Anda di halaman 1dari 58

SEVEN JUMP

Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat


Tingkat/Semester : 4/7

Seorang perawat IGD sedang bertugas pagi ini. Datang kendaraan


ambulance pukesmas “X” membawa pasien seorang laki – laki usia 62 tahun
bersama keluarganya. Pasien tampak diam tak bergerak, terpasang oksigen 4 liter
dengan masker dan terpasang IV line pada lengan kanan dengan cairan Ringer
Laktat 26 tetes/menit.
Hasil laporan petugas kesehatan pukesmas yang merujuk bahwa pasien
tidak sadar dengan GCS 3 sejak dibawa ke pukesmas 45 menit yang lalu. Pasien
lalu diberikan oksigen masker dan cairan RL kemudian dirujuk ke RS ini.

Hasil pemeriksaan awal saat triage didapatkan data sebagai berikut:

Pasien diam, tak bergerak, tampak gemuk, E1M1V1 = GCS 3, tekanan


darah 60/40mmHg tangan kanan hilang timbul dan 55/40mmHg tangan kiri hilang
timbul, denyut nadi lemah, tak teraba pada kedua tangan, suhu 36,0oC, respirasi
10kali/menit dengan periode apneu 7 kali dalam satu menit, akral dingin, tampak
sianosis.
Menurut keluarga bahwa pasien Tn. IL usia 64 tahun sering mengeluh
sesak nafas dan nyeri dada terus tidak pernah berkurang. Satu tahun yang lalu,
pasien telah menjalani kateterisasi jantung dan menunjukan 50%. Stenosis di
arteri coroner kanannya (RCA) dan arteri coroner anterior turun (LAD). Pasien
telah mengkonsumsi obat : ASA 81 mg, Simvastatin 40 mg, Clopidogel 75 mg,
Losartan HCTZ 50-12.5 mg, Metoprolol XL 25 mg, Amlodipine 5 mg, Metformin
1,000 mg bid, Omeprazole.
Sejak lima belas tahun yang lalu, pasien mengalami hipertensi dan sejak 3
tahun yang lalu mengalami angina pectoris. Sejak 3 tahun yang lalu tersebut,
pasien sering dirawat inap. Pasien perokok sejak usia 20 tahun, tidak pernah minu

1
alcohol, menyukai makanan yang berasal dari daging sapi maupun kambing, dan
minum kopi setiap hari sebanyak 2-3 gelas. Kedua orang tuanya telah meninggal
dunia, ayah pasien mengalami hipertensi dan gagal ginjal, sedangkan ibu pasien
tidak diketahui mengalami penyakit.

2
STEP 1
KATA SULIT

1. IGD
2. Pukesmas
3. Ambulance
4. Cairan Ringer laktat
5. Apneu
6. Sianosis
7. Keteterisasi jantung
8. ASA
9. Simvastatin
10. Clopidogrel
11. Losartan HCTZ
12. Metoprolol XL
13. Amplodipine
14. Metformin
15. Omeprazole
16. Angina pectoris
17. Hipertensi
18. Gagal Ginjal

Jawaban Kelompok :
1. IGD adalah Instalasi Gawat Darurat salah satu bagian di dalam rumah sakit
yang menyediakan suatu pelayanan penanganan gawat darurat.
2. Pukesmas adalah Pusat Kesehatan Masyarakat suatu pelayanan kesehatan
fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat.
3. Ambulance adalah tranportasi yang dilengkapi peralatan medis yang berguna
untuk membawa pasien dalam keadaan gawat darurat dan kebutuhan khusus
lainnya.
4. Cairan Ringer laktat adalah merupakan jenis cairan kristaloid yang
mengandung kalsium, kalium, laktat, natrium, klorida, dan air. Cairan ringer
laktat umumnya diberikan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang saat
mengalami luka, cedera, atau menjalani operasi yang menyebabkan
kehilangan darah dengan cepat dalam jumlah yang banyak.
5. Apneu adalah suatu kondisi berhentinya proses bernapas dalam waktu singkat
bisa juga terjadi dalam waktu yang panjang.
6. Sianosis adalah kondisi warna kebiruan pada kulit dan selaput lendrr karena
kekurangan oksigen dalam darah.

3
7. Kateterisasi jantung adalah tindakan medis yang bertujuan untuk mendeteksi
penyempitan atau sumbatan pembuluh darah jatung/coroner.
8. ASA atau aspirin adalah obat untuk membantu mencegah serangan jantung,
stroke, dan sebagai antiplatelet (menghambat pembekuan darah).
9. Simvastatin adalah obat yang digunakan bersamaan dengan diet sehat dengan
fungsi untuk membantu menurunkan kolestrol dan lemak jahat.
10. Clopidogrel merupakan obat yang berfungsi untuk mencegah trombosit
(platelet) saling menempel yang beresiko membentuk gumpalan darah.
11. Losartan HCTZ adalah obat yang digunakan untuk menurunkan risiko stroke
pada pasien dengan tekanan darah tinggi dan pembesaran jantung.
12. Metoprolol adalah obat golongan beta blocker yang digunakan untuk
menangani tekanan darah tinggi dan gagal jantung.
13. Amplodipine adalah obat darah tinggi.
14. Metformin adalah obat anti-diabetes oral yang termasuk pada kelas biguanid.
15. Omeprazole adalah obat untuk mengatasi gangguan lambung.
16. Angina pectoris adalah rasa nyeri pada dada yang terjadi saat aliran dan
oksigen menuju otot jantung tersendat atau terganggu.
17. Hipertensi adalah tekanan darah tinggi dimana kondisi saat tekanan darah
berada pada 130/80mmHg atau lebih.
18. Gagal ginjal adalah kondisi dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk
menyaring cairan dan sisa – sisa makanan

Jawaban Teori :

1. IGD adalah salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit yang menyediakan
penanganan awal (bagi pasien yang datang langsung ke Rumah
Sakit)/lanjutan (bagi pasien rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan lain
ataupun dari PSC 119), menderita sakit ataupun cedera yang dapat
mengancam kelangsungan hidupnya (Permenkes RI No. 47, 2018).
2. Pukesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya di
wilayah kerjanya (Permenkes RI No. 75, 2014)
3. Ambulans merupakan salah satu komponen EMS (Emergency Medical
Service) yang tersedia 24 jam per hari di sebagian besar rumah sakit.

4
Endogan et al,. (2008) berpendapat bahwa efektivitas dari kualitas layanan
komponen EMS dapat ditentukan berdasarkan pada kriteria ganda,
termasuk waktu respon rata – rata, jenis pelayanan EMS pada masing –
masing staf rumah sakit dan peralatan medis yang digunakan.
4. Ringer laktat merupakan cairan yang palig fisiologis yang dapat diberikan
pada kebutuhan volume dan jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai
replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma,
dan luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan
dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk
memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolic (Leksana, 2006).
5. Apneu adalah gangguan bernafas yang dialami pada saat tidur dengan
penyebab yang masih tidak jelas
6. Sianosis merupakan kondisi dimana perubahan warna kebiruan dari kulit
dan membran mukosa akibat konsentrasi tereduksi yang berlebihan dalam
darah kulit dan membrane mukosa. Pada penderita penyakit jantung
bawaan akan disertai dengan sianosis, selain itu sianosis perifer yag sering
ditemukan pada ujung – ujung ekstermitas adalah vasokonstriksi geralisasi
yang terjadi akibat terkena air atau udara dingin keadaan ini merupakan
respon yang normal (Price & Wilson, 2012)
7. Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan
memasukkan kateter ke dalam system kardiovaskuler untuk memeriksa
keadaan anatomi dan fungsi jantung (Price & Wilson, 2012).
8. ASA atau Acetylsalicylic acid/Aspirin adalah obat yang digunakan untuk
berbagai indikasi, yaitu sebagai analgesic, antipiretik, anti-infamasi dan
antitrombotik (bekerja dengan menghambat agregasi trombosit, sehingga
obat ini dapat memperpanjang waktu pendarahan) (Goodman dan Gillman,
2008).
9. Simvastatin merupakan senyawa yang diisolasi dari jamur Penicillium
citrinum, senyawa ini memiliki struktur yang mirip dengan HMG-CoA
reduktase. Simvastatin bekerja dengan cara menghambat HMG-CoA
reduktaase secara komperhensif pada proses sintesis kolestrol di hati.

5
Simvastatin akan menghambat HMG-CoA reduktase mengubah asetil-CoA
menjadi asam mevalonat. Simvastatin jelas menginduksi suatu
peningkatan resptor LDL dengan afinitas tinggi. Efek tersebut
meningkatkan kecepatan ekstraksi LDL oleh hati, sehingga mengurangi
simpanan LDL plasma (Katzung, 2011).
10. Clopidogrel merupakan turunan dari derivate thienopyridine yang
menghambat agregasi platelet. Clopidogrel secara kompetitif dan
ireversibel menghambat adenosine diphospate (ADP) P2Y12 reseptor.
Adenosine diphosphate yang berikatan dengan PY1 resptor menginduksi
perubahan ukuran platelet dan kelemahan serta agregasi platelet yang
sementara (Katzung, 2011).
11. Losartan HCTZadalah obat antihipertensi golongan angiotensin resptor
bloker (ARB) yang merupakan pilihan untuk terapi hipertensi dengan
resiko penyakit jantung, gangguan ginjal ataupun diabetes. Kalium
losartan merupakan senyawa dalam bentuk garam yang dapat terhidrolisis
dengan adanya air (Katzung, 2011)
12. Metoprolol XLadalah obat golongan beta blocker yang digunakan untuk
menangani tekanan darah tinggi dan gagal jantung. Metoprolol bekerja
dengan menghambat suatu zat dalam tubuh yang dinamakan epinephirine
(adrenalin), yaitu zat yang dapat membuat jantug berdenyut lebih cepat,
mempersempit pembuluh darah, dan memperkuat kontraksi pada jantung.
Dengan dihambatnya adrenalin, denyut jantung akan melambat, tekanan
darah menuurn, serta beban jantug berkurang (Katzung, 2011).
13. Amplodipine merupakan obat antihipertensi golongan CCBs yang bekerja
sebagai vasodilator dengan menghambat masuknya ion kalsium pada sel
otot polos vaskuler dan miokard sehingga tahanan perifer turun dan otot
relaksasi. Sifat menguntunkan dari obat antihipertensi golongan CCBs
yaitu memiliki efek langsung pada nodus atrioventikular dan sinoatrial,
dapat menurunkan resisteni perifer tanpa panurunan fungsi jantung yang
berarti dan relative aman bila dikonsumsi dengan β- blocker (Katzung
2011).

6
14. Metformin merupakan obat anti hiperglikemik yang tidak menyebabkan
hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan
meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek
ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein
kinase). Meteformin tidak merangsang atau menghambat perubahan
glukosa menjadi lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin
dapat menurunkan berat badan (Sweetman, 2009)
15. Omeprazole adalah basa lemah dan secara khusus berkonsentrasi dalam
kanalikuli sekretori asam dari sel parietal, dimana di aktifkan
denganproses proton katalis untuk menghasilkan sulphenamide.
Omeprazol mempunyai mekanisme kerja yang unik karena mempunyai
tempat kerja dan bekerja tahap akhir proses sekresi asam lambung dari sel
– sel parietal (Katzung, 2011)
16. Angina pectoris adaah perasaan tercekik di dada, agina pectoris juga
merupakan istilah yang umum digunakan dalam kesehatan untuk
menggambarkan rasa dari nyeri dada yang disebabkan oleh iskemia
miokard (Perrin, 2009).
17. Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi.
Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik
dan diastolic. Berdasarkan JNC (joint National Comite) VII, seorang
dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih
dan diastolic 90mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003)
18. Gagal ginjal adalah kemunduran fungsi ginjal yang menyebabkan
ketidakmampuan mempertahankan substansi tubuh di bawah kondisi
normal (Raharjo, 2006).

7
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa diagnosa medis yang terkait kasus diatas ?


2. Apa penyebab pasien mengalami syok kardiogenik ?
3. Mengapa pasien bisa menyebabkan nyeri dada ?
4. Mengapa pasien bisa menyebabkan sesak nafas ?
5. Mengapa pasien mengalami coma ?
6. Apa yang dilakukan tindakan perawat IGD sesuai traise kasus diatas ?

8
STEP 3
ANALISIS MASALAH

1. Menurut kelompok pada kasus tersebut pasien mengalami syok


kardiogenik karena kondisi pasien menunjukan 50%. Stenosis di arteri
coroner kanannya (RCA) dan arteri coroner anterior turun (LAD).
Sedangkan menurut Brunner & Suddarth syok kardogenik adalah stadium
akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila
ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan
kekuatan kontraktilitasnya, menimbulkan penurunan curah jantung dengan
perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal).
(Brunner & Suddarth, 2013).
2. Syok kardiogenik merupakan kondisi yang terjadi sebagai serangan
jantung pada fase terminal dari berbagai penyakit jantung. Terjadinya
stenosis Stenosis di arteri coroner kanannya (RCA) dan arteri coroner
anterior turun (LAD) menyebabkan berkurang nya ke aliran darah koroner
yang berdampak pada supply O2 ke jaringan khususnya pada otot jantung
yang semakin berkurang, Bila kondisi tersebut tidak tertangai dengan baik
akan menyebabkan kondisi yang dinamakan syok kardiogenik (Price &
Wilson, 2012).
3. Pada kondisi syok, metabolisme yang pada fase awal sudah mengalami
perubahan pada konidisi anaerob akan semakin memburuk sehingga

9
produksi asam laktat terus meningkat dan memicu timbul nya nyeri hebat
seperti terbakar maupun tertekan yang menjalar sampai leher dan lengan
kiri, kelemahan fisik juga terjadi sebaga akibat dari penimbunan asam
laktat yang tinggi pada darah ( Price & Wilson, 2012).
4. Karena terjadinya penyempitan pembuluh darah sehingga pasokan oksigen
berkurang yang akan menyebabkan suplai oksigen juga menurun ke
seluruh jaringan, sehingga kebutuhan oksigen meningkat dan pasokan
oksigen menurun, maka terjadilah sesak napas (Burnner and Suddarth,
2013).
5. Penurunan jumlah strok volume mengakibatkan berkurang nya cardiac
output atau berhenti sama sekali, hal tersebut menyebabkan suplay darah
maupun O2 sangatlah menurun kejaringan, sehingga menimbulkan kondisi
penurunan kesadaran dengan akral dingin pada ekstremitas (Price &
Wilson, 2012).
6. Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendekteksian dan
manajamen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam jiwa. Tujuan dari primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan, prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain ( Fulde, 2009).:
 Airway atau jalan nafas
 Breathing dan oxygenitation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Dissability atau pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan

10
STEP 4
MIND MAPPING
ANATOMI

ETIOLOGI Patofisiologi

Gagal jantung. kerusakan jantung


mengakibatkan penurunan curah jantung, yang
Manifestasi Klinis pada gilirannya menurunkan tekanan darah

- Tanda klasik syok kardiogenik arteria keorgan-organ vital. Aliran darah kearteri

adalah tekanan darah rendah koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke

- Nadi cepatdan lemah jantung menurun, yang pada gilirannya

- Hipoksia otak yang termanifestasi meningkatkan iskemia dan penurunan lebih

dengan adanya konfusi dn agitasi, lanjut kemampuan jantung untuk memompa.

- penurunan haluaran urin, serta 11 (Smeltzer, 2013).

kulit yang dingin dan lembab


- Hipotensi sistemik ( TDS <
SYOK KARDIOGENIK
Klasifikasi

Tahap I, syok berkompensasi (Non


progresif)
Tahap II, tahap progresif
Tahap III, refrakter (Irrevisibel)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Lab
Diagnosa Keperawatan
- Pemeriksaan biokimia darah:
Elektrolit
- Fungsi ginjal
- Fungsi hati, bilirubin, aspartate
aminotransferase(AST),alani
aminotransferase (ALT), laktat
dehidrogenase (LDH), dapat
dilakukan untuk menilai fungsi
organ-organ vital. Intervensi
Pemeriksaan enzim jantung perlu
dilakukan termasuk kreatinin kinase
dan subklasnya, troponin, myoglobin,
dan LDH untuk mendiagnosa infark
miokard.
Pemeriksaan Radiologi
- EKG
- CT.SCAN 12

- Radiografi toraks
- Angiografi arteri koroner
STEP 5
LEARNING OBJEKTIF

1. Mahasiswa mampu menganalisis anatomi fisiologi syok kardiogenik


2. Mahasiswa mampu menganalisis definisi syok kardiogenik
3. Mahasiswa mampu menganalisis etiologi syok kardiogenik
4. Mahasiswa mampu menganalisis patofisiologi syok kardiogenik
5. Mahasiswa mampu menganalisis manifestasi syok kardiogenik
6. Mahasiswa mampu menganalisis klasifikasi syok kardiogenik
7. Mahasiswa mampu menganalisis pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada pasien dengan gangguan syok kardiogenik
8. Mahasiswa mampu menganalisis asuhan keperawatan gawat darurat pada
pasien yang mengalami syok kardiogenik

13
STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN

A. Identitas jurnal

a. Judul Journal : Contemporary Management Of


Cardiogenik Shock

b. Nama peneliti dalam jurnal : Sean van Diepen, MD, MSc,


FAHA, Ketua Jason N. Katz, MD, MHS, Wakil Ketua Nancy
M. Albert, RN, PhD, FAHA Timothy D. Henry, MD, FAHA
Alice K. Jacobs, MD, FAHA Navin K. Kapur, MD Ahmet Kilic,
MD Venu Menon, MD

c. Tahun : 2017 American Heart Association, INC 17 October


2017

B. Evaluasi Laboratorium, Pengujian Nonivasif Dan Pemantauan


Hemodinamis Evaluasi Laboratorium
Biomarker myonecrosis jantung berguna untuk diukur keparahan
cedera miokard yang mendasari akut pada kondisi seperti miokarditis
fulminan. Di ACS, mobil troponin diac tercatat meningkat dan memiliki
peningkatan dan-pola jatuh konsisten dengan cedera iskemik akut
Ketidakcocokan antara tingkat disfungsi segmental tion pada pencitraan
dan pelepasan troponin dapat dicatat dalam pengaturan miokardium
terpana / hibernasi atau ketika presentasi secara signifikan tertunda setelah
penghinaan iskemik. Tingkat biomarker nekrosis miokard dapat
memberikan gambaran tentang tingkat cedera miokard, sedangkan
pengukuran serial berguna dalam menilai pencucian awal setelah reperfusi

14
yang sukses dan estimasi perkawinan jumlah nekrosis jantung. Pepriuretik
pep- pasang naik secara signifikan dalam pengaturan gagal jantung akut
berujung pada CS dan dikaitkan dengan kematian pada CS terkait MI.
Kapasitas pembawa oksigen adalah produk jantung output dan kandungan
oksigen darah. Dengan demikian, sebuah CI yang efektif akan menghasilkan
jaringan perifer yang tidak memadai pengiriman oksigen. Kadar asam laktat
arteri yang meningkat adalah tidak spesifik menunjukkan hipoksia jaringan
tetapi juga ciated dengan mortalitas di CS. Patogenesis lac- tate produksi di
CS tidak pasti, meskipun mengalami gangguan pengiriman oksigen,
hiperlaktatemia akibat stres, dan gangguan izin kemungkinan merupakan
kontributor. A perifer ketidakcocokan pengiriman permintaan oksigen akan
menghasilkan rendah pengukuran oksigen vena sentral. Vena campuran
sampel saturasi oksigen idealnya diperoleh dari porta distal kateter arteri
pulmonalis (PAC) dan merupakan refleksi saturasi oksigen dari darah yang
kembali ke jantung melalui vena cava superior dan inferior, juga sebagai
sinus koroner. Pengukuran serial arteri Tingkat saturasi oksigen vena laktat
dan campuran mungkin membantu memantau respons sementara
terhadap terapi intervensi peutik. Pengukuran gas darah arteri juga
memungkinkan penilaian oksigenasi arteri dan ventilasi, serta asam
metabolik dan pernapasan - gangguan dasar.

Cidera ginjal akut, yang tercermin dari kenaikan kreatinin serum


dan pengurangan potensial dalam kemih output, dalam pengaturan CS
dapat menunjukkan hipertensi ginjal perfusi dan dikaitkan dengan hasil
yang buruk. Ini Perlu dicatat bahwa biomarker ginjal baru seperti neutrofil
gelatinase terkait lipocalcin, infeksi ginjal juri molekul 1, dan cystatin C tidak
lebih efektif lebih dari evaluasi standar dengan kreatinin serum untuk
menilai risiko. Iskemik akut atau hati kongestif cedera dapat terjadi dalam
pengaturan CS dan bermanifestasi sebagai ditandai peningkatan serum
aspartat aminotransferase, alanine aminotransferase, serum bilirubin, dan

15
laktat kadar dehidrogenase, sering disertai dengan lipatan dalam waktu
protrombin dengan puncak pada 24 hingga 72 jam yang kemudian pulih ke
garis dasar dalam waktu 5 hingga 10 hari, dan rasio alanine
aminotransferase ke dehidrogenase laktat <1,5. Ini harus berbeda
difermentasi dari kronis ke elevasi subakut hati fungsi kelainan dalam
pengaturan kongsi vena- tion yang dihasilkan dari HF sisi kanan.

C. Pengujian Noninvasif
Meskipun memiliki keterbatasan, rontgen dada memberikan
informasi pada ukuran jantung dan kemacetan paru dan mungkin
menyarankan patogenesis alternatif seperti diseksi aorta tion, efusi
perikardial, pneumotoraks, esophagus perforasi, atau emboli paru. Tes
memungkinkan dokter untuk mengkonfirmasi posisi endotrakeal tabung
dan posisi perangkat pendukung, termasuk kabel dan MCS mondar-mandir
sementara. 12-lead sisanya EKG bersifat diagnostik pada pasien dengan
STEMI tetapi dapat meningkatkan vide bukti untuk kondisi klinis lainnya,
termasuk ACS non-segmen-elevasi, emboli paru, miokarditis akut,
ketidakseimbangan elektrolit, dan racun obat icity. Echocardiogram
transthoracic yang komprehensif adalah disarankan. Ini dapat memberikan
tambahan hemodinamik pembentukan, tidak termasuk komplikasi
mekanik, dan bantuan untuk memandu keputusan terapi medis dan
mekanik (Tabel Tambahan 2). Ketika gambar tidak memadai atau diagnosis
tetap tidak pasti, suatu transesophageal echocardiogram harus
dipertimbangkan. Ikhtisar pengujian dan pemantauan hemodinamik invasif
adalah pro nanti dalam Manajemen CS.

D. Saran untuk Praktek Klinis


Kami menyarankan bahwa semua pasien dengan CS dievaluasi
dengan EKG, rontgen dada, dan echocardio- komprehensif gram dengan
tujuan khusus memahami mekanisme dominan yang bertanggung jawab

16
untuk hemodesi akut ketidakstabilan namic. Dengan tidak adanya
kontraindikasi, pencitraan tambahan dengan pemindaian tomografi
computer atau ekokardiogram transesofagus (sesuai kebutuhan) jika
sindrom aorta akut atau emboli paru terjadi diduga tepat. Tes laboratorium
yang disarankan di termasuk jumlah darah lengkap, elektrolit, kreatinin, tes
fungsi hati, gas darah arteri dan laktat, dan kadar troponin jantung serial.

E. Hasil Kontemporer, Prognosis, Dan Penggunaan Sumber Daya Tren Hasil


dan Terapi
CS tetap menjadi penyebab paling umum dalam pengaturan MI akut,
dan paling la ma studi dan pendaftar dinal telah melaporkan penurunan
Kematian CS terkait MI. Analisis Database Sampel Rawat Inap Nasional
antara tahun 2003 dan 2010 melaporkan peningkatan prevalensi CS dari 6%
hingga 10% pada keseluruhan populasi dan dari 7% hingga 12% di antara
pasien> 75 tahun hadir dengan STEMI. 4 Angka kematian di rumah sakit
menurun dari 45% hingga 34% dalam jangka waktu yang sama, meskipun
lebih tingkat kematian tetap tinggi (55%) pada pasien> 75 tahun
umur. Ketentuan angiografi (64% hingga 74%), PCI awal (26% hingga 54%),
dan IABP (45% hingga 54%) di berkerut, sedangkan penggunaan PAC (10%
hingga 6%) menurun waktu. Tingkat penurunan angka kematian di rumah
sakit mungkin sebagian disebabkan oleh revaskularisasi dini yang lebih
agresif Meskipun peningkatan ini tidak didukung oleh analisis yang lebih
kontemporer dari pasien dengan MI-asso- CS ciated yang menjalani PCI
antara 2005 dan 2013.

Para penulis melaporkan bahwa meskipun ada peningkatan secara


keseluruhan dalam PCI, mortalitas di rumah sakit meningkat dari 27%
menjadi 30% dan kematian terjadi di laboratorium kateterisasi ratory
meningkat dari 15% menjadi 20%. Selain itu, kompleksitas meningkat pada
kerangka waktu yang sama dengan lebih banyak presentasi yang tertunda

17
(> 6 jam setelah gejala mulai), penyakit jantung multivessel, dan kompleks
(tipe C) lesi koroner. Selanjutnya persentasenya pasien dengan CS terkait MI
yang menjalani PCI di volume rendah (<500 PCI setahun) meningkat dari
30% hingga 48%. Secara kolektif, data ini mengidentifikasi beberapa
tentang tren di lapangan: potensi peningkatan kematian, peningkatan
kompleksitas pasien dan penggunaan MCS, dan pergeseran geografis ke
arah perawatan yang diberikan oleh pusat volume rendah yang mungkin
memiliki lebih sedikit pengalaman yang berhubungan dengan hemodinamik
dan koro himpunan bagian pasien nary. Selain itu, perancu terkait untuk
perubahan dalam pengkodean CS berbasis rumah sakit tidak bias
pengecualian. Dalam populasi CS non-ACS, kontempo rary registry (terbatas
pada 42 pasien dengan CS non-ACS) melaporkan tingkat kematian di rumah
sakit 24% dan itu patogenesis non-ACS secara independen terkait dengan
kelangsungan hidup yang lebih baik.

F. Model dan Variabel Prognostik


Sistem skor ganda untuk memprediksi hasil klinis di CS telah
diusulkan. Beberapa model diturunkan dalam populasi unit perawatan
intensif umum (ICU) dan termasuk APACHE (Fisiologi Akut dan Kronis)
Evaluasi Kesehatan) -II skor dan SAPS (Akut Sederhana kor Fisiologi) - sistem
penilaian II. 94–97 APACHE-II di termasuk 13 variabel fisiologis dan
dirancang untuk diukur selama 24 jam pertama setelah iklan ICU misi untuk
pasien> 16 tahun. APACHE-III sistem penilaian menambahkan variabel
seperti patogenesissyok, jenis kelamin, ras, dan komorbiditas ke APACHE-II
sistem dan divalidasi pada> 17.000 pasien ICU di RSUP Dr Amerika
Serikat. SAPS-II mencakup 12 fisiologis dan 3 variabel terkait penyakit,
divalidasi dalam 12 997 pa-klien dari 12 negara, dan digunakan untuk
memprediksi kematian pital. Sebuah studi kecil membandingkan APACHE-
II,APACHE-III, SAPS-II, dan sistem penilaian SOFA di CS porting bahwa
APACHE-III dan SAPS-II memiliki fana terbaik- diskriminasi. 98 Studi

18
CardShock adalah serangkaian 219 pasien dengan semua penyebab CS dan
mengidentifikasi 7 variabel terkait dengan kematian di rumah sakit (indeks
c 0,85), tetapi tidak memiliki validasi eksternal. 55 Di antara pasien dengan
ACS dipersulit oleh CS, GRACE (Global Registry of Skor Acute Coronary
Events) memiliki diskriminasi yang baik dan kalibrasi untuk kematian di
rumah sakit dan jangka panjang di antara semua pasien yang datang
dengan ACS, tetapi tidak berlaku untuk presentasi non-ACS. 99 pub
tambahan variabel klinis, pencitraan, dan hemodinamik terkait bergaul
dengan kematian di rumah sakit pada populasi CS termasuk kerusakan otak
anoksik, hipoperfu organ akhir sion, laktat tinggi, CABG sebelumnya,
patogenesis ACS, Fraksi ejeksi LV, fungsi RV, pulsari arteri pulmonalis indeks
satility (didefinisikan sebagai rasio arteri pulmonalis tekanan nadi ke
tekanan atrium kanan), regurgitasi mitral tion, kerja stroke LV, output daya
jantung, SBP, angka ber vasopresor, respons inflamasi sistemik sindrom, dan
TIMI (Trombolisis pada Infark Miokard tion) mengalir. 39,48,100–
105 Keterbatasan model yang tersedia di menutupi kurangnya populasi
derivasi CS-spesifik, validasi eksternal, aplikasi dinamis (yaitu, satu titik
hanya dalam waktu), penerapan ke semua jenis CS, dan tangkapan dari
semua klinis, laboratorium, hemoglobin prognostik yang berpotensi data
dinamis, pencitraan, dan biomarker.

G. Hasil Jangka Panjang


Di antara pasien dengan CS terkait ACS yang telah vaskularisasi dan
yang selamat dari rumah sakit, tindak lanjut jangka panjang dari percobaan
SHOCK menunjukkan bahwa mayoritas (62%) masih hidup 6 tahun
kemudian. 21 Sebagai perbandingan, sebuah studi kontemporer pasien
dengan ≥65 tahun dengan CS terkait MI yang selamat dari perawatan di
rumah sakit Mengangkut peningkatan risiko kematian dalam 60 hari
pertama setelah dikeluarkan dan kemudian tingkat kematian sebanding
untuk pasien tanpa syok sesudahnya. 1 tahun kelangsungan hidup adalah

19
87,6%. 107 Meskipun menguntungkan jangka panjang kelangsungan hidup,
CS dapat dikaitkan dengan lebih banyak tawaran Data registrasi telah
melaporkan semua penyebab selama 1 tahun dan Tingkat rawat inap HF
dari 59% dan 33%, masing-masing- ly.percobaan SHOCK dan IABP-SHOCK II
telah dilaporkan kualitas hidup sederhana di antara korban 1 tahun, dengan
New Gejala York Heart Association kelas II hingga IV pada 43% dan
gangguan perawatan diri, fisik, atau psikologis pada ≈20% hingga
30%. 108.109 Sangat sedikit yang diketahui tentang hasil jangka panjang
dalam populasi CS non-ACS Data ini lebih lanjut mendukung perlunya
rumah sakit baru dan pendekatan terapetik untuk meningkatkan hasil
untuk pasien dengan CS dan kebutuhan untuk lebih banyak menganalisis
dalam populasi CS non-ACS

H. SISTEM PERAWATAN REGIONALISASI Volume Klinis dan Hasil Pasien


Volume rumah sakit dan penyedia medis telah secara konsisten dan
positif terkait dengan kelangsungan hidup di perawatan medis dan
bedah. Luft dan rekan ini- Tally menggambarkan hubungan ini pada tahun
1979, menunjukkan 25% hingga 41% lebih rendah kematian pasca operasi
di rumah sakit melakukan> 200 prosedur bedah tahunan. Dalam subse-
Selama studi, peneliti menunjukkan tanggapan langsung hubungan antara
volume dan hasil di kedua tingkat operator dan institusional untuk
pembedahan dan PCI. 111– Sebuah meta-analisis dari 15 studi PCI dan 7
studi CABG ies, termasuk> 1 juta pasien dari> 2000 rumah sakit,
melaporkan kematian di rumah sakit lebih rendah dalam volume besar (>
600 kasus) Pusat PCI dan CABG. Berbagai studi juga melaporkan
peningkatan kelangsungan hidup setelah PCI primer untuk MI akut di pusat
volume tinggi dan volume tinggi ume operator. Atas dasar hubungan ini,
asosiasi profesional, termasuk AHA, Amerika Sekolah Tinggi Kardiologi, dan
Perhimpunan Ahli Jantung - raphy dan Intervensi, telah merekomendasikan
minimum volume prosedural untuk rumah sakit dan operator untuk

20
pemeliharaan akreditasi dan kompetensi. Simi hubungan volume-hasil telah
dilaporkan untuk kondisi umum lainnya, termasuk HF dan pneu- monia,
dan untuk pasien ICU medis yang membutuhkan mechani- kal ventilasi
(MV). Pada CS, kondisi akut yang kompleks yang membutuhkan tim
perawatan multidisiplin untuk menyediakan perawatan prosedural, bedah,
dan medis, klinis volume juga telah dikaitkan dengan kelangsungan
hidup. Sebuah pelajaran dari Sampel Rawat Inap Nasional melaporkan
bahwa rumah sakit merawat> 107 kasus per tahun lebih sering disediakan
revaskularisasi awal, bantuan ventrikel keburukan, oksigenasi membran
ekstrakorporeal (ECMO), dan hemodialisis. Ada hubungan langsung antara
tween disesuaikan di rumah sakit dan volume rumah sakit ume. Mortalitas
adalah 37%, 39,3%, 40,7%, dan 42% pada tahun rumah sakit yang merawat
≥107, 59 hingga 106, 28 hingga 58, dan <27 kasus per tahun ( P <0,05). Dari
catatan, volume besar situs lebih cenderung akademis, terletak di
perkotaan area, dan berfungsi sebagai hub rujukan. Alasan yang mendasari
Temuan ini belum dijelaskan dengan jelas kami berhipotesis bahwa pasien
yang dirawat dengan volume tinggi rumah sakit mungkin lebih mungkin
menerima berbasis bukti perawatan dan revaskularisasi segera dengan
operasi volume tinggi erator dan rumah sakit bervolume tinggi mungkin
termasuk tim multidisiplin yang lebih sering menerapkan KASIH MCS dan
peduli untuk pasien dengan multisystem kegagalan organ. Karenanya,
membangun sistem perawatan dengan rumah sakit volume tinggi yang
digunakan sebagai hub terintegrasi dengan sistem medis darurat dan pusat
bicara dengan protokol yang jelas untuk pengakuan awal, manajemen, dan
transfer berpotensi untuk ditingkatkan hasil pasien.

I. Sistem Regional yang ada untuk Koordinasi Perawatan


Sistem perawatan regional telah berhasil diimplementasikan mented
untuk kondisi yang sensitif terhadap waktu, termasuk STEMI, stroke,
trauma, diseksi aorta, dan OHCA. perawatan trauma, kematian telah

21
berkurang sebesar 15% menjadi 20% dengan triase pasien dan transportasi
ke yang ditunjuk American College of Surgeons Level 1 pusat traumaters.
Dalam perawatan stroke, sistem perawatan terintegrasi memiliki telah
dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi dari terapi fibrinolyti gunakan
dan tingkatkan kelangsungan hidup.Di OHCA, di mana pra- rumah sakit dan
manajemen rumah sakit saling Untuk meningkatkan kelangsungan hidup,
sistem perawatan regional miliki telah berhasil diimplementasikan. Di
Arizona, pintas rumah sakit dengan layanan medis darurat ke pusat OHCA
yang diperlengkapi untuk menyediakan praktik terbaik perawatan di rumah
sakit dikaitkan dengan peningkatan keseluruhan bertahan hidup dari 8,9%
menjadi 14,4% STEMI mewakili paradigma untuk sistem terintegrasi
perawatan dengan layanan medis darurat terkoordinasi, komunitas, dan
pusat perawatan tersier, ditambah dengan protokol transfer hub-and-spoke
standar, berkualitas jaminan, umpan balik waktu nyata, dan penyedia
layanan kesehatan pendidikan. AHA telah disahkan dan disertifikasi
Rujukan dan rumah sakit penerima STEMI sebagai bagian dari Misinya Sion:
Inisiatif Lifeline, yang juga mengimplementasikan keberlanjutan Ulasan
kami dan peningkatan kualitas.

J. Sistem Regional untuk Manajemen dari CS


Salah satu sistem perawatan regional CS paling awal adalah dibimbing
oleh ahli bedah kardiotoraks di New York City pada tahun 2008 1990-an
untuk pengelolaan postcar refraktori syok diotomi yang membutuhkan
pembedahan sementara sisi kiri MCS sebagai jembatan menuju
transplantasi (BTT) atau pemulihan. Program ini terdiri dari jaringan rumah
sakit bicara terletak dalam radius 250 mil dari institusi hub. Para penulis
menekankan perlunya dialog awal (dalam 12 jam shock) antara referensi
dan menerima pusat untuk menentukan kelangsungan hidup didate dan
kesesuaian untuk pemindahan dan pengembangan a algoritma
manajemen. Implementasi dari jaringan ini pekerjaan dikaitkan dengan

22
tingkat kelangsungan hidup 66%, lebih tinggi dari tingkat kelangsungan
hidup sejarah 25%. Kelayakan tim CS keliling dalam suatu model hub-and-
spoke nasional ditunjukkan dalam studi percontohan jantung-
RESCUE. 13 Dalam penelitian Perancis ini, the peneliti mengembangkan
jaringan 22 tersier dan 53 pusat nontertiary yang mentransfer pasien
dengan CS ke 3 pusat yang ditunjuk menggunakan tim ECMO
seluler. Sebuah panggilan dari lembaga bicara yang meminta bantuan untuk
setelah kepergian tim seluler, terdiri dari a ahli bedah, ahli perfusi, dan
perawat, dalam waktu 30 menit. Pasien yang distabilisasi kemudian
dipindahkan ke RSUP Dr lembaga hub. Tidak ada efek samping selama
transfer di antara 75 pasien yang stabil; 32 pasien habis hidup-hidup; dan
30 pasien masih hidup pada 1 tahun. Selain itu, tim perjalanan klinik
Arizona Mayo juga porting pengalaman awal dengan 27 pasien dari 18
rumah sakit umum, di antaranya 56% selamat keluar dari rumah
sakit. 14 Secara keseluruhan, studi ini menunjukkan menambahkan
kelayakan tim CS seluler yang bias berhasil memfasilitasi dukungan dan
perawatan dini di klien dengan CS dalam model hub-and-spoke.

K. Penerimaan CICU vs. ICU


Banyak pusat perawatan tersier kontemporer yang dimiliki oleh CICU
berevolusi menjadi lingkungan perawatan kritis untuk pasien dengan
diagnosis kardiovaskular primer, dengan ketajaman dan teknologi terapi
yang mencerminkan banyak dari mereka ICU. 146.147 Meskipun lingkungan
CICU mungkin yang terbaik cocok untuk memusatkan perawatan jantung
pasien dengan CS, at- cenderung ahli jantung dan tim mungkin tidak
memiliki dedi- pelatihan yang sudah ditentukan untuk membahas organ
multisistem tambahan kegagalan sering dikaitkan dengan CS. Sebaliknya,
meskipun ICU mungkin cocok untuk mengelola organ nonkardiak
kegagalan, survei telah melaporkan bahwa peserta ICU mungkin tidak siap
untuk mengelola penyakit kardiovaskular dan untuk membentuk prosedur

23
kardiovaskular yang umum. Berbasis ICU studi observasional telah
melaporkan peningkatan hasil dalam model kepegawaian unit
tertutup. 149 Selain itu, di CICU, ada bukti yang muncul dari penelitian
sebelum dan sesudah transisi dari model perawatan intensitas rendah
terbuka ke model unit tertutup dengan hati-hati yang dipimpin oleh yang
terlatih ganda ahli jantung-intensivist dapat meningkatkan hasil; namun,
studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi independen pengaruh
pelatihan staf dan dokter.

L. Saran untuk Pengembangan Sistem


Kami tidak menganjurkan untuk CICU atau ICU sebagai unit CS yang
ditunjuk. Sebaliknya, kami menyarankan itu setiap pusat hub tersier
mengembangkan jalur perawatan untuk hati yang komprehensif,
kolaboratif, dan multidisci perawatan plastik yang diuraikan dalam Tabel 2.

M. Regionalisasi Perawatan CS
Pengembangan dan implementasi sistem untuk merampingkan
perawatan dan mengoptimalkan hasil pasien dengan CS memiliki tantangan
terkait dengan keputusan triase Sions, kebutuhan untuk keahlian dengan
MCS, identifikasi pusat perawatan tersier untuk berfungsi sebagai hub,
pelatihan tim, dan alokasi sumber daya untuk tim transportasi bergerak. Al-

24
meskipun banyak dari pelajaran yang dipetik selama implementasi dapat
menyebutkan sistem perawatan OHCA dan STEMI diterapkan dalam sistem
regional untuk CS, pengembangan dan koordinasi yang diperlukan untuk
perawatan CS akan miliki tantangan unik. Hambatan dan solusi potensial
adalah ditampilkan dalam Tabel Tambahan 3 . Model yang diusulkan untuk
perawatan regional CS disediakan pada Gambar 3. Kepemimpinan
organisasi nasional dan regional pemerintah akan diminta untuk
mempelopori imple- mentasi sistem perawatan CS hub-and-spoke. Pusat
pusat akan diminta untuk membuat multidisistem seluler tim CS disiplin
tersedia 24 jam sehari, 7 hari a minggu untuk konsultasi di tempat atau di
luar kantor, rujukan, dan Penyisipan ECMO / MCS. Selain itu, pusat hub
akan diminta untuk mengidentifikasi unit CS dengan keahlian dan sumber
daya yang diuraikan di atas. Karena berbicara hospitals akan memiliki
ketajaman pasien bervariasi dan terapi teknologi ini, termasuk PCI dan MCS
sementara, masing-masing rumah sakit harus mengembangkan
pengobatan CS Algoritma menurut kemampuan di tempat dan
keahlian. Protokol regional harus menstandarisasi man- praktik agement,
memberikan parameter kesia-siaan, dan menentukan waktu transfer
setelah diagnosis CS tahan api didirikan.

N. Pelaporan Publik
Meskipun pelaporan publik dapat meningkatkan akuntabilitas dan
mempromosikan perawatan yang lebih baik, mungkin cenderung
konsekuensi dari mendorong risiko menjadi enggan keresahan di antara
dokter dan keengganan untuk mengobati CS (suatu kondisi yang secara
historis memiliki risiko lebih tinggi kematian prosedural). Sekuel malang
untuk pasien dengan CS adalah bahwa ini juga telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian akibat dari perawatan ulang. Solusi yang telah
dilakukan di Indonesia Negara Bagian New York akan mengeluarkan semua
pasien dengan CS darpelaporan publik.

25
O. Pertimbangan untuk Pelaporan Publik
Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan hasil pasien, kami
menyarankan agar pasien dengan CS dikeluarkan dari p elaporan publik,
atau pelaporan harus dilaksanakan hanya setelah semua proses, hasil,
keamanan, dan ekonomi tindakan diidentifikasi dengan jelas dan
disesuaikan dengan risiko.

P. Manajemen CS Reperfusi dan Revaskularisasi pada CS


Reperfusi koroner adalah yang berbasis bukti andalan intervensi
terapeutik untuk pasien dengan MI akut presentasi dengan CS. Pada bagian
ini, reperfusi dan teknik revaskularisasi dan tambahan lainnya terapi yang
digunakan dalam manajemen CS ditinjau (Tabel Tambahan 4). Usulan
perawatan CS terpadu jalur diuraikan pada Gambar 4.

26
Terapi Fibrinolitik

Sangat sedikit studi terkontrol plasebo fibrinolisis miliki termasuk pasien


dengan CS. Studi awal menunjukkan tidak manfaat bertahan hidup dari
streptokinase dibandingkan plasebo, sedangkan hasil campuran
membandingkan streptokinase dengan plas jaringan aktivator minogen
telah dilaporkan pada pasien kecil kohort. Meskipun uji coba GUSTO-1 yang
besar (Global Pemanfaatan Activator Plasminogen Tissue dan Strep-
tokinase untuk Arteri Koroner Tersumbat) menunjukkan tis- menuntut
aktivator plasminogen agar lebih unggul daripada streptoki- dalam populasi
keseluruhan, tidak ada kematian substansial manfaat diamati antara
strategi fibrinolitik di antara hampir 3000 pasien dengan CS. Selaintion,
pasien yang diobati dengan aktivator plasminogen jaringan.

Saran / Pertimbangan untuk Praktek Klinis

Kami menyarankan bahwa ketika pendekatan invasif dini dapat tidak dapat
diselesaikan secara tepat waktu, fibrinolisis bias dipertimbangkan dalam CS
yang terkait dengan STEMI. Keputusan untuk Pemberian fibrinolisis harus
dilakukan secara individual pada dasar manfaat reperfusi yang dirasakan,
risiko perdarahan, dan penundaan waktu yang diantisipasi untuk angiografi.

27
Strategi Invasif Awal di CS

Dua uji acak dievaluasi apakah invasif dini terapi dengan kateterisasi
jantung diikuti oleh PCI atau CABG dapat meningkatkan kelangsungan
hidup di CS. SMASH (Swiss Multicenter Trial of Angioplasty for Shock),
diterbitkan pada tahun 1999, secara acak hanya 55 pasien dan dilaporkan
tidak ada pengurangan signifikan dalam tingkat kematian 30
hari. Percobaan SHOCK mengacak 302 pasien secara acak strategi invasif
dini dengan pemulihan darurat yang dimaksudkan kularisasi (dalam 12 jam
dari onset kejut) atau awal stabilisasi medis. 9 Seperti yang disebutkan
sebelumnya, Titik akhir mary dari semua kematian selama 30 hari adalah
non- secara signifikan lebih rendah pada kelompok invasif (46,7%
dibandingkan 56.0%; P = 0,11); Namun, angka kematian secara signifikan
lebih rendah pada 6 bulan, pada 12 bulan (13% perbedaan mutlak
ferensi; P = 0,03), dan melalui tindak lanjut jangka panjang (6
tahun). Pasien diskrining tetapi tidak secara acak ke dalam sidang SHOCK
dimasukkan ke dalam prospektif registri yang memfasilitasi validasi temuan
percobaan dan tambahan analisis subkelompok penting. Pertama, uji coba
SHOCK melaporkan interaksi pengobatan usia dimana pasien lansia (> 75
tahun) menderita CS hasil yang lebih buruk ( P = 0,01). 9 Analisis registri
SHOCK dan analisis gabungan dari uji coba SMASH dan SHOCK
menunjukkan tidak ada interaksi usia pengobatan dengan 12 bulan
kematian. Kedua, wanita dengan CS terkait MI lebih sering lebih
tua. Sidang dan obrolan SHOCK penelitian servasional melaporkan tidak
ada hasil terkait jenis kelamin perbedaan. Ketiga, pengobatan invasif dini
Pendekatan memiliki manfaat yang konsisten di berbagai ras dan
subkelompok etnis. Keempat, diabetes mellitus indikator prognostik yang
merugikan di antara pasien dikasihani dengan MI dan lebih sering dikaitkan
dengan penyakit multivessel. Pasien diabetes dan nondiabetes pasien
memiliki manfaat kematian yang serupa dalam percobaan SHOCK meskipun

28
prevalensi yang lebih besar dari arteri koroner 3-kapal penyakit dan tingkat
revaskularisasi bedah yang lebih tinggi di antara penderita diabetes.
Akhirnya, itu telah mapan bahwa reperfusi cepat sangat penting dalam
pengelolaan yang efektif. pengembangan STEMI. Namun, dalam uji coba
SHOCK, ada tidak ada interaksi yang signifikan antara waktu dari Onset CS
untuk revaskularisasi dan mortalitas. Sebaliknya, data registri lainnya
menunjukkan korelasi yang kuat antara waktu dan hasil.

Saran untuk Praktek Klinis

Kami mendukung pedoman yang merekomendasikan investasi awal sive


strategi dengan revaskularisasi yang tepat untuk semua pasien yang sesuai
dengan dugaan CS terkait ACS, termasuk pasien dengan status neurologis
yang tidak pasti atau mereka yang telah menerima fibrinolisis sebelumnya,
terlepas dari penundaan waktu dari onset MI.

Strategi PCI

Pasien dalam percobaan SHOCK yang berhasil dan PCI yang tidak berhasil
memiliki tingkat kematian 35% dan 80%, masing-masing. 9 Mayoritas
peserta memiliki penyakit pembuluh dan direvaskularisasi dengan balon
angioplasti. 171.172 Hanya 34% pasien yang menerima stent (tidak ada
dengan stent obat-eluting [DES]). Terutama, khususnya, lebih-lebih, PCI
lebih sukses ketika stent digunakan (93% vs 67%; P = 0,013), menunjukkan
hasil superior dengan stent digunakan dalam populasi CS. Pilihan bare
metal stent versus DES belum diteliti dengan seksama. SEBUAH registri
Swiss besar dibandingkan pasien dengan CS yang diobati dengan stent
logam telanjang atau DES dalam kecenderungan-cocok analisis dan
melaporkan semua penyebab jangka panjang yang lebih rendah di antara
pasien yang diobati dengan DES. Di yang lain seri Belanda yang besar, tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam stent tingkat trombosis diamati dalam

29
perbandingan platform stent dalam populasi CS. dalam sub-baru-baru ini
analisis uji coba IABP-SHOCK II, tidak ada perbedaan dalam hasil antara DES
dan bare metal stent adalah diamati. Perbedaan hasil terkait dengan
lengkap revaskularisasi versus PCI-satunya penyebab tetap tidak jelas. Pada
pasien stabil dengan STEMI yang menjalani PCI primer, pengobatan
pembuluh darah pelakunya dan nonculprit tampakny aman dan dapat
dikaitkan dengan peningkatan datang. Beberapa penelitian observasional
telah dilaporkan potensi manfaat dengan multivessel PCI di CS, sedangkan
pedoman praktik klinis merekomendasikan PCI nonkriprit untuk stenosis
kritis (diameter ≥90%) atau sangat tidak stabil ble lesions. ” Uji coba
CULPRIT -SHOCK (Culprit Hanya Lesi PCI Versus Multivessel PCI dalam
Kardiogenik Shock), dirancang untuk menjadi uji coba CS terbesar yang
pernah ada, saat ini mendaftarkan pasien untuk menguji pertanyaan ini
secara pro mode spektif, acak.

Saran untuk Praktek Klinis

Singkatnya, bukti terus mendukung awal revaskularisasi pasien dengan CS


setelah ACS, dengan PCI atau CABG digunakan seperti yang
ditunjukkan. Sampai hasilnya CULPRIT-SHOCK tersedia, revaskularisasi baik
pelakunya dan non-hemodinamik signifikan stenosis pelakunya masuk
akal. Kami mendukung Ential penggunaan akses arteri radial untuk
angiografi dan PCI jika memungkinkan.

Farmakoterapi antitrombotik Tambahan untuk PCI

Ada data terbatas untuk mendukung penggunaan antiplate- biarkan agen,


termasuk aspirin, dalam pengaturan CS, dan sebagian besar data
disimpulkan dari populasi MI yang lebih stabil lations. Selain itu, penelitian
menunjukkan buruk penyerapan gastrointestinal dari obat-obatan ini di
pengaturan MI, masalah yang mungkin diperburuk CS. The ISAR-SHOCK

30
(Studi Keberhasilan LV Assist Design sebaliknya untuk Mengobati Pasien
Dengan Syok Kardiogenik) coba, termasuk pasien dengan CS yang menjalani
PCI yang memiliki penilaian fungsi trombosit setelah menerima
ing inhibitor P2Y 12 oral , melaporkan bahwa prasugrel adalah terkait
dengan pengurangan yang tidak signifikan dalam 30 hari kematian. Dalam
analisis sekunder dari IABP-SHOCK Percobaan II, tidak ada perbedaan
dalam mortalitas atau perdarahan- Peristiwa dalam perbandingan
clopidogrel, prasugrel, dan ticagrelor pada pasien dengan MI akut yang
rumit oleh CS. Selain itu, masing-masing inhibitor P2Y 12 ini adalah
dimetabolisme oleh ≥1 isoenzim dalam sitokrom P450 jalan. Pada pasien
dengan CS yang kemungkinan sudah memiliki penurunan penyerapan obat
oral, coadminis- trasi induser kuat atau penghambat isoen- zymes atau
agen yang selanjutnya dapat mengganggu penyerapan mungkin berpotensi
mengurangi kemanjuran obat atau meningkatkan perdarahan; Namun,
tidak ada data tersedia di populasi CS. Inhibitor glikoprotein IIb / IIIa
abciximab adalah agen antiplatelet yang paling banyak dipelajari di klien
dengan CS menjalani PCI. Studi observasi telah melaporkan darah koroner
postprocedural yang lebih baik mengalir dan menurunkan angka kematian
di rumah sakit, terutama ketika dikombinasikan dengan penempatan
stent. Sebuah acak kecil percobaan 80 pasien dengan CS yang menerima
prepro- cedural abciximab tidak menemukan perbedaan dalam mortalitas
dengan penggunaan di muka versus sementara, tetapi administrasi awal-
trasi meningkatkan perdarahan. Heparin yang tidak terfraksi adalah anti-
koagulan di MI dan CS, namun sedikit yang diketahui tentang agen
antikoagulan yang tepat untuk populasi ini. Heparin dan fondaparinux
dengan berat molekul rendah pengaturan post-PCI mungkin kurang ideal
karena tingginya prevalensi cedera ginjal akut pada CS. Penggunaan
Bivalirudin dalam serangkaian 86 pasien dengan CS dikaitkan dengan
mortalitas di rumah sakit yang lebih rendah dan tingkat mayor yang serupa

31
perdarahan dibandingkan dengan heparin, tetapi observasional alam
menghalangi kesimpulan kausal.

Saran untuk Praktek Klinis

Kami menyarankan agar semua pasien dengan CS tanpa serius komplikasi


pendarahan dapat dilanjutkan dengan dual antiplate- biarkan terapi tanpa
gangguan setelah PCI. Dalam situasi ketika agen oral tidak dapat diberikan
atau ada kekhawatiran tentang penyerapan, penggunaan intravena
glikoprotein IIb / IIIa inhibitor atau obat yang baru-baru ini tersedia
cangrelor inhibitor P2Y 12 travenous dapat dipertimbangkan. Tidak ada
data berkualitas tinggi yang tersedia untuk mendukung efisiensi cy atau
keamanan inhibitor glikoprotein IIb / IIIa pada pasien dengan MCS.

Pertimbangan untuk Praktek Klinis

Secara keseluruhan, manajemen antikoagulasi optimal pilihan dalam


pengaturan PCI untuk CS masih belum jelas, dan kami mendukung
rekomendasi berikut dalam PCI pedoman untuk pasien tanpa CS. 176 Pada
pasien membutuhkan- Sebagai antikoagulan lanjutan setelah PCI, kami
menyarankan penggunaan preferensial heparin unfractionated intravena
mengingat tingginya prevalensi dan cedera ginjal akut cedera hati akut
pada populasi CS.

Bypass Arteri Koroner

Dalam uji coba SHOCK, mayoritas pasien ditemukan untuk memiliki


penyakit multivessel: in1 dalam 5 telah meninggalkan perusahaan utama
stenosis arteri nary, tetapi hanya 37% yang menjalani CABG. Tingkat
kematian pada 1 tahun serupa di antara mereka diobati dengan PCI (48%)
dan mereka yang diobati dengan CABG (53%) ketika diacak untuk
revaskularisasi awal strategi

32
STEP 7
(TERLAMPIR)

33
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit
tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat, untuk itu perlu adanya
standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan
gawat darurat dengan respons time yang cepat dan tepat, salah satu penyakit
kegawatdaruratan yaitu penyakit kardiovaskular (KepMenKes, 2009).
Penyakit kardiovaskular menempati urutan pertama penyebab kematian
di seluruh dunia. Dari seluruh kematian ini, sebanyak 80% disebabkan karena
serangan jantung dan stroke, dan tiga perempat kejadian terjadi di negara
dengan ekonomi menengah ke bawah (WHO, 2014).
Salah satu komplikasi paling berbahaya dari penyakit kardiovaskular
adalah kejadian syok kardiogenik. Syok kardiogenik merupakan suatu
keadaan penurunan curah jantung dan perfusi sistemik pada kondisi volume
intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia jaringan.
Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik adalah adanya hipoperfusi
sistemik yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan bukti volume
intravaskular yang adekuat (Morton, 2013).
Di Amerika Serikat, insiden syok kardiogenik pada pasien dengan
infark miokardium akut sebesar 5-10%. Di Eropa, prevalensi syok
kardiogenik setelah terjadinya infark miokardium sebesar 5-15%.
Berdasarkan ras, Asia memiliki insidensi syok kardiogenik lebih tinggi (11,4
%) dibandingkan dengan pasien berkulit putih (8%,) hitam (6,9%), dan
hispanik (8,6%) (WHO, 2014).
Syok kardiogenik sebenarnya adalah gagal jantung kongestif ekstrem
yang disebabkan oleh penurunan fungsi kontraktil jantung yang parah.
Biasanya, syok kardiogenik didiagnosis berdasarkan adanya perubahan
hemodinamik sistemik dan paru, yang disebabkan oleh curah jantung dan

34
perfusi jaringan yang tidak adekuat. Khasnya, ini terjadi jika lebih dari 40%
massa ventrikel rusak (Morton, 2013).
Delapan puluh persen syok kardiogenik disebabkan oleh gangguan
ventrikel kiri akibat infark miokard akibat elevasi ST. Selain karena disfungsi
miokard, penurunan kontraktilitas jantung, obstruksi aliran ventrikel keluar
jantung, kelainan pengisian ventrikel, disritmia, dan defek septum juga turut
menggagalkan fungsi jantung. Mortalitas akibat syok kardiogenik adalah
sekitar 50% (Sjamsuhidajat, 2014). Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui
asuhan keperawatan pada kegawatdaruratan pasien yang mengalami syok
kardiogenik.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep syok kardiogenik dan asuhan keperawatan
kegawatdaruratan pada pasien yang mengalami syok kardiogenik, serta
sebagai pemenuhan tugas kelompok mata kuliah sistem
kegawatdaruratan.
2. Tujuan Khusus
2.1 Untuk mengetahui definisi syok kardiogenik.
2.2 Untuk mengetahui etiologi syok kardiogenik.
2.3 Untuk mengetahui patofisiologi syok kardiogenik.
2.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis syok kardiogenik.
2.5 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang syok kardiogenik.
2.6 Untuk mengetahui klasifikasi syok kardiogenik.
2.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan syok kardiogenik.
2.8 Untuk mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada syok
kardiogenik.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan
dengan mengambil literatur dari buku, internet, dan jurnal mengenai syok
kardiogenik.
D. Sistematika Penulisan

35
Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar, daftar isi. BAB I
pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan. BAB II pembahasan tentang syok kardiogenik
meliputi definisi, etiologi, patofisologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, klasifikasi, penatalaksanaan. BAB III asuhan keperawatan
berdasarkan kasus. BAB IV penutup yaitu berisi kesimpulan dan saran, dan
diakhiri dengan daftar pustaka.

36
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Jantung
Sistem karidovaskular terdiri dari jantung, pembuluh darah
dan darah. Secara sederhana, fungsi utamanya adalah untuk distribusi
oksigen dan nutrisi (misalnya glukosa, asam amino) ke semua jaringan
tubuh, pengangkutan karbondioksda dan produk limbah metabolik
(misalnya urea) dari jaringan ke paru-paru dan organ eksretoris,
distribusi air, elektrolit dan hormon di seluruh sel tubuh, dan juga
berkontribusi terhadap infrastruktur sistem kekebalan tubuh dan
termoregulasi (Aaroson et al, 2013).

Gambar 1.1 Stuktur Anatomi Jantung Bagian Dalam (Tortora, 2014).

Jantung adalah organ dengan empat berangka dan berotot yang


terletak pada rongga dada, dibawah perlindungan tulang rusuk, dan sedikit
ke kiri sternum. Jantung berada didalam kantung yang berisi cairan yang

37
longgar, yang disebut dengan perikardium. Keempat ruangan jantung yaitu
atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan kanan. Atria duduk berdampingan
diatas ventrikel. Atrium dan ventrikel dipisahkan satu sama lain
dengankatup satu arah. Sisi kanan dan kiri jantung dipisahkan oleh dinding
jaringan yang disebut dengan septum (Lazenby et al, 2011).

Bentuk dan Ukuran Jantung


Jantung relatif kecil, kira-kira berukuran sama seperti kepalan
tangan yang tertutup. Sekitar 12 cm (5 inci) untuk panjangnya, 9 cm (3,5
inci) untuk lebarnya dan 6 cm (2,5 inci) untuk tebalnya, dengan massa
rata-rata 250 g pada perempuan dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Hati
bertumpu pada diagfragma, berada didekat garis garis tengah rongga
toraks. Jantung terletak pada mediastinum, sebuah wilayah yang anatomis
dan memanjang dari sternum ke kolom vertebra, dari yang pertama tulang
rusuk ke diagfragma, dan diantara paru-paru. Sekitar dua pertiga massa
jantung terletak pada sebelah kiri garis tengah tubuh. Ujung apeks
terbentuk oleh ujung ventrikel kiri (ruang bawah jantung) dan terletak
diatas digfragma yang mengarah kearah anterior, inferior, dan ke kiri.
Dasar jantung berlawanan dengan apeks dan posteriornya aspek yang
terbentuk oleh atria (bilik atas) jantung, kabanyakan atrium kiri (Tortora,
2014). Seperti pada gambar dibawah ini :

38
Gambar 1.2 Pandangan Inferior Bagian Melintang dari Rongga Toraks
Menunjukkan Jantung di Mediastinum (Tortora, 2014)
.

Gambar 1.3 Pandangan Anterior Jantung di Rongga Toraks (Tortora,


2014).

Posisi jantung terletak diantara kedua paru-paru dan berada di


tengah-tengah dada, bertumpu pada diagfragma thoracis. Selaput yang
membungkus jantung disebut dengan perikardium yang terdiri dari lapisan
fibrosa dan serosa. Epikardium adalah lapisan lapisan terluar dari jantung.
Sedangkan, lapisan berikutnya adalah lapisan mioardium, lapisan yang
paling tebal. Miokardium merupakan lapisan otot jantung yang berperan
sangat penting dalam memompa darah melalui pembuluh arteri. Sementara
itu, lapisan paling akhir jantung adalah endokardium (Smeltzer, 2001).

Otot Jantung
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan mulai dari luar ke dalam
yaitu :
Epikardium
Epikardium berfungsi sebagai pelindung jantung atau
merupakan kantong pembungkus jantung yang terletak pada
mediastinum minus dan dibelakang korpus stemi dan rawan iga II-IV

39
yang terdiri dari 2 lapisan fibrosa dan serosa yaitu lapisan parietal dan
viseral. Diantara dua lapisan jantung ini terdapat lender yang
digunakan sebagai pelicin untuk menjaga agar gesekan perikardium
tidak mengganggu jantung (Syaifuddin, 2009).

40
Miokardium
Miokardium tersusun atas miosit-miosit jantung (sel otot) yang
memperlihatkan struktur subseluler lurik. Sel miosit berukuran relatif kecil
(100 x 20 �m ) dan bercabang, dengan nukleus tunggal, sel miosit kaya
akan mitokondria (Aaronson & Jeremy, 2010).
Endokardium
Dinding dalam atrium yang meliputi membran yang mengkilat
yang terdiri dari jaringan endotel atau selaput lender endokardium kecuali
aurikula dan bagian depan sinus vena kava (Syaifuddin, 2009).

Ruang-ruang Jantung
Jantung mempunyai empat rongga, yang terdiri dari dua atrium dan
dua ventrikel. Dimana kedua ventrikel jantung dipisahkan oleh septum
interventriculare (Wibowo,2015).
Atrium cordis dextrum
Atrium cordis dextrum akan menerima darah dari v.cava inferior
dari tubuh bagian inferior dan dari v.cava superior dari tubuh bagian
superior (Wibowo,2015).
Ventriculus cordis dexter
Berhubungan dengan atrium kanan melalui osteum atrioventrikel.
Dinding ventrikel kanan jauh lebih tebal dibandingkan atrium kanan yang
terdiri dari :
1. Valvula trikuspidal
2. Valvula pulmonalis (Syaifuddin, 2009)
Atrium cordis sinistrum
Darah yang kaya oksigen dari paru masuk ke atrium cordis
sinistrum melalui vv. Pulmonalis (Wibowo, 2015).
Ventrikulus cordis sinister
Dari atrium cordis sinistrum, darah akan mengalir melalui ostium
atrioventriculare sinistrum dan kemudian mengisi ventrikuls cordis
sinistrer (Wibowo, 2015)

41
B. Definisi
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau
gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang
luas. Otot jantung kehilangan kekuatan kontraktilitasnya, menimbulkan
penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat keorgan
vital (jatung, otak, ginjal). Derajat syok sebanding dengan disfungsi ventrikel
kiri. Meskipun syok kardiogenik sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun
bisa juga terjadi pada tamponade jatung, emboli paru, kardiomiopatik
disritmia (Smeltzer, 2013).
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung
dan perfusi sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat,
sehingga menyebabkan hipoksia jaringan. Istilah syok kardiogenik ini
pertama sekali disampaikan oleh Stead dimana saat itu dilaporkan 2 orang
pasien yang disebutkan mengalami “syok yang diakibatkan oleh jantung
(shock of cardiac origin)”. Belakangan istilah ini kemudian berubah menjadi
syok kardiogenik (Harahap dkk, 2013).
Syok kardiogenik merupakan fungsi baik untuk volume sekuncup
maupun frekuensi jantung, jika volume sekuncup dan frekuensi jantung yang
menurun atau menjadi tidak teratur, tekanan darah akan turun dan perfusi
jaringan akan terganggu. Bersama dengan jaringan dan organ lain mengalami
penurunan suplai darah, otot jantung sendiri menerima darah yang tidak
mencukupi dan mengalami kerusakan perfusi jaringan (Arif Mutaqin, 2009).
C. Etiologi
Penyebab kegagalan pompa ini menyebabkan multifaktorial antara lain
kehilangan daya kontraksi pada infark, penurunan daya kontraksi karena
gagal jantung, aritmia, perforasi septal ventrikular, penyakit katup jantung
tamponade, pneumotorak, ventil, dan peninggian kontraksi ventrikular
afterload pada ventrikel kanan yang disebabkan oleh emboli paru dan
hipertensi pulmonal, akan tetapi sebab terbanyak adalah infark miokardium
(Arif Mutaqin, 2009).

42
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang
terjadi pada jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi
katup, aritmia, penyakit jantung koroner, komplikasi mekanik. Karena
besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi etiologi terhadap syok
kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu, banyak pula
kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan,
contohnya pemberian penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat
dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada anak-anak penyebab tersering
adalah miokarditis oleh karena infeksi virus, kelainan congenital dan
konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung (Harahap dkk, 2013).
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2
yakni kegagalan Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-
penyebab kegagalan jantung kiri antara lain : (1) disfungsi sistolik yakni,
berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang paling sering adalah
infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya adalah
hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan miokard
(penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia),
kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan metabolic (asidosis
metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati
end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas
jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin,
adriamycin). (2) disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya
kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu dapat pula terjadi pada tahap lanjut
syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang dapat menyebabkannya
antara lain : iskemik, hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok
hipovolemik dan syok septik yang berlama-lama, kompresi eksternal akibat
tamponade jantung (3) Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat
terjadi pada keadaan stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, koarktasio
aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini
dapat terjadi pada keadaan mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan
aorta, obstruksi yang disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur

43
ataupun disfungsi otot-otot papilaris, ruptur septum dan tamponade. (5)
Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark
ventrikel kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa
antara lain: (1) peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli
paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi arteri pulmonalis dan
penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak
akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2)
Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik.
Sementara bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang
disebabkan oleh etiologi lain. Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat
menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok (Harahap dkk, 2013).
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark
miokard akut atau non-infark miokard seperti berikut ini :
1) Infark miokard akut
a) Kegagalan pompa jantung
Infark luas, > 40% ventrikel kiri
Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat
infark sebelumnya
Infark yang meluas
Reinfark
b) Komplikasi mekanik
Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda
tendinea.
Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum
intraventrikular.
Ruptur dinding ventrikel kiri.
Tamponade perikard
c) Infark ventrikel kanan
Kondisi lain
d) Kardiomiopati tahap akhir (end stage)

44
e) Miokarditis
f) Syok septik dengan depresi miokard berat
g) Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
Stenosis aorta
Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
h) Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
Stenosis mitral
Myxoma atrium kiri
i) Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
j) Insufisiensi katup aorta akut
k) Kontusio miokardial
l) Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang
tidak mudah. Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi
penting dalam menentukan etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan
utama pasien yang masuk adalah nyeri dada, maka hal yang dapat
diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau tamponade
perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka
dapat dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-
otot papillaris, penyakit akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada
syok kardiogenik merupakan suatu indikasi untuk segera dilakukan
pemeriksaan echocardiography (Harahap dkk, 2013).
D. Patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi
patofisiologi gagal jantung. kerusakan jantung mengakibatkan penurunan
curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria
keorgan-organ vital. Aliran darah kearteri koroner berkurang, sehingga
asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan
iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa.
(Smeltzer, 2013)

45
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi
cepatdan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dn
agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
(Smeltzer, 2013)
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen kejantung. Seperti
gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonar untuk mengukur tekanan
ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya
masalah dn mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan.peningkatan
tekananan akhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP=Left
Ventrikel End Diastolik Presure) menunjukan bahwa jantung gagal untuk
berfungsi sebagai pompa yang efektif. (Smeltzer, 2013).
Sekitar 15% kejadian syok kardiogenik merupakan komplikasi dari klien
infark miokardium akut, dimana terjadi penurunan curah jantung karena tidak
adekuatnya tekanan pengisian ventrikel kiri (Left Ventricular Filling
Pressure- LVFP). Ketika sekitar 40% daerah ventrikel mengalami infark
maka terjadi peningakatan kemungkinan terjadinya syok kardiogenik. (Arif
Mutaqin, 2009).
Kerusakan miokardium baik iskemia dan infark pada miokaridum
mengakibatkan perubahan metabolisme dan terjadi asidosis metabolik pada
miokardium yang berlanjut pada gangguan kontraktilitas miokardium yang
berakibat pada penurunan volume sekuncup yang dikeluarkan oleh ventrikel.
(Arif Mutaqin, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis
yang lengkap sangat penting untuk mendapatkan penyebabnya dan
menetapkan sasaran terapi untuk mengatasi penyebabnya. Syok kardiogenik
yang muncul akibat infark miokard biasanya muncul setelah pasien masuk ke
rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang ke rumah sakit
sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda hipoperfusi
(curah jantung yang rendah) yang terlihat dari adanya sinus takikardia,
volume urine yang sedikit, serta ekstremitas dingin. Hipotensi sistemik ( TDS

46
< 90mmHg atau turunnnya TD < 30 mmHg dari TD rata-rata) belakangan
akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi jaringan.
Kebanyakan pasien yang datang dengan infark miokard akut merasakan
nyeri dada yang muncul tiba-tiba seperti diperas atau ditimpa beban berat di
substernal. Nyeri ini dapat menyebar hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri
dada bisa saja tidak khas, terutama jika lokasinya hanya di epigastrium, leher
atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar, seperti ditusuk-tusuk atau
seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada pasien-pasien
diabetes dan usia tua. Gejala-gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti
mual, muntah, serta berkeringat. Riwayat penyakit jantung sebelumnya,
riwayat penggunaan kokain, riwayat infark miokard sebelumnya, atau riwayat
pembedahan jantung sebelumnya perlu ditanyakan. Faktor resiko penyakit
jantung perlu dinilai pada pasien yang disangkakan mengalami iskemik
miokardial. Evaluasinya antara lain mencakup riwayat hiperlipidemia,
hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta riwayat keluarga
yang mengalami penyakit jantung koroner premature. Keberadaan 2 atau
lebih faktor resiko meningkatkan kecenderungan suatu infark miokard.
Gejala-gejala lain yang berkaitan antara lain : diaphoresis, sesak nafas saat
beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop, sinkop, palpitasi, ansietas
generalisata serta depresi.
Syok kardiogenik didiagnosa jika ditemukan adanya disfungsi
miokardium setelah mengeksklusikan penyebab lain yang mungkin misalnya
hipovolemia, perdarahan, sepsis, emboli paru, tamponade perikard, diseksi
aorta atau penyakit katup jantung. Dikatakan syok jika terdapat bukti adanya
hipoperfusi organ yang dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik. Adapun
karakteristik pasien-pasien syok kardiogenik antara lain : a) Kulit berwarna
keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa muncul
gambaran mottled skin pada ekstremitas. b) Nadi cepat dan halus/lemah serta
dapat juga disertai dengan irama yang tidak teratur jika terdapat aritmia c)
Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak
harus selalu. Edema perifer juga biasanya bisa dijumpai. d) Suara jantung

47
terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV bisa terdengar e) Tekanan nadi
lemah dan pasien biasanya dalam keadaan takikardia f) Tampak pada pasien
tanda-tanda hipoperfusi misalnya perubahan status mental dan penurunan
jumlah urine g) Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan
regurgitasi mitral, murmur biasanya terdengar di awal sistol h) Dijumpainya
thrill parasternal menandakan adanya defek septum ventrikel (Harahap dkk,
2013).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium : seperti telah disampaikan sebelumnya, kunci
keberhasilan penatalaksanaan pasien syok kardiogenik adalah diagnosis yang
cepat, terapi suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi arteri koroner
yang tepat pada kasus iskemik dan infark miokard. Seluruh pasien yang
datang dengan syok harus dijajaki untuk tujuan diagnosis kerja dengan cepat,
resusitasi segera dan konfirmasi selanjutnya terhadap diagnosa kerja. Selain
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan seperti echocardiography,
toraks foto, angiografi, elektrokardiografi serta monitoring hemodinamik
invasif. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap
terutama berguna untuk mengeksklusikan anemia. Peningkatan jumlah
leukosit hitung menandakan kemungkinan adanya infeksi, sedangkan jumlah
platelet yang rendah mungkin disebabkan oleh koagulopati yang disebabkan
oleh sepsis. Pemeriksaan biokimia darah termasuk elektrolit, fungsi ginjal,
fungsi hati, bilirubin, aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), laktat dehidrogenase (LDH), dapat dilakukan untuk
menilai fungsi organ-organ vital. Pemeriksaan enzim jantung perlu dilakukan
termasuk kreatinin kinase dan subklasnya, troponin, myoglobin, dan LDH
untuk mendiagnosa infark miokard. Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan
yang paling spesifik namun dapat menjadi positif palsu pada keadaan
myopathy, hipotroidisme, gagal ginjal, serta injuri pada otot rangka. Nilai
myoglobin merupakan pemeriksaan yang sensitif pada infark miokard,
nilainya dapat meningkat 4 kali lipat dalam 2 jam. Nilai LDH dapat
meningkat pada 10 jam pertama setelah onset infark miokard dan mencapai

48
kadar puncak pada 24-48 jam, selanjutnya kembali ke kadar normal dalam 6-
8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan dalam mendiagnosa infark
miokard. Jika kadar troponin meningkat namun tidak dijumpai adanya bukti
klinis iskemik jantung, maka harus segera dicari kemungkinan lain dari
kerusakan jantung misalnya miokarditis. Kadar troponin T meningkat dalam
beberapa jam setelah onset infark miokard. Kadar puncak dicapai dalam 14
jam setelah onset, mencapai kadar puncak kembali pada beberapa hari setelah
onset (kadar puncak bifasik) dan tetap akan menunjukkan nilai abnormal
dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan kombinasi troponin T dan CK-MB
menjadi parameter diagnostik retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien
yang datangnya terlambat dari onset penyakit. Troponin T juga merupakan
suatu indikator prognostik independen sehingga dapat digunakan sebagai
stratifikator resiko pada pasien angina tidak stabil dan infark miokard
gelombang non-Q. pemerksaan analisa gas darah dapat melihat homeostasis
asam basa secara keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah di arteri.
Peningkatan defisit basa di darah berhubungan dengan keparahan syok dan
sebagai marker dalam pemantauan selama resusitasi terhadap pasien syok.
Pemeriksaan laktat serial bermanfaat sebagai marker hipoperfusi dan
indikator dari prognosis. Meningkatnya kadar laktat pada pasien dengan
adanya gejala hipoperfusi menunjukkan prognosis yang buruk. Meningkatnya
kadar laktat selama proses resusitasi menunjukkan mortalitas yang sangat
tinggi. Kadar brain natriuretic peptide (BNP) berguna sebagai pertanda
adanya gagal jantung kongestif dan merupakan suatu indikator prognostik
yang independen. Nilai BNP yang rendah dapat menyingkirkan syok
kardiogenik pada keadaan hipotensi. Namun demikian, nilai BNP yang
meningkat tidak serta merta dikatakan syok kardiogenik. Pemeriksaan
saturasi oksigen juga bermanfaat khusunya dapat mendeteksi defek septum
ventrikel.
Echocardiography : harus dilakukan secepatnya untuk menetapkan
penyebab syok kardiogenik. Echocardiography mampu memberikan
informasi tentang fungsi sistolik global dan regional serta disfungsi diastolik.

49
Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat mendiagnosa dengan cepat penyebab
mekanik syok seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding
miokardium, tamponade perikard, serta ruptur muskulus papilaris yang
menyebabkan regurgitasi miokardial akut. Selain itu, dapat pula ditentukan
area yang mengalami diskinetik atau akinetik pada pergerakan dinding
ventrikular atau dapat juga memperlihatkan disfungsi katup-katup. Fraksi
ejeksi juga dapat dinilai pada echocardiography. Jika ditemukan hiperdinamik
pada ventrikel kiri, maka penyebab lain harus ditelusuri seperti syok sepsis
atau anemia.
Radiografi toraks : sangat penting dilakukan untuk mengeksklusikan
penyebab lain syok atau nyeri dada. Mediastinum yang melebar mungkin
adalah suatu diseksi aorta. Tension pneumothorax atau pneumomediastinum
yang mudah ditemukan pada foto toraks dapat bermanifestasi syok dengan
low-output. Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik kebanyakan
memperlihatkan gambaran kegagalan ventrikel kiri berupa redistribusi
pembuluh darah peulmonal, edema paru interstisial, bayangan hilus melebar,
dijumpai garis kerley-B, kardiomegali serta effusi pleura bilateral. Edema
alveolar tampak pada foto toraks berupa opasitas perihilar bilateral (butterfly
distribution).
Ultrasonografi : dapat menjadi panduan dalam manajemen cairan. Pada
pasien yang bernafas spontan, vena kava inferior yang kolaps saat respirasi
menandakan adanya dehidrasi. Sedangkan jika tidak maka status cairan
intravaskular adalah euvolume.
Angiografi arteri koroner : perlu dilakukan segera pada pasien dengan
iskemik atau infark miokard yang mengalami syok kardiogenik. Angiografi
penting untuk menilai anatomi arteri koroner dan tindakan revaskularisasi
segera jika diperlukan. Pada kasus dimana ditemukan kelainan yang luas pada
angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik tidak dapat
berlangsung akibat beratnya aterosklerosis arteri koroner. Penyebab tersering
syok kardiogenik adalah infark miokard yang luas atau infark yang lebih kecil
pada pasien yang sebelumnya telah mengalami dekompensasi ventrikel kiri.

50
Elektrokardiografi Iskemik miokard akut didiagnosa berdasarkan munculnya
elevasi segmen ST, depresi segmen ST, gelombang Q. Inversi gelombang T,
meskipun paling tidak sensitif, dapat pula terlihat pada orang-orang dengan
iskemik miokard. EKG pada dada kanan dapat memperlihatkan adanya infark
pada ventrikular kanan selain sebagai diagnostik juga dapat berguna sebagai
faktor prognostik. Hasil EKG yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan infark miokard akut.3,11 Monitoring Hemodinamik Secara
Invasif Monitoring hemodinamik secara invasif (kateterisasi Swan-Ganz)
sangat bermanfaat untuk mengeksklusi penyebab dan jenis syok. Pemeriksaan
hemodinamik pada syok kardiogenik adalah PCWP lebih dari 18 mmHg dan
indeks kardiak < 2,2 L/mnt/m2. Meningkatnya tekanan pengisian jantung
kanan tanpa adanya peningkatan PCWP, menandakan infark pada ventrikel
kanan jika disertai dengan kriteria dari EKG. Meningkatnya saturasi darah
pada ventrikel dan atrium kanan merupakan diagnostik suatu ruptur septum
ventrikel (Harahap dkk, 2013).
G. Klasifiksi
Menurut Arif Mutaqin, 2009 syok dapat dibagi dalam 3 tahap yang
semakin lama semakin berat
1) Tahap I, syok berkompensasi (Non progresif), ditandai dengan respon
kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran lebih
lanjut.
2) Tahap II, tahap progresif, ditandai dengan manifestasi sistemis dari
hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ.
3) Tahap III, refrakter (Irrevisibel), ditandai dengan kerusakan sel yang hebat
tidak dapat lagi dapat dihindari, yang pada akhirnya menuju kematian.
H. Penatalaksanaan
1) Tindakan umum
Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik.
Setiap disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat
menyebabkan atau berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil
pengukuran tekanan diduga atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau

51
volume intravaskuler rendah, pasien harus diberi infus IV untuk
menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi. Bila terjadi hipoksia,
berikan oksigen, kadang dengan tekanan postif bila aliran biasa tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
2) Farmakoterapi
Terapi medis dipilih dan diarahkan sesuai curah jantung dan tekanan
darah arteri rerata. Salah satu kelompok obat yang digunakan adalah
katekolamin yang dapat meningkatkan tekananan darah dan curah
jantung. namun demikian mereka cenderung meningkatkan beban kerja
jantung dengan meningkatkan kebutuhan oksigen.
Bahan pasoaktif seperti natrium nitroprusida dan nitrogliserin adalah
obat yang efektif untuk tekanan darah sehingga kerja jantung menurun.
Bahan- bahan ini menyebabkan arteri mengalami vena dilatasi, sehingga
menimbulkan lebih banyak pintasan volume intravaskuler ke perifer dan
menyebabkan penurunan preload dan afterload. Bahas pasoaktif ini
biasanya diberikan secara dopamin, suatu pasofesor yang membantu
memelihara tekanan darah yang adekuat. (Smeltzer, 2013).
Tindakan farmakologi konvensional dengan mengoptimalkan beban
awal, beban akhir, dan kontratilitas, adalah sebesar 100% tingkat
kelangsungan hidup bergantung dari efektivitas tindakan membatasi
meluas nya infark dan menyelamatkan miokardium yang terserang,
dengan demikian mengurangi kemungkinan gangguan ventrikel yang
berat (Arif Mutaqin, 2009).
3) Pompa balon intra aorta
(IABP=Intra balon aorta pompa) IABP menggunakan
counterpulsation internal untuk menguatkan jantung dengan cara
pengembangan dan pengempisan balon secara teratur yang diletakan
diaorta desendens. Alat ini dihubungkan dengan ktak pengontrol yang
seirama dengan aktifitas elektrokardiogram. Pemantauan hemodinamika
yang juga sangat penting untuk menentukan status sikulasi pasien selama
penggunaan IABP.

52
Balon dikembangkan selana diastole ventrikel dan dikempiskan
selama sistol dengan kecepatan yang sama dengan frekuensi jantung.
IABP akan menguatkan diastol, yang mengakibatkan peningkatan perfusi
arteria koronaria dan jantung. IABP dikempiskan selama sistol, yang
akan mengalami beban kerja (Smeltzer, 2013)

53
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

54
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu komplikasi paling berbahaya dari penyakit kardiovaskular
adalah kejadian syok kardiogenik. Syok kardiogenik merupakan stadium
akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila
ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan
kekuatan kontraktilitasnya, menimbulkan penurunan curah jantung dengan
perfusi jaringan yang tidak adekuat keorgan vital (jatung, otak, ginjal).
Derajat syok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok
kardiogenik sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa juga terjadi
pada tamponade jatung, emboli paru, kardiomiopatik disritmia (Smeltzer,
2013).
Penyebab kegagalan pompa ini menyebabkan multifaktorial antara lain
kehilangan daya kontraksi pada infark, penurunan daya kontraksi karena
gagal jantung, aritmia, perforasi septal ventrikular, penyakit katup jantung
tamponade, pneumotorak, ventil, dan peninggian kontraksi ventrikular
afterload pada ventrikel kanan yang disebabkan oleh emboli paru dan
hipertensi pulmonal, akan tetapi sebab terbanyak adalah infark miokardium
(Arif Mutaqin, 2009).
Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik. Setiap
disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat menyebabkan atau
berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil pengukuran tekanan diduga
atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau volume intravaskuler rendah, pasien
harus diberi infus IV untuk menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi.
Bila terjadi hipoksia, berikan oksigen, kadang dengan tekanan postif bila
aliran biasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
B. Saran
Penulis menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami materi
mengenai konsep syok kardiogenik dan asuhan keperawatan

55
kegawatdaruratan pada syok kardiogenik. Bagi pembaca dan mahasiswa lain
yang ingin mengetahui dan memahami lebih dalam lagi mengenai materi ini,
maka dapat menjadikan makalah ini sebagai referensi. Penulis juga
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah
ini selanjutnya.

56
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Sari dkk. (2013). Syok Kardiogenik. Divisi Kardiologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. [on line]. Tersedia :
repository.usu.ac.id [28 September 2019]

Mutaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, Suzanne C. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 856 Tahun 2009


tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. 2009. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Morton, Patricia Gonce dkk. 2013. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan


Holistik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Sjamsuhidajat. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Bulechek, M G dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC), 6th


Indonesian Edition. Indonesia: Mocomedia.

Moorhead, Sue dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th


Indonesian Edition. Indonesia: Mocomedia.

Herdman, H T. 2018. Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan Klasifikasi 2018


2020. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

57
Aaronson, I. Philip. and Ward, P.T. Jeremy., 2010. At a Glance Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta : EGC.

Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Physiology 13th


Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

Lazenby RB. 2011. “The Pancreas and Diabetes Mellitus”. 4th edn, Wolter
Kluwer Health, p.672-680

Suzanne, C. Smeltzer. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. edisi 8. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Wibowo & Ponco. 2015. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Gagal
Jantung Di Rumah Sakit Muhammadiyah Babat Kabupaten Lamongan. Jurnal
surya Vol 07, No.02, Agustus 2015

58

Anda mungkin juga menyukai