Anda di halaman 1dari 48

KEGAWATDARURATAN DI BIDANG ONKOLOGI

Disusun Oleh:
Rizki Munawir Siregar 140100008
Ikke A. A. S. Sinaga 140100039
Heppy Yosephyn Manurung 140100048
Megawaty Sianturi 140100082
Sunita Melati Nasution 140100106
Habibatul Isma Awalia 140100143
Monica T. Hanna Gultom 140100178
Maya Melisa Wirya 130100456

Pembimbing:
Dr. dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B (K)-Onk

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Kegawatdaruratan di Bidang Onkologi”. Penulisan makalah ini adalah salah satu
syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Kamal Basri Siregar, Sp.B (K)-Onk selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini.

Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi


positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.Penulis menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan
makalah selanjutnya.

Medan, 28 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 3

2.1. Kegawatdaruratan Obstruksi Jalan Nafas Pada Kasus Onkologi. 3

2.2. Kegawatdaruratan Perdarahan Pada Kasus Onkologi .................. 12

2.3. Kegawatdaruratan Onkologi dengan Gangguan Metabolisme dan


Elektrolit ........................................................................................ 14

2.4. Sindroma Vena Cava ................................................................... 27

2.5. Kegawatdaruratan Onkologi akibat Peningkatan TIK ................. 31

2.6. Kompresi Medula Spinalis akibat Metastasis .............................. 33

2.7. Tumor Lysis Syndrome ................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 45

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Onkologi merupakan cabang kedokteran yang berspesialisasi dalam


diagnosis dan pengobatan kanker. Ini termasuk onkologi medis (penggunaan
kemoterapi, terapi hormon, dan obat-obatan lain untuk mengobati kanker),
onkologi radiasi (penggunaan terapi radiasi untuk mengobati kanker), dan onkologi
bedah (penggunaan operasi dan prosedur lain untuk mengobati kanker). 1 Kata
"onco" berarti besar, massa, atau tumor sementara "-logy" berarti studi.2

Kanker adalah penyebab kematian kedua di balik penyakit kardiovaskular,


di seluruh dunia.3 Berdasarkan laporan lembaga internasional untuk penelitian
kanker (IARC) di GLOBOCAN 2012, lokasi yang paling umum dan tingkat
kematian tertinggi adalah kanker paru-paru pada pria dan kanker payudara pada
wanita.4 Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel yang tidak terkendali. Ini
dapat mempengaruhi hampir semua bagian tubuh. Pertumbuhannya sering
menyerang jaringan di sekitarnya dan dapat bermetastasis ke tempat yang jauh.
Banyak kanker dapat dicegah dengan menghindari paparan faktor-faktor risiko
umum, seperti asap tembakau. Selain itu, sebagian besar kanker dapat
disembuhkan, dengan pembedahan, radioterapi atau kemoterapi, terutama jika
mereka terdeteksi dini.5

Keadaan darurat onkologis dapat terjadi kapan saja selama keganasan,


mulai dari gejala yang muncul sampai penyakit tahap akhir. Meskipun beberapa
kondisi ini berhubungan dengan terapi kanker, mereka tidak terbatas pada periode
diagnosis awal dan perawatan aktif. Dalam kondisi keganasan berulang, peristiwa
ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah pengawasan pasien kanker telah ditransfer
dengan tepat dari ahli onkologi medis ke penyedia perawatan primer.6 Dokter
keluarga harus terbiasa dengan keadaan darurat onkologis yang paling lazim karena
stabilisasi sering diperlukan, disamping rujukan untuk mengelola keganasan yang
mendasarinya dan memulai tindakan paliatif. Beberapa keadaan darurat onkologis
berbahaya dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk berkembang, sedangkan

3
yang lain bermanifestasi berjam-jam, menyebabkan hasil yang fatal seperti
kelumpuhan dan kematian. Pada banyak pasien, kanker tidak didiagnosis sampai
kondisi terkait muncul.7 IGD adalah salah satu tempat paling penting untuk
menangani keluhan pasien ini dengan cepat. Sebagian besar pasien ini mengunjungi
IGD setidaknya sekali selama penyakit mereka.8 Identifikasi dan intervensi segera
dalam keadaan darurat ini dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan
meningkatkan kualitas hidup, bahkan dalam kondisi penyakit terminal.6

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Emergency Department of


Shohadaye Tajrish Hospital selama satu tahun dari April 2014 hingga Maret 2015,
jenis kanker yang paling umum pada pasien yang diteliti adalah solid, terletak di
otak atau saluran pencernaan, pada stadium III dan IV, metastasis, dan dalam
kemoterapi radioterapi. Faktor independen terkait kematian antara lain masuk ICU,
presentasi dengan kehilangan kesadaran atau perdarahan, kedatangan melalui
ambulans, stadium kanker> II, lokasi kanker neuroendokrin dan genitourinari, dan
dalam kemoterapi radioterapi.3

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegawatdaruratan Obstruksi Jalan Nafas Pada Kasus Onkologi

Obstruksi jalan nafas dapat disebabkan oleh kanker esophagus, kanker


tiroid dan tumor mediastinum primer. Obstruksi terjadi dapat karena kompresi
external maupun pertumbuhan langsung tumor ke jalan nafas. Sementara kanker
extra thoraks yang dapat bermetastasis ke jalan nafas dan menyebabkan obstruksi
adalah seperti kanker payudara, kanker kolorektal dan keganasan ginjal.

2.1.1 PATOFISIOLOGI

Obstruksi jalan napas dapat terjadi akibat kompresi eksternal jalan nafas
seperti trakea atau bronkus oleh tumor.

2.1.2 Gejala Klinis

Manifestasi klinis obstruksi jalan nafas karena keganasan tergantung pada

5
tingkat keparahan dan lokasi obstruksi nya. Gejalanya tidak spesifik dan dapat
disalah artikan sebagai kondisi yang lebih umum termasuk penyakit paru obstruktif
kronis,eksaserbasi, asma, atau bronkitis.

Gejala klinis paling umum dari obstruksi jalan nafas karena keganasan
adalah dispnea. Gejala biasanya memburuk di malam hari dan ketika pasien
berbaring telentang. Pasien akan sering mengalami batuk yang produktif dan mengi
, dan mungkin juga disertai stridor, terutama jika obstruksi terletak di trakea atau
carina. Gejala biasanya minimal sampai lumen nya betul-betul sempit yang
akhirnya dapat mengancam jiwa.

Hemoptisis juga dilaporkan hingga 45% pada pasien dengan obstruksi jalan
nafas karena keganasan.

2.1.3 Diagnosis

Diagnosis dari obstruksi jalan nafas adalah melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang cepat. Selain itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang
lain seperti foto toraks dan CT-Scan.

Bronkoskopi fleksibel atau rigid dengan visualisasi langsung merupakan


modalitas yang paling efektif dalam diagnosis dan manajemen terbaik untuk
mengatasi obstruksi saluran napas atas. Bronkoskopi dilakukan untuk mengetahui
letak obstruksi dan bisa digunakan untuk biopsy jaringan.

Bronkoskopi rigid dapat digunakan pada situasi darurat untuk


mengamankan jalan napas dengan cara memasukkan alat bronkoskopi secara
perlahan hingga segmen stenosis. Bronkoskopi fleksibel dapat digunakan sebagai
alat diagnosis dan alat untuk terapi laser. Tindakan fotoreseksi, elektrokauter,
electrosurgery, bloon bronchoplasty, dan stent trakea dilakukan ketika aliran
respirasi aman dan pasien sudah stabil. Adanya jalan napas yang aman dan respon
operator yang cepat sangat penting karena bronkoskopi dapat memperburuk
obstruksi saluran napas atas pada situasi kritis.

2.1.4 Tatalaksana

Membuat saluran napas yang aman dan paten merupakan target utama

6
resusitasi pasien dalam kondisi obstruksi saluran napas atas akut. Evaluasi yang
cepat mencakup kelompok umur, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang sangat membantu untuk mengetahui penyebab dan letak obstruksi,
derajat obstruksi, serta perlunya dilakukan pengamanan jalan napas secara cepat.
Beberapa terapi farmakologis dan operasi dapat dilakukan dalam manajemen
obstruksi saluran napas atas, antara lain jalan napas orofaringeal, intubasi
endotrakeal, trakeostomi, krikotiroidotomi, intubasi fibreoptic, recemic
epinephrine, kortikosteroid, helium-oxygen mixtures, terapi laser, bronkoskopi
dilatasi, dan airway stenting.

2.1.5 Laporan Kasus Obstruksi Jalan Napas Onkologi

STATUS ORANG SAKIT

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.MS

No. RM : 80.03.xx

Umur : 62 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Golongan Darah : AB

Suku : Batak Toba

Agama : Islam

Status : Menikah

Pendidikan : SLTP

Pekerjaaan : Ibu Rumah Tangga

Status Ekonomi : Menengah ke bawah

Tanggal Masuk RS : 25/12/2019

7
A. Anamnesis

Keluhan Utama : Benjolan pada leher

Telaah :

Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher yang dirasakan semakin
membesar sejak 3 bulan terakhir, benjolan telah disadari oleh pasien sejak 3 tahun
yang lalu, namun selama 3 tahun yang lalu hanya sebesar puyuh, tidak nyeri dan
tidak menyebabkan keluhan sehingga pasien tidak pernah memeriksakannya.
Dalam 3 bulan terakhir lama kelamaan benjolan dirasakan semakin cepat
membesar. Ukuran benjolan kurang lebih sebesar isi buah kelapa meskipun tidak
nyeri. Pasien mengelukan sulit untuk menelan yang dialami 3 bulan ini, sehingga
pasien sulit untuk makan dan minum.Sesak napas mulai dirasakan sejak 1 minggu
ini, sesak dirasakan terus menerus. Sesak napas memberat ketika pasien berbaring
dan ketika melakukan aktivitas ringan, dan sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan
cuaca. Perubahan suara dan penurunan berat badan tidak dijumpai.Demam tidak
dijumpai, sering gemetar tidak dijumpai, mata melotot tidak dijumpai, dan jantung
berdebar tidak dijumpai. Buang air besar dalam batas normal dan buang air kecil
dalam batas normal.

Sebelumnya pasien pernah berobat ke dokter karena benjolan yang


dirasakan pasien tidak menghilang dan diberikan obat tetapi pasien tidak ingat obat
apa yang diberikan. Riwayat sering mengkonsumsi makanan luar tidak dijumpai.
Riwayat sering makan ikan asin tidak dijumpai. Riwayat merokok dan minum
alkohol tidak dijumpai. Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan yang
sama tidak dijumpai.Riwayat mendapat radiasi di leher tidak dijumpai. Riwayat
mengalami DM dan hipertensi tidak dijumpai.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Presens (26 Desember 2019)

8
Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 130/70 mmHg

Denyut nadi : 82 kali/menit

Frekuensi pernapasan : 28 kali/menit

Temperatur : 36,80C

Tinggi Badan : 156 cm

Berat Badan : 55 kg

Karnofsky Score : 60

VAS :0

b. Status Generalisata

Kepala

Mata : Konjungtiva palpebral inferior pucat (+/+), sclera


ikterik (-/-), reflek cahaya (-/-), pupil isokor
diameter 3mm/3mm, eksoftalmus (-/-)

Telinga : Discharge (-/-), liang telinga normal, tidak ada


gangguan pendenggaran

Hidung : Discharge (-), septum deviasi (-), fungsi hidung


baik

Tenggorokan : Pembesaran tonsil (-), tonsil hiperemis (-)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)

Leher : Posisi trakea sulit dinilai, pembesaran tiroid (+) di


regio coli anterior sinistra, pembesaran KGB sulit
dinilai (dalam status lokalisata)

Thoraks

Pulmo

9
Inspeksi : Simetris fusiformis, penggunaan otot-otot bantu
pernapasan (-)

Palpasi : Stem Fremitus Kanan= Kiri

Perkusi : Sonor pada lapangan paru dan kiri

Auskultasi : Suara pernapasan, Suara tambahan ronkhi (-/-),


wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Atas : ICS III LMCS ; Kanan : ICS IV LPSD ;


Kiri : ICS IV 1 cm LMCS

Auskultasi : S1 (+), S2 (+), S3 (-), S4 (-), Murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Simetris, distensi (-/-), venektasi (-/-), Asites (-/-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), Defans muskular (-), Rigidity (-/-),


Hepar/lien (tidak teraba)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

Genitalia : Laki-laki, Tidak tampak kelainan

Perianal : Tidak ada kelainan

Pemeriksaan Colok dubur : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstermitas

Atas : Oedema (-/-), Sianosis (-/-)

Bawah : Oedema (-/-), Sianosis (-/-)

10
Status Lokalisata

Regio Colli Anterior Sinistra :

Inspeksi : Dijumpai benjolan di regio Colli anterior sinistra, ukuran 4x3 cm,
benjolan tidak ikut bergerak saat menelan, warna benjolan sama dengan warna kulit
sekitarnya.

Palpasi : Tumor berbatas tegas, berjumlah 1 buah dengan ukuran 4x3 cm,
permukaan rata, konsistensi padat, terfiksir pada jaringan dibawahnya, dan tidak
ada nyeri tekan.

Auskultasi : Bruit (-)

Diagnosis Banding

1. Tumor tiroid

2. Karsinoma tiroid

3. Kanker Nasofaring

4. Limfadenopati

5. Linfoma

Hasil Pemeriksaan

Laboratorium (26/12/2019)

Hb/HT/Leu/Trombosit/ : 12.8 / 36/9,800/325,000

Bun/Ur/Cr : 5/11/0.

Na/K/Cl : 144/3.1/101

Thyroglobulin :26.6

T3 Total/Free T4 : 0.72/1.46

pH/pCO2/pO2 : 7.54/33/176

HCO3/BE/SaO2 :28.2/5.8/100

11
Pemeriksaan FNAB (26/12/2019)

Kesan : Colloid Goitre

Diagnosis Kerja : Suspek tumor tiroid curiga ganas T4N1M0 + alkalosis


respiratorik-metabolik

Terapi : Aktivitas : Tirah baring

Diet : Parenteral

Medikamentosa : IVFD RL 20 gtt/i

RENCANA : CT-Scan Leher IV Contrast

Follow Up Pasien Tanggal 27 dan 28 Desember 2019 masih sama dengan Tanggal
26 Desember 2019

2.2 Kegawatdaruratan Perdarahan Pada Kasus Onkologi

Perdarahan adalah masalah yang sering dihadapi oleh pasien dengan


kanker, dengan sekitar10% dari seluruh pasien mengalami paling tidak satu kali
dan hampir 30% pasien dengan keganasan hematologi. Kejadian perdarahan dapat
bervariasi mulai dari perdarahan yang ringan hingga perdarahan yang hebat.
Perdarahan dapat terjadi oleh karena kanker itu sendiri sebagai tumor yang
menginvasi secara lokal, vaskularisasi yang tidak normal akibat tumor atau regresi
tumor. Perdarahan juga bisa terjadi oleh karena obat anti tumor termasuk
radioterapi atau kemoterapi ataupun obat-obatan lain yang dikonsumsi oleh pasien
kanker termasuk golongan NSAID atau antikoagulan.26

a. Etiologi

Perdarahan pada kanker dapat merupakan akibat dari kerusakan pembuluh


darah lokal penyebaran sel tumor, atau merupakan proses sistemik seperti
koagulopati intravakuler diseminata atau gangguan jumlah atau fungsi trombosit.
Perdarahan dapat merupakan suatu akibat kondisi sebelum kanker terdiagnosis,
akibat kanker itu sendiri, atau berkaitan dengan tata laksananya.27

12
b. Manifestasi Klinis

Manifestasi perdarahan pada kanker dapat berupa hematemesis,


hematosezia, melena, hemoptisis, hematuria, epistaksis, perdarahan dari vagina,
atau lesi pada kulit yang terulserasi. Selain itu, dapat berupa ekimosis, petekia, atau
memar. Perdarahan dapat terjadi akut yang mengancam nyawa, alam bentuk
episode atau perdarahan yang merembes.27

Tabel. Penyebab perdarahan baru pada pasien dengan kanker.27

Kategori Contoh penyebab

Hemofilia ringan dan defisiensi faktor koagulasi lain


Kongenital
Penyakit Von Willebrand

Trombositopenia dan disfungsi trombosit (Keterlibatan

sum-sum tulang, terkait imunologi)

Perdarahan akibat sel tumor atau erosi pembuluh darah


Terkait kanker
Koagulasi intravakuler diseminata (Kanker melanoma,

prostat, gastrointestinal dan paru)

Inhibitor faktor koagulasi didapat (multipel mieloma)

Trombositopenia (mielotoksisitas, terkait imunologi)

Terapi antikoagulan
Terkait tatalaksana
Koagulasi intravaskuler diseminata (sekunder pada sepsis
dan sindroma lisis tumor)

c. Tatalaksana Perdarahan pada Kanker

− Intervensi lokal.

Intervensi lokal pasien kanker dengan stadium akhir terdapat beberapa modalitas
yang dapat dilakukan, seperti pemberian antihemostatik, penutup luka, radioterapi,
operasi, endoskopi, dan radiologi intervensional.28

13
− Radioterapi.

Penggunaan radioterapi eksterna dan interna cukup efektif untuk


manajemen perdarahan pada pasien kanker. Satu fraksi radioterapi eksterna untuk
hemoptisis dapat mengontrol perdarahan pada 80% pasien. Pasien kanker acapkali
telah mendapat radioterapi eksterna berulangkali untuk terapi kanker, contohnya
pada kanker kepala leher sehingga bila akan digunakan radioterapi untuk control
perdarahan akan melewati maksimal dosisnya. Keterbatasan teknik ini berkaitan
dengan lokasi anatomi perdarahan karena tidak semua dapat diatasi dengan teknik
ini, riwayat paparan radioterapi pada tempat yang sama, dan keterbatasan fasilitas
radioterapi di sekitar tempat tinggal pasien.28

− Operasi

Pengangkatan jaringan yang berdarah atau ligasi pembuluh darah yang


memperdarahinya adalah teknik yang telah digunakan cukup lama. Operasi secara
teknik cukup sulit karena anatomi dari tumor yang abnormal dan berkaitan dengan
anestesi umum pada pasien yang sakit. Karena pertimbangan hal tersebut, teknik
operasi dilakukan pada pasien kanker dengan stadium awal dan pada kasus dimana
terapi farmakologi, radioterapi, dan radiologi intervensional tidak dapat
dilakukan.28

2.3 Kegawatdaruratan Onkologi dengan Gangguan Metabolisme dan


Elektrolit

2.3.1 Hiperkalsemia

Hiperkalsemia adalah kegawatdaruratan onkologis terkait gangguan


metabolic yang paling umum, dengan kejadian 10% sampai 30%. Hiperkalsemia
didefinisikan sebagai kondisi dimana konsentrasi total serum kalsium > 10 mg / dL
atau konsentrasi kalsium terionisasi > 5,6 mg / dL. Lebih lanjut diklasifikasikan
menjadi hiperkalsemia ringan (10-12 mg / dL; 5,6-8 mg / dL terionisasi),
hiperkalsemia sedang (12,1-14 mg/dL; 8,1-10 mg/dL terionisasi), dan
hiperkalsemia berat/ krisis hiperkalsemik (> 14 mg/dL; > 10 mg/dL terionisasi).

14
Hiperkalsemia paling sering dijumpai pada multiple myeloma, kanker payudara,
kanker paru, dan keganasan ginjal, meskipun dapat juga terjadi pada kondisi
keganasan yang lain.12

a. Patofisiologi

Hiperkalsemia pada keganasan paling sering disebabkan oleh peningkatan


resorpsi tulang yang mengakibatkan pelepasan kalsium dari tulang. Ada 4
mekanisme utama terjadinya hiperkalsemia:12

(1) hiperkalsemia humoral dari keganasan (sekresi tumor paratiroid


hormon [PTH] - protein terkait [PTHrP])

(2) hiperkalsemia osteoklastik lokal (kerusakan tulang lokal yang luas


terkait dengan faktor pengaktif osteoklas)

(3) melalui produksi 1,25-dihydroxyvitamin D, dan

(4) sekresi ektopik PTH

Hiperkalsemia yang berkaiatan dengan sekresi PTHrP ditemukan pada


sekitar 80% pasien hiperkalsemia dengan kanker. PTHrP pada dasarnya memiliki
kemiripan yang terbatas dengan PTH. Namun, pada ujung terminal rantai asam
amino dari PTHrP sangat identik dengan PTH, sehingga memungkinkan PTHrP
untuk mengaktifkan jalur postreceptor dari PTH yang meningkatkan resorpsi
tulang, reabsorpsi kalsium tubulus distal, dan penghambatan transpor fosfat tubular
proksimal, yang mengarah kepada hiperkalsemia.12

Hiperkalsemia akibat peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsemia


osteoklastik local) terjadi pada 20% kasus hiperkalsemia pada keganasan. Hal ini
biasa terjadi akibat metastasis ke tulang pada kanker paru dan payudara, multiple
myeloma; dan jarang pada limfoma dan leukemia. Pada metastasis osteolitik terjadi
pelepasan faktor lokal (parakrin) yang merangsang produksi osteoklas dan bukan
merupakan efek langsung dari sel tumor. Resorpsi tulang yang diinduksi osteoklas
dapat terjadi di seluruh tulang rangka, yang mengakibatkan kehilangan masa tulang
secara luas atau lesi litik pada area yang terbatas.12

15
Limfoma tertentu (paling sering Hodgkin) menghasilkan 1,25-
dihidroksivitamin D (Kalsitriol), bentuk aktif vitamin D. Kalsitriol meningkatkan
resorpsi tulang osteoklastik dan meningkatkan reabsorpsi kalsium dalam usus, yang
menyebabkan hiperkalsemia.12

Mekanisme keempat yang dapat menyebabkan hiperkalsemia, meskipun


sangat jarang (hanya 8 pasien yang diketahui saat ini) adalah dari sekresi PTH
ektopik. Tidak seperti PTHrP, hormon yang diproduksi tumor secara struktural
identik dengan PTH yang disekresikan oleh sel-sel utama kelenjar paratiroid.1

b. Gejala Klinis

Gejala hiperkalsemia sangat bervariasi, bisa bersifat tidak spesifik, dan


tidak jelas. Peningkatan serum kalsium yang signifikan berkorelasi dengan tingkat
keparahan gejala yang timbul. Selain itu, gejala yang lebih berat juga biasa timbul
pada usia yang tua. Peningkatan kalsium serum yang lambat atau kronis mungkin
tidak bergejala sampai tercapai level kalsium serum yang tinggi. Hiperkalsemia
dapat mempengaruhi sistem neurologis, kardiovaskular, pencernaan, ginjal, dan
dermatologis.12

Perubahan neurologis termasuk kelelahan, kelemahan otot, hyporeflexia,


kelesuan, apatis, gangguan persepsi dan perilaku, kebodohan, dan koma. Perubahan
kardiovaskular termasuk bradydysrhythmias; blok tingkat kedua; blok jantung
lengkap; dan pada kadar kalsium >20 mg / dL terjadi henti jantung. Temuan
tambahan pada elektrokardiografi meliputi segmen ST dan interval QT yang
pendek, depresi segmen ST, dan gelombang T yang melebar.

Perubahan gastrointestinal adalah umum dan termasuk mual; anoreksia;


muntah; sembelit; dan, pada hiperkalsemia berat terjadi ileus. Penyakit tukak
lambung dan pankreatitis sangat jarang terjadi pada hiperkalsemia keganasan.

Perubahan pada ginjal termasuk kemampuan ginjal untuk mengatur


kepekatn urin, menghasilkan poliuria, polidipsia, dan penurunan volume dengan
yang berikutnya penurunan laju filtrasi glomerulus dan kerusakan tubular.
Hiperkalsemia juga meningkatkan deposit kalsium mikroskopis di ginjal dapat

16
menyebabkan insufisiensi ginjal progresif, nefrokalsinosis, dan nefrolitiasis.

Perubahan dermatologis termasuk pruritus juga dapat ditemukan, tetapi


jarang terjadi.

c. Tatalaksana

Penanganan hiperkalsemia secara agresif harus dimulai pada semua pasien


hiperkalsemia simptomatik dan pada pasien dengan kalsium serum lebih besar dari
14 mg/dL atau kalsium terionisasi lebih dari 10 mg/dL. Sangat direkomendasikan
untuk mengkonfirmasi hiperkalsemia dengan memeriksa kadar kalsium terionisasi
sebelum memulai pengobatan, karena berbagai kondisi medis dapat memengaruhi
kalsium serum (keadaan hiperalbuminemia atau hipoalbuminemia, gangguan asam-
basa, hiperfosfatemia akut, multiple myeloma, dan sebagainya). Sementara pada
pasien dengan kondisi ekstrem atau sangat simptomatik, pengobatan harus dimulai
segera sebelum konfirmasi, jika riwayat klinis menunjukkan kemungkinan keadaan
hiperkalsemia.12

Hiperkalsemia pada keganasan biasa ditandai dengan onset akut dan kadar
kalsium > 12 mg / dL menunjukkan hiperkalsemia keganasan. Selain itu, pada
hiperkalsemia terkait keganasan terdapat kadar PTH yang rendah, berbeda dengan
pada kondisi hiperparatirodisme, dimana PTH level meningkat atau normal. Jika
pasien tidak menunjukkan gejala, tampak sehat, dan memiliki kadar kalsium serum
kurang dari 14 mg / dL (kadar kalsium terionisasi <10 mg / dL), pengukuran
konsentrasi serum PTH dan pemeriksaan yang tepat dapat dikoordinasikan melalui
tindak lanjut oleh penyedia perawatan primer.12

 Hidrasi

Pasien dengan hiperkalsemia sering mengalami penurunan volume (5-10 L)


sebagai akibat gangguan pemekatan urin oleh ginjal yang disebabkan oleh
hiperkalsemia, dan yang kedua oleh penurunan asupan oral yang disebabkan oleh
mual dan muntah yang disebabkan oleh hiperkalsemia. Untuk mengatasi dehidrasi
berat ini, perawatan andalan melibatkan pemberian cairan IV untuk mngganti
volume intravaskular, meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal, dan menurunkan

17
konsentrasi kalsium melalui secara delusional. Jika pasien tanpa gagal ginjal atau
CHF, 1 sampai 2 L NaCl 0,9% harus diberikan sebagai bolus, dilanjutkan dengan
pemberian Nacl 0,9% 200 hingga 250 mL/jam. Pemantauan kadar kalsium serum,
elektrolit serum lainnya, dan hemodinamik perlu dilakukan .12

Pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat, gagal ginjal, atau CHF
yang signifikan, hidrasi kemungkinan tidak efektif dalam memaksa calciuresis, dan
karenanya cenderung membutuhkan dialisis sebagai penanganan
hiperkalsemia.12,13

 Loop diuretik

Loop diuretik (khususnya furosemide) direkomendasikan secara rutin untuk


pengobatan hiperkalsemia karena dapat meningkatkan ekskresi kalsium melalui
kerjanya pada pada loop Henle. Dalam ulasan terbaru oleh LeGrand dan kolega72
(2008), intervensi ini dipertanyakan karena hanya ada sedikit bukti untuk
mendukung penggunaannya dan dapat menyebabkan penipisan volume tambahan,
hipokalemia, hiperkalsemia yang memburuk, dan perlunya pemantauan intensif
urin output dan elektrolit dalam ICU. Dari hal ini disimpulkan bahwa furosemide
seharusnya hanya digunakan untuk mengatasi penggantian cairan yang terlalu
agresif atau pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda keebihan volume
plasma.12,13

 Terapi tambahan

Terapi farmakologis lainnya biasanya tidak dimulai di IGD karena


kebanyakan agen membutuhkan beberapa jam hingga berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu untuk mencapai efek terapi penuh. Namun, pada hiperkalsemia
berat, mereka harus dipertimbangkan dan dapat diberikan segera ketika pasien
masih di IGD setelah berkonsultasi dengan ahli onkologi dan nefrologi. Bifosfonat
adalah penghambat kuat resorpsi tulang osteoklastik dan menghasilkan penurunan
kalsium 12 hingga 48 jam setelah pemberian, dengan efek yang bertahan sekitar 2
hingga 4 minggu. Saat ini, clodronate, zoledronic acid, ibandronat, pamidronate,
dan etidronate disetujui oleh AS Food and Drug Administration untuk pengobatan

18
hiperkalsemia pada keganasan. Asam zoledronic dan pamidronate secara intravena
paling sering digunakan; Namun, asam zoledronat telah terbukti menjadi bifosfonat
unggul karena potensinya yang lebih tinggi dan karena itu dapat diberikan selama
periode waktu terpendek. Kalsitonin yang diberikan secara subkutan,
intramuskuler, atau intravena terbukti secara sementara mengurangi kadar kalsium
serum dalam 2 sampai 4 jam melalui penghambatan reabsorpsi kalsium dalam
tubulus distal. Kemanjurannya rendah dan pengaruhnya terbatas karena
tachyphylaxis, yang biasanya berkembang dalam 3 hari. Glukokortikoid (Prednison
dan hidrokortison paling sering) dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
multiple myeloma dan lymphoma karena mereka menurunkan sintesis 1,25-
dihydroxyvitaminD. Terapi lain yang jarang digunakan termasuk gallium nitrate,
mithramycin, plicamycin, cinacalcet, dan denosumab. Hemodialisis harus dianggap
sebagai pilihan pengobatan untuk hiperkalsemia dari keganasan pada pasien dengan
hiperkalsemia refrakter berat, perubahan status mental yang dalam, gagal ginjal,
atau mereka yang tidak dapat mentolerir pemberian cairan NaCl.12,13

2.3.2 Hiponatremia

Hiponatremia adalah kelainan elektrolit umum pada pasien yang dirawat di


rumah sakit. Hiponatremia didefinisikan sebagai serum natrium <135 mmol/L dan
dikategorikan sebagai hiponatremia ringan, sedang atau berat. Untuk pasien kanker
dengan kemoterapi, definisi dapat didasarkan pada skala Common Toxicity Criteria
for Advers Events (CTCAE) yang menyatakan Kelas 1–2 (hiponatremia
ringan/sedang) untuk nilai natrium serum 131-134 mmol/L; Tingkat 3
(hiponatremia berat) untuk serum natrium 121-130 mmol / L; Tingkat 4
(mengancam kehidupan) untuk serum natrium 120 mmol/L, dan Tingkat 5 untuk
kematian.14

Insiden hiponatremia bervariasi dari 3,7% hingga 47% pada pasien kanker
yang dirawat di rumah sakit. Hiponatremia disebabkan oleh disfungsi hipofisis atau
adrenal, produksi ADH paraneoplastik, kemoterapi, dan terapi cairan yang agresif.
Kanker yang umumnya terkait dengan hiponatremia, terutama sindrom sekresi
hormon antidiuretik (SIADH) adalah tumor padat (paru-paru, payudara, kepala, dan

19
leher), dan keganasan lain seperti gastrointestinal, genitourinari, endokrin, sarkoma
dan limfoma.14

a. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, osmolalitas plasma diatur secara ketat pada kisaran
280 hingga 295mOsm / kg melalui (1) persepsi haus, (2) kontrol ekskresi air di
ginjal oleh ADH juga dikenal sebagai AVP, dan (3) ekskresi natrium ginjal yang
diatur oleh ANP dan sistem renin angiotensin. Memahami ini membantu seseorang
memahami penyebab hiponatremia.13

Pada pasien dengan kanker, hiponatremia sekunder akibat sekresi AVP


yang tidak tepat (atau ADH; Syndrome of Innapropriate Antidiuretic Hormone
[SIADH] atau sindrom antidiuresis yang tidak tepat) terjadi sebagai sindroma
paraneoplastik, atau sebagai komplikasi terapi kanker. SIADH didefinisikan
sebagai hiponatremia hipo-osmolar atau dilusional dengan natriuresis berlebihan.
Hiponatremia terjadi karena sekresi AVP terus berlanjut bahkan setelah osmolalitas
plasma turun di bawah ambang batas untuk rilis AVP. Sekresi yang tidak tepat dari
AVP dapat berasal dari sumber normalnya, hipotalamus, sebagai konsekuensi dari
disregulasi, atau dapat berasal dari ektopik, timbul dari sel kanker sendiri. Dalam
kasus produksi ektopik, AVP terdeteksi dalam plasma dan berkorelasi dengan AVP
mRNA yang terdeteksi atau peptida imunoreaktif dalam sel tumor. Gangguan
sekresi AVP paling sering ditemukan pada kanker paru, kanker kepala dan leher,
dan keganasan hematologis. Obat yang dilaporkan menyebabkan SIADH termasuk
siklofosfamid dan analog isomernya, ifosfamide; termasuk alkaloid vinca
vincristine, vinblastine, dan vinorelbine; inhibitor proteasome bortezomib; serta
carboplatin dan cisplatin, meskipun yang terakhir lebih sering menyebabkan
pemborosan garam ginjal.13

Pasien dengan kanker paru sel kecil, hiponatremia tanpa kadar AVP yang
terukur juga telah dilaporkan. Dalam sebagian kecil dari pasien-pasien ini terjadi
produksi ektopik ANP mRNA dan pembentukan peptida yang mirip dengan bentuk
asam amino-amino ANP yang bersirkulasi dalam plasma dan menyebabkan
hiponatremia. Biasanya, ANP diproduksi, disimpan, dan dilepaskan oleh sel-sel

20
otot jantung pada atrium dan berikatan dengan satu set reseptor spesifik di ginjal
untuk meningkatkan ekskresi natrium.13

Selain SIADH dan sindrom atrial natriuretic peptida yang tidak tepat
(SIANP), ada peningkatan kesadaran akan suatu mekanisme alternatif lain dari
kehilangan garam disebut sebagai Cerebral Sodium Wasting Syndrome (CSWS).
Dua kriteria utama harus dipenuhi untuk diagnosis CSWS: (1) lesi serebral dan (2)
ekskresi dari Na + dan Cl– urin yang tinggi.13

b. Gejala Klinis

Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler.


Konsentrasi natrium akan mempengaruhi konduksi saraf dan fungsi otot. Ketika
kadar natrium serum turun di bawah 125 mEq / L, pasien dapat mengalami
kelemahan umum, anoreksia, perubahan status mental, kejang, dan koma.
Hiponatremia dapat terjadi karena berbagai alasan pada pasien dengan kanker.15

c. Tatalaksana

Penangan hiponatremia didasarkan pada kondisi klinis pasien yang meliputi


gejala dan keparahan. Konsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan
hiponatremia harus dihindari dan dihentikan pada semua pasien. Selain itu,
menangani keganasan dan kondisi medis yang mendasari mungkin dapat
memperbaiki kondisi hiponatremia. Jumlah natrium yang optimal untuk koreksi
hiponatremia tidak konsisten; namun, direkomendasikan <8-10 mmol/L dalam
waktu 24 jam dan <18 mmol / L dalam 48 jam untuk meminimalkan risiko osmotik
demielinasi.14

Pada hiponatremia hipovolemik, pengobatan utamanya adalah untuk


mengoptimalkan penggantian cairan dengan saline isotonik. Dalam hal untuk
meningkatkan konsentrasi natrium, natrium klorida tablet dapat diberikan.
Fludrocortisone juga telah terbukti meningkatkan status volume dalam kombinasi
dengan terapi penggantian natrium untuk pasien dengan Cerebral Salt Waste
(CSW) dan Subarrachnoid Hemorrhage (SAH) yang berisiko mengalami
vasospasme.14

21
Untuk hiponatremia euvolemik dan hipervolemik, pengobatan dapat
dimodifikasi berdasarkan keparahan dan gejala. Untuk pasien dengan hiponatremia
asimptomatik atau ringan, pilihan lini pertama adalah pembatasan cairan 500-1000
mL / hari. Selain itu, pembatasan cairan dapat didasarkan pada penargetan 500 mL
/ hari kurang dari rata-rata keluaran urin. Jika pasien terus menjadi hiponatremik
meskipun ada pembatasan cairan, obat-obatan dapat digunakan.14

Obat-obatan baru yang disetujui oleh AS untuk pengobatan hiponatremia


euvolemik dan hipervolemik adalah konivaptan dan tolvaptan. Conivaptan adalah
penghambat reseptor vasopresin yang tidak selektif. Ini menargetkan reseptor V1A
yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah, dan reseptor V2
di saluran pengumpul ginjal untuk mendorong eliminasi air. Tolvaptan secara
selektif menghambat ADH untuk berikatan dengan reseptor V2 dalam tubulus
kolektivus meningkatkan eliminasi air. Tolvaptan telah terbukti memperbaiki
hiponatremia hipervolemik pasien dengan gagal jantung, edema dan mengurangi
dispnea.14

Inisiasi pemberian antagonis reseptor vaopressin harus dlakukan dengan


pemantauan ketat terhadap kadar natrium dan cairan pasien.Kedua agen tersebut
tidak digunakan untuk hiponatremia berat karena meningkatkan risiko koreksi
berlebihan dalam 24 jam pertama. Ketika pasien mengkonsumsi antagonis reseptor
vasopresin, tidak boleh ada pembatasan cairan untuk 24 jam pertama karena risiko
hipovolemia. Pasien harus terus minum ketika rasa haus selama 24 jam pertama.
Conivaptan adalah penghambat CYP3A4 yang kuat sementara tolvaptan adalah
substrat CYP3A4. Oleh sebab itu obat-obatan yang merupakan penghambat dan
penginduksi CYP3A4 harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati. Tolvaptan
hanya dikonsumsi <30 hari karena risiko cedera hati serius dengan penggunaan
jangka panjang dan tidak disarankan untuk pasien dengan penyakit hati yang
mendasarinya.14

Dalam kasus yang parah dimana natrium <120 mmol / L atau terdapat
perubahan neurologis, 3% saline mungkin diberikan. Koreksi cepat natrium harus
dihindari karena risiko demielinasi osmotik, terutama pada pasien dengan

22
hiponatremia kronis. Risiko demielinasi osmotik lebih tinggi dengan koreksi cepat
natrium> 12 mmol dalam 24 jam. Untuk koreksi hiponatremia yang muncul, saline
hipertonik harus diinfuskan pada kecepatan 0,5-2 mmol /L/ jam sampai gejala
membaik; Namun, koreksi total harus <10 mmol / L dalam 24 jam. Natrium
seharusnya sering dimonitor, setiap 2-4 jam, selama 24 jam pertama koreksi. Sekali
hiponatremia dan gejalanya membaik, saline hipertonik dapat dihentikan.14

2.3.3 Laktat Asidosis

Asidosis anion gap (AG) dan asidosis non-anion gap (NAG) lazim
ditemukan pada pasien kanker. Di antara berbagai asidosis AG, asidosis laktat (LA)
adalah yang paling spesifik pada kanker. Pasien kanker mungkin menderita LA tipe
A akibat hipoksia jaringan pada kondisi sepsis atau gagal jantung, tetapi mereka
mungkin juga mengalami LA tipe B dimana tidak ada bukti iskemia jaringan. LA
tipe B sering terjadi pada leukemia dan limfoma, tetapi kasus lain yang dilaporkan
termasuk multiple myeloma, kanker lambung, dan kanker payudara. Asidosis laktat
didefinisikan sebagai pH ≤7.35, dengan konsentrasi laktat plasma ≥5 meq / L.
Terjadinya asidosis metabolik pada pasien dengan kanker menunjukkan prognosis
yang buruk.13

a. Patofisiologi

Produksi asam laktat biasanya terjadi dalam kondisi hipoksia jaringan, dan
setelah dilepaskan ke sirkulasi, 90% asam laktat mengalami metabolisme di hati,
dan dikonversi menjadi asam piruvat, dengan sisa 10% dimetabolisme atau
diekskresikan oleh ginjal. Tidak seperti sel normal, sel tumor mengandalkan
glikolisis anaerob secara tidak proporsional, bahkan dengan adanya oksigen,
menghasilkan sejumlah besar laktat yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan
antara produksi laktat dan metabolismenya oleh hati. Pentingnya peran hati dalam
metabolisme asam laktat menjelaskan mengapa pasien dengan fungsi hati yang
terganggu lebih mudah mengalami asidosis laktat yang berat. Pada pasien dengan
kanker, gangguan hati fungsi dapat terjadi ketika terdapat metastasis hati yang luas
menggantikan sebagian besar parenkim hati. Pada pasien-pasien tersebut asidosis
laktat dapat berkembang tanpa terhindarkan.13

23
Pada pasien leukemia dan limfoma asidosis laktat biasanya terjadi pada
orang dewasa dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Keterlibatan hepar sering
terjadi, dan dalam proporsi tertentu berkontribusi pada hipoglikemia. Tingginya
frekuensinya keterlibatan hepar pada pasien limfoma dan leukemia dewasa yang
mengalami asidosis laktat mendukung kemungkinan berkurangnya metabolisme
laktat hepar yang berperan dalam patogenesis asidosis laktat. Beberapa ahli
berpendapat bahwa hilangnya potensial membran mitokondria selama akibat
apoptosis mengakibatkan terjadinya glikolisis kompensasi dengan akumulasi asam
laktat dan asidosis.13

b. Tatalaksana

Asidosis laktat biasanya berkembang pada pasien dengan penyakit yang


luas dan sering berkembang dengan cepat. Bahkan dengan dukungan terapi
maksimal, angka kematian masih mencapai 60% hingga 90%. Asidosis yang
berkembang dapat menyebabkan aritmia jantung dan hipotensi dengan potensi
kolaps kardiovaskular. Akibatnya, pendekatan terapeutik yang agresif
diindikasikan termasuk yang berikut:13

(1) Secara agresif mempertahankan tekanan darah dengan cairan dan vasopresor
untuk mencegah hipoperfusi umum yang akan mengarah pada akumulasi asam
laktat lebih lanjut;

(2) Penggunaan natrium bikarbonat. Hal ini masih kontroversial, karena tidak ada
penelitian terkontrol yang menunjukkan peningkatan pada hasil tetapi dapat
digunakan pada asidosis yang cukup parah untuk mempengaruhi fungsi
hemodinamik dan respons terhadap katekolamin;

(3) Hemodialisis dan hemofiltrasi dengan cairan pengganti berbasis bikarbonat;

(4) Koreksi penyebab yang mendasarinya sangat penting, tetapi seringkali sangat
sulit jika laktat asidosis merupakan komplikasi dari kanker.

2.3.4 Hemolytic Uremic Syndrome (Hus)

Hemolytic uremic syndrome (HUS) adalah kelainan mikrovaskular yang


ditandai secara histopatologis oleh mikrotrombi diseminata yang menyumbat

24
mikrovaskular. HUS sering dikaitkan dengan kehadiran multimers faktor von
Willebrand yang besar yang mampu mengakibatkan agregasi dari trombosit di
dalam sirkulasi. HUS ditandai dengan anemia hemolitik Coombs-negative dengan
jumlah schistocyte yang tinggi sebagai hasil dari fragmentasi eritrosit ketika
mereka melewati arteriol yang tersumbat. Microthrombi yang menyebar
menyebabkan kerusakan iskemik pada organ, paling sering pada ginjal dan otak,
insufisiensi ginjal, dan berbagai gejala neurologis. Meskipun purpura
trombositopenik trombotik dan HUS merupakan spektrum dengan tumpang tindih,
namun insufisiensi ginjal selalu terjadi pada HUS tetapi sering lebih ringan pada
trombositopenik trombotik purpura, di mana gejala neurologis sering
mendominasi.13

a. Patogenesis

Pada pasien dengan kanker, HUS telah dilaporkan: (1) sebagai manifestasi
dari kanker itu sendiri, (2) sebagai komplikasi dari kemoterapi, (3) berkaitan
dengan transplantasi sumsum tulang, dan (4) lebih banyak baru-baru ini sebagai
masalah pada pasien yang menerima antibodi dan imunotoksin. Pada pasien yang
tidak diobati, HUS terutama ditemukan pada kanker yang telah menyebar luas,
meskipun terkadang timbul pada kanker stadium awal. HUS dilaporkan sering
terjadi pada adenokarsinoma pada payudara, paru-paru, pankreas, prostat, dan
lambung, dan dapatditemukan juga pada pasien dengan limfoma serta keganasan
lainnya. Pada pasien yang dirawat, beragam kelompok agen kemoterapi telah
terlibat dalam etiologi HUS. Ulasan 1986 HUS terkait kemoterapi berkaitan dengan
mitomisin-C dan 5-fluorurasil sebagai penyebab paling sering. Laporan selanjutnya
HUS terkait gemcitabine mencerminkan meluasnya penggunaan agen ini. Agen
lain yang juga telah terlibat dalam etiologi sindrom ini termasuk bleomycin,
cisplatin, cytosine arabinoside, daunomycin, deoxycoformycin, estramustine, dan
methyl-CCNU. Kejadian HUS pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum
tulang tidak pasti, menyebabkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis.13

Manifestasi klinis dari HUS fulminan meliputi pentad klasik, yaitu: anemia
hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, demam, gagal ginjal progresif cepat,

25
dan defisit neurologis.

Sindrom gangguan pernapasan akut juga dapat terjadi pada beberapa pasien.
Dalam kondisi ini, tingkat kematian yang tinggi telah dilaporkan, karena perawatan
menjadi lebih sulit pada pasien yang didasari oleh penyakit yang berat. Pada
beberapa pasien dengan gejala subakut yang meliputi perubahan mikroangiopati,
trombositopenia ringan, dan kerusakan fungsi ginjal bertahap telah dilaporkan.13

Pada pasien yang menjalani transplantasi stem sel alogenik, hemolisis dan
fragmentasi sel darah merah bisa ditemukan pada 25% hingga 38% pasien.
Disfungsi ginjal terkait dan manifestasi neurologis pada pasien dengan kondisi
yang lebih berat menunjukkan spektrum keparahan yang dapat menggambarkan
kerusakan endotel yang diakibatkan oleh interaksi donor-host.13

b. Terapi

Terapi definitif untuk HUS terkait kanker masih belum ditetapkan. Apabila
regimen kemoterapi yang diberikan terlibat sebagai penyebab, maka penggunaanya
harus dihentikan. Tekanan darah harus tetap dikontrol. Kegunaan steroid juga
masih belum pasti sehingga tiak dianjurkan untuk penggunaan rutin. Hemodialisis
diindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal. Meskipun khasiat terapi plasma
exchange menggunakan fresh frozen plasma sebagai cairan substitusi dan
imunoadsorpsi kromatografi dapat dipertimbangkan, salah satu atau keduanya
harus dimulai diagnosis ditegakkan secara pasti. Terapi ini mungkin perlu berlanjut
selama berbulan-bulan. Plasma cryosupernatant telah dilaporkan sama efektifnya
dengan fresh frozen plasma. Peluang keberhasilan terapi yang lebih besar dapat
diharapkan pada pasien dengan beban tumor yang lebih kecil, atau pada pasien
dengan terapi antikanker yang efektif, dan pada kasus yang didiagnosis dini.
Beberapa ahlimenyatakan bahwa pengobatan mungkin lebih berhasil ketika HUS
terjadi sebagai manifestasi dari kanker yang mendasarinya dibandingkan sebagai
komplikasi terapi.13

2.4 Sindroma Vena Cava

26
2.4.1 Definisi dan Epidemiologi

Sindrom vena cava superior adalah obstruksi mekanikal dari vena cava
superior oleh karena venous thrombi atau kompresi ekstrinsik oleh tumor
intrathoracal pada kebanyakan kasus.16

Sindrom vena cava superior berkembang pada 5-10% pasien dengan lesi
malignan intratorakal. Massa pada bagian kanan cenderung lebih mudah
menyebabkan sindrom vena cava superior karena letak anatomis dari vena cava
superior.2 Penyebab malignan dari sindrom vena cava superior terutama
diobservasi pada pasien berusia 40-60 tahun,sedangkan untuk penyebab benign
terjadi pada pasien berusia 30-40 tahun. Paling sering terjadi pada laki-laki karena
insidensi kanker paru paling tinggi.2,3 Obstruksi vena cava superior jarang terjadi
pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh congenital stenosis.17

2.4.2 Etiologi dan Patofisiologi

Malignansi merupakan penyebab paling sering dari sindrom vena cava


superior dan menyumbang lebih dari 80% dari kasus.3 Penyebab yang benign
seperti thrombosis karena kateter dan pacemaker menyumbang 20-40% kasus.
Penyebab lain antara lain penyakit vaskular, infeksi dan penyakit jantung seperti
pericarditis atau atrial myxoma.17

Vena cava superior membawa kira-kira sepertiga aliran balik vena ke


jantung. Terletak agak ke kanan dari midline dan berjalan ke atas dan tengah
mediastinum. Vena cava superior adalah tempat drainase utama untuk aliran balik
vena dari kepala, lengan dan badan atas. Walaupun volume alirannya tinggi, vena
cava superior dapat distensi dan juga dapat dikompresi oleh massa dari tengah
ataupun anterior mediastinum, paratracheal kanan ataupun pembuluh limpa
precarinal atau lobus kanan bronkus. Walaupun jarang, trombus dapat menyumbat
vena cava superior bahkan tanpa adanya massa eksternal.18 Apabila terjadi
obstruksi pada vena cava superior, tekanan vena pada vena kontralateral meningkat
dan seiring waktu vena kontralateral akan membentuk jalan lain untuk kembalinya
darah vena ke atrium kanan.17,18 Vena kolateral dapat terbentuk dari vena azygos,

27
hemiazygos, intercostal, mediastinal, paravertebral, thoracoepigastrial, internal
mamary, thoracoacromioclavicular dan vena pada dinding anterior dada.18 Sebagai
hasilnya, tekanan vena tubuh bagian atas meningkat tetapi kembali menurun seiring
berjalannya waktu.19 Vena azygos dapat menyambungkan vena cava superior
dengan vena cava inferior secara langsung, sehingga apabila sumbatan sebelum
jalan masuk vena azygos ke vena cava superior terjadi akan menyebabkan gejala
yang lebih parah.18 Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk perkembangan
jaringan vena kolateral yang cukup untuk mengakomodasi aliran darah yang
normalnya melewati vena cava superior.18,19 Jika oklusi muncul perlahan-lahan,
maka pasien biasanya tidak bergejala. Sebaliknya, jika terjadi oklusi yang cepat
maka dapat terjadi beberapa sekuele antara lain dispneu, pembengkakan pada leher,
badan, ekstremitas atas dan wajah, nyeri dada dan distensi vena kolateral, plethora,
disfagia dan suara serak.18

2.4.3 Penegakan Diagnosa

Diagnosa sindrom vena cava superior dapat ditegakkan dengan anamnesa,


pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesa akan dijumpai manifestasi klinis
seperti leher bengkak (collar of stoke), wajah bengkak, nyeri dada, sesak nafas,
disfagia, pandangan kabur, suara serak, sakit kepala, hidung terasa penuh, mual dan
kepala terasa berat.20 Wajah bengkak atau kepala terasa penuh dieksaserbasi dengan
posisi menunduk atau berbaring.19 Pada pemeriksaan fisik didapati adanya distensi
vena pada leher dan dinding dada, edema facial, mental change, plethora, sianosis,
papiledema, stupor bahkan koma.20 Edema yang terjadi pada leher dapat menekan
fungsi laring atau faring dan menyebabkan dispneu, stridor, batuk dan suara serak
serta disfagia. Edema pada otak dapat menyebabkan sakit kepala, linglung,
gangguan visual dan auditori bahkan herniasi otak.19

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosa


antara lain chest x-ray untuk menilai ada tidaknya massa pada bagian mediastinum,
CT-Scan untuk menilai adanya obstruksi karena kompresi eksternal ataupun oleh
karena adanya trombus. Selanjutnya ada invasive contrast venography untuk
menilai secara tepat apa yang menjadi etiologi dari obstruksi.

28
2.4.4. Diagnosa Banding

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik serta penunjang, diagnosa


banding dari sindrom vena cava superior adalah pneumonia, tuberculosis, penyakit
paru obstruktif kronis, acute respiratory stress syndrome, mediastinitis, sifilis,
cardiac tamponade, thoracic aortic aneurysm.17

2.4.5. Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana adalah untuk meringankan gejala dan


menyembuhkan penyakit pendasar. Tatalaksana awal harus disesuaikan dengan
tingkat keparahan sindrom vena cava superior seperti edema otak, penurunan
cardiac output ataupun edema saluran nafas atas. Penatalaksanaan yang dapat
diberikan antara lain :17

a. Pentalaksanaan konservatif. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan


hidrostatik. Pasien diposisikan dengan kepala dielevasikan, terapi oksigen,
pembatasan cairan serta pemberian antiemetik.

b. Antibiotik. Jika penyakit pendasarnya adalah infeksi, maka penatalaksanaan


utama adalah antibiotik.

c. Antikoagulan. Jika penyebabnya adalah trombus. Harus diberikan 5 hari


pertama setelah onset.

d. Glukokortikoid. Apabila ditemukan adanya edema laring. Pemberiannya


dalam durasi yang singkat dengan perlahan-lahan mengurangi dosis obat.

e. Diuretik. Diharapkan tekanan vena distal ke obstruksi bisa berefek dengan


perubahan kecil di tekanan atrium kanan.

f. Radioterapi

g. Kemoterapi

h. Stent placement

29
Gambar.Algoritma tatalaksana sindrom vena cava superior

2.4.6 Komplikasi dan Prognosis

Beberapa komplikasi dari sindrom vena cava superior antara lain edema
laringeal, edema serebral, penurunan cardiac output disertai hipotensi, emboli paru
(ketika berkaitan dengan trombus).20

Tidak ada kematian yang secara langsung terjadi oleh karena mild venous
congestion. Biasanya survival rate bergantung pada penyakit yang mendasari.
Pasien dengan gejala edema laring dan otak merupakan manifestasi klinis yang
paling berbahaya dan dapat menyebabkan kematian mendadak.20

2.5 Kegawatdaruratan Onkologi akibat Peningkatan TIK

2.5.1 Definisi

30
Metastasis otak adalah jenis keganasan otak yang paling umum, terjadi pada
20-40% pasien kanker dewasa. Meskipun setiap tumor dapat bermetastasis ke otak,
kanker paru-paru, kanker payudara, dan melanoma adalah yang paling umum,
terhitung 70-90% dari metastasis otak. Tumor primer umum lainnya termasuk
kanker kolorektal dan karsinoma sel ginjal. Melanoma dan kanker paru-paru paling
sering dikaitkan dengan metastasis otak multipel; kanker payudara, kolorektal, dan
ginjal lebih mungkin dikaitkan dengan metastasis soliter. Metastasis otak dapat
menyebabkan defisit dan kejang neurologis, dan menjadi darurat onkologis dalam
kasus peningkatan tekanan intrakranial dan status epilepticus. Pasien dengan tumor
otak primer dan pasien dengan edema akibat pengobatan dengan radioterapi seluruh
otak atau beberapa agen kemoterapi juga dapat menunjukkan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Tidak diobati, pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intrakranial memiliki rata-rata kelangsungan hidup sekitar 4
minggu. Prognosis tergantung pada status kinerja Karnofsky, adanya penyakit
sistemik, dan tumor primer. Peningkatan tekanan intrakranial dan kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit dianggap sebagai darurat onkologis. Status
epilepticus didefinisikan sebagai lebih dari 30 menit aktivitas kejang terus menerus
atau dua atau lebih kejang sekuensial tanpa pemulihan penuh antara kejang.21

2.5.2 Patofisiologi

Volume intrakranial tidak dapat diperluas pada orang dewasa karena


penahanannya adalah tengkorak dan duramater. Otak itu sendiri memiliki volume
rata-rata 1.400 ml, cairan tulang belakang 52 hingga 160 ml, dan darah 150 ml.
Peningkatan volume satu kompartemen terjadi dengan mengorbankan dua
kompartemen lainnya (hipotesis Monro-Kellie). Jika volume otak meningkat akibat
tumor otak, volume cairan tulang belakang berkurang sebagai mekanisme
kompensasi. Sehingga ICP dari 200 hingga 250 mm peningkatan volume
kompartemen serebral spinal fluid (CSF) hanya menghasilkan sedikit peningkatan
ICP selama aliran CSF tidak terhambat, laju antara produksi dan reabsorpsi CSF
tetap konstan, dan sinus vena dural tetap konstan.22

2.5.3 Manifestasi klinis

31
Pasien dengan metastasis otak dapat mengalami berbagai gejala
neurologis. Sekitar 50% kasus mengalami onset sakit kepala subakut. Gejala
umum lainnya termasuk perubahan status mental, hemiparesis, gangguan kognisi,
peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang. Pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial karena metastasis otak atau tumor otak primer secara klasik hadir
dengan sakit kepala, mual, dan muntah, yang kesemuanya mungkin paling parah di
pagi hari dan saat terlentang. Selain itu, papilledema yang terdeteksi pada
pemeriksaan fisik hampir selalu menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial. 21

2.5.4 Manajemen Penatalaksanaan21

Secara umum perawatan diluar rumah sakit pada pasien kanker dengan ICP
atau kejang : manajemen jalan napas, resusitasi cairan, manajemen gejala, dan
transport (protokol tujuan dan aktivasi sistem perawatan ED pra-rumah sakit).

Pemeriksaan di rumah sakit pada pasien kanker dengan ICP terdiri dari CT
scan head (tidak kontras), darah lengkap, elektrolit. Adapun pemeriksaan di rumah
sakit pada pasien kanker dengan kejang antara lain CT scan head (tidak kontras),
darah lengkap, elektrolit, elektrokardiogram.

Perawatan awal peningkatan ICP adalah dengan Dexamethasone, karena itu


adalah yang paling lipid- larut semua steroid. Dexamathasone 10-24 ng N, diikuti
oleh 4 mg IV setiap 6 jam harus diberikan. Dalam kasus yang paling parah,
Mannitol 0,25-1g / kg / dosis IV selama 30 menit (dapat diberikan lebih dari 5-10
mukjizat dalam situasi kritis) selain intubasi dan hiperventilasi terkontrol dapat
digunakan untuk mengurangi edema serebral, tetapi ini dicadangkan untuk kasus
kritis pada pasien dengan keadaan klinis yang menurun dengan cepat.

Status epilepticus adalah keadaan darurat medis membutuhkan penilaian


segera jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Terapi antikonvulsan dengan aksi
singkat benzodiazepine harus diberikan untuk dihentikan aktivitas
kejang:lorazepam 2-4 mg IV langsung. Pasien dengan status epileptikus mungkin
juga memerlukan perawatan lebih lanjut dengan yang lain antikonvulsan
phenytonin 15-20 mg / kg IV infusi. Antikonvulsan berhubungan dengan signifikan

32
efek samping dan tidak dianjurkan untuk profilaksis pada pasien dengan metastasis
otak tanpa riwayat kejang.

Untuk pasien tertentu dengan status kinerja yang baik dan penyakit sistemik
yang terkontrol dengan baik, perawatan metastasis otak yang lebih definitif
mungkin termasuk operasi, radioterapi seluruh otak, radiosurgery stereotactic atau
kombinasi. Jika CT scan hanya mengungkapkan satu lesi, Bedah Saraf harus
dikonsultasikan. Jika CT scan mengungkapkan beberapa lesi, Onkologi Radiasi
harus dikonsultasikan dalam 24-48 jam.

2.6 Kompresi Medula Spinalis akibat Metastasis

2.6.1 Definisi
Sebanyak 5 – 10% pasien kanker akan mengalami kompresi medula spinalis
akibat metastasis (KMSM). Penyakit ini terjadi saat tumor atau fragmen tulang
menggeser dan menekan kedudukan medula dalam kanalis spinalis.23 Gejala utama
adalah nyeri punggung (83-95% pasien), dengan atau tanpa defisit motorik (82%
pasien) dan sensorik (50-80% pasien). Kompresi medula spinalis akibat metastasis
(KMSM) adalah penekanan kantung dura beserta isinya pada medula spinalis oleh
massa metastasis tumor ekstradura maupun intradura, yang dapat menyebabkan
kerusakan neurologis ireversibel seperti paraplegia dan tetraplegia, tergantung letak
ketinggian lesi. KMSM dapat terjadi melalui tiga cara: 1) Pertumbuhan langsung
dan ekspansi metastasis tulang vertebra mencapai ruang epidural; 2) Ekstensi massa
paraspinal mencapai foramina intervertebralis; 3) Destruksi korteks vertebra yang
menyebabkan kolaps corpus vertebra dan berpindahnya fragmen tulang ke ruang
epidural. Tatalaksana kasus KMSM bertujuan paliatif mengatasi nyeri,
memperbaiki fungsi neurologis, mencapai stabilisasi tulang belakang, mencegah
progresitas tumor dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup penderita
kanker.24

33
Gambar. Distribusi kompresi saraf tulang belakang

2.6.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidens KMSM lebih dari 20.000 kasus per tahun.
Sebanyak 50% KMSM berasal dari penyakit primer kanker payudara, paru, prostat,
diikuti kanker sel ginjal, traktus gastrointestinal, tiroid, sarkoma, dan keganasan
limforetikuler. Suatu studi di Kanada memperkirakan setidaknya 2,5% penderita
kanker mengalami minimal satu episode kompresi medula spinalis dalam lima
tahun sebelum kematian.23
Sebanyak 40% penderita kanker diperkirakan mengalami metastasis tulang
belakang hingga saat kematiannya, dan 10-20% di antaranya dapat mengalami
kompresi medula spinalis simtomatik. Studi lain menyebutkan bahwa 5-10% pasien
kanker akan mengalami KMSM yang membutuhkan tatalaksana emergensi.
Insidens kumulatif lima tahun kompresi medula spinalis pada berbagai jenis kanker
yaitu 8% pada myeloma, 7% pada prostat, 6,5% pada nasofaring, 6% pada paru,
5,5% pada payudara, 5% pada ginjal, 2,5% pada serviks, 0,9% pada kepala-leher,
dan 0,8% pada kolorektal. Sebagian besar KMSM terjadi di regio vertebra torakal
(60-70%), lalu di vertebra lumbal (20- 25%), dan yang lebih jarang di vertebra

34
servikal (15%) dan sakral.25

2.6.3 Patofisiologi
Sepertiga pasien cancer memiliki metastasis ke tulang belakang. Adanya
bone-derived growth factor dan sitokin, struktur kapiler, dan aliran darah yang
memfasilitasi endapan dan pertumbuhan sel meta. Aliran darah vena dari organ-
organ intraabdomen dan intratoraks akan melalui pleksus vena vertebra dan
epidural (Pleksus Batson). Sirkulasi darah ini bertekanan rendah tanpa sistema
katup dan aliran balik teratur, bergantung pada tekanan intratorak dan
intraabdomen, sehingga menjadi faktor transportasi yang baik bagi sel-sel kanker.23
Patofisiolofi paling umum terjadinya kompresi saraf tulang belakang adalah
metastasi tumor langsung secara hematogen ke corpus vertebra hingga ruang
epidural, atau dikarekan adanya fraktur vertebra sehingga terjadi infiltrasi oleh sel-
sel meta yang menyebabkan cedera saraf akibat fragmen tulang/instabilitas tulang
belakang.23
Kompresi saraf tulang belakang juga bisa disebabkan adanya massa
intradural (meningioma, tumor selubung saraf, metastase leptomeningeal),
penyebaran secara intraneural (pada tumor neurogenik), secara transforaminal
tumor progresif paravertebra (pada limfoma, neuroblastoma), dan tumor agresif
paravertebra (Pancoast Tumor di parenkim paru).

2.6.4 Diagnosis
Diagnosis KMSM ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Gejala utama yang paling sering terjadi (kira-kira 88-
96% pasien) adalah nyeri punggung, dengan atau tanpa kelemahan tubuh. Awalnya,
pasien merasakan nyeri mekanis yang timbul akibat peregangan tulang dan
periosteum dan dapat diperparah dengan aktivitas. Nyeri lalu memberat dengan
pola radikuler. Delapan puluh persen pasien KMSM mengeluhkan kelemahan
motorik hingga kelumpuhan. Adanya paraparesis atau paraplegia saat diagnosis
menunjukkan gejala yang lanjut, dan biasanya kelemahan motorik ini bersifat

35
simetris bilateral. Sebanyak 51-80% pasien mengeluhkan defisit fungsi sensoris,
misalnya kesemutan pada ekstremitas dan batang tubuh. Disfungsi otonom
biasanya tidak dirasakan sebagai gejala tunggal namun menyertai gejala nyeri,
kelemahan, dan defisit sensoris.25
Bukti radiologis minimal untuk diagnosis kompresi medula spinalis adalah
indentasi theca yang disesuaikan dengan gejala dan tanda klinis. MRI adalah
modalitas pencitraan terpilih untuk deteksi dini KMSM. MRI sekuens T1 atau T2
dengan kontras memiliki sensitivitas 97-100%, dengan spesifisitas 90- 93% untuk
mendiagnosis kasus KMSM. Lesi akan terlihat hipointens pada sekuens T1,
hiperintens pada T2, dan sangat menyangat kontras. Opsi pencitraan diagnostik
kedua pada kasus KMSM adalah dengan CT mielografi lalu CT tanpa mielografi.
Pemeriksaan radiologi konvensional akan menunjukkan infiltrasi tulang dan
destruksi vertebra akibat massa tumor, namun tidak cukup sensitif untuk
mendiagnosis langsung kompresi medula spinalis. Pada kasus KMSM, pencitraan
diagnostik harus mencakup seluruh vertebra karena pada 40-50% pasien, lesi dapat
terjadi multifokal dan multilevel. Pada pasien dengan kecurigaan KMSM namun
keganasan primer belum diketahui, direkomendasikan biopsi terbuka ataupun
perkutan (dibantu CT).24,25
Gambar 1.MRI pasien laki-lai, 53 tahun dengan kanker ginjal metastasis. Terdapat

fraktur patologis pada corpus T2, dislokasi posterior fragmen tulang, dan
kompresi saraf tulang belakang.

2.6.5 Tatalaksana

36
Penanganan segera setelah diagnosis ditegakkan sangat penting dalam
prognosis pasien KMSM. Terapi dimulai dengan manajemen nyeri dan tirah baring.
Untuk mencegah perburukan kerusakan columna vertebralis, imobilisasi adekuat
diperlukan sampai seluruh tulang belakang terbukti dalam kondisi stabil.
Tatalaksana KMSM sangat bervariasi pada berbagai negara dan institusi.
Berdasarkan analisis American Society of Radiation Oncology (ASTRO) tahun
2014 di pusat onkologi di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Italia, dan
Australia, terdapat beberapa pertimbangan klinisi dalam menentukan terapi pasien
KMSM antara lain kondisi umum pasien, status keganasan pasien secara
keseluruhan, dan sensitivitas tumor terhadap kemoterapi sistemik.25
 Kortikosteroid
Kortikosteroid direkomendasikan pada kasus KMSM baik untuk
penanganan emergensi maupun diberikan bersama dengan radiasi atau operasi,
terutama untuk pasien yang telah mengalami defisit neurologis akut. Golongan
obat ini terbukti dapat mengurangi kompresi medula spinalis onset singkat
dengan mengurangi edema vasogenik dan komplikasi sekunder berkurangnya
aliran darah yang akan menyebabkan iskemia, infark, dan cedera permanen.
Keuntungan lainnya, steroid bersifat tumorisidal untuk beberapa keganasan
seperti leukemia dan limfoma. Jenis obat yang diberikan biasanya
deksametason intravena. Dengan dosis awal yang dikatakan cukup efektif
untuk terapi KMSM tanpa risiko efek samping yaitu 10 mg bolus intravena
dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam. Tapering-off steroid paling sering dilakukan
setelah radiasi atau setelah terlihat perbaikan status neurologis. Setelah pasien
mendapat steroid dosis tinggi, akan dilakukan stratifikasi untuk menentukan
tatalaksana selanjunya, yaitu radiasi dengan atau tanpa operasi.23,25

 Operasi
Instabilitas spinal merupakan indikasi tindakan pembedahan. Panjabi
dan White mendefinisikan instabilitas spinal sebagai kondisi hilangnya
kemampuan tulang belakang mempertahankan hubungan antar vertebra dalam
menahan beban fisiologis. Spinal Instability Neoplastic Score (SINS)

37
merupakan salah satu stratifikasi yang biasa digunakan untuk membantu klinisi
menentukan adanya instabilitas tulang. Tujuan utama operasi pada metastasis
tulang belakang adalah stabilisasi tulang, mengangkat massa tumor penyebab
kompresi, mengurangi nyeri, dan mempertahankan fungsi neurologis. Operasi
dekompresi dan fiksasi interna merupakan tatalaksana yang definit
membebaskan kompresi medula spinalis dan memberikan stabilisasi mekanis
langsung pada tulang belakang. Tumor yang menekan medula lebih sering
berasal dari corpus vertebra bagian anterior, sehingga teknik vertebrektomi
dengan pendekatan anterior merupakan terapi definitif dekompresi dan
stabilisasi hingga sekarang.25

38
 Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas terapi yang paling sering dikerjakan
pada kasus KMSM. Terapi radiasi diharapkan mengecilkan tumor sehingga
mengurangi penekanan medula spinalis dan mengatasi nyeri. Status neurologis
pre-radiasi merupakan faktor terpenting dalam prediksi luaran radiasi. Faktor
lain yang mempengaruhi respons radiasi antara lain sifat radiosensitivitas
tumor, luas dan beratnya kompresi dan deformasi medula spinalis, tingkat
keparahan tumor sistemik, dan progresivitas gejala neurologis semenjak onset.
Indikasi radiasi pada KMSM antara lain:
a. Terapi definitif untuk pasien KMSM tanpa instabilitas spinal. Radiasi
yang diberikan dalam 24 jam setelah diagnosis KMSM terbukti dapat
mempertahankan fungsi neurologis dan membantu mengontrol nyeri
pada pasien dengan prognosis baik tanpa instabilitas tulang belakang.
b. Sebagai adjuvan operasi pada pasien KMSM yang disertai instabilitas

39
tulang belakang. Berbagai studi menyimpulkan, terapi multimodalitas
(operasi dilanjutkan radiasi) lebih baik daripada operasi saja dalam
memperbaiki fungsi motorik, sensorik, maupun otonom pasien KMSM.
c. Terapi paliatif pada pasien dengan instabilitas spinal yang bukan
merupakan kandidat (terdapat kontraindikasi) atau tidak mendapat
keuntungan dari tindakan operasi, misalnya pasien dengan ekspektasi
hidup kurang dari 3-6 bulan. Pada pasien yang bahkan telah terjadi
paraplegia komplit, radiasi kadang diberikan atas indikasi paliatif nyeri.

2.6.6 Prognosis
Prognosis pasien dengan metastasi pada epidural dan kompresi saraf tulang
belakang bergantung pada tipe dan progresivitas dari penyakit keganasannya.
Pasien dengan KMSM yang tidak diobati akan mengalami perburukan dalam satu
bulan. Median survival keseluruhan pasien KMSM antara 3 hingga 16 bulan dan
kebanyakan pasien meninggal karena perkembangan tumor secara sistemik. Pasien
dengan tumor yang respon terhadap terapi seperti limfoma atau mieloma memiliki
hidup lebih lama (limfoma, 6 hingga 14 bulan) dibandingkan pasien dengan tumor
padat. Penentu yang paling penting secara fungsional adalah keparahan kerusakan
neurologis pada saat mulainya pengobatan. Semakin cepat defisit neurologis
berkembang, semakin rendah kesempatan untuk pemulihan fungsi motorik setelah
perawatan.23

2. 7 Tumor Lysis Syndrome

2.7.1 Definisi

Tumor lysis syndrome (TLS) adalah komplikasi dari kerusakan sel besar
pada tumor yang berkembang biak dengan cepat, besar atau sangat sensitive
terhadap radio kemo dan pelepasan selanjutnya konten intraseluler ke dalam aliran
darah. TLS harus dicurigai pada pasien dengan keganasan yang diketahui (tumor
hematologi atau padat) yang datang dengan kelebihan cairan, penurunan output
urin, kelesuan, kram otot, aritmia atau kejang.

40
TLS ditandai oleh hiperurisemia dan gangguan elektrolit utama
(hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia). Sindrom lisis tumor dianggap
darurat karena mengganggu hemodinamik. Tanpa intervensi tepat waktu, dapat
dengan cepat menyebabkan gagal ginjal, kejang, aritmia jantung, dan kematian.

Sementara umum pada keganasan hematologis, TLS relatif jarang pada


tumor padat. Pasien yang paling berisiko adalah mereka dengan kelainan
limfoproliferatif akut dengan tingkat proliferasi tinggi dan sensitivitas tumor yang
tinggi terhadap kemoterapi (mis., Limfoma Burkitt, leukemia limfoblastik akut sel
B). Komorbiditas predisposisi meliputi peningkatan pretreatment dalam kadar asam
urat serum, penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya, infiltrasi tumor di ginjal,
uropati obstruktif, dan usia lanjut.

2.7.2 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari TLS bervariasi, dan dapat meliputi aritmia, gagal
jantung kongestif, penurunan urin, kelebihan cairan, keletihan, kram, mual muntah,
parestesia, gagal ginjal, kejang, tetani.

Pada pasien dengan uropati obstruktif sekunder akibat hiperurisemia,


hematuria, nyeri panggul atau punggung, dan hipertensi mungkin ada.
Hipokalsemia berat adalah salah satu manifestasi paling kritis dari TLS dan dapat
menyebabkan kelainan kardiovaskular (aritmia ventrikel, blok jantung, hipotensi),
pada otot (kram, kejang), dan gangguan neurologis (kebingungan, delirium,
halusinasi, kejang).

Paramedis menanggapi pasien kanker dengan dugaan TLS:

a. Manajemen jalan napas

b. IV resusitasi

c. Manajemen gejala

Dalam Investigasi Perawatan Rumah Sakit :

a. Darah Lengkap

41
b. Elektrolit

c. Urea, Kreatinin

d. Asam Urat (jika pasca Rasburicase, sampel harus dikirim di atas es)

e. Fosfor

f. Kalsium

g. Albumin

h. EKG

Evaluasi rutin dan pemeriksaan diagnostik harus mencakup: pemantauan


ketat berat badan, tekanan darah dan keluaran urin. Ultrasonografi ginjal untuk
menyingkirkan uropati obstruktif dapat dipertimbangkan. Sementara tidak ada
definisi spesifik yang diterima secara universal atau sistem penilaian untuk TLS
laboratorium, skala penilaian Cairo dan Bishop sering dikutip; di mana TLS
didefinisikan sebagai dua atau lebih kelainan metabolik berikut dalam waktu 3 hari
sebelum atau 7 hari setelah dimulainya kemoterapi:

a. Asam urat serum> 476 μmol / L (atau peningkatan 25% dari baseline)

b. Serum kalium ≥ 6,0 mmol / L (atau peningkatan 25% dari baseline)

c. Serum fosfor ≥ 1,45 mmol / L pada orang dewasa (atau 25% meningkat dari
baseline)

d. Hipokalsemia sekunder (kalsium serum terkoreksi ≤ 1,75 mmol / L atau


penurunan 25% dari baseline).

2.7.3 Managemen tatalaksana

Prinsip dasar manajemen TLS adalah profilaksis agresif dan pengenalan


dini serta koreksi kelainan metabolik untuk mencegah atau meminimalkan
manifestasi klinis.

a. Dengan tidak adanya disfungsi ginjal akut dan oliguria, hidrasi IV yang kuat
(3 L / m² per hari) dan diuresis (≥ 100 mL / m² / jam) harus dipertahankan.

42
b. Diuretik (Furosemide, Mannitol) mungkin diperlukan untuk mempertahankan
produksi urin dan mencegah kelebihan cairan, tetapi hanya boleh digunakan
jika tidak ada bukti uropati obstruktif akut atau hipovolemia.

c. Gravitasi spesifik urin harus dijaga di bawah 1,010.

d. Kalium, kalsium, dan fosfat pada awalnya tidak boleh ditambahkan ke cairan
hidrasi.

e. Hemodialisis atau hemofiltrasi mungkin diperlukan dengan meningkatnya


disfungsi ginjal; hiperfosfatemia yang tidak terkontrol, hiperkalemia,
hiperurisemia, hipokalsemia, volume berlebih, atau hipertensi; asidosis berat
dan / atau uremia berat dengan perikarditis atau toksisitas SSP.

f. Penting untuk dicatat bahwa walaupun jarang, TLS yang terkait dengan tumor
padat memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
diamati dengan keganasan hematologis. Ini mungkin disebabkan, sebagian,
karena waktu onset. Sementara TLS yang terkait dengan keganasan
hematologis umumnya terjadi segera setelah perawatan dimulai, TLS pada
tumor padat dapat terjadi beberapa hari atau minggu kemudian. Kesadaran dan
kewaspadaan sangat penting untuk mencegah keterlambatan atau kelalaian
profilaksis yang efektif.

g. Hiperurisemia : Cedera ginjal akut (AKI) sekunder akibat pengendapan asam


urat dalam tubulus ginjal merupakan komplikasi potensial hiperurisemia.
Alkalinisasi urin melalui pemberian natrium bikarbonat tidak lagi
direkomendasikan karena mengumpulkan bukti ketidak efektifan dan potensi
untuk menginduksi AKI. Rasburicase 6mg IV setiap hari selama 1-7 hari
adalah pengobatan pilihan untuk semua pasien dengan hiperurisemia terkait
TLS dan untuk profilaksis awal pada pasien dengan risiko tinggi TLS.
Rasburicase mengurangi pembentukan asam urat baru, dan juga menurunkan
asam urat yang terbentuk sebelum memulai pengobatan. Allopurinol
direkomendasikan untuk pasien tanpa hiperurisemia dengan risiko sedang
TLS. Ini harus dimulai 12-24 jam sebelum terapi antikanker dan dilanjutkan

43
sampai pasien dapat diklasifikasikan sebagai risiko rendah.

h. Hiperkalemia : Kadar kalium harus segera diverifikasi dengan sampel kedua


untuk menyingkirkan hemolisis selama proses mengeluarkan darah. Evaluasi
ketat terhadap EKG, ritme jantung, dan elektrolit diperlukan. Suplementasi
oral dan IV kalium harus dihentikan. Pada pasien tanpa gejala, pengobatan
yang lebih disukai adalah natrium polistiren sulfonat (15-30g per oral, 30-50g
rektal). Pada pasien simptomatik, insulin reguler 10 unit IV dan 20-50g
dekstrosa IV harus diberikan. Sodium bikarbonat 1mEq / kg / IV langsung
dapat diberikan untuk menginduksi masuknya kalium ke dalam sel. Kalsium
glukonat 1g IV selama 5 menit (dan dengan pemantauan EKG berkelanjutan
untuk bradikardia) dapat digunakan untuk aritmia yang mengancam jiwa.
Pertimbangkan dialysis.

i. Hiperfosfatemia : Manajemen awal termasuk mengeluarkan fosfat dari cairan


IV dan memberikan pengikat fosfat golongan oral atau nasogastrik (mis.,
Aluminium hidroksida atau aluminium karbonat) hingga dua hari. Perawatan
yang lebih lama membawa risiko toksisitas aluminium. Infus kalsium harus
ditahan. Dalam kasus yang parah, dialisis peritoneal terus menerus,
hemodialisis, atau hemofiltrasi venovenous terus menerus mungkin
diperlukan.

j. Hipokalsemia simtomatik : Pengobatan tidak direkomendasikan pada pasien


tanpa gejala karena risiko pencetus kalsifikasi metastasis tinggi, terutama
dengan hiperfosfatemia, dan hipokalsemia umumnya akan membaik ketika
lisis tumor membaik. Hipokalsemia berat adalah salah satu manifestasi paling
kritis dari TLS. Gejala hipokalsemia diobati dengan kalsium glukonat 1-2g IV,
meskipun pasien harus dipantau untuk uropati obstruktif akut. Jika fosfat juga
tinggi, konsultasi ginjal harus dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA

44
1. National Cancer Institute. NCI Dictionary of Cancer Terms [Internet].
Available from: https://www.cancer.gov/publications/dictionaries/cancer-
terms/def/oncology

2. Mandal A. News Medical [Internet]. Available from: https://www.news-


medical.net/health/What-is-Oncology.aspx

3. Mofid, B., Novin, K., Roointan, E. S., & Forouzanfar, M. M. (2016).


Epidemiology and Death-Related Factors of Oncology Patients in Emergency
Department. Emergency (Tehran, Iran), 4(3), 145–150.

4. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, et al. Cancer incidence and mortality


worldwide: sources, methods and major patterns in GLOBOCAN 2012.
International Journal of Cancer. 2015;136(5):E359–E86.

5. World Health Organization [Internet]. Available from:


https://www.who.int/topics/cancer/en/

6. Lewis MA, Hendrickson AW, Moynihan TJ. Oncologic emergencies:


Pathophysiology, presentation, diagnosis, and treatment [Internet]. CA: A
Cancer Journal for Clinicians. 2011 [cited Dec 2019]. Available
from:.https://doi.org/10.3322/caac.20124

7. Higdon ML, Atkinson CJ, Lawrence KV. Oncologic Emergencies: Recognition


and Initial Management [Internet]. Am Fam Physician. 2018 [cited Dec 2019].
Available from:https://www.aafp.org/afp/2018/0601/p741.html

8. Sadik M, Ozlem K, Huseyin M, AliAyberk B, Ahmet S, Ozgur O. Attributes of


cancer patients admitted to the emergency department in one year. World
journal of emergency medicine. 2014;5(2):85.

9. Lewis, M. A., Hendrickson, A. W., & Moynihan, T. J. (2011). Oncologic


emergencies: Pathophysiology, presentation, diagnosis, and treatment. CA: A
Cancer Journal for Clinicians, n/a–n/a. doi:10.3322/caac.20124

10. Borries Foresto , Eric D Tenda , Cleopas M Rumende. Obstruksi Saluran Napas
pada Non Small Carcinoma: Sebuah Laporan Kasus. Indonesian Journal of

45
CHEST Critical and Emergency Medicine Vol. 2, No. 3 Jul - Sept 2015

11. Lakshmi Mudambi , Russell Miller , George A. Eapen. Malignant central


airway obstruction. Submitted May 02, 2017. Accepted for publication Jun 28,
2017. doi: 10.21037/jtd.2017.07.27

12. Wagner J, Arora S. Oncologic Metabolic Emergencies. Emerg Med Clin N am.
2014; 32(2014): 509-525. http://dx.doi.org/10.1016/j.emc.2014.04.003

13. Devita V, Lawrence T, Rosenberg A. DeVita, Hellman, and Rosenberg’s


Cancer Principles & Practice of Oncology. LIPPINCOTT WILLIAMS &
WILKINS, a WOLTERS KLUWER business; 2015.

14. Pi J, kang Y, Smith M, Earl M, Norigian Z, McBride A. A review in the


treatment of the oncologic emergencies. J Oncol Pharm Practice. 2015;
22(2015): 1-14. 22. 10.1177/1078155215605661.

15. Pieters RS, Rosenfeld J, Chen A, Liebmann J. Oncologic Emergencies and


Urgencies. Cancer Concepts: A Guidebook for the Non-Oncologist. 2015.
https://doi.org/10.7191/cancer_concepts.1010. Retrieved from
https://escholarship.umassmed.edu/cancer_concepts/12

16. Pech-Alonso., Fermin-Hernandez, C., Rosas, SIS., Cicero-Sabido, RJ. Superior


vena cava syndrome : clinical considerations. Rev Med Hosp Gen Méx. 2017

17. Paraschiv, B., Dediu, G., Iancu, A., Bratu, O., Diaconu, C. Superior Vena Cava
Syndrome. Balkan Medical Union. 2017

18. Straka, C., Ying, J., Kong, F., Willey, CD., Kaminski, J., Kim, DWN. Review
of evolving etiologies, implications and treatment strategies for the superior
vena cava syndrome. Springer Plus. 2016

19. Drews, RE., Rabkin, DJ. Malignancy-related Superior Vena Cava Syndrome.
Wolters Kluwer. 2019

20. Nickloes, AT, Superior Vena Cava Syndrome. Medscape. 2018.

21. Scotia Nova. 2014, ‘Brain Tumour or Metastase, Increased Intracaranial


Pressure and Seizure’ , In : Guidelines for the management of oncologic

46
emergencies in adult cancer patients.

22. Devita, Hellman, Rosenberg’s. 2015, ‘Increased Intracarnial Pressure’, In :


Cancer, 10th . United States America.

23. DeVita, Hellman, Rosenberg’s. Spinal cord compression in Cancer Principles


& Practice of Oncoloogy 10th Edition. 2015. pp 1816-1824.

24. Al-qurainy R, Collis E. Metastatic spinal cord compression : diagnosis and


management. Br J Med [Internet].2016;2539(May):1–7. Available from: http://
dx.doi.org/doi:10.1136/bmj.i2539

25. Patel DA, Campian JL. Diagnostic and Therapeutic Strategies for Patients with
Malignant Epidural Spinal Cord Compression. Curr Treat Options Oncol.
2017;18(9)

26. Johnstone, C., Rich, SE. Bleeding in cancer patients and its treatment : a review.
Annals of Palliative Medicine. 2017

27. Escobar MA. Bleeding in the patient with a malignancy. Cancer 2016;15:312-
9

28. Hulme B, Wilcox S. Yorkshire palliative medicine clinical guidelines group.


Guidelines on the management of bleeding for palliative care patients with
cancer. 2015

47

Anda mungkin juga menyukai