DISUSUN OLEH:
B. Klasifikasi Hipertensi
Menurut Prawirohardjo (2010), gangguan hipertensi pada kehamilan diantaranya
adalah :
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu
atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan
hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi kronik pada kehamilan apabila darahnya >140/90 mmHg, terjadi sebelum
kehamilan atau sebelum 20 minggu kehamilan,. Seringkali merupakan hipertensi esensial.
Hipertensi, obesitas dan usia merupakan faktor risiko hipertensi kronis. Hipertensi kronis
pada kehamilan meningkatkan risiko pre-eklampsia, pertumbuhan janin, persalinan dini, dan
kelahiran sesar (seely & Ecker, 2014)
Hipertensi krinik pada kehamilan umumnya berasal dari hipertensi esensial terlihat dari
riwayat keluarganya. Tetapi bisa juga berasal dari kelainan ginjal parenkim, hyperplasia
fibromuskular atau hiperaldosteronisme hanya saja kasusnya jarang
Mayoritas wanita hipertensi kronis mengalami penurunan tekanan darah menjelang akhir
trimester pertama sekitar 5-10 mmHg mirip seperti siklus wanita normal. Kemudian tekanan
darahnya naik kembali pada trimester ketiga sehingga mirip dengan hipertensi gestasional.
Tetapi hipertensi kronis dapat bertahan sampai lebih dari 12 minggu setelah persalinan.
b. Pre-eklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah >20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria (>0,3 g/hari).
Pre-eklamsia juga dapat terjadi gejala sakit kepala, perubahan visual, nyeri epigastrium, dan
dyspnoea. Beberapa faktor telah diidentifikasi terkait dengan risiko pre-eklamsia seperti usia,
paritas, pre-eklamsia sebelumnya riwayat keluarga, kehamilan ganda, kondisi medis yang
sudah ada sebelumnya ( DM tipe 1), obesitas, dan resistensi insulin, hipertensi kronis,
penyakit ginjal, penyakit autoimun, syndrome antifosfolipid, penyakit rematik, merokok,
peningkatan indeks massa tubuh. Faktor yang beresiko tinggi adalah hipertensi pada
kehamilan sebelumnya, penyakit ginjal kronik, penyakit autoimun (sindrom fosfolipid), DM
tipe I, hipertensi kronis.. sedangkan faktor resiko menengah adalah kehamilan pertama, usia
>40 tahun, interval kehamilan >10 tahun, sejarah keluiarga, kahamilan berganda.
Implantasi plasenta abnormal (cacat pada trofoblas dan spiral arteriol), faktor angiogenik
(faktor rendahnya pertumbuhan plasenta), predisposisi genetic (ibu, ayah, trombofilias),
fenomena imunologi, kerusakan endothelial vascular dan stress oksidatif.
c. Eklampsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang sampai dengan koma yang
tidak dikaitan dengan penyebab lainnya (Karthikeyan, 2015). Eklampsia keadaan darutat
yang dapat mengancam jiwa, terjadi pada sebelum, saat, dan setelah persalinan (antepartum,
intrapartum, postpartum). Eklampsia didahului dengan sakit kepala dan perubahan
penglihatan, kemudian kejang selama 60-90 detik.
Prinsip manajemen kejang eklampsia yaitu:
1. Menjaga kesadaran
2. Menghindari polifirmasi
3. Melindungi jalur nafas meminimalkan risiko aspirasi
4. Mencegah cidera pada ibu hamil
5. Pemberian magnesium sulfat untuk mengontrol kejang
6. Mengikuti proses kelahiran normal
hipertensi gestasional adalah tekanan darah meningkat menjadi 160/110 mmHg. Tekanan
darah baru normal pada post partum, biasanya dalam sepuluh hari. Pasien mungkin akan
mengalami sakit kepala, penglihatan kabur, dan sakir perut dan tes laboratorium abnormal,
termasuk jumlah trombosit rendah dan tes fungsi hati abnormal.
C. Etiologi
Berdasarkan penyebab hipertensi terbagi menjadi 2 golongan menurut (Corwin, 2009), (Irianto,
2014), (Padila, 2013), (Price & Wilson, 2006):
a. Hipertensi esensisal atau hipertensi primer.
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial yang didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (idiopati). Beberapa
faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini:
1. Faktor Genetik
Tekanan darah tinggi yang merupakan keturunan yang menunjukan bahwa orang-orang
dalam satu keluarga memiliki gaya hidup dan pola makan yang sama.
2. Wanita cenderung menderita hipertensi pada saat atau setelah mengalamio menopause.
Prevalensi kejadia hipertensi pada laki-laki dan perempuan itu sama ( tambayong,
2012). Perempuan cenderung akan mengalami peningkatan resiko tekanan darah tinggi
telah menopause yaitu pada usia diats 45 tahun. Orang-orang dengan sejarah keluarga
yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat
yang menderita hipertensi ( faktor keturunan) juga mempertinggi resiko terkena
hipertensi terutama pad ahipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan
penyakit jantung menigkatkan resiko hipertensi 2-5 kali lipat.
b. Hipertensi skunder
Terdapat 5% kasus penyebabnya, spesifikasinya diketahui karena penggunaan ekstrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperadosteromine prime, dan sindrom cusing,
serta hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain (wulandari, 2011).
Penyebab utama hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi essensial dan penyakit
ginjal. Resiko hipertensi meningkat cukup besar pada keadaan –keadaan ketika pembentukan
antibodi penghambat terhadap temapt-tempat antigenik di plasenta terganggu.
D. Gejala Hipetensi
Gejala-gejala yang ditunjukkan pada ibu hamil dengan hipertensi adalah pusing, muka
merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba dan tengkuk terasa pegal.
Tekanan darah absolut 140/90 mmHg atau 160/110 mmHg yang diambil jarak dalam keadaan
istirahat (Prawirohardjo, 2010).
E. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensisn atau renin
oleh enzim renin yang bisa mengubah angiotensin I dan II atau angiotensin converting
enzyme (ACE). ACE memegang pera fisiologis yang penting dalam mengatur tekanan darah,
mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh homon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah angiotensin I yang terdapat di ginjal. Kemudian diubah
lagi menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin II inilah yang
memiliki peranan dalam menaikkan tekanan darah.
Angiotensin II meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) penyebab rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus dan berada pada ginjal untuk mengatur osmolitas dan
volume urine. Meningkatnya ADH, sangat sedikit urine yang dieksresikan ke luar atau anti
diuresis, sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolitasnya.
Volume cairan ekstraseluler akan diencerkan dengan menarik cairan meningkatkan
terjadinya anti diuresis. Akibatnya volume meningkat yang apda akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
F. Kedaruratan Hipertensi
Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana
yang terjadi pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya mungkin berbeda pendekatan
evaluasi akut dan penatalaksanaanya adalah sama, dengan tujuan utama untuk mencegah
terjadinya hipertensi ensefalopati dan serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang
yang belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan
terjadinya eklampsia. Walaupun jarang, CVA sebagai akibat dari hipertensi akut merupakan
salah satu penyebab terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.
a. Diagnosis banding
Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai macam
kelainan ini. Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus diberikan untuk
berbagai kemungkinan diagnosa selain dari eklampsia, jika manifestasi kliniknya atipikal.
Diagnosia alternatif yang mungkin antara lain : kromositoma, trombosis vena renalis, gejala
rebound pada pemberian klonidin, penyalahgunaan kokain dan metamfetamin, hiperemi akut
pada kulit akibat penyakit kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang melatarbelakangi
terjadinya hipertensi akut adalah hipertensi esensial yang memburuk atau eksaserbasi akut
dari preeklampsia.
b. Patofisiologi
Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan yang lainnya
tampak tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk mendifinisikan ambang parameter
dari krisis hipertensi dan mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus
lebih dari 115 mmHg dan/ atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan diagnosis
hipertensi krisis. Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA dapat terjadi
pada wanita dengan tekananan darah yang konsisten dibawah parameter diatas. Para ahli
yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah dibandingkan dengan
pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab terjadinya kerusakan otak. Krisis
hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio retina dan atau perdarahan
pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard, gagal ginjal, gagal hati, solusio
plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana semuanya ini dapat terjadi akibat hipertensi
akut yang tidak terkontrol. Bukti-bukti klinis dari akibat kerusakan pada organ akhir
tersebut harus segera mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang mengacu pada
pengontrolan tekanan darah.Sebagian besar pasien dirawat tanpa menggunakan pengawasan
hemodinamik yang invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat sebaiknya
dirawat pada pusatrujukan tersier dengan dibawah pengawasan dokter-dokter yang memiliki
keahlian dalam bidang kedaruratan medik (critical care medicine).
Tabel 7. Obat Anti Hipertensi Oral Golongan ACE dan ARB Yang Tidak Boleh
Diberikan Pada Kehamilan
2. Methyldopa
Methyldopa adalah golongan central alpha 1- agonist and other centrally
acting drugs, dosisnya 250-1000 mg, diberikan 2 kali sehari. Methyldopa
direkomendasikan sebagai obat penurun hipertensi pada kehamilan, bahkan wanita
usia produktif dengan hipertensi yang ingin hamil dianjurkan mengganti obat
antihipertensi dengan methyldopa atau nifedipine, labetalol. Ternyata dalam
penelitian beta blocker dan CCB lebih superior daripada methyldopa dalam
pencegahan pre-eklampsia (Whelton et al., 2017). Di Indonesia obat methyldopa
tersedia di Formularium Nasional bentuk tablet 250 mg dan dapat diberikan 3 kali
sehari selama sebulan (Kemenkes RI, 2017).
Walaupun methyldopa telah digunakan secara luas pada pengobatan
hipertensi dengan kehamilan tetapi dianjurkan tetap mempertimbangkan manfaat
dan kerugiannya pada saat menyusui (NICE, 2011).
Methyldopa dipakai untuk pengobatan hipertensi pada wanita hamil. Tidak
teratogenik, tidak ada efek yang tidak diinginkan pada uterus.
Methyldopa dapat dipakai sebagai pengganti clonidine, karena clonidine dapat
menyebabkan rebound hypertension atau terjadi efek yang tidak diinginkan.
Methyldopa dalam bentuk injeksi sering digunakan untuk hipertensi emergensi.
Dosisnya 20-40 mg/kgBB tiap hari diberikan setiap 6 jam (Kario et al., 2018) tetapi
bentuk injeksi tidak tersedia di Indonesia (Kemenkes RI, 2017).
Efek yang tidak dikehendaki pada methyldopa adalah sedasi, drowsiness,
mulut kering, depresi, postural hypertension, rebound hypertension, withdrawal
syndrome, dan beberapa kejadian autoimune (Kario et al., 2018).
Publikasi tentang pemakaian methyldopa pada kehamilan trimester I
masih sedikit, padahal methyldopa direkomendasikan pada kasus ini di banyak
negara. Telah dilakukan penelitian secara prospective observational cohort study
terhadap 261 kehamilan trimester I yang diberikan methyldopa dibandingkan
dengan 526 kehamilan tanpa hipertensi. Hasilnya adalah tidak ada peningkatan
signifikan kejadian yang tidak diinginkan antara keduanya. Disimpulkan bahwa
methyldopa tidak ada indikasi efek teratogenik, walaupun demikian diperlukan
sikap kehati-hatian dalam pemberian methyldopa terhadap kehamilan trimester I
(Hoeltzenbein et al., 2017)
Apakah labetalol dan methyldopa ada perbedaan outcome pada hipertensi
dengan kehamilan? Telah dilakukan studi analisis data dari Control of Hypertension
In Pregnancy Study (CHIPS) membandingkan antara pemberian labetalol dan
methyldopa pada 987 wanita hamil dengan hipertensi. Disimpulkan bahwa wanita
hamil dengan hipertensi yang diberikan methyldopa outcomenya lebih superior
dibanding labetalol (Magee et al., 2016).
3. Nifedipine
Nifedipine adalah golongan CCB-dihydropyridines, yang dianjurkaadalah long
acting (Nifedipine LA / adalat oros ®) (Whelton et al., 2017). Penelitiabesar pengobatan
hipertensi dan kehamilan dengan menggunakan CCB adalah obanifedipine (Dahlof et
al., 2002). Nifedipine digunakan secara luas pada hipertensi dengan kehamilan, tetapi
walaupun demikian pada browsur obat / SPC 2010 tidadianjurkan pada kehamilan
sebelum 20 minggu dan menyusui (NICE, 2011).
Bateman (2015) dalam penelitiannya pengobatan CCB pada kehamilan
berhubungan dengan kejang pada bayi baru lahir. Dari 22.908 kehamilan yandiberikan
CCB terjadi kejang pada neonatal 53. Dalam kesimpulannya dikatakatidak signifikan
adanya peningkatan risiko kejang neonatal pada ibu hamil yanmendapat CCB. Dalam
penelitian ini CCB yang paling banyak digunakan adalah
nifedipine, amlodipine besylate, verapamil hydrochloride, diltiazem
hydrochloride(Bateman et al., 2015).
Nifedipine tidak semuanya aman. Studi dengan sistematik review dameta-
regression analysis tentang masalah keamanan penggunaan CCB padakehamilan
disimpulkan bahwa penggunaan studi RCT saja tidak cukup untukmenilai kejadian
yang tidak diinginkan. Penggunaan nifedipine >60 mgmeningkatkan risiko kejadian
tidak diinginkan yang berkaitan dengan peningkatakesakitan seperti tachycardia dan
hipotensi (Khan et al., 2010).
Penelitian secara RCT telah dilakukan untuk membandingkan labetaloldan
nifedipine pada wanita hamil dengan hipertensi kronik, melibatkan 112 subyeyang
dibagi menjadi 2 kelompok labetalol (55) dan nifedipine (57). Ditemukabahwa
kelompok nifedipine berisiko lebih besar superimpose preeklampsidibanding labetalol
(Webster et al., 2017).
Di Indonesia obat nifedipin tersedia di Formularium Nasional bentuk
tablet 10 mg, tablet lepas lambat 20 mg dan tablet lepas lambat 30 mg (Kemenkes
RI, 2017).
Tabel 9. Obat Anti Hipertensi Oral Golongan Calcium Channel Blocker (CCB)
4. Clonidine
Clonidine adalah golongan centrally acting a2 adrenergic agonist and
imidazoline receptor agonist. Biasa digunakan untuk pengobatan hipertensi yang
dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan menjadi tidak aktif, kecemasan,
withdrawal syndrome, migrain dan gejala nyeri kronik. Bisa juga digunakan
sebagai obat anti muntah pada hyperemesis gravidarum (HG). Preparat yang
digunakan pada hyperemesis gravidarum adalah transdermal clonidine patch. Studi
tentang penggunaan transdermal clonidine patch kemungkinan efektif untuk HG
berat, tetapi diperlukan studi lebih besar untuk membandingkan dengan obat lain
(O'Donnell et al., 2016).
6. Hydralazine
Hydralazine termasuk kelompok direct vasodilator, bisa diberikan oral,intramuskular,
atau intravena (IV). Efek samping berkaitan dengan vasodilatasi dan aktivasi sistem
saraf simpatis: sakit kepala, mual, flushing, dan berdebar-debar.
Pada kasus yang jarang dapat menyebabkan polineuropati atau memacu sindromlupus.
Hydralazine telah digunakan pada semua trimester kehamilan dan tidakteratogenik, efek
samping lain adalah trombositopenia, penurunan aliran darah keuterus dan hipotensi.
Hydralazin oral dapat digunakan untuk hipertensi kronis pada
trimester kedua dan ketiga (Malha et al., 2018). Hydralazine IV direkomendasikanuntuk
hipertensi emergensi pada kehamilan, termasuk labetalol IV dan nifedipioral (Olson-
Chen, 2016).
Satu studi RCT membandingkan efektifitas dan keamanan antara labetalolIV dan
hydralazine IV untuk hipertensi berat pada kehamilan. Penelitian inimelibatkan 152
subyek dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 72, kelompoksatu diberikan
labetalol IV, kelompok lainnya hydralazine IV. Disimpukan bahwalabetalol dan
hydralazine efektif menurunkan hipertensi berat pada kehamilan.Labetalol lebih cepat
menurunkan tekanan darah daripada hydralazine. Efsamping keduanya hampir sama
(Patel et al., 2018).
Studi RCT membandingkan efektifitas antara hydralazine IV dan nifedipioral untuk
hipertensi emergensi pada kehamilan. Penelitian ini melibatkan 60
subyek dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 30, kelompok A diberikan
hydralazine IV, kelompok lainnya nifedipin oral. Disimpulkan bahwa hydralazinedan
nifedipin efektif menurunkan tekanan darah untuk hipertensi emergensi pakehamilan.
Tidak ada efek samping major dari keduanya, tetapi nifedipin oral lebihdipilih karena
dosis tetap, mudah diberikan, mudah didapatkan, murah (Sharma al., 2017).
Berdasarkan Tabel 13. ternyata tidak ada obat antihipertensi yang sangat
aman untuk trimester I kehamilan.