Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

DEPRESI PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

Disusun oleh :
Laotesa Rammang
112019091

Dokter Pembimbing :
dr. Meiliana Lindawaty R, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
KRISTEN KRIDA WACANA
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius. World


Health Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi berada pada urutan keempat penyakit
di dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria pada suatu waktu dalam kehidupannya pernah
mengalami depresi. Survei badan kesehatan dunia (WHO) di 14 negara (1990) memperlihatkan
bahwa depresi merupakan masalah kesehatan yang mengakibatkan beban sosial nomor empat
terbesar di dunia. Prediksi WHO tentang penderita depresi penduduk dunia dalam dua dekade
mendatang lebih dari 300 juta orang. Pada tahun 2020, depresi akan menempati masalah
kesehatan nomor dua di dunia setelah penyakit kardiovaskular.1
Depresi merupakan suatu kondisi mental yang ditandai dengan terganggunya fungsi
normal tubuh, suasana alam perasaan yang sedih, dan gejala penyerta berupa perubahan pola
tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, tidak dapat menikmati kesenangan (anhedonia),
kelelahan, tidak berdaya, rasa putus asa, dan ide bunuh diri.2
Pendidikan kedokteran adalah masa pendidikan yang berat dan penuh tekanan, sehingga
mahasiswa kedokteran rentan terhadap gangguan depresi dan gangguan cemas. Hal ini telah
dibuktikan oleh berbagai penelitian, baik pada fakultas kedokteran di luar negeri maupun di
Indonesia. Di Fakultas Kedokteran Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya (FKUAJ) pernah melakukan penelitian perihal prevalensi gangguan
depresi pada mahasiswa kedokteran angkatan 2007. Hasilnya adalah 34,9% mahasiswa
kedokteran memiliki gangguan depresi.3
Pendidikan kedokteran membutuhkan usaha dan kerja keras dengan tingkat stress yang
tinggi, dan dilaporkan sebagai penyebab burnout, cemas, depresi, dan masalah psikososial.
Pendidikan kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang profesional melalui proses
yang terstandarisasi sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
ini, fakultas kedokteran umumnya menerapkan kurikulum dengan kuliah pengantar,
demonstrasi, praktikum dibawah supervisi, mentoring dan praktik langsung. Pendidikan
kedokteran bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap lulusan memiliki pengetahuan,
dan terampilan yang baik, juga harus professional.4
Pendidikan kedokteran terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap
profesi dokter. Pada tahap sarjana kedokteran mahasiswa kedokteran preklinik mempelajari
ilmu- ilmu kedokteran dasar yang telah tersusun sebagai Program Studi Sarjana Kedokteran
(PSSK) dan diakhiri dengan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked). Sementara itu, tahap profesi
dokter adalah tahap yang harus dilalui oleh mahasiswa klinik untuk mendapatkan gelar Dokter
(dr.), dimana mahasiswa klinik berlatih secara mendalam melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pembuatan catatan medik, analisis keluhan atau hasil pemeriksaan fisik penderita, dan
penentuan serta penyelesaian problem-problem medik penderita dari setiap stase yang telah
tersusun dalam Program Studi Profesi Dokter (PSPD). Tentunya terdapat perbedaan metode
pembelajaran antara tahap pendidikan sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter. Berbagai
macam metode pembelajaran ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas mahasiswanya.
Sayangnya, beberapa aspek proses pendidikan ada yang berdampak negatif pada kesehatan
mental mahasiswa.5
Beberapa aspek dari proses pendidikan ini memiliki konsekuensi negatif terhadap
kesehatan mahasiswa. Studi menyebutkan mahasiswa kedokteran mengalami insiden yang
lebih tinggi pada personal distress, yang berimplikasi kepada performa akademik, kompetensi,
profesionalitas dan kesehatan. Tujuan pendidikan kedokteran salah satunya adalah mendidik
lulusan yang turut mempromosikan kesehatan, namun beberapa studi menemukan bahwa
kesehatan mental mahasiswa memburuk selama proses pendidikan. Penelitian di berbagai
negara menunjukkan bahwa kejadian depresi pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi bila
dibandingkan dengan populasi umum. Givens dan Tjia di Universitas California, San Fransisco
menemukan bahwa 1 dari 4 mahasiswa kedokteran mengalami depresi.6
Penelitian Yasin dan Dzulkifli pada tahun 2011 menemukan bahwa mahasiswa
kedokteran dengan tingkat depresi yang lebih berat mempunyai pencapaian akademik yang
lebih rendah. Depresi tidak hanya mempengaruhi produktivitas mahasiswa kedokteran tetapi
juga akan mempengaruhi perilaku mereka terhadap pasien dan orang di sekitar. Mahasiswa juga
menjadi lebih rentan terhadap perilaku menyimpang seperti merokok, konsumsi alkohol, dan
penyalahgunaan zat. Gejala depresi saat masih berstatus mahasiswa dapat terbawa sampai
mereka menjadi seorang dokter.7
Faktor-faktor risiko seperti kepribadian, alasan masuk FK, jenis kelamin, tahun
studi, kondisi finansial, dan mekanisme coping diduga memiliki peranan yang besar dalam
peningkatan gejala depresi pada mahasiswa kedokteran dan didapatkan bahwa terdapat
perbedaaan derajat kecemasan dan depresi mahasiswa kedokteran preklinik dan ko-asisen.
. Faktor-faktor risiko ini dapat meningkatkan stres pada mahasiswa kedokteran. Apabila
paparan stres ini terus-menerus terjadi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan depresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Depresi
Gangguan depresi, dalam buku Synopsis of Psychiatry termasuk dalam kelompok
gangguan mood. Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialammi dapat
diutarakn oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; sebagai contoh adalah depresi, elasi dan
marah. Gangguan depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan gangguan
perasaan atau mood, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau harga diri yang
rendah, susah tidur, penurunan nafsu makan, energi rendah, dan konsentrasi yang buruk.
Kesedihan dan penolakan merupakan gejala emosional yang paling menonjol dalam gangguan
depresi.8
Depresi dikatakan normal apabila terjadi dalam situasi tertentu, bersifat ringan dan
dalam waktu yang singkat. Bila depresi tersebut terjadi di luar kewajaran dan berlanjut maka
depresi tersebut dianggap abnormal .Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat): afek
depresif, kehilangan minat dan kegembiraaan dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keaadaan mudah lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas. Gejala lainnya : konsentrasi dan perhatiaan berkrang, harga diri dan
kepercayaan berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuataan membahayakan diri atau bunuh diri,
tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang- kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek
dapat dibenarkan jika gejala liuar biasa beratnya dan berlangsung cepat. 8

ETIOLOGI

Etiologi Kaplan & Saddock menyatakan bahwa sebab depresi dapat ditinjau dari
beberapa aspek, antara lain: aspek biologi, aspek genetik, aspek psikologi dan aspek lingkungan
sosial.
1) Aspek biologi
Penyebabnya adalah gangguan neurotransmiter di otak dan gangguan hormonal.
Neurotransmiter antara lain dopamin, histamin, dan noradrenalin.
a) Dopamin dan norepinefrin
Keduanya berasal dari asam amino tirosin yang terdapat pada sirkulasi darah. Pada
neuron dopaminergik, tirosin diubah menjadi dopamin melalui 2 tahap: perubahan tirosin
menjadi DOPA oleh tirosin hidroksilase (Tyr-OH). DOPA tersebut akan diubah lagi menjadi
dopamin (DA) oleh enzim dopamin beta hidroksilase (DBH-OH). Pada jaringan interseluler,
DA yang bebas yang tidak disimpan pada vesikel akan dioksidasi oleh enzim MAO menjadi
DOPAC. Sedangkan pada jaringan ekstraseluler (pada celah sinap) DA akan menjadi HVA
dengan enzim MAO dan COMT
b) Serotonin
Serotonin yang terdapat pada susunan saraf. Serotonin yang terdapat pada susunan saraf
pusat berasal dari asam amino triptofan, proses sintesis serotonin sama dengan katekolamin,
yaitu masuknya triptofan ke neuron dari sirkulasi darah, dengan bantuan enzim triptofan
hidroksilase akan membentuk 5-hidroksitriptofan dan dengan dekarboksilase akan membentuk
5-hidroksitriptamin (5-HT).

2) Aspek genetik
Pola genetik penting dalam perkembangan gangguan mood, akan tetapi pola pewarisan
genetik melalui mekanisme yang sangat kompleks, didukung dengan penelitian-penelitian
sebagai berikut:
a) Penelitian keluarga Dari penelitian keluarga secara berulang ditemukan bahwa sanak
keluarga turunan pertama dari penderita gangguan bipoler I berkemungkinan 8-18 kali lebih
besar dari sanak keluarga turunan pertama subjek kontrol untuk menderita gangguan bipoler I
dan 2-10 kali lebih mungkin untuk menderita gangguan depresi berat. Sanak keluarga turunan
pertama dari seorang penderita berat berkemungkinan 1,5-2,5 kali lebih besar daripada sanak
keluarga turunan pertama subjek kontrol untuk menderita gangguan bipoler I dan 2-3 kali lebih
mungkin menderita depresi berat.
b) Penelitian adopsi Penelitian ini telah mengungkapkan adanya hubungan faktor
genetik dengan gangguan depresi. Dari penelitian ini ditemukan bahwa anak biologis dari orang
tua yang menderita depresi tetap beresiko menderita gangguan mood, bahkan jika mereka
dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan.
c) Penelitian kembar Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa angka
kesesuaian untuk gangguan bipoler I pada anak kembar monozigotik 33-90 persen; untuk
gangguan depresi berat angka kesesuaiannya 50 persen. Sebaliknya, angka kesesuaian pada
kembar dizigotik adalah kira-kira 5-25 persen untuk gangguan bipoler I dan 10-25 persen untuk
gangguan depresi berat.

3) Aspek psikologi
Sampai saat ini tak ada sifat atau kepribadian tunggal yang secara unik
mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua manusia dapat dan memang menjadi
depresi dalam keadaan tertentu. Tetapi tipe kepribadian dependen-oral, obsesif-kompulsif,
histerikal, mungkin berada dalam resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada
tipe kepribadian antisosial, paranoid, dan lainnya dengan menggunakan proyeksi dan
mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan yang lainnya. Tidak ada bukti hubungan
gangguan kepribadian tertentu dengan gangguan bipoler I pada kemudian hari. Tetapi gangguan
distimik dan gangguan siklotimik berhubungan dengan perkembangan gangguan bipoler I di
kemudian harinya.
4) Aspek lingkungan sosial Berdasarkan penelitian, depresi dapat membaik jika klinisi
mengisi pada pasien yang terkena depresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan.2

Gejala Klinis
Menurut Setyonegoro (1991) gejala klinis depresi terdiri dari:
1) Simptom psikologi:
a) Berpikir: kehilangan konsentrasi, lambat dan kacau dalam berpikir, pengendalian diri, ragu-
ragu, harga diri rendah.
b) Motivasi: kurang minat bekerja dan lalai, menghindari kegiatan kerja dan sosial, ingin
melarikan diri.
c) Perilaku: lambat, mondar-mandir, menangis, mengeluh.
2) Simptom biologi:
a) Hilang nafsu makan atau bertambah nafsu makan.
b) Hilang libido.
c) Tidur terganggu.
d) Lambat atau gelisah.9

Faktor- Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Tingkat Gejala Depresi pada
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter.

Faktor-faktor risiko seperti kepribadian, alasan masuk FK, jenis kelamin, tahun studi, ,
kondisi finansial, dan mekanisme coping diduga memiliki peranan yang besar dalam
peningkatan gejala depresi pada mahasiswa kedokteran dan didapatkan bahwa terdapat
perbedaaan derajat kecemasan dan depresi mahasiswa kedokteran preklinik dan ko-asisen.
Kepribadiaan
Kepribadian dapat didefinisikan sebagai totalitas sifat emosional dan perilaku yang
menandai kehidupan seseorang dari hari ke hari dalam kondisi yang biasanya. Kepribadian
relatif stabil dan dapat diperkirakan.2 Kepribadian merupakan label deskriptif global untuk
perilaku seseorang yang dapat diamati secara objektif serta pengalaman interna yang secara
subjektif dapat dilaporkan. Kepribadian dikelompokan berdasarkan teori pengelompokkan trait
yaitu kedalam Model Lima Faktor (Big Five). Teori kepribadian ini merupakan teori yang
memiliki kemampuan yang baik dalam menggambarkan kepribadian yang merupakan perilaku
afektif individu. Kelima faktor tersebut adalah Extraversion, Agreeableness,
Conscientiousness, Neuroticism, dan Openness. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
kepribadian yang paling kuat memprediksi tingkat gejala depresi adalah tipe kepribadian
neurotcisim. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa pasien depresi menunjukkan skor
yang tinggi pada Neuroticismdan skor yang rendah untuk conscientiousness. Dimensi
kepribadian Neuroticism ditemukan memiliki korelasi positif terhadap tingkat gejala depresi.
Neuroticism berkaitan dengan pengalaman emosi negatif dan distress psikologi dalam
menghadapi stressor. Tipe kepribadian neuroticsm merupakan kepribadian yang cenderung
pencemas, emosional, dan temperamental. Kecemasan dan rasa tidak aman yang dimiliki
pribadi dapat mengarahkannnya kepada pelarian diri. sehingga untuk mendapatkan rasa aman
individu ini tidak berfokus pada dirinya maupun orang lain, hal seperti ini lebih mengarah
kepada gaya manajemen konflik avoiding karena gaya ini tidak berfokus pada siapapun dan
memilih untuk menghindari masalah.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada
Neuroticism meningkatkan resiko terdiagnosis gangguan depresi mayor. Neuroticismpada
dasarnya, adalah faktor disposisi untuk mengalami tekanan psikologi. Kepribadian
Conscientiousness juga berpengaruh terhadap tingkat gejala depresi.Dimensi kepribadian
Openness, Agreeableness, Extraversion ditemukan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat
gejala depresi. Rendahnya Conscientiousness menunjukkan bahwa kurangnya pengendalian
diri dalam pengorganisasian dan perencanaan berhubungan dengan tingkat yang lebih tinggi
dari depresi. Ini menunjukkan relevansi Conscientiousness untuk maintenance depresi;
lemahnya pengorganisasian dan perencanaan (rendah skor C) akan menyebabkan stres di
berbagai aspek (misalnya, kinerja yang buruk dalam pekerjaan, sekolah, atau hubungan),
sehingga meningkatkan atau mempertahankan gejala depresi.10
Perbedaan Tingkat Depresi Berdasarkan Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Juga dilakukan penelitian yang mengatakan . Tingkat depresi pada mahasiswa dengan tipe
kepribadian introvert lebih tinggi dari pada mahasiswa dengan tipe kepribadian ekstrovert.
Salah satu perbedaan antara seseorang dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert adalah
dalam hal menangani stresor lingkungan yang dialami sehari-hari. Hal ini dikarenakan pada
individu introvert mereka cenderung menggunakan coping yang pasif (passive coping) untuk
menyelesaikan masalahnya. Sehingga yang sering terjadi adalah masalah yang mereka miliki
sulit untuk terselesaikan atau bahkan tidak jarang masalah masalah mereka tidak terselesaikan.
Sedangkan pada individu Ekstrovert mereka cenderung lebih menggunakan active coping.11

Alasan Masuk FK
Keputusan untuk berkarir di bidang kedokteran bisa dipengaruhi oleh banyak faktor.
Selain faktor eksternal, faktor personal seperti pengaruh orangtua, pendapatan yang menarik
dan prestasi, faktor seperti keinginan untuk menolong orang lain, ketertarikan mendasar pada
kedokteran atau keinginan untuk menjadi terampil dalam bidang kedokteran juga menjadi dasar
seseorang memilih untuk berkarir di kedokteran. Berdasarkan sebuah penelitian di Turki yang
melibatkan 290 mahasiswa kedokteran, menemukan bahwa 20,3% mahasiswa mengalami
cemas, 29,3%mengalami gejala depresi. Mahasiswa yang keinginannya untuk menjadi dokter
oleh karena tekanan dari luar dan mengharapkan penghasilan yang tinggi ditemukan lebih
cemas dan depresi.12

Jenis kelamin
Menurut beberapa penelitian mahasiswa perempuan lebih banyak yang mengalami
gejala depresi dari pada mahasiswa laki-laki .Seperti pada Goebert et al. Dyrbye et al., dan Alvi
et al. yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
gejala depresi dan secara deskriptif mahasiswa kedokteran perempuan lebih banyak yang
mengalami gejala depresi. Mahasiswa perempuan lebih mudah mengalami gejala depresi
karena pengaruh dari dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
yaitu perempuan mempunyai distres psikologis yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Faktor
internal meliputi perubahan hormonal pada wanita berupa turunnya hormon estrogen pada awal
siklus menstruasi. Perubahan hormonal ini dapat mempengaruhi suasana perasaan melalui
stimulasi aksis HPA ataupun dengan mempengaruhi neurotransmiter serotonin dan adrenalin.
Perempuan lebih sensitif dan ekspresif dalam mengungkapkan gejala depresi, bahkan untuk
gejala terkecil sekalipun dari pada laki-laki. Hal tersebut mengakibatkan perempuan lebih
rentan terhadap stres dan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental.
Gejala depresi pada perempuan juga berhubungan dengan Premenstrual syndrome.
Premenstrual syndrome (PMS) merupakan kumpulan gejala fisik dan emosional yang terjadi
secara berulang setiap fase luteal siklus menstruasi. PMS ditandai dengan iritabilitas, depresi,
ketidakmampuan berkonsentrasi, dan letargi. PMS dialami oleh 40% perempuan pada usia
reproduktif dan sekitar 5% berkembang menjadi Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD)13

Tahun studi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tahun
studi kedua dengan tingkat gejala depresi. penelitian Goebert et al. dan Yusoff et al. yang
menyatakan bahwa tahun studi berhubungan secara signifikan dengan tingkat gejala depresi.
Hasil berbeda ditemukan pada penelitian Alvi et al. yang menemukan tidak adanya hubungan
signifikan antara tahun studi dan tingkat gejala depresi. Prevalensi mahasiswa yang memiliki
gejala depresi lebih banyak ditemukan pada tahun kedua (39,4%), diikuti tahun pertama
(32,9%), dan tahun ketiga (18,7%). Tingginya prevalensi gejala depresi pada tahun pertama
disebabkan oleh perubahan lingkungan belajar yang baru, jadwal yang padat, dan homesickness
karena banyak mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua. Pada tahun kedua, materi
pembelajaran dan keterampilan klinis yang harus dipelajari semakin berat sehingga gejala
depresi semakin meningkat dan mencapai puncaknya. Prevalensi gejala depresi pada tahun
ketiga mengalami penurunan karena mahasiswa sudah mengembangkan mekanisme adaptasi
dan coping terhadap lingkungan belajar dan perkuliahan di Fakultas Kedokteran.13

Kondisi finansial
Penelitian oleh Roh dkk menyatakan bahwa kondisi finansial berhubungan secara
signifikan dengan tingkat gejala depresi. Gejala depresi yang banyak dialami oleh mahasiswa
dengan kondisi finansial tidak cukup disebabkan karena kondisi finansial yang tidak cukup
berperan dalam meningkatkan stres yang dialami oleh mahasiswa. Mahasiswa kedokteran
sudah memiliki banyak beban kurikulum dan jadwal yang padat sejak awal masuk, namun
apabila masih ditambah dengan masalah finansial tentu saja hal ini akan menambah risiko
mahasiswa tersebut untuk mengalami gejala depresi. Seperti yang diketahui, mahasiswa
kedokteran sangat memerlukan dukungan finansial untuk membayar biaya semester dan
mendukung proses pembelajaran seperti membeli buku, pembuatan tugas, transportasi, dan
kebutuhan sehari-hari.14

Mekanisme coping
Kegagalan individu dalam menyesuaikan diri dengan masalah atau tuntutan dalam
hidupnya akan membuat mereka berada dalam situasi yang menekan dan mengganggu emosi
sehingga akan menimbulkan respons individu terhadap tekanan tersebut. Bagaimana sikap
individu dalam menghadapi masalah itulah yang harus dilakukan sehingga tidak membebani
fisik dan pikiran pada individu. Yang terpenting adalah bagaimana “menghadapi masalah
dengan sikap terbaik dari individu masing-masing”. Bagaimana individu mempersepsikan
tekanan, bagaimana mengatasi masalah atau stres yang dibangun, dan solusi atau dukungan
sosial apa yang diaplikasikan, tentunya akan bergantung pada satu faktor yaitu kepribadian.
Pribadi yang berbeda akan berbeda pula dalam bereaksi terhadap situasi yang dipersepsikan
sehingga kuncinya adalah mengontrol situasi apapun dan mengubahnya menjadi energi positif
akan membantu kita memenuhi target dan tujuan yang kita inginkan. Respons individu terhadap
suatu situasi yang menekan bergantung pada kontrol mereka terhadap situasi tersebut.
Pada penelitian yang dilakukan oleh berkel yang menemukan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara mekanisme coping dan tingkat gejala depresi. Berkel menyatakan bahwa
mekanisme coping merupakan faktor penentu yang menentukan mudah tidaknya seseorang
untuk mengalami gejala depresi. Avoidance coping merupakan mekanisme coping paling
maladaptif yang berhubungan dengan peningkatan stres, ansietas, dan depresi sedangkan
problem-focused coping dapat menurunkan gejala depresi.15

Perbedaaan derajat kecemasan dan depresi mahasiswa kedokteran preklinik dan ko-
asisen.
Dari beberapa penelitian dip menyatakan bahwa ada perbedaan derajat kecemasan dan
depresi yang bermakna antara mahasiswa preklinik dan ko-asisten.16 Dimana didapatkan
mahasiswa ko-asisten lebih cemas dan lebih depresif dari pada mahasiswa preklinik.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Tuntutan untuk lebih aktif dalam proses belajar mengajar.
Masing-masing kelompok mahasiswa memiliki tanggung jawab dan tugas masing-masing,
dimana mahasiswa preklinik selain menjalani masa perkuliahan juga menghadapi ujian,
melengkapi syarat kelulusan seperti karya tulis ilmiah. Namun, ko-asisten selain menghadapi
ujian untuk melengkapi syarat kelulusan untuk tiap stase juga harus menghadapi pasien secara
langsung dan memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan pasien. Dengan demikian, ko-
asisten dituntut untuk lebih aktif baik dalam belajar maupun dalam mengambil tindakan.
Tuntutan yang tinggi dan beragam pada mahasiswa klinik. Setiap stase kepaniteraan klinik
membutuhkan pengetahuan medis dasar dan keahlian yang unik. Mahasiswa klinik harus
menguasai berbagai macam kemampuan klinis dan keterampilannya dalam waktu yang singkat.
Memang mahasiswa preklinik maupun klinik dituntut untuk menguasai berbagai ilmu
kedokteran, namun mahasiswa klinik tidak hanya harus menghadapi ujian sebagai syarat
kelulusan suatu stase, tetapi mahasiswa klinik juga dituntut untuk mengaplikasikan ilmu
tersebut dengan baik dan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan pasien.
Tuntutan yang sedemikian tinggi dan beragam tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran yang
tinggi pada mahasiswa klinik dan rasa frustrasi.
Tingkat stres pada mahasiswa klinik semakin diperparah, apabila mahasiswa klinik
tersebut kurang berminat pada stase yang sedang dijalaninya, sehingga mahasiswa klinik
tersebut merasa segala tuntutan yang harus ia penuhi sebagai suatu beban yang sangat berat.
Ada kalanya tekanan datang dari konsulen, perawat, keluarga pasien, dan pasien itu sendiri,
yang akan semakin menambah beban berat pada mahasiswa klinik. Hal–hal tersebut dapat
meningkatkan risiko gangguan depresi dan gangguan cemas pada mahasiswa klinik.
2. Lebih kompetitif.
Suasana belajar ko-asisten di rumah sakit yang berhadapan langsung dengan pasien lebih
kompetitif dibanding suasana belajar mahasiswa preklinik di universitas. Karena berhadapan
langsung dengan staf pengajar di rumah sakit dan rekan-rekannya, ko-asisten yang satu pasti
tidak ingin ketinggalan dari ko-asisten yang lainnya dalam keterampilan menangani pasien.
Perasaan takut kalah dalam persaingan, takut lebih buruk dibandingkan dengan teman
temannya, takut tidak dapat memenuhi ekspetasi yang tinggi dari diri sendiri maupun orang lain
(terutama pengujinya) dapat menimbulkan kekhawatiran, ketakutan, dan keputusasaan yang
tinggi yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan depresi dan gangguan cemas pada
mahasiswa klinik.
3. Jadwal yang padat.
Ko-asisten menghabiskan waktu di rumah sakit lebih banyak dari pada mahasiswa
preklinik menghabiskan waktu di ruang kuliah. Setiap mahasiswa klinik memiliki jadwal jaga
masing-masing dan berbagai aktivitas kepaniteraan klinik yang menguras tenaga. Setelah
melakukan berbagai aktivitas rutin kepaniteraan klinik di rumah sakit setiap hari di pagi dan
siang hari seperti morning report, ronde bangsal, bimbingan, dll, terkadang mereka harus
berlanjut dengan jaga malam. Selain itu mahasiswa klinik juga harus belajar untuk ujian dan
menyelesaikan berbagai tugas dari konsulen dalam waktu yang pendek dan terlalu padat. Hal
ini menimbulkan kelelahan dan kejenuhan pada mahasiswa klinik. Sebuah studi menunjukkan
bahwa sebagian besar mahasiswa klinik mengalami penurunan kualitas hidup dan kualitas tidur
karena padatnya aktivitas mereka. Penurunan kualitas tidur pada mahasiswa klinik dapat
mengganggu metabolisme tubuh seperti penurunan hormon serotonin dan dopamin yang
dihasilkan saat seseorang tertidur. Berdasarkan hasil penelitian, penurunan hormon serotonin
dan dopamin dapat menyebabkan gangguan depresi pada seseorang. Penurunan kualitas tidur
secara terus menerus juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup seseorang, yang pada
gilirannya dapat mengganggu kesehatan mental mahasiswa klinik di antaranya adalah
gangguan depresi dan gangguan cemas. Performa akademik mahasiswa klinik juga akan
menurun seiring dengan terjadinya gangguan depresi dan gangguan cemas.
4. Bahan yang dipelajari sangat luas dan lebih aplikatif.
Ko-asisten dituntut untuk terampil dalam mengaplikasikan seluruh bahan yang telah
dipelajari saat kuliah preklinik. Keadaan ini dapat menciptakan stresor yang dapat memacu
timbulnya kecemasan dan atau depresi.17
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Pendidikan kedokteran adalah masa pendidikan yang berat dan penuh tekanan, sehingga
mahasiswa kedokteran rentan terhadap gangguan depresi dan gangguan cemas. Penelitian di
berbagai negara menunjukkan bahwa kejadian depresi pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi
bila dibandingkan dengan populasi umum. .

Agar gangguan depresi dan gangguan cemas dapat menurun pada mahasiswa
kedokteran, baik preklinik maupun klinik, selama menempuh pendidikan kedokteran, maka
penyelenggara institusi fakultas kedokteran dan staf pengajar fakultas kedokteran memberikan
bantuan, perhatian, dan dukungan kepada mahasiswa, terutama yang mengalami gangguan
depresi dan gangguan cemas akibat dari kegiatan akademik yang dihadapinya.Bagi pihak
fakultas adalah dengan menyiapkan konselor, edukasi mengenai pengelolaan stres, dan
pemantauan berkala terhadap kondisi psikologis mahasiswa.

Kepada mahasiswa kedokteran disarankan untuk lebih banyak berpikir positif. Terapi
relaksasi dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam menghadapi gangguan depresi dan
gangguan cemas. Bagi mahasiswa kedokteran adalah dapat berkonsultasi dosen pembimbing
akademik atau orang tua/teman untuk meringankan masalah yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmawati, Z. Tips Menangkal Depresi.2008. http://www.kompas.com Diakses pada 5


Maret 2009
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry: behavioral science/
clinical psychiatry. 10th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 527.
3. Agustinus DH, Agustinus DH, Charles S, Satya J. Prevalensi depresi dan faktor yang
mempengaruhi pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas katolik Indonesia atma
jaya angkatan 2007 [skripsi]. Jakarta (Indonesia): Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya; 2010.
4. Dyrbye, L., Thomas, M. and Shanafelt, T. 2005. Medical Student Distress: Causes,
Consequences, and Proposed Solutions. Mayo Clin Proc, 80(12), pp.1614-1615.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Pendidikan Profesi Dokter. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia; 2006
6. Given JL, Tjia J. Depressed medical student’s use of mental health services and barriers
to use. Acad Med 2002; 77: 918-21
7. Dyrbye LN, Thomas MR, Shanafelt TD. Systemic review of depression, anxiety and
other indicators of psychological distress among U.S. and Canadian medical students.
Acad Med 2006; 81: 354-73.
8. Husin AB, Siste K, Amir N, Kusumawardhani A, Elvira SD, Mangindaan L. Buku Ajar
Psikiatri. 2nd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia. 2015.
9. Setyonegoro, R.K. 1991. Anxietas dan Depresi suatu Tinjauan Umum tentang
Diagnostik dan Terapi dala, Depresi: Beberapa Pandangan Teori dan Implikasi Praktek
di Bidang Kesehatan Jiwa. Jakarta, pp: 1-16
10. Goldberg, L.R. An Alternative “Description of Personality”. The Big Five Factor
Structure. Journal of Personality and Social Psychology; 1990. vol 59. h 277-302
11. Manovia W. Perbedaan tingkat depresi berdasarkan tipe kepribadian ekstrovert dan
introvert pada mahasiswa tingkat I Fakultas Kedokteran UNS [skripsi]. Surakarta
(Indonesia): UNS ; 2011.
12. Karaoglu, N. and Şeker, M. 2010. Anxiety and Depression in Medical Students
Related to Desire for and Expectations from a Medical Career. West Indian Med J,
59(2), pp.196
13. Goebert D, Thompson D, Takeshita J. Depressive symptoms in medical students and
residents: a multischool study. Acad Med 2009; 84: 236-41
14. Roh MS, Jeon HJ, Kim H, Han SK, Hahm BJ. The prevalence and impact of depression
among medical students: a nationwide crosssectional study in South Korea. Acad med
2010; 85(8);1384-90.
15. Berkel HV. The relationship between personality, coping styles and stress, anxiety and
depression [dissertation]. New zealand: University of Canterbury; 2009. p. 3-10
16. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Pendidikan Profesi Dokter. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia; 2006
17. Chou Y, Agus D, Juliawa D. Perbedaan Poporsi Gangguan Depresi antara Mahasiswa
Preklinik dan Klinik : Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia. The Indonesian Journal
of Medical Education 2017; 6(3)

Anda mungkin juga menyukai