oleh
Rose Familia Octaviani
1306345365
Dosen Pengajar:
Dr. Abdul Muta’ali
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL TIMUR TENGAH
JAKARTA
2014
1. PENDAHULUAN
1
Sukran Vahide. 2006. Bediuzzaman Said Nursi’s Approach to Religious Renewal and Its Impact on
Aspects of Contemporary Turkish Society. Essai bab 3 dari buku The Blackwell Companion to
Contemporary Islamic Thought oleh Ibrahim M. Abu Rabi’. Blackwell Reference Online, h. 55
2
Hakan Yavuz. 2003. Islamic Political Identity in Turkey (Oxford: Oxford University Press) h. 11
Tulisan ini akan membahas kedua ranah pemikiran Said Nursi yang ditujukan
untuk pembaharuan agama dan politik di Turki. Kedua ranah pemikirannya ini
saling berkaitan menimbang usaha gerakan politiknya bergerak berdasarkan
motivasi agama. Untuk menambah pemahamannya di kedua ranah pemikiran ini,
penulis menganggap penting membahas usahanya dalam era-era awal
kehidupannya di masa menjelang keruntuhan Turki Utsmani.
Dalam hidupnya, ia juga seorang politisi. Terlibat dengan usaha politik untuk
mewujudkan pemerintahan konstitusi selama tiga-empat tahun setelah Revolusi
Konstitusional tahun 1908. Selama tahun-tahun itu, beliau banyak menghabiskan
waktu di Istanbul, menganalisa isu-isu yang ada di Timur Tengah sambil
mengumpulkan dukungan atas proyeknya (termasuk proyek pendirian Madrasah
Al-Zahra). Ia menyaksikan perdebatan-perdebatan seputar isu-isu sosial politik
3
Sukran Vahide, h. 56
4
Badiuzzaman Said Nursi. 1977. Munazarat. Istanbul: Sozler Yayinevi, h. 72
terbaru. Terdapat sejumlah pendukung materialisme dan postivisme yang
mengikuti perdebatan-perdebatan itu—namun Nursi tidak ambil bagian.
Meskipun dalam tulisannya ia sering mengkritisi pemikiran materialisme demi
membantah keraguan mereka akan Al-Qur’an dan masalah keimanan. Karena ia
sering terlibat dengan debat-debat ini, ia familiar dengan pemikiran liberal akan
konstitusionalisme dan postivisme5.
Pada Maret 1925 pasca pemberontakan Sheikh Said yang bertujuan untuk
mengembalikan kekhalifahan Islam dan nasionalisme Kurdi, ia dikirim ke
pengasingan beserta ratusan pemuka agama lainnya ke daerah Barat Anatolia
setelah dituduh oleh pemerintah mendukung pemberontakan itu. Pemerintah
menjatuhkan hukuman pengasingan dan penjara kepadanya berikut pengikut
beliau. Dibawah kondisi seperti inilah, Said Nursi menulis Risalah An-Nur—
kumpulan penjelasan ayat-ayat Qur’an yang bertujuan untuk menandingi asumsi
5
Niyazi Berkes. 1998. The Development of Secularism in Turkey, New York: Routledge, h. 347
6
Sukran Vahide, h. 57
dasar filosofi Positivisme, salah satu filosofi yang menjadi dasar negara Republik
Turki7.
7
Ibid, h. 58
8
Niyazi Berkez, Development of Secularism in Turkey, h. 464
9
Lihat Dietrich Jung dan Wolfgango Piccoli. 2001. Turkey at the Crossroads: Ottoman Legacies and a
Greater Middle East, London: Zed Books, h. 75-78
dari Mu’tazilah dan Jabariyyah10. Jika dilihat dari sini, dapat kita simpulkan
pemikirannya tidaklah orisinal. Kontribusi utamanya, revitalisasi iman, sekilas
terdengar inovatif namun sebenarnya banyak mendapatkan pengaruh dari
pemikiran-pemikiran terdahulu, termasuk adanya pengaruh modern dalam
pembahasan tentang sains dan akal. Terlihat dari penjelasannya untuk
membuktikan mukjizat Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ia
mengakui, untuk mengalahkan para filsuf materialis adalah dengan menggunakan
‘senjata mereka sendiri’, yang mungkin mengacu pada metode rasionalis, namun
gagal11.
10
Sukran Vahide, h. 58
11
Nursi mengatakan “pintu ijtihad “ itu terbuka kecuali dalam kondisi darurat dimana Islam diserang
oleh adat Eropa dan berbagai penemuan modern, maka ijtihad harus ditutup segera. Lihat chapter
Risale-I Nur “The Words” terjemahan Inggris oleh Sizler Yayinevi. 1993. The Words. Sizler
Publications, h. 496
12
Badiuzzaman Said Nursi, Mesnevi-I Nuriye. 1998. Terjemahan Inggris oleh Abdulkadir Badili, h.236
13
Said Nursi, Risale-I Nur, terjemahan Inggris oleh Sukran Vahide (The Rays Collection) bab Letters.
2002. Istanbul: Sozler Publications, h.443-444
dengan ucapannya yang terkenal; “akan saya buktikan dan tunjukkan pada dunia
bahwa Al-Qur’an adalah matahari yang tidak akan mati!”14
Usaha Nursi dalam menafsirkan Qur’an dalam Risalah An-Nur dikenal akan
kombinasi pendekatannya lewat berbagai jenis disiplin ilmu. Tujuannya adalah
membangkitkan kembali keimanan melalui metode pengajaran baru yang sesuai
dengan kondisi dunia abad ke-20. Sebagai hasil karya yang populer, Risalah An-
Nur memiliki fungsi sebagai tafsir (interpretasi Al-Qur’an) sekaligus juga sebagai
karya Ilmu Mantiq, Aqidah, Ushuluddin, dan Ilmu Kalam. Nursi sendiri
menyebutnya “karya ilmu Kalam”15 dan selalu disebut-sebut sebagai pembaharu
di bidang tersebut. Ia menganggap karyanya ditujukan untuk jiwa manusia
disamping akal manusia, sehingga bisa dikatakan Nursi bermaksud untuk
meyajikan fungsi tasawuf (Sufisme) dalam karyanya dengan beliau mengutip
perkataan Shaikh Ahmad Sirhindi (tokoh aliran Naqsabandiyah); “Titik akhir
semua jalan Sufi adalah mengklarifikasi serta menyingkap kebenaran iman”16.
Namun meski karyanya memiliki fungsi yang sama dengan Sufisme, ia
menyangkal adanya kaitan dengan aliran Sufi apapun, meski pemerintah kerap
menuduh beliau menciptakan tarikat Sufi baru. Nursi tidak melawan Sufisme,
namun ia menyatakan Sufisme tidak sesuai dengan zaman modern karena ia tidak
cukup untuk memberikan respon yang tepat dalam mendebat filsafat materialisme
dan sains modern17.
14
15
Lihat Nursi, Emirdag Lahikast, Istanbul: Envar Nesriyat, 1992, h.90
16
Nursi, Letters, h. 40
17
Lihat Nursi, Letters, h. 388-389 untuk membandingkan metode Risalah An-Nur miliknya dengan
Ilmu Kalam dan Sufisme.
18
Nursi, Mesnevi-I Nuriye (terjemahan Inggris oleh Badili), h. 86
“Seakan tiap partikel materi memiliki kesadaran akan tugasnya masing-
masing…. taat dengan komando yang dijalankan lewat udara. Membantu semua
hewan bernapas dan hidup, membantu semua tumbuhan untuk melakukan
penyerbukan serta menyediakan semua kebutuhan mereka agar bertahan hidup.
Udara yang bergerak dapat menggerakkan awan, melayarkan perahu-perahu,
memungkinkan kita mendengar suara, termasuk komunikasi nirkabel seperti
telegraf, radio, dan berbagai alat lainnya. Maka atom-atom ini, atom sederhana
yang tersusun atas hidrogen dan oksigen, eksis dalam berbagai bentuk disemua
belahan dunia. Saya simpulkan dari cara mereka berfungsi tidak lain adalah
bukti adanya hand of wisdom (Tuhan)19”.
Ada banyak sekali dalam Risalah An-Nur Nursi berbagai contoh bagaimana
beliau menggambarkan (mengumpamakan) alam semesta dengan pandangan
Newtonian atau gambaran mekanis seperti “mesin”, “pabrik”, atau “jam” yang
tersusun atas banyak unsur. Tujuan utama Nursi disini sangatlah edukatif, dengan
memperbarui tafsiran Al-Qur’an dengan mendemonstrasikan betapa sains modern
dapat membuktikan kebenaran agama, bukannya malah menafikannya. Lebih jauh
lagi, terlihat usahanya untuk menyingkirkan benturan antara agama dengan sains
yang mengundang keraguan serta merendahkan Islam, ini berbeda dengan
pandangan Barat yang memisahkan antara akal dan jiwa, sains dan agama, dan
seterusnya. Nursi berusaha menyajikan kesatuan epistemologi, sebuah hubungan
organik harmonis antara berbagai kategori sains dengan seni, etika, dan iman20.
Ini juga merupakan sebuah prinsip yang mendasari hubungan harmonis antara
manusia, masyarakat, peradaban, dan alam semesta seperti yang diajarkan Qur’an
dengan hasil pemikiran manusia, Filsafat. Usaha Nursi dalam magnum opus-nya
tidak terlepas dari ilustrasi gambaran antara kedua hal tersebut.
19
Nursi, Rays, h. 133
20
Mehmet S. Aydin. 2003, Islam at Crossroads: On The Life and Thoughts of Bediuzzaman Said Nursi,
New York: SUNY Press, h. 219
3. Usaha Politik Said Nursi Dalam Gerakkan Nursiyyah
Pada bagian tulisan ini, fokus akan ditujukan kepada usaha-usaha politik Said
Nursi yang merupakan hasil refleksi pemikiran-pemikiran sebelumnya. Diskusi
ini akan penulis batasi untuk membahas kegiatan utama gerakan Nursiyyah
beserta paham yang dijadikan sandaran gerakan ini.
Karakteristik yang cukup unik dari Gerakan Nursiyyah (Nurcu Movement) ini
adalah pengikutnya yang lebih mengacu kepada tulisan-tulisan karya pendirinya
daripada karisma Badiuzzaman sendiri. Ini dapat dianggap sebagai transformasi
dari cara tradisional Sufisme dimana ‘shaikh’ atau sosok agamawan adalah acuan
sebuah gerakan/tarikat menjadi gerakan yang pengembangannya dilakukan oleh
berbagai grup Islam secara umum. Para pengikut Nursiyyah adalah pionir
tranformasi ini21. Aspek ini membuat Gerakan Nursiyyah mampu terus bertahan
dalam melakukan revitalisasi gerakan Islam di Turki pada akhir abad ke-20,
bahkan hingga sekarang setelah sosok Badiuzzaman sendiri telah tiada.
21
Hakan Yavuz, Islamic Political Identity in Turkey, h. 327-328
22
Sukran Vahide, h. 10
diragukan ikut menjaga eksistensi teks dalam bahasa Arab (yang dilarang pada
akhir tahun 1928) selain meningkatkan level melek huruf sejumlah besar
manusia23.
Konsep utama pemikiran Said Nursi adalah bagaimana iman dan ajaran
Qur’an secara efektif tertanam dalam masyarakat kontemporer dalam bentuk
sahs-I manevi atau kepribadian kolektif24. Menurut Nursi zaman modern adalah
masa kolektivitas sosial (lawan dari konsep individualisme) yang terdiri atas
sejumlah personalitas. Konsep kolektivisme ini dapat membangkitkan semangat
individu-individu didalamnya dan lebih efektif dan powerful dibandingkan
mewakili pemikiran satu individu saja dengan menyamakan seluruh pemikiran
individu tersebut daripada hanya mengikuti satu sosok tertentu. Karena satu tokoh
(figur) lebih mudah dikalahkan oleh “penyelewengan yang dilakukan oleh
kepribadian kolektif agresif”25. Maka, strategi utama Nursi adalah mengajarkan
para pengikut Nursiyyah pentingnya konsep kolektivisme tersebut sambil
memandu mereka dengan ajaran-ajaran moral yang mendukung konsepnya.
Dengan pemikiran yang tertuang dalam Risalah An-Nur yang menafikan ego
individu dan merubah kata “saya” menjadi “kami”, dengan demikian Said Nursi
berhasil menghancurkan individualisme menjadi kolektivisme yang bersandarkan
Risalah An-Nur. Ia berkata: “…agar memiliki kolam luas, dimana blok-blok es
ego dan individualisme tercebur dan meleleh bersama didalamnya”26. Ide
kolektivisme ini agar terwujud membutuhkan keikhlasan yang tidak mengharap
apapun kecuali keridhaan Tuhan dalam setiap perbuatan mereka dan
23
Ibid, h.11
24
Konsep dari kepribadian kolektif ini dikenalkan oleh Namuk Kemal yang mengambilnya dari Jean
Jacques Rousseau. Lihat Serif Mardin. 2000. The Genesis of Young Ottoman Thought, Syracuse:
Syracuse University Press, h. 333-334. Nursi mengadopsi ide ini ketika muda bersama Namuk Kemal
(tokoh gerakan Utsmani Muda) meskipun pemikiran Rousseau tersebut tidak melibatkan peranan
syariah.
25
Said Nursi, Mesnevi-I Nuriye, terjemahan bahasa Inggris oleh Abdulmecid Nursi. 1994. Istanbul:
Envar Nesriyat, h. 102
26
Said Nursi, A Guide for Youth, 1994, Istanbul: Sozler Publications, h. 79
mendahulukan kepentingan saudara sesama muslim dibandingkan kepentingan
pribadi.
Konsep Kolektivisme yang dipakai oleh Said Nursi seperti yang telah
disampaikan, memiliki pengaruh dari pemikiran JJ Rousseau. Solusi yang
ditawarkan oleh Rousseau adalah dengan sebuah entitas yang ia namakan
“sovereign” (kedaulatan, kekuasaan). Sovereign ini terbentuk atas anggota-
anggota individu sebuah masyarakat (society) yang mengikuti satu otoritas dalam
membentuk hukum, yaitu “general will” atau keinginan bersama masyarakat—
yang bisa diterjemahkan menjadi negara (state). Karena sovereign itu terbentuk
dari individu-individu, Rousseau menyatakan kedaulatan (sovereign) itu tidak
terlepas dari keinginan para individu didalamnya27. Namun, tujuan fundamental
yang ia maksud, bagaimanapun juga (sama seperti Said Nursi) adalah eliminasi
manusia egosentris—individualisme. Kolektivisme sovereign seharusnya
melampaui keinginan pribadi semua individu yang direduksi menjadi “kekuatan
universal untuk menggerakkan dan menyusun tiap individu dengan cara yang
paling sesuai bagi mereka”28, sepanjang keputusan itu sendiri adalah common
interest dan semua anggota sovereign terikat oleh hukum yang sama, maka
Rousseau menilai hukum itu valid29. J.J Rousseau mendeklarasikan bahwa
egosentrisme itu sangat berbahaya bagi umat manusia secara keseluruhan—maka
ia berkata “siapapun yang menolak untuk taat kepada keinginan bersama (general
will) maka ia dibatasi melakukannya oleh satu tubuh masyarakat yang artinya ia
terpaksa harus bebas berbuat sendirian”30. Ia meyakini jika semua individu saling
bergantung satu sama lain, maka tidak mungkin terbersit niat untuk menjatuhkan
sesamanya, karena artinya itu akan menjatuhkan diri sendiri sebagai satu tubuh.
27
Jean Jacques Rousseau, On The Social Contract with Geneva manuscript and Political Economy,
terjemahan Inggris oleh Judith R. Masters. 1978. New York: St. Martin’s Press, h. 55
28
Ibid, h. 62
29
Ibid. h. 62-63
30
Ibid, h. 55
Said Nursi menambahkan pemikirannya sendiri kedalam pemahaman
Kolektivisme sovereign yaitu ridha dari Tuhan dalam bentuk taqwa sebagai
common interest. Rasa takut pada Tuhan dan amal shaleh haruslah menjadi dasar
semua perbuatan dan keinginan bersama sebuah masyarakat. Dengan menghindari
dosa dan berbuat dalam batasan-batasan sah Syari’ah. Fungsi inilah yang
merupakan inti ajaran Risalah An-Nur walaupun ia tidak menjelaskannya secara
detail. Maka pengaruh yang hendak gerakan Nursiyyah tawarkan pada
masyarakat Turki adalah reformasi masyarakat melalui reformasi individu31.
Berlawanan dengan pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat terbentuk
atas individu-individu tanpa jiwa seperti “atom tak bernyawa”, beliau mengikuti
pandangannya sendiri dalam Risalah An-Nur bahwa alam semesta bekerja dengan
adanya hukum Tuhan yang mengatur tiap partikel/atom. Tiap partikel dan atom
memiliki nilai berharga sebagaimana kategori ayah, ibu, anak, lansia, pemuda,
yang sehat, dan sakit akan dilayani dengan etika yang sama 32. Individu barulah
berfungsi jika ia telah berubah fungsinya menjadi masyarakat dan berkepribadian
kolektif (dalam hal ini terbentuk oleh falsafah hidup Qur’ani).
Maka dapat dikatakan gerakan Nursiyyah Said Nursi melalui Risalah An-Nur
berniat untuk membuktikan kebenaran iman Islam dan Al-Qur’an dan dapat
digunakan untuk melawan kekuatan merusak yang dilepaskan oleh modernisasi.
Yaitu terlihat dari tujuan paham liberalisme dalam reformasi pendidikan Turki
sekuler: “pembebasan individu dari batasan kolektif komunitas Muslim” dan
“mengganti ikatan personal tadi dengan peraturan yang meniadakan batasan
kontrol33” serta mengganti etika Islami dengan etika positivisme.
31
Serif Mardin. 1989. Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Badiuzzaman Said
Nursi. Albany: SUNY Press, h. 10-13
32
Sukran Vahide, h. 11
33
Serif Mardin 1993. Religion and Secularism, London: I.B Tauris, h. 368 dan 373
para muslim melepaskan agama dan menjauhkan diri dari karakter Islami, mereka
akan jatuh dalam lembah kesesatan, menjadi anarkis, dan tidak bisa lagi diatur”.
Meskipun tugas Nursi dan para pengikutnya adalah menyelamatkan iman para
umat Islam dengan revitalisasi keimanan, namun tugas kedua mereka adalah
“menyelamatkan negara ini (Turki) dari bahaya anarkisme”34.
34
Perkataan Said Nursi dalam Emirdag Lahikasi, ii, 231. Dari Sukran Vahide (2006) h. 12
35
Said Nursi, A Guide of Youth, h. 137 dan 241
36
Ibid, h. 241
yang mutual dan 2 komunitas yang bersahabat”37. Dapat dipahami dari
perkataannya bahwa kedua gerakan ini ia melihat adanya kesamaan kedua
gerakan ini dan adanya rasa respek terhadap IM.
Kedua gerakan lahir seperti dua saudara kembar. Musim semi tahun1928,
bagian pertama karya Risalah An-Nur berhasil dikumpulkan disuatu tempat di
Anatolia dan murid-murid Nursi baru mulai berkumpul bersama, disaat
bersamaan, Ikhwanul Muslimin muncul di Mesir. Baik Said Nursi maupun Hasan
Al-Banna sama-sama melihat adanya problem yang mengancam nilai-nilai
keislaman. Sebagaimana Said Nursi yang berjuang menyelamatkan iman umat
Islam, Hasan Al-Banna melakukan dakwah dari lingkaran-lingkaran kecil;
individu (lewat kafe-ke-kafe), keluarga (usroh) lalu menuju lingkaran yang lebih
besar yaitu masyarakat38.
Represi agama oleh Republik sekuler Turki terus berlanjut sampai munculnya
kekuatan baru Partai Demokrat pada pemilu tahun 1950, dengan dimulainya sistem
multi partai. Setelah PD II berakhir, pemerintah nampak memberikan kelonggaran
kepada para pemeluk agama. Dominasi USSR di Eropa Timur dan ajakan perang di
Selat Istanbul—yang dapat dipandang sebagai penyebaran pengaruh Komunis di
Timur Tengah—membantu Turki mengikuti aliansi Barat yang kini dipimpin oleh
Amerika Serikat39. Perjuangan tanpa lelah Badiuzzaman berakibat kepada
kemunduran kesehatan beliau, dampak dari 20 bulan penyekapan penjara di Ayfon
(1948-1949). Nursi menjadi tersangka utama dalam tiga pengadilan mayor yang
berujung pada pemenjaraan masal bersama pengikut beliau. Dalam setiap pengadilan,
tuduhan yang sama selalu ditimpakan kepada beliau: mendirikan organisasi politik
rahasia, menjalankan tarikat Sufi baru, terlibat dalam berbagai kegiatan yang “bisa
jadi” mengganggu ketertiban publik, serta eksploitasi agama demi mencapai tujuan
37
Said Nursi. 1992. Emirdag Lehikasi, Istanbul: Envar Nesriyat, h. 34
38
Umit Simsek, Islam Aleminin Ikiz Kardeslri, artikel online diterjemahkan ke bahasa Inggris berjudul
Twin Brothers of the Muslim World, artikel diakses pada 2 Juni 2014 dari
http://www.malaysianur.com/twin-brothers-of-the-muslim-world/
39
Sukran Vahide, h. 12
politik40 dan seterusnya. Namun Nursi selalu dengan cerdik menyangkal tuduhan-
tuduhan itu. Lebih jauh lagi, semua bentuk perlakuan tak adil yang demikian
memberikan pengaruh kepada para Pengikut Cahaya latihan disiplin, jihad, dan
pengorbanan untuk meraih cita-cita mereka bersama.
Said Nursi pada akhir-akhir masa hidupnya semakin menjauhkan diri dari
kancah politik Republik. Beliau berkata. “iman yang suci dan dedikasi sakral kepada
Risale-I Nur tidak boleh menjadi alat untuk apapun…. Dan tidak bertujuan mencapai
apapun kecuali ridha Tuhan semata43”. Keterlibatan politik maka akan
mengarahkannya kepada kemunduran, eksploitasi, dan pengkhianatan akan kebenaran
Qur’an44. Menurutnya juga, di zaman ketika banyak manusia terekspos oleh
kesesatan sains, umat Islam membutuhkan “cahaya Qur’an” sehingga kalbu mereka
tersembuhkan dan iman mereka terselamatkan. Jika berkonfrontasi dengan kubu-kubu
politik, umat akan merasa takut bahkan ragu. Mereka harus ditunjukkan kepada
cahaya yang akan membimbing mereka45.
40
Lihat Nursi, Emirdag Lehikasi, h. 127-128
41
Nursi, Letters, h. 503
42
Nursi, Rays, 386
43
Nursi, Emirdag Lahikasi, I 38-39
44
Nursi, A Guide of Youth, h. 117-118 dan 146
45
Ibid, Letters, 68-70
Pada akhirnya semua aksi-aksi positif komunitas gerakan Nursiyyah dan
usahanya untuk memperkuat masyarakat dihadapan wajah “kehancuran agama” dan
dukungan Nursiyyah kepada Partai Demokrat mendapatkan sambutan baik dari
pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh salah satu sejahrawan, dengan memberikan
dukungan nyata, Demokrat secara implisit melegitimasi gerakan tersebut46. Itu
merupakan suatu kemenangan besar bagi Badiuzzaman Said Nursi, buah usaha tanpa
hentinya selama 30 tahun kesabaran, perjuangan diam-diam, dan jihad suci murid-
muridnya. Meskipun para pengikutnya masih menjadi subjek penyergapan polisi
militer pemerintah dan harus beraksi hati-hati, mereka diperbolehkan dengan bebas
menerbitkan Risalah An-Nur. Untuk pertama kalinya, chapter-chapter Risalah An-
Nur dicetak lewat percetakan modern. Gerakan Nursiyyah tidak lagi ditekan dan
pusat-pusat studi Nursi (dershanes) dibuka diseluruh penjuru negeri. Nursi juga
mendorong murid-muridnya untuk mengubah rumah-rumah mereka menjadi
“madrasah rumah”, menyempatkan waktu untuk mengkaji Risalah An Nur, sumber
utama ideologi Nursiyyah47. Dekade-dekade setelah beliau wafat, pengaruh Nursi
masih terasa hingga kini dalam republik Turki, seperti gerakan Gulen yang
diprakarsai oleh Fethullah Gulen48.
4. KESIMPULAN
46
Erik J. Zurcher. 2001. Turkey: A Modern History, London: I.B. Tauris, h. 245
47
Sukran Vahide, h. 70
48
Lihat The Gulen Movement: Communicating Modernization, Tolerance, and Dialogue in the Islamic
World, Jurnal Internasional Kemanusiaan vol. 6 (12) h. 67-78
bermaksud menggulingkan pemerintahan yang ada secara anarkis. Kebangkitan Turki
sebagai pusat peradaban Islam modern dengan demikian, meski perlahan, akhirnya
mulai menunjukkan hasil di era modern ini.
***
CRITICAL REVIEW BUKU “THE HISTORY OF ISLAMIC POLITICAL
THOUGHT” OLEH ANTONY BLACK
1. PENDAHULUAN
Buku yang hendak penulis kritik dalam tulisan ini adalah buah tangan dari
Antony Black, seorang profesor bidang Sejarah Pemikiran Politik Universitas
Dundee. Sesuai dengan judulnya; The History of Islamic Political Thought From the
Prophet to the Present, Antony Black menawarkan gambaran deskriptif beserta
interpretasi filsafat politik semenjak era awal Islam hingga era Fundamentalis terkini
(622 M-2000 M)—setidaknya hingga edisi awal buku ini diterbitkan, yaitu tahun
2011 oleh Edinburgh University Press Ltd. Antony Black mengambil pendekatan
yang sama seperti yang biasa dilakukan para sarjana yang menulis sejarah pemikiran
politik Barat, meneliti mentalitas, budaya setempat, dan latar belakang politik para
pemikir dan negarawannya. Ia juga menulis hubungan antara politik, agama, falsafah,
nilai etika, dan institusi kenegaraan yang terekspresi dalam slogan-slogan populer,
tulisan-tulisan karya para tokoh pemikiran, retorika, dan bukti-bukti sejarah lain yang
terkait dengan tema pemikiran politik Islam.
2. ULASAN SINGKAT
“The History of Islamic Political Thought From the Prophet to the Present”
seperti yang telah disampaikan berisikan narasi historis pemikiran politik Islam
yang dimulai sejak tahun 600 Masehi ketika wahyu pertama turun kepada Nabi
Muhammad SAW hingga pemikiran Islam era terkini yaitu tahun 2000. Isi buku
ini terbagi menjadi 5 bab, yaitu:
Bab I berjudul Rasul dan Hukum (tahun 622-1000M), Prof. Black
menyajikan rentetan fase-fase sejarah politik Islam yang dimulai dari masa
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu lalu melompat ke peristiwa
Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah ketika kegiatan politik Islam yang
nyata mulai terbentuk, kemudian ke era kekhalifahan Dinasti Umayyah dan
Abbasiyyah. Bab ini terbagi atas enam subbab. Black memaparkan di tiap-
tiap subbab sejumlah peristiwa penting secara singkat beserta
interpretasinya yang bersumber dari perbandingan dengan beberapa
pemikiran politik Barat. Bahkan ketika menjelaskan dalil-dalil normatif
dari Qur’an dan Hadits, Antony Black membandingkannya dengan dalil-
dalil dari Injil (lihat hal. 14). Dalam bab ini, dipaparkannya latar belakang
budaya bangsa Arab pra-Islam secara umum lalu membuat gambaran baru
yang berbeda ketika Islam hadir di jazirah Arab tanpa luput menjelaskan
definisi Islam, prinsip-prinsip teologis Islam yang umum, dan aliran-aliran
pemikiran yang mendasari sebuah kekuasaan. Seperti contoh, ketika ia
membahas Daulah Abbasiyyah, ia menjelaskan adanya pengaruh Persia
dalam pemerintahan monarki Islam dan pemikiran Ibnu Muqaffa (seorang
sekretaris Daulah Umayyah dan Abbasiyyah keturunan Persia) yang
melakukan penerjemahan dari bahasa Persia ke Arab. Black kemudian
membahas karya tokoh tersebut (Risalah fi Shahabah) mengenai aplikasi
model pemerintahan patrimonial yang berkembang di Iran kuno kepada
Khilafah (lihat hal. 21-23). Tak lupa juga pemikiran dari Abu Yusuf (ulama
mazhab Hanafi), Al Jahiz, dan pemikiran sang sultan sendiri, Khalifah Al-
Ma’mun. Antony Black kemudian memberikan subbab-subbab khusus
untuk membahas mengenai Syari’ah dan aliran paham Syi’ah secara
terpisah, tak lupa implementasinya dengan sejumlah Dinasti Islam yang
mempraktekkan ajaran aliran tersebut (seperti Dinasti Fatimiyyah),
pemikiran beberapa tokoh seperti Al Farabi dan Ibnu Qutaibah beserta
perbandingannya dengan beberapa pemikiran politik Barat.
Bab II berjudul Agama dan Kekuasaan Negara: Doktrin Sunni untuk
Negara. Bagian buku kedua ini berisi 6 subbab yang temanya berkaitan
dengan paham politik Sunni seperti subbab pertama yang berjudul Teori
Khilafah dimana Black memaparkan narasi historis selanjutnya yang
dimulai semenjak zaman Dinasti Turki Seljuk atau apa yang ia sebut
sebagai era kesultanan Sunni (lihat h. 81). Ia juga menyebutkan mazhab-
mazhab pemikiran Sunni seperti mazhab Asy’ariyyah juga tokoh pemikiran
politik Sunni seperti Al-Mawardi. Perbandingan yang ia ajukan disini
adalah antara konsep Imamah dan Khilafah (hal. 84). Subbab-subbab
selanjutnya membahas gambaran hubungan agama dan negara dibawah
daulah Seljuk, pemikiran politik Al-Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin
yang mempengaruhi pemikiran Ibnu Rushd pada era Islam di Spanyol
berikut perbandingan pemikirannya dengan Thomas Aquinas (kedua tokoh,
Ibnu Rushd dan Al Ghazali, dibahas dalam 2 subbab terpisah) serta subbab
khusus membahas Sufisme dan Politik. Antony Black dalam membahas
kaitan keduanya juga memasukkan perbandingan dengan hubungan antara
Kristen dan Romawi Timur
Bab III berjudul Syari’ah dan Pedang (1220 M-1500 M), berisikan 7
subbab yang dimulai dari pembahasan invasi Mongol kepada Turki Seljuk.
Dalam subbab ini ia menceritakan peristiwa tragis tersebut sambil
menjelaskan dampaknya terhadap peta politik Islam dan budaya popular
(seperti semakin merebaknya Sufisme dengan ditandai kemunculan tarikat
Naqsbandiyyah). Setelah pembahasan Black tentang era Turki Seljuq
berakhir, subbab berikutnya kemudian khusus membahas ideologi Dinasti
Mamluk (yaitu aristokrasi militer) dan hubungan Sultan-Khalifah berikut
perbandingannya dengan pemikiran relijius-politis Kristen Eropa mengenai
kekuatan politik gereja. Pembahasan Antony Black berikutnya yang tidak
kalah pennting berada dalam subbab khusus yang membahas pemikiran
Nasir al-Din Tusi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Khaldun beserta pengaruh
mereka terhadap pemikiran politik Barat. Subbab terakhir kemudian
membahas mengenai kemunduran pemikiran politik Islam klasik.
Bab IV berjudul Ideologi Agama dan Kontrol Politik di Negara-Negara
Modern Awal. Terdiri atas 5 subbab, dimulai dari awal abad ke-19 dimana
daulah Islam yang tersisa masih memiliki kekuatan meskipun tidak sebesar
dahulu. Satu subbab khusus membahas mengenai Dinasti Turki Utsmani
sambil menjelaskan pula kondisi sosial, budaya, dan agama pada masa
tersebut. Antony Black juga menganggap perlu membahas hubungan antara
Turki Utsmani dan Eropa sebagai dua kekuatan yang bersaing sekaligus
saling mempengaruhi. Dua subbab lain membahas dua kekuatan politik
Islam yang juga tidak kalah kuat, yaitu Dinasti Mughal di India dan Dinasti
Safawi di Iran sekaligus ideologi politik masing-masing (contoh,
pembahasan tentang kombinasi antara Sufisme, Imamah, dan patrimonial
yang diusung oleh Dinasti Safawi. Dalam membahas Dinasti Safawi dan
Dinasti Turki Utsmani, Black menjelaskan bagaimana keduanya akan
mempengaruhi pembentukan negara modern yang dikenal sebagai Turki
dan Iran dengan menyandingkan pemikiran tokoh-tokoh era tersebut dan
tokoh era baru (seperti Mustafa Kemal dan Ayatollah Khomeini). Subbab
terakhir dari bab ini membahas tentang keruntuhan Dinasti Turki Utsmani
sebagai akhir dari supremasi politik Islam di dunia.
Bab terakhir yang berjudul Islam dan Barat terdiri atas 4 subbab. Semua
subbab itu memasukkan peristiwa-peristiwa penting di kedua negara Turki
dan Iran beserta pengaruh ideologi Barat yang berkontribusi mengubah
ideology politik keduanya. Pada kasus Turki, Antony Black membahasnya
dalam subbab pertama tentang modernisme dan Revolusi Turki, bersamaan
dengan adanya pembahasan tentang pemikiran tokoh pembaharu yang
mempengaruhi adanya revolusi itu (contohnya Antony Black mengupas
pemikiran Khayruddin At-Tunisi, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad
Abduh) termasuk gerakan politik Utsmani Muda. Setelah itu, Black beralih
membahas paham Konservatisme dan Modernisme di Iran, Islamisme dan
tokoh-tokoh pemikirannya (Sayyid Quthb, Al Maududi, dan Khomeini),
Ikhwanul Muslimin, lalu terakhir analisis Black tentang Islamisme,
Modernisme, dan Negara Sekuler.
3. KRITIK
Antony Black dalam karya ini memang bermaksud untuk menawarkan gambaran
lengkap sejarah pemikiran politik Islam karena menurutnya “sejarah pemikiran Islam
sampai sekarang masih diabaikan oleh sebagian besar spesialis. Padahal Islam selalu
dan masih menjadi penjelas kehidupan manusia yang kuat dan memberikan makna
pada kehidupan kita” (hal. 16). Rasa respeknya yang besar terhadap warisan
peradaban Islam inilah yang membuat Black beraspirasi untuk menulis buku ini. Ia
mengakui sebagai sebuah ideologi politik, Islam masih dianggap sebagai tokoh
antagonis bagi ideologi politik Barat. Disamping motivasi tersebut, ia mengatakan
“lebih sedikit lagi perhatian ditujukan kepada sejarah pemikiran politik Islam.
Padahal seseorang tidak akan dapat memahami politik Islam masa kini tanpa
memahami dari mana asalnya. Gerakan politik dan sosial dalam Islam kontemporer
adalah seputar ide, dimana ide itu berdasarkan model historis era sebelumnya” (hal.
17). Karenanya Black memulai timeline sejarah dari titik paling awal yaitu turunnya
wahyu kepada Muhammad SAW serta usaha beliau SAW menyatukan tribalisme
yang memecah belah kabilah-kabilah Arab. Disamping itu, untuk memberikan
pemahaman yang lebih mendalam akan istilah-istilah yang sering dipakai dalam
pemikiran politik Islam, Antony Black menjelaskan secara umum pengertian Syari’ah
dan unsur-unsur yang menyusunnya (Istilah-istilah seperti Ulama, Hadits, Qiyas,
dsb.)
Pembahasan itu dirasa perlu untuk memahami latar belakang pemikiran para
tokoh-tokoh yang buah pemikirannya Black jelaskan. Sebab bagaimanapun untuk
membahas sejarah pemikiran politik Islam, pemahaman akan apa itu Islam serta
adanya apresiasi iman Islam dari penulis terhadap agama ini merupakan kewajiban.
Antony Black menyatakan memahami sejarah ide politik Islam dapat membantu kita
memahami sejarah politik Eropa sebab keduanya memiliki kesamaan sumber;
monoteisme Abraham (lihat hal. 2).
Namun mungkin karena adanya keharusan memahami Islam secara total selain
memahami konsep politik yang lahir darinya, menjadikan penulisan buku Antony
Black kurang detail. Memang ia menuliskan subbab khusus tentang Syari’ah, namun
itu hanyalah gambaran umum saja yang disadurnya dari tulisan-tulisan yang bukan
berasal dari ulama melainkan dari penulis Barat lainnya seperti Hodgson, Guillaume,
dan Gibb. Padahal untuk memahami Syari’ah (dan juga karya-karya pemikir Islam),
dibutuhkan pemahaman secara mendetail dan langsung dari sumber-sumber kitab
aslinya. Black sendiri memang mengakui demikian, ia mengatakan keterbatasannya
memahami bahasa asli teks-teks sumber yang orisinal; “saya mengandalkan hampir
sepenuhnya kepada translasi teks yang asli. Dikarenakan saya tidak memahami
bahasa Arab, Persia, dan Turki, maka saya berhutang kepada para sarjana lain” (lihat
halaman terakhir Pendahuluan). Maka, pemahaman penulis akan sumber utama
pemikiran politik Islam, yaitu Qur’an dan Hadits, dapat dikatakan minim. Memahami
dua wahyu tersebut mewajibkan adanya pengetahuan gramatikal Arab yang memadai
agar memahami maksud eksplisit dan implisit suatu ayat Qur’an atau Hadith, Antony
Black seringkali merujukkan interpretasi keduanya kepada penulis lain yang bukan
pakar muslim (ulama Islam klasik) disamping membandingkannya dengan
pemahaman Injil Kristen. Selain itu ia dirasakan kurang detail mengupas benturan
paham aliran Sunni dan Syi’ah selain hanya menjelaskan keduanya secara terpisah
dan sekilas asal mula munculnya kedua aliran itu. Padahal tema perseteruan Sunni
dan Syi’ah terus menjadi isu hangat politik Timur Tengah hingga hari ini.
4. KESIMPULAN
Pada era dimana Islam dan Barat dipandang sebagai dua kubu kekuatan yang
saling betentangan dan bukannya saling mempengaruhi, adanya karya luar biasa
seperti buku yang ditulis Antony Black ini adalah wujud itikad positif untuk
menjembatani pengertian yang baik antar keduanya. Gambaran komprehensif lewat
narasi sejarah politik Islam yang disusunnya memberikan pemahaman yang
menyeluruh akan sejarah pemikiran politik Islam. Walaupun bersifat seperti
rangkuman perjalanan sejarah politik Islam dalam kacamata pemikiran Barat
(berdasarkan referensi-referensi yang Antony Black pakai) dan bukan dari segi
kacamata Islam, namun buku ini tetaplah memiliki kelebihan tersendiri seperti yang
telah disinggung sebelumnya dimana karya-karya serupa dari pihak pemikir Islam
belum ditemukan padanannya dengan karya Antony Black ini.