Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Laringoskopi Dan Intubasi


Intubasi endotrakhea adalah teknik paling penting dan paling aman dalam menjaga
jalan nafas dengan cara memasukkan ETT (endotracheal tube) ke dalam trakhea
melalui mulut atau hidung dengan bantuan laringoskop.22 ETT digunakan sebagai
penghantar gas anestesi dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi, ataupun
pada pasien dengan anestesi umum.23 Sedangkan laringoskopi yaitu suatu
pemeriksaan untuk melihat laring, bagian belakang faring, dan plika vokalis dengan
alat laringoskop. Pada tindakan intubasi endotrakhea rutin dilakukan dengan bantuan
laringoskop.25 Kirstein adalah orang pertama kali yang melakukan intubasi
endotrakhea dengan bantuan laringoskop pada tahun 1985.22 Laringoskopi dalam
tindakan intubasi endotrakhea berguna untuk memeriksa bagian dalam laring dan
pencahayaan alat ini penting untuk penempatan TT.23
Intubasi endotrakhea diindikasikan untuk beberapa hal, antara lain pasien
gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik, adanya sumbatan saluran nafas
bagian atas, untuk membantu ventilasi, memudahkan menghisap sekret dari traktus
trakheo-bronkhial, mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang
berasal dari lambung, pasien dengan syok berat, atau pada pembedahan dengan
anestesi umum.23,25

2.2 Anatomi
Tindakan ekstubasi sama halnya dengan tindakan intubasi akan mengakibatkan
stimulasi nervus yang melewati rongga mulut, orofaring ataupun laring.

2.2.1 Inervasi rongga mulut


Seluruh otot lidah dipersarafi nervus XII (hypoglossal) kecuali pada otot
palatoglossus yang diinervasi pleksusfaringeal. Nervus glossopharygeus
menginervasi sensasi umum pada lidah. Sedangkan bagian posterior lidah disarafi
oleh cabang dari nervus laringeal interna.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Inervasi Faring
Faring disarafi oleh plexus faringeal yang terdiri atas :
1. Nervus faringeal yang merupakan cabang nervus vagus yang membawa nervus
kranialis assesorius.
2. Nervus faringeal cabang dari nervus glossofaringeal.
3. Nervus faringeal cabang dari ganglion servikalis (yang mensarafi simpatetik).

Serabut motorik berasal dari nervus kranialis assesorius yang merupakan


cabang nervus vagus. Nervus ini mensarafi seluruh otot-otot faring kecuali otot
stylofaringeus yang diinervasi nervus glossofaringeal. Constrictor inferior menerima
suplai tambahan dari nervus eksternal dan recurrent laringeal. Plexus ini juga
mensarafi seluruh otot palatum lunak, kecuali tensor palatum yang disarafi nervus
mandibular.
Serabut sensorik dari faring kebanyakan berasal dari nervus glossofaringeal
dan sebagian berjalan melalui nervus vagus. Walaupun nasofaring disuplai oleh
nervus maxillaris, palatum lunak serta tonsil disarafi lebih sedikit oleh nervus
palatina dan nervus glossofaringeus. Sensasi rasa berasal dari area vallecula dan
epiglottis diteruskan melalui cabang laringeal nervus vagus.
Jaras sekretomotor parasimpatis dari faring berasal dari nervus petrosal
(N.VII ) ke arah cabang dari ganglion pterygopalatine.25

2.2.3 Persarafan Laring


Membran mukosa laring menerima suplai dari nervus laringeal superior dan nervus
recurrent laringeal. Nervus laringeal superior berjalan ke bawah ke dinding lateral
dari faring menuju ke belakang ke arah arteri carotid interna dan pada tingkat
puncak tulang hyoid terbagi atas cabang internal dan eksternal.
Pada cabang laringeal internal sebagian sensori motor terdapat pada motor
otot aritenoid, glottis valikula dan vestibula laring, lipatan ariepiglotis serta
membrane mukosa bagian posterior rima glottis. Cabang laringeal eksternal terdapat
serabut motorik yang mensarafi otot krikotiroid.2

Universitas Sumatera Utara


Nervus laringeal rekuren bersama dengan cabang arteri tiroid inferior
merupakan bagian dari serabut sensorik, yang menyuplai membran mukosa laring di
bawah pita suara. Pensarafan ini meliputi seluruh otot laring kecuali krikotiroid dan
sebagian kecil otot aritenoid.25

2.2.4 Persarafan dari trakhea


Serabut saraf laringeal vagus (rekuren) dan jaras simpatik mensuplai trakhea.
Serabut parasimpatik eferen berasal dari bagian nucleus dorsal nervus vagus ke arah
cabang laringeal rekuren untuk menyuplai impuls motor ke otot polos trakhea.
Serabut eferen lainnya menyampaikan sinyal sekresi menuju ke kelenjar-kelenjar di
sepanjang trakhea. Jaras simpatetik vasokonstriktor berjalan sepanjang arteri tiroid
inferior dan cabang-cabangnya banyak terdapat di trakhea dengan terdapatnya badan
sel pada ganglion servikal medial.26

Gambar 2.2.4-1. Persarafan Laring

Intubasi trakhea dan laringoskopi merupakan salah satu proses yang paling
menyakitkan yang dapat terjadi pada tubuh manusia yang melibatkan respon
hemodinamik akut, yang dapat bertahan hingga 10 menit. Rangsangan
simpatoadrenal diikuti dengan pelepasan katekolamin merupakan sebagian penyebab
ketidakstabilan hemodinamik, yang biasanya ditandai dengan peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah.27

Universitas Sumatera Utara


2.2.5. Teknik laringoskopi dan intubasi

2.2.5.1. Indikasi Intubasi


Pamasangan ETT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.
Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan
anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi ETT dipasang untuk proteksi, dan untuk
akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki
resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur
operasi pendek seperti sitoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lain.2

2.2.5.2. Persiapan untuk laringoskopi rigid


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien.
ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan menggembungkan
balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin
balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi.2

Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya


dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan akibat
dari pipa yang kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan
kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT
dan mandren ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini digunakan untuk intubasi
dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan
bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun
bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya
hubungan listrik, sehingga perlu diingat untuk mengganti batre berkala. Extra blade,
handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus disediakan.
Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana dijumpai
sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.2

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama tingdakan laringoskopi.

10

Universitas Sumatera Utara


Laringoskop rigid digunakan dengan cara memindahkan jaringan lunak faring untuk
membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi
kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito
joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher diposisikan fleksi dengan menempatkan kepala diatas bantal.2

Gambar 2.2.5.2-1. ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki2

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.


Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang
akan menggunakan face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak
memiliki jalan nafas dengan kemungkinan sulit ventilasi.

11

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2.5.2-1. Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos

2.2.5.3. Intubasi Orotrakheal


Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir
blade. Puncak dari lengkung blade biasanya dimasukan ke dalam vallecula, dan
ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh
dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus
dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakhea bagian atas
tapi di luar laring. Laringoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari
kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk
tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan
tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan pilot balon bukan
metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.2
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakhea. Jika ada keragu-
raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan

12

Universitas Sumatera Utara


ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk
mengamankan posisi.2

Gambar 2.2.5.3-1. Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan


blade yang melengkung.

Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal
notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada di atas
level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan
suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak
disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan
kecuali dalam ICU.2

2.2.5.4 Komplikasi laringoskopi dan intubasi


Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma
gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT.
Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau intubasi, saat ETT
dimasukkan, dan setelah ekstubasi.2

13

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Komplikasi dari intubasi

Selama laringoskopi dan intubasi

Malposisi
Intubasi esophagus
Intubasi bronchial
Trauma jalan nafas
Gigi rusak
Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa
Dislokasi mandibula
Hipoksia, hiperkarbi
Hipertensi, takikardi
Hipertensi intracranial
Hipertensi intraokuler
Laringospasme

2.2.6 Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi


endotrakheal
King et al, merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal yang
melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan laringoskopi
dan intubasi endotrakheal (LETI). Mereka mengusulkan bahwa disritmia jantung,
hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai akibat dari penurunan
tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal. Mereka berdalil bahwa
peningkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena peningkatan curah jantung
(CO) daripada peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik (SVR). Mereka
mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih mudah diblok secara
komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia daripada meningkatkan laju
jantung (HR). Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi sendiri dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan memperbesar efek ini dan dapat
menimbulkan suatu aritmia jantung.

14

Universitas Sumatera Utara


Bedford29 telah menggambarkan suatu saling keterkaitan antara sistem saraf
pusat (CNS) dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peningkatan respon
hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas (laring, trakhea, dan karina) memiliki
refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi
atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain,
seperti level anestesi yang ringan (light level of anesthesia). Refleks penutupan
glottis (laringospasme) adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light
anesthesia. Nervus glossofaringeal berada di superior permukaan anterior epiglottis.
Nervus glossofaringeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen untuk
terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan LETI.
Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang bagian
distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena terjadinya
laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka refleks ini dapat
timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf sensorik yang
diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi.

Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya sinus
bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak-anak kecil, akan tetapi
terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini dimediasi oleh
peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan adanya suatu
respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang terjadi.29

Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire et


al30 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai
peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas
katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi
pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen
simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal dan
glossofaringeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla spinalis,
meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk peningkatan
letupan dari serabut-serabut cardioaccelerator, pelepasan norpeineprin dari terminal

15

Universitas Sumatera Utara


saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal.
Karena pelepasan rennin dari apparatus juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-
adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-angiotensin juga turut ambil bagian dalam
mencetuskan respon hipertensi pada LETI.29

Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI,


dilakukan evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara
terpisah. Dengan menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar
sehingga stimulus akibat laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari. Hal ini
hampir sama dengan penelitian Shribman et al28, yang meneliti tentang respon
kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi
endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan
konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan
laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan
peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya
dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al31, membandingkan laringoskopi langsung
dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik
intubasi dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan
darah dan laju jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan
maksimum pada tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju
jantung akan maksimum meningkat pada saat intubasi endotrakheal.

2.3 Nyeri
Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas,
cenderung rusak, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami
(International Association for the Study of Pain).27 Sensasi nyeri adalah suatu
fenomena neuro-biokemikal, ketika terjadi kerusakan jaringan, neurokemikal akan
mengaktifasi nosiseptor pada tempat yang rusak. Nosiseptor adalah reseptor nyeri
yang ada diseluruh tubuh, letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di
dalam periosteum, serta disekitar dinding pembuluh darah.28

16

Universitas Sumatera Utara


Antara stimuli nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu
rangkaian proses elektrofisiologis yang secara kolektif disebut sebagai nosiseptif.
Ada empat proses yang terjadi pada suatu nosiseptif yaitu: transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini
dapat berupa stimulasi fisik, kimia ataupun panas. Transmisi adalah proses
penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf
sensorik. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medulla spinalis). Pada kornu
dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik melalui
traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut neuron kedua.
Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang
memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona radiata menuju
girus postsentralis korteks serebri. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap
rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi
pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi
(peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan). Persepsi adalah proses terahir, saat
stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran,
selanjutnya diterjemahkan dan ditindak lanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri
tersebut. 32
Seperti yang telah diketahui bahwa tindakan laringskopi dan intubasi
endotrakhea merupakan salah satu prosedur yang menyakitkan. Pengalaman
menyakitkan yang diperlukan sebagian pasien yang akan dianesthesi ini seharusnya
tidak perlu dialami pasien dengan cara pemberian agen-agen anesthesia seperti
sedasi, analgesia dan pelumpuh otot.

17

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3-1. Pain pathway

2.4 Respon Kardiovaskuler Pada Laringoskoi Dan Intubasi


Endotrakhea
Laringoskopi dan tindakan intubasi endotrakhea biasanya membutuhkan anestesi
yang lebih dalam karena tindakan ini akan menstimulasi refleks fisiologis, antara
lain pernafasan, kardiovaskuler, dan neurologis.33,34 Hal-hal ini dapat digolongkan
menjadi komplikasi yang disebabkan oleh penekanan struktur saluran nafas dengan
ET/cuff yang kemudian akan merangsang jalur refleks. Baik sistem saraf simpatis
maupun parasimpatis berperan terhadap sejumlah respon yang ditimbulkan.34 Akibat
dari adanya peningkatan rangsangan simpatis oleh karena penekanan pada saraf
laringeus superior dan saraf recurren laringeus oleh ujung laringoskop maupun
ETT.35,36,38 Peningkatan rangsangan simpatis ini akan menyebabkan kelenjar
suprarenalis mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin sehingga pada sistem
kardiovaskuler akan terjadi peningkatan tekanan darah, dan laju jantung. Oleh
karena kerja hormon adrenalin dan noradrenalin tersebut maka terjadilah
peningkatan permiabilitas membran sel otot jantung terhadap ion natrium dan ion
kalsium, serta peningkatan frekuensi denyut jantung akibat pengaruhnya ke nodus
SA. Peningkatan permiabilitas terhadap kalsium akan meningkatkan kekuatan

18

Universitas Sumatera Utara


kontraksi otot jantung.25,38,39 Semakin kuat dan lama rangsangan yang ada maka
semakin banyak hormon yang disekresi sehingga tekanan darah dan laju darah akan
semakin meningkat.39,40 Eferen dari outflow saraf simpatis untuk jantung berasal dari
medula spinalis yang terletak antara thorakal 1 – thorakal 4, sedangkan untuk
medula adrenal terletak antara medula spinalis thorakal 3 sampai dengan
lumbal.33,35,41 Outflow tersebut akan dimodulasi oleh pusat supraspinal. Maka dari
itu, bila terjadi cedera pada medula spinalis, dapat mengubah respon hemodinamik
yang terjadi pada laringoskop dan intubasi endotrakhea.33,39
Pada tahun 1940, Reid and Brace untuk pertama kalinya mendiskripsikan
mengenai respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi endotrakhea.
Laringoskopi and intubasi endotrakhea telah diketahui sebagai stimulus respon
simpatoadrenal, yakni hipertensi , takikardi, peningkatan konsentrasi katekolamin
dalam plasma, infark miokard, penurunan kontraktilitas miokard, ventricular
arhytmias, dan hipertensi intrakranial.42 Hipoksia dan hiperbarik dapat
memperburuk respon otonom.22,34 Besarnya respon akibat tekanan berkaitan dengan
durasi laringoskopi, dan diperberat apabila terdapat kesulitan dalam memasang ET.
Perubahan hemodinamik yang bersifat sementara ini tak akan menimbulkan resiko
yang merugikan bagi individu sehat, tetapi pada beberapa pasien dapat
mengakibatkan timbulnya gagal ventrikel kiri, myocardial ischemia and cerebral
hemorrhage. Komplikasi ini biasanya terjadi pada pasien dengan hipertensi,
atheroma arteri koroner atau serebral, ischemic heart disease, disfungsi miokard, dan
peningkatan tekanan intraokuler serta intrakranial.25
Berikut ini adalah berbagai macam respon hemodinamik akibat laringoskopi
dan intubasi endotrakhea, antara lain:34
1. Bradikardi biasanya terjadi pada infan (fetus) dan anak-anak selama laringoskopi
dan intubasi. Hal ini berhubungan dengan respon laringospame. Jarang terlihat pada
orang dewasa, reflek tersebut akibat dari peningkatan reflek vagal pada nodus
sinoatrialis dan hampir sebuah respon monosinaptik terhadap rangsang yang
berbahaya pada jalan nafas.
2. Pada remaja, dan dewasa respon yang paling umum pada intubasi endotrakhea
adalah hipertensi dan takikardi, yang dimediasi oleh eferen simpatis melalui saraf

19

Universitas Sumatera Utara


kardioakselerator dan ganglion rantai simpatis. Jalur polisinap alami dari afferen
vagal dan glossofaringeal ke pusat saraf simpatis melalui batang otak dan medula
spinalis yang menghasilkan respon otonom yang menyeluruh yang termasuk
pelepasan dari norepinefrin dari saraf terminal adrenergik dan sekresi epinefrin dari
medula adrenal.
Beberapa diantaranya (respon hipertensi oleh karena intubasi endotrakhea)
juga dihasilkan dari aktivasi sistem renin-angiotensin, dengan pelepasan renin dari
apparatus juxtaglomerular ginjal, dan end-organ yang diinervasi oleh saraf terminal
β-adrenergic.33,43
Respon neuroendokrin pada intubasi endotrakhea yaitu hipertensi dan
takikardi menyebabkan terjadinya berbagai jenis komplikasi pada pasien dengan
penyakit jantung. Efek kardiovaskuler yang paling sering terjadi yaitu iskemik
miokard pada pasien dengan insufisiensi arteri koroner, dikarenakan laju jantung
(heart rate) dan tekanan darah yang menjadi faktor penentu utama dari kebutuhan
oksigen miokard.41 Peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang terjadi karena
adanya hypertensive-tachycardic response ini harus diikuti dengan peningkatan
aliran darah kaya oksigen melalui sirkulasi arteri koroner. Akan tetapi, ketika
terdapat satu atau lebih oklusi arteri koroner akan mengakibatkan aliran darah arteri
koroner yang relatif tetap, kemampuan untuk meningkatkan suplai aliran darah saat
terjadi episode peningkatan kebutuhan oksigen ini menjadi minimal.24,44
Peningkatan kebutuhan oksigen miokard secara tiba-tiba dapat mengakibatkan
disfungsi miokard/infark jaringan terbuka.34
Aktivasi dari sistem saraf saraf otonom, intubasi endotrakhea menstimulus
aktivitas sistem saraf pusat, yang dibuktikan oleh aktivitas elektroensephalografi
(EEG), cerebral metabolic rate (CMR), cerebral blood flow (CBF). Pada pasien
compromised intacranial compliance, peningkatan CBF dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial (ICP), yang akhirnya dapat menyebabkan herniasi
dari isi otak dan severe neurologic compromise.34
Peningkatan tekanan darah sebagai respon sistem kardiovaskuler terhadap
laringoskopi dan intubasi endotrakhea baik tekanan diastolik maupun sistolik terjadi
pada 5 detik setelah laringoskopi dan mencapai puncaknya dalam 1-2 menit lalu

20

Universitas Sumatera Utara


akan kembali seperti sebelum laringoskopi dalam 5 menit. Pada individu normal
rata-rata peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 53 dan 34
mmHg. Laju jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit. Respon laju jantung pada
laringoskopi sangat bervariasi, meningkat pada 50% kasus. Selama tindakan
laringoskopi jarang terjadi perubahan EKG (biasanya extrasystol atau ventricular
premature contraction), lain halnya pada tindakan intubasi endotrakhea.45,48
Perubahan hemodinamik ini dapat diredam dengan lidocain atau fentanil.
Obat-obat hipotensif seperti sodium nitroprussid, nitroglycerin, hidralazin,
penghambat beta, dan penghambat kanal kalsium, juga dijumpai efektif mengurangi
respon hipertensi sesaat yang berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan
intubasi trakheal.47,48,49
Kesulitan tindakan laringoskopi dijumpai pada lebih dari 40% pasien anak-
anak dengan diabetes yang akan dilakukan transplantasi ginjal. Hal ini dapat terjadi
karena adanya diabetic stiff joint syndrome, sebuah komplikasi yang sering terjadi
pada IDDM (insulin depentdent diabetic mellitus), yang menyebabkan berkurangnya
mobilitas sendi atlanto-occipital. Pada pasien-pasien diabetic dengan neuropati
autonomi terjadi peningkatan resiko henti jantung/nafas dan hipotensi intraoperatif
yang membutuhkan vassopressor. Kemungkinan terjadi respon pressor yang
berlebihan terhadap tindakan intubasi trakhea.50

2.5 Fentanil

2.5.1 Struktur, rumus bangun


Fentanil merupakan agonis opioid sintetis derivat fenilpiperidin yang strukturnya
menyerupai meperidin. Sebagai analgesik, fentanil 75 – 125 kali lebih poten
dibandingkan dengan morfin.50

Gambar 2.5.1-1. Rumus bangun Fentanil

21

Universitas Sumatera Utara


Dalam praktek klinis, fentanil diberikan dalam berbagai dosis. Dosis 1 – 2
µg/kg intravena diberikan untuk memberikan efek analgesi. Fentanil dosis 2 – 6
µg/kg intravena dapat diberikan untuk mengurangi respon kardiovaskuler pada
tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea karena cara kerjanya yang memblok
rangsang nyeri, depresi tonus simpatis sentral dan aktivasi tonus vagal. Fentanil
dengan dosis 2 – 20 µg/kg intravena juga dapat digunakan untuk mengatasi
perubahan mendadak akibat stimulasi saat pembedahan. Sementara dosis besar
fentanil 50 – 150 µg/kg intravena digunakan dalam surgical anesthesia sebagai obat
anestesi tunggal.50,51

2.5.2 Farmakokinetik
Pemberian dosis tunggal fentanil intravena mempunyai mula kerja lebih cepat dan
durasi yang lebih singkat dibandingkan morfin. Onset yang cepat ini menunjukkan
bahwa fentanil mempunyai sifat larut lemak yang tinggi sehingga mudah melalui
sawar darah otak. Sedangkan untuk durasinya yang singkat menunjukkan
redistribusi cepat ke jaringan lemak, otot skeletal, serta paru-paru. Fentanil
dimetabolisme melewati proses N-demethylation yang akan menghasilkan
norfentanil, dimana struktur dari norfentanil ini mirip dengan struktur normeperidin.
Norfentanil diekskresi melalui ginjal dan dapat ditemukan di urin 48 jam setelah
pemberian dosis tunggal fentanil intravena.50,52

Meskipun fentanil mempunyai masa kerja singkat, namun fentanil


mempunyai eliminasi waktu paruh yang lebih panjang daripada morfin, yang
menunjukkan fentanil mempunyai kecepatan distribusi yang lebih besar. Hal ini
disebabkan karena daya kelarutan lemaknya yang besar sehingga mudah masuk ke
jaringan. Namun pada pasien lanjut usia, eliminasi waktu paruh menjadi memanjang
dikarenakan penurunan aliran darah hepatik, penurunan aktivitas enzim mikrosomal
hepar, atau penurunan produksi albumin, dimana sebagian besar fentanil terikat pada
protein (79 – 87%). Oleh karena itu, pemberian fentanil dalam periode waktu yang
lama pada pasien lanjut usia lebih efektif daripada pasien dewasa.50

22

Universitas Sumatera Utara


2.5.3 Efek Samping
Fentanil tidak mempengaruhi aliran darah paru dan hepar. Fentanil menyebabkan
kekakuan otot khususnya otot thoraks, abdomen, dan ekstrimitas serta menyebabkan
depresi ventilasi terutama pada pemberian intravena yang cepat.53

Depresi nafas yang menetap atau rekuren merupakan efek samping yang
sering timbul pada periode post operatif. Konsentrasi plasma puncak sekunder
mengakibatkan sequestraction fentanil dalam asam lambung (ion trapping).
Sekuestrasi fentanil tersebut kemudian diabsorbsi dari usus halus yang bersifat lebih
alkalis kedalam sirkulasi untuk meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dan
menyebabkan depresi nafas.55

Dibandingkan dengan morfin, fentanil tidak menyebabkan pelepasan


histamin meskipun dalam dosis yang besar, sehingga tidak terjadi dilatasi pembuluh
vena yang berujung pada hipotensi. Namun bradikardi terlihat lebih nyata pada
pemberian fentanil dibandingkan morfin karena meningkatnya tonus vagal sentral
dan depresi nodus SA dan AV, sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah dan curah jantung.50
Pemberian sulfas atropin dapat menurunkan kejadian bradikardi dan
dianjurkan pada penggunaan fentanil dosis tinggi. Pemberian sulfas atropin pada
fentanil 10 µg/kg intravena dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium dan
insufisiensi koroner.53
Aktivitas kejang telah dihubungkan dengan pemberian cepat fentanil
intravena. Pada pemberian fentanil kadang juga timbul kekakuan otot, sehingga
apabila tidak terdapat aktivitas kejang pada EEG maka sulit membedakan
myoklonus karena aktivitas kejang dengan kekakuan otot akibat pemakaian
opioid.50,53

Pemberian fentanil pada pasien trauma kepala telah dihubungkan dengan


peningkatan tekanan intrakranial 6 – 9 mmHg. Peningkatan tekanan intracranial ini
biasanya disertai juga penurunan tekanan arteri rerata dan tekanan perfusi serebral.
Hal ini menyatakan peningkatan tekanan intrakranial oleh sulfentanil (mungkin juga

23

Universitas Sumatera Utara


oleh fentanil) disebabkan karena adanya penurunan autoregulasi tahanan vaskuler
serebral akibat penurunan tekanan darah.50

2.6 Klonidin

2.6.1 Struktur, rumus bangun


Klonidin merupakan agonis selektif aksi sentral untuk adrenoreseptor alfa2 dengan
rasio seleksi 200 : 1 (alfa2 : alfa1) yang digunakan sebagai obat antihipertensi oleh
karena dapat menurunkan aktivitas simpatis pada sistem saraf pusat.53

Gambar 2.6.1-1. Rumus bangun Klonidin

2.6.2 Mekanisme Kerja


Klonidin bekerja pada reseptor alfa-2 adrenergik di susunan saraf pusat, perifer,
ganglia otonom baik presinaptik maupun postsinaptik, dan dalam berbagai jaringan
tubuh termasuk ginjal, trombosit, kandung kemih, dinding usus, dan dinding
pembuluh darah. Adanya stimulasi pada reseptor alfa2 adrenergik tersebut
menyebabkan penurunan aktivitas simpatis dari pusat hingga perifer. Penurunan
aktivitas simpatis ini dimanifestasikan dengan penurunan tekanan darah, laju
jantung, dan curah jantung. 54,55
Respetor alfa2 adrenergik dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan analisa
molekuler biologik yaitu alfa2-A, alfa2-B, dan alfa2-C. Reseptor alfa2-A terletak
pada seluruh bagian otak dan mengatur pelepasan epinefrin, serta merupakan
mediator efek sedasi, anestesi, dan hipotensi. Reseptor alfa2-B terletak di daerah
talamus dan mediator efek vasokonstriksi. Sedangkan reseptor alfa2-C terletak di
tuberkel olfaktorius, hipokampus, dan korteks serebri yang mengatur
neurotransmisi.56

24

Universitas Sumatera Utara


2.6.3 Farmakokinetik
Klonidin denga cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan mencapai kadar plasma
puncak dalam 60 – 90 menit. Eliminasi waktu paruh klonidin 9 – 12 jam, dengan
sekitar 50% klonidin dimetabolisme di hepar dan sisanya diekskresikan tidak
berubah melalui urin.32 Pada kelainan ginjal eliminasi waktu paruh meningkat
menjadi 18 – 41 jam, sehingga dosis harus dikurangi.57 Konsentrasi dalam plasma
lebih dari 1,2 – 5 ng/ml akan menyebabkan penurunan tekanan darah. Sedangkan
konsentrasi efektif maksimal dalam plasma terjadi pada dosis 300 µg pada orang
dewasa.58 Durasi efek hipotensi pada pemberian oral dosis tunggal kira-kira 8 jam,
pemberian transdermal membutuhkan 48 jam untuk memberikan efek terapeutik.53
Pada pemberian secara intravena justru menyebabkan kenaikan tekanan darah akibat
rangsangan reseptor alfa2 pada otot polos pembuluh darah yang menimbulkan
vasokonstriksi. Namun efek vasokonstrksi ini berlangsung sebentar dan tidak terlihat
pada pemberian oral. Selanjutnya disusul oleh efek hipotensinya karena adanya
rangsangan pada reseptor alfa2 di batang otak bagian bawah, mungkin di nukleus
solitarius.59

2.6.4 Efek Kardiovaskuler


Pada pemberian klonidin, penurunan tekanan darah sistolik terjadi lebih nyata
daripada penurunan tekanan darah diastoliknya. Aksi agonis alfa2 pada sistem
kardiovaskuler dapat dibagi sebagai aksi sentral dan perifer.54
Klonidin dapat menurunkan tekanan darah dengan mempengaruhi pusat
pengatur kardiovaskuler di susunan saraf pusat. Efek hipotensi dan bradikardi dari
klonidin melibatkan inhibisi dari aliran simpatik dan potensiasi dari aktifitas
parasimpatik. Klonidin dapat mempengaruhi refleks baroreseptor sehingga tonus
simpatikus menurunkan laju jantung. Respon sentral hemodinamik dari klonidin
tergantung tingkat tonus simpatikus sebelumnya. Klonidin akan menurunkan
tekanan darah, jika pasien sebelumnya mempunyai tekanan darah yang tinggi dan
tidak banyak mempengaruhi tekanan darah pada normotensi.55,60,61
Reseptor perifer postsinaptik alfa2 adrenergik telah dibuktikan terletak di
pembuluh darah dan jantung. Aktivasi reseptor-reseptor ini mengakibatkan terjadi
vasokonstriksi dan bradikardi. Reseptor alfa2 postjunctional terdapat pada pembuluh

25

Universitas Sumatera Utara


darah arteri dan vena dimana mereka menghasilkan efek vasokonstriksi. Akan tetapi
klonidin dapat menurunkan konstriksi langsung dengan menurunkan aliran
simpatik.60

2.7 Diltiazem

2.7.1 Struktur, rumus bangun


Diltiazem hydrochloride merupakan penghambat ion kalsium intrasel (penyekat
kanal kalsium atau antagonis kanal kalsium). Secara kimiawi, rumus bangun
diltiazem hydrochloride adalah 1,5- Benzothiazepin-4(5H)-one,3-(acetyloxy)-5[2-
(dimethylinflux amino)ethyl]-2,- 3-dihydro-2(4-methoxyphenyl)-, mono-
hydrochloride, (+)-cis. struktur kimiawinya adalah kristalin putih dengan rasa pahit.
Diltiazem larut dalam air, methanol dan kloroform. Diltiazem hydrochloride injeksi
merupakan larutan putih, tidak berwarna dan steril. Memiliki pH dengan rentang 3.7
– 4.1.62

Gambar 2.7.1-1. Rumus bangun diltiazem


Kelas penyekat kanal kalsium dibagi atas 3 kelompok kimia, yaitu: kelas
Difenilalkilamin (verapamil), kelas Benzotiazepin (diltiazem), Dihidropiridin
(nifedipin, felodipin, nikardipin, nisoldipin), yang masing-masing dengan sifat-sifat
farmakokinetik dan indikasi klinis yang berbeda.63

2.7.2 Farmakokinetik
Sebuah suntikan diltiazem intravena terhadap individu sehat, diltiazem menunjukkan
farmakokinetik yang berbanding lurus dengan dosis 10.5 – 21 mg. Waktu-paruh
dalam plasma kurang lebih 3 – 4 jam dengan volume distribusi sekitar 305 L.

26

Universitas Sumatera Utara


Sebagian besar dari obat ini akan dimetabolisme di hati dengan bersihan sistemik
sekitar 65 L/jam.

Dengan pemberian kontinyu intravena, diltiazem menunjukkan


farmakokinetik yang berbanding lurus dengan dosis 4.8 - 13.2 mg/jam selama 24
jam. Dengan semakin meningkatnya dosis, waktu-paruh eleminasi meningkat dari
4.1 sampai 4.9 jam, dengan volume distribusi yang tetap. Setelah pemberian dosis
tunggal intravena, konsentrasi plasma N-monodesmetildiltiazem dan
desasetildiltiazem yang merupakan dua metabolit utama diltiazem tidak ditemukan
dalam plasma. Walaupun begitu, kedua metabolit ini ditemukan dalam pemberian
intravena kontinu selama 24 jam. Sebesar 70 – 80% diltiazem hidroklorida berikatan
dengan protein plasma. Sebanyak 30% ikatan dengan protein adalah dengan
albumin.62

2.7.3 Farmakodinamik
Secara signifikan, pemanjangan interval PR secara signifikan berhubungan dengan
konsentrasi plasma diltiazem pada individu yang sehat . Perubahan terhadap laju
jantung, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak berhubungan
dengan konsentrasi plasma pada individu sehat. Pada individu dengan hipertensi,
penurunan tekanan arteri rerata secara berbanding lurus berhubungan dengan
konsentrasinya dalam plasma. Pada pasien dengan fibrilasi atrial dan flutter atrial,
ditemui hubungan signifikan yang berbanding lurus antara laju denyut jantung
dengan konsentrasi plasma diltiazem. Berdasarkan hubungan ini, konsentrasi plasma
yang dibutuhkan untuk menurunkan sekitar 20% laju denyut jantung adalah
80ng/ml. Rata-rata konsentrasi plasma yang ditemukan dapat menurunkan laju
denyut jantung 30 – 40% adalah antara 130 ng/ml dan 300 ng/ml.62

2.7.4 Mekanisme kerja


Konsentrasi kalsium intraseluler mempunyai peranan penting dalam
mempertahankan tonus otot polos dan kontrakasi miokard. Kalsium masuk ke sel-sel
otot polos melalui kanal kalsium yang bersifat sensitif voltase. Ini merangsang
pelepasan kalsium dari reticulum sarkoplasma dan mitokondria, yang selanjutya
meningkatkan kadar kalsium sitosol. Obat antagonis kanal kalsium menghambat

27

Universitas Sumatera Utara


gerakan pemasukan kalsium dengan cara terikat pada kanal kalsium tipe L di
jantung dan otot polos koroner dan vaskular perifer. Ini menyebabkan otot polos
vaskular beristirahat, mendilatasi terutama arteriol. Perbedaan kelas berdasarkan
struktur kimia masing-masing dari penghambat kanal kalsium yang mengarah
kepada perbedaan tempat dan cara kerja terhadap kanal kalsium masih belum jelas
diketahui. 63

Turunnya resistensi perifer akibat dilatasi atrial yang dihasilkan oleh


penghambat kanal kalsium akan memancing reaksi simpatis melalui mediasi
baroseptor. Pada golongan dihidropiridin, takikardi akan terjadi akibat rangsangan
adrenergik pada sinoatrial node, dimana respon ini hanya minimal terjadi kecuali
bila obat diberikan terlalu cepat; reaksi ini hampir jarang terjadi pada verapamil dan
diltiazem oleh karena efek langsung kronotopik negatif.

Diltiazem, seperti halnya verapamil, secara dominan meghambat kanal


kalsium dari atrioventrikular node dan sebab itu ia menjadi terapi utama takidisritmi
supraventrikular.63,64

2.7.5 Efek terhadap hemodinamik


Pada pesien-pasien dengan panyakit kardiovaskular, pemberian bolus intravena
diltiazem, yang dalam beberapa kasus diikuti dengan pemberian secara kontinu
intravena, akan mengurangi tekanan darah, tahanan perifer sistemik, laju denyut
jantung, tahanan vaskular koroner dan peningkatan aliran vaskuler koroner. Dalam
penelitian dengan jumlah yang terbatas pada pasien-pasien dengan gangguan jantung
(gagal jantung kongestif berat, miokard infark akut, kardiomiopati hipertropi),
pemberian diltiazem intravena tidak memiliki efek yang signifikan terhadap
kontraktilitas, tekanan akhir-diastolik ventrikel kiri, atau tekanan baji ventrikel kiri.
Rata-rata ejection fraction dan cardiac output/index tetap tidak berubah atau kadang
meningkat. Efek hemodinamik yang maksimal dapat terlihat dalam 2 – 5 menit
setelah pemberian secara intravena.62

2.7.6 Efek samping


Efek samping yang sering timbul akibat pemberian penghambat kanal kalsium,
terutama kelas dihidroperidin, adalah akibat efek vasodilatasi berlebihan yang

28

Universitas Sumatera Utara


dihasilkannya. Gejala-gejalanya berupa pusing, hipotensi, sakit kepala, flushing,
kebas-kebas pada jari, dan mual. Beberapa pasien juga mengalami konstipasi, edema
perifer, batuk, wheezing, dan edema paru. 63,64

2.7.7 Kontraindikasi
Pemberian diltiazem hidroklorida secara intravena dikontraindikasikan terhadap
keadaan berikut:62

1. Pasien dengan gangguan induksi nodus kecuali sudah terpasang pacemaker


ventricular.
2. Pasein dengan AV blok derajat dua atau tiga, kecuali sudah terpasang
pacemaker ventricular.
3. Pasien dengan hipotensi berat maupun syok kardiogenik.
4. Pasien yang sudah pernah menunjukkan gejala hipersensitivitas terhadap
obat ini.
5. Antagonis kanal kalsium intravena dan penghambat beta intravena sebaiknya
tidak diberikan bersamaan atau tidak dalam waktu yang dekat.
6. Pasien dengan atrial fibrilasi atau atrial flutter yang berhubugan dengan jalur
bypass aksesorius seperti pada wolf-parkinson-white syndrome atau short PR
syndrome.

29

Universitas Sumatera Utara


2.8 Kerangka Teori

LARINGOSKOPI DAN INTUBASI


ENDOTRAKHEA

STIMULASI MEKANORESEPTOR LARING

AKTIVASI REFLEKS
PUSAT VASOMOTOR

AKTIVASI SARAF SIMPATIS

MEDULA ADRENAL JANTUNG

PELEPASAN KATEKOLAMIN PEMBULUH DARAH DAN KONDUKSI


JANTUNG

RESPON HEMODINAMIK:

PENINGKATAN TEKANAN DARAH (TD)

PENINGKATAN TEKANAN ARTERI


RERATA (TAR)

PENINGKATAN DENYUT JANTUNG (DJ)

PENINGKATAN RATE PRESSURE


PRODUCT (RPP)

30

Universitas Sumatera Utara


2.9 Kerangka Konsep

KLONIDIN 3
µG/kg/i.v
RESPON HEMODINAMIK

• TEKANAN DARAH
LARINGOSKOPI SISTOLIK
ANESTESI UMUM DAN INTUBASI • TEKANAN DARAH
TRAKHEA DIASTOLIK
• TEKANAN ARTERI
RERATA
DILTIAZEM 0.2
• DENYUT JANTUNG
mg/kg/i.v
• RATE PRESSURE
PRODUCT

Keterangan:

Variabel Bebas

Variabel Tergantung

31

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai