Fix Bells Palsy
Fix Bells Palsy
Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak ada kelemahan.
- Inferior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak ada kelemahan
2. Status neurologis
a. Tanda rangsang selaput otak
Kaku Kuduk : negative
Brudzinski I : negative
Brudzinski II : negative
Kernig Sign : negative
Lasegue : negative
b. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil : isokor
Refleks cahaya : +/+
c. Pemeriksaan saraf kranial
N. I (n. olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Normal Normal
Obyektif dengan bahan Normal Normal
N.II (n. opticus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dinilai Tidak dinilai
N. IV (n. trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal (ortho) Normal (ortho)
Diplopia tidak ada tidak ada
N. V (n. trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut Tidak normal Normal
Menggerakkan rahang Normal Normal
Divisi Maksila
Normal Normal
Refleks masseter
Tidak ada Baik
Sensibilitas
Divisi Mandibula
Tidak ada Baik
Sensibilitas
N. VI (n. abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
kepala
N. IX (n. glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah/Gag reflek Positif Positif
N. X (n. vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal di tengah Normal di tengah
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal
Nadi 92 x/menit teratur 92 x/menit teratur
N. XI (n. assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal
d. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan Normal Disatria Tidak ada
Romberg test Negatif Disgrafia Tidak ada
Atakasia Tidak ada Supinasi-pronasi Normal
Rebound phenomen Tidak ada Tes jari-hidung Normal
Tes tumit-lutut Negative Tes hidung-hidung Normal
f. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal
Sensibilitas nyeri Normal
Sensibilitas termis Normal
Sensibilitas kortikal Normal
Stereognosis Normal
Pengenala 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal
g. Sistem refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Normal Normal
Laring Tidak dinilai Tidak dinilai
Masseter Normal Normal
Dinding perut
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Tengah Normal Normal
Biseps ++ ++
Triseps ++ ++
APR ++ ++
KPR ++ ++
Bulbokavernosus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Sfingter Tidak diperiksa
3. Fungsi otonom
- Miksi : normal
- Defekasi : normal
- Sekresi keringat : normal
4. Fungsi luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Baik Reflek glabella Tidak ada
Fungsi intelek Baik Reflek snout Tidak ada
Reaksi emosi Baik Reflek menghisap Tidak ada
Reflek memegang Tidak ada
Refleks palmomental Tidak ada
A. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan.
B. Masalah
Diagnosis
Diagnosis klinis : bell’s palsy dextra paralisis n. facialis perifer
Diagnosis topik : saraf motorik n. facialis perifer dengan paralisis motorik
Diagnosis etiologi : tidak diketahui
Diagnosis sekunder : hipertensi grade II
2. Assessment
Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat lesi nervus
fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Penyebab dari penyakit ini belum
diketahui secara pasti tetapi dapat diduga bahwa penyebab dari penyakit ini adalah karena saraf
yang mengendalikan otot wajah membengkak, terinfeksi, atau mampat karena aliran darah
berkurang.5 Ada pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus.1
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi,
tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.1,3
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak diketahui
penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada
Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah
yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-
macam, antara lain: infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan
akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik
yang ditemukan pada n. fasialis sebagai berikut:
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson.
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap
Nv. VII.
Gambar 1. Nervus Facialis
A. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga
atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot
wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain :
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.
pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6
merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam
tabel:6
3. Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan
saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia
antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).2
a. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai
respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan
suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan
sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
b. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.
Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga
berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen
berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien
yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.2
3. Plan
Penatalaksanaan
a) Glukokortikoid
Farmakologi dan penggunaan klinis
Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi, obat-obat ini
juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan “immune-immediate”.
Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak
kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan
penggunaan steroid sebagai empiris. Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat
serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada pemulihan total.
Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan tipe-tipe sel.
Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyut pembuluh
darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit dan biosintesis kolagen. Demopilus et
al menerangkan buktti bawa peroksidasi lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas
membenttuk basis molekul untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses
tersebut. Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan
metilprednisolon yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini, dan pre-
penatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif.
Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik masih menadi
controversial. Sementara glukokortikoid nampak dalam penggunaanya untuk mengurangi rasa
sakit dan memperpendek periode dari kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut
mempengaruhi level utama dari penyembuhan visual.
Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid, glokokortikoid steroid
memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek yang saling mempengaruhhi dari
steroid ini dapat mengkontribusikan penyembuhan fungsi neuromuskular pada kelainan seperti
inflamasi polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi yang disebabkan inflamasi,
demyelinisasi segmental.
Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka pendek termasuk
aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada pasien palsy facial akut yang
berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek samping akut lainnya termasuk perubahan CNS
seperti psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi dapat
mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten dapat
reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan system imun bisa
menutupi gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.
b) Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani facial palsy
akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yang rendah,
asiklovir (acycloguanosine), analog nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah
HS tipe I dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA
polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), itulah
asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada deficit neurologic
yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama
7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari
saraf yang dapat menyebab hilangnya pendengaran.
c) Dekompresi nervus
Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah dilakukan Balance dan
Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi listrik nervus fasial mulai ditinggalkan.
Yang terpenting, segen vertical telah didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid
direkomendasi (prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan segmen mastoid), dan
akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen meatal.
Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May menemukan bahwa
dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang stimulasi nervusnya telah berkurang
75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini tidak menampakkan bukti signifikan antara yang
mendapatkan operasi yang sembuh (87% dari 273pasien) dengan pasien yang sembuh dengan
sendirinya.
C. Gejala Sisa
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan
meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:2
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat
dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian
yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan
akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi,
kelopak mata ikut merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga
tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy.
4. Prognosis
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik
oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah
onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan
prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan
akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air
mata buaya.
Peserta, Pembimbing,