Anda di halaman 1dari 69

HUBUNGAN DUKUNGAN SPIRITUAL DENGAN TINGKAT

STRES PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA


PEMASYARAKATAN KELAS II A
BULUKUMBA TAHUN 2019

SKRIPSI

Oleh:

NUR AZISAH RAMLI R

NIM: A. 15.07.045

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PANRITA HUSADA BULUKUMBA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

HUBUNGAN DUKUNGAN SPIRITUAL DENGAN TINGKAT STRES PADA


NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A
BULUKUMBA TAHUN 2019

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Oleh:

NUR AZISAH RAMLI R

NIM. A 15 07 045

Proposal Skripsi ini Telah Disetujui

Tanggal 20 Maret 2019

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Nurlina, S.Kep, Ns, M.Kep Ilhamsyah, S.Kep, Ns, M.Kep

Penguji I Penguji II

Irfanita Nurhidayah, S.Kep, Ns, M.Kep Nadia Alfira, S.Kep, Ns, M.Kep

ii
LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN DUKUNGAN SPIRITUAL DENGAN TINGKAT STRES PADA


NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A
BULUKUMBA TAHUN 2019

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh

NUR AZISAH RAMLI R

NIM : A. 15. 07. 045

1. Penguji I

Irfanita Nurhidayah, S.Kep, Ns, M.Kep ( )

2. Penguji II

Nadia Alfira, S.Kep, Ns, M.Kep ( )

3. Pembimbing Utama

Nurlina, S.Kep, Ns, M.Kep ( )

4. Pembimbing Pendamping

Ilhamsyah, S.Kep, Ns, M.Kep ( )

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................ i

Lembar Persetujuan.................................................................................... ii

Lembar Pengesahan................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................... iv

Daftar Tabel ............................................................................................... vi

Daftar Gambar .......................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................ 6

C. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 7

D. Tujuan Penelitian .......................................................................... 7

1. Tujuan Umum ................................................................................ 7

2. Tujuan Khusus .............................................................................. 7

E. Manfaat Penelitian......................................................................... 8

1. Manfaat Teoritis............................................................................. 8

2. Manfaat Aplikatif ............................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9

A. Tinjauan Teori Tentang Tingkat Stres ........................................... 9

1. Pengertian Stres............................................................................ 9

2. Sumber Stres .............................................................................. 10

3. Faktor Presipitasi Stres ............................................................... 11

4. Tingkat Stres ............................................................................... 15

iv
5. Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) ......................... 17

6. Stres Bagi Narapidana ................................................................ 19

B. Tinjauan Teori Tentang Dukungan Spiritual ................................ 21

1. Pengertian Spiritual ..................................................................... 21

2. Karakteristik Spiritual................................................................... 22

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual ........................ 24

4. Dukungan Spiritual Narapidana .................................................. 25

C. Kerangka Konsep ........................................................................ 29

BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 30

A. Desain Penelitian ........................................................................ 30

B. Waktu Dan Lokasi Penelitian ...................................................... 30

C. Populasi Dan Sampel .................................................................. 30

D. Variabel Penelitian ...................................................................... 33

E. Definisi Operasional .................................................................... 34

F. Instrumen Penelitian.................................................................... 35

G. Tehnik Pengumpulan Data .......................................................... 36

H. Alur Penelitian ............................................................................. 38

I. Teknik Pengelolaan dan Analisa Data......................................... 39

J. Etika Penelitian ........................................................................... 40

K. Jadwal Penelitian ........................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) ....... 19

Tabel 2. Jadwal Penelitian ....................................................................... 43

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Konsep................................................................... 29

Gambar 2. Alur Penelitian ........................................................................ 38

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan di mana

manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai

beban atau di luar batasan kemampuan mereka untuk memenuhi

tuntutan tersebut. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan,

ketegangan, atau gangguan yang tidak menyenangkan yang

berasal dari luar diri seseorang. Di samping itu, keadaan stres yang

tidak mampu untuk di atasi atau mengalami stres berat, sehingga

akan mengancam keselamatan atau integritas seseorang, dan

bahkan beresiko untuk membahayakan diri sendiri maupun orang

lain bahkan dapat terjadi percobaan bunuh diri (Nasir and Muhith,

2011).

Berdasarkan data World Health Organization pada tahun

2017 menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia

mengalami stres. Di Amerika, sekitar 75% orang dewasa

mengalami stres berat dan jumlahnya cenderung meningkat dalam

satu tahun terakhir. Sementara itu di Indonesia tercatat sekitar 10%

dari total penduduk Indonesia mengalami stres, dengan tingkat

stres akut mencapai 1-3% dan stres berat mencapai 7-10%.

Data menurut Riskesdas tahun 2018 menyebutkan bahwa

prevalensi stres di Sulawesi Selatan mengalami kenaikan dari

tahun 2013 sebesar 7,5% naik menjadi 13% di tahun 2018. Data

1
2

tersebut menunjukkan bahwa stres bersifat universally, yaitu semua

orang dapat merasakannya tetapi cara pengungkapannya yang

berbeda. Stres dapat menjadi masalah ketika individu tidak mampu

untuk mengatasi stres yang dimiliki. Stres di timbulkan karena

dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi dan situasi

tempat tinggal serta pengalaman masa lalu individu.

Sebagian besar seseorang yang mengalami stres adalah

narapidana. Berdasarkan data Direktorat Jendral Pemasyarakatan

mencatat bahwa jumlah warga binaan di Provinsi Sulawesi Selatan

pada tahun 2018 adalah 10.286 orang, dengan kapasitas sebanyak

5.765 orang. Jika dilihat dari jumlah warga binaan di Sulawesi

Selatan ternyata melebihi kapasitas, yang artinya semakin banyak

warga binaan yang akan mengalami gangguan psikologis salah

satunya stres (Direktorat Jendral Pemasyarakatan, 2018).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan secara

langsung di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba,

kepada petugas lapas pada bulan Desember 2018 didapatkan

jumlah seluruh warga binaan sebanyak 336 orang. Sedangkan

jumlah narapidana 242 orang dari berbagai kasus yaitu Narkoba

berjumlah 160 orang, pembunuhan berjumlah 38 orang, pencurian

berjumlah 22 orang, perampokan berjumlah 1 orang, penipuan

berjumlah 2 orang, perlindungan anak berjumlah 17 orang, dan

KDRT berjumlah 2 orang.


3

Seseorang yang terpaksa tinggal di lembaga

pemasyarakatan dan menjalani hukuman merupakan penyesuaian

diri yang berat karena lapas adalah tempat yang penuh dengan

tekanan, sehingga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Permasalahan yang menuntut narapidana untuk menyesuaikan diri

adalah kehilangan kebebasan untuk tinggal diluar, jauh dari

keluarga, kehilangan barang dan jasa, serta kehilangan hubungan

heteroseksual. Hal-hal tersebut akan menyebabkan seseorang

mendapatkan tekanan karena hidup didalam penjara yang

mengakibatkan mereka menjadi stres (Yosep, 2009).

Stres dalam batas tertentu baik untuk kesehatan kita karena

membantu diri kita untuk tetap aktif dan waspada. Namun, jika stres

yang diterima sangat kuat atau berlangsung lama dan melebihi

kemampuan kita untuk mengatasinya maka dapat mengakibatkan

distress emosional seperti depresi atau kecemasan, atau keluhan

fisik seperti kelelahan dan sakit kepala. Dampak jangka pajangnya

stres dapat mengakibatkan gangguan pencernaan sampai penyakit

jantung (Priyoto, 2014).

Melihat betapa buruknya dampak dari stres, pihak Lembaga

Pemasyarakatan melakukan upaya-upaya pencegahan atau

pengobatan untuk menangani kasus-kasus stres narapidana, salah

satunya dengan memberikan dukungan secara spiritual yang bisa

didapatkan dari pemuka agama seperti ustadz maupun ustadzah,

dan orang-orang yang ada disekitar individu yang membutuhkan


4

dukungan, serta dari tenaga kesehatan seperti perawat. Spiritual

dibutuhkan oleh semua orang untuk menghadapi penyimpangan

sosial, kultural, ansietas, stres, ketakutan, kematian dan sekarat,

keterasingan sosial, dan filosofi kehidupan, serta kebutuhan untuk

mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, dan menjalin

hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Hamid, 2008).

Dukungan spiritual ini jika terpenuhi akan muncul perasaan

aman, damai, dan tentram, serta membebaskan manusia dari

perasaan cemas, hampa, dan takut. Dukungan spiritual yang

diberikan berupa kegiatan keagamaan, karena kegiatan yang

bersifat keagamaanlah yang dapat menentramkan jiwa seseorang

dan dapat memberikan jalan keluar untuk menghadapi masalah (Ah

et al., 2017).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pelani, Rama and

Naro pada tahun 2018 dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa

pelaksanaan kegiatan keagamaan sebagai pilar perbaikan perilaku

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A

Sungguhminasa Gowa, berjalan dengan cukup baik dengan

dilakukannya pembimbingan oleh uztadz dan uztadzah dari luar

Lapas. Perlahan-lahan para narapidana yang betul-betul giat dalam

mengikuti bimbingan menunjukkan perubahan pada pemahaman,

wawasan serta perilakunya.

Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan and Yahya tahun

2016 dengan judul pelatihan kaligrafi terhadap tingkat stres


5

narapidana dengan nilai 0,013<0,05 menunjukkan bahwa adanya

pengaruh kaligrafi terhadap tingkat stres narapidana. Secara umum

setelah responden mengikuti pelatihan kaligrafi, responden memiliki

perasaan dan pemahaman tentang diri dan konsep Ketuhanan

yang lebih positif. Menyisipkan pengajaran asmaul husna atau

teaching spiritual concept sebelum melukis kaligrafi, hal tersebut

menjadi salah satu dukungan yang diberikan secara spiritual.

Penelitian yang dilakukan oleh Faizin tahun 2016 dengan

judul hubungan antara intensitas dzikir dengan optimisme

kesembuhan pada pecandu narkoba di pondok rehabilitasi, dengan

hasil menunjukkan adanya hubungan positif antara intensitas dzikir

dan optimisme kesembuhan pada pecandu narkoba. Jika intensitas

dzikirnya tinggi maka tingkat optimisme kesembuhannya akan

tinggi dan sebaliknya jika intensitas dzikirnya rendah maka tingkat

optimisme kesembuhannya akan rendah pula.

Hasil wawancara langsung kepada 5 narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba pada bulan

Desember 2018 menunjukkan bahwa faktor pemicu stres

narapidana yaitu tidak mendapatkan kebebasan fisik, jauh dari

keluarga, memikirkan istri dan anaknya, memikirkan lama masa

hukuman, memikirkan persepsi orang tentang dirinya, serta

memikirkan bagaimana caranya bersosialisasi kembali setelah

keluar dari penjara. Dari ke-5 narapidana yang di wawancarai, 3

narapidana yang mengatakan bahwa sering mendapatkan


6

dukungan, motivasi dan arahan dari ustadz maupun pegawai lapas,

serta selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh

lembaga, sehingga selama berada di penjara mereka menjadi lebih

tenang, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan 2

narapidana lainnya mengatakan kadang-kadang mengikuti kegiatan

keagamaan jika dirinya menginginkan, seperti melaksanakan sholat

dzhuhur dan ashar yang dilakukan secara berjamaah, dan

mengikuti pengajian.

Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, maka peneliti

merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan

dukungan spiritual dengan tingkat stres narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah

Seseorang yang masuk lembaga pemasyarakatan dan

menjalani kehidupan sebagai narapidana membuat psikologisnya

terganggu dan mengakibatkan narapidananya menjadi stres.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan secara langsung pada

bulan Desember 2018 didapatkan jumlah narapidana 242 dengan

berbagai kasus salah satunya kasus narkoba dengan jumlah 160

orang. Terdapat faktor pemicu stres narapidana yaitu tidak

mendapatkan kebebasan fisik, jauh dari keluarga, memikirkan istri

dan anaknya, memikirkan lama masa hukuman, memikirkan

persepsi orang tentang dirinya, serta memikirkan bagaimana

caranya bersosialisasi kembali setelah keluar dari penjara.


7

Dari hasil permasalahan yang ditemukan maka dapat

dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah ada

hubungan dukungan spiritual dengan tingkat stres narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba tahun 2019 ?

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara

dukungan spiritual dengan tingkat stres narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba tahun 2019.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dukungan spiritual dengan

tingkat stres narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A

Bulukumba.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi dukungan spiritual pada narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba.

b. Untuk mengidentifikasi tingkat stres pada narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba.

c. Untuk menganalisis hubungan dukungan spiritual dengan

tingkat stres narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas

II A Bulukumba.
8

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengembangkan

dan menambah pengetahuan, serta memberikan pemahaman

tentang hubungan dukungan spiritual dengan tingkat stres

narapidana.

2. Manfaat Aplikatif

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi

masyarakat dan keluarga narapidana untuk selalu memberikan

dukungan terutama dukungan secara spiritual untuk mencegah

terjadinya stres yang berkelanjutan, serta bagi perawat terutama

perawat lembaga pemasyarakatan dapat memberikan intervensi

berupa jenis terapi untuk menurunkan tingkat stres. Dan juga

bagi lembaga pemasyarakatan untuk selalu memberikan

kegiatan-kegiatan secara spiritual, seperti mendengarkan

ceramah, membaca Al-Qur’an dan sebagainya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Tentang Tingkat Stres

1. Pengertian Stres

Menurut Goldenson, stres adalah suatu kondisi atau situasi

internal atau lingkungan yang membebankan tuntunan

penyesuaian terhadap individu yang bersangkutan. Keadaan

stres cenderung menimbulkan usaha ekstra dan penyesuaian

baru, tetapi dalam waktu yang lama akan melemahkan

pertahanan individu dan menyebabkan ketidakpuasan (Saam

and Wahyuni, 2013).

Stres merupakan suatu reaksi fisik dan psikis yang

menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas

kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada persepsi

seseorang terhadap situasi yang dihadapinya dan kenyataan

yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan

(Priyoto, 2014).

Stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik

terhadap setiap tuntutan. Misalnya bagaimana respons tubuh

seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban

pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya

artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka

dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi

sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau

9
10

lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat

menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut

mengalami distres (Hawari, 2016).

2. Sumber Stres

Stresor merupakan stimuli yang mengawali atau memicu

perubahan yang menimbulkan stres. Faktor yang menimbulkan

stres, dapat berasal dari sumber internal yaitu dari diri sendiri

maupun eksternal yaitu keluarga, masyarakat, dan lingkungan

(Hidayat, 2009).

a. Internal

Faktor internal stres bersumber dari diri sendiri. Stresor

individual dapat timbul dari tuntutan pekerjaan atau beban

yang terlalu berat, kondisi keuangan, ketidakpuasan dengan

fisik tubuh, penyakit yang dialami, masa pubertas,

karakteristik atau sifat yang dimiliki, dan sebagainya.

b. Ekstrenal

Faktor eksternal stres dapat bersumber dari keluarga,

masyarakat, dan lingkungan. Stresor yang berasal dari

keluarga disebabkan oleh adanya perselisihan dalam

keluarga, perpisahan orang tua, adanya anggota keluarga

yang mengalami kecanduan narkoba, dan sebagainya.

Sumber stresor masyarakat dan lingkungan dapat berasal

dari lingkungan pekerjaan, lingkungan sosial, atau

lingkungan fisik.
11

3. Faktor Presipitasi Stres

Beberapa faktor yang dianggap sebagai pemicu timbulnya

stres (stresor) yang biasa disebut sebagai faktor presipitasi

antara lain sebagai berikut (Nasir and Muhith, 2011) :

a. Faktor Fisik

Berikut ini adalah beberapa faktor fisik yang dapat

menyebabkan stres.

1) Case History

Beberapa riwayat penyakit di masa lalu yang

mempunyai efek psikologis di masa depan, dapat berupa

kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan organ atau

bagian tubuh (cacat), patah tulang, dan sebagainya.

2) Tidur

Istirahat yang cukup akan memberikan energi pada

kegiatan yang sedang dilakukannya. Kebutuhan tidur

akan mempengaruhi konsentrasi, semangat, dan gairah

terhadap pekerjaan yang dilakoninya. Penderita insomnia

mempunyai kerentanan terhadap stres yang lebih berat.

Dibuktikan dengan penelitian (Palifiana and Jati,

2018) diketahui nilai p-value sebesar 0,033 dimana nilai

tersebut lebih kecil dari nilai α = 0,05 yang berarti ada

hubungan antara tingkat stres dengan kualitas tidur pada

warga binaan.
12

3) Penyakit

Beberapa penyakit dapat menjadi stresor pada

individu berupa tuberkulosis (TBC), kanker, impotensi

yang disebabkan oleh penyakit diabetes melitus, dan

berbagai penyakit lainnya. Penyakit anemia dapat

menimbulkan individu cepat merasa lelah sehingga dapat

menimbulkan rasa stres karena individu kurang dapat

bekerja secara maksimal.

Dibuktikan dengan penelitian (Aliflamra, Wati and

Rahimah, 2016) nilai p-value = 0,000 menunjukka ada

hubungan antara lama pengobatan dengan tingkat stres

pada pasien tuberkulosis paru. Peneliti berpendapat

bahwa lamanya pengobatan sangat mempengaruhi

tingkat stres pada pasien karena banyak aspek

psikososial yang tidak terpenuhi oleh pasien, salah

satunya adalah rasa ketidakpuasan akibat pengobatan

jangka panjang penyakit tuberkulosis paru.

b. Faktor Psikologis

Berikut ini adalah beberapa faktor psikologis yang dapat

memicu terjadinya stres.

1) Persepsi

Kadar stres dalam suatu peristiwa sangat bergantung

pada bagaimana individu bereaksi terhadap stres

tersebut. Hal ini juga dipengaruhi oleh bagaimana


13

individu berpersepsi terhadap stresor yang muncul.

Kadar stres tersebut sangat bergantung pada hal-hal

berikut ini :

a) Kontrol terhadap stres. Individu dapat mengontrol

stres yang muncul, misalnya individu tersebut keluar

dari lingkungan dan pemikiran-pemikiran yang dapat

merusak pemikiran positif.

b) Stres yang dapat diprediksi. Individu yang mempunyai

kesiapan terhadap pekerjaan yang mengandung

risiko stres akan lebih baik dibandingkan individu yang

tidak siap sama sekali.

2) Emosi

Merupakan hal sangat penting dan kompleks dalam

diri individu. Stres dan emosi mempunyai keterikatan

yang saling memengaruhi keduanya, seperti kecemasan,

rasa bersalah, khawatir, ekspresi marah, rasa takut,

sedih, dan cemburu.

3) Situasi Psikologis

Hal-hal yang memengaruhi konsep berfikir (kognitif)

dan penilaian terhadap situasi-situasi yang

memengaruhinya. Situasi tersebut berupa konflik,

frustasi, serta situasi atau kondisi tertentu yang dapat

memengaruhi penilaian yang memberikan ancaman bagi

individu.
14

4) Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup merupakan keseluruhan kejadian

yang memberikan pengaruh psikologis bagi individu.

Kejadian tersebut memberikan dampak psikologis dan

memungkinkan munculnya stres pada individu. Beberapa

kejadian tersebut antara lain, perubahan hidup, masa

transisi, dan krisis kehidupan.

c. Faktor Lingkungan

1) Lingkungan Fisik

Kondisi atau kejadian yang berhubungan dengan

keadaan sekeliling individu dapat memicu terjadinya

stres. Hal tersebut dapat berupa bencana alam (disaster

syndrome). Hal-hal yang dapat menjadi stresor adalah

kondisi cuaca (terlalu panas atau dingin), kondisi

lingkungan yang padat (over crowded), kemacetan,

lingkungan kerja yang kotor, dan sebagainya.

2) Lingkungan Biotik

Gangguan yang berasal dari makhluk mikroskopik

berupa virus atau bakteri. Misalnya penderita alergi dapat

menjadi stres bila lingkungan tempat tinggalnya menjadi

pemicu munculnya alergi bila berada di dalamnya.

3) Lingkungan Sosial

Hubungan yang buruk dengan orang tua, bos, atau

rekan kerja adalah hal-hal yang berhubungan dengan


15

orang lain, yang apabila tidak berjalan dengan baik akan

menjadi stresor bagi individu jika tidak dapat

memperbaiki hubungannya.

4. Tingkat Stres

Stres sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Mungkin

tidak ada manusia biasa yang belum pernah merasakan stres.

Stres kini menjadi manusiawi selama tidak berlarut-larut

berkepanjangan. Berdasarkan gejalanya, stres dibagi menjadi

empat tingkatan yaitu (Priyoto, 2014) :

a. Stres Normal atau Tidak Stres

Sters normal yang dihadapi secara teratur dan

merupakan bagian alamiah dari kehidupan. Seperti dalam

situasi kelelahan setelah mengerjalan tugas, takut tidak lulus

ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah

aktifitas.

b. Stres Ringan

Stres ringan adalah stresor yang dihadapi setiap orang

secara teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu

lintas, kritikan dari atasan. Situasi seperti ini biasanya

berlangsung beberapa menit atau jam. Stresor ringan

biasanya tidak disertai timbulnya gejala.

Ciri-cirinya yaitu semangat meningkat, penglihatan

tajam, energi meningkat namun cadangan energinya

menurun, kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat,


16

sering merasa letih tanpa sebab, kadang-kadang terdapat

gangguan sistem seperti pencernaan, otot, perasaan tidak

santai. Stres yang ringan berguna karena dapat memacu

seseorang untuk berfikir dan berusaha lebih tangguh

menghadapi tantangan hidup.

c. Stres Sedang

Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai

beberapa hari. Situasi perselisihan yang tidak terselesaikan

dengan rekan, anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang

lama dari anggota keluarga merupakan penyebab stres.

Sedangkan ciri-cirinya yaitu sakit perut, mules, otot-otot

terasa tegang, perasaan tegang, gangguan tidur, badan

terasa ringan.

d. Stres Berat

Adalah situasi yang lama dirasakan oleh seseorang

dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa

bulan, seperti perselisihan perkawinan secara terus

menerus, kesulitan financial yang berlangsung lama karena

tidak ada perbaikan, berpisah dengan keluarga, berpindah

tempat tinggal mempunyai penyakit kronis dan termasuk

perubahan fisik, psikologis, sosial pada usia lanjut. Makin

sering dan makin lama situasi stres, makin tinggi resiko

kesehatan yang ditimbulkan. Stres yang berkepanjangan

dapat mempengaruhi kemampuan untuk menyelesaikan


17

tugas perkembangan. Ciri-cirinya yaitu sulit beraktivitas,

gangguan hubungan sosial, sulit tidur, negativistik,

penurunan konsentrasi, takut tidak jelas, keletihan

meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana,

gangguan sistem meningkat, perasaan takut meningkat.

5. Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42)

Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) adalah

media kuesioner untuk mengukur tingkat depresi, kecemasan,

dan stres pada individu. DASS 42 terdiri dari 42 pertanyaan,

yang mencakup tiga subvariabel diantaranya, fisik,

emosi/psikologis, dan perilaku. DASS 42 terdiri dari tiga skala

yang didesain untuk mengukur 3 jenis keadaan emosiaonal,

yaitu depresi, kecemasan, dan stres pada seseorang. Setiap

skala terdiri dari 14 pertanyaan dengan pilihan jawaban 0-3.

Nilai 0 tidak pernah, 1 kadang-kadang, 2 sering, 3 selalu,

dengan kategori normal, stres (ringan, sedang dan berat)

(Nilamastuti, 2016).

Nomor
Skala Indikator Pertanyaan
Pertanyaan

Depresi a. Tidak ada perasaan positif 3

b. Tidak bisa melakukan sesuatu 5

c. Tidak ada harapan 10,37

d. Sedih dan tertekan 13

e. Kehilangan minat 16
18

f. Merasa tidak berharga 17,34

g. Merasa hidup tidak bermanfaat 21,38

h. Tidak mendapat kesenangan 24

i. Merasa putus asa 26

j. Tidak merasa antusias 31

k. Sulit berinisiatif 42

Kecemasan a. Mulut kering 2

b. Sesak nafas 4

c. Sering gemetar 7,41

d. Berada di situasi cemas 9

e. Pusing 15

f. Berkeringat tanpa sebab 19

g. Ketakutan 20,36

h. Sulit menelan 23

i. Sadar akan aksi gerak jantung 25

j. Dekat dengan kepanikan 28,40

k. Tidak berdaya 30

Stres a. Marah karena hal sepele 1

b. Bereaksi berlebihan terhadap 6

situasi

c. Sulit untuk beristirahat 8,22

d. Mudah merasa kesal 11

e. Menghabiskan banyak energi 12

karena cemas
19

f. Tidak sabaran 14

g. Mudah tersinggung 18

h. Mudah marah 27

i. Sulit tenang saat merasa kesal 29

j. Sulit untuk sabar 32

k. Merasa gelisah 33

l. Sulit mentolerir gangguan 35

m. Mudah gelisah 39

Tabel 1. Kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42)

6. Stres Bagi Narapidana

Narapidana yang masuk penjara tentunya mendapat

kendala. Menurut Williams (2007), situasi ketika awal masuk

penjara adalah keadaan yang paling mempengaruhi psikologis

narapidana. Kegiatan yang bisa dilakukan sesuka hati seorang

individu diluar, dapat berubah drastis dalam penjara. Kegiatan

yang terjadwal, peraturan-peraturan ketat, serta pembatasan

waktu untuk bertemu orang yang dicintai adalah peraturan yang

harus dijalani di dalam penjara (Riza and Herdiana, 2013).

Seseorang yang terpaksa tinggal di Lemaga

Pemasyarakatan karena menjalani hukuman akan

mempengaruhi kondisi psikologisnya. Mereka akan mengalami

kesulitan untuk menyesuaikan kehidupannya di Lembaga

pemasyarakatan, tetapi mereka harus tetap mengikuti aturan-


20

aturan yang berlaku di Lapas. Selain itu, mereka juga harus

terpisah dari keluargamya, kehilangan barang dan jasa,

kehilangan kebebasan untuk tinggal diluar, atau kehilangan pola

seksualitasnya. Hal tersebut akan menyebabkan seseorang

mendapatkan tekanan karena hidup didalam penjara yang

mengakibatkan mereka menjadi stres. Jika seseorang sudah

mengalami stres berat, ia akan beresiko untuk membahayakan

diri sendiri maupun orang lain bahkan dapat terjadi percobaan

bunuh diri (Anggit and Ni, 2017).

Kewajiban narapidana menurut (UU Nomor 6 Tahun 2013)

tentang tata tertip Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

Tahanan Negara yaitu:

a. Kewajiban Narapidana Pada (Pasal 3)

Setiap narapidana atau tahanan wajib:

1) Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan/atau

kepercayaan yang dianutnya serta memelihara

kerukunan beragama

2) Mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan

3) Patuh, taat, dan hormat kepada petugas

4) Mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan

5) Memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan

norma kesopanan
21

6) Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta

mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka

kebersihan lingkungan hunian

7) Mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh petugas

Pemasyarakatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siswati &

Aburrohim (2009) yang dikutip dalam (Riza and Herdiana,

2013), stressor tertinggi yang dialami narapidana adalah dari

jumlah hukuman yang diterima. Narapidana dengan masa

hukuman yang lebih lama cenderung memiliki tingkat stres yang

tinggi. Perasaan tidak terima serta batasan bertemu dengan

pihak keluarga merupakan masalah utama yang dialami oleh

narapidana.

B. Tinjauan Teori Tentang Dukungan Spiritual

1. Pengertian Spiritual

Spiritualitas (spirituality) merupakan sesuatu yang dipercayai

oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang

lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta

kecintaan terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas

segala kesalahan yang pernah diperbuat (Hidayat, 2009).

Spiritual dapat digambarkan sebagai pengalaman seseorang

atau keyakinan seseorang tentang bagaimana seharusnya

menjalani hidup, menghargai orang lain dengan menggunakan

keyakinan akan kekuatan Yang Maha Esa. Spiritual merupakan


22

bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam

memaknai kehidupan (Ah et al., 2017).

Menurut Carson (1989) kebutuhan spiritual adalah

kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan

keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan

untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai,

menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Hamid,

2008).

2. Karakteristik Spiritual

a. Hubungan Dengan Diri Sendri

Merupakan kekuatan dari dalam diri sendiri seseorang,

meliputi pengetahuan dan sikap tentang diri. Pengetahuan

diri adalah semua jawaban dari pertanyaan tentang siapa

dirinya dan apa yang dapat dilakukan. Sikap diri terkait

dengan kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada

kehidupan atau masa depan, ketenangan pikiran serta

keselarasan dengan diri sendiri. Kekuatan yang timbul dari

diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan

hidupnya, diantaranya memandang pengalaman hidupnya

sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup, optimis

terhadap masa depan dan tujuan hidup yang semakin jelas

(Ah et al., 2017).


23

b. Hubungan Dengan Alam

Hubungan dengan alam lebih menekankan pada

keselarasan dalam mengetahui dan berkomunikasi dengan

alam. Pengetahuan, kepercayaan, keyakinan tentang alam

yaitu, tanah air, udara, warna, aroma, tanaman, satwa dan

lain-lain akan menciptakan pola perilaku manusia terhadap

alam (Ah et al., 2017).

c. Hubungan Dengan Orang Lain

Karakteristik spiritualitas seseorang dalam berhubungan

dengan orang lain didasari oleh kepercayaan, harapan dan

makna hidup yang terbangun dalam spiritualitas pribadi (Ah

et al., 2017).

Hubungan dengan orang lain terdapat hubungan

harmonis dan tidak harmonis. Keadaan harmonis meliputi

berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal

balik, mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit, meyakini

kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak

harmonis mencakup konflik dengan orang lain (Hamid,

2008).

d. Hubungan Dengan Tuhan

Hubungan dengan ketuhanan meliputi agamis atau tidak

agamis. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan berdoa,

keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan

keagamaan, serta bersatu dengan alam. Seseorang


24

terpenuhi kebutuhan spiritualnya apabila mampu

merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan

keberadaannya di dunia atau kehidupan, mengembangkan

arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian

atau penderitaan, menjalin hubungan positif dan dinamis

melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta, membina

integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan

kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan dan

mengembangkan hubungan antar manusia yang positif

(Hamid, 2008).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual

Menurut (Hidayat, 2009) faktor yang mempengaruhi

kebutuhan spiritual yaitu:

a. Perkembangan

Usia perkembangan dapat menentukan proses

pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap tahap

perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan

terhadap Tuhan.

b. Keluarga

Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam

memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki

ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam

kehidupan sehari-hari.
25

c. Agama Yang Dianut

Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh

seseorang dapat menentukan arti pentingnya kebutuhan

spiritual.

d. Kegiatan Keagamaan

Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan

keberadaan dirinya dengan Tuhan, dan selalu mendekatkan

diri kepada Penciptanya.

4. Dukungan Spiritual Narapidana

Narapidana adalah orang hukuman atau orang yang sedang

menjalani hukuman karena tindak pidana (Efendi, Widodo and

Lutfianingsih, 2016). Sehingga seseorang yang menjalani

hukuman akan mempengaruhi psikologisnya. Maka dari itu

dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan dukungan spiritual

terhadap narapidana yang sedang menjalani kehidupan di

Lembaga Pemasyarakata.

Dukungan spiritual yang diberikan adalah kegiatan

keagamaan, karena kegiatan yang bersifat keagamaanlah yang

dapat menentramkan jiwa seseorang dan dapat memberikan

jalan keluar untuk menghadapi masalah, serta memberikan

petunjuk kehidupan. Kegiatan keagamaan yang dilakukan

adalah melaksanakan sholat secara berjama’ah, mengikuti

pengajian, melakukan bimbingan dzikir dan do’a, serta

membaca Al-Qur’an. Dari dukungan tersebut menjadi sumber


26

kekuatan individu dalam memahami distres fisik yang berat,

menjadi sumber kekuatan dan pembangkit semangat bagi

narapidana untuk menjalankan kehidupan di dalam penjara (Ah

et al., 2017).

Selain dari pemuka agama, dukungan spiritual juga bisa dari

orang yang ada didalam intitusi tersebut, salah satunya adalah

perawat. Perawat memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan

spiritual. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mausia untuk

menghadapi penyimpangan sosial, kultural, ansietas, kematian

dan sekarat, keterasingan sosial serta filosofi kehidupan. Untuk

memenuhi kebutuhan spiritual klien sehingga mengasilkan

kepuasan spiritual bagi klien, maka dilakukan suatu tindakan.

Tindakan terpenting dari perawat adalah kembangkan

komunikasi terapeutik dengan meningkatkan kehadiran diri

perawat, mendukung klien melaksanakan penerapan ritual

keagamaan, membantu berdo’a, dan merujuk klien kepada

konselor spiritual, rohaniawan, atau bimbingan rohani (Ah et al.,

2017).

a. Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik dapat diekspresikan melalui

kehadiran fisik dan psikologis perawat. Kehadiran fisik

meliputi semua bahasa tubuh dengan berbagai maknanya,

kehadiran psikologis meliputi dimensi respons dan dimensi

tindakan. Semua ini perlu diperhatikan perawat untuk


27

memberikan dukungan spiritual kepada klien, dengarkan

dengan penuh perhatian, dan bantulah klien menemukan

makna dari peristiwa yang dialami.

b. Mendukung Penerapan Ritual Keagamaan

Perawat harus memberikan bantuan untuk melancarkan

asuhan keperawatan spesifik masalah spiritual klien, seperti

keyakinan dan kepercayaan klien tentang mulainya

kehidupan, kematian, pakaian, diet, do’a ataupun simbol-

simbol penerapan keagamaan lainnya. Berpartisipasi dalam

suatu komunitas rohani dapat meningkatkan spiritualitas,

menimbulkan rasa nyaman dan ketentraman.

c. Membantu Berdo’a

Membaca kitab suci, merenungkan berkat dalam hidup

dan berserah kepada Yang Maha Kuasa merupakan cara

yang baik dalam meningkatkan spiritual. Pembenaran positif

dapat juga membantu seseorang menghadapi stress. Salah

satu cara untuk mendapatkan pembenaran positif adalah

dengan berdiam diri, sambil merenungkan kitab suci atau

berdzikir.

d. Merujuk Kepada Konselor Spiritual

Dukungan spiritual dapat datang dari mana saja.

Perawat dapat mencari dukungan spiritual dari komunitas

rohaninya, rohaniawan yang tersedia di rumah sakit atau

sesuai keinginan klien, sebatas tidak bertentangan dengan


28

aturan rumah sakit. Selain itu dukungan spiritual juga dapat

diperoleh dari teman, mentor, ataupun konselor.

Penelitian yang sejalan dengan teori tersebut adalah

penelitian yang dilakukan oleh (Ilhamsyah, Sjattar and Hadju,

2013) dengan hasil terdapat hubungan pelaksanaan

keperawatan spiritual dengan kepuasan spiritual pasien di ruang

rawat inap Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar dengan nilai p-

value 0,033. Yang artinya pelaksanaan keperawatan spiritual

yang dilakukan yaitu komunikasi antar perawat dan pasien

adalah suatu hal yang dasar untuk membina hubungan

interpersonal dengan pasien. Hubungan interpersonal yang baik

memungkinkan proses pemenuhan kebutuhan spiritual akan

menjadi lebih mudah.


29

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah model pendahuluan dari sebuah

masalah penelitian dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-

veriabel yang diteliti (Swarjana, 2015).

Variabel Independen Variabel Dependen

Dukungan Spiritual Tingkat Stres

Gambar 1. Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel Independen yang diteliti

: Variabel Dependen yang diteliti

: Hubungan tiap variabel


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah model atau metode yang

digunakan peneliti untuk melakukan suatu penelitian yang

memberikan arah terhadap jalannya penelitian (Dharma, 2011).

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif. Desain

penelitian ini menggunaan penelitian analitik dengan pendekatan

cross sectional, dimana variabel independen dan variabel

dependen diidentifikasi pada satu satuan waktu (Dharma, 2011).

B. Waktu Dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Mei 2019.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A

Bulukumba tahun 2019.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan

karakteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau

subjek yang dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat

yang dimiliki subjek atau objek tersebut, atau kumpulan orang,

individu, atau objek yang akan diteliti sifat-sifat atau

30
31

karakteristiknya (Hidayat, 2018). Populasi dalam penelitian ini

adalah narapidana dengan kasus narkoba sebanyak 160 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau

sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi

(Hidayat, 2018). Besar sampel dalam penelitian ini adalah 47

orang. Didapatkan dengan menggunakan rumus besar sampel

menurut (Dahlan, 2011) :


2
(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)
𝑛=( 1 + 𝑟) + 3
0,5 ln 1 − 𝑟

2
(1,96 + 0,84)
=( 1 + 0,4 ) + 3
0,5 ln 1 − 0,4

2
(2,8)
=( 1,4) + 3
0,5 ln 0,6

2
(2,8)
=( ) +3
0,5 ln 2,33

2
(2,8)
=( ) +3
0,5 . 0,84

2
(2,8)
=( ) +3
0,42

= (6,6)2 + 3

= 47
32

Keterangan :

n = Besar sampel

Z Baku Alfa (Zα) = 1,96

Z Baku Beta (Zβ) = 0,84

Ln = Bilangan Natural

r = Koefisen atau nilai bermakna 0,4

3. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan suatu proses dalam menyeleksi

sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang

ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili dari keseluruhan

populasi yang ada (Hidayat, 2018). Teknik sampling pada

penelitian ini menggunakan metode Consecutive sampling yaitu,

suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan dengan memilih

semua individu yang ditemui dan memenuhi kriteria pemilihan,

sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi (Dharma,

2011).

4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang harus dimiliki oleh

individu dalam populasi untuk dapat dijadikan sampel dalam

penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi adalah kriteria yang tidak

boleh ada atau tidak boleh dimiliki oleh sampel yang akan

digunakan untuk penelitian (Dharma, 2011).


33

a. Kriteria Inklusi

1) Narapidana yang bersedia menjadi responden

2) Narapidana yang bisa baca tulis

3) Narapidana dengan kasus narkoba

4) Usia 17 tahun keatas

5) Narapidana dengan masa hukuman 5 – 11 tahun

6) Narapidana yang pertama kali masuk penjara

b. Kriteria Eksklusi

1) Narapidana yang mengalami sakit

2) Narapidana yang menolak

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah karakteristik yang melekat pada populasi,

bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam

suatu penelitian (Dharma, 2011).

1. Variabel Independen

Variabel independen disebut juga variabel sebab yaitu

karakteristik dari subjek yang dengan keberadaannya

menyebabkan perubahan pada variabel lainnya (Dharma,

2011). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen

adalah dukungan spiritual.


34

2. Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi

atau menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat, 2018).

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah

tingkat stres.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan

peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat

terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2018).

Adapun definisi oprasional pada penelitian ini adalah:

1. Dukungan Spiritual

a. Dukungan spiritual merupakan suatu dukungan yang

diberikan kepada narapidana berupa pendekatan kepada

Tuhan, seperti melaksanakan sholat, membaca Al-Qur’an,

mengikuti pengajian, cerah, dan lain sebagainya. Agar

narapidana ini memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi

suatu masalah.

b. Kriteria objektif

1) Mendukung : ketika skornya ≥ 83

2) Tidak Mendukung : ketika skornya < 83

c. Alat ukur : Kuesioner

d. Skala ukur : Ordinal


35

2. Tingkat Stres

a. Tingkat stres merupakan suatu rentang untuk menilai stres

pada narapidana selama menjalankan hukuman.

b. Kriteria objektif

1) Stres : ≥ 18

2) Tidak Stres : < 18

c. Alat ukur : Kuesioner

d. Skala ukur : Ordinal

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh

peneliti untuk mengobservasi, mengukur atau menilai suatu

fenomena. Data yang diperoleh dari suatu pengukuran kemudian

dianalisis dan dijadikan sebagai bukti dari suatu penelitian

(Dharma, 2011).

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini

adalah instrumen dalam bentuk kuesioner. Kuesioner adalah suatu

bentuk atau dokumen yang berisi beberapa item pertanyaan atau

pernyataan yang dibuat berdasarkan indikator-indikator suatu

variabel (Dharma, 2011).

Instrumen yang digunakan untuk dukungan spiritual adalah

kuesioner yang diadopsi milik (Nilamastuti, 2016) yang terdiri dari

26 pernyataan menggunakan skala likert. Setiap jawaban dari

pernyataan tersebut diberi nilai 4 = selalu, 3 = sering, 2 = kadang-

kadang, 1 = tidak pernah. Sedangkan instrumen yang digunakan


36

untuk tingkat stres adalah kuesioner DASS 42 yang diadopsi dan

dikembangkan dari Lovibond, S.H & Lovibond, P.F, yang dikutip

dalam penelitian (Nilamastuti, 2016) yang terdiri dari 14

pernyataan. Setiap jawaban dari pernyataan tersebut diberi nilai 0 =

tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = sering, dan 3 = selalu.

Peneliti tidak perlu melakukan uji validitas dan reliabilitas

pada instrumen DASS, karena telah diuji validitas dan

reliabilitasnya. Hasil uji validitas dan reliabilitas pada kuesioner

pengukuran tingkat stres menghasilkan Cronbach’s Alpha 0,911

dan terdapat 14 peryataan kuesioner yang mewakili variabel

indikator stres. Semua pernyataan dinyatakan valid. Peneliti

sebelumya (Nilamastuti, 2016) telah melakukan uji validitas dan

reliabilitas pada instrumen dukungan spiritual. Uji validitas

dilakukan kepada 25 warga binaan yang menjalani masa hukuman.

Setelah dilakukan uji validitas dan realibilitas pada kuesioner

dukungan spiritual, dari 30 pernyataan terdapat 4 pernyataan yang

tidak valid, serta 26 pernyataan yang valid (r-hitung > 0,396).

G. Tehnik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan cara yang dilakukan

dalam pengumpulan data penelitian. Cara pengumpulan data

tersebut meliputi wawancara berstruktur, observasi, angket,

pengukuran, atau melihat data statistik (data sekunder) seperti

dokumentasi (Hidayat, 2018).


37

1. Data Primer

Data primer atau data tangan pertama adalah data yang

diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan

alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada

subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Susila and

Suyanto, 2014). Data primer dari penelitian ini adalah data yang

berasal dari reponden dengan cara pengisian kuesioner. Data

primer ini memberikan gambaran tentang karakteristik

responden, dukungan spiritual dan tingkat stres narapidana.

2. Data Sekunder

Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang

diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data sekunder

biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang

telah tersedia (Susila and Suyanto, 2014). Data sekunder dari

penelitian ini didapatkan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

A Bulukumba. Data tersebut berupa jumlah narapidana, dan

jumlah narapidana perkasus.


38

H. Alur Penelitian

Proposal Penelitian :

Hubungan dukungan spiritual dengan tingkat stres narapidana di


Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba Tahun 2019

Hipotesis Penelitian :

Ada hubungan antara dukungan spiritual dengan tingkat stres


narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba
Tahun 2019

Populasi : populasi dalam penelitian ini adalah narapidana


dengan kasus narkoba sebanyak 160 orang

Sampel : besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 47


orang dengan mengunakan Consecutive sampling

Instrumen Penelitian : Kuesioner

Tempat : Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A


Bulukumba

Variabel Independen : Pengumpulan Data : Variabel Dependen :


Dukungan Spiritual Kuesioner Tingkat Stres

Analisis Data : Univariat dan


Bivariat

Gambar 2. Alur Penelitian


39

I. Teknik Pengelolaan dan Analisa Data

1. Teknik Pengolahan Data

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali

kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing

dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah

data terkumpul (Hidayat, 2018).

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik

(angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan

analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam

pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam

satu buku (codebook) untuk memudahkan kembali melihat

lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel (Hidayat,

2018).

c. Data Entry

Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer,

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau

dengan membuat tabel kontigensi (Hidayat, 2018).


40

2. Teknik Analisa Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menjabarkan secara

deskriptif mengenai distribusi frekuensi dan proporsi masing-

masing variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun

variabel terikat. Analisis univariat bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap

variabel penelitian (Sumantri, 2011).

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Analisis ini

digunakan untuk menguji hipotesis dengan menentukan

hubungan variabel bebas dan variabel terikat melalui Uji

Statistik (Sumantri, 2011). Penelitian ini menggunakan uji

statistik Chi-square alternative Kolmogorov Smirnov.

J. Etika Penelitian

Penelitian keperawatan pada umumnya melibatkan manusia

sebagai subjek penelitian. Tidak bisa dipungkiri penelitian

mempunyai resiko ketidaknyamanan atau cidera pada subjek mulai

dari resiko ringan sampai dengan berat. Sehingga penelitian

keperawatan perlu dikawal dengan etika penelitian yang

memberikan jaminan bahwa keuntungan yang didapat dari

penelitian jauh melebihi efek samping yang ditimbulkan.


41

Pemahaman etika penelitian merupakan suatu keharusan bagi

peneliti dibidang keperawatan (Dharma, 2011).

Menurut Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGgrath, Polit &

Beck, 2004, secara umum terdapat empat prinsip utama dalam etik

penelitian keperawatan (Dharma, 2011) :

1. Menghormati Harkat dan Martabat Manusia (Respect for Human

Dignity)

Penelitian harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi

harkat dan martabat manusia. Subjek memiliki hak asasi dan

kebebasan untuk menentukan pilihan ikut atau menolak

penelitian (autonomy). Tidak boleh ada paksaan atau

penekanan tertentu agar subjek bersedia ikut dalam penelitian.

Prinsip ini tertuang dalam pelaksanann informed consent

yaitu persetujuan untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian

setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan terbuka dari

peneliti tentang keseluruhan pelaksanaan penelitian.

2. Menghormati Privasi dan Kerahasiaan Subjek (Respect for

Privacy and Confidentiality)

Manusia sebagai subjek penelitian memiliki privasi dan hak

asasi untuk mendapatkan kerahasiaan informasi. Sehingga

peneliti perlu merahasiakan berbagai informasi yang

menyangkut privasi subjek yang tidak ingin identitas dan segala

informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain. Prinsip ini

dapat diterapkan dengan cara meniadakan identitas seperti


42

nama dan alamat subjek kemudian diganti dengan kode

tertentu. Dengan demikian segala informasi yang menyangkut

identitas subjek tidak terekspos secara luas.

3. Menghormati Keadilan dan Inklusivitas (Respect for Justice

Inclusiveness)

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna

bahwa penelitian dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati

dan dilakukan secara profesional. Sedangkan prinsip keadilan

mengandung makna bahwa penelitian memberikan keuntungan

dan beban secara merata sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan subjek.

4. Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian yang Ditimbulkan

(Balancing Harm and Benefits)

Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian

harus mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

subjek penelitian dan populasi dimana hasil penelitian akan

diterapkan (beneficience). Kemudian meminimalisir

resiko/dampak yang merugikan bagi subjek penelitian

(nonmaleficience).
43

K. Jadwal Penelitian

BULAN
KEGIATAN
Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
Pengajuan Judul
ACC Judul
Penyusunan Proposal
Bimbingan Proposal
ACC Proposal
Ujian Proposal
Penelitian
Penyusunan Skripsi
ACC Skripsi
Ujian Skripsi

Tabel 2. Jadwal Penelitian


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

a. Distribusi jumlah responden berdasarkan usia

Tabel 4.1
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Usia Frekuensi (f) Persentasi (%)


Remaja (12-25) 13 27,7
Dewasa (26-45) 32 68,1
Lansia (>45) 2 4,3
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa

responden yang usia paling banyak yaitu pada usia dewasa 32

responden (68,1%) sedangkan usia yang paling sedikit yaitu pada

usia lansia 2 responden (4,3%).

b. Distribusi jumlah responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 3.2
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentasi (%)


Laki-Laki 44 93,6
Perempuan 3 6,4
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019

44
45

Berdasarkan tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa jenis

kelamin laki-laki lebih banyak 44 responden (93,6%) dibandingkan

dengan perempuan 3 responden (6,4%).

c. Distribusi jumlah responden berdasarkan status pernikahan

Tabel 4.3
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Status Pernikahan Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Status
Frekuensi (f) Persentasi (%)
Pernikahan
Menikah 30 63,8
Belum Menikah 17 36,2
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa

responden yang sudah menikah lebih banyak 30 responden

(63,8%) dibandingkan dengan yang belum menikah 17 responden

(36,2%).

d. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tabel 4.4
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Pendidikan Frekuensi (f) Persentasi (%)


SD 4 8,5
SMP 15 31,9
SMA 26 55,3
Diploma 2 4,3
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa tingkat

pedidikan responden yang terbanyak yaitu pendidikan SMA


46

sebanyak 26 responden (55,3%) sedangkan yang terendah yaitu

pendidikan diploma sebanyak 2 responden (4,3%).

e. Distribusi jumlah responden berdasarkan masa hukuman

Tabel 4.5
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Masa Hukuman Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Masa
Frekuensi (f) Persentasi (%)
Hukuman
5-8 tahun 46 97,9
>8 tahun 1 2,1
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa masa

hukuman responden yang tertinggi yaitu 5-8 tahun sebanyak 46

responden (97,9%), sedangkan masa hukuman >8 tahun sebanyak

1 responden (2,1%).

2. Analisa Univariat

a. Gambaran jumlah responden berdasarkan dukungan

spiritual

Tabel 4.6
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Dukungan Spiritual Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Bulukumba

Dukungan Spiritual Frekuensi (f) Persentasi (%)


Mendukung 24 51,1
Tidak Mendukung 23 48,9
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019
47

Berdasarkan tabel 4.6 pada hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa responden yang dukungan spiritualnya mendukung lebih

banyak yaitu 24 responden (51,1%), dibandingkan dengan

responden yang dukungan spiritualnya tidak mendukung yaitu 23

responden (48,9%).

b. Gambaran jumlah responden berdasarkan tingkat stres

Tabel 4.7
Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Stres Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Tingkat Stres Frekuensi (f) Persentasi (%)


Stres 26 55,3
Tidak Stres 21 44,7
Total 47 100
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 4.7 pada hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa responden yang mengalami stres lebih banyak 26

responden (55,3%), dibandingkan dengan yang tidak stres 21

responden (44,7%).

3. Analisis Bivariat

Berdasarkan hasil analisis bivariat hubungan dukungan

spiritual dengan tingkat stres pada narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba dapat dilihat tabel di

bawah ini.
48

Tabel 4.8
Hubungan Dukungan Spiritual Dengan Tingkat Stres Pada Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Tingkat Stres Jumlah


Dukungan Nilai
Stres Tidak Stres
Spiritual p
f % f % N %
Mendukung 3 12,5 21 87,5 24 100
0,000
Tidak Mendukung 23 100 0 0 23 100
Jumlah 26 55,3 21 44,7 47 100
Sumber: Uji Chi-Square

Berdasarkan tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa

terdapat 24 responden (100%) yang dukungan spiritualnya

mendukung, dari 3 responden (12,5%) dengan kategori stres,

dan dukungan spiritual yang medukung 21 responden (87,5%)

dengan kategori tidak stres. Sedangkan responden yang

dukungan spiritualnya tidak mendukung dengan kategori stres

sebanyak 23 responden (100%) dan tidak stres 0%. Sehingga

secara presentase dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

dukungan spiritual dengan tingkat stres. Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa nilai p<0,05, hal ini terbukti bahwa

dukungan spiritual berhubungan secara bermakna dengan

tingkat stres.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan

menggunakan uji Chi Square, maka diperoleh nilai p=0,000

lebih kecil dari nilai α =0,05. Dengan demikian menunjukkan

proporsi dukungan spiritual yang mendukung dengan kategori


49

tidak stres lebih besar dibandingkan dengan dukungan spiritual

tidak mendukung.

B. Pembahasan

1. Dukungan Spiritual

Berdasarkan tabel 4.6 diatas, hasil penelitian

menunjukkan bahwa responden yang dukungan spiritualnya

mendukung lebih banyak di bandingkan dengan responden

yang dukungan spiritualnya tidak mendukung, yaitu dengan

dukungan spiritual yang mendukung sebanyak 24 responden

(51,1%).

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Hawari

tahun 2012 yang menyatakan bahwa dimensi spiritual lebih

menggunakan psikoterapi religius. Psikoterapi religius yang

dikenal sekarang dalam bentuk doa dan dzikir mempunyai nilai

psikoterapeutik lebih tinggi dari pada psikoterapi psikiatrik,

karena mengandung nilai spiritual atau kerohanian yang dapat

membangkitkan rasa percaya diri, dan rasa optimisme, karena

kedua hal tersebut begitu esensial bagi penyembuhan suatu

penyakit disamping pengobatan medis lainnya.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Pelani, Rama and Naro pada tahun 2018 menyatakan

bahwa pelaksanaan kegiatan keagamaan sebagai pilar

perbaikan perilaku narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Kelas II A Sungguminasa Gowa, berjalan dengan cukup


50

baik dengan dilakukannya pembimbingan oleh uztadz dan

uztadzah dari luar lapas. Perlahan-lahan para narapidana yang

betul-betul giat dalam mengikuti bimbingan menunjukkan

perubahan pada pemahaman, wawasan serta perilakunya.

Kegiatan keagamaan adalah suatu aktifitas yang berkenaan

dengan kepercayaan kepada sang pencipta dengan tujuan

untuk meningkatkan ketakwaan kepada sang khalik.

Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa responden

yang sebagian besar mendapatkan dukungan spiritual dan

semangat dari orang-orang yang mengunjunginya seperti

keluarga, teman dan para rohaniawan, hal tersebut memicu

seseorang untuk melakukan kegiatan keagamaan, seperti

melaksanakan sholat lima waktu, rajin membaca Al-Qur’an,

serta mengikuti pengajian dan dzikir. Sehingga membuat

seseorang menjadi lebih baik dan sabar ketika mengadapi

cobaan hidup.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Faizin tahun 2016 tentang hubungan antara intensitas

dzikir dengan optimisme kesembuhan pada pecandu narkoba di

pondok rehabilitasi, didapatkan hasil yaitu ada hubungan antara

intensitas dzikir dan optimisme kesembuhan pada pecandu

narkoba dengan nilai 0,000<0,05. Intensitas dzikir adalah salah

satu cara dalam memberikan dukungan sehingga menjadi

sumber kekuatan dan pembangkit semangat bagi individu yang


51

mendapatkan dukungan. Secara spesifik, aspek intensitas dzikir

yang paling menonjol adalah aspek enjoying karena akan

memunculkan ketenangan, kedamaian, ketentraman, saat

sedang dan setelah ber-dzikir.

2. Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 4.7 diatas, hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berada di

Lapas mengalami stres dibandingkan dengan responden yang

tidak stres, yaitu 26 responden (55,3%) yang mengalami stres

dan 21 responden (44,7%) yang tidak stres.

Menurut (Priyoto, 2014) Stres merupakan suatu reaksi

fisik dan psikis yang menyebabkan ketegangan dan

mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari yang didasarkan

pada persepsi seseorang terhadap situasi yang dihadapinya

dan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi

yang menekan. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus and Folkam

tahun 1984 dalam Goal tahun 2016 yang menyatakan bahwa

stres adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya

yang dievaluasi oleh seseorang sebagai tuntutan atau

ketidakmampuan dalam mengadapi situasi yang

membahayakan atau mengancam kesehatan.

Penelitian Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Susanti tahun 2010 tentang hubungan dukungan sosial

dengan stres pada narapidana penyalahgunaan napza di


52

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Sleman

Yogyakarta, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

dukungan sosial dengan stres pada narapidana dengan nilai p =

0,000. Diketahui bahwa tingkat stres yang dialami narapidana

berada dalam kategori sedang sebanyak 62,9%. Stres yang

dialami oleh narapidana adalah karena lama pemakaian NAPZA

oleh para narapidana sudah menimbulkan ketergantungan

psikologis yaitu keinginan menggunakan NAPZA kembali yang

tidak dapat dipenuhi sehingga menimbulkan gejala stres.

Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini, yang

dilakukan oleh Juniartha, Ruspawan and Sipahutar tahun 2011

tentang hubungan antara harga diri (self-esteem) dengan

tingkat stres narapidana wanita di lapas klas IIA Denpasar, yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara harga diri dengan

tingkat stres narapidana dengan nilai p<α (0,011<0,05).

Perubahan harga diri narapidana bisa disebabkan oleh adanya

perubahan lingkungan dari kehidupan masyarakat ke penjara

dan perubahan aktivitas sehari-hari. Selain dampak psikologis

tersebut, kehidupan di Lapas juga akan mempengaruhi stres

seseorang.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lyon tahun

2012 yang menyatakan bahwa Life events (peristiwa-peristiwa

kehidupan) berfokus pada peranan perubahan-perubahan

kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu yang singkat


53

sehingga meningkatkan kerentanan pada penyakit. Suatu

peristiwa kehidupan bisa menjadi sumber stres terhadap

seseorang apabila kejadian tersebut membutuhkan

penyesuaian perilaku dalam waktu yang sangat singkat. Ketika

seseorang gagal berurusan (menyesuaikan) dengan situasi atau

perubahan-perubahan yang secara ekstrem tersebut, maka

timbul-lah dampak buruk, seperti perasaan cemas.

Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa responden

yang stresnya lebih banyak terjadi karena dipengaruhi oleh

kurangnya dukungan, baik itu spiritual, keluarga, maupun sosial.

Selain itu juga ada beberapa faktor yang membuat responden

menjadi stres salah satunya yaitu status pernikahan responden.

Berdasarkan hasil penelitian ini responden yang telah menikah

lebih banyak yaitu 63,8%. Responden yang telah berkeluarga,

akan selalu memikirkan kondisi keluarganya ketika berada

didalam penjara. Bukan hanya status pernikahan yang

mempengaruhi stres seseorang, tetapi istirahat yang kurang

juga akan mempengaruhi tingkat stres narapidana.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Palifiana and Jati tahun 2018 yang mengatakan bahwa terdapat

hubungan antara tingkat stres dengan kualitas tidur warga

binaan dengan nilai p=0,033. Dimana tidur merupakan hal yang

penting bagi manusia, karena terjadi suatu proses pemulihan


54

serta penting untuk keseimbangan fisiologis dan fungsi mental

dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

3. Hubungan dukungan spiritual dengan tingkat stres pada

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bulukumba

Berdasarkan tabel 4.8 diatas, hasil penelitian

menunjukkan bahwa dari hasil uji statistik dengan

menggunakan uji Chi Square, maka diperoleh nilai p=0,000

lebih kecil dari nilai α=0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan proporsi dukungan spiritual dengan tingkat

stres pada narapidana.

Kondisi stres adalah suatu bentuk tanggapan seseorang,

baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di

lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan

dirinya terancam. Selama berada di penjara, ruang gerak

narapidana dibatasi dan mereka terisolasi dari masyarakat serta

masa hukuman yang lama membuat narapidana tidak nyaman.

Keadaan seperti ini dapat menjadi stresor yang menyebabkan

stres pada narapidana (Doelhadi, 2011).

Hal ini sejalan dengan penelitian Siswati and Abdurrohim

tahun 2016 tentang masa hukuman & stres pada narapidana

dengan hasil penelitian terdapat hubungan signifikan antara

lama menjalani masa hukuman dengan kondisi stres

narapidana dengan nilai 0,000<0,05. Seseorang dapat

mengalami tekanan dari hal-hal yang terjadi dalam kehidupan


55

pribadinya yang terisolasi atau dalam hubungannya dengan

tekanan di sekitar lingkungannya. Hal ini memperlihatkan bahwa

lama menjalani masa hukuman mempunyai peran dalam

memicu menculnya kondisi stres.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Gunawan and Yahya tahun 2016 tentang pelatihan kaligrafi

terhadap tingkat stres narapidana, dengan hasil penelitian

terdapat pengaruh kaligrafi terhadap tingkat stres narapidana

dengan nilai 0,013<0,05. Secara umum setelah responden

mengiikuti pelatihan kaligrafi, responden memiliki perasaan dan

pemahaman tentang diri dan konsep Ketuhanan yang lebih

positif. Menyisipkan pengajaran asmaul husna atau teaching

spiritual concept sebelum melukis kaligrafi, hal tersebut menjadi

salah satu dukungan yang diberikan secara spiritual sehingga

mampu menurunkan tingkat stres narapidana.

Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya

dukungan spiritual yang mendukung dari keluarga, teman

maupun rohaniawan, membuat narapidana menjadi lebih

semangat melaksanakan ibadah dalam memenuhi kebutuhan

spiritualnya, sehingga dapat menjalani hidup yang lebih baik lagi

dan mampu mengatasi stres yang dimiliki.

Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa responden

yang dukungan spiritualnya mendukung dan tidak mengalami

stres karena responden dapat mengatasi stresnya dengan cara


56

melakukan hal-hal yang positif, seperti mengikuti kegiatan

keagamaan, mengaji, sholat, dan lain sebagainya. Selain dari

kegaiatan keagamaan, ada banyak kegiatan yang bisa

dilakukan oleh responden seperi kegiatan olahraga dan

kegiatan keterampilan produktif. Sedangkan responden yang

dukungan spiritualnya tidak mendukung dan mengalami stres

karena dukungan yang didapatkan masih kurang, dan

pemahaman setiap responden ini berbeda. Selain itu faktor lain

yang dapat mempengaruhi stres yaitu dari tingkat

perkembangan, pengalaman masa lalu, status pernikahan dan

lama masa tahanan.

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Masih kurangnya jurnal-jurnal pendukung, sehingga sulit dalam

melakukan penyusunan pembahasan.

2. Kesulitan dalam bertemu langsung dengan responden, karena

peraturan yang ketat dari tempat penelitian yang harus dipatuhi,

sehingga tidak semua responden bertemu langsung dengan

peneliti.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dukungan spiritual di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A

Bulukumba, yaitu dukungan spiritual yang mendukung lebih

banyak terjadi pada responden yang tidak mengalami stres

dibandingkan dengan yang dukungan spiritualnya tidak

mendukung.

2. Tingkat stres di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A

Bulukumba, yaitu responden yang mengalami stres secara

keseluruhan terjadi pada responden yang dukungan spiritualnya

tidak mendukung.

3. Terdapat hubungan proporsi antara dukungan spiritual dengan

tingkat stres pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Bulukumba.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti yaitu:

1. Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan pedoman petugas lapas

untuk selalu memperhatikan kondisi kesehatan mental

narapidana.

57
58

2. Diharapkan bagi tenaga kesehatan yang ada di Lapas

Bulukumba untuk memberikan intervensi berupa terapi untuk

menurunkan tingkat stres narapidana.

3. Diharapkan responden mampu meningkatkan spiritualnya

dengan cara memperbanyak mengikuti kegiatan keagamaan

sehingga mampu mengatasi stres yang dimiliki.

4. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini bisa dijadikan bahan

kajian lebih lanjut sehingga hasilnya bisa lebih representatif dan

dapat lebih spesifik, untuk itu diperlukan jumlah sampel yang

lebih diperbanyak untuk mendapatkan hasil yang lebih

signifikan. Serta dapat pula mengganti salah satu variabel atau

mengganti tempat penelitian sehingga menghasilkan penelitian

yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Ah, Y. et al. (2017) Kebutuhan Spiritual: Konsep dan Aplikasi dalam

Asuhan Keperawatan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Aliflamra, I., Wati, Y. R. and Rahimah, S. B. (2016) ‘Hubungan Lama

Pengobatan dengan Tingkat Stres pada Pasien Tuberkulosis Paru di

RSUD Al – Ihsan Kabupaten Bandung Periode Maret – Mei 2016’,

Prosiding Pendidikan Dokter, 2(2), pp. 746–751.

Anggit, F. and Ni, A. (2017) ‘Tingkat Stres dan Harga Diri Narapidana

Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Bogor’, 9(2), pp. 26–

33.

Dahlan, M. S. (2011) Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian

Bidang Kedokteran dan Kesehatan. 2nd edn. Jakarta: Sagung Seto.

Dharma, K. K. (2011) Metodologi Penelitian Keperawatan (Panduan

Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian). Edisi Revi. Jakarta:

TIM.

Direktorat Jendral Pemasyarakatan (2018) Sistem Database

Pemasyarakatan, Indonesia. Available at:

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/year/2018/month/12

(Accessed: 31 December 2018).

Doelhadi, S. (2011) ‘Strategi dalam Pengendalian dan Pengelolaan Stres’,

Jurnal Skologi Anima, XII.

Efendi, J., Widodo, I. G. and Lutfianingsih, F. F. (2016) Kamus Istilah

Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia Group.

Faizin, M. C. (2016) ‘Hubungan Antara Intensitas Dzikir Dengan


Optimisme Kesembuhan Pada Pecandu Narkoba Di Pondok Rehabilitasi’,

Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(2).

Goal, N. T. L. (2016) ‘Teori Stres : Stimulus , Respons , dan

Transaksional’, Buletin Psikologi, 24(1), pp. 1–11. doi:

10.22146/bpsi.11224.

Gunawan, I. and Yahya (2016) ‘Pelatihan Kaligrafi Terhadap Tingkat

Stress Narapidana’, Jurnal Psikoislamika, 13.

Hamid, A. Y. S. (2008) Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan

jiwa. Jakarta: EGC.

Hawari, D. (2012) Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi.

Jakarta: Balai Penerbitan FKUI.

Hawari, D. (2016) Manajemen Stres, Cemas, Dan Depresi. 2nd edn.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hidayat, A. A. A. (2009) Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi

Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, A. A. A. (2018) Metodologi Penelitian Keperawatan dan

Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ilhamsyah, Sjattar, E. L. and Hadju, V. (2013) ‘Hubungan Pelaksanaan

Keperawatan Spiritual Terhadap Kepuasan Spiritual Pasien Di Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar’, pp. 0–10.

Juniartha, I. G. N., Ruspawan, I. D. M. and Sipahutar, I. E. (2011)

‘Hubungan Antara Harga Diri ( Self-Esteem ) dengan Tingkat Stres

Narapidana Wanita di Lapas Kelas II A Denpasar’, (2006).

Lazarus, R. . and Folkam, S. (1984) Stres, Appraisal, and Coping. New


York, USA: Springer Publishing Company.

Lyon, B. . (2012) Stres, Coping, and Health. Handbook of Stress, coping

and Health: Implications for nursing research, theory, and practice. USA:

Sage Publication, Inc.

Nasir, A. and Muhith, A. (2011) Dasar-Dasar keperawatan Jiwa:

Pengantar Dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.

Nilamastuti, M. T. (2016) Hubungan Tingkat Spiritual dengan Tingkat

Stres Pada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA

Kabupaten Jember.

Palifiana, D. A. and Jati, R. K. (2018) ‘Hubungan Antara Tingkat Stres

dengan Kualitas Tidur pada Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Yogyakarta’, 7(1), pp. 28–33.

Pelani, H., Rama, B. and Naro, W. (2018) ‘Kegiatan Keagamaan Sebagai

Pilar Perbaikan Perilaku Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Kelas IIA Sungguminasa Gowa’, 6(December), pp. 444–458.

Priyoto (2014) Konsep Manajemen Stress. Yogyakarta: Nuha Medika.

Riskesdas (2018) Hasil Utama Riskesdas 2018 : Kementrian Kesehatan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available at:

http://www.depkes.go.id/resources/download/info-

terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil Riskesdas 2018.pdf.

Riza, M. and Herdiana, I. (2013) ‘Resiliensi pada Narapidana Laki-laki di

Lapas Klas 1 Medaeng’, Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 2(1), pp.

1–6.

Saam, Z. and Wahyuni, S. (2013) Psikologi Keperawatan. 2nd edn.


Jakarta: Rajawali Pers.

Siswati, T. I. and Abdurrohim (2016) ‘Masa Hukuman & Stres pada

Narapidana’, Proyeksi, 4(2), pp. 95–106.

Sumantri, A. (2011) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:

KENCANA.

Susanti, W. (2010) ‘Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres pada

Narapidana Penyalahgunaan Napza di Lembaga Pemasyarakatan

Narkoba Kelas IIA Sleman Yogyakarta’.

Susila and Suyanto (2014) Metode Penelitian Epidemiologi Bidang

Kedokteran dan Kesehatan. Yogyakarta: Bursa Ilmu.

Swarjana, I. K. (2015) Metodologi Penelitian Kesehatan. Revisi.

Yogyakarta: ANDI.

UU Nomor 6 tahun 2013 (2013) Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib

Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Available at:

http://www.lapaspemudatangerang.org/images/dowload/Perm6.pdf.

WHO (2017) Depression and Other Common Mental Disorders : Global

Health Estimates. Available at:

https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254610/WHO-MSD-MER-

2017.2-

eng.pdf;jsessionid=887A853057D51507C5E919E0DEA2E83F?sequence

=1.

Yosep, I. (2009) Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai