Anda di halaman 1dari 10

BAHAN-BAHAN MENGENAI TERAPAN NILAI-NILAI SPIRITUAL DAN

KEMANUSIAAN DALAM DUNIA KEDOKTERAN

SEJARAH PUASA DALAM BERBAGAI AGAMA DAN DUNIA


KEDOKTERAN

Berpuasa adalah kegiatan berpantang makanan, dan atau minuman selama jangka waktu
tertentu. Puasa bukanlah penemuan zaman modern, karena kebiasaan berpuasa sudah
dipraktekkan selama berabad-abad dan menjadi bagian dari agama dan budaya di seluruh
dunia selama ribuan tahun.

Puasa umumnya berfungsi memenuhi kebutuhan metafisik: pembersihan jiwa, penebusan


dosa, pemurnian, atau pelatihan mental. Sejarah berpuasa dapat kita temukan diantara
orang Yahudi, Muslim, Kristen, Konghucu, Hindu, Tao, Jainis, Budha dan penganut agama-
agama lainnya.

Sekilas kegiatan berpuasa dalam berbagai Agama


Puasa biasanya merupakan bagian penting dari praktik keagamaan. Masing-masing punya
aturan tertentu dalam menjalankan puasa dalam berbagai budaya dan agama.

Dalam Jainisme, sebuah agama yang mulai dikenal sekitar abad ke-6 SM, jiwa harus ditebus
melalui puasa dan meditasi.

Puasa menjadi bagian penting dalam agama Hindu. Penganut agama Hindu menjalankan
berbagai jenis puasa berdasarkan kepercayaan dan kebiasaan setempat. Tujuannya adalah
untuk melatih diri dan mencapai pemurnian batin.

Puasa juga memainkan peran penting dalam agama Budha. Pendiri agama Budha -
Siddhartha menggunakan puasa sebagai salah satu cara menuju pencerahan, sehingga ia
menjadi Buddha (Yang Tercerahkan). Meskipun penganut Budha menekankan kesahajaan
dalam kebiasaan makan ketimbang puasa, umat Budha di beberapa negara, terutama Tibet,
menjalankan puasa tertentu. (wgbd.org)

Di Jepang, berpuasa dalam agama Shinto berfungsi sebagai pemurnian batin selama
persiapan tindakan kultis.
Puasa adalah bagian penting dari agama Islam. Ibadah puasa menjadi kewajiban bagi umat
Islam terutama di bulan Ramadhan. Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Islam dimulai
sejak 10 Sya’ban, sekitar satu setengah tahun setelah Nabi Muhammad dan pengikutnya
hijrah ke Madinah. Ketika itu, Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan
arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
[Ensiklopedi Islam]

Puasa merupakan bukti pengabdian kepada Allah Swt, serta pengekangan diri dan
pengamalan akan iman. Puasa dan sedekah menjadi hal penting dan menjadi bagian dari
rukun Islam.

Di dunia barat, puasa merupakan bagian integral dari praktik keagamaan. Di Yunani kuno,
ritual puasa berlangsung selama misteri Eleusinian untuk menghormati Demeter, dewi
kesuburan. Hal ini diketahui dari catatan sejarah bahwa bahwa Seneca dan Sisero
berpantang makan atau puasa untuk melatih mental mereka.

Puasa juga bagian penting dari kegiatan agama Yahudi. Dari Kitab Yahudi maupun Kristen
dapat kita ketahui bahwa Musa berpuasa selama 40 hari di Gunung Sinai. Hal ini terjadi
sekitar tahun 1460 SM. Yesus juga berpuasa selama 40 hari di padang gurun.

Dalam kalender Yahudi terdapat enam hari puasa, yang dilakukan setiap tahun. Yang paling
terkenal dan paling penting adalah Yom Kippur, yakni hari pendamaian.

Meskipun puasa bukan hal sentral dalam agama Kristen, namun praktek puasa ini biasanya
dilakukan untuk mengingat penderitaan Kristus dengan periode puasa sebelum Paskah.
Banyak referensi tentang puasa dalam kitab Kristen, namun tidak ada aturan spesifik dalam
berpuasa. Berpuasa dapat dilakukan perorangan maupun kolektif untuk tujuan tertentu,
misalnya sebagai lambang pertobatan, atau sebagai bagian dari nazar.

Para Bapa Gereja menekankan manfaat puasa pada tubuh dan jiwa. Diantaranya, puasa
membuat orang lebih terbuka terhadap orang lain. Amal adalah bagian dari konsep puasa
Kristen. Berpantang dari makanan dan atau minuman haruslah bermanfaat bagi orang
miskin secara material. Puasa juga berfungsi sebagai pendisiplinan tubuh, yaitu untuk
mengendalikan keinginan daging dan melatih kerendahan hati.

Sejalan dengan puasa sebagai bagian dari praktik keagamaan, pengetahuan medis pun terus
berkembang dan menemukan manfaat dari berpuasa.
Awal Pengetahuan Medis tentang Puasa
Puasa merupakan disposisi fisiologis yang dimiliki oleh manusia maupun hewan. Para tabib
maupun dokter modern telah menemukan kemampuan ini dalam diri manusia dan hewan
sejak lama. Hal ini dapat kita lihat dari catatan sejarah:

Dokter Yunani, Hippocrates (460-375 SM) menganggap makanan tertentu sebagai obat
untuk penyakit. Namun, hanya melalui puasa ditemukan "penyembuhan yang ajaib".

Sekitar 600 tahun kemudian, seorang dokter Yunani bernama Galen, pendiri humoral
patologi juga menggunakan puasa sebagai terapi untuk menjaga keseimbangan cairan
tubuh. Dalam karya utamanya, dokter Persia dan Avicenna (980 - 1038 AD) membahas
manfaat puasa bagi kesehatan.

Hildegard von Bingen (1098-1179 M) mengajurkan kegiatan puasa untuk mengobati sekitar
40 jenis penyakit yang berbeda. Pada abad ke-16, Paracelsus menggunakan istilah
"penyembuhan dari dalam" untuk puasa sebagai cara untuk mengatur metabolisme tubuh.
Friedrich Hoffmann (1660-1742), seorang dokter pribadi raja pertama Prusia, menulis buku
tentang penyembuhan penyakit serius melalui moderasi dan puasa. [buchinger.es]

Dari abad ke-19 dan seterusnya, semakin banyak dokter dan peneliti menyibukkan diri
untuk mengetahui manfaat dari puasa. Dengan tetap berdasar pada pengetahuan
tradisional maupun praktek puasa dalam berbagai budaya dan agama, puasa dalam
pengetahuan modern pun digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit kronis dan
pencegahan penyakit.

Puasa dalam Perkembangan Pengetahuan Modern


Sementara puasa tetap dipraktekkan di berbagai agama dan kepercayaan dari abad ke abad,
puasa menjadi pokok perhatian penting dari beberapa dokter dan reformis di Eropa dan
Amerika Serikat sejak abad ke-19.

Di Amerika, dokter Edward Hooker Dewey (1840-1904) menulis buku "The No-Breakfast
Plan and the Fasting-Cure", yang menarik perhatian seluruh Eropa pada masa itu. Herbert
Shelton, seorang sarjana dari Dewey, memprakarsai gerakan berpuasa sebagai "Higienisasi
Alami”. Henri Tanner melakukan percobaan puasa pada dirinya sendiri dengan selama 42
hari di Medical College di New York.

Di Jerman, Sebastian Kneipp (1821-1897) menganjurkan berpuasa terutama untuk penyakit


infeksi akut. Dokter Austria, Franz Xaver Mayr (1875-1965) mengembangkan metode
pembersihan usus dengan puasa teh dan susu.

Pada awal abad ke-20, di Jerman ada 2 dokter yang menganjurkan puasa, yakni Siegfried
Möller dan Gustav Riedlin. Kemudian, Otto Buchinger yang mengenal kedua dokter tersebut
melakukan penyembuhan rematik sendi dan gangguan kandung empedu kronis dengan
melakukan puasa selama waktu tertentu dengan pengawasan medis. Otto Buchinger
akhirnya dikenal dalam sejarah medis dalam mengembangkan metode terapi puasa.

Dewasa ini, terapi puasa menjadi bagian yang diakui pengobatan integratif. Demikian sekilas
sejarah puasa yang ditemukan dalam praktik keagamaan dan budaya yang telah dilakukan
dari abad ke abad hingga awal kedokteran modern.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang manfaat puasa bagi kesehatan, dapat kita peroleh
dari berbagai temuan riset melalui internet. Bahasan selanjutnya tentang topik ini
barangkali akan kita muat pada artikel selanjutnya.

Sumber : http://www.tipsmu-tipsku.com/2013/06/sejarah-puasa-dalam-berbagai-agama-
dan.htm

HUMANIORA KESEHATAN

Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari


segala hal yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat,
hukum, sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna
intrinsik nilai-nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam
bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora”
dikatakan sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di
Perguruan Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities
atau pendidikan humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang
mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih
manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi
pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses pendidikan
Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa
manusia dan humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau
bayinya yang sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan
berupa saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di
antara para warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak
memiliki motif yang berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi
dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci,
pendeta, tabib dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya
keyakinan bahwa penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang
dilakukan dengan perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia
lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang sakit mungkin tidak
sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh
keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya
kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan
bahwa masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap
penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dokter praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-
one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan
kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas, pengetahuan dan
keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban
sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan
bergantung kepada kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti
yang kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter
kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap
tidak berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk
dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari seorang
dokter karena dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa
kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang liar, orang asing, dan
pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter
bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas
pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin
dan statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan
kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal,
bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari
sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu
kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga di
abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter
sebuah profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol
semua yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi
melalui pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada
pekerjaan tukang. Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi
struktural (asosiasi, publikasi, sekolah kedokteran yang dapat dikontrol) dan
bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa
awal dan berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter.
Namun harus dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan
secara profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan
dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya
pelayanan tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan
untuk itu dia dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian
seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa daerah
dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau
dokter keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut, berkeliling ke
rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat
dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan
19 membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak
dokter menetap di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan
atau dokter keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-
rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri
berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri,
sekarang kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan formal
penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan
didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan,
hasilnya adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya
industri medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat
seperti saat dokter berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini –
ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis
praktek pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga
obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih berkonsekuensi
dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter bergantung
pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang
berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan
ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter membayar asuransi untuk dirinya,
yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin
tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang
menekankan pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak
panggilan altruistik dan humanistik sang dokter.

Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah


sebuah film bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada
kritik sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan
tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia
berbicara melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara,
tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang.
Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak
dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya
tidak menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena
saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan
hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter
melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi
yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter
melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini
segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan
dokter yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan
sikap menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan.
Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang
lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin yang sibuk
meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan kasih akan
tiap keluhan Anda.

Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan


Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap
kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk
orang-orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk
kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan kesehatan
untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter umum
untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran
di negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang
besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari
layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya
(memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek estetika
(seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk membantu mereka yang
sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat mereka
(seperti membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien
diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga
mereka mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang
betul-betul manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat.
Butuh terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan
sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah
darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia
medis pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan
kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak
mampu digapai oleh masyarakat miskin. Ditambah lagi dengan dokter-dokter
yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit dibekali dengan kemampuan
untuk menghadapi masalah kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan
baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang ini, dikembangkan filosofi baru
mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial yang
berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk
Semua (World Health Organisation, 1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi,
kedokteran telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang.
Karena bisnis bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan
akhirnya meningkat. Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin
terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan praktek hingga menyentuh
seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu,
secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan
terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat
dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang
tercanggih sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu
kedokteran
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah
menjadi ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada
para peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke
dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik
penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan dan pada aplikasi hasil
penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa
peneliti memiliki tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari
masalah-masalah yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan
penderitaan dalam masyarakat.
Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai
relawan, peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya
seorang dokter harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan
manusiawi dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.
Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian
dimaksudkan agar penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk
kepentingannya saja. Peneliti diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya.
Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke
penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan para
profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.

Sumber : http://shulhana.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai