Anda di halaman 1dari 19

BAB III

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

3.1 Lokasi Penelitian


Bandar Udara Radin Inten II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara
Branti Raya, Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada di
koordinat 05o14’25,77”LU 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki
(86 m). (Wikipedia, 2016)
Lokasi Bandar Udara Radin Inten II dilihat dari citra satelit Bandara Radin
Inten II yang disajikan dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Lokasi Bandar Udara Radin Inten II


(Sumber: Wikipedia, 2016)

3.2 Metode dan Tahap Penelitian


Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam penelitian:
3.2.1 Tahap Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian meliputi penjabaran maksud dan tujuan penelitian,
penyiapan metodelogi penelitian, check list kebutuhan pelaksanaan penelitian, dan
kajian awal hasil studi kepustakaan dan perencanaan terkait.
3.2.2 Tahap Pengumpulan Data
Ada dua data yang diperlukan yaitu data primer dan data sekunder.

30
31

a. Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dilapangan


melalui penelitian tentang tebal perkerasan dan perpanjangan runway dan
kondisi apron di Bandara Radin Inten II. Adapun cara yang dilakukan dalam
mengumpulkan data primer adalah:
• Wawancara (interview) yaitu melakukan tanya jawab langsung dengan
semua pihak yang mempunyai wewenang atau yang berkaitan dengan
pengelolaan Bandara Radin Inten II.
b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku refrensi, sumber
sumber lain seperti internet, dan data yang diperoleh dari instansi yang terkait.
Data – data sekunder yang diperlukan antara lain:
• Layout Bandara Radin Inten II
Layout bandar udara meliputi landasan pacu (runway) dan apron beserta
luas dan panjangnya.
• Jumlah Penumpang
Data jumlah penumpang selama 5 tahun terakhir.
• Data dan Jumlah Pesawat Terbang
Data jumlah pesawat terbang sangat dibutuhkan untuk mengetahui
kapasitas dan kebutuhan landasan pacu (runway) dan apron dalam
melayani pesawat terbang yang telah ada di Bandara Radin Inten II.
• Jenis Pesawat Terbang dan Rute Penerbangan
Data jenis pesawat dan rute penerbangan yang dilayani oleh Bandara
Radin Inten II.
• Kondisi Lingkungan Bandara Radin Inten II
Data kondisi lingkungan lapangan terbang yaitu meliputi
temperatur/suhu, angin permukaan, kemiringan landasan pacu (runway),
ketinggian bandara dari muka air laut dan kondisi permukaan landasan.
• Data Tanah
Digunakan dalam perhitungan perkerasan yang akan dilakukan.
32

3.3 Diagram Alur Pengerjaan Tugas Akhir


Berikut ini adalah diagram alur pengerjaan Tugas Akhir, terpapar dalam
Gambar 3.2.

Mulai

Studi Literatur dan Studi


Pendahuluan

Data Primer Data Sekunder

• Layout Bandara Radin Inten II


• Wawancara (Interview) • Jumlah Penumpang
✓ Faktor-Faktor yang • Data dan Jumlah Pesawat Terbang
• Jenis Pesawat Terbang dan rute
Mempengaruhi yang dilayani
Pengembangan • Kondisi Lingkungan Bandara Radin
Inten II
• Data Tanah

Analisis Data

Faktor yang Mempengaruhi Tebal Perkerasan dan Perpanjangan


Runway dan Pengembangan Apron
Pengembangan di Bandara Radin Inten II

Hasil Perhitungan

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.2 Diagram Alur Pengerjaan Tugas Akhir


33

3.4 Perencanaan Perkerasan Lentur dengan Menggunakan Metode FAA


Metode perencanaan FAA yang dibahas pada tugas akhir ini adalah metode
perencanaan yang mengacu pada standar perencanaan pekerasan FAA Advisory Circular
(AC) No.150_5320_6D. Metode ini adalah pengembangan perencanaan berdasarkan
metode CBR. Perencanaan konstruksi perkerasan dengan menggunakan grafik-grafik,
tabel-tabel, yang telah dibuat bersasarkan hasil pengamatan yang telah ada. Pada
perhitungan dengan metoda yang mengacu pada Advisory Circular (AC) No.
150_5320_6D, telah mengeluarkan grafik-grafik yang berisi hubungan keberangkatan
tahunan desain, berat pesawat kotor, nilai CBR (California Bearing Ratio) dengan
ketebalan lapisan perkerasan.
Menurut Basuki (1986) ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam
pehitungan dengan menggunakan metode FAA, yaitu:
a. Klasifikasi Tanah
Metode yang dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA)
ini pada dasarnya menggunakan statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah,
sistem drainase dan cara pembebanan untuk berbagai tingkah laku beban. FAA
telah membuat klasifikasi tanah, untuk perencanaan perkerasan yang dibagi dalam
13 kelas dari E1 sampai E13. Klasifikasi dari Airport Paving FAA, Advisory
Circular, adalah sebagai berikut :
• Kelas EI
Adalah jenis tanah yang mempunyai gradasi tanah yang baik, kasar, butiran-
butiran tanahnya tetap stabil walaupun sistem drainasenya tidak baik.
• Kelas E2
Jenis tanah mirip grup E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedikit, dan
mungkin mengandung presentase lumpur dan tanah liat yang lebih banyak.
Tanah dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil apabila sistem drainasenya
tidak baik.
• Kelas E3 dan E4
Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan geradasi lebih
jelek dibanding dengan grup E1 dan E2. Grup ini terdiri dari pasir berbutir
halus tanpa daya kohesi, atau tanah liat berpasir dengan kualitas pengikatan
34

mulai dari cukup sampai baik.


• Kelas E5
Terdiri dari tanah yang bergradasi kurang baik, dengan kandungan lumpur
dan tanah liat campuran lebih dari 35% tetapi kurang dari 45%.
• Kelas E6
Terdiri dari lumpur yang berpasir dengan indeks plastisitas yang sangat
rendah. Jenis ini relatif stabil bila kering atau pada moisture content
rendah. Stabilitasnya akan kurang bahkan hilang dan menjadi sangat
lembek dalam keadaan basah, maka sangat sukar dipadatkan kecuali jika
moisture content dikontrol dengan sangat teliti sesuai kebutuhan.
• Kelas E7
Temasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir
berlempung, dan lumpur berlempung. Mempunyai rentangan konsistensi
kaku sampai lunak ketika kering dan plastis ketika basah.
• Kelas E8
Mirip dengan E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan
menghasilkan derajat pemempatan yang lebih besar, pengembangan
pengerutan, dan stabilitas yang lebih rendah dibawah kondisi
kelembaban yang kurang menguntungkan.
• Kelas E9
Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit
dipadatkan. Stabilitasinya rendah, baik keadaan basah dan kering.
• Kelas E10
Adalah tanah liat yang berlumpur dan tanah liat yang membentuk
gumpalan keras dalam keadaan kering, serta sangat pastis bila basah.
Pada masa pemadatan perubahan volumenya sangat besar, mempunyai
kemampuan mengembang menyusut dan sangat elastis.
• Kelas E11
Mirip dengan tanah grup E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih
tinggi, termasuk didalamnya tanah dengan liquid limit antara 70-80,
dengan index plastisitas diatas 30.
35

• Kelas E12
Jenis tanah yang mempunyai liquid limit di atas 80, tidak diukur
berapapun index plastisitasnya.
• Kelas E13
Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut mudah dikenal
di lapangan. Dalam keadaan asli, sangat rendah stabilitasnya, sangat
rendah density, dan sangat tinggi kelembabannya.
Berikut ini adalah tabel klasifikasi tanah dasar untuk perencanaan perkerasan
dengan metode FAA yang ditabelkan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Klasifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan Metode FAA
Analisa Saringan Subgrade Class
% Bahan lebih kecil dari
saringan no. 10
Pasir Pasir Campuran
% kasar halus lumpur
Kelas bahan Liquid Plasticity
lolos lewat dan tanah Drainase Drainase
Tanah tersisa saringan saringan liat lolos Limit index
baik Jelek
saringan no. 10 no. 40 no. 200
no. 10 tapi ditahan
ditahan no. 200
saringan
no. 40
Kerikil
E1 0 – 45 40 60 15 25 6 Fa / Fa Fa / Ra
E2 0 – 45 15 85 25 25 6 Fa / Ra F1 / Ra
E3 0 – 45 25 25 6 F1 / Fa F2 / Rb
E4 0 – 45 35 35 10 F1 / Ra F3 /Rb
Butiran
halus
E5 0 – 55 45 40 15 F3 / Rb
E6 0 – 55 45 40 10 F4 / Rc
E7 0 – 55 45 50 10 – 30 F5 / Rc
E8 0 – 55 45 60 15 – 40 F6 / Rc
E9 0 – 55 45 40 30 F7 / Rd
E10 0 – 55 45 70 20 – 50 F8 / Rd
E11 0 – 55 45 80 30 F9 / Re
36

Tabel 3.1 Lanjutan


Analisa Saringan Subgrade Class
% Bahan lebih kecil dari Drainase Drainase
saringan no. 10 baik Jelek
Pasir Pasir Campuran Plasticity
% kasar halus lumpur
Kelas bahan Liquid index
lolos lewat dan tanah
Tanah tersisa saringan saringan liat lolos Limit Drainase
saringan no. 10 no. 40 no. 200 baik
no. 10 tapi ditahan
ditahan no. 200
saringan
no. 40
E12 0 – 55 45 80 F10 / Fa
E13 Tanah gambut, tidak bisa digunakan
(Sumber: Basuki, 1986)
Apabila di dalam test laboratorium yang kita dapatkan nilai CBR-nya, pada
Tabel 3.2 ini diberikan hubungan nilai CBR dengan mutu tanah menurut FAA.
Table 3.2 Hubungan Antara Harga CBR dengan Kalsifikasi Subgrade Menurut FAA
Klasifikasi CBR
Fa 20 (atau lebih)
F1 16 – 20
F2 13 – 16
F3 11 – 13
F4 9 – 11
F5 8–9
F6 7–8
F7 6–7
F8 5–6
F9 4–5
F10 3–4
(Sumber: Basuki, 1986)
b. Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama
Konfigurasi roda pesawat udara mempengaruhi penyaluran beban
pesawat udara ke perkerasan. Berat pesawat udara didistribusikan ke
perkerasan melalui roda depan atau roda hidung (nose gear) dan roda utama
37

(main gear). Main gear menerima hampir seluruh beban pesawat udara, 95
% berat pesawat udara dibebankan pada main gear, sedangkan sekitar 5 %
sisanya diterima oleh nose gear. Berikut berbagai konfigurasi roda pesawat
yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
• Sumbu Tunggal Roda Tunggal ( Single )

Gambar 3.3 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Tunggal


(Sumber: Yang, 2004)

• Sumbu Tunggal Roda Ganda ( Dual wheel )

Gambar 3.4 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Ganda


(Sumber: Yang, 2004)
38

• Sumbu Tandem Roda Ganda ( Dual Tandem )

Gambar 3.5 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Tandem Ganda
(Sumber: Yang, 2004)

• Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel ( DDT )

Gambar 3.6 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat Roda Ganda Dobel
(Sumber: Yang, 2004)
c. Menentukan pesawat rencana
Pada Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat
yang beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan
data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat. Kemudian dipilih jenis pesawat
yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan pesawat
39

rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi
jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan
tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang
beroperasi di dalam bandar udara. Karena pesawat yang beroperasi di bandara
memiliki angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka harus
ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi
roda pendaratan dari pesawat rencana.
d. Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat (W2)
Untuk pesawat berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW cukup
tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent
Annual Departure (R1) ditentukan beban roda tiap pesawat, 95% berat total dari
pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam perhitungan dengan
menggunakan rumus :
1
W2 = P × MSTOW × 𝐴

Keterangan:
MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas
A = Jumlah konfigurasi roda pesawat
P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama
W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat
(Sumber: Basuki, 1986)
e. Menentukan Nilai Ekuivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana
Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani
berbagai macam jenis pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan yang
berbeda-beda dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan oleh
semua jenis model lalu-lintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat rencana
dengan equivalent annual departure dari pesawat-pesawat campuran, sehingga
dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total
keberangkatan keseluruhan dari bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke
dalam pesawat rencana. Untuk menentukan R1 dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan:
40

𝑊2
Log R1 = Log R2 (𝑊1)0,5

Keterangan:

R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen pesawat udara desain

R2 = Keberangkatan tahunan yang dikonversi ke dalam main gear pesawat


udara desain

W1 = Beban roda pesawat udara desain

W2 = Beban roda pesawat udara

(Sumber: Basuki, 1986)


Pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama
yang berbeda dengan pesawat kecil, maka pengaruhnya terhadap perkerasan
diperhitungkan dengan menggunakan berat lepas landas kotor dengan
susunan roda pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan
dengan nilai yang ada. Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung
keberangkatan tahunan ekivalen (Equivalent Annual Departure R1).

Tabel 3.3 Faktor-Faktor untuk Mengubah Keberangkatan Tahunan Pesawat Udara Menjadi
Keberangkatan Tahunan Ekivalen Pesawat Udara Desain
Poros Roda Pendaratan Poros Roda Pendaratan Utama Pengali untuk Keberangkatan
Utama Pesawat Pesawat Desain Sebenarnya Untuk Mendapatkan
Sebenarnya Keberangkatan Ekivalen
Roda Tunggal Roda Ganda 0,8
Tandem Ganda 0,5
Roda Ganda Roda Tunggal 1,3
Tandem Ganda 0,6
Tandem Ganda Roda Tunggal 2,0
Roda Ganda 1,7
Double Tandem Ganda Roda Ganda 1,7
Tandem Ganda 1,0
(Sumber: Horonjeff, 1993)
41

f. Menentukan Susunan Tebal Perkerasan.


Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah
perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut
harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Pada tahapan ini, data-
data awal seperti CBR tanah dasar, CBR Subbase, dan Equivalent Departure
dijadikan input untuk menentukan tebal perkerasan. Data tersebut diatas
dimasukkan pada kurva rencana yang telah sesuai standar FAA sehingga
menghasilkan tebal perkerasan yang nantinya perlu dikoreksi, perhitungan
secara detail dijelaskan sebagai berikut:
• Tebal Perkerasan Total
Tebal perkerasan total dihitung dengan memplotkan data CBR Subgrade,
MTOW (Maximum Take Off Weight) pesawat rencana, dan nilai
Equivalent Annual Departure ke dalam Gambar 3.7 penentuan tebal
perkerasan untuk pesawat rencana. Perencanaan perkerasan yang
dikembangkan oleh FAA ini adalah perencanaan untuk masa umur
rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap dilakukan
pemeliharaan secara berkala. Grafik-grafik pada perencanaan perkerasan
FAA menunjukkan ketebalan perkerasan total yang dibutuhkan (tebal
pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal lapisan permukaan). Nilai
CBR tanah dasar digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas
kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat rencana. Beban
lalulintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral
dari permukaan selama operasional. Demikian juga pada sebagian
landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan, oleh
karena itu FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada
permukaan yang berbeda-beda:
✓ Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk
tempat pesawat yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu
(Holding Apron), bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu
✓ Tebal perkerasan 0,9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan
datang, seperti belokan landasan pacu berkecepatan tinggi.
42

✓ Tebal perkerasan 0,7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui


pesawat, seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan
pacu.


Gambar 3.7 Grafik Perencanaan Perkerasan Lentur ntuk Pesawat Dual Wheel
(Sumber: Basuki, 1986)

Grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari


sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor
(MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke kurva
keberangkatan tahunan ekivalen dan akhirnya diteruskan vertikal ke
sumbu tebal perkerasan dan tebal total perkerasan didapat.
43

• Menentukan tebal perkerasan Subbase Course


Dengan nilai CBR Subbase yang ditentukan, MTOW dan Equivalent
Annual Departure maka dari Gambar 3.7 didapat harga yang merupakan
tebal lapisan diatas subbase, yaitu lapisan surface dan lapisan base
coarse. Maka, tebal subbase sama dengan tebal perkerasan total
dikurangi tebal lapisan diatas subbase.
• Menentukan Tebal perkerasan Base Course
Tebal Base Course sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course
dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Hasil ini harus
dicek dengan membandingkannya terhadap tebal Base Course minimum
dari grafik. Apabila tebal Base Course minimum lebih besar dari Base
Course hasil perhitungan, maka selisihnya diambil dari lapisan Subbase
Course, sehingga tebal Subbase Course berubah.

Gambar 3.8 Grafik Penentuan Tebal Base Course Minimum


(Sumber: Basuki, 1986)
44

Tabel 3.4 Tebal Minimum Base Course


Minimum Base Course
Design Load Range
Design Aircraft Thickness

(pound) (kg) (in) (mm)


Single Wheel 30.000-50.000 (13.600-22.700) 4 100
50.000-70.000 (22.700-34.000) 6 150
Duel Wheel 50.000-100.000 (22.700-45.000) 6 150
100.000-200.000 (45.000-90.700) 8 200
Duel Wheel 100.000-250.000 (45.000-113.400) 6 150
250.000-400.000 (113.400-181.000) 8 200
B-757
200.000-400.000 (90.700-181.000) 6 150
B-767
DC-10
400.000-600.000 (181.000-272.000) 8 200
L101 I
B-747 400.000-600.000 (181.000-272.000) 6 150
600.000-850.000 (272.000-385.700) 8 200
C-130 75.000-125.000 (34.000-56.700) 4 100
12.500-175.000 (56.700-79.400) 6 150
(Sumber: Basuki, 1986)
Grafik perencanaan Gambar 3.7 adalah grafik perencanaan untuk tingkat
keberangkatan tahunan maksimum 25.000 keberangkatan. Untuk
keberangkatan tahunan diatas 25.000, grafik tersebut juga dapat
digunakan dengan mengalikan hasil akhir tebal total perkerasan yang
didapat dengan menggunakan grafik keberangkatan tahunan 25.000
dengan angka persentase yang diberikan di Tabel 3.5 dibawah ini:
Tabel 3.5 Persentase Pengali Untuk Tingkat Keberangkatan Tahunan diatas 25.000

Tingkat Keberangkatan % Tebal Total Keberangkatan Tahunan


Tahunan >25000
50.000 104
100.000 108
150.000 110
200.000 112
(Sumber: Basuki, 1986)

3.5 Perhitungan Panjang Runway


Dalam melakukan perhitungan panjang runway suatu bandara ada beberapa faktor
45

yang harus diperhatikan. Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka faktor-
faktor tersebut adalah:
a. Koreksi Ketinggian (Elevasi)

Keterangan: Fe = Faktor koreksi elevasi


h = Elevasi diatas permukaan laut (m)
(Sumber: Basuki, 1986)
b. Koreksi Suhu (Temperature)
Ft = 1 + 0,01 {T – (15 – 0,0065 x h)}
Keterangan: Ft = Faktor koreksi temperature
T = Temperature di bandara (oC)
(Sumber: Basuki, 1986)
c. Koreksi Kemiringan Runway (Slope)
Fs = 1 + (0,1 S)
Keterangan: Fs = Faktor koreksi emiringan
S = Kemiringan runway (%)
(Sumber: Basuki, 1986)
d. Koreksi Angin Permukaan (Surface Wind)
Berikut adalah pengaruh angin permukaan terhadap panjang runway yang
ditabelkan pada Tabel 3.6
Tabel 3.6 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway
Kekuatan Angin Persentase Pertambahan / Pengurangan Runway
+5 -3
+10 -5
-5 +7
(Sumber: Basuki, 1986)
Setelah koreksi ketinggian (elevasi), koreksi temperature, koreksi
kemiringan, dan koreksi angin permukaan ditemukan, maka diperoleh
panjang runway perencanaan:
Lr = ARFL × Ft × Fe × Fs ± Fa
Dimana: Lr = Panjang rencana runway
46

ARFL= Runway minimum yang dibutuhkan


Ft = Faktor koreksi temperature
Fe = Faktor koreksi elevasi
Fs = Faktor koreksi kemiringan
Fa = Faktor koreksi angin

3.6 Perhitungan Lebar Komponen Runway


Lebar perkerasan komponen runway tidak boleh kurang dari tabel yang
tercantum pada Tabel 3.7, Tabel 3.8, dan Tabel 3.9.
Tabel 3.7 Klasifikasi Bandar Udara

Panjang
Tanda kode Panjang landasan (ft)
landasan (m)
A >7000 >2133
B 5000-7000 1524-2133
C 3000-5000 914-1524
D 2500-3000 762-914
E 2000-2500 610-762
(Sumber: Horonjeff, 1993)

Tabel 3.8 Standar Dimensi Landasan Kategori C, D, dan E


Airplane Design Group
I II III IV V VI
Runway Width 100 100 100 150 150 200
Shoulder Width 10 10 20 25 35 40
Blast Pad Width 120 120 140 200 220 280
Lenght 100 150 200 200 400 400
Safety Area Width 500 500 500 500 500 500
Lenght 1000 1000 1000 1000 1000 1000
Object-Free Area 800 800 800 800 800 800
Width Lenght 1000 1000 1000 1000 1000 1000
Obstacle-Free Zone 400 400 400 400 400 400
200 200 200 200 200 200
(Sumber: Horonjeff, 1993)

Tabel 3.9 Lebar Landasan Pacu


Aerodrome Code Letter
A B C D E
Pavement Width
Aerodrome Code Number
47

Tabel 3.9 Lanjutan


Aerodrome Code Letter
A B C D E
1 18 18 23
2 23 23 30
3 30 30 30 45
4 45 45 45
Pavement and Shoulder Width 60 60 60
(Sumber: Horonjeff, 1993)

3.7 Perhitungan Dimensi Apron


Dalam menentukan dimensi apron harus mengacu pada tabel yang tercantum
pada Tabel 3.10 dan 3.11.
Tabel 3.10 Wing Span Clearance (c)
Code Letter Aircraft Wing Span Clearance
A Up to but including 15 m (49 ft) 3,0 m (10 ft)
B 15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft) 3,0 m (10 ft)
C 24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft) 4,5 m (15 ft)
D 36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft) 7,5 m (25 ft)
E 52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft) 7,5 m (25 ft)
(Sumber: Basuki 1986)

Tabel 3.11 Posisi Parkir Pesawat – Jarak Pemisah Minimun


Dari ujung sayap
Kode hrurf
Dari garis tengah aircraft pesawat udara pada
untuk Dari garis tengah
parking position taxiline aircraft parking position
pesawat apron ke objek
ke objek ke objek
udara

A 12,0 m 16,25 m 3,0 m

B 16,5 m 21,5 m 3,0 m

C 24,5 m 26,0 m 4,5 m

D 36,0 m 40,5 m 7,5 m


48

Tabel 3.11 Lanjutan


Dari ujung sayap
Kode hrurf
Dari garis tengah aircraft pesawat udara pada
untuk Dari garis tengah
parking position taxiline aircraft parking position
pesawat apron ke objek
ke objek ke objek
udara

E 42,5 m 47,5 m 7,5 m

F 50,5 m 57,5 m 7,5 m

*Jarak pemisah minimum adalah 10 meter jika menggunakan parker bebas (free moving)

(Sumber: Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara Nomor: KP 29 Tahun 2014)

Anda mungkin juga menyukai