Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HIPERTENSI PADA IBU HAMIL

DISUSUN OLEH:

 Sulasi Toisuta  Hajija Teapon


 Fitria  Aulia S. Lestaluhu
 Sukmawati A.
 Nining Wali
Taniloton
 Amelia P. Uweng  Sardani Hataul
 Havida Ohorella  Widya Astuti
 Sarip Tuasikal  Nuratisma Raden
 Sarniati Anakotta  Nurjani Pacina
 Sisilia Marjuni  Ipa N. Bafaqih
 Wafiqah H. Latuapo

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MALUKU HUSADA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyebab kematian maternal adalah perdarahan (60%), infeksi (25%), gestosis (15%)
dan penyebab lain (5%). Data diatas dapat dilihat bahwa kematian maternal disebabkan oleh
eklampsi menduduki urutan kedua setelah perdarahan. Tekanan darah tinggi atau hipertensi
dalam kehamilan merupakan tanda awal komplikasi sebelum menjadi pre eklampsi dan
eklampsi.
Hipertensi didiagnosis jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada pemeriksaan
di dua waktu yang terpisah setidaknya dengan jarak 6 jam. Penyebab meliputi faktor genetik,
lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defeksi dalam
ekskresi Na, peningkatan Na, dan Ca intraselular dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko
seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Pre eklampsi merupakan hipertensi yang
diinduksi kehamilan disertai dengan peningkatan proteinuria yang signifikans. Pada
kehamilan, ekskresi protein dapat dinyatakan meningkat tetapi protein total sampai 300 mg
per 24 jam dinyatakan normal.
Kejadian hipertensi dalam kehamilan bervariasi mulai dari berbagai daerah keadaan
masyarakat khususnya tentang diet dan kesehatan umumnya. Secara internasional kejadian
hipertensi dalam kehamilan dapat diperkirakan sebagai berikut : primigravida sekitar 7-12 %
makin meningkat pada kehamilan ganda, hidramnion, hamil dengan diabetes melitus,
kehamilan molahidatidosa dan pada kehamilan multigravida 5-8%. Di Indonesia perkiraan
kejadian hipertensi dalam kehamilan sekitar 6-12% serta sangat bervariasi dari masing
masing daerah.
Untuk menurunkan AKI khususnya pada ibu hamil dengan hipertensi dapat dilakukan
secara dini yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara teratur ke tenaga kesehatan yaitu
ANC secara teratur ke bidan, puskesmas, polindes, atau dokter obsgin agar diketahui sejak
dini jika ada gangguan kesehatan pada dirinya atau janinnya. Minimal pemeriksaan yang
harus dilakukan ibu hamil yaitu sebanyak 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester III dan
2 kali pada trimester III.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kehamilan


Kehamilan adalah dimulainya konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil normal
adalah 280 hari (40 minggu ) dihitung dari hari pertama sampai terakhir. Oleh karena dalam
tubuh ada sesuatu yaitu individu yang tumbuh dan berkembang untuk menyesuaikan
diri,dengan adanya individu itu tubuh mengadakan perubahan,memberi tempat, kesempatan
dan jaminan untuk tumbuh dan berkembang sampai saatnya dilahirkan (Saifuddin, 2009).
Kehamilan adalah masa yang dimulai dari ovulasi sampai partus. Lamanya kira-kira
280 hari (40 minggu) dan tidak lebih dari 300 hari (43 minggu). Kehamilan 40 minggu ini
disebut dengan kehamilan mature (cukup bulan), bila kehamilan lebih dari 43 minggu disebut
postmature dan kehamilan antara 28 dan 36 minggu disebut kehamilan premature
(Prawirohardjo, 2010).

2.2. Tanda dan Gejala Kehamilan


1. Tanda-tanda tidak pasti
a. Tidak Datang Bulan (Amenorrhoe)
Semua wanita hamil akan mengalami amenorrhoe, tetapi amenorrhoe ini terjadi
pula pada keadaan yang lain, misalnya : pergantian lingkungan, gangguan emosi,
penyakit khronis, seperti : tuberculosa, anemia, gangguan pekerjaan
ovarium/endocrine secretie, juga dipengaruhi perubahan iklim. Terkadang pada
kehamilan terjadi pengeluaran darah sedikit yang disangka menstruasi. Perdarahan
ini disebabkan karena implantasi dari ovum ke dalam decidua.
b. Perubahan payudara
Setiap wanita hamil akan mengalami perubahan payudara. Tetapi bisa juga
perubahan buah dada disebabkan oleh tumor/cyste
c. Perasaan mual di waktu pagi (morning sickness)
Sebagian wanita hamil kira-kira 50 % atau lebih, menderita perasaan mual di
waktu pagi terutama pada kehamilan pertama kali. Namun keadaan seperti ini bisa
terjadi pada penyakit lain, seperti hepatitis, malaria ulcus ventricule.
d. Sering buang air kemih
Umumnya pada bulan ke dua kehamilan, wanita itu akan sering buang air kemih,
berhubung uterus yang membesar dan akan keuar dari PAP yang menekan
kandung kemih. Keadaan ini tidak menjadi tanda pasti sebab dapat juga
dikarenakan ada gangguan pada kandung kemih yang menyebabkan volume
menjadi lebih kecil dan menimbulkan rangsangan untuk buang air kemih,
misalnya tumor dan penyakit lain.
e. Pergerakan janin yang pertama (Quickening)
Pada kehamilan terjadi antara kehamilan 16-20 minggu. Ini belum menjadi tanda
pasti karena perasaan ini adalah subyektif yang dirasakan ibu sendiri. Wanita yang
sangat menginginkan hamil akan merasakan adanya quickening, walaupun
sebenarnya tidak ada. Dapat pula disebabkan karena gas di dalam pencernaan
f. Membesarnya Perut
Pada kehamilan, perut makin lama makin besar teruitama setelah kehamilan 5
bulan, tetapi membesarnya perut bisa juga disebabkan oleh ascites, ovarial cyste,
tumor.
2. Tanda-tanda kemungkinan
a. Tanda Hegar : Segmen bawah rahim melunak
b. Tanda chadwick : Perubahan warna vulva/vagina menjadi kebiruan
2.3. Perubahan dan Adaptasi Fisiologi pada Masa Kehamilan
Dengan terjadinya kehamilan maka seluruh genitalia wanita mengalami perubahan
yang mendasar sehingga dapat menunjang perkembangan dan pertumbuhan janin dalam
rahim. Plasenta dalam perkembangannya mengeluarkan hormon somatomatropin, estrogen,
dan progesterone.

2.4. Hipertensi dalam Kehamilan


A. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah adanya kenaikan tekanan darah melebihi batas normal yaitu tekanan
darah ≥140/90 mmHg (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Manuaba (2002), hipertensi adalah tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140
mmHg dan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mmHg. Nilai tersebut diukur sekurang
kurangnya 2 x dengan perbedaan waktu 6 jam atau lebih dalam keadaan istirahat.
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah dipembuluh darah meningkat secara
kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh jika dibiarkan penyakit ini dapat menggangu
fungsi oragan-organ lain,seperti jantung dan ginjal (Riskesdas, 2013). Pada lanjut usia
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolic 90 mmHg
(Smeltzer & Bare, 2010).

B. Klasifikasi Hipertensi
Menurut Prawirohardjo (2010), gangguan hipertensi pada kehamilan diantaranya
adalah :
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu
atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan
hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi kronik pada kehamilan apabila darahnya >140/90 mmHg, terjadi sebelum
kehamilan atau sebelum 20 minggu kehamilan,. Seringkali merupakan hipertensi esensial.
Hipertensi, obesitas dan usia merupakan faktor risiko hipertensi kronis. Hipertensi kronis
pada kehamilan meningkatkan risiko pre-eklampsia, pertumbuhan janin, persalinan dini, dan
kelahiran sesar (seely & Ecker, 2014)
Hipertensi krinik pada kehamilan umumnya berasal dari hipertensi esensial terlihat dari
riwayat keluarganya. Tetapi bisa juga berasal dari kelainan ginjal parenkim, hyperplasia
fibromuskular atau hiperaldosteronisme hanya saja kasusnya jarang
Mayoritas wanita hipertensi kronis mengalami penurunan tekanan darah menjelang akhir
trimester pertama sekitar 5-10 mmHg mirip seperti siklus wanita normal. Kemudian tekanan
darahnya naik kembali pada trimester ketiga sehingga mirip dengan hipertensi gestasional.
Tetapi hipertensi kronis dapat bertahan sampai lebih dari 12 minggu setelah persalinan.

Penanganan hipertensi kronik pada kehamilan:


1. pemberitahuan bila mengkonsumsi ACE inhibitor: terdapat peningkatan risisko gangguan
congenital, berdiskusi memilih obat hipertensi alternative
2. pemberitahuan jika mengkonsumsi chlorothiazide: terdapat peningkatan risiko gangguan
congenital dan komplikasi neonatal
3. menjaga tekanan darah kurang dari 150/mmHg saat kehamilan.

b. Pre-eklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah >20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria (>0,3 g/hari).
Pre-eklamsia juga dapat terjadi gejala sakit kepala, perubahan visual, nyeri epigastrium, dan
dyspnoea. Beberapa faktor telah diidentifikasi terkait dengan risiko pre-eklamsia seperti usia,
paritas, pre-eklamsia sebelumnya riwayat keluarga, kehamilan ganda, kondisi medis yang
sudah ada sebelumnya ( DM tipe 1), obesitas, dan resistensi insulin, hipertensi kronis,
penyakit ginjal, penyakit autoimun, syndrome antifosfolipid, penyakit rematik, merokok,
peningkatan indeks massa tubuh. Faktor yang beresiko tinggi adalah hipertensi pada
kehamilan sebelumnya, penyakit ginjal kronik, penyakit autoimun (sindrom fosfolipid), DM
tipe I, hipertensi kronis.. sedangkan faktor resiko menengah adalah kehamilan pertama, usia
>40 tahun, interval kehamilan >10 tahun, sejarah keluiarga, kahamilan berganda.

Patofisiologi (Leeman et al, 2016):

Implantasi plasenta abnormal (cacat pada trofoblas dan spiral arteriol), faktor angiogenik
(faktor rendahnya pertumbuhan plasenta), predisposisi genetic (ibu, ayah, trombofilias),
fenomena imunologi, kerusakan endothelial vascular dan stress oksidatif.

c. Eklampsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang sampai dengan koma yang
tidak dikaitan dengan penyebab lainnya (Karthikeyan, 2015). Eklampsia keadaan darutat
yang dapat mengancam jiwa, terjadi pada sebelum, saat, dan setelah persalinan (antepartum,
intrapartum, postpartum). Eklampsia didahului dengan sakit kepala dan perubahan
penglihatan, kemudian kejang selama 60-90 detik.
Prinsip manajemen kejang eklampsia yaitu:
1. Menjaga kesadaran
2. Menghindari polifirmasi
3. Melindungi jalur nafas meminimalkan risiko aspirasi
4. Mencegah cidera pada ibu hamil
5. Pemberian magnesium sulfat untuk mengontrol kejang
6. Mengikuti proses kelahiran normal

d. Hipertensi kronik dengan superposed preeklamsi adalah hipertensi kronik di sertai


tanda-tanda preeklamsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria peningkatan tekanan
darah, adanya proteinuria dengan adanya gangguan organ lain. Biasanya muncul antara
minggu 24-26 kehamilan berakibat bayi yang lahir lebih kecil dari normal

e. Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi yang timbul pada

kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan


pascapersalin, kehamilan dengan preeklamsi tetapi tanpa proteinuria. Hipertensi ini terjadi
setelah 20 minggu kehamilan tanpa proteinuria. Berkembang menjadi pre-eklampsia
biasanya setelah melahirkan .

hipertensi gestasional adalah tekanan darah meningkat menjadi 160/110 mmHg. Tekanan
darah baru normal pada post partum, biasanya dalam sepuluh hari. Pasien mungkin akan
mengalami sakit kepala, penglihatan kabur, dan sakir perut dan tes laboratorium abnormal,
termasuk jumlah trombosit rendah dan tes fungsi hati abnormal.

C. Etiologi
Berdasarkan penyebab hipertensi terbagi menjadi 2 golongan menurut (Corwin, 2009), (Irianto,
2014), (Padila, 2013), (Price & Wilson, 2006):
a. Hipertensi esensisal atau hipertensi primer.
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial yang didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (idiopati). Beberapa
faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini:
1. Faktor Genetik
Tekanan darah tinggi yang merupakan keturunan yang menunjukan bahwa orang-orang
dalam satu keluarga memiliki gaya hidup dan pola makan yang sama.
2. Wanita cenderung menderita hipertensi pada saat atau setelah mengalamio menopause.
Prevalensi kejadia hipertensi pada laki-laki dan perempuan itu sama ( tambayong,
2012). Perempuan cenderung akan mengalami peningkatan resiko tekanan darah tinggi
telah menopause yaitu pada usia diats 45 tahun. Orang-orang dengan sejarah keluarga
yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat
yang menderita hipertensi ( faktor keturunan) juga mempertinggi resiko terkena
hipertensi terutama pad ahipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan
penyakit jantung menigkatkan resiko hipertensi 2-5 kali lipat.

b. Hipertensi skunder
Terdapat 5% kasus penyebabnya, spesifikasinya diketahui karena penggunaan ekstrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperadosteromine prime, dan sindrom cusing,
serta hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain (wulandari, 2011).

Penyebab utama hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi essensial dan penyakit
ginjal. Resiko hipertensi meningkat cukup besar pada keadaan –keadaan ketika pembentukan
antibodi penghambat terhadap temapt-tempat antigenik di plasenta terganggu.

D. Gejala Hipetensi
Gejala-gejala yang ditunjukkan pada ibu hamil dengan hipertensi adalah pusing, muka
merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba dan tengkuk terasa pegal.
Tekanan darah absolut 140/90 mmHg atau 160/110 mmHg yang diambil jarak dalam keadaan
istirahat (Prawirohardjo, 2010).

E. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensisn atau renin
oleh enzim renin yang bisa mengubah angiotensin I dan II atau angiotensin converting
enzyme (ACE). ACE memegang pera fisiologis yang penting dalam mengatur tekanan darah,
mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh homon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah angiotensin I yang terdapat di ginjal. Kemudian diubah
lagi menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin II inilah yang
memiliki peranan dalam menaikkan tekanan darah.
Angiotensin II meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) penyebab rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus dan berada pada ginjal untuk mengatur osmolitas dan
volume urine. Meningkatnya ADH, sangat sedikit urine yang dieksresikan ke luar atau anti
diuresis, sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolitasnya.
Volume cairan ekstraseluler akan diencerkan dengan menarik cairan meningkatkan
terjadinya anti diuresis. Akibatnya volume meningkat yang apda akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.

F. Kedaruratan Hipertensi
Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana
yang terjadi pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya mungkin berbeda pendekatan
evaluasi akut dan penatalaksanaanya adalah sama, dengan tujuan utama untuk mencegah
terjadinya hipertensi ensefalopati dan serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang
yang belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan
terjadinya eklampsia. Walaupun jarang, CVA sebagai akibat dari hipertensi akut merupakan
salah satu penyebab terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.
a. Diagnosis banding
Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai macam
kelainan ini. Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus diberikan untuk
berbagai kemungkinan diagnosa selain dari eklampsia, jika manifestasi kliniknya atipikal.
Diagnosia alternatif yang mungkin antara lain : kromositoma, trombosis vena renalis, gejala
rebound pada pemberian klonidin, penyalahgunaan kokain dan metamfetamin, hiperemi akut
pada kulit akibat penyakit kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang melatarbelakangi
terjadinya hipertensi akut adalah hipertensi esensial yang memburuk atau eksaserbasi akut
dari preeklampsia.
b. Patofisiologi
Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan yang lainnya
tampak tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk mendifinisikan ambang parameter
dari krisis hipertensi dan mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus
lebih dari 115 mmHg dan/ atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan diagnosis
hipertensi krisis. Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA dapat terjadi
pada wanita dengan tekananan darah yang konsisten dibawah parameter diatas. Para ahli
yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah dibandingkan dengan
pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab terjadinya kerusakan otak. Krisis
hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio retina dan atau perdarahan
pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard, gagal ginjal, gagal hati, solusio
plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana semuanya ini dapat terjadi akibat hipertensi
akut yang tidak terkontrol. Bukti-bukti klinis dari akibat kerusakan pada organ akhir
tersebut harus segera mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang mengacu pada
pengontrolan tekanan darah.Sebagian besar pasien dirawat tanpa menggunakan pengawasan
hemodinamik yang invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat sebaiknya
dirawat pada pusatrujukan tersier dengan dibawah pengawasan dokter-dokter yang memiliki
keahlian dalam bidang kedaruratan medik (critical care medicine).

G. Pengobatan Hipertensi Pada Kehamilan

Studi tentang pengobatan hipertensi pada kehamilan menggunakan


sistematik review dan meta analisis yang melibatkan 14 studi (1804 wanita hamil)
didapatkan bahwa penggunaan obat antihipertensi ternyata tidak mengurangi atau
meningkatkan risiko kematian ibu, proteinuria, efek samping, operasi caesar,
kematian neonatal, kelahiran prematur, atau bayi lahir kecil. Penelitian mengenai
obat antihipertensi pada kehamilan masih sedikit (Ogura et al., 2019).
Hipertensi pada kehamilan harus dikelola dengan baik agar dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu / janin, yaitu dengan
menghindarkan ibu dari risiko peningkatan tekanan darah, mencegah
perkembangan penyakit, dan mencegah timbulnya kejang dan pertimbangan
terminasi kehamilan jika ibu atau janin dalam keadaan bahaya (Mudjari and Samsu,
2015).
Obat yang umum digunakan dalam pengobatan hipertensi pada kehamilan
adalah labetalol, methyldopa, nifedipine, clonidine, diuretik, dan hydralazine.
Labetalol adalah obat yang paling aman. Diuretik dan CCB (nifedipine) mungkin
aman tetapi data minimal dan tidak digunakan sebagai firstline drug (Karthikeyan,
2015). Menurut ACC/AHA 2017 dan ESC/ESH 2018 obat antihipertensi pada
kehamilan yang direkomendasikan hanya labetalol, methyldopa dan nifedipine,
sedangkan yang dilarang adalah ACE inhibitor, ARB dan direct renin inhibitors
(Aliskiren) (Whelton et al., 2017; Williams et al, 2018).
Kapan memulai pengobatan hipertensi pada kehamilan? Guideline
ESH/ESC 2018 menyarankan tekanan darah sistolik = 140 atau diastolik = 90
mmHg tetapi pada kasus-kasus tertentu disarankan pada tekanan darah sistolik =
150 atau diastolik = 95 mmHg. Pada tekanan darah sistolik = 170 mmHg atau
diastolik = 110 mmHg pada wanita hamil dianggap emergensi dan diperlukan rawat
inap di rumah sakit (Regitz-Zagrosek, 2018).
Pada hipertensi krisis dengan kehamilan obat yang direkomendasikan
labetalol IV, nicardipine IV, magnesium. Pada pre-eklampsia yang disertai odema
paru obat yang direkomendasikan nitroglycerin infus (Williams et al., 2018).

Tabel 7. Obat Anti Hipertensi Oral Golongan ACE dan ARB Yang Tidak Boleh
Diberikan Pada Kehamilan

Sumber : ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017)


1. Labetalol
Labetalol adalah obat pilihan untuk penurun hipertensi pada kehamilan
(Karthikeyan, 2015). Labetalol adalah golongan Beta blockers—combined alpha-
and beta-receptor, dosisnya 200-800 mg, diberikan 2 kali sehari (Whelton et al.,
2017). Di Indonesia obat labetalol belum dimasukkan dalam Formularium Nasional
(Kemenkes RI, 2017). Penelitian besar pengobatan hipertensi pada kehamilan
dengan menggunakan beta blocker adalah obat labetalol (Dahlof et al., 2002).
Labetalol banyak digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi pada
kehamilan di Inggris. Walaupun demikian dari perusahaan farmasi yang
memproduksi labetalol (SPC) menganjurkan hanya digunakan selama trimester
pertama kehamilan, masa menyusui tidak dianjurkan. Disarankan dilakukan inform
consent dan didokumentasikan (NICE, 2011).
Atenolol banyak digunakan secara luas di Inggris pada pengobatan
hipertensi postnatal. Pada trimester satu dan dua kehamilan harus dipertimbangkan
manfaat dan kerugiannya demikian juga pada wanita yang ingin hamil dan
menyusui. Apabila pada kondisi di atas tetap diberikan atenolol maka perlu
diberikan inform consent untuk dokumentasi. Metoprolol juga banyak digunakan
secara luas di Inggris tetapi perlu dipertimbangkan manfaat dan kerugiannya
terutama pada wanita hamil dan menyusui (NICE, 2011).
Atenolol tersedia di Formularium Nasional dalam bentuk tablet 50 mg
diberikan 1 kali sehari. Sedangkan metoprolol tersedia di Formularium Nasional
sebagai metoprolol tartat dalam bentuk injeksi 1 mg/mL dan diindikasikan untuk
emergency anaesthesia, krisis hipertiroid (Kemenkes RI, 2017).

Tabel 8. Obat Anti Hipertensi Oral Golongan Beta Blocker


: ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017)
Sumber : ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017)

2. Methyldopa
Methyldopa adalah golongan central alpha 1- agonist and other centrally
acting drugs, dosisnya 250-1000 mg, diberikan 2 kali sehari. Methyldopa
direkomendasikan sebagai obat penurun hipertensi pada kehamilan, bahkan wanita
usia produktif dengan hipertensi yang ingin hamil dianjurkan mengganti obat
antihipertensi dengan methyldopa atau nifedipine, labetalol. Ternyata dalam
penelitian beta blocker dan CCB lebih superior daripada methyldopa dalam
pencegahan pre-eklampsia (Whelton et al., 2017). Di Indonesia obat methyldopa
tersedia di Formularium Nasional bentuk tablet 250 mg dan dapat diberikan 3 kali
sehari selama sebulan (Kemenkes RI, 2017).
Walaupun methyldopa telah digunakan secara luas pada pengobatan
hipertensi dengan kehamilan tetapi dianjurkan tetap mempertimbangkan manfaat
dan kerugiannya pada saat menyusui (NICE, 2011).
Methyldopa dipakai untuk pengobatan hipertensi pada wanita hamil. Tidak
teratogenik, tidak ada efek yang tidak diinginkan pada uterus.
Methyldopa dapat dipakai sebagai pengganti clonidine, karena clonidine dapat
menyebabkan rebound hypertension atau terjadi efek yang tidak diinginkan.
Methyldopa dalam bentuk injeksi sering digunakan untuk hipertensi emergensi.
Dosisnya 20-40 mg/kgBB tiap hari diberikan setiap 6 jam (Kario et al., 2018) tetapi
bentuk injeksi tidak tersedia di Indonesia (Kemenkes RI, 2017).
Efek yang tidak dikehendaki pada methyldopa adalah sedasi, drowsiness,
mulut kering, depresi, postural hypertension, rebound hypertension, withdrawal
syndrome, dan beberapa kejadian autoimune (Kario et al., 2018).
Publikasi tentang pemakaian methyldopa pada kehamilan trimester I
masih sedikit, padahal methyldopa direkomendasikan pada kasus ini di banyak
negara. Telah dilakukan penelitian secara prospective observational cohort study
terhadap 261 kehamilan trimester I yang diberikan methyldopa dibandingkan
dengan 526 kehamilan tanpa hipertensi. Hasilnya adalah tidak ada peningkatan
signifikan kejadian yang tidak diinginkan antara keduanya. Disimpulkan bahwa
methyldopa tidak ada indikasi efek teratogenik, walaupun demikian diperlukan
sikap kehati-hatian dalam pemberian methyldopa terhadap kehamilan trimester I
(Hoeltzenbein et al., 2017)
Apakah labetalol dan methyldopa ada perbedaan outcome pada hipertensi
dengan kehamilan? Telah dilakukan studi analisis data dari Control of Hypertension
In Pregnancy Study (CHIPS) membandingkan antara pemberian labetalol dan
methyldopa pada 987 wanita hamil dengan hipertensi. Disimpulkan bahwa wanita
hamil dengan hipertensi yang diberikan methyldopa outcomenya lebih superior
dibanding labetalol (Magee et al., 2016).

3. Nifedipine
Nifedipine adalah golongan CCB-dihydropyridines, yang dianjurkaadalah long
acting (Nifedipine LA / adalat oros ®) (Whelton et al., 2017). Penelitiabesar pengobatan
hipertensi dan kehamilan dengan menggunakan CCB adalah obanifedipine (Dahlof et
al., 2002). Nifedipine digunakan secara luas pada hipertensi dengan kehamilan, tetapi
walaupun demikian pada browsur obat / SPC 2010 tidadianjurkan pada kehamilan
sebelum 20 minggu dan menyusui (NICE, 2011).
Bateman (2015) dalam penelitiannya pengobatan CCB pada kehamilan
berhubungan dengan kejang pada bayi baru lahir. Dari 22.908 kehamilan yandiberikan
CCB terjadi kejang pada neonatal 53. Dalam kesimpulannya dikatakatidak signifikan
adanya peningkatan risiko kejang neonatal pada ibu hamil yanmendapat CCB. Dalam
penelitian ini CCB yang paling banyak digunakan adalah
nifedipine, amlodipine besylate, verapamil hydrochloride, diltiazem
hydrochloride(Bateman et al., 2015).
Nifedipine tidak semuanya aman. Studi dengan sistematik review dameta-
regression analysis tentang masalah keamanan penggunaan CCB padakehamilan
disimpulkan bahwa penggunaan studi RCT saja tidak cukup untukmenilai kejadian
yang tidak diinginkan. Penggunaan nifedipine >60 mgmeningkatkan risiko kejadian
tidak diinginkan yang berkaitan dengan peningkatakesakitan seperti tachycardia dan
hipotensi (Khan et al., 2010).
Penelitian secara RCT telah dilakukan untuk membandingkan labetaloldan
nifedipine pada wanita hamil dengan hipertensi kronik, melibatkan 112 subyeyang
dibagi menjadi 2 kelompok labetalol (55) dan nifedipine (57). Ditemukabahwa
kelompok nifedipine berisiko lebih besar superimpose preeklampsidibanding labetalol
(Webster et al., 2017).
Di Indonesia obat nifedipin tersedia di Formularium Nasional bentuk
tablet 10 mg, tablet lepas lambat 20 mg dan tablet lepas lambat 30 mg (Kemenkes
RI, 2017).

Tabel 9. Obat Anti Hipertensi Oral Golongan Calcium Channel Blocker (CCB)
4. Clonidine
Clonidine adalah golongan centrally acting a2 adrenergic agonist and
imidazoline receptor agonist. Biasa digunakan untuk pengobatan hipertensi yang
dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan menjadi tidak aktif, kecemasan,
withdrawal syndrome, migrain dan gejala nyeri kronik. Bisa juga digunakan
sebagai obat anti muntah pada hyperemesis gravidarum (HG). Preparat yang
digunakan pada hyperemesis gravidarum adalah transdermal clonidine patch. Studi
tentang penggunaan transdermal clonidine patch kemungkinan efektif untuk HG
berat, tetapi diperlukan studi lebih besar untuk membandingkan dengan obat lain
(O'Donnell et al., 2016).

Tabel 10. Obat Antihipertensi Central Acting

Mekanisme kerja clonidine sebagai obat antihipertensi adalah sama seperti


methyldopa tetapi masa kerjanya lebih singkat. Efek samping serius lebih sering
ditemukan pada clonidine (Rothenberger et al., 2010). Dilaporkan bahwa clonidine
aman dan baik sebagai antihipertensi pada kehamilan (Horvath et al., 1985).
Clonidine sebaiknya dihindari pada awal kehamilan karena dapat
menyebabkan kelainan embrio, pada kondisi ini methyldopa lebih aman. Clonidine
sering menyebabkan rebound hypertension bila dihentikan mendadak (Malha et al.
2018).
Satu studi prospective, double-blind, randomized controlled trial dengan
subyek wanita hamil dengan hipertensi diberikan obat antihipertensi methyldopa
dibandingkan clonidine. Dilaporkan bahwa clonidine sama amannya dengan
methyldopa pada wanita hamil dengan hipertensi (Horvath et al., 1985).
5. Diuretik
Diuretik dipakai secara luas pada pengobatan hipertensi non-kehamilan.
Diuretik dapat menurunkan tekanan darah dan odema, oleh karena itu doktek
obsetri menggunakan diuretik pada kehamilan (Malha et al., 2018). Tahun 1985
ada studi meta-analisis melibatkan 7000 subjek yang diberi diuretik
(hydrochlorethiazide/HCT) untuk mencegah pre-eklampsia. Studi ini melibatkan
11 RCT. Hasilnya adalah kejadian perinatal mortaliti tidak signifikan. Efek
samping yang bisa terjadi trombositopenia, ikterik, pankreatitis, hipokalemia,
hiponatremi (Collins et al., 1985).
Diuretik sering digunakan pada hipertensi esensial sebelum hamil,
NHBEP menyimpulkan bisa dilanjutkan saat hamil atau kombinasi dengan obat
lain. Diuretik furesemide bisa diberikan pada postpartum pada wanita yang
preeklampsia.

HCT bisa digunakan pada kehamilan dengan dosis kecil 12,5-25


mg/hari agar efek samping minimal. Triamterene dan amirolide dikatakan tidak
teratogenik. Spirolactone tidak direkomendasikan (Malha et al., 2018).
Studi cochrane systematic review berisi 5 studi melibatkan 1836 wanita
membandingkan efek pemberian diuretik (thiazide) dan tanpa diuretik (control)
dalam mencegah pre-eklampsia. Disimpulkan bahwa tidak ada manfaat yang jelas
penggunaan diuretik untuk mencegah preeklampsia. Dengan ditemukannya efek
samping, penggunaan diuretik untuk pencegahan preeklampsia dan komplikasinytidak
dapat direkomendasikan (Churchill et al., 2007).

6. Hydralazine
Hydralazine termasuk kelompok direct vasodilator, bisa diberikan oral,intramuskular,
atau intravena (IV). Efek samping berkaitan dengan vasodilatasi dan aktivasi sistem
saraf simpatis: sakit kepala, mual, flushing, dan berdebar-debar.
Pada kasus yang jarang dapat menyebabkan polineuropati atau memacu sindromlupus.
Hydralazine telah digunakan pada semua trimester kehamilan dan tidakteratogenik, efek
samping lain adalah trombositopenia, penurunan aliran darah keuterus dan hipotensi.
Hydralazin oral dapat digunakan untuk hipertensi kronis pada
trimester kedua dan ketiga (Malha et al., 2018). Hydralazine IV direkomendasikanuntuk
hipertensi emergensi pada kehamilan, termasuk labetalol IV dan nifedipioral (Olson-
Chen, 2016).
Satu studi RCT membandingkan efektifitas dan keamanan antara labetalolIV dan
hydralazine IV untuk hipertensi berat pada kehamilan. Penelitian inimelibatkan 152
subyek dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 72, kelompoksatu diberikan
labetalol IV, kelompok lainnya hydralazine IV. Disimpukan bahwalabetalol dan
hydralazine efektif menurunkan hipertensi berat pada kehamilan.Labetalol lebih cepat
menurunkan tekanan darah daripada hydralazine. Efsamping keduanya hampir sama
(Patel et al., 2018).
Studi RCT membandingkan efektifitas antara hydralazine IV dan nifedipioral untuk
hipertensi emergensi pada kehamilan. Penelitian ini melibatkan 60
subyek dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 30, kelompok A diberikan
hydralazine IV, kelompok lainnya nifedipin oral. Disimpulkan bahwa hydralazinedan
nifedipin efektif menurunkan tekanan darah untuk hipertensi emergensi pakehamilan.
Tidak ada efek samping major dari keduanya, tetapi nifedipin oral lebihdipilih karena
dosis tetap, mudah diberikan, mudah didapatkan, murah (Sharma al., 2017).

Tabel 12. Obat Antihipertensi Direct Vasodilators

Sumber: ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017)

Tabel 13. Obat Antihipertensi Untuk Hipertensi Pada Kehamilan

Berdasarkan Tabel 13. ternyata tidak ada obat antihipertensi yang sangat
aman untuk trimester I kehamilan.

Rekomendasi klinis manajemen hipertensi pada kehamilan (Leeman et al., 2016)


>> Wanita dengan hipertensi gestasional atau pre-eklampsia ringan sebaiknya
merencanakan persalinan pada minggu ke-37 kehamilan.
>> Magnesium sulfat lebih efektif daripada diazepam (valium) atau phenytoin
(dilatin) dalam mencegah kejang eklampsia dan menurunkan mortaliti ibu
hamil.
>> Intravenous labetalol atau hydralzine atau oral nifedipine boleh digunakan
untuk mengobati hipertensi parah selama kehamilan.
>> Wanita pre-eklampsia berat pada minggu 24-34 kehamilan dirawat dan
dipantau ketat untuk mengurangi komplikasi neonatal dan tinggal di ICU.
>> Aspirin dosis rendah dapat berdampak kecil sampai menengah dalam
mencegah pre-eklampsia.
>> Suplemen kalsium dapat mengurangi insiden hipertensi, pre-eklampsia dan
mortaliti wanita dengan intake rendah kalsium. Tetapi, wanita USA dan negara
maju tidak terlalu berpengaruh.

Wanita hipertensi setelah persalinan/menyusui


Wanita yang masih menggunakan obat anti hipertensi setelah persalinan
dianjurkan menghindari obat diuretik jika dia berencana menyusui bayinya.
Disarankan mengonsumsi obat hipertensi yang tidak memiliki efek negatif pada
bayi seperti labetalol, nifedipine, enalapril, captopril, atenolol dan metoprolol
(NICE, 2011).
Kategori Kategori
No NamaObat Resiko Keterangan Resiko Keterangan
Kehamilan Laktasi
OBAT HIPERTENSI
1. ACE D Pengguanan Obat ini pada kehamilan L3 Pada ibu menyusui, obat
(Angiotens menyebabkan terjadinya penurunan ditemukan pada ASI
in- aliran darah plasenta dan pegiriman dalam konsentrasi
Convertin oksigen ke janin. rendah. Tidak ada efek
g Enzym) Pada Trimester 1 kehamilan tidak pada bayi menyusu
INHIBITO ditemukan resiko yang signifikan yang di amati
R terhadap janin, tetapi setelah
(Benazepril, penggunaan diketahui adanya
Captopril, toksisitas parah pada janin.
Enalapril, Pada trimester ke 2 dan 3 menyebabkan
Fosinopril, peningkatan kematian kelahiran.
Lisinopril,
Moexipril,
Perindopril,
Quinapril,
Rampiril,
Trandolapri
l, Tanapres)
2. Angiotensin- D Penggunaan obat ini selama trimester ke L3 Pada ibu menyusui, obat
Reseptor 2 dan ke 3 dapat menyebabkan ditemukan pada ASI
Blockers toksisitas janin hingga kematian. dalam konsentrasi
(ARB) rendah. Tidak ada efek
(Candesart pada bayi menyusu
an, yang di amati
Irbesartan,
Telmisartan
, Valsartan)
3. Calcium C Obat ini bisa berdampak buruk pada L2 Pada ibu menyusui, obat
Channel janin tetapi Karena manfaat potensial ditemukan pada ASI
Blockers mungkin beberapa ibu hami dalam konsentrasi
(CCB) lmemerlukan penggunaan obat ini. rendah. Menunda
(Amlodipin, menyusui dengan 3 -4
Nicardipin, jam setelah konsumsi
Nifedipin) obat akan secara
signifikan mengurangi
jumlah obat yang
dikonsumsi oleh bayi
4 Diuretik C Secara umum diuretic tidak dianjurkan L2 Obat diekskresikan dalam
(Furosemid untuk pengobatan hipertensi pada ibu susu dengan konsentrasi
, HCT, hamil karena karakteristik ibu lebih tinggi dari pada
Indapamid hipovolemia dari penyakit ini. Obat pada darah. Tidak ada
e) melintasi plasenta dalam jumlah laporan tentang efek
sedang. Penggunaan obat ini selama buruk pada menyusui
kehamilan dapat menyebabkan bayi telah ditemukan.
cacat.
5. Beta Blocker C Pengobatan yang dimulai pada trimester L2 Pemaparan dalam waktu
(Bisoprolol, ke 2 menghasilkan penurunan berat lama memerlukan
Propranolol badan janin, sedangkan pengobatan pemantauan
, terbatas pada kehamilan ke 3 hanya
Carvedilol) mempengaruhi berat plasenta saja.
6. Alfa Blocker C Obat ini bisa berdampak buruk pada L3 Pada ibu menyusui, obat
(Clonidin) janin tetapi karena manfaat potensia ditemukan pada ASI
lmungkin beberapa ibu hamil dalam konsentrasi
memerlukan penggunaan obat ini rendah. Tidak ada efek
Obat ini dapat menembus plasenta dan pada bayi menyusu
dapat menurunkan laju nadi dari yang di amati
janin selain itu dapat mencetus
peningkatan gula darah dangan
gguantoleransiglukosa
OBAT DM
7. Sulfonilurea C Tidak ditemukan efek teratogenetik pada L3 Efek paparan dari
(Glibenkla janin akan tetapi pemberian pada penggunaan obat ini
mid, dosis tinggi dapat menyebabkan tidak diketahui tetapi
Glipizida, kelainan bentuk tulang. hipoglikemia adalah
Glimepirid, toksisitas yang
Glikuidon) potensial
8. Meglitinida C Penggunaan obat ini dapat L4 Karena potensi toksisits
(Repaglinid mengakibatkan kecacatan pada janin dan hipoglikemik yang
) tidak diketahui pada
bayi yang menyusi
maka obat ini tidak
boleh digunakan selama
menyusui
9. Fenilanin C Obat ini mempengaruhi perkembangan L2 Penggunaan relative aman
(Nateglinid janin dan meningkatkan insidensi karena ekskresi ke ASI
e) agenesis kandung empedu minimal
10. Biguanida B Penggunaan obat pada trimester 1 tidak L2 Penggunaan relative aman
(Metformin menyebabkan cacat lahir atau karena ekskresi ke ASI
) komplikasi. Tetapi pada usia minimal
trimester 2 dan 3 dapat menyebabkan
kecacatan pada bayi.
11. Tiazolidindio C Obat ini dapat mengakibatkan patologi L2 Pada ibu menyusui, obat
n plasenta yang dapat dikaitkan dengan ditemukan pada ASI
(Rosiglitazo kematian janin dalam konsentrasi
n, rendah. Tidak ada efek
Troglitazon, pada bayi menyusu
Pioglitazon) yang di amati
12. Inhibitor B Kurang dari 2% dari Obat diserap secara L2 Pada ibu menyusui, obat
AlfaGluko sistemik, tetapi beberapa metabolit ditemukan pada ASI
sidase diserap dalam proporsi yang jauh dalam konsentrasi
(Acarbose, lebih besar dan resiko janin belum rendah. Tidak ada efek
Miglitol) ada penelitian yang pasti pada bayi menyusu
yang di amati
ANTIBIOTIK
13. Penisilin B Studi pada binatang pecobaan tidak L1 Obat masuk kedalam ASi
(Penisilin G, memperlhatkan adanya resiko secara perlahan dan
Penisilin V, terhadap janin, namun belum ada ditemukan dalam
Ampisilin, studi terkontrol pada wanita hamil konsentrasi rendah pada
Amoksisilin ASI
, Nafsilin)
14. Sefalosporin B Studi pada binatang pecobaan tidak L1 Ditemukan dalam
(Cefadroxil, memperlhatkan adanya resiko konsentrasi rendah pada
Cefazolin, terhadap janin, namun belum ada ASI. Perlu diingat
Cefalotin, studi terkontrol pada wanita hamil bahwa obat ini dapat
Cefixim, ikut terbawa dalam ASI
Cefotaxim, sehinga mengganggu
Ceftriaxon, komposisi bakteri baik
Cefmetazol atau flora normal di
usus bayi. Oleh karena
,
Cefoperazo itu tidak dianjurkan
n, menggunakan obat ini
Ceftazidim,
Ceprozil,
Cefepim,
Cefpirom,
Cefpodoxi
m)
15. Aminoglikosi C Dapat menyebabkan kerusakan pada L2 Pada ibu menyusui obat ini
da telinga bagian tengah janin masuk kedalam ASI ,
(Streptomis (ketulian). sehingga pelu
in, dikonsultasikan pada
Gentamisin dokter sebelum
, digunakan
Kanamisin,
Amikasin,
Neomisin,
Framisetin)
16. Tetrasiklin D Obat melewati plasenta dan disimpan L2 Penggunaan obat ini pada
(Tetrasiklin, dalam tulang serta gigi janin. ibu menyususi tidak
Oxytetrasik Pertumbuhan tulang menjadi lambat, disarankan
lin, gigi bayi berwarna kuning dan
Doksisiklin emailnya lunak rentan karies.
,
Minosiklin,
Klortetrasik
lin)
17. Makrolida B Studi pada binatang pecobaan tidak L1 Tidak ada efek buruk yang
(Eritromisin memperlhatkan adanya resiko ditemukan pada bayi
, terhadap janin, namun belum ada yang terpapar obat yang
Spiramisin, studi terkontrol pada wanita hamil ditemukan didalam ASI
Roksitromis
in,
Klaritomisi
n,
Azitromisin
)
18. Fluoroquinol C Menyebabkan kelainan sendi pada ibu L2 Pemberian obat ini tidak
ones hamil direkomendasikan
(Ciprofloks karena potensi atropati
asin, dan toksisitas serius
Gemifloksa lainnya pada bayi yang
sin, menyusui
Levofloksas
in,
Moxifloksa
sin,
Norfloksasi
n,
Ofloksasin)
19. Kloramfeniko C Dapat menyebabkan penyakit serius L5 Dapat menyebabkan resiko
l pada bayi baru lahir yaitu sindrom teoretis untuk depresi
(Kloramfeniko bayi abu-abu sum sum tulang pada
l, bayi
Tiamfeniko
l)
20. Linckosamid B Studi pada binatang pecobaan tidak L3 Ditemukan dalam
(Clindamisin, memperlhatkan adanya resiko konsentrasi rendah pada
Linkomisin terhadap janin, namun belum ada ASI
) studi terkontrol pada wanita hamil Ditemukan darah dalam
tinja bayi yang
menyusu, hal ini dapat
dihentikan ketika ibu
tidak menyusui selama
konsumsi obat

KATEGORI RESIKO KEHAMILAN KATEGORI RESIKO LAKTASI


A = Studi Terkontro ltidak menunjukan resiko L1 = Paling Aman
B = Tidak ada bukti resiko pada manusia L2 = Lebih Aman
C = Resiko tidak dapat mengesampingkan L3 = Cukup Aman
D = Bukti positif resiko L4 = Mungkin Berbahaya
X = Kontra indikasi pada kehamilan L5 = Kontraindikasi
BAB V
KESIMPULAN

Hipertensi pada kehamilan sering terjadi (6-10 %) dan meningkatkan


risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu, janin dan perinatal. Preeklampsia/eklampsia
dan hipertensi berat pada kehamilan risikonya lebih besar.

Hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi pre-eklampsia/eklampsia, hipertensi


kronis pada kehamilan, hipertensi kronis disertai preeklampsia,dan hipertensi gestational.

Pengobatan hipertensi pada kehamilan dengan menggunakan obat antihipertensi ternyata


tidak mengurangi atau meningkatkan risiko kematian ibu, proteinuria, efek samping, operasi
caesar, kematian neonatal, kelahiran prematur, atau bayi lahir kecil. Penelitian mengenai
obat antihipertensi pada kehamilan masih sedikit.

Obat yang direkomendasikan adalah labetalol, nifedipin dan methyldopa


sebagai first line terapi. Penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan memerlukan
pendekatan multidisiplin dari dokter obsetri, internis, nefrologis dan anestesi.
Hipertensi pada kehamilan memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi pada
kehamilan berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai