Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial

A. Pendekatan Ilmu Perilaku

Pendekatan Perilaku merupakan pendekatan tingkah laku yang subjek masalahnya


berfokus pada segala sesuatu yang dapat diamati secara langsung bukan pada proses mental
seperti penalaran, perasaan dan motif-motif yang tidak dapat diamati secara langsung.
Pendekatan perilaku ini lebih menekankan pada assosiative learning yaitu pembelajaran dalam
membuat suatu asosiasi atau hubungan baru dari dua peristiwa yang berbeda.

Para ahli psikologi membedakan dua bentuk belajar asosiatif, yaitu :

a. Classical Conditioning

Classical conditioning pertama kali diperkenalkan oleh Ivan P. Pavlov (1849 –


1936).Classical conditioning merupakan sebentuk pembelajaran asosiatif dimana stimulus netral
menjadi diasosiasikan dengan stimulus bermakna dan menimbulkan kemampuan untuk
mengeluarkan respon yang serupa.

4 kunci penting dalam memahami teori classical conditioning, yaitu :


1. Unconditioned Stimulus (US), stimulus yang secara alami dapat menimbulkan respon tertentu
tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu
2. Unconditioned Response (UR), sebuah respon yang tidak dipelajari dan secara otomatis
dihasilkan oleh unconditioned stimulus (US)
3. Conditioned Stimulus (CS), stimulus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan
conditioned response setelah diasosiasikan dengan unconditioned stimulus (US)
4. Conditioned Respon (CR), respon yang dipelajari, yakni respon terhadap stimulus yang
terkondisikan yang muncul setelah terjadi unconditioned stimulus – conditioned stimulus (US
– CS)

Pengkondisian klasik juga melibatkan generalisasi, diskriminasi dan pelenyapan.


Generalisasi adalah kecenderungan dari suatu stimulus yang baru yang sama dengan stimulus
yang terkondisikan orisinal untuk menghasilkan respon yang serupa.
Diskriminasi terjadi ketika organisme merespon pada stimuli tertentu, tetapi tidak pada
stimuli lainnya. Pelenyapan adalah pelemahan conditioned response (CR) karena tidak ada
unconditioned stimulus (US).

Contoh kasus :

Saya pernah mendaftarkan diri untuk kegiatan X di sebuah acara yang akan diadakan di sekolah
saya. Tetapi saya gagal dan dikritik.Hal itu membuat saya malu dan rendah diri pada kemampuan
saya sehingga akhirnya saya menghubungkan kegiatan X dengan rasa malu dan rendah diri.

Dari kasus diatas maka dapat diuraikan bahwa kesempatan X merupakan condiotioned
stimulus (CS) karena kesempatan X menghasilkan conditioned response (CR) yaitu rasa malu
dan rendah diri setelah diasosiasikan dengan kritikan (unconditioned stimulus). Sedangkan
kegagalan disebut sebagai unconditioned response (UR) hasil dari unconditioned stimulus (US).

b. Operant Conditioning

Operant conditioning adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi


dari perilaku menghasilkan perubahan dalam kemungkinan perilaku itu akan diulangi lagi.
Operant conditioning diperkenalkan oleh B. F. Skinner yang pandangannya didasarkan pada
pandangan E. L. Thorndike.

Dalam kondisi operan terdapat 3 cara mengubah perilaku seseorang dimasa depan untuk
menghasilkan konsekuensi yang diinginkan dan tak diinginkan, yaitu :

1. Positive reinforcement (penguat positif), penguat yang bersifat menyenangkan


dan dapat berguna untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan oleh si penguat
(reinforcer)
2. Negative reinforcement (penguat negatif), suatu bentuk penguat untuk
memperkuat perilaku yang diinginkan dengan menghilangkan konsekuensi yang
tidak menyenangkan dan yang melakukan penghilangan adalah individu itu
sendiri
3. Punishment (hukuman), sebuah konsekuensi negatif yang diberikan dengan tujuan
untuk mengurangi perilaku yang tidak diinginkan
Dalam pengkondisian operan juga terdapat generalisasi, diskriminasi dan pelenyapan.
Generalisasi berarti memberi respon yang sama untuk stimuli yang sama. Diskriminasi adalah
membedakan diantara stimuli atau kejadian lingkungan.Pelenyapan terjadi saat respon penguat
sebelumnya tidak lagi diperkuat dan responnya menurun.

Contoh.Kasus:

Ketika saya duduk di kelas 1 SMP, saya memiliki teman laki-laki yang sangat nakal dan
suka mengganggu anak-anak lain saat sedang belajar. Hal tersebut sangat mengganggu
konsentrasi guru saya ketika sedang menerangkan pelajaran sehingga ia memberikan punishment
(hukuman) pada teman laki-laki saya tersebut bila dia ketahuan sedang mengusili anak-anak lain
yang sedang memperhatikan pelajaran dengan berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai.
Hukuman itu sangat membuatnya malu dan ini berlangsung hampir seminggu. Tetapi hasilnya
sangat efektif karena keusilan teman saya tersebut lambat laun telah berkurang, yang semula
mengganggu semua teman yang disekitarnya, minggu berikutnya dia hanya mengobrol sebatas
dengan teman

sebangkunya.

B. Pendekatan Kognitif Sosial

Teori kognitif sosial menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif dan juga faktor
perilaku, memainkan peran penting dalam pembelajaran.Albert Bandura adalah salah satu
perancang utama teori kognitif sosial.Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
mempresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif.

Pembelajaran Observasional

Pembelajaran ini juga dinamakan imitasi atau modelling yaitu pembelajaran yang
dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini dapat
terlihat dalam studi boneka Bobo klasik yang dilakukan oleh Bandura.Dalam eksperimennya
Bandura mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati
model yang bukan sebagai penguat atau penghukum.
Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan untuk melihat tiga film
dimana ada seorang (model) sedang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang
dinamakan boneka Bobo. Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan
dan dipuji karena melakukan tindakan agresif.Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan
ditampar karena bertindak agresif.Dalam di film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si
penyerang boneka.Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri di dalam sebuah ruangan
penuh mainan, termasuk boneka Bobo.Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Anak
yang menonton film pertama dan ketiga dimana penyerang diperkuat atau tidak dihukum apa pun
lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan film kedua yaitu
menyaksikan si penyerang dihukum. Poin penting yang pertama dalam studi ini adalah bahwa
pembelajaran observasional (modelling) terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif
diperkuat maupun tidak diperkuat. Sedangkan poin penting kedua dalam studi ini difokuskan
pada perbedaan antara pembelajaran dan kinerja.Karena murid tidak melakukan respon bukan
berarti mereka tidak mempelajarinya.Sebab ketika anak yang menonton film pertama, kedua dan
ketiga diberi insentif (penguat) berupa stiker dan jus buah agar mereka meniru model, ternyata
perbedaan perilaku anak dalam tiga kondisi itu hilang.

Model pembelajaran observasional kontemporer Bandura, memfokuskan pada proses


spesifik yang terlibat dalam pembelajaran observasional, yaitu :

a. Atensi (perhatian), sebelum murid dapat meniru tindakan model, mereka harus
memperhatikan apa yang dilakukan atau dikatakan si model sehingga model harus
memiliki sejumlah karakteristik agar dapat diperhatikan oleh murid seperti orang yang
hangat, kuat dan ramah. Murid juga lebih mungkin memperhatikan model berstatus
tinggi ketimbang model berstatus rendah.Contohnya guru, guru merupakan model
berstatus tinggi dimata murid.
b. Retensi, untuk meniru tindakan dari model maka murid harus dapat menyimpannya di
dalam ingatan (memori). Retensi murid akan meningkat jika model atau guru
memberikan demonstrasi atau contoh yang hidup dan jelas.
c. Produksi, anak mungkin memperhatikan model dan mengingat apa yang mereka lihat,
tetapi karena keterbatasan dan kemampuan geraknya, mereka tidak bisa meniru perilaku
model. Misalnya seorang anak 13 tahun yang menyaksikan pemain basket Michael
Jordan yang melakukan shoot dengan sempurna. Tetapi anak itu tidak mampu meniru
apa yang dilakukan model tersebut sehingga diperlukan belajar, berlatih dan berusaha
dapat membantu murid untuk meningkatkan kinerja motor mereka.
d. Motivasi, meski anak memperhatikan, mengingat dan memiliki kemampuan untuk dapat
meniru tindakan model, tetapi sering kali tidak termotivasi untuk melakukannya. Ini
terlihat dalam studi boneka Bobo, anak yang menonton film kedua yaitu melihat model
yang dihukum akhirnya tidak meniru tindakan agresif si model. Tetapi setelah mereka
diberi insentif (stiker dan jus buah), mereka melakukan apa yang dilakukan model.

Contoh kasus :

Seorang guru menggunakan model untuk mengembangkan minat siswa pada buku-buku
sastra dalam bahasa inggris.Dia duduk di kelas membaca sebuah buku yang menarik ketika siswa
masuk kelas.Kadang-kadang dia tertawa, tersenyum, tertawa terbahak-bahak, cemberut, atau
menunjukkan tingkah laku yang membuat orang tertarik untuk membaca. Guru memperkuat
minat siswa dengan mengatakan kepada siswa tentang buku yang sedang dibacanya dan sedikit
membacakan beberapa kalimat yang menarik dan lucu. Dia juga menyuruh siswa untuk
menceritakan tentang buku yang pernah dibaca baru-baru ini. Guru bahasa inggris ini tidak
hanya berbicara tentang senangnya membaca buku, tetapi mendemonstrasikan kesenangannya itu
di muka kelas.

C. Pendekatan Perilaku terhadap Pembelajaran

Teori Belajar di dalam Perilaku

1. Classical Conditioning (Pengkondisian Klasik)

Classical Conditioning dipopulerkan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936).Istilah ini sering


juga disebut dengan “Respondent Conditioning” atau “Pavlovian Conditioning”.Classical
Conditioning adalah tipe pembelajaran dimana seseorang belajar untuk mengkaitkan atau
mengasosiasikan stimulus (Santrock, 2007).
Pavlov mengemukakan beberapa prinsip dalam classical conditioning, yaitu:

1.Generalisasi.

Generalisasi adalah kecendrungan dari stimulus baru yang mirip dengan CS untuk
menghasilkan respon yang sama.

Ada 2 fakta generalisasi yang perlu diperhatikan (Elliot, 1999):

a. Setelah pengkondisian terhadap stimulus, terjadi keefektifan dan tidak terbatas pada
stimulus itu saja.
b. Ketika suatu stimulus menjadi kurang mirip dengan yang digunakan pada awalnya, maka
kemampuan untuk menghasilkan respon akan berkurang.

2. Diskriminasi.

Diskriminasi yaitu peresponan terhadap stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus
lainnya.Dalam eksperimen Pavlov, Pavlov memberi makan anjing setelah bel berbunyi dan tidak
memberi makan setelah membunyikan suara lainnya.Akibatnya anjing hanya merespon suara
bel.

3. Pelenyapan (extinction)

Dalam classical conditioning, pelenyapan berarti pelemahan Conditioned Response (CR)


karena tidak adanya Conditioned Stimulus (CS) (Santrock, 2007).Dalam eksperimennya, Pavlov
mendapati bahwa dengan memperdengarkan bunyi bel saja (tanpa makanan) anjing tidak lagi
mengeluarkan air liur.

2. Operant Conditioning (Pengkondisian Operan)

Operant Conditioning dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904 – 1990).Operant Conditioning


dinamakan juga Instrumental Conditioning.Pemikiran Skinner awalnya didasarkan dari
pandangan E.L Thorndike.
Prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, dengan teori
Stimulus-Respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali
organisme belajar dengan cara mencoba-coba (trial and error). Thorndike juga berpendapat
bahwa belajar terjadi secara perlahan, bukan secara tiba-tiba.Belajar terjadi secara incremental
(bertahap), bukan secara insightful (Hergenhahn & Olson, 1997). Jika organisme berada dalam
suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serangkaian
tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu.
Individu mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan tingkah laku tertentu.

Dalam proses belajar yang mengikuti prinsip trial-error ini, ada beberapa hukum yang
dikemukakan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 1997) :

a. Hukum efek (The Law of Effect)

Intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) sangat dipengaruhi oleh
konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka
perilaku akan diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka
perilaku akan melemah. Namun, Thorndike merevisi hukum ini setelah tahun 1930. Menurut
Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat
perilaku dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah
perilaku (Elliot, 1999). Dengan kata lain, reward akan meningkatkan perilaku, tetapi punishment
belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilaku.

b. Hukum latihan (The Law of Exercise)

Pada awalnya, hukum ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:

1. Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan
atau berulang-ulang.
2. Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak
dilatih atau dilakukan berulang-ulang.

Akan tetapi, setelah tahun 1930, Thorndike mencabut hukum ini.Thorndike menyadari
bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Menurut Thorndike,
perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan reinforcement.
Latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari
konsekuensi perilakunya (Elliot, 1999).

c. Hukum kesiapan (The Law of Readiness)

Thorndike berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu hal akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya (Leffrancois,
2000). Jika individu dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka individu akan merasa puas.
Sebaliknya, jika individu dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka
individu akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi (Hergenhahn & Olson, 1997).

Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam
Operant Conditioning atau pengkondisian operan. Operant Conditioning adalah bentuk
pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan diulangi (Santrock, 2007).

Operant Conditioning juga memiliki beberapa prinsip, yaitu :

1. Reinforcement (penguat atau imbalan)

Reinforcement adalah konsekuensi yang akan meningkatkan probabilitas suatu perilaku


terjadi lagi (McCown, Drescol, & Roop, 1996). Ada dua bentuk reinforcement :

a. Reinforcement positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana
frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang menyenangkan.
b. Reinforcement negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi
perilaku akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak
menyenangkan.

Reinforcement, baik positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
(McCown, dkk., 1996) :

a. Primary reinforcement, yaitu stimulus yang berupa pemenuhan kebutuhan biologis


yang sifatnya tanpa perlu dipelajari.
b. Secondary reinforcement, yaitu stimulus yang bukan pemenuhan biologis yang
sifatnya harus dipelajari.
c. Pairing, yaitu stimulus yang merupakan gabungan dari primary reinforcement dan
secondary reinforcement. Dengan kata lain, ada dua penghargaan sekaligus yang
diberikan kepada individu.

2. Punishment (hukuman)

Punishment adalah stimulus tidak menyenangkan yang akan menurunkan terjadinya


perilaku (McCown, dkk., 1996). Beberapa perilaku memerlukan suatu perubahan yang sifatnya
segera.Perubahan ini memerlukan suatu tindakan yang terkadang membuat individu merasa
terancam secara fisik dan psikis.Hukuman adalah sesuatu yang mempresentasikan suatu stimulus
baru, yang bagi individu dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan.

Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik dan psikis. Beberapa format
hukuman yang efektif dalam mengurangi perilaku yang bermasalah adalah:

a. Secara Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan
perilaku yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional.
b. Secara Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.

Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut, reinforcement dianggap memiliki
pengaruh yang lebih kuat dalam membentuk perilaku yang diinginkan.Namun, reinforcement
sebaiknya diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu.

Berikut beberapa macam pemberian reinforcement (Leffrancois, 2000):

a. Continuous Reinforcement

yaitu reinforcement yang diberikan pada setiap respon yang benar.

b. Intermitten atau Partial Reinforcement,

yaitu reinforcement yang tidak diberikan pada setiap respon benar, tetapi bervariasi menurut
2 kategori :

1. Pemberian penguatan berdasarkan jumlah respon (ratio schedule)


2. Pemberian penguatan berdasarkan selang waktu (interval schedule).
Waktu pemberian reinforcement dengan ratio atau interval schedule ini masih dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu fixed schedule dan random/variable schedule.

C. Strategi Mengubah Perilaku

Berdasarkan prinsip-prinsip pendekatan behavioral, ada beberapa strategi yang dapat


digunakan untuk mengubah perilaku.Strategi ini berdasarkan dua tujuan dalam mengubah
perilaku.

1. Meningkatkan perilaku yang diharapkan.

a. Memilih reinforcement yang tepat

Memilih reinforcement yang paling tepat merupakan hal yang penting karena tidak semua
penguat akan mempunyai efek yang sama bagi setiap siswa. Guru sebaiknya mencari tahu
reinforcement apa yang paling efektif untuk masing-masing siswa. Misalnya, untuk seorang
siswa diberikan pujian, sedangkan untuk siswa lain diberi hadiah. David Premack menemukan
prinsip yang menyatakan bahwa aktivitas yang berprobabilitas tinggi dapat digunakan sebagai
penguat aktivitas berprobabilitas rendah (Henson & Eller, 1999).Misalnya, guru ingin
membiasakan siswa untuk memakan sayuran di menu makan siang mereka.Ketika siswa berhasil
menghabiskan sayuran yang ada di piringnya, kemudian guru memberikan segelas es krim
kesukaan siswa.

b. Memilih schedule reinforcement yang terbaik

Pemilihan reinforcement yang tepat sebaiknya diiringi dengan pemilihan schedule


reinforcement yang tepat pula. Skinner berpendapat bahwa sebuah reward kecil yang sering
diberikan akan jauh lebih efektif dalam membentuk dan mempertahankan perilaku dibanding
reward besar tetapi jarang diberikan (Leffrancois, 2000).

c. Menjadikan reinforcement kontingen dan tepat waktu

Reinforcement akan lebih efektif jika diberikan tepat waktu, segera setelah siswa
melakukan perilaku yang diinginkan. Hal ini akan membuat siswa mampu membuat hubungan
kontingensi imbalan dan perilaku mereka (Santrock, 2007).
d. Menggunakan prompt, shaping, dan chaining

Prompt (dorongan) adalah stimulus atau isyarat tambahan yang diberikan sebelum
respons dan meningkatkan kemungkinan respon itu akan terjadi (Leffrancois, 2000). Dapat
berupa dorongan verbal maupun non-verbal.

Shaping adalah suatu prosedur dimana perilaku yang secara berturut-turut mirip dengan
perilaku sasaran akan diperkuat (McCown, dkk., 1996). Shaping sangat diperlukan karena
banyak perilaku baru yang sifatnya kompleks sehingga harus dipelajari secara bertahap.

Chaining adalah stimulus tambahan yang yang diberikan untuk memperkuat perilaku
sasaran dengan cara membagi perilaku menjadi beberapa bagian kecil (McCown, dkk., 1996).

2. Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan

a. Menghentikan reinforcement atau melakukan extinction (pelenyapan)

Extinction dapat digunakan untuk menghentikan perilaku yang tidak tepat atau tidak
pantas (Henson & Eller, 1999).Seringkali suatu perilaku yang tidak tepat justru secara tidak
sengaja dipertahankan, yaitu dengan adanya perhatian.Extincion dapat diberikan sepanjang
perilaku yang dilakukan siswa bukan perilaku yang merusak secara berlebihan.

b. Menghilangkan stimulus yang diinginkan.

Penghilangan positive reinforcement ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Elliot, 1999) :

Time out, yaitu individu kehilangan waktunya yang menyenangkan.§

Response cost, yaitu individu dijauhkan dari reinforcement positif.§

Dalam penerapannya, sebaiknya time–out dan response cost harus diiringi dengan strategi untuk
meningkatkan perilaku positif murid.

c. Memberikan stimulus yang tidak disukai (hukuman)

Prinsip dasar hukuman adalah menurunkan perilaku yang tidak tepat atau tidak
diinginkan. Hukuman akan lebih efektif dilakukan jika sebelumnya didahului dengan peringatan
dan digunakan untuk mengkomunikasikan kepada siswa, perilaku apa yang salah atau tidak tepat
(Azrin & Holz; Walters & Grusec, dalam Henson & Eller, 1999). Namun, hukuman sebaiknya
tidak sering diberikan karena memiliki sisi atau dampak negatif. Suatu penelitian juga
menemukan bahwa ketika orang tua menggunakan tamparan untuk mendisiplinkan anak mereka
saat masih berusia 4 atau 5 tahun, tamparan itu justru meningkatkan perilaku bermasalah
(McLoyd & Smith dalam Santrock, 2007).

D. Pendekatan Kognitif Sosial Untuk Pembelajaran

Teori ini berkembang dari teori behavioral tetapi lebih mengarah ke aspek kognitif
(Schunk, 2000)

1.Teori Kognitif Sosial Bandura

Teori kognitif sosial ( social cognit1ive theory) menyatakan bahw faktor sosial dan
kognitif dan juga faktor perilku, memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif
bisa berupa ekspetasi murid untuk meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin mencakup
pengamatan murid terhadap perilaku orang tuanya.

Albert Bandura (1986, 1997, 2000, 2001) adalah arsitek utama teori kognitif sosial
model determinisme resiprokal

Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan.


Menurut Bandura (1997, 2001), faktor person (kognitif) memainkan peran penting (self-efficacy)
yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif.

2.Pembelajaran Observasional

Pembelajaran Observasional Juga dinamakan imitasi atau modeling, adalah pembelajaran


yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Bandura ( 1986)
memfokuskan pada proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran observasional. Proses ini
adalah : atensi (perhatian), retensi, produksi, dan motivasi.

3.Pendekatan Perilaku Kognitif dan Regulasi Diri


Dalam pendekatan perilaku kognitif, penekanannya adalah membuat murid memonitor,
mengelola dan mengatur perilaku mereka sendiri, bukan mengkontrol mereka melalui faktor
eksternal.Di beberapa kalangan ada yang dinamakan modifikasi perilaku kognitif.Pendekatan
perilaku kognitif berasal dari psikologi kognitif, yang menekankan pada efek pikiran terhadap
perilaku, dan behaviorisme, yang menekankan pada teknik mengubah perilaku.

Metode instruksi-diri(self-instructional method) adalah sebuah teknik perilaku kognitif


yang dimaksudkan guna mengajari individu untuk memodifikasi perilaku mereka sendiri.
Metode self-instructional ini membantu orang mengubah apa yang anggapan mereka tentang diri
mereka sendiri.

Pembelajaran Regular Diri.Pembelajaran regular diri adalah memunculkan dan


memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan.Tujuan ini bisa
jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang
baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosioemosional
(mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya).

4.Mengevaluasi Pendekatan Kognitif Sosial

Pendekatan kognitif sosial memberi kontribusi penting untuk mendidik anak.Selain


mempertahankan aroma ilmiah kaum behavioris dan menekankan pada observasi yang cermat,
pendekatan ini juga memperluas penekanan pembelajaran sampai ke fakror kognitif dan sosial.
Pembelajaran dilakukan dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten dan
kemudian meniru apa yang mereka lakukan.

Anda mungkin juga menyukai