Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN 8 November 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PNEUMOTHORAX

Disusun Oleh:
Intan Dessy Tirta Moh. Henik
111 2018 2044

Supervisor Pembimbing:
dr. Bulkis Natsir, Sp.P

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul “Pneumothoraks” yang dipersiapkan dan disusun


oleh:

Nama : Intan Dessy Tirta Moh. Henik


NIM : 111 2018 2044

Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam disiplin ilmu Penyakit Dalam,

Waktu : November 2019


Tempat : Rumah Sakit Salewangang Maros

Makassar, 8 November 2019

Menyetujui,

Pembimbing Penulis

dr. Bulkis Natsir, Sp.P Intan Dessy Tirta Moh. Henik


LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W

Jenis Kelamin : Perempuan Nama RS : RSUD Salewangang Maros

Umur : 27 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Alamat : Ling. Panaikang maros baru

Tgl. MRS : 30 Oktober 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Nyeri dada
2. Anamnesis Terpimpin :
Pasien mengeluh nyeri dada yang dirasakan memberat saat menarik napas
dalam atau saat batuk dan bersin. Nyeri dada dirasakan sejak sekitar 1
minggu yang lalu. Nyeri dada tidak menjalar atau seperti tertindih benda
berat. Pasien juga mengeluh batuk yang dirasakan sejak 2 minggu yang
lalu.
Sekitar 2 minggu sebelumnya pasien datang ke poli paru RSUD
Salewangang maros dengan keluhan sesak saat malam dan pagi hari, batuk
(+), sering berkeringat malam (-), penurunan berat badan (-)
Pasien memiliki riwayat penyakit bronkhitis, riwayat penyakit jantung
disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIS
1. Tanda-tanda vital
- TD = 120/80
- N = 60x/menit
- P = 22x/menit
- S = 36,6◦ C
2. Kepala :
a. Rambut warna hitam, tidak mudah dicabut
b. Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-)
3. Leher :
a. DVS normal
b. Pembesaran tiroid (-)
c. Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
d. Massa tumor (-)
e. Deviasi trakea (-)
f. Nyeri tekan (-)
4. Thorax
a. Bentuk dada simetris (ka=ki), pergerakan pernapasan (ka=ki), regular,
deformitas (-),penggunaan otot bantu pernapasan (-), jejas (-)
b. Nyeri tekan (-), massa tumor (-), krepitasi (-), Fremitus taktil redup
pada hemithoraks kanan
c. Bunyi pernafasan : Vesikuler lemah (Hemithorax kanan)
Bunyi tambahan : Ronkhi basah kasar (-)
Wheezing (-)
d. Bunyi jantung I-II murni regular
Murmur (-)
Gallop (-).
e. Abdomen :
Inspeksi = Datar, ikut gerak napas, dilatasi vena (-)
Auskultasi = Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi = Nyeri tekan (-), Massa (-), hepar (tidak teraba), lien
(tidak teraba)
Perkusi = Timpani (+), Asites (-)
(Semua dalam batas normal)
f. Extremitas : Dalam batas normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto Thoraks X- Ray


2. Sputum BTA

E. DIAGNOSIS
- Pneumothoraks spontan kanan
- Bronchitis kronik

F. DIAGNOSIS BANDING
- Hidropneumothoraks
- Efusi pleura
- Atelektasis

G. PENATALAKSANAAN
- Barotec 3x1 / inh
- N. Acetylsistein 3x1
- Cefadroxil / 12j/ oral
- Metyl prednisolon 4mg /8 jam /oral
- Cetirizine 1x1
BAB 1

PENDAHULUAN

Pleura adalah suatu membrane serosa yang melapisi permukaan dalam

dinding thorax di kanan dan kiri, melapisi permukaan superior diagfragma kanan

dan kiri, melapisi mediastinum kanan dan kiri (semuanya disebut pleura

parietalis), kemudian pada pangkal paru, membrane serosa ini berbalik melapisi

(membungkus) paru (disebut pleura viceralis). Pleura viceralis ini berinvaginasi

mengikuti fisura yang membagi setiap lobus paru. 1

Diantara pleura parietalis dan pleura viceralis terdapat ruang yang disebut

“rongga” pleura. Pada “rongga” pleura terdapat cairan pleura seperti lapisan film

karena jumlahnya sangat sedikit yang hanya berfungsi untuk memisahkan pleura

viceralis dan pleura parietalis. 1

Gambar 1. Anatomi Rongga Pleura

Pneumotoraks didefinisikan sebagai keberadaan udara di cavum pleura,

yaitu ruang antara dinding dada dan paru-paru itu sendiri. Semua proses

patofisiologis dari pneumotoraks tidak sepenuhnya diketahui, diketahui bahwa


pleural Tekanan negatif dengan nilai –2 hingga –4 cm H2O. Jika terdapat

komunikasi atau hubungan yang tidak normal antara ruang pleura dan alveolus

meni, udara akan mengalir ke ruang pleura sampai gradien tekanan tidak ada lagi.

Tanpa tekanan intrapleura yang menahan paru-paru terhadap dinding thorax, sifat

elastis paru menyebabkan paru-paru kolaps.2

Pneumotoraks diklasifikasikan secara etiologis menjadi pneumotoraks

spontan dan pneumotoraks traumatis. Pneumotoraks spontan diklasifikasikan

lebih lanjut menjadi primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik dapat terjadi

akibat trauma tumpul ataupun luka tembus ke dinding dada. Ini juga bisa

disebabkan oleh cedera iatrogenik. Spontan pneumotoraks adalah masalah

kesehatan yang signifikan karena dari tingkat kekambuhan yang tinggi (recurrent

pneumothoraks). Pneumotoraks traumatis juga dapat diklasifikasikan sebagai

simple pneumothoraks, open pneumothoraks dan tension pneumothoraks.2

Insiden pneumothoraks akibat trauma terjadi 7,4 hingga 18 per 100.000

pria setiap tahun dan 1,2 hingga 6 per 100.000 wanita setiap tahun. Insiden

pneumotoraks spontan sekunder adalah 6,3 per 100.000 pria setiap tahun dan 2

per 100.000 wanita setiap tahun. Beberapa penelitian di Inggris yang telah

dilakukan baru-baru ini menunjukkan kejadian pneumotoraks spontan primer 24

per 100.000 pada pria dan 9,8 per 100.000 wanita.2

Dari uraian diatas, maka penulis ingin mendapat gambaran lebih dalam

mengenai pneumothoraks.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumothoraks

Pneumothoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga

pleura dari dada antara paru-paru dan dinding dada. Gejala-gejala dari

pneumothoraks ditentukan oleh ukuran kebocoran udara dan kecepatan

udara, termasuk nyeri dada dan sesak napas.3

2.2 Epidemiologi

Pneumothoraks spontan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada

perempuan. Kejadian tahunan Pneumothoraks spontan adalah 18-28 per

100.000 pada laki-laki dan 1,2-6,0 pada wanita. Pneumothoraks spontan

sekunder terjadi 6,3 untuk pria dan 2,0 untuk perempuan. Resiko

kambuhnya tergantung penyakit paru-paru yang mendasari. Setelah

episode kedua telah terjadi, maka ada kemungkinan lebih tinggi pada

episode berikutnya. Perokok memiliki risiko mengalami pneumothoraks

spontan primer sekitar sembilan kali lipat anatra perempuan dan 22 kali

lipat antara laki-laki dibandingkan non perokok.3

Kematian karena pneumothoraks sangat jarang (kecuali tension

pneumothoraks). Statistik inggris mengungkapkan suatu kematian tahunan

sebesar 1,26 juta per tahun pada pria dan 0,62 pada wanita, kematian lebih

tinggi pada orang tua dan mereka dengan pneumothoraks sekunder.3


2.3 Jenis dan Gejala Klinik

Gejala-gejala dari pneumothoraks yang termasuk adalah nyeri dada

yang biasanya mendadak. Rasa sakit ini tajam dan menyebabkan sesak.

Sesak nafas, denyut jantung yang cepat, pernafasan cepat, batuk dan

kelelahan merupakan gejala dari pneumothoraks. Kulit dapat kebiruan

(sianosis) karena penurunan kadar oksgen darah.3

Gambar 2. Anatomi Rongga Pleura

1. Pneumothoraks spontan primer

Cenderung terjadi pada orang muda tanpa masalah paru-

paru yang mendaasri, biasanya menyebabkan gejala yang

ringan. Nyeri dada dan kadang-kadang sesak napas ringan

adalah gejala dominan. Gejala biasanya mulai saat istirahat.3


2. Pneumotoraks spontan sekunder

Terjadi pada mereka dengan penyakit paru-paru yang

mendasari. Hipoksia (penurunan kadar oksigen dalam darah)

biasanya hadir dan daapt diamati sebagai sianosis akibat paru-

paru yang tidak terpengaruh pada umumnya tidak mampu

menggantikan hilangnya fungsi dari sisi yang terkena. Sesak

nafas mendadak pada seseorang dengan PPOK dan fibrosis

sistik kemungkinan disebabkan oleh pneumotoraks.3

3. Trauma Pneumotoraks

Terjadi baik karena luka di dinding dada, misalnya luka

tusuk atau luka tembak, memungkinkan udara masuk ruang

pleura, atau karena cedera pada paru-paru. Ataupun datang

karena patah tulang rusuk.3

4. Tension Pneumotoraks

Bila ada hipoksia berat meskipun pemberian oksigen,

jatuhnya tekanan darah atau kebingungan. Ini adalah keadaan

darurat medis dan mungkin memerlukan pengobatan segera

tanpa penyelidikan lebih lanjut. 3

2.4 Etiologi dan Patofisiologi

Pneumothoraks dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru

pecah, memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke ruang pleura. Hal ini

dapat terjadi ketika luka akibat beberapa tusukan dinding dada, yang

memungkinkan udara luar masuk ke ruang pleura. Sebuah pneumothoraks


spontan terjadi tanpa trauma dada, dan biasanya disebabkan oleh pecahnya

kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista dapat terjadi tanpa penyakit

paru-paru yang berhubungan ataupun dapat berkembang dari suatu

penyakit, umumnya emfisema.3 Penyebab pneumothoraks juga dapat

diebabkan oleh tindakan (iatrogenik) seperti akibat biopsi paru, aspirasi

dada, operasi toraks, dan pemasangan selang sentral.4

Penyebab pasti pneumotoraks spontan primer tidak diketahui tetapi

faktor resiko yang dibuat termasuk jenis kelamin laki-laki, merokok dan

riwayat keluarga pneumothoraks. Pneumotoraks spontan sekunder terjadi

akibat berbagai penyakit paru. Yang paling umum adalah penyakit paru

obstruktif kronik yang menyumbang sekitar 70% dari kasus. Diketahui

penyakit paru-paru yang dapat meningkatkan risiko untuk pneumotoraks

adalah seperti PPOK, infeksi paru dalam hal ini pneumonia dan

tuberculosis, fibrosis paru idiopatik, ataupun kanker. 3

Pneumotoraks traumatik dapat dihasilkan dari trauma tumpul dan

luka tembus sampai ke dinding dada. Mekanisme yang paling umum

adalah tertusuknya pleura oleh tulang rusuk patah. Prosedur medis

(iatrogenik) seperti pengambilan sampel biopsy dari jaringan paruparu,

memasukkan kateter vena sentral, dapat menyebabkan cedera pada paru-

paru.3

Pneumotoraks dapat berkembang jika udara diizinkan masuk baik

melalui kerusakan pada dinding dada atau pada paru-paru itu sendiri, atau

kadang-kadang mikroorganisme dalam ruang menghasilkan gas.3


Cacat dinding dada biasanya terlihat dalam kasus cedera pada

dinding dada, seperti luka peluru (pneumotoraks terbuka). Pada

pneumotoraks spontan sekunder, kerentanan dalam jaringan paru-paru.

Pada pneumotoraks spontan sekunder, kerentanan dalam jaringan paru-

paru disebabkan oleh berbagai proses penyakit, seperti bullae di emfisema.

Tension pneumotoraks terjadi karena pembukaan yang memungkinkan

udara untuk masuk seperti ke ruang pleura seperti katup, dan dengan lebih

banyak udara masuk dan tidak dapat keluar.3

2.5 Diagnosis

Berdasarkan gejala dan keluhan yang sering muncul adalah nyeri

dada pleuritik mendadak pada sisi yang sama dengan paru yang terkena.

Dyspnea adalah gejala utama, dan nyeri dada pada sisi yang sama dengan

paru-paru yang terkena hadir di sebagian besar pasien. Beberapa gejala

yang paling signifikan secara klinis yang mungkin berkembang termasuk

hipotensi, takikardia, sianosis, hipoksemia dengan atau tanpa hiperkapnia,

dan gangguan pernapasan akut. 2

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan utamanya untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura

dan menurunkan kecendrungan untuk kambuh kembali. Pada penatalaksanaan

pneumothoraks adalah

1. Observasi dan pemberian O2 apabila istula yang menghubungkan

alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang ada di

dalam tersebut akan di resorbsi. Laju resorbsi akan meningkat apabila


ditambahkan O2. Observasi dilakukan dengan CXR serial tiap 12-24

jam pertama selama 2 hari.

2. Tindakan dekompresi hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin

pada kasus yang luasnya >15%, dengan cara :

a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk

ringga pleura sehingga tekanan udara yang positif di rongga

pleura akan berubah menjadi negative karena mengalir

keluar

b) Membuat hubungan dengan udara melalui kontra ventil :

1. Dapat memakai infus set: jarum ditusukkan ke

dinding dada sampai rongga pleura kemudia infus

set yang telah dipotong pada pangkal saringan

tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.

2. Jarum abbocath: Setelah jarum ditusukkan pada

posisi yang tetap di dinding toraks sampai

menembus rongga pleura jarum dicabut dari kanula

tetap di tanggal. Kanula ini kemudian dihubungkan

dengan pipa plastic infus set. Pipa infus set ini

dimasukkan ke botol berisi air.

3. Pipa Water Sealed Drainage (WSD): Pipa khusus

(toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura

dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan

klem penjepit. Pemasukkan troakar dapat dilakukan


melalui celah yang telah dibuat dengan insisi kulit

di sela iga keempat pada linea midaxillaris atau

pada linea axillaris posterior. Atau pada sela iga

kedua di garis midclavicula.

Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera

dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar

dicabut. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada

di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui

pipa plastic lainnya. Posisi ujung ppa kaca yang

berada di botol sebaiknya berada 2cm dibawah

permukaan air supaya gelembung udara dapat

dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan

tersebut.

Pengisapan dilakukan terus menerus bila tekanan

intrapleura tetap positif. Pengisapan ini dilakukan

dengan memberi tekanan negative sebesar 10-20cm

H2O. Pabila paru telah mengembang maksimal dan

tekanan intrapleura sudah negative kembali, maka

sebelum dicabut dilakukan uji coba dengan cara

pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila

tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi

positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan


WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan

ekspirasi maksimal.

3. Torakoskopi: Yaitu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga

toraks dengan alat bantu torakoskop

4. Torakotomi

5. Tindakan bedah

2.7 Pengobatan tambahan

1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan

ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya: terhadap proses TB paru

diberi OAT, terhadap bronchitis dengan obstruksi saluran napas diberi

antibiotic dan bronkodilator.

2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.

3. Pemberian antibiotic profilaksis setelah tindakan bedah dapat

dipertimbangkan untuk mengurangi insidensi kompliasi, seperti

emfisema.

2.8 Rehabilitasi

1. Penderita yang telah sembuh dari pneumothoraks harus dilakaukan

pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.

2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau

bersin terlalu keras


3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah

laksan ringan.

4. Kontrol penderita pada waktu tertentu terutama kalau ada keluhan

batuk dan sesak napas.


BAB III

KESIMPULAN

Pneumothoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pkeura terisi oleh udara,
sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yamng menimbulkan
gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat proses respirasi.
Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak naps dan nyeri
dada.

Berdasarkan penyebabnya, pneumothoraks dapat terjadi baik secara


spontan maupun traumatic. Pneumothoraks spontan itu sendiri dapat bersifat
primer dan sekunder. Sedangkan pneumothoraks traumatic dapat bersifat
iatrogenic. Dan menurut fistel yang terbentuk. Maka pneumothoraks dapat
bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension).

Dalam menentukan diagnose pneumothoraks seringkali didasarkan pada


hasil foto rontgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan
bronchovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (collapse line). Dari hasil rontgen juga dapat dikeahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan
serta kondisi jantung dan trakea.

Pada prinsipnya, penanganan pneumothoraks berupa observasi dan


pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumothoraks yang
berat dapatdilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
diesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumothorks tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojodibroto D. Respirologi (respiratory medicine. Respirologi (respiratory


Med. 2009. doi:10.1073/pnas.0307042101
2. Milisavljevic S, Spasic M, Milosevic B. Pneumothorax: Diagnosis and
treatment. Sanamed. 2015;10(3):221-228. doi:10.5937/sanamed1503221M
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisis VI. VI.; 2014. doi:10.1111/j.1365-
2958.2011.07583.x
4. Partel PR. Radiologi Lecture Notes. 2nd ed. (Safitri A, ed.). Blackwell
Science Ltd; 2005.
5. Guyton,Arthur,C.Hall,John,E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi (.
Jakarta:EGC; 1997.p.598
6. Sudoyo,Aru,W. Setiyohadi,BAmbang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibarata. Setiati,Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
IV. Jakarta : Pusat penerbitan departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.1063
7. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax Tension and Traumatic. Updated:
2010 May; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
8. Alsagaff, hood. Mukty. H. Abdul. Dasar-dasar Ilmu penyakit paru.
Surabaya: Airlangga University press; 2009. P . 162-179

Anda mungkin juga menyukai