih kurban sesudah salat (hari raya) dan dua khutbahnya, sesungguhnya
ia telah menyempurnakan ibadahnya, dan ia telah menjalani aturan islam.” (H.R.
Bukhari)

Selain pada hari raya Idul Adha, pemotongan hewan kurban dapat dilakukan pada hari
Tasyrik, yaitu tanggal 11,12, dan 13 Zulhijjah. Oleh karena itu, bagi orang yang tidak
dapat melakukan pemotongan hewan kurban pada 10 Zulhijjah, dapat melakukannya
pada hari Tasyrik. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW berikut;

“Semua hari tasyrik (tanggal 11 sampai 13 Zulhijjah) adalah waktu menyembelih


kurban” (H.R. Ahmad)

3. Tata Cara Ibadah Qurban


Berikut tata cara melaksanakan ibadah kurban :
a. Menyediakan hewan kurban (unta sapi, kerbau, domba, atau kambing) yang
memenuhi syarat syara’. Adapun syarat syara’, yaitu sehat, tidak cacat, hak milik
(bukan hasil curian atau penipuan) dan telah mencapai umur.
b. Menyediakan peralatan yang dibutuhkan .
c. Memotong hewan kurban, baik oleh diri sendiri maupun menitipkannya kepada
panita.
d. Menguliti, memotong, dan menimba daging untuk dibagikan. Adapun yang berhak
menerima daging kurban, yaitu muqarrib (yang berkurban), dan orang lain yang
membutuhkannya. Namun, diutamakan bagi fakir miskin dan anak yatim.
e. Mendistribusikan daging kepada yang berhak menerima
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Haji dan umrah adalah kunjungan ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah-
ibadah, baik yang wajib,maupun yang sunnah. Syarat wajib haji adalah islam, berakal,
baligh, dan mampu. Rukun haji ada lima, yaitu niat, berihram, thawaf, wuquf, sa’I dan
tahallul. Adapun wajib haji adalah bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar
jumrah,hadyu, thawaf wada’ dan tahallul (bagi sebagian pendapat). Hal-hal yang dilarang
selama haji dan umrah atau ketika memakai pakaian ihram adalah memakai pakaian yang
berjahit dam menutup kepala, kecuali karena suatu keperluan bagi laki-laki. Adapun bagi
perempuan, dilarang menutup muka dan kedua telapak tangan, kecuali jika terdesak.
Sedangkan, larangan bagi laki-laki dan perempuan adalah memakai wewangian,
menghilangkan rambut atau bulu badan lainnya, memotong kuku, melakukan akad nikah,
menikahkan, atau menjadi wali dalam akad nikah, bersetubuh dan pendahuluannya,
sertaerburu dan membunuh binatang darat yang liar dan haram dimakan. Haji dan umrah
juga memiliki beberapa dampak spiritual dan psikis bagi manusia.

Kaitan psikologi dengan qurban yaitu segala tindakan yang dilakukan pribadi
muslim bermula dari penalaran, cernaan pikiran dan penilaian yang mendalam hingga
menemukan kesimpulan bahwa qurban memiliki nilai-nilai yang esensial untuk
diimplementasikan sebagai wujud pengamalan ajaran agama. Orang-orang yang mampu
memberdayakan aspek kognisi, afeksi dan psikologis bisa memberi insight psikologis
bagi pemberdayaan mentalitas, religiusitas dan spiritualitas muslim dalam realitas
sosialnya untuk menjadi manusia insan kamil (muslim sejati).
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Abdul Mujib. 2017. Teori Kepribadain Perspektif Psikologi Islam Edisi
Kedua. Rajawali Pers : Jakarta

Sarwat, Ahmad. 2019. Ibadah Haji Rukun Islam Kelima. Gramedia: Jakarta

Wahyudin, Udin dkk. 2008. Fikih untuk Kelas V. Grafindo Media Pratama : Bandung

Subhani & Safuwan. 2013. Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi


Qurban. Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol XI, No. 2

Anda mungkin juga menyukai