Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu
sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi kekebalan
tubuh yang berat yang merupakan stadium akhir infeksi HIV (Notoatmodjo, 2007).
AIDS merupakan penyakit defisiensi imun sekunder yang menjadi masalah
epidemik dunia yang serius. Penyakit ini disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi masalah internasional
karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan
semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini, HIV/AIDS merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif
efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia.

Dalam kurun waktu 10 tahun, HIV telah menyebar hampir ke seluruh dunia. Di
Afrika khususnya Sub-Sahara, sekitar 30 juta penduduknya hidup dengan HIV.
Sejak HIV ditemukan, jumlah penderita mengalami peningkatan. Sejak tahun 2005
terdapat 4,9 juta kasus infeksi HIV baru dan lebih dari 3,1 juta dengan AIDS
meninggal dunia. Pada tahun 2006, lebih dari 56 juta orang hidup dengan
HIV/AIDS. Pada tahun 2009, secara global jumlah klien yang hidup dengan HIV
sebanyak 33,3 juta dan 30,8 juta diantaranya berusia lebih dari 15 tahun
(UNAIDS, 2010).

Angka kejadian HIV/AIDS secara global juga dipengaruhi oleh peningkatan


jumlah klien dengan HIV/AIDS di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara
lainya di Asia Tenggara, angka kasus HIV/AIDS di Indonesia termasuk rendah.
Alasan yang paling mungkin adalah lemahnya sistem pencatatan dan pelaporan,
terbatasnya peralatan laboratorium penunjang, serta rendahnya kemampuan
diagnosis. Total angka kematian AIDS di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 2
juta orang. Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) pada periode Juli-

Page | 1
September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di Indonesia telah
mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang. Berdasarkan data Ditjen PP dan PL
Depkes tahun 2010, terjadi peningkatan kasus AIDS sebanyak 1.405 kasus dari
4.158 total kasus selama bulan Oktober sampai Desember. Provinsi DKI Jakarta
dengan jumlah kumulatif AIDS sebesar 6.299 menempati urutan ke-3 sebagai
penyumbang terbesar kasus AIDS di Indonesia setelah Papua (7.795), Jawa Timur
(6.900), Jawa Barat (4.131), dan Bali (3.344).

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional (2009), penularan utama


HIV di Indonesia adalah melalui jarum suntik yang tidak steril 42,2%, hubungan
seksual berisiko heteroseksual 48%, homoseksual 3,8%, serta 6% dari faktor risiko
lainnya. Melalui berbagai peralatan suntik NAPZA bergantian merupakan cara
penularan pertama di Indonesia, sedangkan cara kedua adalah melalui hubungan
seks tanpa kondom.

Secara fisiologis, HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Pada


umumnya, penanganan HIV memerlukan tindakan yang hampir sama. Namun
berdasarkan fakta klinis saat pasien kontrol ke rumah sakit menunjukkan adanya
perbedaan respons imunitas (CD4). Penelitian mengenai AIDS telah dilaksanakan
secara intesif dan informasi mengenai AIDS sudah menyebar serta bertambah
cepat. Dampak dari HIV/AIDS tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan
saja, tetapi juga mempengaruhi kondisi sosial ekonomi.

Tingginya tingkat keparahan dan kematian penderita AIDS disebabkan oleh


berbagai faktor. Salah satu faktor adalah penatalaksanaan penderita yang kurang
tepat, termasuk terlambatnya diagnostik infeksi oportunistik pada penderita AIDS.
HIV/AIDS akan membuat penderitanya lebih rentan terhadap infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik mengakibatkan hampir 80% kematian pada pasien AIDS.
Infeksi oportunistik ini merupakan infeksi mikroorganisme akibat adanya
kesempatan untuk timbul pada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan.

Page | 2
Pengidap HIV di Indonesia cenderung mudah masuk ke stadium AIDS karena
mengalami infeksi oportunistik.

Ada berbagai komplikasi yang dapat ditimbulkan pada klien dengan HIV antara
lain tuberkulosis. Di negara-negara berkembang, TB adalah infeksi oportunistik
yang paling umum yang terkait dengan HIV dan penyebab utama kematian di
antara orang-orang dengan AIDS. Selain tuberculosis, sitomegalovirus,
kandidiasis, meningitis kriptokokal, toksoplasmosis, dan kriptosporidiosis juga
merupakan komplikasi yang akan terjadi. Pada umumnya kanker juga dapat terjadi
pada klien HIV/AIDS, diantaranya tumor sakroma kaposi, sarkoma kaposi, dan
limfoma.

Reaksi hipersensitivitas akut merupakan reaksi alergi pasca paparan yang


melibatkan sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit. Sedangkan anafilaksis
merupakan reaksi alergi sistemik akut yang melibatkan 2 sistem organ atau lebih
(sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem
kardiovaskular, atau sistem gastrointestinal). Gambaran klinis dapat berupa urtika,
pruritus atau angioedema (reaksi hipersensitifitas akut). Sedangkan bila disertai
dengan manifestasi yang melibatkan organ sistemik seperti hipotensi, syok,
bronkospasme, kongesti hidung, manifestasi neurologis disebut anafilaksis. Rasa
tidak enak ditenggorokan bahkan dapat terjadinya sumbatan jalan nafas atas, gatal
dan berair pada mata, serta kemerahan pada konjungtiva. Gambaran klinis dari
sistem gastrointestinal berupa nyeri perut, mual, muntah, dan diare dapat terjadi
tetapi jarang kecuali pada kasus alergi makanan.

Diagnosis reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis didasarkan pada gambaran klinis


yang terjadi. Kriteria diagnosis klinis dari reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis
yaitu onset akut dari penyakit yang berkaitan dengan paparan sebelumnya dengan
melibatkan sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit (reaksi hipersensitifitas
akut). Derajat klinis dari reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis dibedakan oleh

Page | 3
Brown (2004), menjadi ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit
seperti eritema generalisata, urtikaria, dan angioedema/edema periorbita), sedang
(melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal seperti sesak nafas,
stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di tenggorokan
dan dada, serta nyeri perut), dan berat (hipoksia, hipotensi, syok, dan manifestasi
neurologis seperti sianosis (SpO2 ≤90%), hipotensi (tekanan darah sistolik <90
mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran, dan inkontinensia). Reaksi
dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut dan untuk
derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis. Faktor risiko
yang berasosiasi dengan beratnya derajat klinis antara lain umur, jenis kelamin,
alergen (antibiotik, analgetik, atau makanan), sengatan serangga, riwayat alergi
dan asma, serta derajat hipersensitifitas/ respon imun penderita.

Perawatan terhadap penderita HIV/AIDS dengan syok anafilaksis membutuhkan


perhatian dan pelayanan khusus. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan penderita
terhadap pelayanan kesehatan maupun sistem kesehatan publik yang
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Diskriminasi dan stigmatisasi juga dapat
menimpa penderita maupun keluarga dengan HIV/AIDS. Hal tersebut dapat
menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan, perawatan, pengobatan, dan interaksi
sosial keluarga di dalam masyarakat. Berbagai akibat dan kompleksnya masalah
yang dihadapi penderita maupun keluarga dalam merawat klien HIV/AIDS
menimbulkan munculnya berbagai upaya baik secara preventif maupun kuratif.

Peran perawat pada kasus HIV dengan syok anafilaksis antara lain sebagai
pemberi asuhan keperawatan dimana perawat akan memberikan kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan dengan menggunakan proses asuhan keperawatan,
sebagai advokat dimana perawat akan memberikan informasi kepada klien
maupun keluarga klien dalam mengambil keputusan atas tindakan keperawatan
yang akan diberikan kepada klien, sebagai pendidik dimana perawat akan
membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala

Page | 4
penyakit, bahkan tindakan yang diberikan untuk merubah perilaku dari klien,
sebagai koordinator dimana perawat akan memberikan pengarahan serta
perencanaan dalam pelayanan kesehatan dari tim kesehatan yang lain agar
pelayanan kesehatan dapat sesuai dengan kebutuhan klien, sebagai kolabolator
dimana perawat akan berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya untuk
melakukan diskusi dalam penentuan asuhan keperawatan, dan sebagai konsultan
dimana perawat akan berperan sebagai tempat berkosultasi terhadap tindakan
keperawatan yang sesuai dengan asuhan keperawatan.

Berdasarkan data dan tingkat keparahan pada kasus HIV dengan syok anafilaktik,
maka kelompok ingin membahas tentang asuhan keperawatan klien dengan
gangguan sistem imun dan hematologi: HIV dengan syok anafilaktik.

B. Tujuan Makalah
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu memahami
tentang asuhan keperawatan pada pasien gangguan imun dan hematologi: HIV
dengan syok anafilaksis.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu:
a. Mengetahui definisi HIV/AIDS.
b. Mengetahui etiologi HIV/AIDS.
c. Mengetahui klasifikasi HIV/AIDS.
d. Mengetahui manifestasi klinis HIV/AIDS.
e. Mengetahui patofisiologi HIV/AIDS.
f. Mengetahui komplikasi HIV/AIDS.
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang HIV/AIDS.
h. Mengetahui pencegahan HIV/AIDS.
i. Mengetahui penatalaksanaan HIV/AIDS.
j. Mengetahui asuhan keperawatan HIV/AIDS.

Page | 5
k. Mengetahui definisi anafilaksis.
l. Mengetahui etiologi anafilaksis.
m. Mengetahui manifestasi anafilaksis.
n. Mengetahui patofisiologi anafilaksis.
o. Mengetahui komplikasi anafilaksis.
p. Mengetahui pemeriksaan diagnostik anafilaksis.
q. Mengetahui pencegahan anafilaksis.
r. Mengetahui penatalaksanaan anafilaksis.
s. Mengetahui asuhan keperawatan anafilaksis.

Page | 6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. HIV/AIDS
1. Definisi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyebabkan sistem kekebalan tubuh
dengan menghancurkan sel darah putih yang melawan infeksi. Virus ini
membuat seseorang berisiko terkena infeksi serius dan kanker tertentu. AIDS
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu sindrom
atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh
yang berat yang merupakan stadium akhir infeksi HIV (Notoatmodjo, 2007).
AIDS adalah tahap akhir dari infeksi HIV. Tidak semua orang dengan HIV
sampai pada tahap AIDS.

HIV paling sering menyebar melalui hubungan seks tanpa kondom dengan
orang yang terinfeksi. Virus ini juga bisa menyebar dengan berbagai jarum
suntik atau melalui kontak dengan orang yang terinfeksi. Wanita hamil bisa
menularkan virus ini pada bayi mereka selama kehamilan atau persalinan.

Tanda pertama infeksi HIV bisa berupa kelenjar bengkak dan gejala seperti flu
yang terjadi dalam 2-4 minggu. Gejala parah mungkin tidak muncul sampai
berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian. Hingga saat ini, penyakit HIV
ada dan belum ada obatnya. Namun ada banyak obat yang dapat melawan
infeksi HIV dan menurunkan risiko menulari orang lain. Orang yang mendapat
pengobatan dini bisa hidup dengan penyakit ini untuk waktu yang lama.
Menurut WHO, HIV terus menjadi isu kesehatan masyarakat global utama yang
telah menewaskan >35 juta orang. Pada tahun 2016, 1 juta orang meninggal
akibat sebab terkait HIV secara global (Ermawan, 2018).

Page | 7
2. Etiologi HIV/AIDS
Menurut Ermawan (2018), HIV adalah infeksi virus yang dapat ditularkan
melalui hubungan seksual, melalui darah atau dari ibu ke anak selama
kehamilan, persalinan, atau menyusui. HIV menghancurkan sel CD4 yaitu jenis
sel darah putih tertentu yang berperan besar dalam membantu tubuh melawan
penyakit. Sistem kekebalan tubuh akan melemah karena lebih banyak sel CD4
yang terbunuh. Seseorang bisa memiliki infeksi HIV selama bertahun-tahun
sebelum berkembang menjadi AIDS. Orang yang terinfeksi HIV mengalami
AIDS saat jumlah CD4nya turun <200 atau mereka mengalami komplikasi
dengan indikasi AIDS.
HIV dapat ditularkan melalui darah, air mani atau cairan vagina yang
terinfeksi. Namun, seseorang tidak akan terinfeksi hanya karena kontak biasa
seperti memeluk, mencium atau berjabat tangan dengan seseorang yang
memiliki HIV/AIDS. HIV tidak dapat ditularkan melalui udara, air atau gigitan
serangga. Seseorang bisa terinfeksi HIV dengan beberapa cara, antara lain:
a. Dengan melakukan hubungan seks
Seseorang bisa terinfeksi HIV jika memiliki hubungan seks dengan vagina
anal atau oral dengan pasangan yang terinfeksi baik darah, air mani, atau
cairan vagina masuk ke dalam tubuh pasangan. Virus bisa masuk ke dalam
tubuh pasangan. Virus bisa masuk ke tubuh melalui luka mulut yang
terkadang berkembang di rektum atau vagina saat melakukan aktivitas
seksual.
b. Tranfusi darah
Dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah.
Namun demikian, rumah sakit dan bank darah memiliki sistem tertentu
untuk menanggulangi risiko penularan ini menjadikan risiko yang sangat
kecil.
c. Dengan berbagi jarum suntik
HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi dengan
darah yang terinfeksi. Berbagai perlengkapan obat intravena menempatkan

Page | 8
seseorang pada risiko tinggi HIV dan penyakit menular lainnya seperti
hepatitis.
d. Selama kehamilan atau persalinan atau melalui menyusui
Ibu yang terkena HIV dapat menginfeksi bayinya. Tetapi dengan menerima
pengobatan untuk infeksi HIV selama kehamilan ibu, secara signifikan dapat
menurunkan risiko.

3. Klasifikasi HIV/AIDS
Menurut World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan HIV/AIDS
pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu:
a. Stadium I
Pada stadium I ini bersifat asimptomatik. Aktifitas normal dan jumpai
adanya limfadenopati generalisata.
b. Stadium II
Pada stadium I ini bersifat simptomatik. Aktivitas normal, berat badan
menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti
dermatitis seroboik, prorogo, onikomikosis, ulkus yang berulang dan khelitis
angularis, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, serta adanya infeksi saluran
napas bagian atas seperti sinusitis bekterialis.
c. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah aktivitas di tempat tidur <50%, berat
badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1
bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat kandidiasis
orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, serta infeksi bakterial yang
berat seperti pneumonia dan piomiositis.
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%, terjadi
HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti
pneumonia pneumocystis carinii, toksoplasmosis otak, diare kriptosporidosis
ekstrapulmonal, retinitis virus sitomegalo herpes simplesk mukomutan >1

Page | 9
bulan, leukoensefalopati multifocal, progresif, mikosis diseminata seperti
histopasmosis, kandidiasis esophagus, trakea, bronkus, dan paru,
tuberkulosis di luar paru, limfoma, sarkoma kaposi, serta ensefalopati HIV.

4. Manifestasi Klinis HIV/AIDS


Menurut Ermawan (2018), keganasan HIV/AIDS adalah bentuk dari
manifestasi klinis akibat infeksi oportunistik yang khas. Bentuk manifestasi
klinis ini pula yang mendorong penderita HIV/AIDS berujung pada kematian.
Adapun manisfestasi klinis HIV/AIDS yaitu:
a. Keganasan
Keganasan virus HIV/AIDS menyebabkan banyak dampak kanker dan
penyakit lain. Bahkan, dampak infeksi HIV memunculkan penyakit ganas
dan klonik.
b. Infeksi
Penderita HIV/AIDS dapat mengalami destruktif secara progresif pada
fungsi sistem imun tubuh. Penderita juga mengalami morbiditas dan
mortalitas akibat infeksi oportunistik yang menyebabkan terjadinya
kegagalan surveilans dalam proses sistem imun. Kekebalan tubuh pada
pasien HIV/AIDS sangat rentan terhadap antigen dan mudah terinfeksi oleh
bakteri, virus, protozoa, dan jamur. Infeksi mikroorganisme yang langka dan
mengalami infeksi menetap, parah dan sering kambuh karena terinfeksi lebih
dari satu misalnya crytosppotidium dan mycobacterium avium-
intracellulare.
Infeksi serius yang dialami penderita AIDS adalah klien yang didiagnosis
pneumonia pneumocystis carinii. Infeksi ini sebagai penanda klien
mengalami beberapa gejala mulai dari demam, intoleransi olahraga,
merasakan sesak napas yang berkembang secara bertahap, batuk kering non
produktif, dan sering juga disertai badan terasa lemas.

Page | 10
5. Patofisiologi HIV/AIDS
Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari
benda asing seperti virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang
maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune
response) yang terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu kekebalan humoral
dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDSmempunyai cara tersendiri sehingga
dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh dengan beraksi kemudian
dilumpuhkan.
Virus AIDS masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4+ mencakup
monosit, makrofag, dan limfosit T helper. Saat virus memasuki tubuh, benda
asing ini segera dikenal oleh sel T helper, tetapi begitu sel T helper menempel
pada benda asing tersebut, maka reseptor sel T helper menjadi tidak berdaya
bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi,
sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah
dilumpuhkan.
HIV kemudian mengubah fungsi reseptor dipermukaan sel T helper sehingga
reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus
memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T helper, HIV akan
menginjeksikan 2 utas benang RNA yang identik ke dalam sel T helper. Dengan
menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan
melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T helper yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan
disatukan ke dalam nukleus sel T helper sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan,
genom dari HIV proviral DNA dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T
helper, sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan
perkembanganbiakan sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus

Page | 11
lain, maka HIV akan aktif membentuk RNA, keluar dari T helper dan
menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper
sudah lumpuh, maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B, dan
sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau Sindroma Kegagalan
Kekebalan.

Pathway HIV/AIDS

Transmisi HIV ke dalam tubuh melalui darah, cairan vagina atau


sperma, ASI atau cairan tubuh ibu yang infeksius

Peningkatan virus HIV dengan reseptor membran T Helper + CD4

Fusi atau peleburan membran virus dengan membran sel T Helper + CD4

Enzim Integrase cDNA masuk ke inti sel T Helper

Transkripsi mRNA dan translasi menghasilkan protein struktural virus

Enzim Protease merangkai RNA virus dengan protein-protein yang baru dibentuk

Terbentuk virus-virus HIV yang baru dalam tubuh

Replikasi perkembangan HIV dalam cairan tubuh

Imunosupresi

Organ target

Gastrointestinal Dermatologi Respiratory

Page | 12
Terdapat ruam, vesikula, kulit
Infeksi paru
Infeksi jamur Diare terus kering dan pecah-pecah
(TBC, Pneumonia)
menerus
Lesi pada Tidak dapat
mulut, KERUSAKAN Kerusakan barrier mengeluarkan sekret
esophagus INTEGRITAS tubuh
dan lambung KULIT Penumpukan sekret
Invasif bakteri di jalan nafas
Penurunan KEKURANGAN
nafsu makan VOLUME RISIKO INFEKSI Obstruksi jalan nafas
CAIRAN
Penurunan
intake nutrusi
KETIDAKEFEKTIFAN Penurunan O2 ke paru-paru

Penurunan Penurunan BERSIHAN JALAN NAFAS


BB intake cairan Kompensasi tubuh

Peningkatan Ventilasi
KETIDAKSEIMBANGAN
NUTRISI: KURANG DARI
KEBUTUHAN TUBUH Peningkatan RR

Penurunan suplai O2
Kelemahan umum Dispnea
ke tubuh

INTOLERANSI KETIDAKEFEKTIFAN
AKTIVITAS POLA NAFAS

Page | 13
6. Komplikasi HIV/AIDS
Menurut Ermawan (2018), infeksi HIV memperlemah sistem kekebalan tubuh,
sehingga membuatnya sangat rentan terhadap banyak infeksi dan jenis kanker
tertentu. Komplikasi umum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:
a. Tuberkulosis
Di negara-negara berkembang, tuberkulosis adalah infeksi oportunistik yang
paling umum yang terkait dengan HIV dan penyebab utama kematian
diantara orang-orang dengan AIDS.
b. Sitomegalovirus
Virus herpes umum ini ditularkan ke cairan tubuh seperti air liur, darah, air
seni, air mani, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat
menonaktifkan virus. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus akan
muncul kembali yang menyebabkan kerusakan pada mata, saluran
pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.
c. Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi yang berhubungan dengan HIV. Hal ini
menyebabkan radang dan lapisan putih tebal di selaput lendir mulut, lidah,
kerongkongan atau vagina.
d. Meningitis kriptokokal
Meningitis adalah pembengkakan selaput dan cairan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang (meninges). Meningitis kriptokokus adalah
infeksi sistem saraf pusat umum terkait dengan HIV yang disebabkan oleh
jamur.
e. Toksoplasmosis
Infeksi berpotensi mematikan ini disebabkan oleh toksoplasma gondii,
parasit yang menyebar terutama dari kucing. Kucing yang terinfeksi
melewati parasit di tinja mereka kemudian menyebar ke hewan dan manusia
lainnya.

Page | 14
f. Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebaban oleh parasit usus yang biasa ditemukan pada hewan.
Kriptosporidiosis bisa masuk kedalam tubuh ketika seseorang menelan
makanan atau air yang terontaminasi. Parasit itu tumbuh di usus dan saluran
empedu yang menyebabkan diare kronis yang parah pada orang dengan
AIDS.
g. Kanker yang umum terjadi pada HIV/AIDS, yaitu:
1) Tumor sakroma kaposi dinding pembuluh darah merupakan kanker yang
jarang terjadi pada orang yang terinfeksi HIV, namun umum pada orang
HIV positif.
2) Sarkoma kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda, merah atau
ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap, lesi bisa
terlihat coklat tua atau hitam. Sarkoma kaposi juga dapat mempengaruhi
organ dalam termasuk saluran pernafasan dan paru-paru.
3) Limfoma adalah jenis kanker yang berasal dari sel darah putih dan
biasanya pertama kali muncul di kelenjar getah bening. Tanda awal yang
paling umum adalah pembengkakan kelenjar getah bening yang tidak
menyakitkan di leher, ketiak atau pangkal paha.
h. Sindroma wasting
Regimen pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus sindrom
wasting, namun masih mempengaruhi banyak orang penderita AIDS.
Sindroma ini didefinisikan sebagai kehilangan setidaknya 10% berat badan
yang sering disertai diare, kelemahan kronis, dan demam.
i. Komplikasi neurologis
Meskipun AIDS tampaknya tidak menginfeksi sel-sel saraf, namun hal itu
dapat menyebabkan gejala neurologis seperti kebingngan, kelupaan, depresi,
kegelisahan, dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang
paling umum adalah kompleks demensia AIDS yang menyebabkan
perubahan perilaku dan berkurangnya fungsi mental.

Page | 15
j. Penyakit ginjal
HIV terkait nefropati adalah radang filter kecil di ginjal yang menghilangkan
kelebihan cairan dan limbah dari aliran darah serta meneruskannya ke urin.

7. Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS


Menurut Kumalasari (2012), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
pada pasien HIV/AIDS yaitu:
a. Tes untuk diagnosa infeksi HIV, yaitu:
1) ELISA (positif dimana hasil tes yang positif dipastikan dengan western
blot).
2) Western blot (positif).
3) P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas).
4) Kultur HIV (positif jika 2x uji kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang
meningkat).
b. Tes untuk deteksi gangguan sistem imun, yaitu:
1) LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan. Nilai
normal LED, wanita <50 tahun adalah <20 mm/jam dan pria <50 tahun
adalah <15 mm/jam).
2) CD4 limfosit (menurun sehingga mengalami penurunan kemampuan
untuk bereaksi terhadap antigen. Nilai normal CD4 adalah 500-1400).
3) Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun dimana nilai normalnya adalah 0,9-
1,9).
4) Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
5) Kadar immunoglobulin (meningkat).

Page | 16
8. Pencegahan HIV/AIDS
Menurut Kumalasari (2012), penyakit HIV/AIDS dapat dicegah dengan
beberapa cara, yaitu:
a. Meningkatkan ketahanan keluarga melalui pesan kunci (dikenal dengan
singkatan ABCDE), dimana:
1) Abstinensia: tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah.
2) Be faithful: setia terhadap pasangan yang sah (suami-istri).
3) Condom: menggunakan kondom apabila salah satu pasangan berisiko
terkena IMS atau HIV/AIDS.
4) Drugs: hindari pemakaian narkoba.
5) Equipment: mintalah peralatan kesehatan yang steril.
b. Pencegahan penularan melalui darah
1) Skrining darah donor dan produk darah.
2) Menggunakan alat suntik dan alat lain yang steril.
3) Penerapan kewaspadaan keseluruhan.
4) Berhati-hati pada saat menangani segala hal yang tercemar oleh darah
segar.
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak
1) Pemeriksaan dan konseling ibu hamil
2) Pengobatan
Pengobatan preventatif antiretroviral jangka pendek merupakan metode
yang efektif dan layak untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Ketika dikombinasikan dengan dukungan dan konseling makanan bayi
serta penggunaan metode pemberian makanan yang lebih aman,
pengobatan ini dapat mengurangi risiko infeksi anak hingga setengahnya.
Regimen AVR khususnya didasarkan pada nevirapine atau zidpvudine.
Nevirapine diberikan dalam 1 dosis kepada ibu saat proses persalinan dan
dalam 1 dosis kepada anak dalam waktu 72 jam setelah kelahiran.
Zidovudine diketahui dapat menurunkan risiko penularan ketika diberikan
kepada ibu dalam 6 bulan terakhir masa kehamilan dan melalui infus

Page | 17
selama proses persalinan dan kepada sang bayi selama 6 minggu setelah
kelahiran.
3) Operasi Caesar
Proses persalinan melalui vagina dianggap lebih meningkat risiko
penularan dari ibu ke anak. Sementara operasi caesar telah menunjukkan
kemungkinan terjadinya penurunan risiko.
d. Menjaga kebersihan alat reproduksi karena ada jenis IMS yang dapat
diderita tanpa melalui hubungan seksual misalnya keputihan yang
diakibatkan oleh jamur.
e. Memeriksakan diri segera bila ada gejala-gejala IMS yang dicurugai.
f. Menghindari hubungan seksual bila ada gejala PMS, misalnya borok pada
alat kelamin atau keluarnya pus (cairan nanah) dari tubuh.

9. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Menurut Ermawan (2018), tidak ada obat untuk HIV/AIDS. Namun berbagai
obat dapat digunakan dalam kombinasi untuk mengendalikan virus. Setiap
kelas obat antiHIV memblokir virus dengan cara yang berbeda. Sebaiknya
kombinasikan setidaknya 3 obat dari 2 kelas untuk menghindari terciptanya
strain HIV yang kebal terhadap obat tunggal. Kelas obat anti-HIV meliputi:
a. Inhibitor Reserse Transcriptase Non-Nukleosida (NNRTI)
NNRTI untuk membuat salinan dirinya sendiri. Contohnya efavirens
(sustiva), etravirine (intelence), dan nevirapine (nevirapine).
b. Nukleosida atau Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
NRTI adalah versi yang salah dari blok bangunan yang HIV perlu membuat
salinan dirinya sendiri. Contohnya abacavir (ziagen), kombinasi obat
emtricitabine-tenofovir (truvada), dan lamivudinezidovidine (combivir).
c. Protease Inibitor (PI)
PI menonaktifkan protease, protein lain yang HIV perlu membuat salinan
dirinya sendiri. Contohnya atazanavir (reyataz), darunavir (prezista),
fosamprenavir (lexiva), dan indinavir (crixivan).

Page | 18
d. Penghambat fusi
Obat-obatan ini menghambat masuknya HIV ke dalam sel CD4. Contohnya
enfuvirtide (fuzeon) dan maraviroc (selzentry).
e. Integrase inhibitor
Obat-obatan ini bekerja dengan menonaktifkan integrase, protein yang
digunakan HIV untuk memasukkan bahan genetiknya ke dalam sel CD4.
Contohnya raltegravir (isentress), elvitegravir (vitekta), dan dolutegravir
(tivicay).

10. Asuhan Keperawatan HIV/AIDS


a. Pengkajian
1) Riwayat: tes HIV positif, riwayat perilaku berisiko tinggi, dan
menggunakan obat-obat.
2) Penampilan umum: pucat dan kelaparan.
3) Gejala subyektif: demam kronik, menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, dan sulit
tidur.
4) Psikososial: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola
hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, serta meringis.
5) Status mental: marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apatis,
withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan proses
pikir, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, serta halusinasi
dan delusi.
6) HEENT: nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edema muka,
tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah,
disfagia, dan epsitaksis.
7) Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan, kaku kuduk, kejang, dan paraplegia.
8) Muskuloskletal: focal motor defisit, lemah, dan tidak mampu melakukan
ADL.

Page | 19
9) Kardiovaskuler: takikardi, sianosis, hipotensi, edema perifer, dan
dizziness.
10) Pernapasan: dyspnea, takipnea, sianosis, menggunakan otot bantu
pernapasan, dan batuk produktif atau non produktif.
11) Gastrointestinal: intake makan dan minum menurun, mual, muntah,
BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali,
serta kuning.
12) Genitalia: lesi atau eksudat pada genital.
13) Integumen: kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, dan petekie
positif.
b. Diagnosa keperawatan
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas.
3) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dyspnea.
4) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan nafsu makan.
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya ruam, vesikula,
kulit kering, dan pecah-pecah.
6) Risiko infeksi berhubungan dengan invasif bakteri.
7) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, dan kelelahan.
c. Intervensi keperawatan
1) Diagnosa 1: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare.
Tujuan: Pasien merasa nyaman dan dapat mengnontrol diare.
Kriteria Hasil: Perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal,
serta kram perut hilang.
Intervensi yang dapat dilakukan, yaitu:
a) Kaji konsistensi dan frekuensi feses serta adanya darah.
b) Auskultasi bunyi usus.

Page | 20
c) Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order.
2) Diagnosa 2: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
Tujuan: Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metaboliknya.
Kriteria Hasil:
a) Mual dan muntah dikontrol.
b) Pasien makan tinggi kalori tinggi protein.
c) Serum albumin dan protein dalam batas normal.
d) BB mendekati seperti sebelum sakit.
Intervensi yang dapat dilakukan, yaitu:
a) Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
b) Monitor berat badan (intake dan ouput).
c) Atur antiemetik sesuai order.
d) Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
3) Diagnosa 3: Risiko infeksi berhubungan dengan invasif bakteri.
Tujuan: Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya.
Kriteria Hasil:
a) Tidak ada tanda-tanda infeksi baru.
b) Hasil pemeriksaan lab tidak ada infeksi oportunis.
c) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
d) Tidak ada luka atau eksudat.
Intervensi yang dapat dilakukan, yaitu:
a) Monitor tanda-tanda infeksi baru.
b) Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasive dengan cara
mencuci tangan sebelum memberikan tindakan.
c) Anjurkan pasien metode mencegah terpapar terhadap lingkungan
yang pathogen.
d) Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
e) Atur pemberian antiinfeksi sesuai order.

Page | 21
4) Diagnosa 4: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan,
pertukaran oksigen, malnutrisi, dan kelelahan.
Tujuan: Pasien berpartisipasi dalam kegiatan.
Kriteria Hasil: Bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
Intervensi yang dapat dilakukan, yaitu:
a) Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas.
b) Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu.
c) Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

B. Anafilaksis
1. Definisi Anafilaksis
Anafilaksis adalah respons klinis terhadap reaksi imunologik langsung
(hipersensitivitas tipe I) antara antigen spesifik dan antibodi. Reaksi tersebut
muncul akibat pelepasan bahan kimia yang dimediasi IgE yang dapat memicu
reaksi alergi yang berat dan mengancam jiwa. Substansi yang paling sering
menyebabkan reaksi anafilaksis adalah makanan, medikasi, sengat serangga,
dan lateks. Makanan yang biasanya menyebabkan anafilaksis antara lain kacang
tanah, tree nut, kerang, ikan, suus, telur, kedelai, dan gandum.

Banyak medikasi terimplikasi anafilaksis. Obat-obatan yang paling sering


dilaporkan adalah antibiotik (misalnya penisilin), agens radiokontras, anestetik
IV, aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) lain, dan opioid. Reaksi
yang erat kaitannya dengan anafilaksis adalah anafilaksis non alergik
(anafilaktoid) (Yulianti, 2011).

Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan
kedua atau pada pemaparan berikutnya terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini
terjadi secara tiba-tiba, berat, dan melibatkan seluruh tubuh (Pearce C, 2009).

Page | 22
2. Etiologi Anafilaksis
Menurut Yumartini (2018), berbagai mekanisme terjadi anfilaksis baik dapat
melalui mekanisme IgE maupun melalui non IgE. Tentu saja selain obat ada
juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada
kolam renang, dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan obat pencetus anafilaksis:
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik (penisilin dan sefalosporin).
2) Ekstra allergen (bisa tawon dan polen).
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, dan suksinilkolin).
4) Protein manusia (insulin, vasopressin, serum).
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung:
1) Obat (opiat, vankomisin, dan kurare).
2) Cairan hipertonik (media radiokontraks dan manitol).
3) Obat lain (dekstran dan flouresens).
4) Aktivasi komplemen.
5) Protein manusia (immunoglobulin dan produk darah lainnya).
6) Bahan dialysis.
7) Modulasi metabolism.
8) Asam asetilsalisilat.
9) Antiinflamsi nonsteroid

3. Manifestasi Klinis Anafilaksi


Menurut Yulianti (2011), reaksi anafilaskis menimbulkan sindrom klinis
yang memengaruhi sejumlah sistem organ. Reaksi dapat dikategorikan sebagai
reaksi ringan, sedang atau berat. Tingkat keparahannya bergantung pada derajat
alergi dan dosis allergen.

Page | 23
Manifestasi klinis yang disebabkan reaksi anafilaksis diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Ringan
Gejala mencakup kesemutan di area perifer, sensasi hangat, rasa penuh di
mulut dan tenggorokan, kongesti nasal, bengkak di area periorbital, pruritus,
bersin, dan mata berair. Gejala muncul 2 jam setelah pajanan.
b. Sedang
Gejala mencakup semburat, sensasi hangat, ansietas, dan gatal-gatal
disamping salah satu dari gejala ringan di atas. Reaksi yang lebih serius
mencakup bronkospasme dan edema jalan napas atau laring disertai dengan
dispnea, batuk, dan mengi. Awitan gejala sama seperti reaksi ringan.
c. Berat
Pada reaksi sistemik berat, awitan muncul secara tiba-tiba dengan tanda dan
gejala yang sama seperti yang dijelaskan sebelumnya. Gejala berlanjut
dengan cepat menjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat, sianosis,
hipotensi, disfagia, kram abdomen, muntah, diare, dan kejang juga dapat
terjadi. Selanjutnya, pasien dapat mengalami serangan jantung dan koma.

4. Patofisiologi Anafilaksis
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivitas sel mast
dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi IgE (anafilaktik) maupun yang
tidak dimediasi IgE (anafilaktoid). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan
atau sengatan serangga, obat-obatan, dan makanan dapat juga bersifat idiopatik.
Mediator gawat darurat meliputi histamin, leukotriene, dan prostaglandin. Bila
mediator tersebut dilepaskan, maka akan menyebabkan peningkatan sekresi
mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan
tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut
menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular.

Page | 24
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak
langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna, dan melalui tusukan/suntikan.
Pada reaksi anafilaksis kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah
melalui tusukan/suntikan. Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung
oleh protrin yang spesifik seperti albumin. Hasil ikatan ini selanjutnya
menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang
membran sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen
antibody IgE antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu
menghasilkan dan membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang
terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel
mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu T=F ab. Reseptor F ab
berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang
berlangsung sampai disini disebut proses sentitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka
antigen ini akan segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan
diikat membentuk ikatan IgE-Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel
mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen
seperti histamine, kinin, serotonin, dan Platelet Activating Factor (PAF).
Mediator-mediator ini selanjutnya mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot
polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan
karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat
diatasi dengan hanya memberikan antihistamine. Pada saat fase akut ini
berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain.
Fosfolipid yang terdapat di membran sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim
fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien/SRSA (Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis.
Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka
disebut dengan fase lambat anafilaksis.

Page | 25
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat
langsung mengaktifasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamin oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE
dan rekasi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid yang
memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis.
Beberapa sistem yang dapat mengaktifasi komplemen yaitu obat-obatan,
aktifitas kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas
otot seperti d-tubokuranin dan atrakurium, serta antibiotika seperti vankomisin
dan polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan
akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang
ditimbulkan dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relatif.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia urin, dan kotraksi usus menyebabakan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema
karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan
hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di
kulit, bronkus, epiglottis, dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dari depresi miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat
hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi lebih kuat dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan
bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan
pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF (Yumartini, 2018).

Page | 26
Pathway Anafilaksis
Bahan allergen
(obat-obatan, gigitan serangga)
Makanan

Lambung Masuk ke vili Sirkulasi Aktivitas


mukosa usus komplemen (Ig A)

Hipermotilitas Reaksi antigen-antibodi


saluran cerna dalam tubuh (Ig E) Reaksi kompleks
imun
Nausea, muntah, Basofil dan sel mast
sakit perut melepaskan histamin

GANGGUAN Histamine meningkat


RASA NYAMAN

Peningkatan permeabilitas Vasodilatasi perifer Vasodilatasi pembuluh


kapiler menyeluruh darah setempat

Cairan dan protein hilang kedalam Kemerahan Peningkatan tekanan kapiler dan
ruang jaringan secara cepat peningkatan permeabilitas

Syok sirkulasi dinding


Urtikaria Peningkatan permeabilitas
kapiler setempat
Perembesan cairan
keluaran pembuluh darah GANGGUAN
Pembengkakan pada
INTEGRITAS KULIT
area berbatas jelas
Kulit pucat, dingin, Spasme otot polos bronkus yang bersifat gatal
hipotensi
Hipersekresi

GANGGUAN PERFUSI Sesak nafas Edema laring


JARINGAN Pembengkakan

GANGGUAN POLA
NAFAS

Page | 27
5. Komplikasi Anafilaksis
Menurut Greenberg (2007), komplikasi yang dapat terjadi karena anafilaksis
meliputi:
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Laring yang dapat mengakibatkan kematian.
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoiodema menetap sampai beberapa bulan. Kemungkinan
rekurensi di masa mendatang dan kematian.

6. Pemeriksaan Penunjang Anafilaksis


Menurut Yumartini (2018), untuk mengetahui beberapa penyebab terjadinya
syok anafilaktik, maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi
alergennya diantaranya dengan melakukan pemeriksaan diagnostik yang
meliputi:
a. Skin test
Pemeriksaan ini merupakan cara yang banyak digunakan untuk mengevalusi
sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin test adalah adanya hasil positif
palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek
samping serius yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan
dating. Oleh karena itu, pemberiannya diencerkan 1:1.000 sampai
1:1.000.000 dari dosis intial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan IgE menurun setelah reaksi
anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini
penderita diberikan obat yang dicurigai secara intravena, kemudian diamati
kadar IgE nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.

Page | 28
c. Pelepasan histamine oleh leukosit in-vitro
Histamin dilepaskan bila leukosit yang diselimuti IgE terpapar oleh antigen
imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang
disensitisasi oleh antibodi IgE. Akan tetapi ada beberapa agen yang dapat
menimbulkan reaksi langsung (non imunologik) pada pelepasan histamine.
d. Radio Allegro Sorbent Test (RAST)
Antigen spesifik antibodi IgE dapat diukur dengan menggunakan RAST.
Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks
yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik
antibodi IgE ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan
ikatan radioaktif 125-labelled anti IgE. Ikatan radioaktif ini mencerminkan
antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi menunjukkan adanya alergi dengan peningkatan
jumlah.

7. Pencegahan Anafilaksis
Pemeriksaan skin test perlu dilakukan karena merupakan hal yang penting.
Namun hal yang perlu diperhatikan bahwa tes kulit negatif pada penderita dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita
tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-
3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit
positif.
Upaya pencegahan yang paling penting adalah menghindari allergen. Jika
tidak mungkin untuk menghindari pajanan alergen, pasien harus diingatkan
untuk selalu membawa dan menggunakan epinefrin untuk mencegah reaksi
anafilaksis saat ia terpajan oleh allergen, tetapi pemberian obat harus benar-
benar sesuai dengan indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obatan yang
menyebabkan syok anafilaktik. Penyedia layanan kesehatan harus selalu
mengkaji riwayat tentang sensitivitas dengan seksama sebelum memberikan

Page | 29
medikasi. Imunoterapi bisa dapat diberikan kepada individu yang alergi
terhadap bisa serangga. Pasien penyandang diabetes yang alergi terhadap
insulin atau pasien yang sensitif terhadap penisilin mungkin perlu menjalani
desensitisasi (Dj, 2018).

8. Penatalaksanaan Anafilaksis
Menurut Anggaraini (2015), penatalaksanaan anafilaktik yang dapat dilakukan
yaitu:
a. Tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi
anafilaktik. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation
dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan
hidup dasar.
1) Airway (jalan napas)
Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas yaitu dengan melakukan
triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan,
dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi atau trakeotomi.
2) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong

Page | 30
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen
5-10 liter/menit.
3) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar yaitu
karotis atau femoralis dan segera lakukan kompresi jantung luar.
c. Obat-obatan
1) Adrenalin
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama
untuk mengobati syok anafilaktik. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah,
melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain.
Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan AMP dalam sel mast
dan basophil, sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta
pelepasan histamin dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri serta memicu denyut
dan kontraksi jantung, sehingga menimbulkan tekanan darah naik
seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha
ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama
pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang
cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,
absorbsi, intramuskuler lebih cepat dan lebih baik daripada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa
dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali
tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada
keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa)
ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-
benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena

Page | 31
lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10
mcg/kgBB (0,1 ml/kgBB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000)
dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaktik perlu
membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara
penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus
kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.
2) Antihistamin
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor mediator tetapi
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaktik berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk obat-
obatan seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit.
Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus
dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat
diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10
menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon peradangan.
Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaktik
dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk
memperpendek episode anafilaktik atau mencegah anafilaktik berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam
pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6
jam sampai kondisi pasien stabil yang biasanya tercapai setelah 12 jam

Page | 32
atau hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB yang kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin
intravena 4-7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus
0,6 mg/kgBB/jam atau aminofilin 5-6mg/kgBB yang diencerkan dalam
20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar
15 menit.
4) Bronkodilator
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin dan
salbutamol). Larutan salbutamol sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml
NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi. Apabila tekanan darah tidak
naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui cairan
infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrose
konsentrasi 4 mg diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit dengan infus mikrodrip, bila diperlukan dosis dapat
dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, aramin 2-5 mg bolus
intravena pelan-pelan, levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa
5% dengan kecepatan 2ml/menit dan dopamin 0,3-1,2 mg/kgBB/jam
secara infus dengan dextrose 5%.
d. Terapi cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan
akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis
laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap
merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan
jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya pada
syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari

Page | 33
volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan
dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
e. Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat
kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus
tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau
syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2
jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan
umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,
elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok
dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan
cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan,
infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita
yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit.

9. Asuhan Keperawatan Anafilasksis


a. Pengkajian
1) Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan
intravena seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering
memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin,

Page | 34
ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid,
kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. Alergi
terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain),
vitamin, heparin, telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang,
dan lain-lain juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
2) Riwayat keperawatan
a) Riwayat kesehatan: keluhan utama klien terlihat sesak.
b) Riwayat kesehatan masa lalu: klien sebelumnya pernah mengalami
riwayat alergi baik obat, makanan atau debu.
c) Riwayat keluarga: adanya penyakit tertentu dalam keluarga yaitu ibu
atau bapak klien mempunyai riwayat alergi yang sama.
3) Pemeriksaan fisik
a) Kepala
Inspeksi: bentuk semestris/tidak, warna rambut hitam/tidak, dan
distribusi rambut merata/tidak.
Palpasi: rambut rontok/tidak, kulit kepala kotor/tidak, ada
benjolan/tidak, dan tekstur rambut kasar/halus.
b) Mata
Inspeksi: bentuk mata simetris/tidak dan reflek kedip baik/tidak.
Palpasi: konjungtiva merah muda/tidak dan adanya nyeri tekan/tidak.
c) Hidung
Inspeksi: hidung simetris/tidak, adanya inflamasi/tidak, dan adanya
sekret/tidak.
Palpasi: adanya nyeri tekan/tidak pada daerah sinus dan adanya
massa/tidak.
d) Mulut
Inspeksi: bentuk mulut simetris/tidak, adanya kelainan
kongenental/tidak seperti bibir sumbing, mukosa bibir kering/tidak,

Page | 35
gigi ada yang berlubang/tidak, adanya caries gigi atau tidak, dan
palatum berada di tengah/tidak.
e) Leher
Inspeksi: bentuk leher simetris/tidak, leher bersih/tidak, dan adanya
lesi/tidak.
Palpasi: adanya benjolan/tidak, adanya pembesaran kelenjar
tiroid/tidak dan adanya bendungan vena jugularis/tidak.
f) Dada
(1) Paru-paru
Inspeksi: bentuk dada simetris/tidak, adanya interaksi
interkosta/tidak, serta amati klavikula dan scapula simetris/tidak.
Palpasi: merasakan paru kanan/kiri sama/tidak.
Auskultasi: apakah suara paru vesikuler/wheezhing/creckles.
Perkusi: suara paru sonor/tidak.
(2) Jantung
Inspeksi: bentuk dada simetris/tidak.
Palpasi: adanya nyeri tekan/tidak.
Auskultasi: bunyi S1 LUB, adanya suara tambahan/tidak dan
bunyi S2 DUB, adanya suara tambaha/tidak.
Perkusi: bunyi jantung normal/tidak dan adanya sura tambahan.
g) Abdomen
Inspeksi: bentuk perut simetris/tidak, adanya massa/tidak, dan adanya
benjolan/tidak.
Palpasi: adanya nyeri tekan/tidak.
Auskultasi: mendengarkan peristaltik usus 5-35 kali/menit atau tidak.
h) Ektremitas
Inspeksi: kaki kiri dan kanan simetris/tidak.
Palpasi: adanya lesi/tidak.
i) Akral
Palpasi: dingin/hangat.

Page | 36
4) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Hematologi: hitung sel meningkat, hemokonsentrasi,
trombositopenia, dan eosinophilia naik/normal/turun.
(2) Kimia: plasma histamin meningkat dan sereum triptaase
meningkat.
b) Radiologi
(1) X foto: hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus dan
plug.
(2) EKG: gangguan konduksi serta atrial dan ventrikular disritmia
b. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus.
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung
dan vasodilatasi arteri.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
4) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi
histamine dan bradikinin oleh sel mast.
5) Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan
peningkatan kapasitas vaskuler.
c. Intervensi Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus.
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan pasien mampu mempertahankan pola pernapasan
efektif dengan jalan nafas yang paten.
Intervensi:
a) Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, dan miringkan
kepala pasien.
b) Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan.
c) Pantau pernapasan, catat kerja pernapasan

Page | 37
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung
dan vasodilatasi arteri.
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan klien:
a) Kulit klien hangat.
b) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
c) Pasien sadar atau berorientasi.
Intervensi:
a) Lihat perubahan tiba-tiba atau gangguan mental contohnya cemas,
bingung letargi atau pingsan.
b) Lihat kulit apakah pucat, sianosis, kulit dingin, catat kekuatan nadi
perifer
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24jam klien mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat ukur.
Intervensi:
a) Periksa tanda-tanda vital sebelum dan setelah aktivitas.
b) Catat respon cardiopulmonal terhadap aktivitas.
c) Kaji penyebab kelemahan.
d) Evaliasi peningkatan intoleran aktivitas.
e) Berikan bantuan aktivitas perawatan mandiri sesuai indikasi, selingi
periode istirahat.
4) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi
histamine dan bradikinin oleh sel mast.
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam menunjukkan kemajuan pada luka atau penyembuhan dengan
diharapkan klien:
a) Tidak lagi menggaruk-garuk badannya.
b) Merasa nyaman.
c) Dapat mempertahankan integritas kulitnya.

Page | 38
Intervensi:
a) Kaji kulit setiap hari dengan catat warna kulit, turgor kulit, sirkulasi,
dan sensasi.
b) Pertahankan kebersihan kulit dan jaga agar kulit klien tidak kering
dengan menggunakan lotion/cream.
c) Sarankan klien untuk melakukan abulasi beberapa jam sekali.
d) Kolaborasi dengan memberikan obat sesaui indikasi
5) Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan
peningkatan kapasitas vaskuler.
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan kebutuhan cairan tubuh klien dapat terpenuhi.
Intervensi:
a) Catat peningkatan suhu, kaji demam dan durasi.
b) Berikan kompres hangat.
c) Pertahankan kenyamanan suhu lingkungan.
d) Ukur haluaran urine dan berat jenis urine.
e) Kolaborasi dengan memberikan obat sesuai indikasi misalnya
antipiretik.

Page | 39
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Kasus
Tn. P seorang laki-laki berusia 24 tahun, tinggal di Jl. Bedeng proyek, Kuta,
Badung. Memiliki pekerjaan sebagai buruh, pendidikan terakhir SD, beragama
Kristen, dan belum menikah. Pada 1 hari SMRS, klien mengeluh batuk darah 1
kali sebanyak ± 200 cc, demam sejak 5 hari berturut-turut, mengganggu aktivitas
sehari-hari, dan menyebabkan nafsu makan menurun. Setelah minum obat penurun
panas akan membaik namun demam muncul kembali beberapa jam kemudian.
Pada tanggal 08 November 2018, klien dibawa ke IGD RS dan didiagnosis
Hemoptisis ec Susp TB paru + infeksi sekunder (Pneumonia/HCAP) + HIV
Stadium IV. Nomor RM 20181127. Klien kemudian dipindahkan ke ruang
perawatan seruni kelas 2 dan diberikan obat Codein 3x10 mg, Paracetamol 3x500
mg, Asam tranexamat 3x500 mg IV, Ceftazidine 3x1 g IV, Cotrimoxasole 1x960
mg, Ambroxol 3xC1, dan OAT kategori I dilanjutkan.
Setelah pemberian obat-obat tersebut di ruang perawatan, ± 30 menit kemudian
klien mengeluh napas terasa sesak, sesak dirasakan timbul secara tiba-tiba seperti
sulit untuk mengambil napas dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Klien
juga mengeluh timbul kemerahan pada wajah dan tangan, bengkak dan kemerahan
di kedua mata dan bibir, serta sensasi seperti terbakar pada bibir. Selain itu klien
mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuh dan tidak berkurang dengan
garukan. Pada 40 menit setelah obat masuk, timbul kemerahan pada seluruh tubuh,
mual, dan tidak enak pada tenggorokan. Keluarga klien mengatakan klien sempat
tidak mengenali penunggunya untuk beberapa saat.
Klien memiliki riwayat penyakit HIV stadium IV yang diketahui sejak ± 5
bulan yang lalu dan TB paru yang diketahui ± 2 bulan yang lalu. Klien tidak rutin
meminum obat dan jarang kontrol. Keluarga klien mengatakan klien memiliki
riwayat OAT kategori I selama 1 minggu SMRS. Keluarga mengatakan tidak ada
anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa seperti klien, tidak ada yang
memiliki riwayat asma, dan gatal-gatal berulang pada kulit. Klien adalah seorang

Page | 40
perokok berat sejak usia remaja. Dalam sehari klien bisa menghabiskan 1-2
bungkus rokok.
Hasil pemeriksaan fisik: kesadaran CM, BB 64 kg, TB 168 cm, TTV: TD 80/60
mmHg, Nadi 112x/menit, lemah, regular, RR 24x/menit, suhu 39,1°C, dan kulit
tampak eritema berbatas tidak tegas pada seluruh tubuh.
Terapi: oksigen 2-4 lpm, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Adrenalin 0,3 cc IM,
Diphenhydramine 1x10 mg IV (diberikan setelah pasien stabil),
Methylprednisolone 2x62,5 mg IV, dan stop obat-obat yang dicurigai (Codein,
Paracetamol, Asam tranexamat, Ceftazidine, Ciprofloxacin, Ambroxol,
Cotrimoxasol, dan OAT), serta kompres hangat.

B. Asuhan Keperawatan Kasus


Tanggal Masuk RS : 08 November 2018
Ruang/Kelas : Seruni/2
Nomor RM : 20181127
Diagnosa Medis : Hemoptisis ec Susp TB paru + infeksi sekunder (Pneumonia/
HCAP) + HIV Stadium IV
1. Identitas Klien
Nama Klien : Tn. P
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 24 tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Agama : Kristen
Suku Bangsa : Sumba
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Jl. Bedeng proyek, Kuta, Badung
Sumber Informasi : Klien dan keluarga klien

Page | 41
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada 1 hari SMRS, klien mengeluh batuk darah 1 kali sebanyak ± 200 cc,
demam sejak 5 hari berturut-turut, mengganggu aktivitas sehari-hari, dan
menyebabkan nafsu makan menurun. Setelah minum obat penurun panas
akan membaik namun demam muncul kembali beberapa jam kemudian.
Pada tanggal 08 November 2018, klien dibawa ke IGD RS dan didiagnosis
Hemoptisis ec Susp TB paru + infeksi sekunder (Pneumonia/HCAP) + HIV
Stadium IV.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Setelah pemberian obat-obat tersebut di ruang perawatan, ± 30 menit
kemudian klien mengeluh napas terasa sesak, sesak dirasakan timbul secara
tiba-tiba seperti sulit untuk mengambil napas dan tidak membaik dengan
perubahan posisi. Klien juga mengeluh timbul kemerahan pada wajah dan
tangan, bengkak dan kemerahan di kedua mata dan bibir, serta sensasi
seperti terbakar pada bibir. Selain itu klien mengeluh gatal dan kemerahan
pada seluruh tubuh dan tidak berkurang dengan garukan. 40 menit setelah
obat masuk, timbul kemerahan pada seluruh tubuh, mual, dan tidak enak
pada tenggorokan. Keluarga klien mengatakan klien sempat tidak mengenali
penunggunya untuk beberapa saat.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien memiliki riwayat penyakit HIV stadium IV yang diketahui sejak ± 5
bulan yang lalu dan TB paru yang diketahui ± 2 bulan yang lalu. Klien tidak
rutin meminum obat dan jarang kontrol. Riwayat OAT kategori I selama 1
minggu SMRS.
d. Riwatat Kesehatan Keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan
serupa seperti klien, tidak ada yang memiliki riwayat asma, dan gatal-gatal
berulang pada kulit.

Page | 42
3. Pengkajian Fisik
a. Pemeriksaan Fisik
BB klien 64 kg dengan tinggi badan 168 cm, keadaan umum sedang, dan
tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
b. Sistem Penglihatan
Posisi mata klien simetris, kelopak mata tampak edema, pergerakan bola
mata normal, konjungtiva anemis, kornea normal, sklera anikterik, dan pupil
isokor.
c. Sistem Pernafasan
Jalan nafas klien bersih, klien merasa sesak nafas, klien bernafas dengan
menggunakan otot bantu pernafasan, frekuensi pernafasan 24x/menit, irama
tidak teratur, kedalaman pernafasan dangkal, batuk (+), tidak ada produksi
sputum, terdapat darah saat klien batuk, suara nafas vesikuler, klien tidak
ada nyeri saat bernafas, dan klien menggunakan oksigen O2 2-4 liter/menit.
d. Sistenm Kardiovaskuler
1) Sirkulasi peripher: nadi klien 112x/menit, irama teratur, denyut nadi
lemah, tekanan darah 80/60 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis
kanan dan kiri, suhu 39,1°C, warna kulit kemerahan, CRT 2 detik,
terdapat edema di ekstremitas atas dan bawah, periorbital, muka, serta
anasarka.
2) Sirkulasi jantung: irama jantung teratur dan tidak ada nyeri dada.
e. Sistem Hematologi
Klien tidak pucat dan tidak ada perdarahan.
f. Sistem Syaraf Pusat
Klien tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat kesadaran compos mentis,
GCS: E4M6V5, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK, rreflek fisiologis
normal, dan reflek patologis tidak ada.
g. Sistem Pencernaan
Klien tidak memiliki karies gigi, klien tidak menggunakan gigi palsu, tidak
ada stomatitis, lidah tidak kotor, salifa normal, muntah tidak ada, tidak ada

Page | 43
nyeri daerah perut, bising usus 8x/menit, klien tidak diare, klien tidak
konstipasi, dan hepar tidak teraba.
h. Sistem Integumen
Turgor kulit klien tidak elastis, suhu kulit hangat, warna kulit kemerahan,
kulit klien terdapat lesi, gatal-gatal, klien tidak memiliki kelainan kulit, serta
keadaan tekstur rambut baik dan bersih.
4. Penatalaksanaan
a. Terapi saat masuk ruang perawatan:
1) Codein 3x10 mg.
2) Paracetamol 3x500 mg.
3) Asam tranexamat 3x500 mg IV.
4) Ceftazidine 3x1 g IV.
5) Cotrimoxasole 1x960 mg.
6) Ambroxol 3xC1.
7) OAT kategori I dilanjutkan.
b. Terapi setelah digantikan:
1) Oksigen 2-4 lpm.
2) IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit.
3) Adrenalin 0,3 cc IM.
4) Diphenhydramine 1x10 mg IV (diberikan setelah pasien stabil).
5) Methylprednisolone 2x62,5 mg IV.
6) Stop obat-obat yang dicurigai (Codein, Paracetamol, Asam tranexamat,
Ceftazidine, Ciprofloxacin, Ambroxol, Cotrimoxasol, dan OAT).
7) Kompres hangat

Page | 44
ANALISA DATA
No Data Problem Etiologi
1 Data Subjektif:
a. Klien mengeluh demam sejak 5 hari Hipertermia Sepsis
berturut-turut, mengganggu aktivitas
sehari-hari, dan menyebabkan nafsu
makan menurun.
b. Klien mengatakan setelah minum obat
penurun panas akan membaik namun
demam muncul kembali beberapa jam
kemudian.
Data Objektif:
a. Suhu klien 39,1°C.
b. Kulit klien tampak kemerahan.
2 Data Subjektif:
a. Setelah pemberian obat-obat di ruang Ketidakefektifan Keletihan Otot
perawatan, ± 30 menit kemudian klien Pola Napas Pernafasan
mengeluh napas terasa sesak.
b. Klien mengatakan sesak dirasakan
timbul secara tiba-tiba seperti sulit untuk
mengambil napas dan tidak membaik
dengan perubahan posisi.
Data Objektif:
a. Tanda-Tanda Vital:
TD = 80/60 mmHg
Nadi = 112x/menit, lemah, dan regular
RR = 24x/menit
b. Klien bernafas dengan menggunakan
otot bantu pernafasan.
c. Irama nafas tidak teratur.
d. Kedalaman pernafasan dangkal.
e. Suara nafas vesikuler.
f. Klien sempat tidak mengenali
penunggunya untuk beberapa saat.
3 Data Subjektif:
a. Klien juga mengeluh timbul kemerahan Kerusakan Integritas Imunodefisiensi
pada wajah dan tangan, bengkak dan Kulit
kemerahan di kedua mata dan bibir, serta
sensasi seperti terbakar pada bibir.
b. Klien mengeluh gatal dan kemerahan
pada seluruh tubuh dan tidak berkurang
dengan garukan.

Page | 45
c. 40 menit setelah obat masuk, klien
mengatakan timbul kemerahan pada
seluruh tubuh, mual, dan tidak enak pada
tenggorokan.
Data Objektif:
a. Klien sempat tidak mengenali
penunggunya untuk beberapa saat.
b. Kulit tampak eritema berbatas tidak tegas
pada seluruh tubuh.
c. Turgor kulit tidak elastis.
d. Kulit klien terdapat lesi.
4 Data Subjektif:
a. Klien mengeluh batuk darah 1x sebanyak Risiko Infeksi -
± 200cc.
b. Klien mengatakan memiliki riwayat
penyakit HIV stadium IV yang diketahui
sejak ± 5 bulan yang lalu.
c. Klien juga mengatakan memiliki riwayat
penyakit TB paru yang diketahui ± 2
bulan yang lalu.
d. Klien mengatakan tidak rutin meminum
obat dan jarang kontrol.
e. Keluarga klien mengatakan klien
memiliki riwayat OAT kategori I selama
1 minggu SMRS.
Data Objektif:
Klien didiagnosa Hemoptisis ec Susp TB paru
+ infeksi sekunder (Pneumonia/HCAP) +
HIV Stadium IV.

5. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan.
b. Hipertermia berhubungan dengan sepsis.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi.
d. Risiko infeksi.

Page | 46
6. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa I: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan masalah ketidakefektifan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
Domain II: Kesehatan Fisiologi
Kelas E: Jantung Paru
1) Outcomes: (0414) Status Jantung Paru
a) Tekanan darah sistol dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
b) Tekanan darah diastol dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
c) Irama pernafasan dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran normal)
ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
d) Kedalaman inspirasi dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
e) Saturasi oksigen dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran normal)
ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
f) Intoleransi aktifitas dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
g) Wajah kemerahan dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
2) Outcomes: (0415) Status Pernapasan
a) Frekuensi pernafasan dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
b) Kepatenan jalan nafas dari 2 (deviasi yang cukup berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
c) Penggunaan otot bantu nafas dari 2 (berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
d) Retraksi dinding dada dari 2 (berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
e) Gangguan kesadaran dari 2 (berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
f) Demam dari 2 (berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).

Page | 47
g) Batuk dari 2 (berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
3) Outcomes: (0417) Keparahan Syok: Anafilaksis
a) Penurunan tekanan darah sistolik dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke
4 (ringan).
b) Penurunan tekanan darah diastolik dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke
4 (ringan).
c) Sesak nafas dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
d) Akral hangat, kulit kemerahan dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4
(ringan).
e) Edema bibir, kelopak mata, lidah dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke
4 (ringan).
f) Edema pada tangan dan kaki dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4
(ringan).
g) Penurunan tingkat kesadaran dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4
(ringan).
Intervensi Keperawatan:
Domain 2: Fisiologis: Kompleks
Kelas K: Manajemen Pernafasan
1) Outcomes: (6412) Manajemen Anafilaksis
Identifikasi sumber alergi yang membuat klien alergi, berikan cairan
epinefrin 1:1000 melalui sub kutan dengan dosis sesuai usia, berikan
posisi yang nyaman, pertahankan kepatenan jalan nafas, berikan oksigen
konsentrasi tinggi 10-15 liter/menit, monitor tanda-tanda vital, monitor
tanda-tanda syok, berikan cairan IV secara cepat (1000 ml/jam) untuk
mempertahankan tekanan darah sesuai dengan instruksi dokter, berikan
obat-obatan spasmolitik, antihistamin atau kortikosteroid sesuai dengan
keadaan pasien, monitor kekambuhan reaksi anafilaktik selama 24 jam,
serta intruksikan klien dan keluarga untuk mencegah terjadinya reaksi
anafilaktif di kemudian hari.

Page | 48
2) Outcomes: (3320) Terapi Oksigen
Monitor aliran oksigen, monitor efektifitas terapi oksigen dengan tepat,
monitor kemampuan pasien untuk mentolerir pengangkatan oksigen
ketika makan, ubah perangkat pemebrian oksigen dari masker ke kanul
nasal saat makan, monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa
alat tersebut tidak mengganggu upaya pasien untuk bernafas, monitor
kecemasan pasien yang berkaitan dengan kebutuhan mendapatkan terapi
oksigen, dan monitor kerusakan kulit terhadap adanya gesekan perangkat
oksigen.
3) Outcomes: (3350) Monitor Pernapasan
Monitor pola nafas, catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu nafas, dan retraksi supraclavicular dan intercostal,
auskultasi suara nafas, catat onset, karakteristik, dan lamanya batuk,
monitor keluhan sesak nafas pasien, posisikan pasien miring ke samping
untuk mencegah aspirasi, serta monitor hasil foto toraks.

b. Diagnosa II: Hipertermia berhubungan dengan sepsis.


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan masalah hipertermi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
Domain II: Kesehatan Fisiologi
Kelas I: Pengaturan Regulasi Metabolik
Outcomes: (0800) Termoregulasi
1) Tingkat pernafasan dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).
2) Peningkatan suhu kulit dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
3) Perubahan warna kulit dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).

Page | 49
Intervensi Keperawatan:
Domain 2: Fisiologis: Kompleks
Kelas M: Termoregulasi
1) Outcomes: (3786) Perawatan Hipertermia
Monitor tanda-tanda vital, berikan oksigen 2-4 liter/menit, longgarkan
atau lepaskan pakaian, berikan kompres hangat sesuai kebutuhan, berikan
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, monitor suhu tubuh menngunakan
termometer, lakukan pemeriksaan laboratorium dan monitor hasilnya,
monitor output urine, monitor AGD, serta monitor hasil EKG.
2) Outcomes: (3900) Pengaturan Suhu
Monitor suhu setiap 2 jam, monitor tekanan darah, monitor suhu dan
warna kulit, tingkatkan intake cairan dan nutrisi yang adekuat, sesuaikan
suhu lingkungan untuk kebutuhan klien, serta berikan pengobatan
antipiretik.

c. Diagnosa III: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


imunodefisiensi.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan masalah kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
Domain II: Kesehatan Fisiologi
Kelas L: Integritas Jaringan
Outcomes: (1101) Integritas Jaringan: Kulit dan Membran Mukosa
1) Suhu kulit dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).
2) Elastisitas dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).
3) Integritas kulit dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).

Page | 50
4) Lesi pada kulit dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 5 (tidak ada).
5) Eritema dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 5 (tidak ada).
Intervensi Keperawatan:
Domain 2: Fisiologis: Kompleks
Kelas L: Mamajemen Kulit/Luka
1) Outcomes: (3550) Manajemen Pruritus
Tentukan penyebab dari terjadinya pruritus, lakukan pemeriksaan fisik
untuk mengidentifikasi terjadinya kerusakan kulit, pasang balutan pada
daerah yang gatal ketika pasien tidur untuk membatasi gerakan
menggaruk yang tidak terkontrol sesuai dengan kebutuhan, berikan
antipuritik sesuai dengan indikasi, berikan kompres dingin untuk
meringankan iritasi, instruksikan pasien untuk mempertahankan potongan
kuku dalam keadaan pendek, instruksikan pasien mandi dengan air hangat
dan tepuk-tepuk area kulit yang kering, dan instruksikan pasien untuk
menggunakan telapak tangan ketika menggosok area kulit yang luas atau
cubit kulit dengan lembut untuk mengurangi rasa gatal.
2) Outcomes: (3590) Pengecekan Kulit
Periksa kulit terkait dengan adanya kemerahan, amati warna, kehangatan,
dan edema pada ekstremitas, monitor warna dan suhu kulit, monitor kulit
untuk adanya ruam dan lecet, monitor infeksi terutama dari daerah edema,
dan dokumentasikan perubahan membrane mukosa.

d. Diagnosa IV: Risiko infeksi.


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan masalah risiko infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
Domain II: Kesehatan Fisiologi
Kelas H: Respon Imun
a) Outcomes: (0702) Status Imunitas
1) Suhu tubuh dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).

Page | 51
2) Integritas kulit dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).
3) Titer antibody dari 2 (banyak terganggu) ditingkatkan ke 4 (sedikit
terganggu).
4) Reaksi uji kulit terhadap paparan dari 2 (banyak terganggu)
ditingkatkan ke 4 (sedikit terganggu).
b) Outcomes: (0703) Keparahan Infeksi
1) Kemerahan dari 3 (sedang) ditingkatkan ke 5 (tidak ada).
2) Demam dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
3) Ketidakstabilan suhu dari 2 (cukup berat) ditingkatkan ke 4 (ringan).
4) Hilang nafsu makan 3 (sedang) ditingkatkan ke 4 (ringan).
Intervensi Keperawatan:
Domain 4: Keamanan
Kelas V: Manajaemen Risiko
Outcomes: (6540) Kontrol Infeksi
Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk setiap pasien,
ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protocol institusi, isolasi orang
terkena penyakit menular, batasi jumlah pengunjung, anjurkan pasien
mengenai teknik mencuci tangan dengan tepat, anjurkan pengunjung untuk
mencuci tangan pada saat memasuki dan meninggalkan ruangan pasien, cuci
tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien, dorong batuk dan
bernafas dalam yang tepat, tingkatkan intake cairan dan nutrisi sesuai
kebutuhan, dorong untuk beristirahat, serta berikan terapi antibiotik yang
sesuai.

Page | 52
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Pada kasus didapatkan data bahwa Tn. P adalah seorang laki-laki berusia 24
tahun. Hal ini sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa pada tahun 2009,
secara global jumlah klien yang hidup dengan HIV sebanyak 33,3 juta dan 30,8
juta diantaranya berusia lebih dari 15 tahun (UNAIDS, 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan HIV/AIDS
pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu stadium I, stadium II, stadium
III, dan stadium IV. Pada umumnya pada HIV stadium IV memiliki tanda dan
gejala seperti kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%, semakin
bertambahnya infeksi oportunistik seperti pneumonia pneumocystis carinii, serta
tuberkulosis paru. Hal ini sesuai dengan data yang terdapat pada kasus bahwa 1
hari SMRS, klien mengeluh batuk darah 1 kali sebanyak ± 200 cc, demam sejak 5
hari berturut-turut, mengganggu aktivitas sehari-hari, dan menyebabkan nafsu
makan menurun. Kemudian klien dibawa ke IGD RS dan didiagnosis Hemoptisis
ec Susp TB paru + infeksi sekunder (Pneumonia/HCAP) + HIV Stadium IV. Klien
memiliki riwayat penyakit HIV stadium IV yang diketahui sejak ± 5 bulan yang
lalu.
Pada kasus didapatkan data bahwa pada 1 hari SMRS, klien mengeluh batuk
darah 1 kali sebanyak ± 200 cc, demam sejak 5 hari berturut-turut, mengganggu
aktivitas sehari-hari, dan menyebabkan nafsu makan menurun. Hal ini sesuai
dengan literatue bahwa menurut Ermawan (2018), manisfestasi klinis HIV/AIDS
salah satunya disebabkan karena infeksi. Infeksi serius yang dialami penderita
AIDS adalah klien yang didiagnosis pneumonia pneumocystis carinii. Infeksi ini
mengalami beberapa gejala mulai dari demam, intoleransi olahraga, merasakan
sesak napas yang berkembang secara bertahap, batuk kering non produktif, dan
sering juga disertai badan terasa lemas.
Pada kasus didapatkan data bahwa klien dibawa ke IGD RS dan didiagnosis
Hemoptisis ec Susp TB paru + infeksi sekunder (Pneumonia/HCAP) + HIV

Page | 53
Stadium IV. Klien juga mengatakan memiliki riwayat penyakit TB paru yang
diketahui ± 2 bulan yang lalu. Klien tidak rutin meminum obat dan jarang kontrol.
Keluarga klien mengatakan klien memiliki riwayat OAT kategori I selama 1
minggu SMRS. Hal ini sesuai dengan literature bahwa menurut Ermawan (2018),
infeksi HIV memperlemah sistem kekebalan tubuh, sehingga membuatnya sangat
rentan terhadap banyak infeksi dan jenis kanker tertentu. Ada berbagai komplikasi
yang dapat ditimbulkan pada klien dengan HIV antara lain tuberkulosis. Di
negara-negara berkembang, TB adalah infeksi oportunistik yang paling umum
yang terkait dengan HIV dan penyebab utama kematian di antara orang-orang
dengan AIDS.
Pada kasus didapatkan data bahwa klien dipindahkan ke ruang perawatan seruni
kelas 2 dan diberikan obat Codein 3x10 mg, Paracetamol 3x500 mg, Asam
tranexamat 3x500 mg IV, Ceftazidine 3x1 g IV, Cotrimoxasole 1x960 mg,
Ambroxol 3xC1, dan OAT kategori I dilanjutkan. Setelah pemberian obat-obat
tersebut di ruang perawatan, ± 30 menit kemudian klien mengeluh napas terasa
sesak, sesak dirasakan timbul secara tiba-tiba seperti sulit untuk mengambil napas
dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Pada 40 menit setelah obat masuk,
timbul kemerahan pada seluruh tubuh, mual, dan tidak enak pada tenggorokan. Hal
ini sesuai dengan literature bahwa banyak medikasi terimplikasi anafilaksis. Obat-
obatan yang paling sering dilaporkan adalah antibiotik (misalnya penisilin), agens
radiokontras, anestetik IV, aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) lain,
dan opioid (Yulianti, 2011). Reaksi anafilaksis ini terjadi secara tiba-tiba, berat,
dan melibatkan seluruh tubuh (Pearce C, 2009).
Pada kasus didapatkan data yaitu setelah pemberian obat-obat tersebut di ruang
perawatan, ± 30 menit kemudian klien mengeluh napas terasa sesak, sesak
dirasakan timbul secara tiba-tiba. Klien juga mengeluh timbul kemerahan pada
wajah dan tangan, bengkak dan kemerahan di kedua mata dan bibir, sensasi seperti
terbakar pada bibir, serta gatal. Pada 40 menit setelah obat masuk, timbul
kemerahan pada seluruh tubuh, mual, dan tidak enak pada tenggorokan. Keluarga
klien mengatakan klien sempat tidak mengenali penunggunya untuk beberapa saat.

Page | 54
Hal ini sesuai dengan literature bahwa menurut Yulianti (2011), reaksi anafilaskis
menimbulkan sindrom klinis yang memengaruhi sejumlah sistem organ. Reaksi
dapat dikategorikan sebagai reaksi ringan, sedang atau berat. Manifestasi klinis
yang disebabkan reaksi anafilaksis diantaranya adalah sensasi hangat, rasa penuh
di mulut dan tenggorokan, bengkak di area periorbital, gatal-gatal, dan batuk. Pada
reaksi sistemik berat, awitan muncul secara tiba-tiba berlanjut dengan cepat
menjadi sesak nafas berat, rasa tidak enak di tenggorokan, dan hipotensi (tekanan
darah sistolik <90 mmHg pada dewasa). Selanjutnya, pasien dapat mengalami
penurunan kesadaran. Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi
hipersensitifitas akut dan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran
klinis anafilaksis.
Pada kasus didapatkan data bahwa klien mendapatkan terapi oksigen 2-4 lpm,
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Adrenalin 0,3 cc IM, Diphenhydramine 1x10 mg
IV (diberikan setelah pasien stabil), dan Methylprednisolone 2x62,5 mg IV. Hal
ini sesuai dengan literature menurut Anggaraini (2015), penatalaksanaan
anafilaktik yang dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan seperti adrenalin
yang merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaktik. Obat ini
berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah,
melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Pemberian
adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok
anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler.
Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai
tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan. Obat yang diberikan dapat juga
sebagai antihistamin yang berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator
dengan cara menghambat pada tempat reseptor mediator tetapi bukan merupakan
obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaktik berat antihistamin dapat

Page | 55
diberikan intravena. Antihistamin yang dapat diberikan adalah dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.
Selain pemberian adrenalin dan antihistamin, penatalaksaaan berupa obat
kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan respon peradangan.
Kortikosteroid digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek
episode anafilaktik atau mencegah anafilaktik berulang. Metilprednisolon 125 mg
intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil yang biasanya
tercapai setelah 12 jam. Terapi cairan juga sangat berperan dalam penatalaksaaan
anafilaktik. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian
cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi
asidosis laktat.
Observasi merupakan salah satu penatalaksaan pada anafilaktik. Dalam keadaan
gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah
sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Posisi waktu dibawa harus tetap
dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi
dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi
membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan
umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,
elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan
cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan
cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark
miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah
mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.

Page | 56
B. Diagnosa Keperawatan
Kelompok mengambil diagnosa keperawatan sesuai dengan buku NANDA
Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Pada kasus kelompok mengambil 4 diagnosa, yaitu ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan keletihan otot pernafasan, hipertermia berhubungan dengan
sepsis, kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi, dan risiko
infeksi.
Pada kasus diagnosa yang menjadi prioritas utama yaitu ketidakefektifan pola
nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan. Data subjektif yang
didapatkan yaitu setelah pemberian obat-obat di ruang perawatan, ± 30 menit
kemudian klien mengeluh napas terasa sesak dan klien juga mengatakan sesak
dirasakan timbul secara tiba-tiba seperti sulit untuk mengambil napas dan tidak
membaik dengan perubahan posisi. Sedangkan data objektif yang didapatkan
berupa tanda-tanda vital (TD = 80/60 mmHg, Nadi = 112x/menit, lemah, dan
regular, dan RR = 24x/menit), klien bernafas dengan menggunakan otot bantu
pernafasan, Irama nafas tidak teratur, kedalaman pernafasan dangkal, suara nafas
vesikuler, serta klien sempat tidak mengenali penunggunya untuk beberapa saat.
Hal ini sesuai literature yang menyebutkan bahwa dalam asuhan keperawatan HIV
dan anafilaktik terdapat diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
dyspnea dan spasme otot bronkeolus.
Pada kasus yang menjadi diagnosa ke-2 yaitu hipertermia berhubungan dengan
sepsis. Data subjektif yang didapatkan yaitu klien mengeluh demam sejak 5 hari
berturut-turut, mengganggu aktivitas sehari-hari, dan menyebabkan nafsu makan
menurun serta klien mengatakan setelah minum obat penurun panas akan membaik
namun demam muncul kembali beberapa jam kemudian. Sedangkan data objektif
yang didapatkan yaitu suhu klien 39,1°C dan kulit klien tampak kemerahan. Hal
ini tidak sesuai dengan literature karena pada diagnosa keperawatan HIV dan
anafilaktik tidak mengangkat diagnosa hipertemi. Menurut Ermawan (2018),
manisfestasi klinis HIV/AIDS salah satunya disebabkan karena infeksi. Infeksi ini
mengalami beberapa gejala mulai dari demam, intoleransi olahraga, merasakan

Page | 57
sesak napas yang berkembang secara bertahap, batuk kering non produktif, dan
sering juga disertai badan terasa lemas.
Pada kasus diagnosa yang menjadi diagnosa ke-3 yaitu kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan imunodefisiensi. Data subjektif yang didapatkan yaitu
klien mengeluh timbul kemerahan pada wajah dan tangan, bengkak dan
kemerahan di kedua mata dan bibir, serta sensasi seperti terbakar pada bibir, klien
mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuh dan tidak berkurang dengan
garukan, pada ± 40 menit setelah obat masuk, klien mengatakan timbul kemerahan
pada seluruh tubuh, mual, dan tidak enak pada tenggorokan. Sedangkan data
objektif yang didapatkan yaitu klien sempat tidak mengenali penunggunya untuk
beberapa saat, kulit tampak eritema berbatas tidak tegas pada seluruh tubuh, turgor
kulit tidak elastis, dan kulit klien terdapat lesi. Hal ini sesuai literature yang
menyebutkan bahwa dalam asuhan keperawatan HIV dan anafilaktik terdapat
diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya ruam, vesikula,
kulit kering, pecah-pecah, serta peningkatan produksi histamine dan bradikinin
oleh sel mast.
Pada kasus diagnosa yang menjadi diagnosa ke-4 yaitu risiko infeksi. Data
subjektif yang didapatkan yaitu klien mengeluh batuk darah 1x sebanyak ± 200cc,
klien mengatakan memiliki riwayat penyakit HIV stadium IV yang diketahui sejak
± 5 bulan yang lalu dan penyakit TB paru yang diketahui ± 2 bulan yang lalu,
klien mengatakan tidak rutin meminum obat dan jarang control, serta keluarga
klien mengatakan klien memiliki riwayat OAT kategori I selama 1 minggu SMRS.
Sedangkan data objektif yang didapatkan yaitu klien didiagnosa Hemoptisis ec
Susp TB paru + infeksi sekunder (Pneumonia/HCAP) + HIV Stadium IV. Hal ini
sesuai literature yang menyebutkan bahwa dalam asuhan keperawatan HIV dan
anafilaktik terdapat diagnosa risiko infeksi berhubungan dengan invasif bakteri.
Pada kasus kelompok tidak mengangkat diagnosa kekurangan volume cairan
berhubungan dengan diare dan peningkatan kapasitas vaskuler, ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan,

Page | 58
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, dan kelelahan umum, serta gangguan perfusi jaringan berhubungan
dengan penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri. Hal ini dikarenakan data
yang didapatkan pada kasus tidak mendukung sehingga tidak dapat memperkuat
alasan kelompok untuk mengambil diagnosa tersebut.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang kelompok ambil sesuai dengan literature, karena
kelompok membuat intervensi keperawatan berdasarkan buku Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Ke-6. Hanya saja kelompok memilih
intervensi yang tepat dan sesuai pada kasus Tn. P diatas.

Page | 59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah tercapainya
tujuan penulisan makalah berdasarkan kasus simulasi yang terjadi. Mahasiswa
diharapkan mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi dan imun: HIV dengan syok anafilaktik. Melakukan
pengkajian dengan membuat analisa data yang terdiri dari data subjektif dan data
objektif, menentukan diagnosa keperawatan, dan membuat intervensi keperawatan
yang akan dilakukan pada klien dengan HIV dengan syok anafilaktik.

B. Saran
Kendala yang kelompok dapatkan pada saat penyusunan makalah ini yaitu pada
kasus tidak terdapat data penunjang klien, kelompok sulit menemukan jurnal untuk
klien HIV dengan syok anakfilaksis, dan kesulitan menemukan jumlah data klien
dengan HIV dan syok anafilaksis di Indonesia sehingga kelompok mengalami
kesulitan untuk menetapkan data yang dikumpulkan. Sebaiknya diberikan data
yang dapat menunjang kasus tersebut sehingga kelompok lebih mudah untuk
melakukan pembahasan dengan jurnal terkait.
Oleh karena itu, dengan adanya makalah ini semoga dapat digunakan sebagai
pedoman bagi pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan secara profesional. Selain itu, pembaca diharapkan
dapat mengaplikasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk
menghindari penyakit HIV dengan syok anafilaksis ini.

Page | 60
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Ke-
6. Singapore: Elsevier Inc.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing
HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Jakarta:
Depkes RI.
Ditjen PP dan PL Depkes. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Herdman, T. Heather. 2015. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan
Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2009. Situasi HIV dan AIDS di
Indonesia. Jakarta: KPA Nasional.
Kumalasari, dkk. 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Ke-5.
Singapore: Elsevier Inc.
Notoatmodjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta.
UNAIDS. 2010. Fast Facts About HIV Treatment. Switzerland: Geneva.

Page | 61

Anda mungkin juga menyukai