Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Landasan Teori

Pendekatan Perilaku merupakan pendekatan tingkah laku yang subjek masalahnya berfokus pada
segala sesuatu yang dapat diamati secara langsung bukan pada proses mental seperti penalaran,
perasaan dan motif-motif yang tidak dapat diamati secara langsung. Pendekatan perilaku ini
lebih menekankan pada assosiative learning yaitu pembelajaran dalam membuat suatu asosiasi
atau hubungan baru dari dua peristiwa yang berbeda.

Teori kognitif sosial menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif dan juga faktor perilaku,
memainkan peran penting dalam pembelajaran. Albert Bandura adalah salah satu perancang
utama teori kognitif sosial. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
mempresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif.

Pendekatan pemrosesan informasi merupakan pendekatan kognitif dimana anak mengolah


informasi , memonitornya dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Inti dari
pendekatan ini adalah proses memori dan proses berpikir (thinking). Menurut pendekatan
pemrosesan informasi, anak-anak berkembang secara berangsur-angsur menambah kemampuan
memproses informasi yang mana memberikan mereka pengetahuan dan keterampilan yang
kompleks.

1.2 Rumusan Masalah

1. apakah yang dimaksud pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial?

2. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan ilmu perilaku dalam pembelajaran?

3. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kognitif sosial dalam pembelajara ?

4. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan pemrosesan informasi?

5. Apakah yang dimaksud dengan Perhatian,memori,keahlian dan metakognisi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial
2. Untuk mengeahui Apakah yang dimaksud dengan pendekatan ilmu perilaku dalam
pembelajaran

3. Untuk mengetahui Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kognitif sosial dalam
pembelajara

4. Untuk mengetahui Apakah yang dimaksud dengan pendekatan pemrosesan informasi

5. Untuk mengetahui Apakah yang dimaksud dengan Perhatian,memori,keahlian dan


metakognisi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial

2.1.1 Pendekatan Ilmu Perilaku

Pendekatan Perilaku merupakan pendekatan tingkah laku yang subjek masalahnya berfokus pada
segala sesuatu yang dapat diamati secara langsung bukan pada proses mental seperti penalaran,
perasaan dan motif-motif yang tidak dapat diamati secara langsung. Pendekatan perilaku ini
lebih menekankan pada assosiative learning yaitu pembelajaran dalam membuat suatu asosiasi
atau hubungan baru dari dua peristiwa yang berbeda.

Para ahli psikologi membedakan dua bentuk belajar asosiatif, yaitu :

a. Classical Conditioning

Classical conditioning pertama kali diperkenalkan oleh Ivan P. Pavlov (1849 – 1936). Classical
conditioning merupakan sebentuk pembelajaran asosiatif dimana stimulus netral menjadi
diasosiasikan dengan stimulus bermakna dan menimbulkan kemampuan untuk mengeluarkan
respon yang serupa.

4 kunci penting dalam memahami teori classical conditioning, yaitu :

1. Unconditioned Stimulus (US), stimulus yang secara alami dapat menimbulkan respon tertentu
tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu

2. Unconditioned Response (UR), sebuah respon yang tidak dipelajari dan secara otomatis
dihasilkan oleh unconditioned stimulus (US)
3. Conditioned Stimulus (CS), stimulus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan
conditioned response setelah diasosiasikan dengan unconditioned stimulus (US)

4. Conditioned Respon (CR), respon yang dipelajari, yakni respon terhadap stimulus yang
terkondisikan yang muncul setelah terjadi unconditioned stimulus – conditioned stimulus (US –
CS)

Pengkondisian klasik juga melibatkan generalisasi, diskriminasi dan pelenyapan. Generalisasi


adalah kecenderungan dari suatu stimulus yang baru yang sama dengan stimulus yang
terkondisikan orisinal untuk menghasilkan respon yang serupa. Diskriminasi terjadi ketika
organisme merespon pada stimuli tertentu, tetapi tidak pada stimuli lainnya. Pelenyapan adalah
pelemahan conditioned response (CR) karena tidak ada unconditioned stimulus (US).

Contoh kasus :

Saya pernah mendaftarkan diri untuk kegiatan X di sebuah acara yang akan diadakan di sekolah
saya. Tetapi saya gagal dan dikritik. Hal itu membuat saya malu dan rendah diri pada
kemampuan saya sehingga akhirnya saya menghubungkan kegiatan X dengan rasa malu dan
rendah diri.

Dari kasus diatas maka dapat diuraikan bahwa kesempatan X merupakan condiotioned stimulus
(CS) karena kesempatan X menghasilkan conditioned response (CR) yaitu rasa malu dan rendah
diri setelah diasosiasikan dengan kritikan (unconditioned stimulus). Sedangkan kegagalan
disebut sebagai unconditioned response (UR) hasil dari unconditioned stimulus (US).

b. Operant Conditioning

Operant conditioning adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari


perilaku menghasilkan perubahan dalam kemungkinan perilaku itu akan diulangi lagi. Operant
conditioning diperkenalkan oleh B. F. Skinner yang pandangannya didasarkan pada pandangan
E. L. Thorndike.

Dalam kondisi operan terdapat 3 cara mengubah perilaku seseorang dimasa depan untuk
menghasilkan konsekuensi yang diinginkan dan tak diinginkan, yaitu :

1. Positive reinforcement (penguat positif), penguat yang bersifat menyenangkan dan dapat
berguna untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan oleh si penguat (reinforcer)

2. Negative reinforcement (penguat negatif), suatu bentuk penguat untuk memperkuat perilaku
yang diinginkan dengan menghilangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan dan yang
melakukan penghilangan adalah individu itu sendiri

3. Punishment (hukuman), sebuah konsekuensi negatif yang diberikan dengan tujuan untuk
mengurangi perilaku yang tidak diinginkan
Dalam pengkondisian operan juga terdapat generalisasi, diskriminasi dan pelenyapan.
Generalisasi berarti memberi respon yang sama untuk stimuli yang sama. Diskriminasi adalah
membedakan diantara stimuli atau kejadian lingkungan. Pelenyapan terjadi saat respon penguat
sebelumnya tidak lagi diperkuat dan responnya menurun.

Contoh.Kasus:

Ketika saya duduk di kelas 1 SMP, saya memiliki teman laki-laki yang sangat nakal dan suka
mengganggu anak-anak lain saat sedang belajar. Hal tersebut sangat mengganggu konsentrasi
guru saya ketika sedang menerangkan pelajaran sehingga ia memberikan punishment (hukuman)
pada teman laki-laki saya tersebut bila dia ketahuan sedang mengusili anak-anak lain yang
sedang memperhatikan pelajaran dengan berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai.
Hukuman itu sangat membuatnya malu dan ini berlangsung hampir seminggu. Tetapi hasilnya
sangat efektif karena keusilan teman saya tersebut lambat laun telah berkurang, yang semula
mengganggu semua teman yang disekitarnya, minggu berikutnya dia hanya mengobrol sebatas
dengan teman

sebangkunya.

2.1.2 Pendekatan Kognitif Sosial

Teori kognitif sosial menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif dan juga faktor perilaku,
memainkan peran penting dalam pembelajaran. Albert Bandura adalah salah satu perancang
utama teori kognitif sosial. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
mempresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif.

Pembelajaran Observasional

Pembelajaran ini juga dinamakan imitasi atau modelling yaitu pembelajaran yang dilakukan
ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini dapat terlihat
dalam studi boneka Bobo klasik yang dilakukan oleh Bandura. Dalam eksperimennya Bandura
mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model
yang bukan sebagai penguat atau penghukum.

Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan untuk melihat tiga film dimana ada
seorang (model) sedang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan
boneka Bobo. Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan dan dipuji
karena melakukan tindakan agresif. Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar karena
bertindak agresif. Dalam di film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si penyerang
boneka. Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri di dalam sebuah ruangan penuh
mainan, termasuk boneka Bobo. Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Anak yang
menonton film pertama dan ketiga dimana penyerang diperkuat atau tidak dihukum apa pun
lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan film kedua yaitu
menyaksikan si penyerang dihukum. Poin penting yang pertama dalam studi ini adalah bahwa
pembelajaran observasional (modelling) terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif
diperkuat maupun tidak diperkuat. Sedangkan poin penting kedua dalam studi ini difokuskan
pada perbedaan antara pembelajaran dan kinerja. Karena murid tidak melakukan respon bukan
berarti mereka tidak mempelajarinya. Sebab ketika anak yang menonton film pertama, kedua dan
ketiga diberi insentif (penguat) berupa stiker dan jus buah agar mereka meniru model, ternyata
perbedaan perilaku anak dalam tiga kondisi itu hilang.

Model pembelajaran observasional kontemporer Bandura, memfokuskan pada proses spesifik


yang terlibat dalam pembelajaran observasional, yaitu :

a. Atensi (perhatian), sebelum murid dapat meniru tindakan model, mereka harus memperhatikan
apa yang dilakukan atau dikatakan si model sehingga model harus memiliki sejumlah
karakteristik agar dapat diperhatikan oleh murid seperti orang yang hangat, kuat dan ramah.
Murid juga lebih mungkin memperhatikan model berstatus tinggi ketimbang model berstatus
rendah. Contohnya guru, guru merupakan model berstatus tinggi dimata murid.

b. Retensi, untuk meniru tindakan dari model maka murid harus dapat menyimpannya di dalam
ingatan (memori). Retensi murid akan meningkat jika model atau guru memberikan demonstrasi
atau contoh yang hidup dan jelas.

c. Produksi, anak mungkin memperhatikan model dan mengingat apa yang mereka lihat, tetapi
karena keterbatasan dan kemampuan geraknya, mereka tidak bisa meniru perilaku model.
Misalnya seorang anak 13 tahun yang menyaksikan pemain basket Michael Jordan yang
melakukan shoot dengan sempurna. Tetapi anak itu tidak mampu meniru apa yang dilakukan
model tersebut sehingga diperlukan belajar, berlatih dan berusaha dapat membantu murid untuk
meningkatkan kinerja motor mereka.

d. Motivasi, meski anak memperhatikan, mengingat dan memiliki kemampuan untuk dapat
meniru tindakan model, tetapi sering kali tidak termotivasi untuk melakukannya. Ini terlihat
dalam studi boneka Bobo, anak yang menonton film kedua yaitu melihat model yang dihukum
akhirnya tidak meniru tindakan agresif si model. Tetapi setelah mereka diberi insentif (stiker dan
jus buah), mereka melakukan apa yang dilakukan model.

Contoh kasus :

Seorang guru menggunakan model untuk mengembangkan minat siswa pada buku-buku sastra
dalam bahasa inggris. Dia duduk di kelas membaca sebuah buku yang menarik ketika siswa
masuk kelas. Kadang-kadang dia tertawa, tersenyum, tertawa terbahak-bahak, cemberut, atau
menunjukkan tingkah laku yang membuat orang tertarik untuk membaca. Guru memperkuat
minat siswa dengan mengatakan kepada siswa tentang buku yang sedang dibacanya dan sedikit
membacakan beberapa kalimat yang menarik dan lucu. Dia juga menyuruh siswa untuk
menceritakan tentang buku yang pernah dibaca baru-baru ini. Guru bahasa inggris ini tidak
hanya berbicara tentang senangnya membaca buku, tetapi mendemonstrasikan kesenangannya itu
di muka kelas.

2.2 Pendekatan Perilaku terhadap Pembelajaran

Teori Belajar di dalam Perilaku

1. Classical Conditioning (Pengkondisian Klasik)

Classical Conditioning dipopulerkan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936). Istilah ini sering juga
disebut dengan “Respondent Conditioning” atau “Pavlovian Conditioning”. Classical
Conditioning adalah tipe pembelajaran dimana seseorang belajar untuk mengkaitkan atau
mengasosiasikan stimulus (Santrock, 2007).

Pavlov mengemukakan beberapa prinsip dalam classical conditioning, yaitu:

1. Generalisasi.

Generalisasi adalah kecendrungan dari stimulus baru yang mirip dengan CS untuk menghasilkan
respon yang sama.

Ada 2 fakta generalisasi yang perlu diperhatikan (Elliot, 1999):

a. Setelah pengkondisian terhadap stimulus, terjadi keefektifan dan tidak terbatas pada stimulus
itu saja.

b. Ketika suatu stimulus menjadi kurang mirip dengan yang digunakan pada awalnya, maka
kemampuan untuk menghasilkan respon akan berkurang.

2. Diskriminasi.

Diskriminasi yaitu peresponan terhadap stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus lainnya.
Dalam eksperimen Pavlov, Pavlov memberi makan anjing setelah bel berbunyi dan tidak
memberi makan setelah membunyikan suara lainnya. Akibatnya anjing hanya merespon suara
bel.

3. Pelenyapan (extinction)

Dalam classical conditioning, pelenyapan berarti pelemahan Conditioned Response (CR) karena
tidak adanya Conditioned Stimulus (CS) (Santrock, 2007). Dalam eksperimennya, Pavlov
mendapati bahwa dengan memperdengarkan bunyi bel saja (tanpa makanan) anjing tidak lagi
mengeluarkan air liur.
2. Operant Conditioning (Pengkondisian Operan)

Operant Conditioning dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904 – 1990). Operant Conditioning
dinamakan juga Instrumental Conditioning. Pemikiran Skinner awalnya didasarkan dari
pandangan E.L Thorndike.

Eksperimen Thorndike:

Prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, dengan teori
Stimulus-Respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali
organisme belajar dengan cara mencoba-coba (trial and error). Thorndike juga berpendapat
bahwa belajar terjadi secara perlahan, bukan secara tiba-tiba. Belajar terjadi secara incremental
(bertahap), bukan secara insightful (Hergenhahn & Olson, 1997). Jika organisme berada dalam
suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serangkaian
tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu.
Individu mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan tingkah laku tertentu.

Dalam proses belajar yang mengikuti prinsip trial-error ini, ada beberapa hukum yang
dikemukakan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 1997) :

a. Hukum efek (The Law of Effect)

Intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari
hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka perilaku akan
diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka perilaku akan
melemah. Namun, Thorndike merevisi hukum ini setelah tahun 1930. Menurut Thorndike, efek
dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku
dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilaku
(Elliot, 1999). Dengan kata lain, reward akan meningkatkan perilaku, tetapi punishment belum
tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilaku.

b. Hukum latihan (The Law of Exercise)

Pada awalnya, hukum ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:

1. Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau
berulang-ulang.

2. Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau
dilakukan berulang-ulang.

Akan tetapi, setelah tahun 1930, Thorndike mencabut hukum ini. Thorndike menyadari bahwa
latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Menurut Thorndike, perilaku
dapat dibentuk dengan menggunakan reinforcement. Latihan berulang tetap dapat diberikan,
tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya (Elliot, 1999).
c. Hukum kesiapan (The Law of Readiness)

Thorndike berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu hal akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya (Leffrancois,
2000). Jika individu dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka individu akan merasa puas.
Sebaliknya, jika individu dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka
individu akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi (Hergenhahn & Olson, 1997).

Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant
Conditioning atau pengkondisian operan. Operant Conditioning adalah bentuk pembelajaran
dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas
perilaku itu akan diulangi (Santrock, 2007).

Operant Conditioning juga memiliki beberapa prinsip, yaitu :

1. Reinforcement (penguat atau imbalan)

Reinforcement adalah konsekuensi yang akan meningkatkan probabilitas suatu perilaku terjadi
lagi (McCown, Drescol, & Roop, 1996). Ada dua bentuk reinforcement :

a. Reinforcement positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana
frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang menyenangkan.

b. Reinforcement negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi
perilaku akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak
menyenangkan.

Reinforcement, baik positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
(McCown, dkk., 1996) :

a. Primary reinforcement, yaitu stimulus yang berupa pemenuhan kebutuhan biologis yang
sifatnya tanpa perlu dipelajari.

b. Secondary reinforcement, yaitu stimulus yang bukan pemenuhan biologis yang sifatnya harus
dipelajari.

c. Pairing, yaitu stimulus yang merupakan gabungan dari primary reinforcement dan secondary
reinforcement. Dengan kata lain, ada dua penghargaan sekaligus yang diberikan kepada individu.

2. Punishment (hukuman)

Punishment adalah stimulus tidak menyenangkan yang akan menurunkan terjadinya perilaku
(McCown, dkk., 1996). Beberapa perilaku memerlukan suatu perubahan yang sifatnya segera.
Perubahan ini memerlukan suatu tindakan yang terkadang membuat individu merasa terancam
secara fisik dan psikis. Hukuman adalah sesuatu yang mempresentasikan suatu stimulus baru,
yang bagi individu dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan.

Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik dan psikis. Beberapa format hukuman
yang efektif dalam mengurangi perilaku yang bermasalah adalah:

a. Secara Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan perilaku
yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional.

b. Secara Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.

Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut, reinforcement dianggap memiliki pengaruh
yang lebih kuat dalam membentuk perilaku yang diinginkan. Namun, reinforcement sebaiknya
diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu. Berikut beberapa macam pemberian reinforcement
(Leffrancois, 2000):

a. Continuous Reinforcement

yaitu reinforcement yang diberikan pada setiap respon yang benar.

b. Intermitten atau Partial Reinforcement,

yaitu reinforcement yang tidak diberikan pada setiap respon benar, tetapi bervariasi menurut 2
kategori :

1. Pemberian penguatan berdasarkan jumlah respon (ratio schedule)

2. Pemberian penguatan berdasarkan selang waktu (interval schedule).

Waktu pemberian reinforcement dengan ratio atau interval schedule ini masih dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu fixed schedule dan random/variable schedule.

B. Strategi Mengubah Perilaku

Berdasarkan prinsip-prinsip pendekatan behavioral, ada beberapa strategi yang dapat digunakan
untuk mengubah perilaku. Strategi ini berdasarkan dua tujuan dalam mengubah perilaku.

1. Meningkatkan perilaku yang diharapkan.

a. Memilih reinforcement yang tepat

Memilih reinforcement yang paling tepat merupakan hal yang penting karena tidak semua
penguat akan mempunyai efek yang sama bagi setiap siswa. Guru sebaiknya mencari tahu
reinforcement apa yang paling efektif untuk masing-masing siswa. Misalnya, untuk seorang
siswa diberikan pujian, sedangkan untuk siswa lain diberi hadiah. David Premack menemukan
prinsip yang menyatakan bahwa aktivitas yang berprobabilitas tinggi dapat digunakan sebagai
penguat aktivitas berprobabilitas rendah (Henson & Eller, 1999). Misalnya, guru ingin
membiasakan siswa untuk memakan sayuran di menu makan siang mereka. Ketika siswa
berhasil menghabiskan sayuran yang ada di piringnya, kemudian guru memberikan segelas es
krim kesukaan siswa.

b. Memilih schedule reinforcement yang terbaik

Pemilihan reinforcement yang tepat sebaiknya diiringi dengan pemilihan schedule reinforcement
yang tepat pula. Skinner berpendapat bahwa sebuah reward kecil yang sering diberikan akan jauh
lebih efektif dalam membentuk dan mempertahankan perilaku dibanding reward besar tetapi
jarang diberikan (Leffrancois, 2000).

c. Menjadikan reinforcement kontingen dan tepat waktu

Reinforcement akan lebih efektif jika diberikan tepat waktu, segera setelah siswa melakukan
perilaku yang diinginkan. Hal ini akan membuat siswa mampu membuat hubungan kontingensi
imbalan dan perilaku mereka (Santrock, 2007).

d. Menggunakan prompt, shaping, dan chaining

- Prompt (dorongan) adalah stimulus atau isyarat tambahan yang diberikan sebelum respons dan
meningkatkan kemungkinan respon itu akan terjadi (Leffrancois, 2000). Dapat berupa dorongan
verbal maupun non-verbal.

- Shaping adalah suatu prosedur dimana perilaku yang secara berturut-turut mirip dengan
perilaku sasaran akan diperkuat (McCown, dkk., 1996). Shaping sangat diperlukan karena
banyak perilaku baru yang sifatnya kompleks sehingga harus dipelajari secara bertahap.

- Chaining adalah stimulus tambahan yang yang diberikan untuk memperkuat perilaku sasaran
dengan cara membagi perilaku menjadi beberapa bagian kecil (McCown, dkk., 1996).

2. Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan

a. Menghentikan reinforcement atau melakukan extinction (pelenyapan)

Extinction dapat digunakan untuk menghentikan perilaku yang tidak tepat atau tidak pantas
(Henson & Eller, 1999). Seringkali suatu perilaku yang tidak tepat justru secara tidak sengaja
dipertahankan, yaitu dengan adanya perhatian. Extincion dapat diberikan sepanjang perilaku
yang dilakukan siswa bukan perilaku yang merusak secara berlebihan.

b. Menghilangkan stimulus yang diinginkan.

Penghilangan positive reinforcement ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Elliot, 1999) :
Time out, yaitu individu kehilangan waktunya yang menyenangkan.§

Response cost, yaitu individu dijauhkan dari reinforcement positif.§

Dalam penerapannya, sebaiknya time–out dan response cost harus diiringi dengan strategi untuk
meningkatkan perilaku positif murid.

c. Memberikan stimulus yang tidak disukai (hukuman)

Prinsip dasar hukuman adalah menurunkan perilaku yang tidak tepat atau tidak diinginkan.
Hukuman akan lebih efektif dilakukan jika sebelumnya didahului dengan peringatan dan
digunakan untuk mengkomunikasikan kepada siswa, perilaku apa yang salah atau tidak tepat
(Azrin & Holz; Walters & Grusec, dalam Henson & Eller, 1999). Namun, hukuman sebaiknya
tidak sering diberikan karena memiliki sisi atau dampak negatif. Suatu penelitian juga
menemukan bahwa ketika orang tua menggunakan tamparan untuk mendisiplinkan anak mereka
saat masih berusia 4 atau 5 tahun, tamparan itu justru meningkatkan perilaku bermasalah
(McLoyd & Smith dalam Santrock, 2007).

2.3 Pendekatan Kognitif Sosial Untuk Pembelajaran

Teori ini berkembang dari teori behavioral tetapi lebih mengarah ke aspek kognitif (Schunk,
2000)

1.Teori Kognitif Sosial Bandura

Teori kognitif sosial ( social cognit1ive theory) menyatakan bahw faktor sosial dan kognitif dan
juga faktor perilku, memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif bisa berupa
ekspetasi murid untuk meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin mencakup pengamatan murid
terhadap perilaku orang tuanya.

Albert Bandura (1986, 1997, 2000, 2001) adalah arsitek utama teori kognitif sosial
model determinisme resiprokal

Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan.

Menurut Bandura (1997, 2001), faktor person (kognitif) memainkan peran penting (self-efficacy)
yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif.

2.Pembelajaran Observasional

Pembelajaran Observasional Juga dinamakan imitasi atau modeling, adalah pembelajaran yang
dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Bandura ( 1986)
memfokuskan pada proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran observasional. Proses ini
adalah : atensi (perhatian), retensi, produksi, dan motivasi.

3.Pendekatan Perilaku Kognitif dan Regulasi Diri

Dalam pendekatan perilaku kognitif, penekanannya adalah membuat murid memonitor,


mengelola dan mengatur perilaku mereka sendiri, bukan mengkontrol mereka melalui faktor
eksternal. Di beberapa kalangan ada yang dinamakan modifikasi perilaku kognitif. Pendekatan
perilaku kognitif berasal dari psikologi kognitif, yang menekankan pada efek pikiran terhadap
perilaku, dan behaviorisme, yang menekankan pada teknik mengubah perilaku.

Metode instruksi-diri(self-instructional method) adalah sebuah teknik perilaku kognitif yang


dimaksudkan guna mengajari individu untuk memodifikasi perilaku mereka sendiri. Metode self-
instructional ini membantu orang mengubah apa yang anggapan mereka tentang diri mereka
sendiri.

Pembelajaran Regular Diri. Pembelajaran regular diri adalah memunculkan dan memonitor
sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa
tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar
perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengontrol
kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya).

4.Mengevaluasi Pendekatan Kognitif Sosial

Pendekatan kognitif sosial memberi kontribusi penting untuk mendidik anak. Selain
mempertahankan aroma ilmiah kaum behavioris dan menekankan pada observasi yang cermat,
pendekatan ini juga memperluas penekanan pembelajaran sampai ke fakror kognitif dan sosial.
Pembelajaran dilakukan dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten dan
kemudian meniru apa yang mereka lakukan.

2.4 Pendekatan Pemrosesan Informasi

Pendekatan pemrosesan informasi merupakan pendekatan kognitif dimana anak mengolah


informasi , memonitornya dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Inti dari
pendekatan ini adalah proses memori dan proses berpikir (thinking). Menurut pendekatan
pemrosesan informasi, anak-anak berkembang secara berangsur-angsur menambah kemampuan
memproses informasi yang mana memberikan mereka pengetahuan dan keterampilan yang
kompleks.

Robert Siegler (1998) menggambarkan 3 pokok karakteristik pada pendekatan pemrosesan


informasi, yaitu :
a. Thinking (berpikir), adalah pemrosesan informasi. Sebab ketika anak merasa, menyandikan,
melambangkan dan menyimpan informasi dari dunia di sekelilingnya mereka sedang melakukan
proses berpikir.

b. Change Mechanism (mekanisme pengubah), ada empat mekanisme yang bekerja sama
menciptakan perubahan dalam keterampilan kognitif anak, yaitu :

1. Enconding, proses memasukkan informasi kedalam memori.

2. Automaticity, kemampuan untuk memproses informasi dengan sedikit atau tanpa usaha.

3. Strategy contruction, penemuan prosedur baru untuk memproses informasi.

4. Generalization , pengaplikasian strategi pada problem lain. ini dilakukan untuk mendapat
manfaat penuh dari strategi baru itu.

c. Self-modification (modifikasi diri), pendekatan pemprosesan informasi kontemporer


menyatakan bahwa anak memainkan peran aktif dalam perkembangan mereka. mereka
menggunakan pengetahuan dan strategi yang mereka pelajari untuk menyesuaikan respon pada
situasi pembelajaran yang baru. Ini dapat dicontohkan dalam metacognition (knowing about
knowing) yaitu membantu murid belajar tentang apa itu mengetahui (knowing).

Contoh kasus :

Masih ingat Car-cep menghapal stuktur akar dan batang di topik Khormophyta di bimbingan
dulu menjelang SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru)?

EKor Endo Persis Paha Cambing XyEm, bila diuraikan akan menjadi stuktur akar dan batang
dari bagian luar ke bagian dalam yaitu Epidermis, Korteks, Endodermis, Perisikel, Phloem,
Cambium, Xylem dan Empelur.

Kita mungkin sampai saat ini masih mengingatnya bagaimana para tentor di bimbingan
mengajari kita menghapal stuktur akar dan batang dari bagian terluar ke bagian dalam secara
sistematis. Inilah salah satu strategi pendekatan pemprosesan informasi untuk membantu siswa
mengingat yaitu dengan menciptakan kata dari huruf pertama item yang akan diingat

2.5. Perhatian, Memori, Keahlian dan Metakognisi

2.5.1 Perhatian

Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar
akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang
menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa
melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang
bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.

Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek
didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang
muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk
mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil
penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang
lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.

2.5.2 Memori

Memori adalah proses mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan
kembali informasi dan pengetahuan yang semuanya terpusat pada otak.[9] Menuut Ellis dan
Hunt, memory atau ingatan menunjuk pada proses penyimpanan atau pemeliharaan informasi
sepanjang waktu (maintaining information overtime). Hampir semua aktifitas manusia selalu
melibatkan aspek ingatan. Oleh karena itu ingatan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
proses kognitif manusia.[10]

Memoru yang baik memiliki sifat- sifat diantaranya yaitu: cepat dan mudah mencamkan, setia,
teguh dan luas dalam menyimpan, dan siap atau sedia dalam mereproduksi kesan- kesan.[11]

Menurut Norman bahwa terdapat tiga hal yang harus dikelola untuk mengingat dengan sukses,
yaitu menerima (acquisition), menyimpan (retention) dan mengingat kembali (retrieval).[12]
Istilah lain yang digunakan untuk menamakan ketiga istilah tersebut yaitu: memasukkan
(encoding), menyimpan (strorange), menimbulkan kembali (retrieval).[13] Dalam buku An
Introduction To Theories Of Learning dijelaskan bahwa ada tiga tipe memori, yaitu: Sensory
Memory, Short Term Memory, Long Term Memory.[14]

1) Sensory Memory

Memori sensoris yaitu memori yang mempertahankan atau menyimpan informasi dari luar dalam
bentuk sensori aslinya hanya selama beberapa saat atau sepersekian detik.[15] Sensory Memory
ini merupakan sel pertama kali informasi diterima dari luar.[16]

2) Short Term Memory

Short Term Memory adalah sistem memori berkapasitas terbatas, dimana informasi
dipertahankan sekitar 30 detik, kecuali informasi itu diulang atau diproses lebih lanjut, di mana
dalam kasus itu daya tahan simpanannya dapat lebih lama.[17] Memori jangka pendek berfungsi
sebagai pusat kontrol kognitif untuk perhatian, karena memori jangka pendek menentukan ke
mana perhatian diarahkan, bagaimana pengkodean input baru, dan bagaimana terlibat dalam
proses pengulangan. Memori jangka pendek dibagi menurut jenis sensori penerima terdiri dari:
visual, auditori, tekstual, kinestetik, dan penciuman.[18]

3) Long Term Memory

Long Term Memory adalah tipe memori yang menyimpan banyak informasi selama periode
waktu yang lama secara relatif permanen. Ingatan memori jangka panjang bisa bertahan selama
berjam- jam, berhari- hari, berbulan- bulan atau bahkan bertahun- tahun.[19]

Berkaitan dengan ketiga jenis memori di atas, maka peserta didik dalam proses pembelajaran
memanfaatkan ketiga memori tersebut. Seperti contoh: Peserta didik menerima pelajaran tentang
“Allah”, maka mula- mula informasi dan pengetahuan tentang “Allah” akan masuk ke dalam
short term memory melalui indera mata (dengan cara melihat simbol/ tulisan Allah) atau telinga
siswa tersebut (dengan cara mendengar sebutan nama Allah). Kemudia, informasi mengenai
Allah itu diberi kode misalnya dalam bentuk simbol- simbol A-L-L-A-H. Setelah selesai proses
pengkodeaan (encoding), informasi itu masuk dan tersimpan di dalam long term memory.

Suatu kelak, apabila peserta didik memerlukan informasi mengenai ‘Allah”, misalnya untuk
menjawab pertanyaan “siapakah pencipta alam semesta?’’, maka memori akan kembali bekerja
atau berproses mencari respon dari kumpulan item- item informasi dan pengetahuan yang
terdapat dalam salah satu skema yang relevan. Proses pencarian respons yang dilakukan siswa
untuk memperoleh jawaban mengenai siapa pencipta alam semesta jika sukses, maka ia akan
berkata “Allah’. Inilah peristiwa kognitif yang disebut recall atau retrieval, yaitu hal memperoleh
kembali informasi yang terstruktur dalam sistem skema- skema yang terdapat dalam ranah cipta
siswa.

2.5.3 Keahlian

Terkadang seseorang yang hebat dalam bidang tertentu belum tentu dapat mengajarkan apa yang
telah dipelajarinya, bahkan terkadang keahlian dapat merugikan pengajaran karena para ahli lupa
mana yang mudah dan mana yang sulit untuk siswanya (National Reseach Council, 1999).

Beberapa pendidik telah membedakan antara pengetahuan materi yang dibutuhkan untuk
keahlian dan pengetahuan materi pedagogis yang divutuhkan untuk pengajaran yang efektif (
Shulman, 1987). Pengetahuan materi pedagogis meliputi ide-ide tentang kesulitan yang biasa
dialami oleh siswa ketika mereka berusaha mempelajari materinya; jalan yang seharusnya
mereka ambil untuk memahami bidang tersebut; dan strategi untuk membantu siswa dalam
mengatasi kesulitan yang mereka alami.
2.5.4 Metakognisi

Pengetahuan metakognitif bisa dibedakan dari aktivitas metakognitif. Pengetahuan metakognitif


melibatkan pemantauan dan refleksi pemikiran terbaru seseorang. Ini mencakup pengetahuan
faktual, seperti pengetahuan tentang tugas, tujuan diri sensiri atau diri sendiri dan pengetahuan
strategis, seperti bagaimana kita menggunakan prosedur tersebut dalam menyelesaikan suatu
masalah. Aktivitas metakognitif terjadi ketika para siswa secara sadar menyesuaikan dan
mengatur strategi pemikiran mereka selama menyelesaikan permasalahan dan pemikiran yang
memiliki maksud tertentu (Ferrari & Sternberg, 1998; Khun dan lainnya, 1995).

Seorang ahli dalam pemikiran anak-anak, Denna Khun berpendapat bahwa metakognisi
seharusnya merupakan fokous dari upaya-upaya untuk membantu anak-anak pemikir kritis yang
lebih baik, terutama dalam tingkat menengah pertama dam menengah atas. Ketrampilan kognitif
urutan pertama memungkinkan anak-anak untuk mengetahui tentang dunia (dan telah merupakan
fokus utama dari program pemikran kritis), dan ketrampilan kognitif urutan kedua-ketrampilan
meta pengetahuan- yang melibatkan pengetahuan tentang diri sendiri dan orang lain.

Perubahan Perkembangan

· Perkembangan metakognisi pada masa kanak-kanak.

Metamemori. Pada usia 5 atau 6 tahun, anak-anak biasanya mengetahui bahwa hal-hal yang
sifatnya familiar lebih mudah untuk dipelajari dibandingkan dengan hal-hal yang tidak bersifat
familiar, bahwa daftar yang pendek lebih mudah daripada yang panjang, bahwa pengenalan lebih
mudah dibandingkan dengan pengingatan kembali, dan bahwa lupa akan lebih mungkin terjadi
dengan seiring berjalannya waktu ( Lyon & Flavell, 1993). Anak-anak prasekolah memiliki
pendapat yang berlebihan tentang kemampuan memori mereka. Ketika memasuki tahun-tahun
sekolah dasar, anak-anak memberikan evaluasi yang lebih realistik tentang ketrampilan memori
mereka ( Schneider & Pressley, 1997).

Teori Pikiran (Theori Of Mind). Anak-anak tentunya juga merasa ingin tahu tentang sifat dan
pikiran manusia. Teori pikiran pada anak-anak akan berubah ketika mereka mulai memasuki
tahun-tahun masa kanak-kanak. Berikut perubahannya:

§ Usia 2-3 tahun. Anak-anak mulai memahami tiga keadaan mental: 1). Persepsi, anak-anak
menyadari bahwa orang lain melihat apa yang ada didepan mata mereka dan tidak selalu didepan
mata anak-anak, 2). Keinginan, anak-anak mengerti bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu
maka ia akan berusaha untuk mendapatkannya, dan 3). Emosi, anak-anak dapat membedakan
antara emosi yang bersifat positif dan emosi yang bersifat negatif.

§ Usia 4-5 tahun. Anak-anak mulai mengerti bahwa pikiran dapat menyampaikan objek dan
peristiwa secara akurat dan tidak akurat.
§ Masa kanak-kanak pertengahan dan ahir. Pada masa kanak-kanak menengah dan ahir, anak-
anak beralih dari pemahaman bahwa keyakinan bisa jadi merupakan pemahaman keyakinan dan
pikiran sebagai suatu hal yang “interpretatif”, yang ditunjukkan dalam kesadaran bahwa
peristiwa yang sama bisa terbuka untuk banyak interpretasi.

· Perkembangan metakognisi pada masa remaja.

Dibandingkan dengan anak-anak, masa remaja memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk
memantau dan mengatur sumber kognitif agar secara efektif memenuhi tuntutan tugas
pembelajaran. Kemampuan metakognitif yang semakin baik ini menghasilkan fungsi dan
pembelajaran kognitif yang lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai