Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

Faktur Multipel

Di Ruang 20 RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:

Dita Ayuhana

1930015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS: PROGRAM PROFESI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada pasien fraktur


multipel di Ruang 20 RSUD dr. Saiful Anwar Malang Yang Dilakukan Oleh:

Nama : Dita Ayuhana


NIM : 1930015
Prodi : Pendidikan Profesi Ners Program Profesi STIKes Kepanjen
Malang

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Dasar yang dilaksanakan pada tanggal 16 September
2019- 21 September 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :

Malang, September 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(................................) (................................)
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan
pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat
berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang tergantuing pada jenis trauma,kekuatan, dan
arahnya.Taruma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ketulang yang
disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang
mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang
disebut fraktur dislokasi.

1. 2 Tujuan
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang definisi fraktur
b. Mahasiswa dapat mengetahui tentang etiologi fraktur
c. Mahasiswa dapat mengetahui tentang manifestasi klinik dari fraktur
d. Mahasiswa dapat mengetahui tentang patofisiologi fraktur
e. Mahasiswa dapat mengetahui tentang klasifikasi fraktur
f. Mahasiswa dapat mengetahui tentang komplikasi fraktur
g. Mahasiswa dapat mengetahui tentang fisiologis penyembuhan fraktur
h. Mahasiswa dapat mengetahui tentang pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien fraktur
i. Mahasiswa dapat mengetahui tentang penatalaksanaan fraktur
j. Mahasiswa dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pada pasien
fraktur
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

2. 1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung,
gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem
(Bruner & Sudarth, 2002).Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Documentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang
diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing
Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Price 1985).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan
junadi 1982).

2. 2 Etiologi
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat
dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan
yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh
dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada “underlying disesase
4. Kekerasan akibat tarikan otot, patah tulang akibat tarikan otot sangat
jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan
dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

2. 3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur
bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya
pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

2. 4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur


1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
2. 5 Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

A. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan


cruris dst).
B. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
C. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
D. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
E. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
F. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
d) Dislokasi at longitudinal (berjauhan memanjang)
G. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
H. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
I. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
a. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
c. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
J. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
2. 6 Komplikasi
A. Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
2. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.

3. Fat Embolism Syndrom


Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.

4. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.

5. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

6. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
B. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karenn\a penurunan suplai darah ke tulang.

2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

3. Malunion
Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut
atau miring Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi
yang baik.

2. 7 Fisiologis Penyembuhan Fraktur

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.


Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan
jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru
dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang,
yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.
Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone
marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus


Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman
tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.

5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang
oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus.
Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya
lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
2. 8 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Radiologi
1. X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan
2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: Bayangan jaringan
lunak. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

2. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur


yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
3. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
4. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
5. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
C. Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2. 9 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu
konservatif dan operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat
dilakukan secara konservatif atau operatif selamanya tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
A. Cara konservatif:
1. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang
panjang.
2. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
3. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
4. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
- Pemasangan Gips.
- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal
untuk skin traksi adalah 5 Kg.
B. Cara operatif di lakukan apabila:
1. Bila reposisi mengalami kegagalan.
2. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi  akibat yang lebih buruk).
3. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
4. Fraktur patologik.
5. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
- Reposisi.
- Fiksasi.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction
Internal Fixation”)
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah
reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di
pilih bergantung sifat fraktur
a. Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
b. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.
c. Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
2. Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di
imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal.
Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur
imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24
minggu, intra trokhanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra
kondiler 12-15 minggu.
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
 Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
 Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
 Memantau status neurologi.
 Mengontrol kecemasan dan nyeri
 Latihan isometrik dan setting otot
 Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
 Kembali keaktivitas secara bertahap.
C. Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya
sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah
tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat
penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai
dengan cara pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar
tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus
tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan
pemasangan gips adalah :
 Immobilisasi dan penyangga fraktur
 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemasangan gips adalah :
 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips /
menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari
fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam
waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap
seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi
internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.

a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan
beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan
disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan
sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi
antara lain :
 Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur,
dan pada keadaan emergency
 Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang
lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan
beban < 5 kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal /
penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
 Mengurangi nyeri akibat spasme otot
 Memperbaiki & mencegah deformitas
 Immobilisasi
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang
sendi)
 Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
 Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan
gaya tarik
 Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang
dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan
 Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan
khusus
 Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
 Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai

b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang


logam pada pecahan-pecahan tulang.
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak
keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan
ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya
insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan
diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen
tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian
direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal
kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini
dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup,
pelat, dan paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
 Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
 Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf
yang berada didekatnya
 Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
 Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
 Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama
pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan
kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot
hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan
Fiksasi Interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi
untuk fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus
dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak
cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil
pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak
mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal ini hampir
selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan
stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat
penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah
sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput
anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko infeksi.
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat
dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur
transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture paling baik
dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang dan
rotasi.

Fiksasi Eksterna
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa
kalus terlihat pada pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada
minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur
dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi
yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.

3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali


Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu
4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.
Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang,
sehingga dibutuhkan graft tulang.
4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot
dan kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.

2. 10 Asuhan Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi
dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan
pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola
Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image)
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada
diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika
terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(10) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi).
Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal > 3
detik
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal, tengah, atau distal).
 Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada
tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu
tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST),
Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2. 11 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada
7. Perfusi jaringan perifer tidak efektif b/d tindakan konservatif
8. Ansietas b/d tindakan perioperatif
9. Defisit volume cairan b/d perdarahan
10. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/ tindakan post operasi
11. Resiko disfungi neurovaskuler b/d penekanan jaringan vaskuler
RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
KOLABORASI
1 Nyeri akut b/d spasme otot, NOC NIC
gerakan fragmen tulang, v Pain Level, Pain Management
edema, cedera jaringan v Pain control, § Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
lunak, pemasangan traksi, v Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
stress/ansietas, luka operasi. Kriteria Hasil : § Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
§ Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,§ Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi nyeri pasien
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) § Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
§ Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan§ Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
menggunakan manajemen nyeri kontrol nyeri masa lampau
§ Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,§ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
frekuensi dan tanda nyeri) § Kurangi faktor presipitasi nyeri
§ Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri§ Ajarkan tentang teknik non farmakologi
berkurang § Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
§ Tanda vital dalam rentang normal § Tingkatkan istirahat
§ Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
§ Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
2 Gangguan pertukaran gas NOC : NIC :
b/d perubahan aliran darah, v Respiratory Status : Gas exchange Airway Management
emboli, perubahan v Respiratory Status : ventilation § Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
membran alveolar/kapiler v Vital Sign Status § Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
(interstisial, edema paru, Kriteria Hasil : § Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
kongesti) § Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan§ Pasang mayo bila perlu
oksigenasi yang adekuat § Lakukan fisioterapi dada jika perlu
§ Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari§ Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
tanda tanda distress pernafasan § Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
§ Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara§ Lakukan suction pada mayo
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu§ Berika bronkodilator bial perlu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas§ Barikan pelembab udara
dengan mudah, tidak ada pursed lips) § Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
§ Tanda tanda vital dalam rentang normal § Monitor respirasi dan status O2
Respiratory Monitoring
§ Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
§ Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavicular dan intercostal
§ Monitor suara nafas, seperti dengkur
§ Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
§ Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)
§ Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
§ Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi
pada jalan napas utama
§ auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
3 Gangguan mobilitas fisik NOC : Latihan Kekuatan
b/d kerusakan rangka v Joint Movement : Active § Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program
neuromuskuler, nyeri, terapi v Mobility Level latihan secara rutin
restriktif (imobilisasi). v Self care : ADLs Latihan untuk ambulasi
v Transfer performance § Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan
Kriteria Hasil : keluarga.
§ Klien meningkat dalam aktivitas fisik § Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker
§ Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas § Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.
§ Memverbalisasikan perasaan dalam Latihan mobilisasi dengan kursi roda
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah§ Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara
§ Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
mobilisasi (walker) § Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
§ Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
§ Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara
mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam
aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar
§ Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg
benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.
§ Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
4 Gangguan integritas kulit NOC : NIC : Pressure Management
b/d fraktur terbuka, v Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes § Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
pemasangan traksi (pen, Kriteria Hasil : § Hindari kerutan padaa tempat tidur
kawat, sekrup) § Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan § Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
§ Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri§ Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
pada daerah kulit yang mengalami gangguan § Monitor kulit akan adanya kemerahan
§ Menunjukkan pemahaman dalam proses§ Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera§ Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
berulang § Monitor status nutrisi pasien
§ Mampumelindungi kulit dan mempertahankan§ Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
kelembaban kulit dan perawatan alami
5 Risiko infeksi b/d NOC : NIC :
ketidakadekuatan v Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
pertahanan primer v Risk control §Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
(kerusakan kulit, taruma Kriteria Hasil : §Pertahankan teknik isolasi
jaringan lunak, prosedur § Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi §Batasi pengunjung bila perlu
invasif/traksi tulang) § Menunjukkan kemampuan untuk mencegah§ Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
timbulnya infeksi setelah berkunjung meninggalkan pasien
§ Jumlah leukosit dalam batas normal §Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
§ Menunjukkan perilaku hidup sehat §Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
§Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
§Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
§Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
§ Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
§ Tingktkan intake nutrisi
§ Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
§ Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
§ Monitor hitung granulosit, WBC
§ Monitor kerentanan terhadap infeksi
§ Batasi pengunjung
§ Saring pengunjung terhadap penyakit menular
§ Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
§ Pertahankan teknik isolasi k/p
§ Berikan perawatan kuliat pada area epidema
§ Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
§ Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
§ Dorong masukkan nutrisi yang cukup
§ Dorong masukan cairan
§ Dorong istirahat
§ Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
§ Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
§ Ajarkan cara menghindari infeksi
§ Laporkan kecurigaan infeksi
§ Laporkan kultur positif
6 Kurang pengetahuan NOC : NIC :
tentang kondisi, prognosis v Kowlwdge : disease process Teaching : disease Process
dan kebutuhan pengobatan v Kowledge : health Behavior § Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
b/d kurang terpajan atau Kriteria Hasil : penyakit yang spesifik
salah interpretasi terhadap v Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman§ Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
informasi, keterbatasan tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
kognitif, kurang pengobatan § Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
akurat/lengkapnya v Pasien dan keluarga mampu melaksanakan cara yang tepat
informasi yang ada prosedur yang dijelaskan secara benar § Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
v Pasien dan keluarga mampu menjelaskan§ Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan§ Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
lainnya § Hindari harapan yang kosong
§ Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
§ Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
§ Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
§ Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau diindikasikan
§ Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
§ Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang
tepat
§ Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
Perfusi jaringan perifer NOC : Tissue Perfusion : Peripheral NIC : Hemodynamic Regulation
tidak efektif b/d tindakan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …x24 · Auskultasi suara paru-paru untuk mengetahui adanya keabnormalan
konservatif jam diharapkan perfusi jaringan perifer adekuat · Auskultasi suara jantung
dengan kriteria hasil : · Monitor dan catat detak jantung, irama, nadi
· CRT < 2 detik (skala 5) · Monitor nadi perifer, CRT, temperature, dan warna ektremitas
· Suhu ektremitas normal (skala 5 ) · Bila perlu tinggikan kepala klien dari tempat tidur
· Nadi ektremitas normal (skala 5) · Monitor adanya edema perifer
· Tekanan systolic dan diastolic normal (skala 5)
Ansietas b/d tindakan NOC Anxiety control NIC Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
perioperatif Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam  Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur.
masalah ansietas klien dapat teratasi dengan  Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya
kriteria hasil:  Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
 klien mampu mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala cemas berkurang atau
hilang
 vital sign dalam batas normal.
Defisit volume cairan b/d NOC: NIC :
perdarahan  Fluid balance  Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
 Hydration  Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi
 Nutritional Status : Food and Fluid Intake adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
selama….. defisit volume cairan teratasi dengan osmolalitas urin, albumin, total protein )
kriteria hasil:  Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam
 Mempertahankan urine output sesuai dengan  Kolaborasi pemberian cairan IV
usia dan BB, BJ urine normal,  Monitor status nutrisi
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam  Berikan cairan oral
batas normal  Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50 – 100cc/jam)
 Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas  Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak  Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
ada rasa haus yang berlebihan  Atur kemungkinan tranfusi
 Orientasi terhadap waktu dan tempat baik  Persiapan untuk tranfusi
 Jumlah dan irama pernapasan dalam batas  Pasang kateter jika perlu
normal  Monitor intake dan urin output setiap 8 jam
 Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal
 pH urin dalam batas normal
 Intake oral dan intravena adekuat
Nutrisi kurang dari NOC: Pengelolaan Nutrisi : NIC: Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan zat gizi yang dikonsumsi
kebutuhan tubuh b/ tindakan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama tubuh.
post operasi …x24 jam diharapkan : Bantuan atau pemberian Dibuktikan dengan indikator berikut :
asupan diet makanan dan cairan yang seimbang.  Asupan mkanan dan cairan oral
 Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan  Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
asupan.  Melaporkan keadekuatan tingkat energi
 Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan
nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
 Tentukan—dengan melakukan kolaborasi
bersama ahli gizi, secara tepat—jumlah kalori
dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk
pasien dengan kebutuhan energi tinggi, seperti
pasien pascoperasi dna luka bakar, trauma,
demam, dan luka).
 Berikan pasien minuman dan camilan bergizi,
tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi,
bila memungkinkan.
Resiko disfungi NOC : NIC :
neurovaskuler b/d  Circulation status  Monitor TTV
penekanan jaringan vaskuler  Neurologic status  Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetrisan dan reaksi
 Tissue Prefusion : cerebral  Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
Setelah dilakukan asuhan  Monitor level kebingungan dan orientasi
selama………ketidakefektifan perfusi jaringan  Monitor tonus otot pergerakan
cerebral teratasi dengan kriteria hasil:  Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
 Tekanan systole dan diastole dalam rentang  Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
yang diharapkan  Monitor status cairan
 Tidak ada ortostatikhipertensi  Pertahankan parameter hemodinamik
 Komunikasi jelas  Tinggikan kepala 0-45o tergantung pada konsisi pasien dan order
 Menunjukkan konsentrasi dan orientasi medis
 Pupil seimbang dan reaktif
 Bebas dari aktivitas kejang
 Tidak mengalami nyeri kepala
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G, 2001) atau
setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G &
Lockhart R, 2001). Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat
mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada
seorang yang mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk
menanganinya Ia pergi ke dukun pijat, mungkin karena gejalanya mirip
dengan orang yang terkilir.

4.2 SARAN
Penulis menyarankan agar pembaca dapat memahami tentang
gejala, penyebab fraktur sehingga dapat membuat kita lebih hati-hati
dalam bekerja ataupun melakukan aktifitas sehari-hari serta dapat
membantu pasien fraktur .
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit, Jakarta: EGC.
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya
Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika,
Yogyakarta, 1992.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach,
W.B. Saunder Company, 1995.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau
di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
NANDA, 2005 – 2006, Nursing Diagnosis : Definitions and Classifications,
Philedelphia, USA
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta
1997.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai