Anda di halaman 1dari 6

PERKEMBANGAN REGULASI PERBANKKAN DI INDONESIA

Nama : Tony Hartanto


Nim : 18062303
Kelas : 23F

UNIVERSITAS MERCUBUANA
DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA
2019
Hukum perbankan Indonesia yang mengatur masalah-masalah perbankan yang meliputi
segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya serta hubungannya dengan bidang
kehidupan yang lain telah mengalami pasang surut. Dimulai pada tahun 1983 ketika berbagai
deregulasi mulai dilakukan Pemerintah, kemudian bisnis perbankan berkembang dengan pesat
pada kurun waktu 1988-1996. Pada pertengahan tahun 1997 industri perbankan akhirnya
terpuruk sebagai imbas dari terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia. Secara kronologis perkembangan industri perbankan Indonesia dapat diuraikan
sebagai berikut :

A. Periode Undang-undang No. 14 Tahun 1967

Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan.
Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada
masa itu . Undang-undang No. 14 Tahun 1967 mencabut ketentuan yang mengatur tata
perbankan yang berlaku sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1955 tentang
pengawasan terhadap urusan kredit. UU ini menegaskan bahwa pendirian bank-bank milik
pemerintah masing-masing dilakukan dengan undang-undang, sedangkan untuk pembukaan
cabang dan kantor perwakilan harus dengan izin Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Bank Indonesia. Bagi bank-bank selain milik pemerintah baik untuk pendirian
bank maupun untuk pembukaan cabang dan kantor perwakilan harus dengan izin Menteri
Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
Tugas Bank Indonesia dalam pengawasan dan pembinaan bank diatur pula dalam
Undang-undang Pokok-Pokok Perbankan 1967, yang mencakup tugas dan wewenang Bank
Indonesia untuk menetapkan regulasi, melakukan pengawasan dan pemeriksaan, melakukan
pembinaan, sertamenetapkan sanksi atas pelanggaran kewajiban yang harus dipenuhi oleh
bankbank. Sebagai kelanjutan dari usaha penertiban bank sekunder yang meliputi bank desa,
bank pasar, dan bank sejenis lainnya, dan dalam rangka penyesuaian dengan perundang-
undangan yang berlaku, sejak September 1977 secara bertahap Bank Indonesia
menyerahkan pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank tersebut kepada
Bank Rakyat Indonesia, tetapi penetapan ketentuan umum masih tetap dilakukan oleh Bank
Indonesia. Pelaksanaan pengawasan terhadap bank-bank tersebut oleh Bank Rakyat
Indonesia yang mencakup, antara lain bidang keuangan, pemilikan, kepengurusan, dan tata
kerja dilakukan atas dasar petunjuk yang diberikan oleh Bank Indonesia.
Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tanggal 30 Desember1967 tentang Perbankan, yang
kemudian disusul dengan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 tanggal 7 Desember 1968
tentang Bank Sentral mencabut sistem Bank Tunggal/Bank Negara Indonesia yang
merupakan hasil integrasi Bank Tabungan Negara dan bank-bank umum pemerintah, kecuali
Bank Dagang Negara, ke dalam Bank Indonesia sebagai bank sentral, sehingga kerancuan
dapat diakhiri. Selanjutnya ditetapkan pula undang-undang tersendiri bagi masing-masing
bank umum pemerintah dan Bank Tabungan Negara.
Izin pendirian bank sendiri pada tahun 1967 sampai dengan 1968 menyusul terjadinya
krisis perbankan tahun 1967. Krisis tersebut disebabkan oleh banyaknya kredit macet karena
kondisi ekonomi yang memburuk dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi sehingga 21 bank
dihentikan keikutsertaannya dalam kliring. Selanjutnya tahun 1969 izin tersebut dibuka
kembali. Persyaratan utama bagipendirian bank adalah :
1. Kecukupan modal yang disesuaikan dengan kota tempat kedudukan bank yang
bersangkutan
2. Daerah tempat pendirian bank masih membutuhkan bank
3. Badan Hukum harus berbentuk PT yang saham-sahamnya harus atas nama
4. Seluruh Pemegang Saham dan Pimpinannya harus WNI.

B. Periode Deregulasi 1 Juni 1983

Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik


karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana
pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk mendorong
peranan swasta agar lebih besar. Hal ini mendorong BI melakukan deregulasi perbankan
untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan
kehidupan ekonomi pada periode tersebut. Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan
dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit,
tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan
pengembangan koperasi dan ekspor.
C. Periode Pakto 1988

Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi
perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88)
yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian
izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88.
Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih
dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Perizinan pendirian bank swasta nasional
baru dengan modal disetor minimum sebesar Rp10 milyar dan bank perkreditan rakyat (BPR)
dengan modal disetor minimum sebesar Rp50 juta. Pembukaan kantor cabang dan kantor
cabang pembantu yang sebelumnya dikaitkan dengan merger dalam ketentuan ini tidak
diberlakukan lagi. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia
perbankan. Salah satu ketentuan dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang
hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta.
Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-
bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya
desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut
adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan
ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan
pedesaan.

D. Periode 1992

Pada tahun 1992 dikeluarkan UU No.7 Perbankan menggantikan UU No. 14/1967 untuk
memberikan landasan hukum yang lebih kuat atas prinsip-prinsip deregulasi yang terkandung
dalam paket-paket kebijakan yang telah dikeluarkan sejak tahun 1983. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. Undang-undang No. 7
Tahun 1992 tersebut juga mengatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan,
syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan
prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan
profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang ini juga ditetapkan penataan badan
hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil
(syariah), serta sanksi-sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran
ketentuan perbankan. UU No. 7 Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada
Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Undang-undang Perbankan 1992 juga menetapkan bahwa bank pemerintah harus
menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya
undang-undang tersebut, sehingga ketujuh bank pemerintah melakukan penyesuaian
dengan bantuan pemerintah melalui menteri keuangan untuk selanjutnya nama resmi yang
digunakan oleh bank-bank tersebut adalah:
1. Bank Negara Indonesia (Persero)
2. Bank Bumi Daya (Persero)
3. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
4. Bank Dagang Negara (Persero)
5. Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
6. Bank Pembangunan Indonesia (Persero)
7. Bank Tabungan Negara (Persero).

Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal
30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang
memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan
sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya. Kegiatan operasional bank
berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun
dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama
dengan bank konvensional,yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi
perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli
sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.

E. Tahun 1998

Dengan amandemen UU NO. 7 tahun 1992 tentang pokok-pokok perbankan menjadi UU


No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan maka wewenang perizinan di bidang perbankan
beralih dari Menteri Keuangan kepada pimpinan Bank Indonesia. Sebagai otoritas pengawas
bank, dalam masa krisis ini Bank Indonesia menjalankan wewenangnya untuk mengatasi
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Sesuai dengan UU No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan, terdapat enam tindakan yang dapat dilakukan Bank Indonesia,
yaitu:
1. Pemegang saham diminta untuk menambah modal,
2. Pemegang saham diminta untuk mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank,
3. Bank diminta untuk menghapusbukukan kredit yang macet dan Memperhitungkan
kerugian bank dengan modal,
4. Bank diminta untuk melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain,
5. Bank diminta untuk dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban bank, dan
6. Bank indonesia mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Apabila tindakan di atas tidak berhasil untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh bank, maka bank indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang
bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai