a. Classical Conditioning
Contoh kasus :
Saya pernah mendaftarkan diri untuk kegiatan X di sebuah acara yang akan diadakan di sekolah
saya. Tetapi saya gagal dan dikritik.Hal itu membuat saya malu dan rendah diri pada kemampuan
saya sehingga akhirnya saya menghubungkan kegiatan X dengan rasa malu dan rendah diri.
Dari kasus diatas maka dapat diuraikan bahwa kesempatan X merupakan condiotioned
stimulus (CS) karena kesempatan X menghasilkan conditioned response (CR) yaitu rasa malu
dan rendah diri setelah diasosiasikan dengan kritikan (unconditioned stimulus). Sedangkan
kegagalan disebut sebagai unconditioned response (UR) hasil dari unconditioned stimulus (US).
b. Operant Conditioning
Dalam kondisi operan terdapat 3 cara mengubah perilaku seseorang dimasa depan untuk
menghasilkan konsekuensi yang diinginkan dan tak diinginkan, yaitu :
Contoh.Kasus:
Ketika saya duduk di kelas 1 SMP, saya memiliki teman laki-laki yang sangat nakal dan
suka mengganggu anak-anak lain saat sedang belajar. Hal tersebut sangat mengganggu
konsentrasi guru saya ketika sedang menerangkan pelajaran sehingga ia memberikan punishment
(hukuman) pada teman laki-laki saya tersebut bila dia ketahuan sedang mengusili anak-anak lain
yang sedang memperhatikan pelajaran dengan berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai.
Hukuman itu sangat membuatnya malu dan ini berlangsung hampir seminggu. Tetapi hasilnya
sangat efektif karena keusilan teman saya tersebut lambat laun telah berkurang, yang semula
mengganggu semua teman yang disekitarnya, minggu berikutnya dia hanya mengobrol sebatas
dengan teman
sebangkunya.
Teori kognitif sosial menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif dan juga faktor
perilaku, memainkan peran penting dalam pembelajaran.Albert Bandura adalah salah satu
perancang utama teori kognitif sosial.Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
mempresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif.
Pembelajaran Observasional
Pembelajaran ini juga dinamakan imitasi atau modelling yaitu pembelajaran yang
dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini dapat
terlihat dalam studi boneka Bobo klasik yang dilakukan oleh Bandura.Dalam eksperimennya
Bandura mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati
model yang bukan sebagai penguat atau penghukum.
Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan untuk melihat tiga film
dimana ada seorang (model) sedang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang
dinamakan boneka Bobo. Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan
dan dipuji karena melakukan tindakan agresif.Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan
ditampar karena bertindak agresif.Dalam di film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si
penyerang boneka.Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri di dalam sebuah ruangan
penuh mainan, termasuk boneka Bobo.Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Anak
yang menonton film pertama dan ketiga dimana penyerang diperkuat atau tidak dihukum apa pun
lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan film kedua yaitu
menyaksikan si penyerang dihukum. Poin penting yang pertama dalam studi ini adalah bahwa
pembelajaran observasional (modelling) terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif
diperkuat maupun tidak diperkuat. Sedangkan poin penting kedua dalam studi ini difokuskan
pada perbedaan antara pembelajaran dan kinerja.Karena murid tidak melakukan respon bukan
berarti mereka tidak mempelajarinya.Sebab ketika anak yang menonton film pertama, kedua dan
ketiga diberi insentif (penguat) berupa stiker dan jus buah agar mereka meniru model, ternyata
perbedaan perilaku anak dalam tiga kondisi itu hilang.
a. Atensi (perhatian), sebelum murid dapat meniru tindakan model, mereka harus
memperhatikan apa yang dilakukan atau dikatakan si model sehingga model harus
memiliki sejumlah karakteristik agar dapat diperhatikan oleh murid seperti orang yang
hangat, kuat dan ramah. Murid juga lebih mungkin memperhatikan model berstatus
tinggi ketimbang model berstatus rendah.Contohnya guru, guru merupakan model
berstatus tinggi dimata murid.
b. Retensi, untuk meniru tindakan dari model maka murid harus dapat menyimpannya di
dalam ingatan (memori). Retensi murid akan meningkat jika model atau guru
memberikan demonstrasi atau contoh yang hidup dan jelas.
c. Produksi, anak mungkin memperhatikan model dan mengingat apa yang mereka lihat,
tetapi karena keterbatasan dan kemampuan geraknya, mereka tidak bisa meniru perilaku
model. Misalnya seorang anak 13 tahun yang menyaksikan pemain basket Michael
Jordan yang melakukan shoot dengan sempurna. Tetapi anak itu tidak mampu meniru
apa yang dilakukan model tersebut sehingga diperlukan belajar, berlatih dan berusaha
dapat membantu murid untuk meningkatkan kinerja motor mereka.
d. Motivasi, meski anak memperhatikan, mengingat dan memiliki kemampuan untuk dapat
meniru tindakan model, tetapi sering kali tidak termotivasi untuk melakukannya. Ini
terlihat dalam studi boneka Bobo, anak yang menonton film kedua yaitu melihat model
yang dihukum akhirnya tidak meniru tindakan agresif si model. Tetapi setelah mereka
diberi insentif (stiker dan jus buah), mereka melakukan apa yang dilakukan model.
Contoh kasus :
Seorang guru menggunakan model untuk mengembangkan minat siswa pada buku-buku
sastra dalam bahasa inggris.Dia duduk di kelas membaca sebuah buku yang menarik ketika siswa
masuk kelas.Kadang-kadang dia tertawa, tersenyum, tertawa terbahak-bahak, cemberut, atau
menunjukkan tingkah laku yang membuat orang tertarik untuk membaca. Guru memperkuat
minat siswa dengan mengatakan kepada siswa tentang buku yang sedang dibacanya dan sedikit
membacakan beberapa kalimat yang menarik dan lucu. Dia juga menyuruh siswa untuk
menceritakan tentang buku yang pernah dibaca baru-baru ini. Guru bahasa inggris ini tidak
hanya berbicara tentang senangnya membaca buku, tetapi mendemonstrasikan kesenangannya itu
di muka kelas.
1.Generalisasi.
Generalisasi adalah kecendrungan dari stimulus baru yang mirip dengan CS untuk
menghasilkan respon yang sama.
a. Setelah pengkondisian terhadap stimulus, terjadi keefektifan dan tidak terbatas pada
stimulus itu saja.
b. Ketika suatu stimulus menjadi kurang mirip dengan yang digunakan pada awalnya, maka
kemampuan untuk menghasilkan respon akan berkurang.
2. Diskriminasi.
Diskriminasi yaitu peresponan terhadap stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus
lainnya.Dalam eksperimen Pavlov, Pavlov memberi makan anjing setelah bel berbunyi dan tidak
memberi makan setelah membunyikan suara lainnya.Akibatnya anjing hanya merespon suara
bel.
3. Pelenyapan (extinction)
Dalam proses belajar yang mengikuti prinsip trial-error ini, ada beberapa hukum yang
dikemukakan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 1997) :
Intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) sangat dipengaruhi oleh
konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka
perilaku akan diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka
perilaku akan melemah. Namun, Thorndike merevisi hukum ini setelah tahun 1930. Menurut
Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat
perilaku dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah
perilaku (Elliot, 1999). Dengan kata lain, reward akan meningkatkan perilaku, tetapi punishment
belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilaku.
1. Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan
atau berulang-ulang.
2. Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak
dilatih atau dilakukan berulang-ulang.
Akan tetapi, setelah tahun 1930, Thorndike mencabut hukum ini.Thorndike menyadari
bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Menurut Thorndike,
perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan reinforcement.
Latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari
konsekuensi perilakunya (Elliot, 1999).
Thorndike berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu hal akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya (Leffrancois,
2000). Jika individu dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka individu akan merasa puas.
Sebaliknya, jika individu dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka
individu akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi (Hergenhahn & Olson, 1997).
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam
Operant Conditioning atau pengkondisian operan. Operant Conditioning adalah bentuk
pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan diulangi (Santrock, 2007).
a. Reinforcement positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana
frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang menyenangkan.
b. Reinforcement negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi
perilaku akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak
menyenangkan.
Reinforcement, baik positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
(McCown, dkk., 1996) :
2. Punishment (hukuman)
Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik dan psikis. Beberapa format
hukuman yang efektif dalam mengurangi perilaku yang bermasalah adalah:
a. Secara Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan
perilaku yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional.
b. Secara Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.
Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut, reinforcement dianggap memiliki
pengaruh yang lebih kuat dalam membentuk perilaku yang diinginkan.Namun, reinforcement
sebaiknya diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu.
a. Continuous Reinforcement
yaitu reinforcement yang tidak diberikan pada setiap respon benar, tetapi bervariasi menurut
2 kategori :
Memilih reinforcement yang paling tepat merupakan hal yang penting karena tidak semua
penguat akan mempunyai efek yang sama bagi setiap siswa. Guru sebaiknya mencari tahu
reinforcement apa yang paling efektif untuk masing-masing siswa. Misalnya, untuk seorang
siswa diberikan pujian, sedangkan untuk siswa lain diberi hadiah. David Premack menemukan
prinsip yang menyatakan bahwa aktivitas yang berprobabilitas tinggi dapat digunakan sebagai
penguat aktivitas berprobabilitas rendah (Henson & Eller, 1999).Misalnya, guru ingin
membiasakan siswa untuk memakan sayuran di menu makan siang mereka.Ketika siswa berhasil
menghabiskan sayuran yang ada di piringnya, kemudian guru memberikan segelas es krim
kesukaan siswa.
Reinforcement akan lebih efektif jika diberikan tepat waktu, segera setelah siswa
melakukan perilaku yang diinginkan. Hal ini akan membuat siswa mampu membuat hubungan
kontingensi imbalan dan perilaku mereka (Santrock, 2007).
d. Menggunakan prompt, shaping, dan chaining
Prompt (dorongan) adalah stimulus atau isyarat tambahan yang diberikan sebelum
respons dan meningkatkan kemungkinan respon itu akan terjadi (Leffrancois, 2000). Dapat
berupa dorongan verbal maupun non-verbal.
Shaping adalah suatu prosedur dimana perilaku yang secara berturut-turut mirip dengan
perilaku sasaran akan diperkuat (McCown, dkk., 1996). Shaping sangat diperlukan karena
banyak perilaku baru yang sifatnya kompleks sehingga harus dipelajari secara bertahap.
Chaining adalah stimulus tambahan yang yang diberikan untuk memperkuat perilaku
sasaran dengan cara membagi perilaku menjadi beberapa bagian kecil (McCown, dkk., 1996).
Extinction dapat digunakan untuk menghentikan perilaku yang tidak tepat atau tidak
pantas (Henson & Eller, 1999).Seringkali suatu perilaku yang tidak tepat justru secara tidak
sengaja dipertahankan, yaitu dengan adanya perhatian.Extincion dapat diberikan sepanjang
perilaku yang dilakukan siswa bukan perilaku yang merusak secara berlebihan.
Penghilangan positive reinforcement ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Elliot, 1999) :
Dalam penerapannya, sebaiknya time–out dan response cost harus diiringi dengan strategi untuk
meningkatkan perilaku positif murid.
Prinsip dasar hukuman adalah menurunkan perilaku yang tidak tepat atau tidak
diinginkan. Hukuman akan lebih efektif dilakukan jika sebelumnya didahului dengan peringatan
dan digunakan untuk mengkomunikasikan kepada siswa, perilaku apa yang salah atau tidak tepat
(Azrin & Holz; Walters & Grusec, dalam Henson & Eller, 1999). Namun, hukuman sebaiknya
tidak sering diberikan karena memiliki sisi atau dampak negatif. Suatu penelitian juga
menemukan bahwa ketika orang tua menggunakan tamparan untuk mendisiplinkan anak mereka
saat masih berusia 4 atau 5 tahun, tamparan itu justru meningkatkan perilaku bermasalah
(McLoyd & Smith dalam Santrock, 2007).
Teori ini berkembang dari teori behavioral tetapi lebih mengarah ke aspek kognitif
(Schunk, 2000)
Teori kognitif sosial ( social cognit1ive theory) menyatakan bahw faktor sosial dan
kognitif dan juga faktor perilku, memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif
bisa berupa ekspetasi murid untuk meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin mencakup
pengamatan murid terhadap perilaku orang tuanya.
Albert Bandura (1986, 1997, 2000, 2001) adalah arsitek utama teori kognitif sosial
model determinisme resiprokal
2.Pembelajaran Observasional