Anda di halaman 1dari 52

BAB I

sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
4. Struktur kepribadian
5. Persepsi terhadap stimulus yang mempunyai dampak pada diri
6. Pengalaman baru atau sebelumnya
7. Perasaan saat ini tentang fisik, emosional dan social diri
8. Harapan tentang diri
Konsep diri memberikan rasa kontinuitas, keutuhan dan konsistensi pada
individu. Konsep diri yang sehat mempunyai tingkat kestabilan yang tinggi dan membangkitkan
perasaan negatif atau positif yang ditujukan pada diri. Secara umum konsep diri adalah semua
tanda, keyakinan dan pendirian yang merupakan suatu pengetahuan individu tentang dirinya
yang dapat mempengaruhi hubungannya denga alisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang
paling tinggi dan untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah
semua perasaan, kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi
individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat
bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
an menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri yang
negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan
rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada
perbedaan karakteristik pada individu dengan konsep diri yang positif dan negative dalam
mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan kehidupan sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
an menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri yang
negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan
rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada
perbedaan karakteristik pada individu dengan konsep diri yang positif dan negative dalam
mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan kehidupan n orang lain, termasuk karakter,
kemampuan, nilai, ide, dan tujuan.

B. Komponen konsep diri


Konsep diri dapat digambarkan dalam istilah rentang dari kuat sampai lemah atau dari
positif sampai negatif. Ada empat komponen konsep diri yang merupakan kekuatan dari individu
yaitu :
1. Identitas
Identitas mencakup rasa internal tentang individualitas, keutuhan dan konsistensi dari seseorang
sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. Identitas menunjukkan menjadi lain dan terpisah
dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik.
Pencapaian identitas diperlukan untuk hubungan yang intim karma identitas seseorang
diekspresikan dalam berhubungan dengan orang lain.
2. Citra tubuh
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal.
Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi
oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dari
pandangan orang lain.
Citra tubuh juga dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik, sikap, nilai
cultural dan sosial.
3. Harga diri
Harga diri berdasarkan pada factor internal dan eksternal. Harga diri dapat dipahami dengan
memikirkan hubungan antara konsep diri seseorang dan diri ideal. Diri ideal terdiri atas aspirasi,
tujuan, nilai dan standar perilaku yang diupayakan untuk dicapai. Evaluasi diri adalah proses
mental yang berkelanjutan. Nilai-nilai atau harga diri adalah kebutuhan dasar manusia yang
dipengaruhi oleh sejumlah control yang mereka miliki terhadap tujuan dan keberhasilan dalam
hidup.
4. Peran
Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh keluarga, komunitas dan
kultur. Perilaku didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi. Sosialisasi itu sendiri
dimulai tepat setelah lahir, ketika bayi berespons terhadap orang dewasa dan orang dewasa
berespons terhadap perilaku bayi. Anak belajar perilaku yang diterima oleh masyarakat melalui
proses berikut :
a. Reinforcement-extinction : perilaku tertentu menjadi umum atau dihindari, bergantung apakah
perilaku ini diterima dan diharuskan atau tidak diperbolehkan dan dihukum.
b. Inhibisi : seorang anak belajar memperbaiki perilaku, bahkan ketika berupaya untuk
melibatkan diri mereka.
c. Substitusi : seorang anak menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang
memberikan kepuasan peribadi yang sama
d. Imitasi : seorang anak mendapatkan pengetahuan, keterampilan atau perilaku dari anggota
social atau kelompok cultural.
e. Identifikasi : seorang anak menginternalisasikan keyakinan, perilaku, dan nilai dari model
peran ke dalam ekspresi diri yang unik dan personal.
Selama sosialisasi, seorang anak umumnya mengembangkan keterampilan yang
diperlukan untuk berfungsi dalam banyak peran yang berbeda. Sosialisasi yang tidak berhasil
adalah ketidakmampuan untuk berfungsi seperti yang dapat diterima oleh nilai masyarakat.
Komponen-komponen konsep diri menurut Hurlock (1976:22) antara lain :
1. The perceptual component
Gambaran dan kesan seseorang tentang penampilan tubuhnya dan kesan yang dibuat pada orang
lain atau sering disebut konsep diri fisik. Tercakup didalamnya gambaran yang dipunyai
seseorang tentang daya tarik tubuhnya (attractiveness) dan keserasian jenis kelamin (sex
approriateness). Komponen ini sering disebut physical self concept.
2. The conseptual component
Pandangan tentang karakteristik yang berbeda dengan orang lain baik tentang kemampuan dan
kekurangannya serta disusun dari kualitas penyesuaian hidupnya tentang kepercayaan diri
tergantung keberanian, kegagalan dan kelemahannya. Komponen ini sering disebut
psychological self concept.
3. The attitudinal component
Perasaan tentang kebanggaan dan rasa malunya. Yang termasuk dalam komponen ini adalah
keyakinan nilai, aspirasi dan komitmen yang membentuk dirinya.
Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988:3) komponen-komponen konsep diri ada dua
yaitu :
1. Komponen kognitif
Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya, misalnya “saya
anak bodoh” atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa
saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self-picture) tersebut akan
membentuk citra diri (self- image).
2. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. Penilaian tersebut akan
membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri (self-esteem) individu.

C. Perkembangan konsep diri


Perkembangan konsep diri adalah proses sepanjang hidup. Setiap tahap perkembangan
mempunyai aktivitas spesifik yang membantu seseorang dalam mengembangkan konsep diri
yang positif.
1. Bayi
Apa yang pertama kali dibutuhkan seorang bayi adalah pemberi perawatan primer dan hubungan
dengan pemberi perawatan tersebut. Bayi menumbuhkan rasa percaya dari konsistensi dalam
interaksi pengasuhan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain.
Penyapihan, kontak dengan orang lain, dan penggalian lingkungan memperkuat kewaspadaan
diri. Tanpa stimulasi yang adekuat dari kemampuan motorik dan penginderaan, perkembangan
citra tubuh dan konsep diri mengalami kerusakan. Pengalaman pertama bayi dengan tubuh
mereka yang sangat ditentukan oleh kasih sayang dan sikap ibu adalah dasar untuk
perkembangan citra tubuh.
2. Todler
Tugas psikososial utama mereka adalah mengembangkan otonomi. Anak-anak beralih dari
ketergantungan total kepada rasa kemandirian dan keterpisahan diri mereka dari orang lain.
Mereka mencapai keterampilan dengan makan sendiri dan melakukan tugas higien dasar. Anak
usia bermain belajar untuk mengoordinasi gerakan dan meniru orang lain. Mereka belajar
mengontrol tubuh mereka melalui keterampilan locomotion, toilet training, berbicara dan
sosialisasi.
3. Usia prasekolah
Pada masa ini seorang anak memiliki inisiatif, mengenali jenis kelamin, meningkatkan kesadaran
diri, meningkatkan keterampilan berbahasa, dan sensitive terhadap umpan balik keluarga. Anak-
anak belajar menghargai apa yang orang tua mereka hargai. Penghargaan dari anggota keluarga
menjadi penghargaan diri. Kaluarga sangat penting untuk pembentukan konsep diri anak dan
masukan negatif pada masa ini akan menciptakan penurunan harga diri dimana orang tersebut
sebagai orang dewasa akan bekerja keras untuk mengatasinya.
4. Anak usia sekolah
Pada masa ini seorang anak menggabungksn umpan balik dari teman sebaya dan guru. Dengan
anak memasuki usia sekolah, pertumbuhan menjadi cepat dan lebih banyak didapatkan
keterampilan motorik, sosial dan intelektual. Tubuh anak berubah, dan identitas seksual
menguat, rentan perhatian meningkat dan aktivitas membaca memungkinkan ekspansi konsep
diri melalui imajinasi ke dalam peran, perilaku dan tempat lain. Konsep diri dan citra tubuh dapat
berubah pada saat ini karna anak terus berubah secara fisik, emosional, mental dan sosial.
5. Masa remaja
Masa remaja membawa pergolakan fisik, emosional, dan sosial. Sepanjang maturasi seksual,
perasaan, peran, dan nilai baru harus diintegrasikan ke dalam diri. Pertumbuhan yang cepat yang
diperhatikan oleh remaja dan orang lain adalah faktor penting dalam penerimaan dan perbaikan
citra tubuh.
Perkembangan konsep diri dan citra tubuh sangat berkaitan erat dengan pembentukan identitas.
Pengamanan dini mempunyai efek penting. Pengalaman yang positif pada masa kanan-kanak
memberdayakan remaja untuk merasa baik tentang diri mereka. Pengalaman negatif sebagai anak
dapat mengakibatkan konsep diri yang buruk. Mereka mengumpulkan berbagai peran perilaku
sejalan dengan mereka menetapakan rasa identitas.
6. Masa dewasa muda
Pada masa dewasa muda perubahan kognitif, sosial dan perilaku terus terjadi sepanjang hidup.
Dewasa muda adalah periode untuk memilih. Adalah periode untuk menetapakan tanggung
jawab, mencapai kestabilan dalam pekerjaan dan mulai melakukan hubungan erat. Dalam masa
ini konsep diri dan citra tubuh menjadi relatif stabil.
Konsep diri dan citra tubuh adalah kreasi sosial, penghargaan dan penerimaan diberikan untuk
penampilan normal dan perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial. Konsep diri secara
konstan terus berkembang dan dapat diidentifikasi dalam nilai, sikap, dan perasaan tentang diri.
7. Usia dewasa tengah
Usia dewasa tengah terjadi perubahan fisik seperti penumpukan lemak, kebotakan, rambut
memutih dan varises. Tahap perkembangan ini terjadi sebagai akibat perubahan dalam produksi
hormonal dan sering penurunan dalam aktivitas mempengarui citra tubuh yang selanjutnya dapat
mengganggu konsep diri.
Tahun usia tengah sering merupakan waktu untuk mengevaluasi kembali pengalaman hidup dan
mendefinisikan kembali tentang diri dalam peran dan nilai hidup. Orang usia dewasa tengah
yang manerima usia mereka dan tidak mempunyai keinginan untuk kembali pada masa-masa
muda menunjukkan konsep diri yang sehat.
8. Lansia
Parubahan pada lansia tampak sebagai penurunan bertahap struktur dan fungsi. Terjadi
penurunan kekuatan otot dan tonus otot.
Konsep diri selama masa lansia dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Masa lansia
adalah waktu dimana orang bercermin pada hidup mereka, meninjau kembali keberhasilan dan
kekecewaan dan dengan demikian menciptakan rasa kesatuan dari makna tentang diri makna
tentang diri mereka dan dunia membentu generasi yang lebih muda dalam cara yang positif
sering lansia mengembangkan perasaan telah meninggalkan warisan.
Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus sepanjang hidup manusia,
namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih
lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan
individu akan mulai dapat membedakan keduanya. Lebih lanjut Cooley (dalam Partosuwido,
1992) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai-nilai,
sikap, peran, dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai
kelompok primer, misalnya keluarga. Hubungan tatap muka dalam kelompok primer tersebut
mampu memberikan umpan balik kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain
terhadap dirinya. Dan dalam proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi dan
sekaligus terdistorsi oleh penilaian dari orang lain (Sarason, 1972). Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan individu menuju kedewasaan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan asuhnya karena seseorang belajar dari lingkungannya.

D. Factor-faktor yang mempengaruhi konsep diri


Adapun factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri adalah sebagai
berikut :
1. Tingkat perkembangan dan kematangan
Perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan
mempengaruhi konsep dirinya.
2. Budaya
Dimana pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya dan
lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat pada
lingkungannya.
3. Sumber eksternal dan internal
Dimana kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri.
4. Pengalaman sukses dan gagal
Ada kecendrungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian pula
sebaliknya.
5. Stresor
Stresor menantang kapasitas adaptif seseorang. Selye (1956) menyatakan bahwa stres adalah
kehilangan dan kerusakan normal dari kehidupan, bukan hasil spesifik tindakan seseorang atau
respon khas terhadap sesuatu. Proses normal dari kematangan dan perkembangan itu sendiri
adalah stresor. Stresor konsep diri adalah segala perubahan nyata atau yang diserap yang
mengancam identitas, citra tubuh, harga diri, atau perilaku peran.
a. Stresor identitas
Identitas didefinisikan sebagai pengorganisasian prinsip dari system kepribadian yang
bertanggung jawab terhadap kesatuan, kontinuitas, keunikan, dan konsistensi dari kepribadian.
Identitas dipengaruhi oleh stresor seumur hidup. Bingung identitas terjadi ketika seseorang tidak
mempertahankan identitas personal yang jelas, konsisten, dan terus sadar. Kebingungan identitas
dapat terjadi kapan saja dalam kehidupan jika seseorang tidak mampu mengatasi stresor
identitas. Dalam stress ekstrem seorang individu dapat mengalami depersonalisasi, yaitu suatu
keadaan dimana realitas internal dan eksternal atau perbedaan antara diri dan orang lain tidak
dapat ditetapkan.
b. Stresor citra tubuh
Perubahan dalam penampilan, struktus atau fungsi bagian tubuh akan membutuhkan perubahan
dalam citra tubuh. Makna dari kehilangan fungsi atau perubahan dalam penampilan dipengaruhi
oleh persepsi individu tentang perubahan yang dialaminya. Citra tubuh terdiri atas elemen ideal
dan nyata. Seorang wanita yang memasukkan payudara sebagai citra tubuhnya dalam elemen
ideal, maka kehilangan payudara akibat mastektomi dapat menjadi perubahan yang signifikan.
Makin besar makna penting dari tubuh atau bagian spesifik, maka makin besar ancaman yang
dirasakan akibat perubahan dalam citra tubuh.
c. Stresor harga diri
Harga diri adalah rasa dihormati, diterima, kompeten dan bernilai. Banyak stresor mempengaruhi
harga diri seorang bayi, usia bermain, prasekolah dan remaja. Ketidakmampuan untuk memenuhi
harapan orang tua, kritik tajam, hukuman yang yang tidak konsisten, persaingan antara saudara
sekandung, dan kekalahan yanmg berulang dapat menurunkan tingkat nilai diri. Stresor pada
orang dewasa mencakup ketidakberhasilan dalam pekerjaan dan kegagalan dalam hubungan.
d. Stresor peran
Peran membentuk pola perilaku yang diterima secara sosial yang berkaitan dengan fungsi
seorang individu dalam berbagai kelompok sosial. Sepanjang hidup orang menjalani berbagai
perubahan peran. Perubahan normal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan maturasi
mengakibatkan transisi perkembangan. Masing-masing dari transisi dapat mengancam konsep
diri yang mengakibatkan konflik peran, ambiguitas peran atau ketegangan peran.
Konflik peran adalah tidak adanya kesesuaian harapan peran. Jika seseorang diharuskan untuk
secara bersamaan menerima dua peran atau lebih yang tidak konsisten, berlawanan, atau sangat
eksklusif maka dapat terjadi konflik peran. Terdapat tiga jenis dasar konflik peran yaitu :
a. Konflik interpersonal terjadi ketika satu orang atau lebih mempunyai harapan yang
berlawanan atau tidak cocok secara individu dalam peran tertentu.
b. Konflik antar-peran terjadi ketika tekanan atau harapan yang berkaitan dengan satu peran
melawan tekanan atau harapan yang saling berkaitan.
c. Konflik peran personal terjadi ketika tuntutan peran melanggar nilai personal individu.
Ambiguitas peran mencakup harapan peran yang tidak jelas. Ketika terdapat ketidakjelasan
harapan, maka orang menjadi tidak pasti apa yang harus dilakukan, bagaimana harus
melakukannya, atau keduanya.
Ketegangan peran adalah perpaduan antara konflik peran dan ambiguitas peran. Ketegangan
peran dapat diekspresikan sebagai perasaan frustasi ketika seseorang merasakan tidak adekuat
atau merasa tidak sesuai dengan peran.
Kelebihan beban peran terjadi ketika seseorang individu tidak dapat memutuskan tekanan mana
yang harus dipatuhi karna jumlah tuntutan yang banyak dan konflik prioritas.
6. Usia, keadaan sakit dan trauma
Dimana usia tua dan keadaan sakit akan memengaruhi persepsi seseorang.

E. Pengaruh perawat pada konsep diri klien


Penerimaan perawat terhadap klien dengan perubahan konsep diri membantu
menstimulasi rehabilitasi yang positif. Klien yang penampilan fisiknya telah mengalami
perubahan dan yang harus beradaptasi terhadap citra tubuh yang baru, hampir pasti baik klien
maupun keluarganya akan melihat pada perawat dan mengamati respons dan reaksi mereka
terhadap situasi yang baru. Dalam hal ini perawat mempunyai dampak yang signifikan. Rencana
keperawatan yang dirumuskan untuk membantu klien dengan perubahan konsep diri dapat
ditingkatkan atau digagalkan oleh nilai dan perasaan bawah sadar perawat. Penting artinya bagi
perawat untuk mengkaji dan mengklarifikasi hal-hal berikut mengenai diri mereka :
1. Perasaan perawat sendiri mengenai kesehatan dan penyakit
2. Bagaimana perawat bereaksi terhadap stress
3. Kekuatan komunikasi nonverbal dengan klien dan keluarganya dan bagaimana hal tersebut
ditunjukkan.
4. Nilai dan harapan pribadi apa yang ditunjukkan dan mempengaruhi klien
5. Bagaimana pendekatan tidak menghakimi dapat bermanfaat bagi klien
Untuk menciptakan hubungan antara perawat dan pasien diperlukan komunikasi yang
akan mempermudah dalam mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta
kerja sama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Hubungan perawat dan klien yang terapeutik
akan memepermudah proses komunikasi tersebut.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk untuk kesembuhan pasien. Tujuan komunikasi terapeutik itu
sendiri adalah :
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat
mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang
diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Menurut Carl rogers prinsip-prinsip komunikasi terapeutik diantaranya :
1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri
serta nilai yang dianut.
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling
menghargai.
3. Perawat harus memahami, manghayati nilai yang dianut oleh pasien.
4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
5. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan suasana yang memungkinkan pasien
bebas berkembang tanpa rasa kuat.
6. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi
untuk mengubah dirinya sendiri baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan
dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
7. Mampu menetukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
8. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
9. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain
tentang kesehatan, oleh karma itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik
mental, spiritual dan gaya hidup.
10. Bertanggung jawab dalam dua hal yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang
dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Adapun masalah-masalah yang dihadapi seseorang yang berhubungan dengan konsep diri
adalah sebagai berikut :
1. Kehilangan
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual meupun potensial yang dapat dialami individu
ketika berpisah dengan suatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi
perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan dapat berupa
kehilangan yang nyata (actual loss) yaitu kehilangan orang atau obyek yang tidak lagi bisa
dirasakan, dilihat, diraba atau dialami oleh seseorang dan kehilangan yang dirasakan (perceived
loss) yaitu kehilangan yang sifatnya unik menurut orang yang mengalami kedukaan.
2. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Adapun jenis berduka
yaitu :
a. Berduka normal terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
b. Berduka antisipatif yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhya terjadi.
c. Berduka yang rumit dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ketahap berikutnya.
d. Berduka tertutup yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
3. Sekarat dan kematian
Sekarat (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang manghadapi kematian, yang memiliki
berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Kematian (death)merupakan kondisi
terhentinya pernapasan, nadi dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus
eksternal.

BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian
Loss :Peristiwa hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat berarti atau bernilai bagi
seseorang.
Grief : Reaksi emosi karewna persepsi atau penghayatan peristiwa kehilangan tersebut.
Kehilangan : Suatu keadaan di mana individu terpisahkan (untuk sebagian atau seluruhnya) dari
sesuatu yang sebelumnya ada atau dimilikinya. Sesuatu yang hilang tersebut dapat berupa orang
yang bermakna, harta milik pribadi, kesehatan, serta pekerjaan.
Kematian : Seseorang yang dianggap sudah mati ialah apabila ia tidak lagi mempunyai denyut
nadi, tidak bernafas selama beberapa menit dan ketiadaan segala refleks, serta ketiadaan kegiatan
otak.
b. Kematian dan Menjelang Ajal
Teorinya mengatakan bahwa orang yang menjelang ajal mengalami lima tahap. Dimulai
dengan penyikapan awal terminalitas dan berakhir dengan momen akhir kehidupan.
1. Penyangkalan dan isolasi, biasanya mewakili pertahanan temporer yang digantikan
dengan penerimaan parsial.
2. Kemarahan dan penyangkalan digantikandengan perasaan marah, gusar, iri, dan
kebencian.
3. Tawar menawar, orang yang menjelang ajalakan mencoba menunda kemudianyang tidak
terelakandemgan menentukan sendiri tengat waktu untuk peristiwa keluarga yang khusus,
seperti pernikahan dan fungsi religius.
4. Depresi, meliputi dua jenis kehilangan: kehilangan yang terjadi di masa lalu dan
kehilangan hidup yang akan terjadi, yang disebut sebagai kesiapan berduka oleh kubler
ross.
5. Penerimaan merupakan fase akhir dari proses menjelang ajal.
Kematian Pasangan
Salah satu kehilangan yang paling berat yand dapat dialami seseorang adalah kematian pasangan.
Masa menjanda atau menduda dapat secara serius mempengaruhi status finansial lansia, jaringan
sosial, serta kesehatan fisik dan mental.
Selain kehilangan pasangan hidup, masalah yang belum terselesaikan dapat terus diingat sampai
bertahun-tahun setelah kematian pasangan, pernikahan yang berumur panjang belum tentu
sebuah pernikahan yang bahagia. Perasaan bersalah yang belum hilang yang berhubungan
dengan ketidaksetiaan, penganiayaan fisik atau penyalagunaan zat atau masalah finansial setelah
masa menjanda atau menduda adalah beberapa contoh dari masalah-masalah yang dapat
memburuk dan menyebabkan penyakit yang serius kadang kala berlangsung sampai 10 tahun
setelah kematian pasangan. Keluarga dan khusus pemberi asuhan pasangan tersebut dapat belum
terselesaikan.
c. Pertimbangan Khusus
o Pastikan pasien menyadari akan layanan konseling, kelompok pendukung dan sumber lain
tersedia untuk membantunya mengatasi kehilangan pasangan.
o Motivasi pasien mengungkapkan secara verbal ketakutan dan kekhawatirannya mengenal
kematian sendiri. Persiapan akan kematian dapat menjadi pengalaman positif dan tugas
perkembangan yang utama pada masa dewasa.
Konsep Perawatan Paliatif
a. Pengertian
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita,
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan aktif tersebut diatas artinya
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek
psikologis, sosial dan spiritual.
Perawatan paliatif adalah pelayanan aktif dan menyeluruh yang dilakukan oleh satu tim
dari berbagai disiplin ilmu.Tim paliatif terdri atas tim terintegrasi, antara lain dokter,
perawat, psikolog, ahli fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan dan relawan.
Keberhasilan keperawatan paliatif bergantung pada kerja sama yang efektif dan pendekatan
interdisiplin antara dokter, perawat, pekerja sosial medis, rohaniawan atau pemuka agama,
relawan dan anggota pelayanan lain sesuai dengan kebutuhan.
Tim harus mampu mengupayakan dan menjamin agar pasien lanjut usia mendapat
pelayanan seutuhnya yang mencakup bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual. Artinya, tidak
ada anggota tim yang menjadi primadona. Pemimpin tim dibantu anggotanya harus berusaha
keras untuk mencapai tujuan perawatan.
Kerjasama yang erat antara anggota tim perawatan paliatif dengan keluarga pasien dirasakan
sebagai kebutuhan utama yang saling mendukung kelancaran perawatan paliatif.
Dukungan keluarga saat masa sulit sangat penting yaitu:
a. Pada saat perawatan
b. Pada saat mendekati kematian
c. Pada saat kematian
d. Pada saat masa duka
Perawatan tim paliatif merupakan perawatan yang cukup kompleks. Pendekatan holistik
(menyeluruh) terhadap lanjut usia dengan mengikutsertakan keluarga lanjut usia akan
menyentuh faktor fisiki, psikis, sosial, spiritual dan budaya pasien. Keberhasilan program
tidak dapat dijamin tanpa kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu, kualitas
karya dan kualitas perilaku serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.
Perawat.tim perawatan paliatif perlu dan harus memperhatikan serta mengacu kutipan Dame
Cecely Saunders “ You matter because are you, you matter to the last moment of your life,
and we will do all we can, not only to help you die peacefully, but to life until you die”

b. Tujuan Perawatan Paliatif:


Mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut usia) dan perawatan tim paliatf
Meringankan, bukan menyembuhkan. Meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi.Mengurangi beban penderitaan lanjut usia.
c. Prinsip Pemberian Perawatan Paliatif adalah memberi perawatan paripurna kepada klien lanjut
usia dengan pengawasan dari tim professional.

d. Dalam memberikan perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar yang
digariskan oleh WHO yaitu:
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
2. Tidak mempercepat dan menunda kematian lansia
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap sakit sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha mambantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut usia.

e. Kekhususan Tim Paliatif:


1. Profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya.
2. Para profesional ini bergabung dalam satu kelompok kerja.
3. Secara bersama, mereka manyusun dan merancang tujuan akhir perawatan, melakukan
langkah tujuan pendek.
4. Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi di antara anggota tim, bergantung pada kondisi
yang paling diperlukan oleh pasien lanjut tua.
5. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien.
6. Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.

f. Kekhususan Pasien Lanjut Usia:


1. Lanjut usia menghadapai kondisi yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Artinya,
terapi yang diberikan hanya bersifat simptomatis atau paliatif (bukan kuratif).
2. Lanjut usia cenderung mengalami kelemahan dan kerapuhan, baik fisik maupun mental.
3. dengan demikian, kemungkinan pasien lanjut usia tidak mampu menghadapi stres fisik
dan mental yang timbul dari luar atau dari lingkungannya.
4. Lanjut usia berada diambang kematian yang terutama akan menimbulkan ketakutan dan
kegelisahan, yang sudah tentu perlu mendapat simpati dan dukungan mental atau
spiritual.
5. bila proses kematian berlangsung lama (memakan waktu panjang), faktor etika dapat
menjadi masalah yang harus diatasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Asuhan Keperawatan Lanjut Usia dengan Loss (Kehilangan)
a. Sebab sebab kehilangan:
1. Kehilangan fungsi, misalnya: fungsi seksual dan fungsi kontrol usus.
2. Hilangnya gambaran diri atau citra diri.
3. Hilangnya seseorang yang sangat dekat hubungannya.
4. Kehilangan barang yang berharga (rumah, mobil, dan tabungan).

b. Gejala-gejala Umum:
1. Tahap 1: Merasa shock atau terpukul dan tidak percaya. Hampir semua tingkah laku
yang tidak bersifat merusak merupakan sikap penyesuaian pada tahap ini.
2. Tahap 2: Munculnya kesadaran akan peristiwa kehilangan tersebut kemungkinan klien
lanjut usia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang peristiwa kehilangan
tersebut. Tingkah laku penyesuaian diri, yaitu mulai mengakui peristiwa kehilangan
tersebut serta pengaruhnya terhadap seseorang.
3. Tahap 3: Pulih kembali, tingkah laku yang tampak, misalnya kemampuan untuk
memahami dan menghayati kehilangan tersebut. Setelah itu melanjutkan kegiatan
hidupnya sehari-hari dengan cara: merencanakan masa depannya, seraya mengingat
kembali kejadian baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan yang
diakibatkan oleh peristiwa tersebut secara realistis.
c. Penatalaksaan:
Tahap 1:
1. Luangkan waktu sekurang-kurangnya 15-20 menit sehari untuk bercakap-cakap
bersama klien lanjut usia.
2. Berikan kesempatan pada klien lanjut usia untuk mengarahkan pembicaraan.
3. Katakan kepada klien lanjut usia bahwa dengan peristiwa itu berarti ia telah
melakukan sesuatu yang baik.
4. Terima tingkah laku klien lanjut usia yang tidak merusak fisik.
Tahap 2:
1. Gabungkan pengaruh peristiwa kehilangan tersebut baik pada diri klien lanjut usia
maupun keluarganya selama pembicaraan dengan klien lanjut usia.
2. Libatkan klien lanjut usia dalam merencanakan dan melakukan perawatan diri.
Tahap 3:
1. Diskusikan bersama klien lanjut usia segi-segi positif dan negatifnya peristiwa
kehilangan tersebut.
2. Berikan motivasi untuk merencanakan masa depannya.
3. Apabila klien lanjut usia menyangkal dengan melakukan sesuatu yang
membahayakan fisiknya, batasi tindakan tersebut dengan menghadapkan klien lanjut
usia kepada kenyataan yang ada. Intervensi dilakukan sesuai dengan tahapan yang
dialami klien
4. Ulangi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan klien agar ia dapat mencari jawabannya
berkat bantuan perawat.
d. Rencana Selanjutnya:
1. Yakinkanlah bahwa klien lanjut usia masih mempunyai dukungan baik dari keluarga
maupun teman-temannya
2. Yakinkanlah bahwa klien lanjut usia sadar akan normalnya keadaan tersebut dan
mengerti setiap orang juga mengalami proses yang sama bila mengalami kehilangan.

2.2 Asuhan Keperawatan Lansia Usia dengan Tidak ada Harapan Sembuh (yang
menghadapi saat kematian)
A. Ciri-ciri atau tanda-tanda pada klien lanjut usia menjelang kematian:
1. Gerakan dan penginderaan menghilang secara perlahan.Dimulai pada anggota badan,
kaki dan ujung kaki.
2. Badan dingin dan lembab terutama pada kaki, tangan dan ujung hidungnya.
3. Kulit tampak pucat, berwarna kebiru-biruan atau kelabu.
4. Denyut nadi mulai tidak teratur.
5. Nafas dengkur berbunyi keras (stridor) yang disebabkan oleh adanya lender pada saluran
pernafasan.
6. Tekanan darahnya menurun.
7. Terjadi gangguan kesadaran.
B. Sebab-sebab Kematian:
1. Penyakit
a. Keganasan, misalnya:
1. Carnisoma (C)
2. Carnisoma Hati
3. Carnisoma Paru
b. Penyakit Kronis, misalnya:
1. CVD (Cerebro Vascular Diseases)
2. CRF (Chronic Renal Failure) = Gangguan Ginjal
3. DM Gangguan Endokrin
4. MCI (Myocard Infarc) = Gangguan Kardiovaskular
5. COPD (Chronic Obstruction Pulmo Diseases)
C. Tanda-tanda Kematian:
1. Pupil (bola matanya) tetap membesar atau melebar dan tidak berubah-ubah.
2. Hilangnya semua refleka dan ketiadaan kegiatan otak yang ampak jelas dalam hasil
pemeriksaan EEG yang menunjukkan mendatar dalam waktu 24 jam.
D. Pengaruh Kematian:
1. Pengaruh kematian terhadap keluarga klien lanjut usia
a. Bersikap kritis terhadap cara-cara perawatan.
b. Keluarga dapat menerima keadaan kondisinya.
c. Terputusnya komunikasi dengan orang lain menjelang maut.
d. Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak dapat
mengatasi rasa.
e. Pengalihan tanggung jawab dan beban ekonomi.
f. Keluarga menolak diagnosa, penolakan tersebut dapat memperbesar beban emosi
keluarga.
g. Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan
E. Tahap-tahap Menuju Kematian:
Tahap-tahap ini tidak selamanya berurutan secara tetap tetapi dapat saling tindih kadang-
kadang seorang klien lanjut usia melalui satu tahap tertentu untuk kemudian kembali lagi ke
tahap itu. Lamanya setiap tahap dapat bervariasi mulai dari beberapa jam sampai beberapa
bulan. Apabila suatu tahap tertentu berlangasung sangat singkat, bisa timbul kesan seolah-olah
klien lanjut usia melompati satu tahap terkecuali jika perawat mempertahankan secara
seksama dan cermat.
1. Tahap Pertama (Tahap Penolakan)
Selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa maut menimpa
semua orang kecuali dia. Klien lanjut usia biasanya terpengaruh oleh penolakannya sehingga
ia tidak memperhatikan fakta-fakta yang mungkin sedang dijelaskan perawat kepadanya. Ia
malahan dapat menekan apa yang telah ia dengar atau mungkin akan meminta pertolongan
dari berbagai macam sumberprofesional dan non profesional dalam upaya melarikan diri dari
kenyataan bawhwa maut sudah berada diambang pintu.
2. Tahap Kedua (Tahap Marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa amarah dan emosi yang tidak terkendalikan. Klien lanjut usia
mudah marah terhadap perawat dan petugas-petugas kesehatan lainnya terhadap apa saja yang
mereka lakukan. Kemarahan disini merupakan mekanisme pertahanan diri klien lanjut usia.
Akan tetapi, kemarahan yang sesungguhnya tertuju kepada kesehatan dan kehidupan. Marah
terhadap kenyataan bahwa kematian akan dialami daalm waktu dekat dan respon ini mungkin
diekspresikan kepada dokter dan perawat atau kepada pemuka agama.
3. Tahap Ketiga (Tahap Tawar Menawar)
Kemarahan biasanya mereda dan klien lanjut usia dapat menimbulkan kesan sudah dapat
menerima apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Akan tetapi, pada tahap tawar= menawar
inilah banyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan rumah tangga mereka sebelum
maut tiba, dan akan menyiapkan hal-hal seperti membuat surat dan mempersiapkan jaminan
hidup bagi orang-orang tercinta yang ditinggalkan.
Selama tawar-menawar segala permohonan yang dikemukakan hendaknya dapat dipenuhi
karena merupakan bagian dari urusan-urusan yang belum selesai dan harus dibereskan
sebelum mati. Misalnya: lanjut usia mempunyai satu permintaan terakhir untuk melihat
pertandingan olahraga, mengunjungi seorang kerabat, melihat cucu terkecil, pergi makan ke
restaurant dsb. Perawat dianjurkan memenuhi permohonan itu karena tawar-menawar
membantu klien lanjut usia memasuki tahap-tahap berikutnya.
4. Tahap Keempat (Tahap Sedih)
Tahap ini klien lanjut usia pada hakekatnya merasakan saat-saat sedih. Klien lanjut usia
sedang dalam suasana berkabung karena masa lampau ia sudah kehilangan orang yang dicintai
dan sekarang ia akan kehilangan nyawanya sendiri, bersamaan dengan ini harus meninggalkan
semua hal yang menyenangkan yang telah dinikmatinya. Selama tahap ini klien lanjut usia
cenderung untuk tidak banyak bicara dan sering menangis. Saatnya bagi perawat untuk duduk
dengan tenang disamping klien lanjut usia yang sedang melalui masa sedihnya sebelum maut.
5. Tahap Kelima (Tahap Akhir/Tahap Menerima)
Tahap ini ditandai oleh sikap menerima kematian. Menjelang saat ini klien lanjut usia
telah membereskan urusan-urusan yang belum selesai dan mungkin tidak ingin berbicara lagi
oleh karena ia sudah menyatakan segala sesuatunya. Tawar-menawar sudah lewat dan tibalah
saat kedamaian dan ketenangan. Seseorang mungkin saja berada lama sekali dalam tahap
mererima tetapi bukanlah tahap pasrah yang berarti kekalahan. Dengan kata lain, pasrah
kepada maut tidak berarti menerima maut.
Menerima diagnosis dan mulai bekerja sama dalam membuat keputusan mengenai
pemantauan nyeri dan mendiskusikan aspek praktik perawatan terminal.

F. Penatalaksanaan:
1. Tahap Pertama (Tahap Penolakan)
a. Berikan kesempatan klien lanjut usia mempergunakan caranya sendiri dalam menghadapi
kematiannya sejauh tidak merusak.
b. Memfasilitasi klien lanjut usia menghadapi kematian, luangkan waktu setidak-tidaknya
10 menit sehari, baik dengan bercakap-cakap ataupun sekedar bersamannya.
2. Tahap Kedua (Tahap Marah)
a. Berikan kesempatan klien lanjut usia mengungkapakan kemarahannya dengan kata-kata.
b. Ingatlah bahwa dalam benaknya begejolak pertanyaan “mengapa hai nin terjadi padaku?”
c. Seringkali perasaan ini dialihkan kepada orang lain atau anda sebagai cara klien lanjut
usia bertingkah laku.
3. Tahap Ketiga (Tahap Tawar Menawar)
a. Klien lanjut usia akan mempergunakan ungkapan-ungkapan, seperti, seandainya saya...
b. Berikan kesempatan klien lanjut usia menghadapi kematian dengan tawar-menawar.
c. Tanyakan kepada klien lanjut usia kepentingan-kepentingan apakah yang masih ia
inginkan. Dengan cara demikian dapat menunjukkan kemampuan perawat untuk
mendengarkan keluh kesah perasaannya.
4. Tahap Keempat (Tahap Sedih)
a. Jangan mencoba menyenangkan klien lanjut usia. Ingatlah bahwa tindakan ini sebenarnya
hanyalah memnuhi kebutuhan petugas, jangan takut menyaksikan klien lanjut usia atau
menangis. Hal ini merupakan ungkapan pengekspresian kesedihannya.anad boleh saja
berduka cita dengan empati bukan simpati.
b. Klien lanjut usia hanya sekedar mengisidan menghabiskan waktu untuk perasaan-
perasaannya dan bukannya mencari jawaban. Biasanya klien lanjut usia menanyakan
sesuatu yang sebetulnya sudah mengetahui jawabannya.
5. Tahap Kelima (Tahap Akhir/Tahap Menerima)
Klien lanjut usia telah menerima, dapat mengatakan bahwa kematian akan tiba dan ia
tidak boleh menolak.
Sebenarnya klien lanjut usia tidak menghendaki kematian ini terjadi, akan tetapi
ia tahu bahwa akan terjadi. Jadi, klien lanjut usia tidak merasa tenang dan damai.• Sikap
Menyerah

2.3 PROSES KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Perasaan takut.
Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak terkendalikan yang
begitu sering diasosiasikan dengan keadaan sakit terminal, terutama apabila keadaan itu
disebabkan oleh penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbangan yang sehat
apabila sedang merawat orang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasian
dengan cara yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori,
nyeri tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri, seperti aspirin, dehidrokodein
dan dektomoramid. Apabila berbicara mengenai perasaan takut mereka terhadap maut,
respon mereka secara tipikal mencakup perasaan takut tentang hal yang tidak jelas, takut
meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum selesai dsb.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian
tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada umumnya orang merasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang dan stress.
b. Emosi
Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian, mudah marah
c. Tanda Vital
Perubahan fungsi tubuh sering kali tercermin pada suhu badan, denyut nadi, pernapasan
dan tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sama lain.
d. Kesadaran
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas waspada yang merupakan
ekspresi tentang apa yang dilihat, didengar, dialami dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu,
raba, getar, gerak, gerak tekan dan sikap, bersifat adekuat.
e. Fungsi Tubuh
Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ memiliki fungsi khusus.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen b.d adanya penyumbatan slem yang ditandai
dengan sesak napas.
b. Gangguan kenyamanan b.d batuk, panas tinggi yang ditandai dengan gelisah.
d. Gangguan kesadaran b.d dsampak patologis dengan manifestasi apatis/koma.
e. Perubahan nutrisi sebagai dampak patologis dengan menampakkan makanan yang
disajikan sering tidak habis.
f. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d muntah dan diare yang ditandai dengan
turgor jelek, mata cekung, suhu naik.
g. Gangguan eliminasi alvi b.dobstipasi yang ditandai dengan beberapa hari pasien tidak
defekasi.
h. Gangguan eliminasi urine b.d produksi urinennya yang ditandai dengan jumlah urine
berapa cc.
i. Keterbatasan pergerakan b.d tirah baring lam ditandai dengan kaku sendi/otot.
j. Gangguan psikologis b.d perubahab pola seksualitas yang ditandai dengan susah tidur,
pucat, murung.
k. Cemas b.d memikirkan penyakitnya dengan keluarga.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Dx Kep: Gangguan kenyamanan b.d batuk, panas tinggi yang ditandai dengan gelisah.
Tujuan: Rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi:
Mengupayakan penurunan suhu tubuh.
Memberi obat sesuai dengan program.

b. Dx Kep: Perubahan nutrisi sebagai dampak patologis dengan menampakkan makanan yang
disajikan sering tidak habis.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi: mempertahankan pemasukan makanan yang cukup.
c. Dx Kep: Gangguan eliminasi alvi b.dobstipasi yang ditandai dengan beberapa hari pasien tidak
defekasi.
Tujuan: Kebutuhan eliminasi (defekasi) terpenuhi.
Intervensi: Mempertahankan kelancaran defekasi

d. Dx Kep: Gangguan eliminasi urine b.d produksi urinennya yang ditandai dengan jumlah urine
berapa cc.
Tujuan: Kebutuhan eliminasi (berkemih) terpenuhi.
Intervensi: Mempertahankan kelancaran berkemih.
e. Dx Kep: Keterbatasan pergerakan b.d tirah baring lam ditandai dengan kaku sendi/otot.
Tujuan: Kebutunan pergerakan (sendi/otot) terpenuhi.
Intervensi: Memenuhi kebutuhan gerak (mobilisasi).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dalam melakukan pendekatan Perawat harus menjalin hubungan dan persahabatan yang
sangat baik dengan lansia dalam perawatan menjelang kematian. Pada saat lansia memasuki
keadaan yang terminal, perawat bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan mengenai
kondisi mereka dan memastikan tingkat pengetahuan mereka mengenai kondisinya tersebut.
Setiap informasi dapat dikumpulkan dalam suatu percakapan dengan individu dan dalam
konsultasi keluarga.
Perawatan tim paliatif merupakan perawatan yang cukup kompleks. Pendekatan holistik
(menyeluruh) terhadap lanjut usia dengan mengikutsertakan keluarga lanjut usia akan menyentuh
faktor fisiki, psikis, sosial, spiritual dan budaya pasien. Keberhasilan program tidak dapat
dijamin tanpa kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu, kualitas karya dan kualitas
perilaku serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.
Perawat.tim perawatan paliatif perlu dan harus memperhatikan serta mengacu kutipan
Dame Cecely Saunders “ You matter because are you, you matter to the last moment of your life,
and we will do all we can, not only to help you die peacefully, but to life until you die”
3.2 Saran
Demikian sedikit tentang materi gerontik yang dapat saya bagikan kepada pembaca semoga
bermanfaat bagi penbaca semua.saya selaku penulis artikel ini. Mohon maaf jika ada beberapa
materi yang kurang sesuai ato masii banyak kekurangan nya Tentu masih banyak sekali
kekurangan yang jauh dari sempurna. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun masih
sangat kami butuhkan. Saya ucapkan banyak terimakasih telah mengunjungi blog saya. Sekali
lagi saya mohon maaf karena artikel ini jauh dari sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
1. Maryam, R, Siti dkk.2008.Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta:Salemba Medika.
2. Noorkasiani dan S, Tamher.2009.Kesehatan Usia Lanjut dengan pendekatan Asuhan
Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika.
3. Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta:EGC.
4. Suseno, Tutu April A.2005.Buku Ajar Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan.Jakarta:Sagung Seto
5. Stockslenger, Jaime L.2007.Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta:EGC.
6. Watson, Roger.2003.Perawatan Pada Lansia. Jakarta:EGC.
7. Stanley, Mickey anad Gauntlett P.2006.Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta:EGC.
BAB I

A.PENDAHULUAN
KONSEP DIRI BERHUBUNGAN DENGAN KEPRIBADIAN
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam hubungan interpersonal,
karena setiap individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Hal ini berarti bahwa,
apabila konsep diri seseorang positif, maka individu akan cenderung mengembangkan sikap-
sikap postitif dalam dirinya sendiri. seperti rasa percaya diri yang baik serta kemampuan untuk
melihat dan menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri
yang negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu
dan rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif
akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada
perbedaan karakteristik pada individu dengan konsep diri yang positif dan negative dalam
mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan kehidupan sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. an menilai diri sendiri secara positif.
Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri yang negatif, maka individu tersebut cenderung
akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya
diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri
dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada perbedaan karakteristik pada individu dengan
konsep diri yang positif dan negative dalam mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan
kehidupan sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
an menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri yang
negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan
rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada
perbedaan karakteristik pada individu dengan konsep diri yang positif dan negative dalam
mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan kehidupan sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
an menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri yang
negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan
rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada
perbedaan karakteristik pada individu dengan konsep diri yang positif dan negative dalam
mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan kehidupan sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
an menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya bila individu memiliki konsep diri yang
negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan
rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Sehingga akan ada
perbedaan karakteristik pada individu dengan konsep diri yang positif dan negative dalam
mengaktualisasikan dirinya terhapap lingkungan dan kehidupan sekitarnya
Menurut Maslow aktualisasi dirimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi dan
untuk mencapainya diperlukan konsep diri yang sehat. Konsep diri adalah semua perasaan,
kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tantang dirinya dan memengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.

Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenaipengalaman ya
ng berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukanaku. Rogers menggambarkan
pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yangmengalami penghargaan positip tanpa sy
arat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilaiadanya diri sendiri sebagai person sehingga ia ti
dak bersifat defensif namun cenderung untukmenerima diri dengan penuh kepercayaan. Konsep
diri adalah citra subyektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan
persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri dikembangkan melalui proses yang sangat
kompleks yang melibatkan banyak variable. Variabel yang menjadi komponen dari konsep diri
adalah identitas, citra tubuh, harga diri dan peran. Konsep diri adalah kombinasi dinamis yang
dibentuk selama selama bertahun-tahun dan didasarkan pada hal berikut :
1. Reaksi orang lain terhadap tubuh seseorang
2. Persepsi berkelanjutan tentang reaksi orang lain terhadap dirinya
3. Hubungan dengan diri dan orang lain
4. Struktur kepribadian
5. Persepsi terhadap stimulus yang mempunyai dampak pada diri
6. Pengalaman baru atau sebelumnya
7. Perasaan saat ini tentang fisik, emosional dan social diri
8. Harapan tentang diri
Konsep diri memberikan rasa kontinuitas, keutuhan dan konsistensi pada
individu. Konsep diri yang sehat mempunyai tingkat kestabilan yang tinggi dan membangkitkan
perasaan negatif atau positif yang ditujukan pada diri. Secara umum konsep diri adalah semua
tanda, keyakinan dan pendirian yang merupakan suatu pengetahuan individu tentang dirinya
yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain, termasuk karakter, kemampuan,
nilai, ide, dan tujuan.

B. Komponen konsep diri


Konsep diri dapat digambarkan dalam istilah rentang dari kuat sampai lemah atau dari
positif sampai negatif. Ada empat komponen konsep diri yang merupakan kekuatan dari individu
yaitu :
1. Identitas
Identitas mencakup rasa internal tentang individualitas, keutuhan dan konsistensi dari seseorang
sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. Identitas menunjukkan menjadi lain dan terpisah
dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik.
Pencapaian identitas diperlukan untuk hubungan yang intim karma identitas seseorang
diekspresikan dalam berhubungan dengan orang lain.
2. Citra tubuh
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal.
Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi
oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dari
pandangan orang lain.
Citra tubuh juga dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik, sikap, nilai
cultural dan sosial.
3. Harga diri
Harga diri berdasarkan pada factor internal dan eksternal. Harga diri dapat dipahami dengan
memikirkan hubungan antara konsep diri seseorang dan diri ideal. Diri ideal terdiri atas aspirasi,
tujuan, nilai dan standar perilaku yang diupayakan untuk dicapai. Evaluasi diri adalah proses
mental yang berkelanjutan. Nilai-nilai atau harga diri adalah kebutuhan dasar manusia yang
dipengaruhi oleh sejumlah control yang mereka miliki terhadap tujuan dan keberhasilan dalam
hidup.
4. Peran
Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh keluarga, komunitas dan
kultur. Perilaku didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi. Sosialisasi itu sendiri
dimulai tepat setelah lahir, ketika bayi berespons terhadap orang dewasa dan orang dewasa
berespons terhadap perilaku bayi. Anak belajar perilaku yang diterima oleh masyarakat melalui
proses berikut :
a. Reinforcement-extinction : perilaku tertentu menjadi umum atau dihindari, bergantung apakah
perilaku ini diterima dan diharuskan atau tidak diperbolehkan dan dihukum.
b. Inhibisi : seorang anak belajar memperbaiki perilaku, bahkan ketika berupaya untuk
melibatkan diri mereka.
c. Substitusi : seorang anak menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang
memberikan kepuasan peribadi yang sama
d. Imitasi : seorang anak mendapatkan pengetahuan, keterampilan atau perilaku dari anggota
social atau kelompok cultural.
e. Identifikasi : seorang anak menginternalisasikan keyakinan, perilaku, dan nilai dari model
peran ke dalam ekspresi diri yang unik dan personal.
Selama sosialisasi, seorang anak umumnya mengembangkan keterampilan yang
diperlukan untuk berfungsi dalam banyak peran yang berbeda. Sosialisasi yang tidak berhasil
adalah ketidakmampuan untuk berfungsi seperti yang dapat diterima oleh nilai masyarakat.
Komponen-komponen konsep diri menurut Hurlock (1976:22) antara lain :
1. The perceptual component
Gambaran dan kesan seseorang tentang penampilan tubuhnya dan kesan yang dibuat pada orang
lain atau sering disebut konsep diri fisik. Tercakup didalamnya gambaran yang dipunyai
seseorang tentang daya tarik tubuhnya (attractiveness) dan keserasian jenis kelamin (sex
approriateness). Komponen ini sering disebut physical self concept.
2. The conseptual component
Pandangan tentang karakteristik yang berbeda dengan orang lain baik tentang kemampuan dan
kekurangannya serta disusun dari kualitas penyesuaian hidupnya tentang kepercayaan diri
tergantung keberanian, kegagalan dan kelemahannya. Komponen ini sering disebut
psychological self concept.
3. The attitudinal component
Perasaan tentang kebanggaan dan rasa malunya. Yang termasuk dalam komponen ini adalah
keyakinan nilai, aspirasi dan komitmen yang membentuk dirinya.
Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988:3) komponen-komponen konsep diri ada dua
yaitu :
1. Komponen kognitif
Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya, misalnya “saya
anak bodoh” atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa
saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self-picture) tersebut akan
membentuk citra diri (self- image).
2. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. Penilaian tersebut akan
membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri (self-esteem) individu.

C. Perkembangan konsep diri


Perkembangan konsep diri adalah proses sepanjang hidup. Setiap tahap perkembangan
mempunyai aktivitas spesifik yang membantu seseorang dalam mengembangkan konsep diri
yang positif.
1. Bayi
Apa yang pertama kali dibutuhkan seorang bayi adalah pemberi perawatan primer dan hubungan
dengan pemberi perawatan tersebut. Bayi menumbuhkan rasa percaya dari konsistensi dalam
interaksi pengasuhan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain.
Penyapihan, kontak dengan orang lain, dan penggalian lingkungan memperkuat kewaspadaan
diri. Tanpa stimulasi yang adekuat dari kemampuan motorik dan penginderaan, perkembangan
citra tubuh dan konsep diri mengalami kerusakan. Pengalaman pertama bayi dengan tubuh
mereka yang sangat ditentukan oleh kasih sayang dan sikap ibu adalah dasar untuk
perkembangan citra tubuh.
2. Todler
Tugas psikososial utama mereka adalah mengembangkan otonomi. Anak-anak beralih dari
ketergantungan total kepada rasa kemandirian dan keterpisahan diri mereka dari orang lain.
Mereka mencapai keterampilan dengan makan sendiri dan melakukan tugas higien dasar. Anak
usia bermain belajar untuk mengoordinasi gerakan dan meniru orang lain. Mereka belajar
mengontrol tubuh mereka melalui keterampilan locomotion, toilet training, berbicara dan
sosialisasi.
3. Usia prasekolah
Pada masa ini seorang anak memiliki inisiatif, mengenali jenis kelamin, meningkatkan kesadaran
diri, meningkatkan keterampilan berbahasa, dan sensitive terhadap umpan balik keluarga. Anak-
anak belajar menghargai apa yang orang tua mereka hargai. Penghargaan dari anggota keluarga
menjadi penghargaan diri. Kaluarga sangat penting untuk pembentukan konsep diri anak dan
masukan negatif pada masa ini akan menciptakan penurunan harga diri dimana orang tersebut
sebagai orang dewasa akan bekerja keras untuk mengatasinya.
4. Anak usia sekolah
Pada masa ini seorang anak menggabungksn umpan balik dari teman sebaya dan guru. Dengan
anak memasuki usia sekolah, pertumbuhan menjadi cepat dan lebih banyak didapatkan
keterampilan motorik, sosial dan intelektual. Tubuh anak berubah, dan identitas seksual
menguat, rentan perhatian meningkat dan aktivitas membaca memungkinkan ekspansi konsep
diri melalui imajinasi ke dalam peran, perilaku dan tempat lain. Konsep diri dan citra tubuh dapat
berubah pada saat ini karna anak terus berubah secara fisik, emosional, mental dan sosial.
5. Masa remaja
Masa remaja membawa pergolakan fisik, emosional, dan sosial. Sepanjang maturasi seksual,
perasaan, peran, dan nilai baru harus diintegrasikan ke dalam diri. Pertumbuhan yang cepat yang
diperhatikan oleh remaja dan orang lain adalah faktor penting dalam penerimaan dan perbaikan
citra tubuh.
Perkembangan konsep diri dan citra tubuh sangat berkaitan erat dengan pembentukan identitas.
Pengamanan dini mempunyai efek penting. Pengalaman yang positif pada masa kanan-kanak
memberdayakan remaja untuk merasa baik tentang diri mereka. Pengalaman negatif sebagai anak
dapat mengakibatkan konsep diri yang buruk. Mereka mengumpulkan berbagai peran perilaku
sejalan dengan mereka menetapakan rasa identitas.
6. Masa dewasa muda
Pada masa dewasa muda perubahan kognitif, sosial dan perilaku terus terjadi sepanjang hidup.
Dewasa muda adalah periode untuk memilih. Adalah periode untuk menetapakan tanggung
jawab, mencapai kestabilan dalam pekerjaan dan mulai melakukan hubungan erat. Dalam masa
ini konsep diri dan citra tubuh menjadi relatif stabil.
Konsep diri dan citra tubuh adalah kreasi sosial, penghargaan dan penerimaan diberikan untuk
penampilan normal dan perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial. Konsep diri secara
konstan terus berkembang dan dapat diidentifikasi dalam nilai, sikap, dan perasaan tentang diri.
7. Usia dewasa tengah
Usia dewasa tengah terjadi perubahan fisik seperti penumpukan lemak, kebotakan, rambut
memutih dan varises. Tahap perkembangan ini terjadi sebagai akibat perubahan dalam produksi
hormonal dan sering penurunan dalam aktivitas mempengarui citra tubuh yang selanjutnya dapat
mengganggu konsep diri.
Tahun usia tengah sering merupakan waktu untuk mengevaluasi kembali pengalaman hidup dan
mendefinisikan kembali tentang diri dalam peran dan nilai hidup. Orang usia dewasa tengah
yang manerima usia mereka dan tidak mempunyai keinginan untuk kembali pada masa-masa
muda menunjukkan konsep diri yang sehat.
8. Lansia
Parubahan pada lansia tampak sebagai penurunan bertahap struktur dan fungsi. Terjadi
penurunan kekuatan otot dan tonus otot.
Konsep diri selama masa lansia dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Masa lansia
adalah waktu dimana orang bercermin pada hidup mereka, meninjau kembali keberhasilan dan
kekecewaan dan dengan demikian menciptakan rasa kesatuan dari makna tentang diri makna
tentang diri mereka dan dunia membentu generasi yang lebih muda dalam cara yang positif
sering lansia mengembangkan perasaan telah meninggalkan warisan.
Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus sepanjang hidup manusia,
namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih
lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan
individu akan mulai dapat membedakan keduanya. Lebih lanjut Cooley (dalam Partosuwido,
1992) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai-nilai,
sikap, peran, dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai
kelompok primer, misalnya keluarga. Hubungan tatap muka dalam kelompok primer tersebut
mampu memberikan umpan balik kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain
terhadap dirinya. Dan dalam proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi dan
sekaligus terdistorsi oleh penilaian dari orang lain (Sarason, 1972). Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan individu menuju kedewasaan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan asuhnya karena seseorang belajar dari lingkungannya.

D. Factor-faktor yang mempengaruhi konsep diri


Adapun factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri adalah sebagai
berikut :
1. Tingkat perkembangan dan kematangan
Perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan
mempengaruhi konsep dirinya.
2. Budaya
Dimana pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya dan
lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat pada
lingkungannya.
3. Sumber eksternal dan internal
Dimana kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri.
4. Pengalaman sukses dan gagal
Ada kecendrungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian pula
sebaliknya.
5. Stresor
Stresor menantang kapasitas adaptif seseorang. Selye (1956) menyatakan bahwa stres adalah
kehilangan dan kerusakan normal dari kehidupan, bukan hasil spesifik tindakan seseorang atau
respon khas terhadap sesuatu. Proses normal dari kematangan dan perkembangan itu sendiri
adalah stresor. Stresor konsep diri adalah segala perubahan nyata atau yang diserap yang
mengancam identitas, citra tubuh, harga diri, atau perilaku peran.
a. Stresor identitas
Identitas didefinisikan sebagai pengorganisasian prinsip dari system kepribadian yang
bertanggung jawab terhadap kesatuan, kontinuitas, keunikan, dan konsistensi dari kepribadian.
Identitas dipengaruhi oleh stresor seumur hidup. Bingung identitas terjadi ketika seseorang tidak
mempertahankan identitas personal yang jelas, konsisten, dan terus sadar. Kebingungan identitas
dapat terjadi kapan saja dalam kehidupan jika seseorang tidak mampu mengatasi stresor
identitas. Dalam stress ekstrem seorang individu dapat mengalami depersonalisasi, yaitu suatu
keadaan dimana realitas internal dan eksternal atau perbedaan antara diri dan orang lain tidak
dapat ditetapkan.
b. Stresor citra tubuh
Perubahan dalam penampilan, struktus atau fungsi bagian tubuh akan membutuhkan perubahan
dalam citra tubuh. Makna dari kehilangan fungsi atau perubahan dalam penampilan dipengaruhi
oleh persepsi individu tentang perubahan yang dialaminya. Citra tubuh terdiri atas elemen ideal
dan nyata. Seorang wanita yang memasukkan payudara sebagai citra tubuhnya dalam elemen
ideal, maka kehilangan payudara akibat mastektomi dapat menjadi perubahan yang signifikan.
Makin besar makna penting dari tubuh atau bagian spesifik, maka makin besar ancaman yang
dirasakan akibat perubahan dalam citra tubuh.
c. Stresor harga diri
Harga diri adalah rasa dihormati, diterima, kompeten dan bernilai. Banyak stresor mempengaruhi
harga diri seorang bayi, usia bermain, prasekolah dan remaja. Ketidakmampuan untuk memenuhi
harapan orang tua, kritik tajam, hukuman yang yang tidak konsisten, persaingan antara saudara
sekandung, dan kekalahan yanmg berulang dapat menurunkan tingkat nilai diri. Stresor pada
orang dewasa mencakup ketidakberhasilan dalam pekerjaan dan kegagalan dalam hubungan.
d. Stresor peran
Peran membentuk pola perilaku yang diterima secara sosial yang berkaitan dengan fungsi
seorang individu dalam berbagai kelompok sosial. Sepanjang hidup orang menjalani berbagai
perubahan peran. Perubahan normal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan maturasi
mengakibatkan transisi perkembangan. Masing-masing dari transisi dapat mengancam konsep
diri yang mengakibatkan konflik peran, ambiguitas peran atau ketegangan peran.
Konflik peran adalah tidak adanya kesesuaian harapan peran. Jika seseorang diharuskan untuk
secara bersamaan menerima dua peran atau lebih yang tidak konsisten, berlawanan, atau sangat
eksklusif maka dapat terjadi konflik peran. Terdapat tiga jenis dasar konflik peran yaitu :
a. Konflik interpersonal terjadi ketika satu orang atau lebih mempunyai harapan yang
berlawanan atau tidak cocok secara individu dalam peran tertentu.
b. Konflik antar-peran terjadi ketika tekanan atau harapan yang berkaitan dengan satu peran
melawan tekanan atau harapan yang saling berkaitan.
c. Konflik peran personal terjadi ketika tuntutan peran melanggar nilai personal individu.
Ambiguitas peran mencakup harapan peran yang tidak jelas. Ketika terdapat ketidakjelasan
harapan, maka orang menjadi tidak pasti apa yang harus dilakukan, bagaimana harus
melakukannya, atau keduanya.
Ketegangan peran adalah perpaduan antara konflik peran dan ambiguitas peran. Ketegangan
peran dapat diekspresikan sebagai perasaan frustasi ketika seseorang merasakan tidak adekuat
atau merasa tidak sesuai dengan peran.
Kelebihan beban peran terjadi ketika seseorang individu tidak dapat memutuskan tekanan mana
yang harus dipatuhi karna jumlah tuntutan yang banyak dan konflik prioritas.
6. Usia, keadaan sakit dan trauma
Dimana usia tua dan keadaan sakit akan memengaruhi persepsi seseorang.

E. Pengaruh perawat pada konsep diri klien


Penerimaan perawat terhadap klien dengan perubahan konsep diri membantu
menstimulasi rehabilitasi yang positif. Klien yang penampilan fisiknya telah mengalami
perubahan dan yang harus beradaptasi terhadap citra tubuh yang baru, hampir pasti baik klien
maupun keluarganya akan melihat pada perawat dan mengamati respons dan reaksi mereka
terhadap situasi yang baru. Dalam hal ini perawat mempunyai dampak yang signifikan. Rencana
keperawatan yang dirumuskan untuk membantu klien dengan perubahan konsep diri dapat
ditingkatkan atau digagalkan oleh nilai dan perasaan bawah sadar perawat. Penting artinya bagi
perawat untuk mengkaji dan mengklarifikasi hal-hal berikut mengenai diri mereka :
1. Perasaan perawat sendiri mengenai kesehatan dan penyakit
2. Bagaimana perawat bereaksi terhadap stress
3. Kekuatan komunikasi nonverbal dengan klien dan keluarganya dan bagaimana hal tersebut
ditunjukkan.
4. Nilai dan harapan pribadi apa yang ditunjukkan dan mempengaruhi klien
5. Bagaimana pendekatan tidak menghakimi dapat bermanfaat bagi klien
Untuk menciptakan hubungan antara perawat dan pasien diperlukan komunikasi yang
akan mempermudah dalam mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta
kerja sama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Hubungan perawat dan klien yang terapeutik
akan memepermudah proses komunikasi tersebut.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk untuk kesembuhan pasien. Tujuan komunikasi terapeutik itu
sendiri adalah :
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat
mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang
diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Menurut Carl rogers prinsip-prinsip komunikasi terapeutik diantaranya :
1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri
serta nilai yang dianut.
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling
menghargai.
3. Perawat harus memahami, manghayati nilai yang dianut oleh pasien.
4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
5. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan suasana yang memungkinkan pasien
bebas berkembang tanpa rasa kuat.
6. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi
untuk mengubah dirinya sendiri baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan
dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
7. Mampu menetukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
8. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
9. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain
tentang kesehatan, oleh karma itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik
mental, spiritual dan gaya hidup.
10. Bertanggung jawab dalam dua hal yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang
dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Adapun masalah-masalah yang dihadapi seseorang yang berhubungan dengan konsep diri
adalah sebagai berikut :
1. Kehilangan
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual meupun potensial yang dapat dialami individu
ketika berpisah dengan suatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi
perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan dapat berupa
kehilangan yang nyata (actual loss) yaitu kehilangan orang atau obyek yang tidak lagi bisa
dirasakan, dilihat, diraba atau dialami oleh seseorang dan kehilangan yang dirasakan (perceived
loss) yaitu kehilangan yang sifatnya unik menurut orang yang mengalami kedukaan.
2. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Adapun jenis berduka
yaitu :
a. Berduka normal terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
b. Berduka antisipatif yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhya terjadi.
c. Berduka yang rumit dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ketahap berikutnya.
d. Berduka tertutup yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
3. Sekarat dan kematian
Sekarat (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang manghadapi kematian, yang memiliki
berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Kematian (death)merupakan kondisi
terhentinya pernapasan, nadi dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus
eksternal.

BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian
Loss :Peristiwa hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat berarti atau bernilai bagi
seseorang.
Grief : Reaksi emosi karewna persepsi atau penghayatan peristiwa kehilangan tersebut.
Kehilangan : Suatu keadaan di mana individu terpisahkan (untuk sebagian atau seluruhnya) dari
sesuatu yang sebelumnya ada atau dimilikinya. Sesuatu yang hilang tersebut dapat berupa orang
yang bermakna, harta milik pribadi, kesehatan, serta pekerjaan.
Kematian : Seseorang yang dianggap sudah mati ialah apabila ia tidak lagi mempunyai denyut
nadi, tidak bernafas selama beberapa menit dan ketiadaan segala refleks, serta ketiadaan kegiatan
otak.
b. Kematian dan Menjelang Ajal
Teorinya mengatakan bahwa orang yang menjelang ajal mengalami lima tahap. Dimulai
dengan penyikapan awal terminalitas dan berakhir dengan momen akhir kehidupan.
1. Penyangkalan dan isolasi, biasanya mewakili pertahanan temporer yang digantikan
dengan penerimaan parsial.
2. Kemarahan dan penyangkalan digantikandengan perasaan marah, gusar, iri, dan
kebencian.
3. Tawar menawar, orang yang menjelang ajalakan mencoba menunda kemudianyang tidak
terelakandemgan menentukan sendiri tengat waktu untuk peristiwa keluarga yang khusus,
seperti pernikahan dan fungsi religius.
4. Depresi, meliputi dua jenis kehilangan: kehilangan yang terjadi di masa lalu dan
kehilangan hidup yang akan terjadi, yang disebut sebagai kesiapan berduka oleh kubler
ross.
5. Penerimaan merupakan fase akhir dari proses menjelang ajal.
Kematian Pasangan
Salah satu kehilangan yang paling berat yand dapat dialami seseorang adalah kematian pasangan.
Masa menjanda atau menduda dapat secara serius mempengaruhi status finansial lansia, jaringan
sosial, serta kesehatan fisik dan mental.
Selain kehilangan pasangan hidup, masalah yang belum terselesaikan dapat terus diingat sampai
bertahun-tahun setelah kematian pasangan, pernikahan yang berumur panjang belum tentu
sebuah pernikahan yang bahagia. Perasaan bersalah yang belum hilang yang berhubungan
dengan ketidaksetiaan, penganiayaan fisik atau penyalagunaan zat atau masalah finansial setelah
masa menjanda atau menduda adalah beberapa contoh dari masalah-masalah yang dapat
memburuk dan menyebabkan penyakit yang serius kadang kala berlangsung sampai 10 tahun
setelah kematian pasangan. Keluarga dan khusus pemberi asuhan pasangan tersebut dapat belum
terselesaikan.
c. Pertimbangan Khusus
o Pastikan pasien menyadari akan layanan konseling, kelompok pendukung dan sumber lain
tersedia untuk membantunya mengatasi kehilangan pasangan.
o Motivasi pasien mengungkapkan secara verbal ketakutan dan kekhawatirannya mengenal
kematian sendiri. Persiapan akan kematian dapat menjadi pengalaman positif dan tugas
perkembangan yang utama pada masa dewasa.
Konsep Perawatan Paliatif
a. Pengertian
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita,
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan aktif tersebut diatas artinya
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek
psikologis, sosial dan spiritual.
Perawatan paliatif adalah pelayanan aktif dan menyeluruh yang dilakukan oleh satu tim
dari berbagai disiplin ilmu.Tim paliatif terdri atas tim terintegrasi, antara lain dokter,
perawat, psikolog, ahli fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan dan relawan.
Keberhasilan keperawatan paliatif bergantung pada kerja sama yang efektif dan pendekatan
interdisiplin antara dokter, perawat, pekerja sosial medis, rohaniawan atau pemuka agama,
relawan dan anggota pelayanan lain sesuai dengan kebutuhan.
Tim harus mampu mengupayakan dan menjamin agar pasien lanjut usia mendapat
pelayanan seutuhnya yang mencakup bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual. Artinya, tidak
ada anggota tim yang menjadi primadona. Pemimpin tim dibantu anggotanya harus berusaha
keras untuk mencapai tujuan perawatan.
Kerjasama yang erat antara anggota tim perawatan paliatif dengan keluarga pasien dirasakan
sebagai kebutuhan utama yang saling mendukung kelancaran perawatan paliatif.
Dukungan keluarga saat masa sulit sangat penting yaitu:
e. Pada saat perawatan
f. Pada saat mendekati kematian
g. Pada saat kematian
h. Pada saat masa duka
Perawatan tim paliatif merupakan perawatan yang cukup kompleks. Pendekatan holistik
(menyeluruh) terhadap lanjut usia dengan mengikutsertakan keluarga lanjut usia akan
menyentuh faktor fisiki, psikis, sosial, spiritual dan budaya pasien. Keberhasilan program
tidak dapat dijamin tanpa kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu, kualitas
karya dan kualitas perilaku serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.
Perawat.tim perawatan paliatif perlu dan harus memperhatikan serta mengacu kutipan Dame
Cecely Saunders “ You matter because are you, you matter to the last moment of your life,
and we will do all we can, not only to help you die peacefully, but to life until you die”

b. Tujuan Perawatan Paliatif:


Mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut usia) dan perawatan tim paliatf
Meringankan, bukan menyembuhkan. Meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi.Mengurangi beban penderitaan lanjut usia.
c. Prinsip Pemberian Perawatan Paliatif adalah memberi perawatan paripurna kepada klien lanjut
usia dengan pengawasan dari tim professional.

d. Dalam memberikan perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar yang
digariskan oleh WHO yaitu:
7. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
8. Tidak mempercepat dan menunda kematian lansia
9. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
10. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
11. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap sakit sampai akhir hayatnya.
12. Berusaha mambantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut usia.

e. Kekhususan Tim Paliatif:


7. Profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya.
8. Para profesional ini bergabung dalam satu kelompok kerja.
9. Secara bersama, mereka manyusun dan merancang tujuan akhir perawatan, melakukan
langkah tujuan pendek.
10. Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi di antara anggota tim, bergantung pada kondisi
yang paling diperlukan oleh pasien lanjut tua.
11. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien.
12. Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.

f. Kekhususan Pasien Lanjut Usia:


6. Lanjut usia menghadapai kondisi yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Artinya,
terapi yang diberikan hanya bersifat simptomatis atau paliatif (bukan kuratif).
7. Lanjut usia cenderung mengalami kelemahan dan kerapuhan, baik fisik maupun mental.
8. dengan demikian, kemungkinan pasien lanjut usia tidak mampu menghadapi stres fisik
dan mental yang timbul dari luar atau dari lingkungannya.
9. Lanjut usia berada diambang kematian yang terutama akan menimbulkan ketakutan dan
kegelisahan, yang sudah tentu perlu mendapat simpati dan dukungan mental atau
spiritual.
10. bila proses kematian berlangsung lama (memakan waktu panjang), faktor etika dapat
menjadi masalah yang harus diatasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Asuhan Keperawatan Lanjut Usia dengan Loss (Kehilangan)
a. Sebab sebab kehilangan:
5. Kehilangan fungsi, misalnya: fungsi seksual dan fungsi kontrol usus.
6. Hilangnya gambaran diri atau citra diri.
7. Hilangnya seseorang yang sangat dekat hubungannya.
8. Kehilangan barang yang berharga (rumah, mobil, dan tabungan).

b. Gejala-gejala Umum:
1. Tahap 1: Merasa shock atau terpukul dan tidak percaya. Hampir semua tingkah laku
yang tidak bersifat merusak merupakan sikap penyesuaian pada tahap ini.
2. Tahap 2: Munculnya kesadaran akan peristiwa kehilangan tersebut kemungkinan klien
lanjut usia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang peristiwa kehilangan
tersebut. Tingkah laku penyesuaian diri, yaitu mulai mengakui peristiwa kehilangan
tersebut serta pengaruhnya terhadap seseorang.
3. Tahap 3: Pulih kembali, tingkah laku yang tampak, misalnya kemampuan untuk
memahami dan menghayati kehilangan tersebut. Setelah itu melanjutkan kegiatan
hidupnya sehari-hari dengan cara: merencanakan masa depannya, seraya mengingat
kembali kejadian baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan yang
diakibatkan oleh peristiwa tersebut secara realistis.
c. Penatalaksaan:
Tahap 1:
5. Luangkan waktu sekurang-kurangnya 15-20 menit sehari untuk bercakap-cakap
bersama klien lanjut usia.
6. Berikan kesempatan pada klien lanjut usia untuk mengarahkan pembicaraan.
7. Katakan kepada klien lanjut usia bahwa dengan peristiwa itu berarti ia telah
melakukan sesuatu yang baik.
8. Terima tingkah laku klien lanjut usia yang tidak merusak fisik.
Tahap 2:
3. Gabungkan pengaruh peristiwa kehilangan tersebut baik pada diri klien lanjut usia
maupun keluarganya selama pembicaraan dengan klien lanjut usia.
4. Libatkan klien lanjut usia dalam merencanakan dan melakukan perawatan diri.
Tahap 3:
5. Diskusikan bersama klien lanjut usia segi-segi positif dan negatifnya peristiwa
kehilangan tersebut.
6. Berikan motivasi untuk merencanakan masa depannya.
7. Apabila klien lanjut usia menyangkal dengan melakukan sesuatu yang
membahayakan fisiknya, batasi tindakan tersebut dengan menghadapkan klien lanjut
usia kepada kenyataan yang ada. Intervensi dilakukan sesuai dengan tahapan yang
dialami klien
8. Ulangi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan klien agar ia dapat mencari jawabannya
berkat bantuan perawat.
d. Rencana Selanjutnya:
3. Yakinkanlah bahwa klien lanjut usia masih mempunyai dukungan baik dari keluarga
maupun teman-temannya
4. Yakinkanlah bahwa klien lanjut usia sadar akan normalnya keadaan tersebut dan
mengerti setiap orang juga mengalami proses yang sama bila mengalami kehilangan.

4.2 Asuhan Keperawatan Lansia Usia dengan Tidak ada Harapan Sembuh (yang
menghadapi saat kematian)
A. Ciri-ciri atau tanda-tanda pada klien lanjut usia menjelang kematian:
8. Gerakan dan penginderaan menghilang secara perlahan.Dimulai pada anggota badan,
kaki dan ujung kaki.
9. Badan dingin dan lembab terutama pada kaki, tangan dan ujung hidungnya.
10. Kulit tampak pucat, berwarna kebiru-biruan atau kelabu.
11. Denyut nadi mulai tidak teratur.
12. Nafas dengkur berbunyi keras (stridor) yang disebabkan oleh adanya lender pada saluran
pernafasan.
13. Tekanan darahnya menurun.
14. Terjadi gangguan kesadaran.
B. Sebab-sebab Kematian:
1. Penyakit
c. Keganasan, misalnya:
4. Carnisoma (C)
5. Carnisoma Hati
6. Carnisoma Paru
d. Penyakit Kronis, misalnya:
6. CVD (Cerebro Vascular Diseases)
7. CRF (Chronic Renal Failure) = Gangguan Ginjal
8. DM Gangguan Endokrin
9. MCI (Myocard Infarc) = Gangguan Kardiovaskular
10. COPD (Chronic Obstruction Pulmo Diseases)
C. Tanda-tanda Kematian:
3. Pupil (bola matanya) tetap membesar atau melebar dan tidak berubah-ubah.
4. Hilangnya semua refleka dan ketiadaan kegiatan otak yang ampak jelas dalam hasil
pemeriksaan EEG yang menunjukkan mendatar dalam waktu 24 jam.
D. Pengaruh Kematian:
2. Pengaruh kematian terhadap keluarga klien lanjut usia
h. Bersikap kritis terhadap cara-cara perawatan.
i. Keluarga dapat menerima keadaan kondisinya.
j. Terputusnya komunikasi dengan orang lain menjelang maut.
k. Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak dapat
mengatasi rasa.
l. Pengalihan tanggung jawab dan beban ekonomi.
m. Keluarga menolak diagnosa, penolakan tersebut dapat memperbesar beban emosi
keluarga.
n. Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan
E. Tahap-tahap Menuju Kematian:
Tahap-tahap ini tidak selamanya berurutan secara tetap tetapi dapat saling tindih kadang-
kadang seorang klien lanjut usia melalui satu tahap tertentu untuk kemudian kembali lagi ke
tahap itu. Lamanya setiap tahap dapat bervariasi mulai dari beberapa jam sampai beberapa
bulan. Apabila suatu tahap tertentu berlangasung sangat singkat, bisa timbul kesan seolah-olah
klien lanjut usia melompati satu tahap terkecuali jika perawat mempertahankan secara
seksama dan cermat.
1. Tahap Pertama (Tahap Penolakan)
Selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa maut menimpa
semua orang kecuali dia. Klien lanjut usia biasanya terpengaruh oleh penolakannya sehingga
ia tidak memperhatikan fakta-fakta yang mungkin sedang dijelaskan perawat kepadanya. Ia
malahan dapat menekan apa yang telah ia dengar atau mungkin akan meminta pertolongan
dari berbagai macam sumberprofesional dan non profesional dalam upaya melarikan diri dari
kenyataan bawhwa maut sudah berada diambang pintu.
2. Tahap Kedua (Tahap Marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa amarah dan emosi yang tidak terkendalikan. Klien lanjut usia
mudah marah terhadap perawat dan petugas-petugas kesehatan lainnya terhadap apa saja yang
mereka lakukan. Kemarahan disini merupakan mekanisme pertahanan diri klien lanjut usia.
Akan tetapi, kemarahan yang sesungguhnya tertuju kepada kesehatan dan kehidupan. Marah
terhadap kenyataan bahwa kematian akan dialami daalm waktu dekat dan respon ini mungkin
diekspresikan kepada dokter dan perawat atau kepada pemuka agama.
3. Tahap Ketiga (Tahap Tawar Menawar)
Kemarahan biasanya mereda dan klien lanjut usia dapat menimbulkan kesan sudah dapat
menerima apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Akan tetapi, pada tahap tawar= menawar
inilah banyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan rumah tangga mereka sebelum
maut tiba, dan akan menyiapkan hal-hal seperti membuat surat dan mempersiapkan jaminan
hidup bagi orang-orang tercinta yang ditinggalkan.
Selama tawar-menawar segala permohonan yang dikemukakan hendaknya dapat dipenuhi
karena merupakan bagian dari urusan-urusan yang belum selesai dan harus dibereskan
sebelum mati. Misalnya: lanjut usia mempunyai satu permintaan terakhir untuk melihat
pertandingan olahraga, mengunjungi seorang kerabat, melihat cucu terkecil, pergi makan ke
restaurant dsb. Perawat dianjurkan memenuhi permohonan itu karena tawar-menawar
membantu klien lanjut usia memasuki tahap-tahap berikutnya.
4. Tahap Keempat (Tahap Sedih)
Tahap ini klien lanjut usia pada hakekatnya merasakan saat-saat sedih. Klien lanjut usia
sedang dalam suasana berkabung karena masa lampau ia sudah kehilangan orang yang dicintai
dan sekarang ia akan kehilangan nyawanya sendiri, bersamaan dengan ini harus meninggalkan
semua hal yang menyenangkan yang telah dinikmatinya. Selama tahap ini klien lanjut usia
cenderung untuk tidak banyak bicara dan sering menangis. Saatnya bagi perawat untuk duduk
dengan tenang disamping klien lanjut usia yang sedang melalui masa sedihnya sebelum maut.
5. Tahap Kelima (Tahap Akhir/Tahap Menerima)
Tahap ini ditandai oleh sikap menerima kematian. Menjelang saat ini klien lanjut usia
telah membereskan urusan-urusan yang belum selesai dan mungkin tidak ingin berbicara lagi
oleh karena ia sudah menyatakan segala sesuatunya. Tawar-menawar sudah lewat dan tibalah
saat kedamaian dan ketenangan. Seseorang mungkin saja berada lama sekali dalam tahap
mererima tetapi bukanlah tahap pasrah yang berarti kekalahan. Dengan kata lain, pasrah
kepada maut tidak berarti menerima maut.
Menerima diagnosis dan mulai bekerja sama dalam membuat keputusan mengenai
pemantauan nyeri dan mendiskusikan aspek praktik perawatan terminal.

F. Penatalaksanaan:
1. Tahap Pertama (Tahap Penolakan)
c. Berikan kesempatan klien lanjut usia mempergunakan caranya sendiri dalam menghadapi
kematiannya sejauh tidak merusak.
d. Memfasilitasi klien lanjut usia menghadapi kematian, luangkan waktu setidak-tidaknya
10 menit sehari, baik dengan bercakap-cakap ataupun sekedar bersamannya.
2. Tahap Kedua (Tahap Marah)
d. Berikan kesempatan klien lanjut usia mengungkapakan kemarahannya dengan kata-kata.
e. Ingatlah bahwa dalam benaknya begejolak pertanyaan “mengapa hai nin terjadi padaku?”
f. Seringkali perasaan ini dialihkan kepada orang lain atau anda sebagai cara klien lanjut
usia bertingkah laku.
3. Tahap Ketiga (Tahap Tawar Menawar)
l. Klien lanjut usia akan mempergunakan ungkapan-ungkapan, seperti, seandainya saya...
m. Berikan kesempatan klien lanjut usia menghadapi kematian dengan tawar-menawar.
n. Tanyakan kepada klien lanjut usia kepentingan-kepentingan apakah yang masih ia
inginkan. Dengan cara demikian dapat menunjukkan kemampuan perawat untuk
mendengarkan keluh kesah perasaannya.
4. Tahap Keempat (Tahap Sedih)
c. Jangan mencoba menyenangkan klien lanjut usia. Ingatlah bahwa tindakan ini sebenarnya
hanyalah memnuhi kebutuhan petugas, jangan takut menyaksikan klien lanjut usia atau
menangis. Hal ini merupakan ungkapan pengekspresian kesedihannya.anad boleh saja
berduka cita dengan empati bukan simpati.
d. Klien lanjut usia hanya sekedar mengisidan menghabiskan waktu untuk perasaan-
perasaannya dan bukannya mencari jawaban. Biasanya klien lanjut usia menanyakan
sesuatu yang sebetulnya sudah mengetahui jawabannya.
5. Tahap Kelima (Tahap Akhir/Tahap Menerima)
Klien lanjut usia telah menerima, dapat mengatakan bahwa kematian akan tiba dan ia
tidak boleh menolak.
Sebenarnya klien lanjut usia tidak menghendaki kematian ini terjadi, akan tetapi
ia tahu bahwa akan terjadi. Jadi, klien lanjut usia tidak merasa tenang dan damai.• Sikap
Menyerah

2.3 PROSES KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Perasaan takut.
Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak terkendalikan yang
begitu sering diasosiasikan dengan keadaan sakit terminal, terutama apabila keadaan itu
disebabkan oleh penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbangan yang sehat
apabila sedang merawat orang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasian
dengan cara yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori,
nyeri tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri, seperti aspirin, dehidrokodein
dan dektomoramid. Apabila berbicara mengenai perasaan takut mereka terhadap maut,
respon mereka secara tipikal mencakup perasaan takut tentang hal yang tidak jelas, takut
meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum selesai dsb.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian
tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada umumnya orang merasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang dan stress.
b. Emosi
Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian, mudah marah
c. Tanda Vital
Perubahan fungsi tubuh sering kali tercermin pada suhu badan, denyut nadi, pernapasan
dan tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sama lain.
d. Kesadaran
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas waspada yang merupakan
ekspresi tentang apa yang dilihat, didengar, dialami dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu,
raba, getar, gerak, gerak tekan dan sikap, bersifat adekuat.
e. Fungsi Tubuh
Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ memiliki fungsi khusus.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen b.d adanya penyumbatan slem yang ditandai
dengan sesak napas.
b. Gangguan kenyamanan b.d batuk, panas tinggi yang ditandai dengan gelisah.
o. Gangguan kesadaran b.d dsampak patologis dengan manifestasi apatis/koma.
p. Perubahan nutrisi sebagai dampak patologis dengan menampakkan makanan yang
disajikan sering tidak habis.
q. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d muntah dan diare yang ditandai dengan
turgor jelek, mata cekung, suhu naik.
r. Gangguan eliminasi alvi b.dobstipasi yang ditandai dengan beberapa hari pasien tidak
defekasi.
s. Gangguan eliminasi urine b.d produksi urinennya yang ditandai dengan jumlah urine
berapa cc.
t. Keterbatasan pergerakan b.d tirah baring lam ditandai dengan kaku sendi/otot.
u. Gangguan psikologis b.d perubahab pola seksualitas yang ditandai dengan susah tidur,
pucat, murung.
v. Cemas b.d memikirkan penyakitnya dengan keluarga.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Dx Kep: Gangguan kenyamanan b.d batuk, panas tinggi yang ditandai dengan gelisah.
Tujuan: Rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi:
Mengupayakan penurunan suhu tubuh.
Memberi obat sesuai dengan program.

b. Dx Kep: Perubahan nutrisi sebagai dampak patologis dengan menampakkan makanan yang
disajikan sering tidak habis.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi: mempertahankan pemasukan makanan yang cukup.

c. Dx Kep: Gangguan eliminasi alvi b.dobstipasi yang ditandai dengan beberapa hari pasien tidak
defekasi.
Tujuan: Kebutuhan eliminasi (defekasi) terpenuhi.
Intervensi: Mempertahankan kelancaran defekasi

d. Dx Kep: Gangguan eliminasi urine b.d produksi urinennya yang ditandai dengan jumlah urine
berapa cc.
Tujuan: Kebutuhan eliminasi (berkemih) terpenuhi.
Intervensi: Mempertahankan kelancaran berkemih.
e. Dx Kep: Keterbatasan pergerakan b.d tirah baring lam ditandai dengan kaku sendi/otot.
Tujuan: Kebutunan pergerakan (sendi/otot) terpenuhi.
Intervensi: Memenuhi kebutuhan gerak (mobilisasi).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dalam melakukan pendekatan Perawat harus menjalin hubungan dan persahabatan yang
sangat baik dengan lansia dalam perawatan menjelang kematian. Pada saat lansia memasuki
keadaan yang terminal, perawat bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan mengenai
kondisi mereka dan memastikan tingkat pengetahuan mereka mengenai kondisinya tersebut.
Setiap informasi dapat dikumpulkan dalam suatu percakapan dengan individu dan dalam
konsultasi keluarga.
Perawatan tim paliatif merupakan perawatan yang cukup kompleks. Pendekatan holistik
(menyeluruh) terhadap lanjut usia dengan mengikutsertakan keluarga lanjut usia akan menyentuh
faktor fisiki, psikis, sosial, spiritual dan budaya pasien. Keberhasilan program tidak dapat
dijamin tanpa kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu, kualitas karya dan kualitas
perilaku serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.
Perawat.tim perawatan paliatif perlu dan harus memperhatikan serta mengacu kutipan
Dame Cecely Saunders “ You matter because are you, you matter to the last moment of your life,
and we will do all we can, not only to help you die peacefully, but to life until you die”
3.2 Saran
Demikian sedikit tentang materi gerontik yang dapat saya bagikan kepada pembaca semoga
bermanfaat bagi penbaca semua.saya selaku penulis artikel ini. Mohon maaf jika ada beberapa
materi yang kurang sesuai ato masii banyak kekurangan nya Tentu masih banyak sekali
kekurangan yang jauh dari sempurna. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun masih
sangat kami butuhkan. Saya ucapkan banyak terimakasih telah mengunjungi blog saya. Sekali
lagi saya mohon maaf karena artikel ini jauh dari sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
1. Maryam, R, Siti dkk.2008.Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta:Salemba Medika.
2. Noorkasiani dan S, Tamher.2009.Kesehatan Usia Lanjut dengan pendekatan Asuhan
Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika.
3. Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta:EGC.
4. Suseno, Tutu April A.2005.Buku Ajar Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan.Jakarta:Sagung Seto
5. Stockslenger, Jaime L.2007.Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta:EGC.
6. Watson, Roger.2003.Perawatan Pada Lansia. Jakarta:EGC.
7. Stanley, Mickey anad Gauntlett P.2006.Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai