Disusun Oleh:
Rizki Munawir Siregar 140100008
Ikke A. A. S. Sinaga 140100039
Heppy Yosephyn Manurung 140100048
Megawaty Sianturi 140100082
Sunita Melati Nasution 140100106
Habibatul Isma Awalia 140100143
Monica T. Hanna Gultom 140100178
Maya Melisa Wirya 130100456
Pembimbing:
Dr. dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B (K)-Onk
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Kegawatdaruratan di Bidang Onkologi”. Penulisan makalah ini adalah salah satu
syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Kamal Basri Siregar, Sp.B (K)-Onk selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
3
yang lain bermanifestasi berjam-jam, menyebabkan hasil yang fatal seperti
kelumpuhan dan kematian. Pada banyak pasien, kanker tidak didiagnosis sampai
kondisi terkait muncul.7 IGD adalah salah satu tempat paling penting untuk
menangani keluhan pasien ini dengan cepat. Sebagian besar pasien ini mengunjungi
IGD setidaknya sekali selama penyakit mereka.8 Identifikasi dan intervensi segera
dalam keadaan darurat ini dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan
meningkatkan kualitas hidup, bahkan dalam kondisi penyakit terminal.6
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 PATOFISIOLOGI
Obstruksi jalan napas dapat terjadi akibat kompresi eksternal jalan nafas
seperti trakea atau bronkus oleh tumor.
5
tingkat keparahan dan lokasi obstruksi nya. Gejalanya tidak spesifik dan dapat
disalah artikan sebagai kondisi yang lebih umum termasuk penyakit paru obstruktif
kronis,eksaserbasi, asma, atau bronkitis.
Gejala klinis paling umum dari obstruksi jalan nafas karena keganasan
adalah dispnea. Gejala biasanya memburuk di malam hari dan ketika pasien
berbaring telentang. Pasien akan sering mengalami batuk yang produktif dan mengi
, dan mungkin juga disertai stridor, terutama jika obstruksi terletak di trakea atau
carina. Gejala biasanya minimal sampai lumen nya betul-betul sempit yang
akhirnya dapat mengancam jiwa.
Hemoptisis juga dilaporkan hingga 45% pada pasien dengan obstruksi jalan
nafas karena keganasan.
2.1.3 Diagnosis
2.1.4 Tatalaksana
Membuat saluran napas yang aman dan paten merupakan target utama
6
resusitasi pasien dalam kondisi obstruksi saluran napas atas akut. Evaluasi yang
cepat mencakup kelompok umur, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang sangat membantu untuk mengetahui penyebab dan letak obstruksi,
derajat obstruksi, serta perlunya dilakukan pengamanan jalan napas secara cepat.
Beberapa terapi farmakologis dan operasi dapat dilakukan dalam manajemen
obstruksi saluran napas atas, antara lain jalan napas orofaringeal, intubasi
endotrakeal, trakeostomi, krikotiroidotomi, intubasi fibreoptic, recemic
epinephrine, kortikosteroid, helium-oxygen mixtures, terapi laser, bronkoskopi
dilatasi, dan airway stenting.
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.MS
No. RM : 80.03.xx
Umur : 62 tahun
Golongan Darah : AB
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SLTP
7
A. Anamnesis
Telaah :
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher yang dirasakan semakin
membesar sejak 3 bulan terakhir, benjolan telah disadari oleh pasien sejak 3 tahun
yang lalu, namun selama 3 tahun yang lalu hanya sebesar puyuh, tidak nyeri dan
tidak menyebabkan keluhan sehingga pasien tidak pernah memeriksakannya.
Dalam 3 bulan terakhir lama kelamaan benjolan dirasakan semakin cepat
membesar. Ukuran benjolan kurang lebih sebesar isi buah kelapa meskipun tidak
nyeri. Pasien mengelukan sulit untuk menelan yang dialami 3 bulan ini, sehingga
pasien sulit untuk makan dan minum.Sesak napas mulai dirasakan sejak 1 minggu
ini, sesak dirasakan terus menerus. Sesak napas memberat ketika pasien berbaring
dan ketika melakukan aktivitas ringan, dan sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan
cuaca. Perubahan suara dan penurunan berat badan tidak dijumpai.Demam tidak
dijumpai, sering gemetar tidak dijumpai, mata melotot tidak dijumpai, dan jantung
berdebar tidak dijumpai. Buang air besar dalam batas normal dan buang air kecil
dalam batas normal.
PEMERIKSAAN FISIK
8
Kesadaran : Compos Mentis
Temperatur : 36,80C
Berat Badan : 55 kg
Karnofsky Score : 60
VAS :0
b. Status Generalisata
Kepala
Thoraks
Pulmo
9
Inspeksi : Simetris fusiformis, penggunaan otot-otot bantu
pernapasan (-)
Jantung
Abdomen
Perkusi : Timpani
Ekstermitas
10
Status Lokalisata
Inspeksi : Dijumpai benjolan di regio Colli anterior sinistra, ukuran 4x3 cm,
benjolan tidak ikut bergerak saat menelan, warna benjolan sama dengan warna kulit
sekitarnya.
Palpasi : Tumor berbatas tegas, berjumlah 1 buah dengan ukuran 4x3 cm,
permukaan rata, konsistensi padat, terfiksir pada jaringan dibawahnya, dan tidak
ada nyeri tekan.
Diagnosis Banding
1. Tumor tiroid
2. Karsinoma tiroid
3. Kanker Nasofaring
4. Limfadenopati
5. Linfoma
Hasil Pemeriksaan
Laboratorium (26/12/2019)
Bun/Ur/Cr : 5/11/0.
Na/K/Cl : 144/3.1/101
Thyroglobulin :26.6
T3 Total/Free T4 : 0.72/1.46
pH/pCO2/pO2 : 7.54/33/176
HCO3/BE/SaO2 :28.2/5.8/100
11
Pemeriksaan FNAB (26/12/2019)
Diet : Parenteral
Follow Up Pasien Tanggal 27 dan 28 Desember 2019 masih sama dengan Tanggal
26 Desember 2019
a. Etiologi
12
b. Manifestasi Klinis
Terapi antikoagulan
Terkait tatalaksana
Koagulasi intravaskuler diseminata (sekunder pada sepsis
dan sindroma lisis tumor)
− Intervensi lokal.
Intervensi lokal pasien kanker dengan stadium akhir terdapat beberapa modalitas
yang dapat dilakukan, seperti pemberian antihemostatik, penutup luka, radioterapi,
operasi, endoskopi, dan radiologi intervensional.28
13
− Radioterapi.
− Operasi
2.3.1 Hiperkalsemia
14
Hiperkalsemia paling sering dijumpai pada multiple myeloma, kanker payudara,
kanker paru, dan keganasan ginjal, meskipun dapat juga terjadi pada kondisi
keganasan yang lain.12
a. Patofisiologi
15
Limfoma tertentu (paling sering Hodgkin) menghasilkan 1,25-
dihidroksivitamin D (Kalsitriol), bentuk aktif vitamin D. Kalsitriol meningkatkan
resorpsi tulang osteoklastik dan meningkatkan reabsorpsi kalsium dalam usus, yang
menyebabkan hiperkalsemia.12
b. Gejala Klinis
16
menyebabkan insufisiensi ginjal progresif, nefrokalsinosis, dan nefrolitiasis.
c. Tatalaksana
Hiperkalsemia pada keganasan biasa ditandai dengan onset akut dan kadar
kalsium > 12 mg / dL menunjukkan hiperkalsemia keganasan. Selain itu, pada
hiperkalsemia terkait keganasan terdapat kadar PTH yang rendah, berbeda dengan
pada kondisi hiperparatirodisme, dimana PTH level meningkat atau normal. Jika
pasien tidak menunjukkan gejala, tampak sehat, dan memiliki kadar kalsium serum
kurang dari 14 mg / dL (kadar kalsium terionisasi <10 mg / dL), pengukuran
konsentrasi serum PTH dan pemeriksaan yang tepat dapat dikoordinasikan melalui
tindak lanjut oleh penyedia perawatan primer.12
Hidrasi
17
konsentrasi kalsium melalui secara delusional. Jika pasien tanpa gagal ginjal atau
CHF, 1 sampai 2 L NaCl 0,9% harus diberikan sebagai bolus, dilanjutkan dengan
pemberian Nacl 0,9% 200 hingga 250 mL/jam. Pemantauan kadar kalsium serum,
elektrolit serum lainnya, dan hemodinamik perlu dilakukan .12
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat, gagal ginjal, atau CHF
yang signifikan, hidrasi kemungkinan tidak efektif dalam memaksa calciuresis, dan
karenanya cenderung membutuhkan dialisis sebagai penanganan
hiperkalsemia.12,13
Loop diuretik
Terapi tambahan
18
hiperkalsemia pada keganasan. Asam zoledronic dan pamidronate secara intravena
paling sering digunakan; Namun, asam zoledronat telah terbukti menjadi bifosfonat
unggul karena potensinya yang lebih tinggi dan karena itu dapat diberikan selama
periode waktu terpendek. Kalsitonin yang diberikan secara subkutan,
intramuskuler, atau intravena terbukti secara sementara mengurangi kadar kalsium
serum dalam 2 sampai 4 jam melalui penghambatan reabsorpsi kalsium dalam
tubulus distal. Kemanjurannya rendah dan pengaruhnya terbatas karena
tachyphylaxis, yang biasanya berkembang dalam 3 hari. Glukokortikoid (Prednison
dan hidrokortison paling sering) dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
multiple myeloma dan lymphoma karena mereka menurunkan sintesis 1,25-
dihydroxyvitaminD. Terapi lain yang jarang digunakan termasuk gallium nitrate,
mithramycin, plicamycin, cinacalcet, dan denosumab. Hemodialisis harus dianggap
sebagai pilihan pengobatan untuk hiperkalsemia dari keganasan pada pasien dengan
hiperkalsemia refrakter berat, perubahan status mental yang dalam, gagal ginjal,
atau mereka yang tidak dapat mentolerir pemberian cairan NaCl.12,13
2.3.2 Hiponatremia
Insiden hiponatremia bervariasi dari 3,7% hingga 47% pada pasien kanker
yang dirawat di rumah sakit. Hiponatremia disebabkan oleh disfungsi hipofisis atau
adrenal, produksi ADH paraneoplastik, kemoterapi, dan terapi cairan yang agresif.
Kanker yang umumnya terkait dengan hiponatremia, terutama sindrom sekresi
hormon antidiuretik (SIADH) adalah tumor padat (paru-paru, payudara, kepala, dan
19
leher), dan keganasan lain seperti gastrointestinal, genitourinari, endokrin, sarkoma
dan limfoma.14
a. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, osmolalitas plasma diatur secara ketat pada kisaran
280 hingga 295mOsm / kg melalui (1) persepsi haus, (2) kontrol ekskresi air di
ginjal oleh ADH juga dikenal sebagai AVP, dan (3) ekskresi natrium ginjal yang
diatur oleh ANP dan sistem renin angiotensin. Memahami ini membantu seseorang
memahami penyebab hiponatremia.13
Pasien dengan kanker paru sel kecil, hiponatremia tanpa kadar AVP yang
terukur juga telah dilaporkan. Dalam sebagian kecil dari pasien-pasien ini terjadi
produksi ektopik ANP mRNA dan pembentukan peptida yang mirip dengan bentuk
asam amino-amino ANP yang bersirkulasi dalam plasma dan menyebabkan
hiponatremia. Biasanya, ANP diproduksi, disimpan, dan dilepaskan oleh sel-sel
20
otot jantung pada atrium dan berikatan dengan satu set reseptor spesifik di ginjal
untuk meningkatkan ekskresi natrium.13
Selain SIADH dan sindrom atrial natriuretic peptida yang tidak tepat
(SIANP), ada peningkatan kesadaran akan suatu mekanisme alternatif lain dari
kehilangan garam disebut sebagai Cerebral Sodium Wasting Syndrome (CSWS).
Dua kriteria utama harus dipenuhi untuk diagnosis CSWS: (1) lesi serebral dan (2)
ekskresi dari Na + dan Cl– urin yang tinggi.13
b. Gejala Klinis
c. Tatalaksana
21
Untuk hiponatremia euvolemik dan hipervolemik, pengobatan dapat
dimodifikasi berdasarkan keparahan dan gejala. Untuk pasien dengan hiponatremia
asimptomatik atau ringan, pilihan lini pertama adalah pembatasan cairan 500-1000
mL / hari. Selain itu, pembatasan cairan dapat didasarkan pada penargetan 500 mL
/ hari kurang dari rata-rata keluaran urin. Jika pasien terus menjadi hiponatremik
meskipun ada pembatasan cairan, obat-obatan dapat digunakan.14
Dalam kasus yang parah dimana natrium <120 mmol / L atau terdapat
perubahan neurologis, 3% saline mungkin diberikan. Koreksi cepat natrium harus
dihindari karena risiko demielinasi osmotik, terutama pada pasien dengan
22
hiponatremia kronis. Risiko demielinasi osmotik lebih tinggi dengan koreksi cepat
natrium> 12 mmol dalam 24 jam. Untuk koreksi hiponatremia yang muncul, saline
hipertonik harus diinfuskan pada kecepatan 0,5-2 mmol /L/ jam sampai gejala
membaik; Namun, koreksi total harus <10 mmol / L dalam 24 jam. Natrium
seharusnya sering dimonitor, setiap 2-4 jam, selama 24 jam pertama koreksi. Sekali
hiponatremia dan gejalanya membaik, saline hipertonik dapat dihentikan.14
Asidosis anion gap (AG) dan asidosis non-anion gap (NAG) lazim
ditemukan pada pasien kanker. Di antara berbagai asidosis AG, asidosis laktat (LA)
adalah yang paling spesifik pada kanker. Pasien kanker mungkin menderita LA tipe
A akibat hipoksia jaringan pada kondisi sepsis atau gagal jantung, tetapi mereka
mungkin juga mengalami LA tipe B dimana tidak ada bukti iskemia jaringan. LA
tipe B sering terjadi pada leukemia dan limfoma, tetapi kasus lain yang dilaporkan
termasuk multiple myeloma, kanker lambung, dan kanker payudara. Asidosis laktat
didefinisikan sebagai pH ≤7.35, dengan konsentrasi laktat plasma ≥5 meq / L.
Terjadinya asidosis metabolik pada pasien dengan kanker menunjukkan prognosis
yang buruk.13
a. Patofisiologi
Produksi asam laktat biasanya terjadi dalam kondisi hipoksia jaringan, dan
setelah dilepaskan ke sirkulasi, 90% asam laktat mengalami metabolisme di hati,
dan dikonversi menjadi asam piruvat, dengan sisa 10% dimetabolisme atau
diekskresikan oleh ginjal. Tidak seperti sel normal, sel tumor mengandalkan
glikolisis anaerob secara tidak proporsional, bahkan dengan adanya oksigen,
menghasilkan sejumlah besar laktat yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan
antara produksi laktat dan metabolismenya oleh hati. Pentingnya peran hati dalam
metabolisme asam laktat menjelaskan mengapa pasien dengan fungsi hati yang
terganggu lebih mudah mengalami asidosis laktat yang berat. Pada pasien dengan
kanker, gangguan hati fungsi dapat terjadi ketika terdapat metastasis hati yang luas
menggantikan sebagian besar parenkim hati. Pada pasien-pasien tersebut asidosis
laktat dapat berkembang tanpa terhindarkan.13
23
Pada pasien leukemia dan limfoma asidosis laktat biasanya terjadi pada
orang dewasa dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Keterlibatan hepar sering
terjadi, dan dalam proporsi tertentu berkontribusi pada hipoglikemia. Tingginya
frekuensinya keterlibatan hepar pada pasien limfoma dan leukemia dewasa yang
mengalami asidosis laktat mendukung kemungkinan berkurangnya metabolisme
laktat hepar yang berperan dalam patogenesis asidosis laktat. Beberapa ahli
berpendapat bahwa hilangnya potensial membran mitokondria selama akibat
apoptosis mengakibatkan terjadinya glikolisis kompensasi dengan akumulasi asam
laktat dan asidosis.13
b. Tatalaksana
(1) Secara agresif mempertahankan tekanan darah dengan cairan dan vasopresor
untuk mencegah hipoperfusi umum yang akan mengarah pada akumulasi asam
laktat lebih lanjut;
(2) Penggunaan natrium bikarbonat. Hal ini masih kontroversial, karena tidak ada
penelitian terkontrol yang menunjukkan peningkatan pada hasil tetapi dapat
digunakan pada asidosis yang cukup parah untuk mempengaruhi fungsi
hemodinamik dan respons terhadap katekolamin;
(4) Koreksi penyebab yang mendasarinya sangat penting, tetapi seringkali sangat
sulit jika laktat asidosis merupakan komplikasi dari kanker.
24
mikrovaskular. HUS sering dikaitkan dengan kehadiran multimers faktor von
Willebrand yang besar yang mampu mengakibatkan agregasi dari trombosit di
dalam sirkulasi. HUS ditandai dengan anemia hemolitik Coombs-negative dengan
jumlah schistocyte yang tinggi sebagai hasil dari fragmentasi eritrosit ketika
mereka melewati arteriol yang tersumbat. Microthrombi yang menyebar
menyebabkan kerusakan iskemik pada organ, paling sering pada ginjal dan otak,
insufisiensi ginjal, dan berbagai gejala neurologis. Meskipun purpura
trombositopenik trombotik dan HUS merupakan spektrum dengan tumpang tindih,
namun insufisiensi ginjal selalu terjadi pada HUS tetapi sering lebih ringan pada
trombositopenik trombotik purpura, di mana gejala neurologis sering
mendominasi.13
a. Patogenesis
Pada pasien dengan kanker, HUS telah dilaporkan: (1) sebagai manifestasi
dari kanker itu sendiri, (2) sebagai komplikasi dari kemoterapi, (3) berkaitan
dengan transplantasi sumsum tulang, dan (4) lebih banyak baru-baru ini sebagai
masalah pada pasien yang menerima antibodi dan imunotoksin. Pada pasien yang
tidak diobati, HUS terutama ditemukan pada kanker yang telah menyebar luas,
meskipun terkadang timbul pada kanker stadium awal. HUS dilaporkan sering
terjadi pada adenokarsinoma pada payudara, paru-paru, pankreas, prostat, dan
lambung, dan dapatditemukan juga pada pasien dengan limfoma serta keganasan
lainnya. Pada pasien yang dirawat, beragam kelompok agen kemoterapi telah
terlibat dalam etiologi HUS. Ulasan 1986 HUS terkait kemoterapi berkaitan dengan
mitomisin-C dan 5-fluorurasil sebagai penyebab paling sering. Laporan selanjutnya
HUS terkait gemcitabine mencerminkan meluasnya penggunaan agen ini. Agen
lain yang juga telah terlibat dalam etiologi sindrom ini termasuk bleomycin,
cisplatin, cytosine arabinoside, daunomycin, deoxycoformycin, estramustine, dan
methyl-CCNU. Kejadian HUS pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum
tulang tidak pasti, menyebabkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis.13
Manifestasi klinis dari HUS fulminan meliputi pentad klasik, yaitu: anemia
hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, demam, gagal ginjal progresif cepat,
25
dan defisit neurologis.
Sindrom gangguan pernapasan akut juga dapat terjadi pada beberapa pasien.
Dalam kondisi ini, tingkat kematian yang tinggi telah dilaporkan, karena perawatan
menjadi lebih sulit pada pasien yang didasari oleh penyakit yang berat. Pada
beberapa pasien dengan gejala subakut yang meliputi perubahan mikroangiopati,
trombositopenia ringan, dan kerusakan fungsi ginjal bertahap telah dilaporkan.13
Pada pasien yang menjalani transplantasi stem sel alogenik, hemolisis dan
fragmentasi sel darah merah bisa ditemukan pada 25% hingga 38% pasien.
Disfungsi ginjal terkait dan manifestasi neurologis pada pasien dengan kondisi
yang lebih berat menunjukkan spektrum keparahan yang dapat menggambarkan
kerusakan endotel yang diakibatkan oleh interaksi donor-host.13
b. Terapi
Terapi definitif untuk HUS terkait kanker masih belum ditetapkan. Apabila
regimen kemoterapi yang diberikan terlibat sebagai penyebab, maka penggunaanya
harus dihentikan. Tekanan darah harus tetap dikontrol. Kegunaan steroid juga
masih belum pasti sehingga tiak dianjurkan untuk penggunaan rutin. Hemodialisis
diindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal. Meskipun khasiat terapi plasma
exchange menggunakan fresh frozen plasma sebagai cairan substitusi dan
imunoadsorpsi kromatografi dapat dipertimbangkan, salah satu atau keduanya
harus dimulai diagnosis ditegakkan secara pasti. Terapi ini mungkin perlu berlanjut
selama berbulan-bulan. Plasma cryosupernatant telah dilaporkan sama efektifnya
dengan fresh frozen plasma. Peluang keberhasilan terapi yang lebih besar dapat
diharapkan pada pasien dengan beban tumor yang lebih kecil, atau pada pasien
dengan terapi antikanker yang efektif, dan pada kasus yang didiagnosis dini.
Beberapa ahlimenyatakan bahwa pengobatan mungkin lebih berhasil ketika HUS
terjadi sebagai manifestasi dari kanker yang mendasarinya dibandingkan sebagai
komplikasi terapi.13
26
2.4.1 Definisi dan Epidemiologi
Sindrom vena cava superior adalah obstruksi mekanikal dari vena cava
superior oleh karena venous thrombi atau kompresi ekstrinsik oleh tumor
intrathoracal pada kebanyakan kasus.16
Sindrom vena cava superior berkembang pada 5-10% pasien dengan lesi
malignan intratorakal. Massa pada bagian kanan cenderung lebih mudah
menyebabkan sindrom vena cava superior karena letak anatomis dari vena cava
superior.2 Penyebab malignan dari sindrom vena cava superior terutama
diobservasi pada pasien berusia 40-60 tahun,sedangkan untuk penyebab benign
terjadi pada pasien berusia 30-40 tahun. Paling sering terjadi pada laki-laki karena
insidensi kanker paru paling tinggi.2,3 Obstruksi vena cava superior jarang terjadi
pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh congenital stenosis.17
27
hemiazygos, intercostal, mediastinal, paravertebral, thoracoepigastrial, internal
mamary, thoracoacromioclavicular dan vena pada dinding anterior dada.18 Sebagai
hasilnya, tekanan vena tubuh bagian atas meningkat tetapi kembali menurun seiring
berjalannya waktu.19 Vena azygos dapat menyambungkan vena cava superior
dengan vena cava inferior secara langsung, sehingga apabila sumbatan sebelum
jalan masuk vena azygos ke vena cava superior terjadi akan menyebabkan gejala
yang lebih parah.18 Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk perkembangan
jaringan vena kolateral yang cukup untuk mengakomodasi aliran darah yang
normalnya melewati vena cava superior.18,19 Jika oklusi muncul perlahan-lahan,
maka pasien biasanya tidak bergejala. Sebaliknya, jika terjadi oklusi yang cepat
maka dapat terjadi beberapa sekuele antara lain dispneu, pembengkakan pada leher,
badan, ekstremitas atas dan wajah, nyeri dada dan distensi vena kolateral, plethora,
disfagia dan suara serak.18
28
2.4.4. Diagnosa Banding
2.4.5. Tatalaksana
f. Radioterapi
g. Kemoterapi
h. Stent placement
29
Gambar.Algoritma tatalaksana sindrom vena cava superior
Beberapa komplikasi dari sindrom vena cava superior antara lain edema
laringeal, edema serebral, penurunan cardiac output disertai hipotensi, emboli paru
(ketika berkaitan dengan trombus).20
Tidak ada kematian yang secara langsung terjadi oleh karena mild venous
congestion. Biasanya survival rate bergantung pada penyakit yang mendasari.
Pasien dengan gejala edema laring dan otak merupakan manifestasi klinis yang
paling berbahaya dan dapat menyebabkan kematian mendadak.20
2.5.1 Definisi
30
Metastasis otak adalah jenis keganasan otak yang paling umum, terjadi pada
20-40% pasien kanker dewasa. Meskipun setiap tumor dapat bermetastasis ke otak,
kanker paru-paru, kanker payudara, dan melanoma adalah yang paling umum,
terhitung 70-90% dari metastasis otak. Tumor primer umum lainnya termasuk
kanker kolorektal dan karsinoma sel ginjal. Melanoma dan kanker paru-paru paling
sering dikaitkan dengan metastasis otak multipel; kanker payudara, kolorektal, dan
ginjal lebih mungkin dikaitkan dengan metastasis soliter. Metastasis otak dapat
menyebabkan defisit dan kejang neurologis, dan menjadi darurat onkologis dalam
kasus peningkatan tekanan intrakranial dan status epilepticus. Pasien dengan tumor
otak primer dan pasien dengan edema akibat pengobatan dengan radioterapi seluruh
otak atau beberapa agen kemoterapi juga dapat menunjukkan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Tidak diobati, pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intrakranial memiliki rata-rata kelangsungan hidup sekitar 4
minggu. Prognosis tergantung pada status kinerja Karnofsky, adanya penyakit
sistemik, dan tumor primer. Peningkatan tekanan intrakranial dan kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit dianggap sebagai darurat onkologis. Status
epilepticus didefinisikan sebagai lebih dari 30 menit aktivitas kejang terus menerus
atau dua atau lebih kejang sekuensial tanpa pemulihan penuh antara kejang.21
2.5.2 Patofisiologi
31
Pasien dengan metastasis otak dapat mengalami berbagai gejala
neurologis. Sekitar 50% kasus mengalami onset sakit kepala subakut. Gejala
umum lainnya termasuk perubahan status mental, hemiparesis, gangguan kognisi,
peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang. Pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial karena metastasis otak atau tumor otak primer secara klasik hadir
dengan sakit kepala, mual, dan muntah, yang kesemuanya mungkin paling parah di
pagi hari dan saat terlentang. Selain itu, papilledema yang terdeteksi pada
pemeriksaan fisik hampir selalu menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial. 21
Secara umum perawatan diluar rumah sakit pada pasien kanker dengan ICP
atau kejang : manajemen jalan napas, resusitasi cairan, manajemen gejala, dan
transport (protokol tujuan dan aktivasi sistem perawatan ED pra-rumah sakit).
Pemeriksaan di rumah sakit pada pasien kanker dengan ICP terdiri dari CT
scan head (tidak kontras), darah lengkap, elektrolit. Adapun pemeriksaan di rumah
sakit pada pasien kanker dengan kejang antara lain CT scan head (tidak kontras),
darah lengkap, elektrolit, elektrokardiogram.
32
efek samping dan tidak dianjurkan untuk profilaksis pada pasien dengan metastasis
otak tanpa riwayat kejang.
Untuk pasien tertentu dengan status kinerja yang baik dan penyakit sistemik
yang terkontrol dengan baik, perawatan metastasis otak yang lebih definitif
mungkin termasuk operasi, radioterapi seluruh otak, radiosurgery stereotactic atau
kombinasi. Jika CT scan hanya mengungkapkan satu lesi, Bedah Saraf harus
dikonsultasikan. Jika CT scan mengungkapkan beberapa lesi, Onkologi Radiasi
harus dikonsultasikan dalam 24-48 jam.
2.6.1 Definisi
Sebanyak 5 – 10% pasien kanker akan mengalami kompresi medula spinalis
akibat metastasis (KMSM). Penyakit ini terjadi saat tumor atau fragmen tulang
menggeser dan menekan kedudukan medula dalam kanalis spinalis.23 Gejala utama
adalah nyeri punggung (83-95% pasien), dengan atau tanpa defisit motorik (82%
pasien) dan sensorik (50-80% pasien). Kompresi medula spinalis akibat metastasis
(KMSM) adalah penekanan kantung dura beserta isinya pada medula spinalis oleh
massa metastasis tumor ekstradura maupun intradura, yang dapat menyebabkan
kerusakan neurologis ireversibel seperti paraplegia dan tetraplegia, tergantung letak
ketinggian lesi. KMSM dapat terjadi melalui tiga cara: 1) Pertumbuhan langsung
dan ekspansi metastasis tulang vertebra mencapai ruang epidural; 2) Ekstensi massa
paraspinal mencapai foramina intervertebralis; 3) Destruksi korteks vertebra yang
menyebabkan kolaps corpus vertebra dan berpindahnya fragmen tulang ke ruang
epidural. Tatalaksana kasus KMSM bertujuan paliatif mengatasi nyeri,
memperbaiki fungsi neurologis, mencapai stabilisasi tulang belakang, mencegah
progresitas tumor dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup penderita
kanker.24
33
Gambar. Distribusi kompresi saraf tulang belakang
2.6.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidens KMSM lebih dari 20.000 kasus per tahun.
Sebanyak 50% KMSM berasal dari penyakit primer kanker payudara, paru, prostat,
diikuti kanker sel ginjal, traktus gastrointestinal, tiroid, sarkoma, dan keganasan
limforetikuler. Suatu studi di Kanada memperkirakan setidaknya 2,5% penderita
kanker mengalami minimal satu episode kompresi medula spinalis dalam lima
tahun sebelum kematian.23
Sebanyak 40% penderita kanker diperkirakan mengalami metastasis tulang
belakang hingga saat kematiannya, dan 10-20% di antaranya dapat mengalami
kompresi medula spinalis simtomatik. Studi lain menyebutkan bahwa 5-10% pasien
kanker akan mengalami KMSM yang membutuhkan tatalaksana emergensi.
Insidens kumulatif lima tahun kompresi medula spinalis pada berbagai jenis kanker
yaitu 8% pada myeloma, 7% pada prostat, 6,5% pada nasofaring, 6% pada paru,
5,5% pada payudara, 5% pada ginjal, 2,5% pada serviks, 0,9% pada kepala-leher,
dan 0,8% pada kolorektal. Sebagian besar KMSM terjadi di regio vertebra torakal
(60-70%), lalu di vertebra lumbal (20- 25%), dan yang lebih jarang di vertebra
34
servikal (15%) dan sakral.25
2.6.3 Patofisiologi
Sepertiga pasien cancer memiliki metastasis ke tulang belakang. Adanya
bone-derived growth factor dan sitokin, struktur kapiler, dan aliran darah yang
memfasilitasi endapan dan pertumbuhan sel meta. Aliran darah vena dari organ-
organ intraabdomen dan intratoraks akan melalui pleksus vena vertebra dan
epidural (Pleksus Batson). Sirkulasi darah ini bertekanan rendah tanpa sistema
katup dan aliran balik teratur, bergantung pada tekanan intratorak dan
intraabdomen, sehingga menjadi faktor transportasi yang baik bagi sel-sel kanker.23
Patofisiolofi paling umum terjadinya kompresi saraf tulang belakang adalah
metastasi tumor langsung secara hematogen ke corpus vertebra hingga ruang
epidural, atau dikarekan adanya fraktur vertebra sehingga terjadi infiltrasi oleh sel-
sel meta yang menyebabkan cedera saraf akibat fragmen tulang/instabilitas tulang
belakang.23
Kompresi saraf tulang belakang juga bisa disebabkan adanya massa
intradural (meningioma, tumor selubung saraf, metastase leptomeningeal),
penyebaran secara intraneural (pada tumor neurogenik), secara transforaminal
tumor progresif paravertebra (pada limfoma, neuroblastoma), dan tumor agresif
paravertebra (Pancoast Tumor di parenkim paru).
2.6.4 Diagnosis
Diagnosis KMSM ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Gejala utama yang paling sering terjadi (kira-kira 88-
96% pasien) adalah nyeri punggung, dengan atau tanpa kelemahan tubuh. Awalnya,
pasien merasakan nyeri mekanis yang timbul akibat peregangan tulang dan
periosteum dan dapat diperparah dengan aktivitas. Nyeri lalu memberat dengan
pola radikuler. Delapan puluh persen pasien KMSM mengeluhkan kelemahan
motorik hingga kelumpuhan. Adanya paraparesis atau paraplegia saat diagnosis
menunjukkan gejala yang lanjut, dan biasanya kelemahan motorik ini bersifat
35
simetris bilateral. Sebanyak 51-80% pasien mengeluhkan defisit fungsi sensoris,
misalnya kesemutan pada ekstremitas dan batang tubuh. Disfungsi otonom
biasanya tidak dirasakan sebagai gejala tunggal namun menyertai gejala nyeri,
kelemahan, dan defisit sensoris.25
Bukti radiologis minimal untuk diagnosis kompresi medula spinalis adalah
indentasi theca yang disesuaikan dengan gejala dan tanda klinis. MRI adalah
modalitas pencitraan terpilih untuk deteksi dini KMSM. MRI sekuens T1 atau T2
dengan kontras memiliki sensitivitas 97-100%, dengan spesifisitas 90- 93% untuk
mendiagnosis kasus KMSM. Lesi akan terlihat hipointens pada sekuens T1,
hiperintens pada T2, dan sangat menyangat kontras. Opsi pencitraan diagnostik
kedua pada kasus KMSM adalah dengan CT mielografi lalu CT tanpa mielografi.
Pemeriksaan radiologi konvensional akan menunjukkan infiltrasi tulang dan
destruksi vertebra akibat massa tumor, namun tidak cukup sensitif untuk
mendiagnosis langsung kompresi medula spinalis. Pada kasus KMSM, pencitraan
diagnostik harus mencakup seluruh vertebra karena pada 40-50% pasien, lesi dapat
terjadi multifokal dan multilevel. Pada pasien dengan kecurigaan KMSM namun
keganasan primer belum diketahui, direkomendasikan biopsi terbuka ataupun
perkutan (dibantu CT).24,25
Gambar 1.MRI pasien laki-lai, 53 tahun dengan kanker ginjal metastasis. Terdapat
fraktur patologis pada corpus T2, dislokasi posterior fragmen tulang, dan
kompresi saraf tulang belakang.
2.6.5 Tatalaksana
36
Penanganan segera setelah diagnosis ditegakkan sangat penting dalam
prognosis pasien KMSM. Terapi dimulai dengan manajemen nyeri dan tirah baring.
Untuk mencegah perburukan kerusakan columna vertebralis, imobilisasi adekuat
diperlukan sampai seluruh tulang belakang terbukti dalam kondisi stabil.
Tatalaksana KMSM sangat bervariasi pada berbagai negara dan institusi.
Berdasarkan analisis American Society of Radiation Oncology (ASTRO) tahun
2014 di pusat onkologi di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Italia, dan
Australia, terdapat beberapa pertimbangan klinisi dalam menentukan terapi pasien
KMSM antara lain kondisi umum pasien, status keganasan pasien secara
keseluruhan, dan sensitivitas tumor terhadap kemoterapi sistemik.25
Kortikosteroid
Kortikosteroid direkomendasikan pada kasus KMSM baik untuk
penanganan emergensi maupun diberikan bersama dengan radiasi atau operasi,
terutama untuk pasien yang telah mengalami defisit neurologis akut. Golongan
obat ini terbukti dapat mengurangi kompresi medula spinalis onset singkat
dengan mengurangi edema vasogenik dan komplikasi sekunder berkurangnya
aliran darah yang akan menyebabkan iskemia, infark, dan cedera permanen.
Keuntungan lainnya, steroid bersifat tumorisidal untuk beberapa keganasan
seperti leukemia dan limfoma. Jenis obat yang diberikan biasanya
deksametason intravena. Dengan dosis awal yang dikatakan cukup efektif
untuk terapi KMSM tanpa risiko efek samping yaitu 10 mg bolus intravena
dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam. Tapering-off steroid paling sering dilakukan
setelah radiasi atau setelah terlihat perbaikan status neurologis. Setelah pasien
mendapat steroid dosis tinggi, akan dilakukan stratifikasi untuk menentukan
tatalaksana selanjunya, yaitu radiasi dengan atau tanpa operasi.23,25
Operasi
Instabilitas spinal merupakan indikasi tindakan pembedahan. Panjabi
dan White mendefinisikan instabilitas spinal sebagai kondisi hilangnya
kemampuan tulang belakang mempertahankan hubungan antar vertebra dalam
menahan beban fisiologis. Spinal Instability Neoplastic Score (SINS)
37
merupakan salah satu stratifikasi yang biasa digunakan untuk membantu klinisi
menentukan adanya instabilitas tulang. Tujuan utama operasi pada metastasis
tulang belakang adalah stabilisasi tulang, mengangkat massa tumor penyebab
kompresi, mengurangi nyeri, dan mempertahankan fungsi neurologis. Operasi
dekompresi dan fiksasi interna merupakan tatalaksana yang definit
membebaskan kompresi medula spinalis dan memberikan stabilisasi mekanis
langsung pada tulang belakang. Tumor yang menekan medula lebih sering
berasal dari corpus vertebra bagian anterior, sehingga teknik vertebrektomi
dengan pendekatan anterior merupakan terapi definitif dekompresi dan
stabilisasi hingga sekarang.25
38
Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas terapi yang paling sering dikerjakan
pada kasus KMSM. Terapi radiasi diharapkan mengecilkan tumor sehingga
mengurangi penekanan medula spinalis dan mengatasi nyeri. Status neurologis
pre-radiasi merupakan faktor terpenting dalam prediksi luaran radiasi. Faktor
lain yang mempengaruhi respons radiasi antara lain sifat radiosensitivitas
tumor, luas dan beratnya kompresi dan deformasi medula spinalis, tingkat
keparahan tumor sistemik, dan progresivitas gejala neurologis semenjak onset.
Indikasi radiasi pada KMSM antara lain:
a. Terapi definitif untuk pasien KMSM tanpa instabilitas spinal. Radiasi
yang diberikan dalam 24 jam setelah diagnosis KMSM terbukti dapat
mempertahankan fungsi neurologis dan membantu mengontrol nyeri
pada pasien dengan prognosis baik tanpa instabilitas tulang belakang.
b. Sebagai adjuvan operasi pada pasien KMSM yang disertai instabilitas
39
tulang belakang. Berbagai studi menyimpulkan, terapi multimodalitas
(operasi dilanjutkan radiasi) lebih baik daripada operasi saja dalam
memperbaiki fungsi motorik, sensorik, maupun otonom pasien KMSM.
c. Terapi paliatif pada pasien dengan instabilitas spinal yang bukan
merupakan kandidat (terdapat kontraindikasi) atau tidak mendapat
keuntungan dari tindakan operasi, misalnya pasien dengan ekspektasi
hidup kurang dari 3-6 bulan. Pada pasien yang bahkan telah terjadi
paraplegia komplit, radiasi kadang diberikan atas indikasi paliatif nyeri.
2.6.6 Prognosis
Prognosis pasien dengan metastasi pada epidural dan kompresi saraf tulang
belakang bergantung pada tipe dan progresivitas dari penyakit keganasannya.
Pasien dengan KMSM yang tidak diobati akan mengalami perburukan dalam satu
bulan. Median survival keseluruhan pasien KMSM antara 3 hingga 16 bulan dan
kebanyakan pasien meninggal karena perkembangan tumor secara sistemik. Pasien
dengan tumor yang respon terhadap terapi seperti limfoma atau mieloma memiliki
hidup lebih lama (limfoma, 6 hingga 14 bulan) dibandingkan pasien dengan tumor
padat. Penentu yang paling penting secara fungsional adalah keparahan kerusakan
neurologis pada saat mulainya pengobatan. Semakin cepat defisit neurologis
berkembang, semakin rendah kesempatan untuk pemulihan fungsi motorik setelah
perawatan.23
2.7.1 Definisi
Tumor lysis syndrome (TLS) adalah komplikasi dari kerusakan sel besar
pada tumor yang berkembang biak dengan cepat, besar atau sangat sensitive
terhadap radio kemo dan pelepasan selanjutnya konten intraseluler ke dalam aliran
darah. TLS harus dicurigai pada pasien dengan keganasan yang diketahui (tumor
hematologi atau padat) yang datang dengan kelebihan cairan, penurunan output
urin, kelesuan, kram otot, aritmia atau kejang.
40
TLS ditandai oleh hiperurisemia dan gangguan elektrolit utama
(hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia). Sindrom lisis tumor dianggap
darurat karena mengganggu hemodinamik. Tanpa intervensi tepat waktu, dapat
dengan cepat menyebabkan gagal ginjal, kejang, aritmia jantung, dan kematian.
Manifestasi klinis dari TLS bervariasi, dan dapat meliputi aritmia, gagal
jantung kongestif, penurunan urin, kelebihan cairan, keletihan, kram, mual muntah,
parestesia, gagal ginjal, kejang, tetani.
b. IV resusitasi
c. Manajemen gejala
a. Darah Lengkap
41
b. Elektrolit
c. Urea, Kreatinin
d. Asam Urat (jika pasca Rasburicase, sampel harus dikirim di atas es)
e. Fosfor
f. Kalsium
g. Albumin
h. EKG
a. Asam urat serum> 476 μmol / L (atau peningkatan 25% dari baseline)
c. Serum fosfor ≥ 1,45 mmol / L pada orang dewasa (atau 25% meningkat dari
baseline)
a. Dengan tidak adanya disfungsi ginjal akut dan oliguria, hidrasi IV yang kuat
(3 L / m² per hari) dan diuresis (≥ 100 mL / m² / jam) harus dipertahankan.
42
b. Diuretik (Furosemide, Mannitol) mungkin diperlukan untuk mempertahankan
produksi urin dan mencegah kelebihan cairan, tetapi hanya boleh digunakan
jika tidak ada bukti uropati obstruktif akut atau hipovolemia.
d. Kalium, kalsium, dan fosfat pada awalnya tidak boleh ditambahkan ke cairan
hidrasi.
f. Penting untuk dicatat bahwa walaupun jarang, TLS yang terkait dengan tumor
padat memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
diamati dengan keganasan hematologis. Ini mungkin disebabkan, sebagian,
karena waktu onset. Sementara TLS yang terkait dengan keganasan
hematologis umumnya terjadi segera setelah perawatan dimulai, TLS pada
tumor padat dapat terjadi beberapa hari atau minggu kemudian. Kesadaran dan
kewaspadaan sangat penting untuk mencegah keterlambatan atau kelalaian
profilaksis yang efektif.
43
sampai pasien dapat diklasifikasikan sebagai risiko rendah.
DAFTAR PUSTAKA
44
1. National Cancer Institute. NCI Dictionary of Cancer Terms [Internet].
Available from: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries/cancer-
terms/def/oncology
10. Borries Foresto , Eric D Tenda , Cleopas M Rumende. Obstruksi Saluran Napas
pada Non Small Carcinoma: Sebuah Laporan Kasus. Indonesian Journal of
45
CHEST Critical and Emergency Medicine Vol. 2, No. 3 Jul - Sept 2015
12. Wagner J, Arora S. Oncologic Metabolic Emergencies. Emerg Med Clin N am.
2014; 32(2014): 509-525. http://dx.doi.org/10.1016/j.emc.2014.04.003
17. Paraschiv, B., Dediu, G., Iancu, A., Bratu, O., Diaconu, C. Superior Vena Cava
Syndrome. Balkan Medical Union. 2017
18. Straka, C., Ying, J., Kong, F., Willey, CD., Kaminski, J., Kim, DWN. Review
of evolving etiologies, implications and treatment strategies for the superior
vena cava syndrome. Springer Plus. 2016
19. Drews, RE., Rabkin, DJ. Malignancy-related Superior Vena Cava Syndrome.
Wolters Kluwer. 2019
46
emergencies in adult cancer patients.
25. Patel DA, Campian JL. Diagnostic and Therapeutic Strategies for Patients with
Malignant Epidural Spinal Cord Compression. Curr Treat Options Oncol.
2017;18(9)
26. Johnstone, C., Rich, SE. Bleeding in cancer patients and its treatment : a review.
Annals of Palliative Medicine. 2017
27. Escobar MA. Bleeding in the patient with a malignancy. Cancer 2016;15:312-
9
47