Anda di halaman 1dari 64

Buku

PANDUAN
TEORI

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2019
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

BUKU PANDUAN KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Edisi Kedua

Copyright ®2019
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Cetakan Pertama: Februari 2019

Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala


Semua hak cipta terpelihara

Penerbitan ini dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta dan harus ada izin oleh penerbit
sebelum memperbanyak, disimpan, atau disebar dalam bentuk elektronik, mekanik, foto
kopi, dan rekaman atau bentuk lainnya.

2
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

TIM PENYUSUN
BUKU PANDUAN KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FK UNSYIAH/ RSUDZA

dr. Sitti Hajar, SpKK., FINSDV., FAADV


dr. Nanda Earlia, SpKK., FINSDV
dr. Mimi Maulida, SpKK., FINSDV
dr. Fitria, M.Sc., SpKK., FINSDV
dr. Vella, SpKK., FINSDV
dr. Sulamsih Sri Budini, SpKK
dr. Wahyu Lestari, SpKK
dr. Arie Hidayati, M. Ked (DV)., SpDV
dr. Cut Yunita, M. Ked (DV)., SpDV

3
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas tersusunnya Buku Panduan
Pemeriksaan Fisik Kulit. Tujuan pembuatan buku ini adalah sebagai panduan bagi calon dokter
umum agar lebih terarah dalam melakukan pemeriksaan fisik kulit sehingga memudahkan dalam
mengikuti proses belajar mengajar di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini, untuk itu kami
mengucapkan terima kasih. Kami menyadari bahwa buku panduan ini masih membutuhkan
penyempurnaan yang berkelanjutan sehingga masukan dan saran sangat kami harapkan demi
kemajuan pendidikan kedokteran khususnya dibidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Akhirnya
kami berharap semoga buku ini dapat memberikan banyak manfaat.

Banda Aceh, Januari 2019


D e k a n,

4
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

DAFTAR ISI

5
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

DAFTAR PENYAKIT
LEVEL OF EXPECTED ABILITY (SKDI 2012)

SISTEM INTEGUMEN
Tingkat
No. Daftar Penyakit
Kemampuan
KULIT
Infeksi Virus
1 Veruka vulgaris 4A
2 Kondiloma akuminatum 3A
3 Moluskum kontagiosum 4A
4 Herpes zoster tanpa komplikasi 4A
5 Morbili tanpa komplikasi 4A
6 Varisela tanpa komplikasi 4A
7 Herpes simpleks tanpa komplikasi 4A
Infeksi Bakteri
8 Impetigo 4A
9 Impetigo ulseratif (ektima) 4A
10 Folikulitis superfisialis 4A
11 Furunkel, karbunkel 4A
12 Eritrasma 4A
13 Erisipelas 4A
14 Skrofuloderma 4A
15 Lepra 4A
16 Reaksi lepra 3A
17 Sifilis stadium 1 dan 2 4A
Infeksi Jamur
18 Tinea kapitis 4A
19 Tinea barbe 4A
20 Tinea fasialis 4A
21 Tinea korporis 4A
22 Tinea manus 4A

6
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

23 Tinea unguium 4A
24 Tinea kruris 4A
25 Tinea pedis 4A
26 Pitiriasis vesikolor 4A
27 Kandidosis mukokutan ringan 4A
Gigitan Serangga dan Infestasi Parasit
28 Cutaneus larva migran 4A
29 Filariasis 4A
30 Pedikulosis kapitis 4A
31 Pedikulosis pubis 4A
32 Skabies 4A
33 Reaksi gigitan serangga 4A
Dermatitis Eksim
34 Dermatitis kontak iritan 4A
35 Dermatitis kontak alergika 3A
36 Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 4A
37 Dermatitis numularis 4A
38 Liken simpleks kronik/neurodermatitis 3A
39 Napkin eczema 4A
Lesi Eritro-Squamosa
40 Psoriasis vulgaris 3A
41 Dermatitis seboroik 4A
42 Pitiriasis rosea 4A
Kelainan Kelenjar Sebasea dan Ekrin
43 Akne vulgaris ringan 4A
44 Akne vulgaris sedang-berat 3A
45 Hidradenitis supuratif 4A
46 Dermatitis Perioral 4A
47 Miliaria 4A
Penyakit Vesikobulosa
48 Toxic epidermal necrolysis 3B
49 Sindrom Stevens-Johnson 3B

7
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Penyakit Kulit Alergi


50 Urtikaria akut 4A
51 Urtikaria kronis 3A
52 Angioedema 3B
Penyakit Autoimun
53 Lupus eritematosis kulit 2
Gangguan Keratinisasi
54 Ichthyosis vulgaris 3A
Reaksi Obat
55 Exanthematous drug eruption, fixed drug eruption 4A
Kelainan Pigmentasi
56 Vitiligo 3A
57 Melasma 3A
58 Albino 2
59 Hiperpigmentasi pascainflamasi 3A
60 Hipopigmentasi pascainflamasi 3A
Neoplasma
61 Keratosis seboroik 2
62 Kista epitel 3A
Tumor Epitel Premaligna dan Maligna
Squamous cell carcinoma (Karsinoma sel
63 2
skuamosa)
64 Basal cell carcinoma (Karsinoma sel basa) 2
Tumor Dermis
65 Xanthoma 2
66 Hemangioma 2
Tumor Sel Melanosit
67 Lentigo 2
68 Nevus pigmentosus 2
69 Melanoma maligna 1
Rambut
70 Alopesia areata 2

8
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

71 Alopesia androgenik 2
72 Telogen eflluvium 2
73 Psoriasis vulgaris 2
Trauma
74 Vulnus laseratum, punctum 4A
75 Vulnus perforatum, penetratum 3B
76 Luka bakar derajat 1 dan 2 4A
77 Luka bakar derajat 3 dan 4 3B
78 Luka akibat bahan kimia 3B
79 Luka akibat sengatan listrik 3B

9
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

I. PEMERIKSAAN FISIK KULIT

Tujuan Umum :
1. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik dermatologis, dan clinical test (uji kulit)
secara sistematis dan benar sesuai dengan daftar penyakit sistem integumen 4A SKDI
2012
Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu menginformasikan kepada pasien tentang tujuan dari pemeriksaan
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik dermatologis
3. Mahasiswa mampu mendeskripsikan status dermatologis dengan tepat dan
menghubungkannya dengan gejala klinis pasien
4. Mahasiswa mampu menentukan dan melakukan (uji kulit) yang relevan dengan gejala
klinis pasien

I. ANATOMI KULIT DAN ADNEKSA KULIT


A. Anatomi Kulit
Kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh manusia yang terdiri atas :
1. Epidermis, merupakan lapisan luar yang terdiri dari:
- Stratum korneum (lapisan tanduk).
- Stratum lusidum.
- Stratum granulosum (lapisan keratohialin) : berisi sedikit keratin sehingga kulit menjadi
keras dan kering ; mengandung melanin.
- Stratum spinosum (stratum malphigi).
- Stratum basalis.
2. Dermis:
- Stratum papilare.
- Stratum retikulare.
3. Subkutis: terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya (gambar 1).

10
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 1. Penampang kulit

B. Adneksa kulit
- Rambut: terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang
berada di luar kulit/batang rambut (gambar 2).
11
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

- Kuku: terdiri atas matriks kuku, dinding kuku (nail wall), dasar kuku (nail bed), alur kuku
(nail groove), akar kuku (nail root), lempeng kuku (nail plate), lunula, eponikium,
hiponikium (gambar 3).
- Kelenjar : kelenjar ekrin dan apokrin, kelenjar sebasea.

Gambar 2. Penampang rambut

Gambar 3. Penampang kuku

II. FUNGSI KULIT


Kulit memiliki beberapa fungsi yaitu:
1. Fungsi proteksi
2. Fungsi absorpsi
3. Fungsi ekskresi
4. Fungsi pengindra (Sensori), sebagai alat peraba, kulit dilengkapi dengan reseptor-
reseptor khusus yaitu:
12
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

- Badan Ruffini : sensasi panas, ujung reseptornya terletak di dekat epidermis.


- Badan Krause: sensasi dingin
- Badan taktil Meissner dan Badan Ranvier: raba, ujung reseptornya terletak di dekat
epidermis.
- Badan Paccini: tekanan, ujung reseptor berada di dermis yang jauh dari epidermis.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh
6. Fungsi pembentukan pigmen
7. Fungsi keratinisasi
8. Fungsi produksi vitamin D
9. Fungsi ekspresi emosi

III. TAHAPAN DALAM MEMBUAT DIAGNOSIS DERMATOLOGIS


Penegakkan diagnosis mudah dilakukan dengan memperhatikan tahap-tahap berikut:
1. Pendekatan terhadap pasien (anamnesis).
2. Pemeriksaan kelainan morfologi (deskripsi status dermatologis).
3. Pemeriksaan fisik kulit (tes klinis).
4. Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan KOH, sediaan langsung, pewarnaan gram, kultur,
tzank test, indeks bakteri dan indeks morfologi, pemeriksaan histopatologis,
imunofluoresensi, serologis, radiologis, pemeriksaan genetik, dan biomolekuler).

A. PEMERIKSAAN FISIK DERMATOLOGIS


- Pemeriksaan fisik dermatologis merupakan pemeriksaan tubuh pasien untuk menemukan
adanya kelainan atau tanda klinis penyakit, meliputi: pemeriksaan kulit, adneksa kulit (rambut
dan kuku), membrana mukosa (mata, mulut, hidung, dan genetalia).
- Hasil pemeriksaan harus dicatat dalam rekam medis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara
sistematis, mulai dari kepala dan berakhir pada anggota gerak (cranio – cauda).
- Alat-alat yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan fisik:
1. Alat pembesar (loupe)
2. Flashlight / lampu senter untuk menerangi lesi
3. Mistar untuk mengukur lesi.
4. Kaca objek untuk pemeriksaan diaskopi, kaarsvlek phenomen dan auspitz sign.
5. Kapas alkohol untuk menghilangkan sisik atau minyak pada permukaan kulit.
6. Kasa atau tissue dengan air untuk menghilangkan make up.

13
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

7. Sarung tangan, harus digunakan saat pemeriksaan skabies, sifilis sekunder, memeriksa
membrana mukosa, dan daerah genetalia.
8. Pisau skalpel nomor 15 untuk mengikis lesi atau nomor 11 untuk insisi lesi.
9. Lampu Wood (365 nm) untuk menilai fluoresensi.
10. Kamera untuk dokumentasi.

- Teknik pemeriksaan fisik kulit


1. Inspeksi kulit
 Observasi tampilan keseluruhan pasien, termasuk hygiene kulit, warna kulit dan
variasinya, vaskularisasi, keringat, edema, injury (perlukaan).
 Warna kulit dipengaruhi oleh ras. Kulit abnormal ditemukan : flushing, cyanosis,
jaundice, pigmentasi yang tidak teratur.
 Observasi dan dokumentasikan kelainan kulit yang ditemukan.

2. Palpasi kulit
 Pergunakan jari-jari tangan untuk memeriksa lesi. Sarung tangan dispossible dapat
digunakan untuk melindungi pemeriksa ketika malakukan pemeriksaan luka
 Pada palpasi, periksa kelembaban kulit, temperatur, tekstur, turgor, dan lesi (kerusakan
kulit)

B. DESKRIPSI STATUS DERMATOLOGIS


Setelah melakukan inspeksi dan palpasi, maka tentukan deskripsi status dermatologis
berdasarkan TERMINOLOGI lesi kulit (tipe lesi, morfologi lesi, ukuran, jumlah, susunan,
konfigurasi, dan distribusi lesi).

Terminologi lesi kulit


Definisi Lesi (bahasa latin) artinya cedera. Lesi merupakan jaringan abnormal pada tubuh
karena proses trauma (fisik, kimiawi, elektris), infeksi, kelainan metabolisme, dan autoimun.
Deskripsi status dermatologis harus meliputi hal berikut:
1. Lokasi atau regio
Regio merupakan tempat terdapatnya lesi dan ditentukan berdasarkan lokasi anatomi tubuh
manusia, contohnya regio frontalis, regio aksilaris, regio sternalis, atau regio umbilikalis.

14
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

2. Tipe lesi
Tipe lesi ditentukan berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit dan berdasarkan perjalanan
penyakitnya. Pembagian kelompok lesi berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kelompok lesi berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit
Lebih Lebih Sama Perubahan Berisi Pembuluh
tinggi rendah rata permukaan cairan darah
Papula Erosi Makula Skuama Vesikel Purpura
Plak Ulkus Patch Krusta Bula Telangiektasis
Skar
Nodul Ekskoriasi Pustula Infark
atrofi
Kista Fisura Abses
Wheal/Urti
Likenifikasi
ka
Skar
Hipertrofi
Berdasarkan perjalanan penyakit dan proses terbentuknya lesi, maka dibagi menjadi lesi primer
dan lesi sekunder (Tabel 2).
A. Lesi primer, adalah kelainan kulit yang terjadi pada permulaan penyakit. Lesi primer
dibagi menjadi:
 Lesi primer yang sama rata dengan permukaan kulit, yaitu:
1. Makula
Lesi datar pada kulit atau membran mukosa berupa perubahan warna tanpa
perubahan konsistensi, tidak dapat dipalpasi, bentuknya bervariasi, ukuran kurang
dari 0,5 cm, dan batasnya bisa berbeda dengan kulit normal (sirkumskripta/berbatas
tegas) atau samar dengan kulit sekitarnya (difus/tidak tegas).
2. Patch
Makula dengan ukuran yang lebih dari 0,5 cm.
 Lesi primer yang lebih tinggi dari permukaan kulit, yaitu:
1. Papula
Bentuk peninggian kulit yang padat, ukuran kurang dari 0,5 cm. Lesi padat tersebut
disebabkan oleh infiltrat sel radang atau massa padat lainnya di epidermis atau dermis.

15
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

2. Plak
Merupakan peninggian kulit yang berbentuk padat dengan diameter lebih dari 0,5 cm,
mempunyai luas permukaan yang relatif lebih besar dibanding tingginya. Plak juga
bisa terbentuk akibat perluasan dan gabungan dari papul-papul.
3. Nodula
Lesi yang menonjol, berbentuk padat, dan dapat teraba dengan diameter lebih dari 0,5
cm. Nodul bisa terletak di epidermis, dermis, dan subkutan.
4. Urtika atau Wheal
Peninggian kulit yang datar karena edema dermis bagian atas. Bersifat gatal,
timbulnya cepat, hilang setelah beberapa jam, pori-pori melebar, warna pucat.
 Lesi primer yang berisi cairan, yaitu:
1. Vesikel
Peninggian kulit berisi cairan dengan ukuran kurang dari 0,5 cm, dapat pecah
menjadi erosi, dapat bergabung menjadi bula.
2. Bula
Peninggian kulit berisi cairan dengan ukuran lebih dari 0,5 cm.
3. Pustula
Peninggian kulit berisi nanah dengan ukuran kurang dari 0,5cm.
B. Lesi sekunder : kelainan kulit yang dapat timbul selama perjalanan penyakit, dihasilkan
akibat proses eksternal (garukan, infeksi, manipulasi infeksi, ataupun proses penyembuhan
lesi primer).
 Lesi sekunder akibat perubahan permukaan kulit, yaitu:
1. Skuama
Pengelupasan dari stratum korneum. Partikel epidermal dapat kering atau
berminyak, tipis ataupun tebal dan dilapisi massa keratin. Warnanya bervariasi:
putih keabu-abuan kuning atau coklat.
2. Krusta
Cairan tubuh yang mengering pada permukaan kulit. Cairan tersebut bisa berasal dari
serum, darah dan eksudat purulen. Warna krusta berbeda-beda, tergantung dari cairan
yang keluar, warna kekuningan bila berasal dari serum, akan berwarna merah
kehitaman bila berasal dari darah, dan kuning kehijauan berasal dari pus.

16
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

3. Eskoriasi
Hilangnya jaringan sampai stratum papilare di dermis. Secara klinis tampak adanya
bintik perdarahan di kulit. Garukan dapat menghasilkan lesi yang panjang, paralel
dan menyilang serta dapat menimbulkan krusta kehitaman.
4. Fisura
Hilangnya kontinuitas (kesinambungan) kulit sehingga kulit pecah (diskontinuitas)
tanpa kehilangan jaringan.
5. Likenifikasi
Penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas, disebabkan penebalan
epidermis disertai perubahan kolagen pada dermis bagian superfisial.
 Lesi sekunder yang lebih tinggi dari permukaan kulit, yaitu:
1. Sikatrik atau skar hipertrofi
Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak mengandung jaringan ikat
untuk mengganti jaringan yang rusak akibat penyakit atau trauma pada dermis yang
lebih dalam, bila membesar disebut skar hipertrofi. Skar hipertrofi biasanya
berbentuk papula keras, plak, atau nodul. Bila tumbuh sangat berlebihan, disebut
keloid. Berbeda dengan skar hipertrofi, keloid dapat meluas melampaui daerah luka
awal.
 Lesi sekunder yang lebih rendah dari permukaan kulit, yaitu:
1. Erosi
Hilangnya sebagian atau seluruh jaringan epidermis atau epitel mukosa. Erosi dapat
terjadi akibat trauma, misalnya garukan, laserasi, vesikel atau bula superfisial yang
pecah dan nekrosis epidermis. Meskipun erosi dapat menimbulkan infeksi sekunder,
erosi tidak meninggalkan skar.
2. Ulkus
Hilangnya jaringan yang melebihi stratum papilare. Ulkus mempunyai tepi, dinding,
dasar dan isi. Bentuk ulkus dapat bulat, lonjong, atau tidak beraturan. Sekitar ulkus
dapat tenang atau terdapat tanda inflamasi akut/kronis (biasanya hiperpigmentasi).
Tepi ulkus bisa datar atau tinggi. Pengerasan karena sebukan sel radang di sekitar
ulkus, akan teraba keras (indurasi), misalnya pada ulkus durum (sifilis stadium I).
Rasa nyeri pada perabaan (dolent) dapat dirasakan pada ulkus mole (chancroid).

17
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

3. Sikatriks atau skar atrofi


Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak mengandung jaringan ikat
untuk mengganti jaringan yang rusak akibat penyakit atau trauma pada dermis yang
lebih dalam.
4. Kista
Rongga berkapsul yang berisi cairan atau bahan-bahan semisolid (sel dan produknya
seperti keratin), yang bisa terletak di epidermis, dermis & subkutan.

3. Jenis Morfologi
Berdasarkan pengelompokan penyakit (klinis), maka jenis morfologi dapat dibedakan
berdasarkan lesi yang terlihat, yaitu monomorf atau polimorf.
1. Monomorf: Kelainan kulit terdiri atas satu jenis morfologi. Penyakit terdiri atas satu jenis
lesi saja, misalnya bula pada impetigo bulosa, moluskum kontagiosum, miliaria, dan
psioriasis gutata.
2. Polimorf: Kelainan kulit pada satu saat terdiri atas bermacam-macam morfologi, dapat
terlihat makula eritematous, papul, vesikel, erosi kusta. Lesi polimorfi dapat ditemukan
misalnya pada dermatitis atopik, dermatitis kontak alergika, dan akne vulgaris.
Tabel 2. Lesi primer dan lesi sekunder
TERMINOLOG
PENYAKIT
I
MAKULA PITYRIASIS VERSIKOLOR
DAN
PATCH

Regio thoracalis posterior tampak makula hipopigmentasi


batas tegas, tertutup skuama halus. Ukuran gutata sampai
numular, beberapa lesi konfluen. Jumlah multipel, distribusi
regional.

18
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

FIXED DRUG ERUPTION

Regio fasialis (labia) tampak makula violaceous berbatas


tegas, tepi reguler, distribusi regional.

VITILIGO

Regio fasialis (frontal dan palpebra superior dekstra) tampak


patch depigmentasi berbatas tegas, tepi ireguler, ukuran
bervariasi (numular-plakat), jumlah multiple, distribusi
unilateral.

19
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

PAPUL AMILOIDOSIS KUTIS

Regio tibialis dekstra et sinistra


Tampak papul multipel, tersebar diskret, distribusi simetris

PLAK MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER


(BORDERLINE LEPROMATOUS /BL TYPE)

Regio Fasialis tamplak plak eritematosa, multipel dengan


distribusi simetris.

20
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

NODUL ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (ENL)

Regio fasialis tampak nodul eritematus, multipel, diameter


bervariasi 1-3 cm, anestesi positif dan penebalan cuping
telinga. Lesi tersebar diskret, distribusi regional.

WHEAL / URTIKARIA
URTIKA

Regio thorakalis tampak urtika yang tersebar, berwarna


kemerahan, besar dan bentuknya bervariasi, jumlah multipel,
distribusi regional.
21
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

VESIKEL HERPES ZOSTER

Regio Brachii sinistra tampak vesikulae bergerombol dengan


dasar makula eritematus. Sebagian vesikel berkonfluen
membentuk bula. Distribusi unilateral sesuai dermatom.

MILIARIA KRISTALINA

Regio thorakalis anterior et posterior tampak vesikel multipel,


tersebar diskret, dengan distribusi genetralisa.

22
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

POMPHOLIX

Regio palmar manus dekstra et sinistra tampak vesikulae,


jumlah multipel, tersebar diskret, distribusi simetris.

VARICELLA

Regio fasialis, thoracalis, dan ekstremitas superior et inferior


Tampak umbilicated vesicle berdinding tipis, tersebar diatas
makula eritematosa. Iai vesikel jernih, ada yang keruh.
jumlah multipel, tersebar diskret, distribusi generalisata.

23
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

BULA PEMFIGOID BULOSA

Regio thorakalis dan brachii dekstra terdapat bula berdinding


tegang di atas kulit yang eritematus, isi jernih, jumlah
multipel, tersebar diskret dengan distribusi generalisata.

IMPETIGO BULOSA

Regio thorakalis terdapat vesikulae, bula berdinding tipis di


atas kulit yang eritematus, berisi pus, hipopion, tersebar
diskret dengan distribusi generalisata.

24
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

PUSTULA FOLIKULITIS

Regio Tibialis sinistra tampak pustula multipel dengan


distribusi regional.

SKUAMA PSORIASIS VULGARIS

Regio colli dan thorakalis posterior tampak plak eritematus


tertutup skuama tebal, transparan, lekat di bagian tengah dan
lepas pada bagian tepi, jumlah lesi multipel, tersebar diskret,
distribusi generalisata.

25
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

TINEA KORPORIS

Regio Gluteus dextra et sinistra tampak patch eritematus batas


tegas, ukuran plakat, jumlah multipel, tepi polisiklis dan aktif,
dengan central healing ( penyembuhan ditengah) yang
tertutup skuama halus, distribusi bilateral.

DERMATITIS SEBOROIK

Regio facialis (sentro fasial) tampak patch eritematus,


berbatas tidak tegas, ditutupi skuama halus, jumlah lesi
multipel, ukuran numular-plakat, distribusi regional.

26
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

PITYRIASIS ROSEA

Regio Thoracalis posterior tampak makula eritematus


berbentuk bulat lonjong, sumbu panjang searah pelipatan
kulit, diameter bervariasi 1-6 cm (gutata-plakat), tertutup
skuama tipis, lekat di bagian tepi dan lepas pada bagian
tengah (skuama kolaret), terdapat mother plaque/ herald-
patch/ initial-plaque; lesi multipel, tersebar diskret, distribusi
regional.
KRUSTA IMPETIGO KRUSTOSA

Regio fasialis tampak vesikula, bula berdinding tipis mudah


pecah di atas kulit eritematus. Di beberapa tempat terdapat
erosi berwarna kemerahan dan krusta berwarna kuning
kecoklatan seperti madu. Lesi multipel, tersebar, distribusi
regional.

27
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

EKSKORIASI EKSKORIASI

Regio volar lengan bawah tampak ekskoriasi berbentuk linier


dengan jumlah multipel dan distribusi regional.

DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK


EROSI

Regio Fossa Cubiti Dekstra terdapat makula eritematus batas


jelas tepi ireguler, di bagian tengah terdapat erosi, lesi
membentuk ‘kissing lesion’, dengan jumlah soliter dan
distribusi generalista.

28
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

LIKENIFIKASI LIKEN SIMPLEKS KRONIS

Regio pedis dekstra et sinistra tampak plak eritematosa et


hiperpigmentasi, diatasnya terdapat likenifikasi dengan
distribusi simetris.

SKAR SKAR HIPERTROFI SKAR ATROFI

(a) (b)
(a) Regio volar lengan bawah dekstra tampak skar
hipertrofi dengan ukuran plakat jumlah soliter distribusi
regional.
(b) Regio malar sinistra tampak skar atrofi dengan tepi
ireguler ukuran numular jumlah soliter distribusi
regional.
29
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

FISURA TINEA PEDIS

Pada regio plantar pedis sinistra tampak patch hiperpigmentasi


batas tidak tegas tepi ireguler ukuran plakat ditutupi skuama
putih tebal dan disertai fisura dengan distribusi regional.

4. Jumlah lesi
1. Soliter (tunggal) : Hanya ada satu lesi
2. Multipel (lebih dari satu) : Banyak lesi berjumlah lebih dari 1 atau berjumlah banyak.
5. Susunan lesi
Lesi-lesi ganda dapat tersusun berkelompok/clustered (herpetiformis, zosteriformis) dan
tersebar/scattered (diskret, diseminata).
a) Lesi berkelompok (cluster) :
1. Herpetiformis : Beberapa vesikel bergerombol disatu tempat menyerupai lesi herpes
Contohnya dermatitis herpetiformis (Duhring disease), herpes simpleks.
2. Zosteriformis : Lesi kulit yang berjalan mengikuti dermatom dan unilateral.
b) Lesi tersebar (scattered)
1. Diskret : Bila lesi tersebar satu persatu, contohnya pada varisela.
2. Diseminata : Penjalaran dari satu lesi ke bagian tubuh yang lain. Penyebaran diseminata
dapat ditemukan, misalnya pada dermatitis kontak alergika karena adanya autosensitisasi,
ataupun pada id reaction dimana awalnya terdapat satu lesi kemudian menyebar ke bagian
tubuh lain

30
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Tabel 3. Susunan (tatanan) lesi-lesi ganda

SUSUNAN PENYAKIT
BERKELOMPOK (CLUSTER) HERPES SIMPLEKS

HERPETIFORMIS

DERMATITIS HERPETIFORMIS
ZOSTERIFORMIS

31
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

HERPES ZOSTER

TERSEBAR (SCATTERED) VARICELLA

DISKRET

32
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

DERMATITIS KONTAK
AUTOSENSITISASI

ID REACTION pada DIAPER DERMATITIS

ID RECTION PADA TINEA PEDIS

33
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

6. Konfigurasi lesi
1. Anular /Sirsinar: berbentuk cincin, yang menunjukkan bahwa pinggir lesi berbeda dengan
bagian tengah, lebih tinggi, bersisik, atau berbeda warnanya (misalnya granuloma annulare,
tinea corporis, eritema annulare sentrifugum).
2. Bulat/Numular/Diskoid: berbentuk koin, biasanya lesi bulat sampai lonjong dengan
morfologi yang sama dari bagian tepi hingga ke sentral lesi (misalnya eksema numular,
psoriasis tipe plak, lupus discoid.
3. Arkuata/ Arsinar: bentuk lengkung, sering sebagai akibat dari pembentukan tidak lengkap
dari sebuah lesi annular (seperti urtikaria, lupus eritematosus kutaneous subakut).
4. Polisiklik: terbentuk dari lingkaran-lingkaran, cincin atau cincin inkomplit yang bergabung
(seperti pada tinea korporis, tinea kruris).
5. Linear: menyerupai sebuah garis lurus, sering menunjukkan kontaktan eksternal (pada
dermatitis kontak iritan toksik) atau fenomena Koebner yang terjadi sebagai respon terhadap
penggarukan (pada psoriasis vulgaris); bisa ada pada lesi tunggal (seperti scabies burrow,
poison ivy dermatitis, atau pigmentasi bleomycin) atau pada tatanan lesi ganda (liken nitidus
atau liken planus).
6. Irisformis: lesi kulit tersusun menyerupai iris mata. Lesi dapat oval atau bulat dengan
perbedaan warna, yaitu di bagian tengah lebih gelap dari pada bagian tepinya. Bagian tengah
dapat pula berbentuk vesikel/bula disekitarnya terbentuk halo. Contohnya adalah lesi target
(irisformis) pada eritema multiforme.
7. Korimbiformis: suatu lesi induk (ukuran besar) yang dikelilingi lesi kecil-kecil berupa
(satelit) yang berukuran lebih kecil. Lesi tersusun mirip seekor induk ayam dikelilingi anak-
anaknya (pada kandidiasis kutis).
8. Retikular: Penampilannya mirip jaring, dengan cincin yang agak beraturan atau cincin
parsial kulit dengan jarak tertentu (misalnya livedo retikularis, cutis marmorata).
9. Serpiginosa: seperti ular (pada cutaneous larva migrans dimana larva bermigrasi dibawah
kulit atau lesi pada urtikaria).
10. Konfluens: Dua atau beberapa lesi menyatu. Ditemukan beberapa versikel menyatu,
misalnya pada herpes simpleks.

34
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Tabel 4. Konfigurasi lesi


KONFIGURASI LESI PENYAKIT

ANULAR TANPA SKUAMA URTIKARIA

MORBUS HANSEN TIPE


MULTIBASILER
(MID BORDERLINE TYPE)

35
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

ANULAR DENGAN SKUAMA ERITEMA ANULARE CENTRIFUGUM

TINEA KORPORIS

PITYRIASIS ROSEA

36
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

BULAT / NUMULAR / DISKOID DERMATITIS NUMULARIS

ARCUATA / ARSINAR TINEA KORPORIS

POLISIKLIK

TINEA KORPORIS

37
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

DERMATITIS KONTAK IRITAN


LINEAR (PAEDARUS DERMATITIS)

ERITEMA MULTIFORME MAYOR


IRISFORMIS / TARGETOID /
LESI TARGET

38
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

RETIKULER LIVIDO RETIKULER

SERPIGINOSA CUTANEOUS LARVA MIGRANS

KONFLUEN BULA KONFLUEN HERPES ZOSTER

39
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

MAKULA KONFLUEN PITYRIASIS


VERSIKOLOR

POLISIKLIK TINEA KORPORIS

KORIMBIFORMIS KANDIDIASIS KUTIS

40
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

7. Distribusi
1. Regional: Bila lesi terbatas hanya ditemukan di satu tempat saja.
2. Unilateral: Lesi hanya ditemukan di satu sisi badan. Misalnya pada herpes zoster ditemukan
lesi pada satu dermatomal saja, misalnya di torakal 4-5 sinistra.
3. Bilateral: Bila lesi tersebar dikedua sisi tubuh, kanan dan kiri, tidak persis baik letak
maupun ukurannya. Misalnya pada dermatitis herpetiformis (Duhring disease), Morbus
Hansen tipe lepromatosa, tinea kruris.
4. Simetris: Bila lesi tersebar dikedua sisi tubuh (kanan dan kiri), letaknya satu sisi lesi dan
sisi lainnya di tempat yang persis sama; termasuk bentuk dan ukurannya, misalnya pada
dermatitis atopik fase infantil dapat ditemukan makula eritematosa di kedua pipi kiri dan
kanan sama, dermatitis kontak alergik akibat kontak sandal jepit.
5. Generalisata: Bila lesi tersebar ditemukan di setiap bagian tubuh, yaitu di skalp, wajah,
ekstremitas, abdomen, punggung. Umumnya meliputi 50-90% luas permukaan tubuh.
Penyebaran generalisata dapat ditemukan pada sindrom Stevens Johnson, varisela, dan
eritroderma.
6. Universal: Bila lesi ditemukan tersebar hampir diseluruh tubuh (>90 -100%), hampir tidak
ada kulit yang sehat. Misalnya ditemukan pada vitiligo universal, penyakit leiner, bayi
kolodion, dan lamellar ichtyosis.

Tabel 5. Distribusi lesi sesuai perjalanan penyakit


DISTRIBUSI PENYAKIT

REGIONAL DERMATITIS KONTAK ALERGIKA

TINEA KORPORIS

41
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

UNILATERAL SESUAI HERPES ZOSTER


DERMATOM

BILATERAL TINEA KRURIS

42
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

SIMETRIS DERMATITIS ATOPIK

PSORIASIS VULGARIS

43
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

GENERALISATA ERITRODERMA

UNIVERSAL VITILIGO

44
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

APLIKASI KLINIS
Pada prakteknya, dalam membuat status dermatologis harus disusun secara sistematis.
1. Catat lokasi lesi (ada di regio mana)
2. Deskripsi lesi yang ditemukan sebutkan tipe lesi tersebut, misalnya makula, papul, plak, vesikel,
bula, nodul, ulkus dan seterusnya. Dalam mendeskripsikan tipe lesi primer dan sekunder harus
disebutkan berurutan, dan lebih dahulu tentukan lesi dominan yang terlihat. Tipe lesi dapat
ditentukan dengan cara inspeksi dan palpasi lesi terlebih dahulu
3. Khusus untuk makula dan patch harus mendeskripsikan:
 Warna (misalnya sama dengan warna kulit, makula eritematosa, makula hiperpigmentasi,
makula kecoklatan)
 Batas (tegas /sirkumskripta, atau tidak tegas /difus).
 Contoh lesi berbatas tegas adalah :
 Makula violaceous pada fixed drug eruption.
 Makula eritematosa atau hiperpigmentasi pada tinea korporis
 Makula eritematosa pada dermatitis kontak iritan
 Patch eritematosa pada eritrasma
 Contoh lesi berbatas tidak tegas adalah :
 Makula eritematous pada dermatitis atopik
 Makula eritematous pada dermatitis seboroik
4. Garis tepi ( regular/beraturan, ireguler/tidak beraturan).
5. Bentuk (bulat, oval, anular, linear, bervariasi)
6. Ukuran:
o Milier : sebesar kepala jarum pentol (0,1-0,2cm)
o Lentikuler : Sebesar kepala jarum pentol (0,3-0,5) cm)
o Gutata : Sebesar tetesan air (>0,5-1 cm)
o Numular : Sebesar uang koin/logam (>1 cm-5cm)
o Plakat : Selebar telapak tangan dewasa (>5 cm)
7. Permukaan (maserasi, skuama, krusta, erosi, likenifikasi) tetapi deskripsi permukaan tidak
selalu harus ada.
8. Khusus untuk plak harus mendeskripsikan:
 Warna (sama dengan warna kulit, plak eritematosa, plak hiperpigmentasi)
 Bentuk (bulat, oval, anular, linear, bervariasi/multiform, plak berbentuk poligonal)
 Ukuran :

45
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

o Gutata : Sebesar tetesan air (0,5 cm)


o Numular : Sebesar uang koin/logam (0,5-5cm)
o Plakat : Selebar telapak tangan dewasa (>5 cm)
 Permukaan (maserasi, skuama, krusta, erosi, likenifikasi) tetapi tidak selalu harus ada
5. Sebutkan jumlah lesi (soliter atau multipel)
6. Selain inspeksi, perlu dilakukan palpasi pada lesi tersebut, bagaimana suhunya, konsistensi
(kenyal, keras), permukaan (licin, kasar, rata, verukosa)
7. Pada ulkus dilakukan palpasi apakah terdapat indurasi (pengerasan), dan ada rasa nyeri
(dolent) pada penekanan.
8. Sebutkan pula susunan (konfigurasi), misalnya vesikel multipel bergerombol (herpetiformis);
atau terdapat plak eritomatosa dengan lesi satelit di sekitarnya tersusun korimbiformis.
9. Distribusi lesi

C. UJI KULIT (CLINICAL TEST)


1. UJI KULIT PADA MORBUS HANSEN
Persiapan pemeriksaan fungsi saraf yaitu:
1. Siapkan formulir pencegahan kecacatan (prevention of disability/POD) dan jangan lupa
menulis tanggal pemeriksaan.
2. Siapkan peralatan untuk melakukan tes raba (kapas dan bolpoin yang ringan), nyeri (jarum
suntik steril), dan suhu (tabung berisi air suhu 200C dan 400C).
3. Penderita diminta duduk dengan santai berhadapan dengan pemeriksa.

a. Pemeriksaan fungsi saraf perifer


1. Pemeriksaan N. Facialis
a) Pasien di minta menutup mata secara perlahan.
b) Dilihat dari depan dengan dagu sedikit diangkat, apakah mata menutup dengan
sempurna (tidak ada celah).
c) Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat: misalnya
lagophtalmus: ya/tidak, bila ya ditulis lebar celahnya (3 mm).

46
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 4. Pemeriksaan Nervus Facialis


b. Pemeriksaan N. Auricularis magnus
a) Pasien di minta menoleh maksimal ke kiri sehingga M. Sternocleidomastoideus
berkontraksi dan N. Auricularis Magnus terdorong ke superfisial.
b) Dilakukan perabaan dengan 3 jari pada 1/3 atas M. Sternocleidomastoideus, dicari
bentukan seperti kabel yang menyilang M. Sternocleidomastoideus.
c) Terdapat struktur lain yaitu V. Jugularis yang teraba lebih lunak dan ada pulsasi,
sedangkan saraf teraba seperti kabel.
d) Lakukan pemeriksaan yang sama pada N. Auricularis magnus sinistra.
e) Kesimpulan: Terdapat/tidak terdapat penebalan/pembesaran N. Auricularis D/S, apakah
ada nyeri atau tidak pada saraf.

Gambar 5. Pemeriksaan Nervus Aurikularis magnus

47
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

c. Pemeriksaan N. Ulnaris (Singkap baju)


a) Lengan pasien dalam posisi fleksi diletakkan di atas tangan pemeriksa, agar otot rileks
sehingga saraf dapat dibedakan dengan tendon.
b) Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf
Ulnaris didalam sulkus nervi ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolang tulang siku
olkranon dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis).
c) Dibedakan dari tendon dengan cara meraba ke proksimal, jika tendon akan menjadi otot,
bila saraf, akan tetap teraba seperti kabel
d) Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf ulnaris, dan telusuri ke atas dengan halus
sambil melihat mimik/reaksi penderita apakah tampak kesakitan atau tidak.
e) Kemudian dengan prosedur yang sama untuk memeriksa saraf ulnaris kiri (tangan kiri
pemeriksa memegang lengan kiri penderita dan tangan kanan pemeriksa meraba saraf
ulnaris kiri penderita tersebut).
f) Kesimpulan: Apakah ada penebalan/pembesaran N. Ulnaris D/S, apakah ada nyeri atau
tidak pada saraf (neuritis atau tidak).

Gambar 6. Pemeriksaan Nervus Ulnaris

d. Pemeriksaan N. Peroneus comunis/poplitea lateralis (bersamaan, celana di gulung ke


atas)
a) Pasien dalam posisi duduk, kedua kaki dalam keadaaan relaksasi, sebaiknya dalam
posisi menggantung lebih rileks.
b) Pemeriksa duduk di depan penderita, dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri
penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan.

48
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

c) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar
penderita sambil pelan-pelan meraba ke atas sampai menemukan tonjolan tulang (caput
fibula), setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm
ke arah belakang.
d) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian ke kanan dan kiri
sambil melihat mimik/reaksi penderita.
e) Kesimpulan: Apakah ada penebalan/pembesaran N. Peroneus communis D/S, apakah
ada nyeri atau tidak pada saraf.

Gambar 7. Pemeriksaan Nervus Peroneus communis

e. Pemeriksaan N. Tibialis posterior


a) Pasien masih dalam keadaan duduk rileks.
b) Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa meraba saraf Tibialis posterior di bagian
belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialias) dengan tangan
menyilang (tangan kiri pemeriksa memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan
pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan penderita).
c) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik/reaksi dari
penderita.
d) Kesimpulan: Apakah ada penebalan/pembesaran N. Tibialis posterior D/S, apakah ada
nyeri atau tidak pada saraf.

49
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 8. Pemeriksaan Nervus Tibialis posterior

b. Pemeriksaan sensibilitas
I. Pemeriksaan rasa raba
1. Pemeriksaan rasa raba di kulit tubuh
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba.
d) Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan
kulit yang dicurigai (dari tengah ke tepi lesi).
e) Sebelumnya kita menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,
ini dikerjakan dengan mata terbuka.
f) Bilamana hal ini telah jelas, maka pasien diminta menutup matanya, kalau perlu
matanya ditutup dengan sepotong kain/karton.
g) Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal
disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya hipoestesi/anestesi.

50
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 9. Tes raba dengan ujung kapas yang disentuhkan pada lesi

2. Pemeriksaan rasa raba pada tangan


a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Telapak tangan yang akan di periksa diletakkan di atas meja/paha penderita atu
bertumpu pada tangan kiri pemeriksa sehingga semua ujung jari tersangga (tangan
pemeriksa yang menyesuaikan diri dengan keadaan tangan penderita) misalnya claw
hand, maka tangan pemeriksa menyangga ujung-ujung jari tersebut sesuai
lengkungan jarinya.
d) Jelaskan pada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan
dengan sentuhan ringan dari ujung ballpoint pada lengannya dan satu atau dua titik
pada telapak tangannnya.
e) Bila penderita merasakan sentuhan diminta untuk menunjuk tempat sentuhan tersebut
dengan jari tangan yang lain.
f) Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
g) Penderita diminta menutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang
diperiksa.
h) Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh.
i) Usahakan pemeriksaan titik-titik tersebut tidak berurutan (secara acak).
j) Bila pasien tidak dapat menunjukkan 2 titik atau lebih berarti ada gangguan rasa
raba.
k) Penyimpangan letak titik yang ditolerir 2,5 cm.

51
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 10. Tes rasa raba dengan ballpoint pada telapak tangan

3. Pemeriksaan rasa raba pada kaki


a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Kaki kanan penderita diletakkan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap
ke atas.
d) Tangan kiri periksa menyanggah ujung kaki penderita.
e) Berilah penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan dengan
menyentuh ujung ballpoint pada telapak kaki tanpa lesi (penderita membuka mata).
Bila penderita merasakan sentuhan tersebut, diminta penderita menunjuk tempat
sentuhan tersebut.
f) Cara mengetes tersebut diulang, hingga penderita mengerti dan kooperatif.
g) Pada daerah yang menebal boleh sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1 cm.
h) Dengan ujung ballpoint pemeriksa menyentuh kaki penderita pada titik-titik tertentu
di telapak kaki secara acak.
i) Bila pasien tidak dapat menunjukkan 2 titik atau lebih berarti ada gangguan rasa
raba.
j) Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

52
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 11. Tes rasa nyeri dengan ballpoint pada telapak kaki

II. Pemeriksaan rasa nyeri


a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha pasien atau bertumpu pada
tangan kiri pemeriksa.
d) Berikan penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan dengan menekan
jarum dengan ujung tajam pada kulit yang normal dan dengan pangkal tangkainya yang
tumpul, pasien harus mengatakan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
e) Mata pasien ditutup, lalu bergantian kedua ujung jarum tersebut ditempelkan pada
daerah kulit yang dicurigai (ujung jarum tegak, gentle, jangan sampai berdarah).
f) Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan rasa
pada ujung jarum yang ditempelkan maka disimpulkan bahwa sensasi nyeri di daerah
tersebut terganggu.

53
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 12. Tes rasa nyeri dengan ujung jarum suntik pada lesi
III. Pemeriksaan suhu
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Tangan yang akan diperiksa diletakkan dia tas meja/paha pasien atau bertumpu pada
tangan kiri pemeriksa.
d) Berikan penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan dengan
menyentuhkan ujung tabung reaksi yang berisi air panas (sebaiknya 40oC) dan air
dingin (20oC) pada daerah kulit yang normal, untuk memastikan bahwa orang yang
diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
e) Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
f) Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan rasa
tabung yang ditempelkan, maka disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut
terganggu.

Gambar 13. Tes suhu dengan 2 tabung reaksi berisi air dingin dan air hangat. Bila ada
gangguan sensibilitas, pasien tidak dapat membedakan dingin dan panas

54
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

2. UJI KULIT PADA URTIKARIA (TES DERMOGAFISME)


Tes dermografisme dilakukan dengan cara menggores kulit dengan benda tumpul dilakukan
untuk menilai dermographism yaitu urtika atau wheal linear yang muncul akibat goresan.

Gambar 14. Dermographism pada pasien urtikaria

3. UJI KULIT PADA DERMATITIS ATOPIK (TES WHITE DERMOGRAFISM)


White dermographism yaitu garis putih yang terjadi setelah goresan tidak mengikuti triple
phenomena Lewis, hal tersebut dapat terlihat pada penderita dermatitis atopik. Pada kulit normal
bila digores dengan benda tajam akan terjadi:
- Pertama : timbul garis putih yang kemudian berubah menjadi kemerahan.
- Kedua : timbul daerah kemerahan disekitar tempat goresan.
- Ketiga : timbul edema setelah beberapa menit.
Pada penderita dermatitis atopik, garis merah yang terjadi tidak segera disusul dengan daerah
kemerahan tetapi malah disusul warna putih pucat selama 2-3 menit.

Gambar 15. White dermographysm

55
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

4. UJI KULIT PADA PSORIASIS VULGARIS


Ada beberapa uji kulit yang dilakukan pada psoriasis vulgaris, yaitu:
1. Kaarsvlek phenomen (fenomena tetesan lilin)
Tes ini dilakukan pada lesi dengan skuama berlapis, yaitu menggores skuama pada lesi
dengan skapel/pinggir kaca objek sehingga skuama akan berubah warnanya menjadi putih
seperti lilin yang disebabkan oleh berubahnya indeks bias.
2. Autzpitz sign (tanda Auspitz)
Tes ini merupakan lanjutan dari tes Kaarsvlek yaitu bila penggoresan diteruskan akan tampak
bintik-bintik perdarahan (pin point bleeding), yang disebabkan oleh ’pemenggalan’ papila
dermis dan pelebaran serta berkelok-keloknya pembuluh darah. Tanda Auspitz ini lebih
mempunyai nilai diagnostik.
3. Koebner phenomen (fenomena Koebner)
Tes ini dilakukan dengan menggoreskan kulit yang sehat maka akan muncul lesi yang sama
seperti lesi sebelumnya dalam beberapa hari. Lesi juga akan sering terlihat muncul pada
tempat trauma seperti garukan, lokasi sunburn atau pembedahan.

(a) (b)
Gambar 16. (a). Pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda auspitz. (b). Fenomena
Koebner

5. UJI KULIT PADA PURPURA (TES DIASKOPI)


Pemeriksaan diaskopi dilakukan dengan cara menekan lesi menggunakan benda
transparan, misalnya kaca obyek atau spatel plastik. Hal ini untuk membedakan antara eritema
(akibat vasodilatasi) dengan purpura (akibat ekstravasasi eritrosit); juga warna apple jelly
(kekuningan) dapat terlihat pada lupus vulgaris.

56
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Bila terdapat kemerahan lakukan tes diaskopi


 Warna merah menghilang = makula eritematus
 Warna merah tidak menghilang/ diaskopi (+) = purpura atau telangiektasis

Gambar 17. Tes diaskopi

Gambar 18. Purpura pada henoch shcoenlein purpura dapat ditentukan dengan tes diaskopi

6. UJI KULIT PADA BULLOUS DISEASE (NIKOLSKY SIGN)


Tanda Nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut
ada dua, yaitu:
1. Menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas, disebut
dengan Nikolsky’s sign atau Nikolsky’s sign type 1
2. Cara kedua dengan menekan bula maka bula akan meluas karena cairan di dalamnya
mengalami tekanan disebut dengan Nikolsky’s sign type 2 / asboe hansen sign.

57
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 19. Nikolsky’s sign (Nikolsky’s sign type 1) pada pemfigus vulgaris, steven johnson’s
syndrome dan toxic epidermal necrolysis, staphylococcal scalded skin syndrome

Gambar 20. Nikolsky’s sign type 2 pada pemfigoid bulosa

7. PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN LAMPU WOOD


Menggunakan lampu merkuri tekanan tinggi yang menghasilkan sinar UV (360 nm), untuk
memeriksa infeksi jamur dan bakteri pada kulit superfisial, menggambarkan derajat pigmentasi
antara kulit normal dengan kulit yang ada lesinya, menentukan area kulit hipopigmentasi atau
amelanosit.
Alat: Lampu Wood dan ruangan kedap cahaya. Prinsip kerja: Sinar Wood diarahkan ke lesi
akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul metabolik organisme penyebab, sehingga
menimbulkan indeks bias berbeda, dan menghasilkan pendaran warna tertentu. Cara kerja: Kulit
dan rambut yang akan diperiksa harus dalam keadaan sealamiah mungkin. Obat topikal, bahan
kosmetik, lemak, eksudat harus dibersihkan terlebih dahulu karena dapat memberikan hasil positif
palsu. Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap cahaya agar perbedaan warna lebih
kontras. Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan diperiksa ±10-15cm, Lampu Wood diarahkan ke
bagian lesi dengan pendaran paling besar/jelas.

58
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Interpretasi :
Tinea kapitis (M. canis, M. audouinii, M. rivalieri, M. Ferrugineum dan M. gypseum) hijau
terang. Pityriasis versikolor: putih kekuningan, orange tembaga, kuning keermasan atau putih
kebiruan (metabolit koproporfirin). Tinea favosa (Trichophyton schoenleinii): biru suram/hijau
suram (akibat metabolit pteridin). Eritrasma (Corynebacterium minutissimum): merah koral
(metabolit porfirin). Infeksi pseudomonas: hijau (metabolit pioverdin atau fluoresein). Hasil positif
palsu: salep dan krim dikulit atau eksudat: biru, jingga; tetrasiklin, asam salisilat dan petrolatum:
kuning

Gambar 21. Wood lamp

Gambar 22. Fluoresen merah bata pada eritrasma

59
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Gambar 23. Fluoresen kekuningan pada pityriasis versikolor

Gambar 24. Fluoresen hijau pada tinea kapitis

60
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

PENUTUP

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kulit perlu dipahami dan dikuasai morfologi serta
terminologi baku, kemudian dilatihkan pada aplikasi klinis. Anamnesis sangat penting membantu
mencari etio-patogenesis penyakit. Melakukan inspeksi dan palpasi kulit hendaknya dilakukan
secara sistematik, dengan menggunakan terminologi yang telah umum dipakai secara nasional
maupun internasional.
Filosofi : “Untuk membaca kata, seseorang harus mengenal huruf; untuk membaca kulit,
seseorang harus mengenal lesi-lesi pokok. Untuk memahami sebuah paragraf, seseorang harus
mengetahui bagaimana kata-kata dirangkai; untuk mengetahui diagnosis banding, seseorang harus
mengetahui lesi-lesi pokok apa yang ada, bagaimana mereka berkembang, dan bagaimana mereka
tertata dan tersebar.”

61
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

DAFTAR PUSTAKA

1. Garg A, Levin NA, Bernhard JD. Structur of skin lesion and fundamentals od clinical
diagnosis. In: Goldsmith LA, Katz IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-
Hill;2012.p.27-57.
2. Leung DMY, Eichenfield LF, Boguniewick M. Atopic dermatitis In: Goldsmith LA, Katz
IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill;2012.p.165-82.
3. Grattan CE. Urticaria dan Angioedema. In : Bolognia, JL, Jorizzo J L, Schaferr Julie V,
editors. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier ;2012.p. 291-305
4. Sterry W, Paus R, Burgdorf. Dermatologic diagnosis. In: Sterry W, Paus R, Burgdorf,
editors. Thieme Clinical Companions Dermatology. 5thed. German: George Thieme verlag
KG;20006.p.16-24
5. James WD, Berger TG, dan Elston DM.Seborrheic Dermatitis. Dalam: Andrews’ Diseases
of The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders Elsevier, 2011: 10: 188-189.
6. Shear NH, Knowles SR. Cutaneous reaction to drug. In: Goldsmith LA, Katz IS, Gilchrest
BA, Leffel DJ, Wolff K editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.8thed.
New York: Mc Graw-Hill Book CO;2012.p.449-50
7. Jopling W.H. Hand Book of Leprosy . 5 th ed New Delhi:CBS. Published & Distributor.
2011. p.1-53,92-100.
8. DepKes RI. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XIV, 201

62
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

Cheklist Pemeriksaan Fisik Kulit


SKOR
No ASPEK YANG DINILAI
0 1 2 3
I. Memberikan salam pembuka dan
memper-kenalkan diri
II. Mempersiapkan perasaan pasien untuk
menghindari rasa takut dan stress
sebelum melakukan pemeriksaan fisik
1. Memberi penjelasan dengan benar,
jelas, lengkap dan jujur tentang
cara dan tujuan pemeriksaan
2. Memberitahukan kemungkinan
adanya rasa sakit atau tidak
nyaman yang timbul selama
pemeriksaan dilakukan
III. Melakukan Pemeriksaan Dermatologis
(inspeksi dan palpasi lesi) :
1. Menggunakan kaca pembesar
(loupe)
2. Menentukan Regio
3. Menentukan tipe lesi primer dan
sekunder secara berurutan
4. Menentukan jumlah lesi
5. Menentukan susunan lesi
6. Menentukan konfigurasi lesi
7. Menentukan distribusi lesi
8. Melaporkan deskripsi status
dermatologis
IV. Melakukan Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Syaraf Perifer :
1. N. Auricularis magnus
dextra/sinistra
2. N. Ulnaris dextra/sinistra
63
Buku Panduan Kepaniteraan Klinik Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
– FK UNSYIAH

3. N. Peroneus communis
dextra/sinistra
4. N. Tibialis posterior
dextra/sinistra
B. Pemeriksaan Sensorik (Sensibilitas)
1. Pemeriksaan sensibilitas raba
2. Pemeriksaan sensibilitas nyeri
3. Pemeriksaan sensibilitas suhu
V. Clinical Test / Uji Kulit
1. Nikolsky’s sign / Asboe Hansen
sign/bullous spread phenomen
2. Kaarsvlek phenomen/Austpitz
sign/Koebner phenomen
3. Dermografisme
4. White Dermografisme
5. Diaskopi
6. Lampu Wood
SKOR YANG DIDAPAT
SKOR TOTAL

Banda Aceh,…………………2014

Instruktur

Keterangan Skor
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, dengan banyak perbaikan ( lebih dari 50 %)
2 = Dilakukan, dengansedikit perbaikan (kurang dari 50%)
3 = Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan :
(Skor/ yang didapat / Skor Total) x 100% = ......%

64

Anda mungkin juga menyukai