TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Anatomi
Tindakan ekstubasi sama halnya dengan tindakan intubasi akan mengakibatkan
stimulasi nervus yang melewati rongga mulut, orofaring ataupun laring.
Intubasi trakhea dan laringoskopi merupakan salah satu proses yang paling
menyakitkan yang dapat terjadi pada tubuh manusia yang melibatkan respon
hemodinamik akut, yang dapat bertahan hingga 10 menit. Rangsangan
simpatoadrenal diikuti dengan pelepasan katekolamin merupakan sebagian penyebab
ketidakstabilan hemodinamik, yang biasanya ditandai dengan peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah.27
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama tingdakan laringoskopi.
10
Gambar 2.2.5.2-1. ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki2
11
12
Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal
notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada di atas
level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan
suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak
disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan
kecuali dalam ICU.2
13
Malposisi
Intubasi esophagus
Intubasi bronchial
Trauma jalan nafas
Gigi rusak
Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa
Dislokasi mandibula
Hipoksia, hiperkarbi
Hipertensi, takikardi
Hipertensi intracranial
Hipertensi intraokuler
Laringospasme
14
Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya sinus
bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak-anak kecil, akan tetapi
terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini dimediasi oleh
peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan adanya suatu
respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang terjadi.29
15
2.3 Nyeri
Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas,
cenderung rusak, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami
(International Association for the Study of Pain).27 Sensasi nyeri adalah suatu
fenomena neuro-biokemikal, ketika terjadi kerusakan jaringan, neurokemikal akan
mengaktifasi nosiseptor pada tempat yang rusak. Nosiseptor adalah reseptor nyeri
yang ada diseluruh tubuh, letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di
dalam periosteum, serta disekitar dinding pembuluh darah.28
16
17
18
19
20
2.5 Fentanil
21
2.5.2 Farmakokinetik
Pemberian dosis tunggal fentanil intravena mempunyai mula kerja lebih cepat dan
durasi yang lebih singkat dibandingkan morfin. Onset yang cepat ini menunjukkan
bahwa fentanil mempunyai sifat larut lemak yang tinggi sehingga mudah melalui
sawar darah otak. Sedangkan untuk durasinya yang singkat menunjukkan
redistribusi cepat ke jaringan lemak, otot skeletal, serta paru-paru. Fentanil
dimetabolisme melewati proses N-demethylation yang akan menghasilkan
norfentanil, dimana struktur dari norfentanil ini mirip dengan struktur normeperidin.
Norfentanil diekskresi melalui ginjal dan dapat ditemukan di urin 48 jam setelah
pemberian dosis tunggal fentanil intravena.50,52
22
Depresi nafas yang menetap atau rekuren merupakan efek samping yang
sering timbul pada periode post operatif. Konsentrasi plasma puncak sekunder
mengakibatkan sequestraction fentanil dalam asam lambung (ion trapping).
Sekuestrasi fentanil tersebut kemudian diabsorbsi dari usus halus yang bersifat lebih
alkalis kedalam sirkulasi untuk meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dan
menyebabkan depresi nafas.55
23
2.6 Klonidin
24
25
2.7 Diltiazem
2.7.2 Farmakokinetik
Sebuah suntikan diltiazem intravena terhadap individu sehat, diltiazem menunjukkan
farmakokinetik yang berbanding lurus dengan dosis 10.5 – 21 mg. Waktu-paruh
dalam plasma kurang lebih 3 – 4 jam dengan volume distribusi sekitar 305 L.
26
2.7.3 Farmakodinamik
Secara signifikan, pemanjangan interval PR secara signifikan berhubungan dengan
konsentrasi plasma diltiazem pada individu yang sehat . Perubahan terhadap laju
jantung, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak berhubungan
dengan konsentrasi plasma pada individu sehat. Pada individu dengan hipertensi,
penurunan tekanan arteri rerata secara berbanding lurus berhubungan dengan
konsentrasinya dalam plasma. Pada pasien dengan fibrilasi atrial dan flutter atrial,
ditemui hubungan signifikan yang berbanding lurus antara laju denyut jantung
dengan konsentrasi plasma diltiazem. Berdasarkan hubungan ini, konsentrasi plasma
yang dibutuhkan untuk menurunkan sekitar 20% laju denyut jantung adalah
80ng/ml. Rata-rata konsentrasi plasma yang ditemukan dapat menurunkan laju
denyut jantung 30 – 40% adalah antara 130 ng/ml dan 300 ng/ml.62
27
28
2.7.7 Kontraindikasi
Pemberian diltiazem hidroklorida secara intravena dikontraindikasikan terhadap
keadaan berikut:62
29
AKTIVASI REFLEKS
PUSAT VASOMOTOR
RESPON HEMODINAMIK:
30
KLONIDIN 3
µG/kg/i.v
RESPON HEMODINAMIK
• TEKANAN DARAH
LARINGOSKOPI SISTOLIK
ANESTESI UMUM DAN INTUBASI • TEKANAN DARAH
TRAKHEA DIASTOLIK
• TEKANAN ARTERI
RERATA
DILTIAZEM 0.2
• DENYUT JANTUNG
mg/kg/i.v
• RATE PRESSURE
PRODUCT
Keterangan:
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
31