Anda di halaman 1dari 27

Pendarahan Post Partum

Chrissa Maichel Kainama


102012363
Chrissa.kainama@civitas.ukrida.ac.id
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk – Jakarta Barat 11510
Telp. (021) 56942061. Fax (021) 5631731

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Seperti kita ketahui, Ibu hamil adalah masa di mana seorang wanita membawa embrio
atau fetus di dalam tubuhnya. Kehamilan manusia terjadi selama 40 minggu antara waktu
menstruasi terakhir dan kelahiran. Saat masa kehamilan, ibu harus dijaga dengan sangat ketat
agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan pada masa kehamilan, sebelum melahirkan dan
juga sesudah melahirkan. Salah satu hal yang sangat tidak diinginkan adalah pendarahan.
Pendarahan terbagi menjadi pendarahan sebelum melahirkan (antepartum) dan pendarahan
sesudah melahirkan (postpartum). Dalam makalah ini saya akan membahas tentang pendarahan
setelah melahirkan (postpartum).
1.2 Rumusan Masalah
Seorang perempuan berusia 28 tahun kurang sadar dan pucat setelah melahirkan anaknya
yang ke – 3.

2. Isi
2.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari
rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung.
Tujuan dari anamnesis ibu hamil adalah untuk mengetahui status kesehatan ibu hamil, konseling
persiapan persalinan, penyuluhan kesehatan, pengambilan keputusan dalam rujukan dan
membimbing usaha untuk membangun keluarga sejahtera serta unt menegakkan diagnosa
pasien.1 Memudahkan dokter dan bidan dalam menentukan tindakan yang akan dilaksanakan,
Membantu ibu mengatasi masalah yang menyertai kehamilan, Untuk mengenali komplikasi –
komplikasi dan menyiapkan untuk persalinan dengan mempelajari keadaan kehamilan ibu
sekarang, kehamilan dan kelahiran terdahulu, kesehatan secara umum dan keadaan sosial
ekonomi.1
 Identitas
Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat lengkap.
 Alasan Datang/Keluhan ibu
Alasan datang : Apakah ibu datang untuk pemeriksaan kehamilan rutin?.
Keluhan ibu : apakah ada hal yang berkaitan dengan kehamilan, yang dirasakan oleh ibu?.
 Riwayat menstruasi
Menarche, siklus teratur / tidak, lamanya, banyaknya darah, warna, bau, keluhan nyeri +/-.
 Riwayat Perkawinan
Menikah/tidak, berapa kali, usia saat menikah, berapa lama/lama perkawinan.
 Riwayat KB
Pernah pakai kontrasepsi/tidak? Jenis kontrasepsi? Kapan dipakai? Di mana? Oleh
siapa? Lama pemakaian? Adakah keluhan? Kapan dilepas? Di mana? Oleh siapa? Alasan
berhenti/ganti kontrasepsi.
 Riwayat Kehamilan, Persalinan, Nifas yang sebelumnya
o Riwayat Kehamilan
Anak keberapa? Ada masalah tidak dengan kehamilan yang lalu?.
o Riwayat persalinan
Spontan/buatan? Aterm/Premature? Kapan? Lahir dimana? Ditolong siapa? Ada
masalah saat persalinan?.
o Riwayat Nifas
Adakah masalah pada masa nifas? Infeksi? Perdarahan?.
o Anak
Jenis kelamin? BB? Hidup/mati? Kalau meninggal kenapa? Sehat? Adakah
kecacatan? Pemberian ASI? Bagaimana kondisinya sekarang?.1
 Riwayat Kehamilan Sekarang
HPHT? Umur kehamilan? HPL? Sudah pernah periksa /belum? Jika sudah berapa kali?
Dimana? Adakah keluhan? Baik TM I, II, III? Adakah penanganan khusus keluhan tersebut?
Sudah terasa gerakan janin/blm? Imunisasi TT?.1
 Riwayat Penyakit
o Riwayat penyakit sekarang
Apakah ibu sekarang dalam kondisi sakit? Keluhan? Adakah penyakit sistemik lain
yang mungkin mempengaruhi atau diperberat oleh kehamilan (penyakit jantung, paru,
ginjal, hati, diabetes mellitus)? Apakah ibu dalam masa pengobatan?
o Riwayat penyakit yang lalu
Riwayat penyakit sistemik lain yang mungkin mempengaruhi atau diperberat oleh
kehamilan (penyakit jantung, paru, ginjal, hati, diabetes mellitus), riwayat alergi
makanan / obat tertentu dan sebagainya. Ada/tidaknya riwayat operasi umum /
lainnya maupun operasi kandungan (miomektomi, sectio cesarea dan sebagainya).
o Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit sistemik, metabolik, cacat bawaan,? Penyakit keturunan +/- (DM,
kelainan genetik), penyakit menular +/- (TBC)
o Riwayat Keturunan Kembar
Dalam keluarga adakah yang mempunyai keturunan kembar.1
 Data kebiasaan sehari-hari
Dilakukan pengkajian dari pola kebiasaan sehari-hari ibu baik dari sebelum hamil dan selama
hamil. Dikaji tentang bagaimana nutrisi ibu (frekuensi, jenis, porsi, keluhan, pantangan)?
Pola eliminasi (frekuensi, warna, bau, konsistensi, keluhan)? Personal hygiene (mandi, gosok
gigi, keramas, ganti pakaian? Istirahat/tidur (tidur siang, tidur malam, keluhan)? Kebutuhan
sexual (seminggu berapa kali, keluhan)? Pola aktivitas (aktivitas yang dilakukan sehari-
hari).1
 Kebiasaan yang mengganggu kesehatan
Apakah ibu mempunyai kebiasaan merokok, minum jamu atau minum minuman beralkohol,
minum obat-obatan.1
 Riwayat Psikososial, spiritual dan ekonomi
Bagaimana kondisi psikologis ibu menghadapi kehamilan? Dukungan keluarga? aktifitas/
kegiatan ibu diluar rumah? persiapan persalinan? Pengetahuan ibu tentang kehamilan?
Memberi ASI, merawat bayi, kegiatan ibadah, kegiatan social, dan persiapan keuangan ibu
dan keluarga.1

2.2 Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan fisik umum
Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah :
 Menilai keadaan umum yang dapat mendukung kehamilan atau sebaliknya
sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan.2
 Mencari tanda – tanda perubahan fisik ibu hamil yang dapat mendukung
diagnosis kehamilan.
 Mencari kemungkinan penyakit yang telah dideritanya atau terselubung sehingga
dapat ditegakkan diagnosis dini dari pengobatan.
 Melakukan pemeriksaan penunjang khususnya laboratorium untuk menilai
kesehatan umum ibu hamil atau untuk menegakkan diagnosis penyakit yang
diderita.2
2. Pemeriksaan fisik khusus kehamilan
Tujuan pemeriksaan adalah :
 Untuk memastikan telah terjadi kehamilan.
 Untuk memastikan apakah kehamilannya intrauteri.
 Untuk memastikan apakah kehamilannya tunggal atau ganda
 Untuk memastikan apakah kehamilannya tergolong berisiko rendah, meragukan,
atau berisiko tinggi.2
 Bagaimana sikap masing – masing untuk menghadapi keadaan itu.
 Untuk menentukan keadaan janin dan ibu saat ini.
 Untuk menentukan apakah perlu diberikan pengobatan terhadap penyakit yang
diderita ibu.
 Untuk menentukan apakah saat ini diperlukan intervensi medis.
 Jika perlu dilakukan intervensi medis, perlu ditetapkan bagaimana bentuknya,
tempat dilakukan sehingga jika mungkin tercapai well born baby dan well health
mother.2

Palpasi Uterus
Palpasi merupakan langkah diagnosis kehamilan yang sangat penting dengan tujuan untuk :
1. Menentukan umur kehamilan melalui tingginya fundus uteri.
2. Menentukan letak janin dalam uterus.
3. Menetapkan kemungkinan tumor yang dapat mengganggu proses persalinan.2

Untuk dapat lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut.


Diagnosis Kehamilan
Tinggi Fundus : Menentukan umur kehamilan menurut McDonald
o Umur kehamilan dalam bulan diukur dari panjang antara simfisis pubis dan
puncak uteri dalam cm dibagi 3½ cm.
o Penjabaran tinggi fundus uteri dengan kehamilan.

Tabel 1. Perbandingan tinggi fundus.2


Tinggi FU (cm) Umur kehamilan (bulan)
20 5
23 6
26 7
30 8
33 9

Menentukan Umur Kehamilan


 Menentukan umur kehamilan menurut perhitungan tingginya fundus uteri secara
International
o Kurang dari 12 minggu, belum dapat diraba di atas simfisis
o Akhir bulan III (minggu 12) fundus uteri teraba 1 – 2 jari di atas simfisis
o Akhir bulan IV (16 minggu), fundus uteri teraba di pertengahan antara simfisis
dan pusat (umbilikus)
o Akhir bulan V (20 minggu) fundus uteri teraba 3 jari di bawah pusat
o Akhir bulan VI (24 minggu) fundus uteri teraba setinggi pusat
o Akhir bulan VII (28 minggu) fundus uteri 3 jari di bawah pusat
o Akhir bulan VIII (32 minggu) fundus uteri teraba di pertengahan antara pusat dan
prosesus Xypoideus
o Akhir bulan IX (36 minggu) fundus uteri mencapai arkus kostarum atau teraba di
3 jari di bawah prosesus Xypoideus.
o Akhir bulan X (40 minggu) fundus uteri teraba di pertengahan antara prosesus
Xypoideus dan pusat (3 jari di bawahnya).2
 Menentukan umur kehamilan menurut hukum empat dari Bartholomew
o Bulan I : setinggi simfisis
o Bulan II : ¼ di atas simfisis
o Bulan III : 2/4 di atas simfisis
o Bulan IV : ¾ di atas simfisis
o Bulan V : setinggi pusat
o Bulan VI : ¼ di atas pusat
o Bulan VII : ½ di atas pusat
o Bulan VIII : ¾ di atas pusat
o Bulan IX : setinggi arkus kosta
o Bulan X : ¾ di atas pusat.2
 Mengapa tinggi fundus uteri pada bulan X justru turun
o Pada primigravida kepala janin masuk PAP
o Bulan X untuk multigravida tinggi fundus uteri masih tetap setinggi arkus kosta.
Kepala janin masuk PAP saat persalinan.2
 Menentukan berat janin dalam rahim menurut rumus Johnson
o Panjang antara simfisis pubis dan fundus uteri dibagi 12,5 dalam gram, untuk
kepala janin yang masih di atas simfisis
o Untuk kepala janin yang telah masuk PAP, pembaginya 11,5 cm dalam skala
gram.2
Pemeriksaan Palpasi
Leopold I

- Untuk menentukan tinggi fundus uteri


- Menentukan bagian apa yang terdapat pada fundus uteri dalam posisi janin membujur
atau akan kosong jika posisi janin melintang
 Kepala : bulat, padat, mempunyai gerakan pasif (ballotement)
 Bokong : tidak padat, lunak, tidak mempunyai gerak pasif (benturan atau gerak
ballotement)
 Teknik : kedua tanga pada fundus uteri.2

Leopold II

- Untuk menentukan letak punggung janin


- Kedua telapak tangan melakukan palpasi pada sisi kanan/kiri bersama – sama:
 Punggung janin rata, sedikit melengkung, mungkin teraba tulang iganya. Tidak
terasa gerak ekstremitas.
 Daerah abdomen janin tidak rata, ada kemungkinan terasa gerak ekstremitas.
- Akhir palpasi Leopold II, harus sudah dapat dipastikan letak punggung janin
- Menetapkan punggung penting untuk memastikan pungtum maksimum jantung janin
(untuk melakukan auskultasi).2

Leopold III

- First pelvic grip atau Pawlik disebut juga pemeriksaan Kneble


- Tujuannya menetapkan bagian terendah janin :
Kepala
- Bulat, padat, terjadi gerak ballotement
- Kepala yang terlalu besar menonjol di atas simfisis, menunjukan bahwa kepala
tidak / belum masuk PAP
- Kepala belum masuk PAP ada kemungkinan panggul sempit atau hidrosefalus
- Tonjolan kepala sekitar 2 jari di atas simfisis disebut Osborn positif
- Osborn positif menunjukan kesempitan panggul
- Pada kepala yang masih melayang, pemeriksaan Leopold IV tidak perlu
dilakukan.2

Bokong
- Tidak bulat, tidak keras, bentuk kurang bulat
- Gerakan pada bokong akan diikuti oleh gerak seluruh badan janin sehingga
dikatakan ballotement negatif
- Bokong dapat masuk PAP sebagai tanda tidak berhadapan dengan kesempitan
panggul
- Bahaya persalinan letak sungsang adalah saat persalinan bahu dan kepala
- Pada kasus letak sungsang yang tergolong resiko tinggi langsung dilakukan
persalinan SC.2

Leopold IV

- Second pelvic grip


- Pemeriksa menghadap ke kaki yang diperiksa
- Tekniknya :
o Jari tangan kanan-kiri dimasukan di samping kepala/bokong janin
o Pada kepala yang sudah masuk PAP, artinya lingkaran terbesar belum melewati
PAP, jari akan divergen
o Pada pemeriksaan, ada kemungkinan akan dapat diraba oksiput sehingga dapat
ditetapkan posisi kepala janin dalam pelvis.2
- Masuknya kepala janin ke PAP memberikan petunjuk bahwa tidak berhadapan dengan
kesempitan panggul
- Dapat dikatakan bahwa passanger atau passage telah menunjukan adaptasi baik sehingga
masih menunggu power (kekuatan his dan mengejan) yang akan menentukan perjalanan
kepala janin melewati jalan lahir
- Muller-Kerr head fitting test dilakukan untuk menetapkan apakah kepala janin dapat
masuk PAP atau tidak
- Dilakukan pemeriksaan dalam, selanjutnya kepala janin ditekan menuju pintu atas
panggul.
- Jika kepala dapat masuk artinya tidak ada kesempitan panggul.2
Auskultasi

 Terdengarnya detak jantung janin menunjukan bahwa janin hidup


 Alat yang dipergunakan adalah :
- Stetoskop kayu/laennec
- Alat Doopler/dopton
- Detak jantung janin merupakan tanda pasti kehamilan.
o Janin sehat jumlah detak jantungnya sekitar 120 – 140 kali/menit
o Pengendalian detak jantung janin oleh serabut saraf simpatis
o Setiap minggu detak jantung janin akan berkurang satu detak sampai umur
1 tahun. 3
 Keadaan patologis detak jantung janin disebabkan oleh gangguan metabolisme sehingga
serabut saraf parasimpatis dan simpatis mengalami gangguan keseimbangan dan
menimbulkan keadaan detak jantung janin menjadi :
- Iregular
- Bradikardia
- Takikardia.3

2.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Hitung darah lengkap
Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ), melihat adanya
trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi.
2. Menentukan adanya gangguan koagulasi.3
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time ( aPTT
) atau yang sederhanadengan Clotting Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT ). Ini penting
untuk menyingkirkan garis spons desidua.3
3. Urinalisis
Memeriksa kadar HCG untuk menentukan kehamilan atau tidak, dan memeriksa kadar
glukosa,protein dan sebagainya.3
4. USG abdomen
Sisa plasenta memberikan gambaran massa kompleks di kavum uteri, berbentuk irregular,
batas bias tidak tegas bila terdapat plasenta akreta, inkreta, atau perkreta, dan dinding
kavum uteri irregular. Kavum uteri terbuka lebih dari 2,5 cm dan berisi cairan (darah).
Selaput ketuban memberikan gambaran hiperkhoik b atas tidak tegas, dan bentuknya
irregular. Adanya infeksi atau sisa plasenta dapat menyebabkan involusi uterus.3

2.4 Diferential Diagnosis


2.4.1 Pendarahan Post Partum ec Gangguan Pembekuan Darah
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan
sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi pendarahan setiap dilakukan penjahitan dan
pendarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, pendarahn dari
gusi, rongga hidung, dan lain-lain.4
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu pendarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan
tes protrombin dan PTT (partial trombhoplastin time).4
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solution plasenta, kematian janin dalam
kandungan; eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan
transfuse darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi
atau pemberia EACA (epsilon amino caproic acid).4

2.4.2 Pendarahan Post Partum et causa Laserasi Jalan Lahir


Pada umumnya laserasi jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan lahir dan
karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap.
Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.5
Robekan yang terjadi bias ringan (lacet, laserasi), luka episotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai rupture perinea totalis (sfingter ani terputus), robekan pada
dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat,
rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap tindakan persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang
teliti untuk mencari kemungkinan adanya robeka ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi
uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta.5
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vagina, vulva dan
serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri darah dengan
warna merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga
pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia
uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan harus diklem, diikat dan
luka ditutu dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti. 5
Tekhnik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup
serta speculum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak
kooperaatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan
hemostasis. 5

2.4.3 Pendarahan Post Partum et causa Sisa Placenta


Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disbut sebagai
retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif Kala III bisq
disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila
implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch Layer disebut sebagai plasenta inkreta bila
plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai
menembus perimetirum. 5
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas secsio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian dari plasenta masih tertinggal
dalam uterus disebut rest-plasenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau lebih sering)
sekunder.6 Proses Kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak
keluar pervaginam(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan
perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak (perdarahan Kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta manual,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam. 6
Sisa plasenta bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan
plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi
rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke
dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberia uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfuse darah sesuai dengan keperluannya. 6

2.5 Work Diagnosis


2.5.1 Pendarahan Post Partum et causa Atonia Uteri
Definisi pendarahan post partum adalah pendarahan yang melebihi 500ml setelah bayi
lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah pendarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan pendarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila
terdapat pendarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital
(seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas, serta tensi
<90mmHg dan nadi >100x/menit), maka penanganan harus segera dilakukan.6
Kegagalan uterus berkontraski secara adekuat setelah pelahiran merupakan penyebab
tersering pendarahan obstretis. Pada banyak perempuan, atonia uterus paling tidak dapat
diantisipasi dengan baik jauh sebelum pelahiran. Uterus yang mengalami distensi berlebihan
rentan menjadi hipotonus setelah pelahiran. Jadi, perempuan dengan janin besar, multiple, atau
hidramnion rentan mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai oleh
aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga beresiko
mengalami pendarahan massif akibat atonia pascapartum. Serupa dengan hal tersebut, persalinan
yang dimulai atau dibantu dengan oksitosik lebih beresiko diikuti oleh atonia dan pendarahan.6
Risiko lain ialah jika perempuan tersebut pernah mengalami pendarahan pascapartum.
Terakhir, upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta dapat mencetuskan atonia. Pemijatan dan
peremasan tanpa henti uterus yang telah berkontraksi mungkin menghambat mekanisme
fisiologis pelepasan plasenta, menyebabkan pelepasan plasenta yang inkomplet dan
bertambahnya pendarahan.6
Tabel 1. Pendarahan postpartum dibagi menjadi 2 bentuk.6
Pendarahan Post Partum Primer Pendarahan Post Partum Sekunder
Definisi :
Pendarahan berlangsung dalam 24 jam dengan Pendarahan post partum setelah 24 jam pertama
pertama jumlah 500cc atau lebih. dengan jumlah 500cc atau lebih.
Penyebab :
 Atonia uteri  Tertinggalnya sebagian plaseta atau
 Retensio plasenta membrannya.
 Robekan jalan lahir :  Perlukaan terbuka kembali dan menimbulkan
- Ruptura uteri inkomplet atau pendarahan.
komplet  Infeksi pada tempat implantasi plasenta.
- Hematoma parametrium
- Perlukaan servikal
- Perlukaan vagina atau vulva
- Perlukaan perineum

2.5.2 Epidemiologi
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya dengan
kehamilan, persalinan, dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan. Angka kematian maternal
adalah jumlah kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup.6 Perdarahan postpartum masih
merupakan penyebab terbanyak kematian maternal. Perdarahan postpartum masih merupakan
penyebab terbanyak kematian maternal, terhitung sekitar 100.000 kematian maternal setiap
tahunnya.7 Di negara maju dan berkembang, penyebab kematian yang paling umum adalah
perdarahan berat.7
Tabel 2. Insiden Global Komplikasi Mayor Persalinan.8

Perdarahan masif terjadi sekitar 5-15 % pada wanita setelah mengalami persalinan.8
Secara global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000 mencapai 529 ribu
yang tersebar di Asia 47,8% (253 000); Afrika 47,4% (251 000); Amerika Latin dan Caribbean
4% (22 000); dan kurang dari 1% (2500) di negara maju. Di kawasan Asean Indonesia
menempati urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran hidup,
jauh di atas negara Asean lainnya (Gambar 1).9
Paritas tinggi merupakan factor resiko atonia uterus. Fuchs dkk, menguraikan keluaran
hampir 5800 perempuan pada 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden pendarahan
pascapartum sebesar 2,7 persen adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan insiden pada
populasi obstretis umum. Babinszki dkk melaporkan bahwa insidens pendarahan pascapartum
adalah 0,3 persen pada perempuan dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan
para 4 atau lebih.9

Gambar 1. Perbandingan Angka Kematian Maternal Negara Asean.9


2.5.3 Etiologi
Meskipun pendekatan resiko untuk mengantisipasi perdarahan postpartum masih
diperdebatkan karena tidak seorangpun pasti terbebas dari kemungkinan perdarahan setelah
bersalin, tetapi pendekatan resiko tetap memberikan pertimbangan agar penanganan lebih
berhati-hati dan petugas lebih siaga. Perdarahan yang masif terjadi karena adanya abnormalitas
pada keempat proses dasar, yang disingkat “4 T”, baik tunggal ataupun gabungan: tone
(kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan), tissue (retensi sisa hasil konsepsi atau bekuan
darah), trauma (pada saluran genital), atau thrombin (abnormalitas pembekuan darah). Beberapa
faktor resiko yang berhubungan dengan perdarahan postpartum dapat terjadi pada salah satu dari
keempat mekanisme tersebut. Faktor resiko yang memungkinkan seorang ibu bersalin
mengalami pedarahan postpartum antara lain dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 3).10
Walaupun setiap wanita dapat mengalami perdarahan postpartum, adanya satu atau lebih faktor
resiko dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum.

Tabel 3. Etiologi dan Faktor Resiko Perdarahan Postpartum.10


2.5.4 Patofisiologi
Pendarahan post partum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat
miometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah
sehingga aliran darah ke tempat plasenta berhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi
miometrium ini dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama pendarahan
post partum.11

2.5.5 Diagnosis
Pada atonia uteri diagnosis ditegakkan apabila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
pendarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan konstraksi yang lembek. Perlu dipehatikan bahwa pada saat
atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000cc yang
sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.11

2.5.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum ada 3 yakni pencegahan, penghentian
perdarahan dan mengatasi syok. Pendekatan resiko, meskipun menimbulkan kontroversi tetap
masih mendapatkan tempat untuk diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor resiko tinggi
terjadinya perdarahan postpartum sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang
mempunyai unit tranfusi dan perawatan intensif.12 Pada penanganan perdarahan postpartum,
pilihan terapi yang cepat dan tepat akan menentukan tingkat keberhasilan. Prinsip dasar dari
penanganan perdarahan postpartum adalah haemostasis atau menghentikan perdarahan dengan
cepat. Untuk memudahkan mengingat prosedur yang harus dilakukan, akronim Haemostasis
dapat digunakan (Tabel 4).12
Tabel 4. Penanganan Umum Perdarahan Postpartum8

1. Manajemen Aktif Kala III


Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan manajemen aktif kala III. Merupakan tindakan
(intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi
uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena atoni uteri.12 Tindakan ini
meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) peregangan tali pusat
terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir.13 Oksitosin 10 unit disuntikan secara
intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Peregangan tali pusat secara
terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta
mengejan. Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk menghidari inversi.
Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat,
palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti.13 Rekomendasi
kunci yang dianjurkan dalam praktek untuk menekan kejadian perdarahan postpartum adalah
sebagai berikut (Tabel 5).12
Pada tahun 2006 WHO mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk meminimalisasi
morbiditas dan mortalitas maternal:
1. Manajemen aktif harus dilakukan pada semua wanita oleh dokter ahli
2. Dokter ahli harus menggunakan uterotonika (oksitosin, ergonovine, misoprostol, dan
carboprost) untuk mencegah perdarahan postpartum.
3. Klem tali pusat lebih awal hanya direkomendasikan pada bayi yang membutuhkan
resusitasi.12
Tabel 5. Rekomendasi Kunci Pedarahan Post Partum.12

2. Uterotonika
Uterotonika utama yang dipakai dalam pencegahan dan penanganan perdarahan
postpartum adalah oksitosin dan metilergonovin. Society of Obstetricians and Gynecologist of
Canada (SOGC) Clinical Practice Guidline merekomendaskan pemakaian oksitosin dan
metilergonovin sebagai berikut (Tabel 6).14
Tabel 6. Penggunaan Uterotonika.14

3. Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang banyak digunakan dalam praktek
obstetrik karena sifatnya yang memacu kontraksi miometrium. Misoprostol lebih unggul
dibanding prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2α karena sifatnya yang stabil pada
temperatur kamar, murah dan mudah penggunaannya.15
Adanya perdarahan postpartum setelah persalinan harus segera ditangani dengan tepat.
Penanganan lini pertama dengan pemberian uterotonika yaitu oksitosin dan ergometrin yang
dilanjutkan dengan masase uterus. Misoprostol dapat digunakan apabila dengan metode ini
perdarahan tidak dapat dihentikan. Dalam situasi di mana uterotonika tidak tersedia, pemberian
misoprostol 600 μg dapat digunakan sebagai terapi utama perdarahan postpartum. Misoprostol
dapat diberikan secara oral ataupun sublingual.16

4. Penanganan perdarahan postpartum yang telah terjadi (establihed postpartum hemorrhage)


a. Intervensi medis
Jika dengan managemen aktif kala III perdarahan vaginal masih berlangsung,
maka harus segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit
dalam 500 ml cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama
dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti
adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara
mengatasi syok (“ABC's”) dengan memasang venokateter besar, memberikan oksigen
dengan masker, monitoring tanda vital dan memasang kateter untuk memonitor jumlah
urin yang keluar. Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk
pemeriksaan rutin, golongan darah dan skrining koagulasi.14
Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia
(resusitasi cairan). Kelambatan atau ketidaksesuaian dalam memberikan koreksi
hipovolemia merupakan awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan
postpartum. Meskipun pada perdarahan kedua komponen darah yaitu plasma dan sel
darah hilang, tetapi penanganan pertama untuk menjaga homeostasis tubuh dan
mempertahankan perfusi jaringan adalah dengan pemberian cairan. Larutan kristaloid
(saline normal atau ringer laktat) atau koloid harus segera diberikan dengan jumlah 3 kali
estimasi darah yang hilang, tetapi larutan kristaloid lebih diutamakan. Dextran tidak
boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet. Dosis maksimal untuk larutan
koloid adalah 1500 ml per 24 jam.14
b. Intervensi bedah
Pasien harus diletakkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang baik
sehingga adanya robekan di perineum, vagina dan seviks dapat diidentifikasi. Jika
robekan jalan lahir dapat disingkirkan maka segera dilakukan eksplorasi kavum uterin
untuk menyingkirkan adanya retensi sisa plasenta. Jika setelah manuver ini perdarahan
masih berlangsung dan kontraksi uterus lembek, maka atoni uteri adalah penyebab
perdarahan.14
Beberapa intervensi bedah yang dapat dilakukan adalah kompresi bimanual,
tampon uterus (uterine packing, tamponade test), jahitan pada placental bed, jahitan segi
empat ganda (multiple square suture), jahitan B-Lynch, ligasi arteria uterina, ligasi arteria
iliaka interna, histerektomi, tampon intraabdominal (intra–abdominal packing) dan
embolisasi arteria iliaka interna atau arteria uterina.17
1. Kompresi Bimanual
Kompresi bimanual dilakukan dengan satu tangan (tangan kanan mengepal)
ditempatkan di forniks anterior dan tangan kiri mengangkat korpus dan menekan ke
arah tangan yang di dalam vagina. Cara ini setidaknya dapat menghentikan
perdarahan sementara sambil menyiapkan langkah lainnya.
2. Tampon Uterus (Uterine Packing)
Tindakan ini dipertimbangkan bila terapi obat-obatan tidak berhasil atau
sambil menunggu tindakan operatif. Pada keadaan di mana korpus berkontraksi
baik sedang segmen bawah rahim tidak, seperti pada plasenta letak rendah, maka
tampon uterus bermanfaat. Bila seluruh uterus lembek dan serviks terbuka lebar
maka tampon tidak efektif karena tampon tidak mendapat tahanan dari bawah.
Tampon harus dipasang dengan padat dan hanya meninggalkan bagian sedikit di
dalam vagina untuk mengangkat setelah 24 jam.17
3. Histerektomi Peripartum
Insidensi melakukan histerektomi peripartum berkisar antara 7-13 per
100.000 persalinan dan sebagian besar terjadi bersamaan dengan seksio sesarea.
Indikasi utama adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atoni uterin, ruptur
uterin, hematoma ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan
forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteria uterina.
Histerektomi supraservikal dapat dilakukan kalau dibutuhkan operasi yang lebih
cepat. Teknik B-Lynch dan teknik Lasso-Budiman, keduanya merupakan teknik
yang aman, sederhana, mudah, dan efektif untuk menghentikan perdarahan
pascapersalinan yang disebabkan oleh atonia uteri. Bila terjadi kegagalan,
histerektomi adalah pilihan terakhir. Kedua teknik tersebut juga merupakan
metode yang efektif untuk mempertahankan uterus dan fertilitas.18
4. Tampon Intraabdominal
Histerektomi tidak menjamin bahwa perdarahan pasti berhenti. Perdarahan
bisa terjadi karena gangguan faktor pembekuan (consumptive coagulopathy) atau
manipulasi yang berlebihan. Sebuah tampon padat ditaruh di tempat sumber
perdarahan dan diangkat setelah 24 jam setelah gangguan perdarahan terkoreksi.17
5. Tranfusi Darah
Sel darah merah yang dimampatkan (Packed Red Cells, PRC) lebih
banyak digunakan untuk mengatasi syok hemoragik. Tujuan transfusi darah pada
kedaan ini adalah restorasi cairan intravaskular yang hilang dan pemulihan
kapasitas membawa oksigen oleh sel darah merah (oxygen carrying-capacity).
Kemampuan membawa oksigen sel darah merah pada seorang individu yang sehat
tidak akan terganggu sampai kadar hemoglobin turun di bawah 6-7 g/dL.
Kehilangan darah lebih dari 20-25% atau dengan kecurigaan koagulopati
memerlukan penggantian faktor koagulasi. Pemeriksan faktor koagulasi juga
diperlukan setelah pemberian 5-10 unit PRC.19
Gambar 2. Manajemen Perdarahan Postpartum.18
Gambar 3.Tatalaksana Pendarahan Post Partum et cause Atonia Uteri.19

2.5.8 Komplikasi
Syok terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa disebabkan oleh
kegagalan kerja jantung (syok kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga terjadi redistribusi
cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok septik), hipovolemia
karena dehidrasi (syok hipovolemik) atau karena perdarahan banyak (syok hemoragik). Tanda
dan gejala syok hemoragik bervariasi tergantung pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan
hilangnya darah (Tabel 3).12

Tabel 10. Tanda, Gejala dan Klasifikasi Syok Hemoragik (Wanita dengan Berat Badan 60-70
kg)12

Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan


penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas
otot jantung meningkat dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun,
kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen juga menurun sedang kenaikkan
kontraktilitas otot jantung membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Keadaan ini cepat
memacu terjadinya kegagalan miokardium. Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya
kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia
jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah
yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik.
Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel
menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme dan endotoksin mudah
tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan
kematian.12
Evaluasi pada pasien meliputi riwayat medis yang lengkap, seperti riwayat koagulopati
dan riwayat terapi anti koagulan, harus dilakukan. Pemeriksaan fisik yang lengkap dapat
menunjukkan adanya memar atau petekia yang luas. Pemeriksaan untuk menilai status koagulasi
dan konsultasi harus dipertimbangkan. Resiko komplikasi perdarahan harus dicatat pada rekam
medis didiskusikan dengan pasien.12

2.5.9 Pencegahan
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena
hal ini dapat menurunkan insidens pendarahan pascapersalinan akibat atonia uteri. Pemberian
misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir.2

2.5.10 Prognosis
Wanita dengan pendarahan pascapersalinan seharusnya tidak meninggal akibat
pendarahannya, sekalipun untuk mengatasinya perlu dilakukan histerektomi.20

3. Penutup

1.1 Kesimpulan

Pasien ini mengalami pendarahan post partum primer yang disebabkan oleh atonia uteri
karena pasien memiliki tekanan darah turun, nadi meningkat, pucat dan tidak sadarkan diri serta
mengeluarkan darah dari vagina 40 menit setelah persalinan yang menunjukkan bahwa pasien
mengalami pendarahan post partum. Sedangkan atonia uteri diambil sebagai causa karena fundus
uteri setinggi pusat dan konsistensinya kenyal serta atonia uteri merupakan penyebab tersering
dari pendarahan post partum.
1. F Gary C, Kenneth JL, Steven LB, John CH, Dwight JR, Catherine YS. Obstreti
Williams. Jakarta: ECG, 2012.
2. Saworno P. Ilmu Kebidanan. Jakarta; PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
3. Ida BGM, Ida ACM, Ida BGFM. Pengantar Kuliah Obstreti. Jakarta: ECG, 2007.
4. Prabowo, Raden P. Perdarahan Post Partum dalam buku Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1
Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005.
5. Karkata, Made K. Perdarahan Pasca Persalinan dalam buku Ilmu Kebidanan. Ed 1
Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005.
6. Timothy R. Maternal Mortality. J Obstet Gynecol Can 2011;33(10):989-990
7. Hogan MC, et al. Maternal mortality for 181 countries, 1980–2008: a systematic analysis
of progress towards Millennium Development Goal 5. Lancet 2010;375:1609–23.
8. Ramanathan, Gand Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can
2006.
9. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005.
10. Maughan KL, et al. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of
Labor. AmFam Physician 2006.
11. Mohammad H. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan. Ed 1. Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica. 2010.
12. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage.
Am Fam Physician 2007.
13. John RS. Management of Third Stage of Labor. Medscape Reference.
14. Schuurmans N, et al. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of
Postpartum Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000.
15. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. NEngl J Med
2001.
16. J Blum, et al. Treatment of Postpartum Hemorrhage. International Federation of
Gynecology and Obstetric. Ireland:Elseiver.
17. Dean Leduc. Active Management of The Third Stage of Labour: Prevention and
Treatment Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2009.
18. Muhammad Nurhadi Rahman, dkk. Penggunaan Teknik B-Lynch dan Teknik Lasso-
Budiman untuk Penanganan Perdarahan Pascapersalinan akibat Atonia Uteri. Case
Report Vol.34 No.4 Oktober 2010.
19. Statewide Maternity and Neonatal Clinical guidelines Program. Primary Postpartum
Hemorrhage. July 2009.
20. Sulaiman S. Obstetri Patologi: Ilmu Kesehatan Reproduksi. Ed 2. Jakarta: ECG, 2004.

Anda mungkin juga menyukai