Anda di halaman 1dari 19

Portofolio Kasus Neuro

No. ID dan Nama Peserta : dr. Oktafira Eka Anggirawaty


No. ID dan Nama Wahana: RSUD Kab Nunukan
Topik: Bells Palsy
Tanggal (kasus) : 27 Maret 2019
Nama Pasien : Ny. T , 56 thn No. RM : A.32.09.88
Tanggal presentasi: Pendamping: dr. Ferdy Syah Irfan,
Sp.P
Tempat presentasi: -
Obyek presentasi : Anggota Komite Medik, Petugas Kesehatan & Dokter Internsip RSUD Kab
Nunukan
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Perempuan 56th datang dengan keluhan rasa tebal dab baal pada bibir kanan sejak 2
minggu yang lalu. Keluhan mulai dirasakan saat pasien sulit minum air setelah pasien bersih-
bersih rumah, air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke dalam mulutnya dan lidah juga
terasa tebal. Pada waktu yang bersamaan, mata kanan dirasakan perih, berair dan sulit untuk
menutup. Pasien juga mengeluh wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila dipegang.
Tujuan: menegakkan diagnosis ulkus kaki diabetikum dan penatalaksanaannya
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi

Data Pasien: Nama: Ny. T No.Registrasi: A.32.09.88


Nama klinik RSUD Kab Nunukan
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis:
Perempuan 56th datang dengan keluhan rasa tebal dab baal pada bibir kanan sejak 2
minggu yang lalu. Keluhan mulai dirasakan saat pasien sulit minum air setelah pasien
bersih-bersih rumah, air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke dalam mulutnya
dan lidah juga terasa tebal. Pada waktu yang bersamaan, mata kanan dirasakan perih,
berair dan sulit untuk menutup. Pasien juga mengeluh wajah kanan terasa tebal dan
kurang terasa bila dipegang. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan, keluhan lain seperti
nyeri kepala tidak ada, tengkuk terasa berat sejak seminggu yang lalu, gangguan
penglihatan tidak ada, gangguan pendengaran maupun gangguan pengecapan tidak ada.
Pasien tidak mengeluh adanya kelemahan pada anggota gerak, bicara pelo tidak ada.
Keluhan mual dan muntah tidak ada. Mengompol dan gangguan BAB tidak ada.
2. Pemeriksaan fisis: TD: 160/100 mmHg, N: 92 x/mnt, P:24 x/mnt, S: 36.0 ºC.
3. Riwayat pengobatan: -
4. Riwayat kesehatan/penyakit: -
5. Riwayat keluarga: -
6. Riwayat pekerjaan: IRT
7. Lain-lain: -
Daftar Pustaka:
1. Mardjono M, Sidharta P. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat, 2004.
2. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta :
Balai Penerbit FK-UI, 2007.
3. Aminoff, MJ et al. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition, Mcgraw-
Hill. 2005.
4. Ropper, AH., Brown, Robert H. Adams & Victors’ Principles of Neurology, Eight
Edition, McGraw-Hill. 2005.
5. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT
edisi 6. Jakarta : EGC, 1997.
6. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbit FK-UI, 2006.
Hasil pembelajaran:
1. Definisi Bells palsy
2. Penegakkan diagnosa Bells palsy
3. Tatalaksana Bells palsy
4. Prognosis Bells palsy

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Perempuan 56th datang dengan keluhan rasa tebal dab baal pada bibir kanan sejak 2
minggu yang lalu. Keluhan mulai dirasakan saat pasien sulit minum air setelah pasien
bersih-bersih rumah, air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke dalam mulutnya
dan lidah juga terasa tebal. Pada waktu yang bersamaan, mata kanan dirasakan perih,
berair dan sulit untuk menutup. Pasien juga mengeluh wajah kanan terasa tebal dan
kurang terasa bila dipegang. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan, keluhan lain seperti
nyeri kepala tidak ada, tengkuk terasa berat sejak seminggu yang lalu, gangguan
penglihatan tidak ada, gangguan pendengaran maupun gangguan pengecapan tidak ada.
Pasien tidak mengeluh adanya kelemahan pada anggota gerak, bicara pelo tidak ada.
Keluhan mual dan muntah tidak ada. Mengompol dan gangguan BAB tidak ada.
Obyektif:
1. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
GCS : E4M6V5
Tanda vital
TD : 160/100 mmHg
N : 92 x/menit
RR : 24x/menit
S : 36,0
Kepala
Mata : sklera tidak kuning, konjungtiva tidak anemis
Telinga : serumen tidak ada
Hidung :sekret tidak ada, deviasi septum tidak ada
Mulut : mukosa basah, lidah tidak bisa dijulurkan
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : simetris kanan dan kiri
Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : vasikuler, ronki (-), wheezing (-)
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba. Thrill tidak ada.
Perkusi :
 Batas jantung kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri : SIC V 1 jari medio linea midclavicula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama regular, bising (-)

Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak ada kelemahan.
- Inferior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak ada kelemahan
2. Status neurologis
a. Tanda rangsang selaput otak
Kaku Kuduk : negative
Brudzinski I : negative
Brudzinski II : negative
Kernig Sign : negative
Lasegue : negative
b. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil : isokor
Refleks cahaya : +/+
c. Pemeriksaan saraf kranial
N. I (n. olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Normal Normal
Obyektif dengan bahan Normal Normal
N.II (n. opticus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dinilai Tidak dinilai

N. III (n. okulomotorius)


Kanan Kiri
Bola mata Normal (Ortho) Normal (Ortho)
Ptosis tidak ada tidak ada
Gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah
Strabismus tidak ada tidak ada
Nistagmus tidak ada tidak ada
Ekso/Endophtalmus tidak ada tidak ada
Pupil :
 Bentuk Isokor Isokor
 Refleks cahaya Positif Positif

 Rrefleks akomodasi Positif Positif

 Refleks konvergensi Positif Positif

N. IV (n. trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal (ortho) Normal (ortho)
Diplopia tidak ada tidak ada

N. V (n. trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
 Membuka mulut Tidak normal Normal
 Menggerakkan rahang Normal Normal

 Menggigit Tidak bisa Bisa

 Mengunyah Tidak bisa Bisa


Sensorik :
 Divisi Optalmika
 Refleks kornea Normal Normal

 Sensibilitas Tidak ada Baik

 Divisi Maksila
Normal Normal
 Refleks masseter
Tidak ada Baik
 Sensibilitas
 Divisi Mandibula
Tidak ada Baik
Sensibilitas

N. VI (n. abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. VII (n. facialis)


Kanan Kiri
Raut wajah Tidak normal (diam) Normal
Plika nasolabialis datar
Sekresi air mata Tidak normal Normal
Fisura palpebra Tidak normal Normal
Menggerakkan dahi Tidak normal Normal
Menutup mata Tidak tertutup rapat Normal
Mencibir/bersiul Tidak bisa Normal
Memperlihatkan gigi Tidak bisa Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Normal Normal
Hiperakusis Ada Tidak ada

N. VIII (n. vestibulocochlearis)


Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Renne test Tidak dinilai Tidak dinilai
Webber test Tidak dinilai Tidak dinilai
Scwabach test :
 Memanjang Tidak dinilai Tidak dinilai
 Memendek Tidak dinilai Tidak dinilai
Nistagmus :
 Pendular Tidak ada Tidak ada
 Vertikal Tidak ada Tidak ada

 Siklikal Tidak ada Tidak ada

 Pengaruh posisi Tidak ada Tidak ada

kepala

N. IX (n. glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah/Gag reflek Positif Positif

N. X (n. vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal di tengah Normal di tengah
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal
Nadi 92 x/menit teratur 92 x/menit teratur

N. XI (n. assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII (n. hipoglosus)


Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam Normal Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Normal Normal
Tremor Ada Ada
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada

d. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan Normal Disatria Tidak ada
Romberg test Negatif Disgrafia Tidak ada
Atakasia Tidak ada Supinasi-pronasi Normal
Rebound phenomen Tidak ada Tes jari-hidung Normal
Tes tumit-lutut Negative Tes hidung-hidung Normal

e. Pemeriksaan fungsi motorik


a. Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri
 Gerakan spontan Normal Normal
 Tremor Tidak ada Tidak ada
 Atetosis Tidak ada Tidak ada
 Mioklonik Tidak ada Tidak ada
 Khorea Tidak ada Tidak ada

b. Fungsi motorik otot wajah Kanan Kiri


 Otot frontalis Angkat alis (-) Angkat alis (+)
 Otot korugator supersili Mengerutkan dahi (-) Mengerutkan dahi (+)
 Otot orbicularis oculi Menutup mata (-) Menutup mata (+)
 Otot zygomaticus Pasien tersenyum (-) Pasien tersenyum (+)
 Otot risorius Meringis (-) Meringis (+)

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 555 555 555 555
Trofi normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

f. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal
Sensibilitas nyeri Normal
Sensibilitas termis Normal
Sensibilitas kortikal Normal
Stereognosis Normal
Pengenala 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal

g. Sistem refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Normal Normal
Laring Tidak dinilai Tidak dinilai
Masseter Normal Normal
Dinding perut
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Tengah Normal Normal
Biseps ++ ++
Triseps ++ ++
APR ++ ++
KPR ++ ++
Bulbokavernosus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Sfingter Tidak diperiksa

Refleks Patologis Kanan Kiri


Lengan
Hoffman-Tromner Negatif Negatif
Tungkai
Babinski Negatif Negatif
Chaddoks Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaeffer Negatif Negatif

3. Fungsi otonom
- Miksi : normal
- Defekasi : normal
- Sekresi keringat : normal

4. Fungsi luhur
Kesadaran Tanda Demensia
 Reaksi bicara Baik  Reflek glabella Tidak ada
 Fungsi intelek Baik  Reflek snout Tidak ada
 Reaksi emosi Baik  Reflek menghisap Tidak ada
 Reflek memegang Tidak ada
 Refleks palmomental Tidak ada

A. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan.

B. Masalah
Diagnosis
 Diagnosis klinis : bell’s palsy dextra paralisis n. facialis perifer
 Diagnosis topik : saraf motorik n. facialis perifer dengan paralisis motorik
 Diagnosis etiologi : tidak diketahui
 Diagnosis sekunder : hipertensi grade II

2. Assessment
Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat lesi nervus
fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Penyebab dari penyakit ini belum
diketahui secara pasti tetapi dapat diduga bahwa penyebab dari penyakit ini adalah karena saraf
yang mengendalikan otot wajah membengkak, terinfeksi, atau mampat karena aliran darah
berkurang.5 Ada pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus.1
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi,
tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.1,3
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak diketahui
penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada
Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah
yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-
macam, antara lain: infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan
akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik
yang ditemukan pada n. fasialis sebagai berikut:
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson.
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap
Nv. VII.
Gambar 1. Nervus Facialis
A. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga
atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot
wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain :
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.

Gambar 2. Gejala bell’s palsy berhubungan dengan lokasi lesi


B. Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n.
fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n.
fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat
kerusakan n. Fasialis.
1. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah
yang terjadi secara mendadak.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic
dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior
adalah sebagai berikut :
- M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
- M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis.
- M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan
hidung ke atas.
- M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat.
- M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi.
- M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi.
- M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.
- M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul.
- M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
Bawah.
- M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
Tertutup rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :
- Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
- Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
- Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
- Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga
puluh ( 30 ).1
b. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap
kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus
sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada
setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran
prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya
terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus
maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan
tergantung dari gradasinya.1
c. Gustomeri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani, salah satu
cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda timpani dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).2
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian
pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini
dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh
menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah
lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita
disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk
rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara
kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.1
d. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar
submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam duktus
Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam
mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat
dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal.
Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya
ditransmisi oleh saraf korda timpani.4
e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada
simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor
setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat
menyebabkan berkurangnya produksi air mata.4,5
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara pemeriksaan
dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan
dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama
dengan 50% dianggap patologis.
f. Refleks stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu dengan
cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui
fungsi N. stapedius cabang N.VII.
g. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani pemeriksaan
audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri
dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji
respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi
patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu
kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada
daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf
ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah.
Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan
menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek
dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan
perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga
yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan
pada bagian aferen saraf kranialis.2
h. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita
jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :1
- Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat
pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada kedua
sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper)
dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung
dari gradasinya.
- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).
- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan
memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan
normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.
Pemeriksaan House-Brackman
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak

pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6

merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam
tabel:6

Grade Penjelasan Karakteristik


I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi
ringan dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara
sedang kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum
IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
sedang berat asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total parese Tidak ada pergerakkan

3. Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan
saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia
antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).2
a. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai
respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan
suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan
sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
b. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.
Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga
berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen
berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien
yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.2

3. Plan

Penatalaksanaan
a) Glukokortikoid
Farmakologi dan penggunaan klinis
Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi, obat-obat ini
juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan “immune-immediate”.
Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak
kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan
penggunaan steroid sebagai empiris. Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat
serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada pemulihan total.
Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan tipe-tipe sel.
Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyut pembuluh
darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit dan biosintesis kolagen. Demopilus et
al menerangkan buktti bawa peroksidasi lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas
membenttuk basis molekul untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses
tersebut. Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan
metilprednisolon yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini, dan pre-
penatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif.
Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik masih menadi
controversial. Sementara glukokortikoid nampak dalam penggunaanya untuk mengurangi rasa
sakit dan memperpendek periode dari kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut
mempengaruhi level utama dari penyembuhan visual.
Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid, glokokortikoid steroid
memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek yang saling mempengaruhhi dari
steroid ini dapat mengkontribusikan penyembuhan fungsi neuromuskular pada kelainan seperti
inflamasi polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi yang disebabkan inflamasi,
demyelinisasi segmental.

Penggunaan steroid pada tatalaksana Bell’s Palsy


Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensiv dalam
penggunaan terapi steroid pada Bell’s Palsy. Kebanyakan pembelajaran akhir-akhir ini mengenai
kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada pasien yang diperlakukan dengan control
sebelumnya.
Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih besar dari steroid dan
dosis luas gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin memberikan dampak rata-rata
perkembangan kesembuhan dari pasien yang mendapat tindakan walaupun penatalaksanaan
tersebut tidak menampakkan statistic yang signifikan pada sudi-studi sebelumnya.
Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy dengan alasan
stetroid dapat:
 Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini
 Mencegah atau mengurangi sinkinesis
 Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis
 Mencegah sinkinesis autonomic
Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah menginduksi
kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang optimal untuk penanganan
inflamasi neuritis tergantung dari pemberian kortikosteroid saat proses penyakit berlangsung.
Seperti yang telah ditunjukkan pada respon EEMG, pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy
dalam 5-10 hari. Lesi-lesi pada pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu,
tampaknya pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani pada periode ini.
Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral prednisone
(1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari. Dosis harian harus
ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan aktivitas anti
inflamasi sementara meminimalkan efek samping dan konsisten dengan anti inflamasi yang
efektif pada hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.

Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka pendek termasuk
aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada pasien palsy facial akut yang
berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek samping akut lainnya termasuk perubahan CNS
seperti psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi dapat
mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten dapat
reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan system imun bisa
menutupi gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.

b) Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani facial palsy
akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yang rendah,
asiklovir (acycloguanosine), analog nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah
HS tipe I dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA
polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), itulah
asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada deficit neurologic
yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama
7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari
saraf yang dapat menyebab hilangnya pendengaran.

c) Dekompresi nervus
Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah dilakukan Balance dan
Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi listrik nervus fasial mulai ditinggalkan.
Yang terpenting, segen vertical telah didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid
direkomendasi (prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan segmen mastoid), dan
akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen meatal.
Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May menemukan bahwa
dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang stimulasi nervusnya telah berkurang
75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini tidak menampakkan bukti signifikan antara yang
mendapatkan operasi yang sembuh (87% dari 273pasien) dengan pasien yang sembuh dengan
sendirinya.

C. Gejala Sisa
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan
meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:2
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat
dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian
yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan
akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi,
kelopak mata ikut merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga
tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy.

4. Prognosis

Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik
oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah
onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan
prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan
akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air
mata buaya.

Nunukan, Maret 2019

Peserta, Pembimbing,

dr. Oktafira Eka Anggirawaty dr. Ferdy Syah Irfan, Sp.P

Anda mungkin juga menyukai