Atresia Ani
Atresia Ani
OLEH
DEDDY YULIANSYAH, S.KEP.,NS
RESA NOVANA DJAUWARDANI, Amd. Kep
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada anak. Atresia ani
(anus Imperforata) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak berlubang. Atresia berasal dari
bahasa Yunani, yaitu berarti tidak ada, dan trepsis yang artinya nutrisi atau makanan. Menurut
istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan
yang normal (Rizema, Setiatava P, 2012).
Menurut WHO (World Healt Organization) diperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh
kematian bayi di dunia disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Eropa, sekitar 25% kematian
neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Asia Tenggara kejadian kelainan kongenital
mencapai 5% dari jumlah bayi yang lahir, sementara di Indonesia prevalansi kelainan kongenital
mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat salah satu
penyebab kematian bayi adalah kelainan kongenital pada usia 0-6 hari sebesar 1% dan pada
usia 7-28 hari sebesar 19%. (Verawati dkk, 2015).
Angka kejadian atresia ani di dunia adalah 1:5.000 kelahiran hidup (Maryunani, Anik
2014). Populasi masyarakat Indonesia sebanyak 200 juta lebih, yang memiliki standar angka
kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir setiap tahun dengan penyakit atresia ani sebanyak
1.400 kelahiran (Haryono, 2012). Di RSPAD khususnya di Ruang IKA 1 penderita Atresia Ani
termasuk 10 peyakit terbanyak 12 berdasarkan data 3 bulan terakhir yaitu bulan Oktober-
Desember 2017 didapatkan jumlah total seluruh pasien yaitu 9 orang (RSPAD, 2017).
Manifestasi klinis pada atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam, gejalanya dapat berupa
perut kembung, muntah, pada mekonium tidak keluar dalam 24 jam, dan tidak bisa buang air
besar. Tanda dan gejala yang membedakan antara penderita laki-laki dan perempuan adalah
terjadinya fistel, pada bayi perempuan sering terjadi fistel rectovaginal. Sedangkan pada bayi
laki-laki sering terjadi fistel rektourinal (Dewi, 2013).
Penatalaksanaan pada jenis kelainan bawaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada
atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada penelitian sebelumnya
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini
banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan
Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan
pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Kolostomi merupakan sebuah lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Lubang kolostomi yang muncul dipermukaan yang berupa
mukosa kemerahan disebut dengan stoma. Kolostomi dapat dibuat secara permanen ataupun
temporer (sementara) yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Murwani, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari hasilnya secara jangka panjang,
meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk serta antisipasi trauma psikis. Komplikasi
yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak
2
kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post 3 operasi yang buruk. Dari berbagai
klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada
tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 – 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP) (atau berat BB > 10 kg). Atresia
ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi
dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus. Bila terdapat fistula
dilakukan cut back incicion. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan
Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi (Faradilla, 2009).
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi Atresia ani
2. Untuk mengetahui etiologi Atresia ani
3. Untuk mengetahui patofisiologi Atresia ani
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik Atresia ani
5. Untuk mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien dengan Atresia ani
6. Untuk mengetahui prosedur pembedahan Colostomi
3
BAB 2
KONSEP TEORI
A. PENGERTIAN
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.
Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2010).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2010).
Gambar 2.1
B. ANATOMI FISIOLOGI
Pencernaan adalah proses pemecahan molekul-molekul zat makanan dari yang lebih besar
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga dapat diserap oleh dinding usus halus.
Proses pencernaan makanan dibantu oleh HCl, garam empedu dan berbagai enzim pencernaan
yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan. Selain kelenjar pencernaan, proses ini juga
memerlukan alat-alat pencernaan.
Gambar 2.2
Berikut dijelaskan proses pencernaan makanan secara berurutan dari mulut hingga usus besar:
1. Mulut
Di dalam rongga mulut, makanan dicerna secara mekanik dan kimiawi. Pencernaan
mekanik dibantu beberapa organ yaitu gigi dan lidah. Gigi berfungsi untuk memotong dan
4
penghalus makanan. Lidah digunakan untuk mengatur letak makanan dalam mulut, sebagai
indra perasa dan mendorong makan masuk ke kerongkongan. Adanya kelenjar ludah di sekitar
mulut dapat membantu pencernaan secara kimiawi. Kelenjar tersebut menghasilkan enzim
ptialin yang berfungsi memecah amilum menjadi disakarida.
2. Kerongkongan (Oesophagus)
Organ ini berfungsi menghubungkan mulut dengan lambung (panjang: sekitar 20 cm).
Selama di kerongkongan makanan tidak mengalami proses pencernaan, karena di
kerongkongan hanya terjadi gerak peristable.
3. Lambung (Gaster)
Lambung berbentuk seperti kantung yang terdiri dari fundus, kardiak dan pilorus. Di
organ ini makanan dicerna secara kimiawi dengan bantuan getah lambung. Sekresi getah
lambung dipacu oleh hormon Gastrin.
4. Usus Halus (Intestin)
Saluran usus halus merupakan saluran terpanjang yang terdiri dari duodenum (usus dua
belas jari), jejunum (usus kosong) dan ileum (usus penyerapan). Dalam usus duodenum
bermuara dua saluran dari pankreas dan hepar. Hepar akan mengirimkan getah empedu ke
duodenum untuk mengemulsikan lemak. Usus halus juga bisa mensekresi enzim antara lain
erepsinogen dan enterokinase. Enterokinase adalah enzim pengaktif, yang dapat mengaktifkan
tripsinogen menjadi tripsin dan erepsinogen menjadi erepsin.
Hasil pencernaan di usus halus akan diserap oleh jonjot usus (villi) yang ada di illeum
dan kemudian diedarkan ke seluruh tubuh. Sebelum beredar, sari makanan dialirkan dulu ke
hepar melalui vena porta hepatica. Khusus untuk lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
tidak diangkut melalui darah tapi melalui pembuluh getah bening.
5. Usus Besar (Colon)
Di dalam colon tidak ada lagi proses pencernaan. Dengan adanya Escherichia coli, sisa
pencernaan akan dibusukkan dan diperoleh vitamin K dari proses tersebut. Fungsi utama
colon adalah mengatur keadaan air sisa makanan.
6. Rektum
Rektum ini merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, panjangnya 12 cm, dimulai dari pertengahan sakrum sampai kanalis anus.
Rektum terletak dalam rongga pelvis didepan os sarkum dan os koksigis.
Rektum terdiri atas dua bagian yaitu :
a. Rektum propia : bagian yang melebar disisa sebut ampula rekti, jika terisi makanan
akan timbul hasrat defekasi
b. Rektum analis rekti : sebelah bawah ditutupi oleh serat-serat otot polos (muskulus
spingter ani internus dan muskulus sfingter ani eksternus). Kedua otot ini berfungsi
pada waktu defekasi. Tunika mukosa rektum mengandung pembuluh darah, jaringan
mukosa dan jaringan otot yang membentuk lipatan disebut kolumna rektalis. Bagian
bawah terdapat vene rektalis (hemoroidalis
superior dan inferior) yang sering mengalami pelebaran atau varises yang disebut wasir
(ambeyen).
7. Anus
5
Anus merupakan saluran pencernaan yag berhubungan dengan dunia luar terletak didasar
pelvis, dindingnya diperkuat oleh spingter ani yang terdiri atas :
a. Spingter ani internus : terletak disebelah dalam bekerja tidak menurut kehendak
b. Spingter lefatomi : bagian tengaah bekerja tidak menurut kehendak
c. Spingter ani eksternus : sebelah luar bekerja menurut kehendak
Defekasi adalah hasil refleks. Apabila bahan feses masuk kedalam rektum, dinding rektum
akan meregang menimbulkan impuls aferens disalurkan melalui pleksus mesentrikus sehingga
menimbulkan gelombang peristaltik pada kolon desenden dan kolon sigmoid yang akan
mendorong feses ke arah anus. Apabila gelombang peristaltiik sampai di anus, spfingter ani
internus akan menghambat feses sementara dan sfingter ani eksternus melemas sehingga terjadi
defekasii.
C. ETIOLOGI
1. Secara pasti belum diketahui
2. Merupakan anomali gastrointestinal dan genitourynari
Namun ada sumber yang mengatakan kelainan anus bawaan disebabkan oleh:
3. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
4. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.
5. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
6. Kelainan bawaan , dimana sfingter internal mungkin tidak memadai. (Betz. Ed 7. 2012)
D. PATOFISIOLOGI
Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses perkembangan
embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam perkembangan
selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi
genitor urinary dan struktur anoretal.
Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon antara 7-
10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena abnormalitas pada
daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus imperforate ini terjadi karena
tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat
dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya 'fistula. Obstuksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya Apabila
urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi
berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki- laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika
6
urinaria atau ke prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke urethra
(rektourethralis). (Mediana,2011)
7
E. PATHWAY
Faktor kongenital dan faktor lain
Yang tidak diketahui / Idiopatik
ATRESIA ANI
G. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung. ( Amin Huda & hardhi Kusuma, 2015 )
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien dengan atresia ani menurut Aziz Alimul Hidayat (2010), Suriadi
dan Rita Yuliani ( 2011 ), Fitri Purwanto ( 2009 ) adalah sebagai berikut :
1. Penatalaksanaan Medis
a. Therapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek.
Untuk anomaly tinggi dilakukan colostomi beberapa hari setelah lahir, bedah
definitifnya yaitu anoplasti perineal ( prosedur penarikan perineum abdominal ). Untuk
9
lesi rendah diatasi dengan menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada
kulit anal, fistula bila ada harus ditutup. Defek membranosa memerlukan tindakan
pembedahan yang minimal yaitu membran tersebut dilubangi dengan hemostat atau
scalpel.
b. Pemberian cairan parenteral seperti KAEN 3B
c. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah infeksi pada
pasca operasi.
d. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Monitor status hidrasi ( keseimbangan cairan tubuh intake dan output ) dan ukur TTV
tiap 3 jam
b. Lakukan monitor status gizi seperti timbang berat badan, turgor kulit, bising usus,
jumlah asupan parental dan enteral.
c. Lakukan perawatan colostomy, ganti colostomybag bila ada produksi, jaga kulit tetap
kering.
d. Atur posisi tidur bayi kearah letak colostomy.
e. Berikan penjelasan pada keluarga tentang perawatan colostomy dengan cara
membersihkan dengan kapas air hangat kemudian keringkan dan daerah sekitar
ostoma diberi zing zalf, colostomybag diganti segera setiap ada produksi.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untukmemperkuat diagnosis seringdiperlukanpemeriksaanpenunjangsebagaiberikut :
1. Pemeriksaan radiologist
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rectum darisfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgen ogran abdomen dan pelvis
Juga bias digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktusurinarius. (Betz. Ed 7. 2012)
10
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1. Obstruksi
2. Perforasi
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang.
a. Eversi mukosa anal
b. Stenosis
5. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6. Inkontinensia (akibat stenosis awal )
7. Prolaps mukosa anorektal.
8. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
9. Sepsis. (Wong, Whaley.2011)
11
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA ANI
A. PENGKAJIAN
1. Biodata klien
Nama : an. Elsa davina
TTL : jember, 29-03-2019
No. Reg : 274566
TTV :
Nadi : 98 x/menit
TD : -
RR : 24x/menit
Suhu : -
2. Riwayat keperawatan
a. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
pasien memiliki kelainan sudah dari lahir adanya fistula dibagian anus
b. Riwayat kesehatan masa lalu
3. Riwayat tumbuh kembang
a. BB lahir : 2,7 kg
b. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami
trauma saat sakit
c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal
d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
4. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi terjadi pada pasien dengan atresia ani post
kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak
dari anestesi.
5. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan
dari bahan – bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada
atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan
dalam defekasi
6. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
7. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan
ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
8. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi (post
op).
9. Konsep Diri dan Persepsi Diri
12
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi
perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi
10. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola
biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
11. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
12. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi, Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi,
masalah keuangan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2. Post Operasi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan insisi pembedahan.
b. Gangguan eliminasi Alvi berhubungan dengan penumpukan feses.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan persepsi nyeri post pembedahan
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
e. Body image berhubungan dengan colostomy.
( Amin Huda & hardhi Kusuma, 2015 )
13
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa INTERVENSI RASIONAL
Keperawatan
Pre Operasi
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan 1. Kaji KU pasien 1. Mengetahuikeadaanumumpasien
tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, 2. Timbangberatbadanpasien 2.Mengantisipasi adanyamalnutrisi
muntah. 3. Catatfrekuensimual, muntahpasien 3. Mengetahui output pasien
4. Catatmasukannutrisipasien 4. Mengetahui input pasien.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5. Berimotivasipasienuntukmeningkatkanasupannutrisi 5. Untukmenambahnutrisipasien
selama 3x24 jam diharapkan pasien tidak terjadi 6. Kolaborasidenganahligizidalampengaturan menu 6. Mengetahuidiit yang dibutuhkan
kekurangan nutrisi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan
2. Turgor pasien baik
3. Pasien tidak mual, muntah
4. Nafsu makan bertambah
2. Deficit volume cairan berhubungan dengan muntah. 1. Monitor intake – output cairan 1. 1. Mengantisipasiadanyadehidrasi.
berlebihan. 2. 2. Monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa, nadi 2. 2.Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor
adekuat) kulit menggambarkan berat ringannya kekurangan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. 3. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV cairan.
selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan volume 4. Pantau TTV 2. 3. Mengetahuikehilangancairanmelaluisuhutubuh
cairanpasienterpenuhi 5. 5. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan. yang tinggi.
4.Mengetahuikeadaanumumpasien.
Kriteria Hasil : 5. Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan
1. Output urin 1-2 ml/kg/jam, cairan klien.
2. Capillary refill 3-5 detik,
3. Turgor kulit baik, membrane mukosa lembab
4. Pengeluaran feses terkontrol
3. Peningkatan suhu tubuh / Hipertermi berhubungan 1. Pantau tanda-tanda vitalterutama suhu 1. Tanda-tanda vital merupakan aluan untuk
dengan proses peradangan, pengeluaran inter 2. air (1500-2000 cc/hari)Beri pasien banyak minum mengetahui keadaan umum pasien terutama suhu
Leukin I. 3. Beri pasien kompres air hangat atau air dingin tubuhnya.
14
4. Beri selimut pendingin 2. Dengan minum banyak air diharapkan cairan yang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5. Pantau suhu lingkungan hilang dapat diganti.
selama 3 jam diharapkan suhu tubuh tidak panas lagi 6. Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik dan antibiotik 3. Dengan kompres akan terjadi perpindahan panas
secara konduksi dan kompres hangat akan
Kriteria Hasil : mendilatasi pembuluh darah.
0
1. Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5-37,5 C) 4. Untuk mengurangi demam umumnya lebih besar
2. Nadi dan RR dalam rentang normal dari 39,5-400C dan untuk mengurangi respon
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak pusing hipertermi.
5. Suhu ruangan harus dirubah agar dapat membantu
mempertahankan suhu pasien
6. Pemberian oabt antibiotik unuk mencegah infeksi
pemberian obat antipiretik untuk penurunan panas.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan 1. Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansidada. 1. Kecepatan biasanya mencapai kedalaman
sesak, distensi abdomen. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan ototbantu pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal
pernafasan / pelebaran nasal. nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
selama 3x24 jam diharapkan pola nafas kembali efektif. seperti krekels, wheezing. 2. ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalannafas
3. Tinggikan kepala dan bantumengubah posisi. / kegagalan pernafasan.
Kriteria Hasil :
4. Observasi pola batuk dankarakter sekret. 3. duduk tinggi memungkinkan ekspansiparu dan
1. Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih. 5. Dorong/bantu pasien dalamnafas dan latihan batuk. memudahkan pernafasan.
2. TTV dalam batas normal 4. Kongesti alveolarmengakibatkan batuk
3. batuk berkurang, ekspansi paru mengembang. sering/iritasi.
5. meningkatkan/banyaknya sputum dimana
gangguanventilasi dan ditambah ketidak nyaman
upaya bernafas.
4. Kecemasan / ansietasberhubungan dengan kurang 1. 1. Jelaskan dg istilah yg dimengerti tentang anatomi dan 1. 1. Agar orang tua mengerti kondisi klien.
pengetahuan tentang penyakit dan prosedur fisiologi saluran pencernaan normal. 2. 2. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu
perawatan. 2. 2. Gunakan alat, media dan gambar. menurunkan kecemasan.
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi 3. Membantu mengurangi kecemasan klien
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam diharapkan kecemasan orang tua
dapat berkurang.
15
Kriteria Hasil :
1. Pasien tidak lemas
2. Vital sign dalam batas normal
3. Menunjukkan tehnik untuk mengontrol cemas
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas menunjukkan berkurang nya
kecemasan
Post Operasi
1. Nyeri Akut berhubungan dengan insisi 1. 1. Kajitingkatnyeri yang dirasakanpasien. 1. Mengetahuitingkatnyeripadapasien.
pembedahan. 2. 2. Berikanpenjelasanpadapasiententangnyeri yang terjadi. 2. Pasienmampumenerimaapa yang terjadipadapasien.
3. 3. Ajarkanteknikrelaksasi, distraksi. 3.Mengurangi rasa nyeri 4.Agar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. 4. Bantu melakukanlatihanrentanggerak. tidakterjadiimobilitaspadapasien.
selama 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang. 5. 5. Kolaborasipemberiananalgetik 5.Mengurangi rasa nyeripadaluka post operasi.
Kriteria Hasil :
1. Nyeriberkurang
2. Pasienmerasatenang
3. Status lingkungan yang nyaman
4. Mampu mengontrol nyeri
5. Status kenyamanan meningkat
6. Tidakadaperubahantanda vital
2. Gangguan eliminasi alvi berhubungan dengan 1. Kajitingkatnyeri yang dirasakanpasien. 1.Mengetahui pola BAB pasien
penumpukan feses. 2. Ajarkanteknikrelaksasidistraksi. 2. Mengetahui input dan output cairan yang
3. Berikanposisi yang nyamanpadapasien. adadalamtubuhklien
4. Kolaborasipemberianobatsesuaiindikasi. 3.Mengetahui adanyakomplikasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4.Mengurangi rasa sakit
selama 1x24 jam diharapkan
tidakterjadiperubahanpolaeliminasi BAB.
Kriteria Hasil :
16
1. Pasiendapat BAB dengan normal
2. Tidakadaperubahanpadajumlahfeses
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan persepsi 1. Pantau keadaan umum pasien dan TTV. 1. Mengetahui kesadaran, dan kondisi tubuh dalam
nyeri post pembedahan 2. Kaji Pola Tidur.
keadaan normal atau tidak.
3. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Kaji faktor yang menyebabkan gangguan tidur (nyeri, takut, 2. Untuk mengetahui kemudahan dalam tidur.
selama 1 x 24 jam diharapkan pasien dapat istirahat stress, ansietas, imobilitas,gangguan eliminasi sepertisering 3. Untuk mengetahui tingkat kegelisahan.
tidur malam dengan optimal. berkemih,gangguan metabolisme, gangguan 4. Untuk mengidentifikasi penyebab aktual dari
transportasi,lingkungan yang asing, temperature,aktivitas
gangguan tidur.
Kriteria Hasil : yang tidak adekuat).
1. Melaporkan istirahat tidur malam yang optimal. 5. Catat tindakan kemampuan untuk mengurangikegelisahan. 5. Untuk memantau seberapa jauh dapat bersikap
2. Tidak menunjukan perilaku gelisah. 6. Ciptakan suasananyaman, Kurangi atau hilangkan distraksi tenang dan rilex.
3. Wajah tidak pucat dan konjungtiva mata tidak lingkungan dan gangguan tidur. 6. Untuk membantu relaksasi saat tidur.
anemis karena kurang tidur malam. 7.Batasi pengunjung selama periode istirahat yang optimal (mis;
4. Mempertahankan (atau membentuk) pola tidur setelahmakan). 7. Tidur akan sulit dilakukan tanpa relaksasi,
yang memberikan energi yang cukup untuk
menjalani aktivitas sehari-hari.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur 1. 1. Kaji KU pasien 1. Untukmengetahuikeadsaanumumpasien
pembedahan. 2. 2. Observasitanda-tandainfeksi 2.Mengetahui adanyatanda-tandainfeksi
3. Kolaborasipemberianantibiotik 3. Untukmeminimalkanjumlahbakteri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam diharapkan tidak ada tanda-tanda
infeksi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah
timbulnya infeksi
5. Body image berhubungan dengan colostomy. 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien ttg kondisi dan pengobatan. 1. Mengidentifikasi luas masalah dan perlunya
2. Diskusi arti dari perubahan pasien. intervensi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara 2. Beberapa pasien memandang situasi sebagai
selama 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang. normal dan bukan sebagai orang cacat tantangan.
17
3. Menyampaikan harapan bahwa pasien mampu
Kriteria Hasil : untuk mengatur situasi dan membantu untuk
1. Body image positif mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan
2. Mampu mengidentifikasi kekuatan personal hidup.
3. Mempertahankan interaksi sosial.
18
D. Pelaksanaan keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan
melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan
dalam rencana tindakan keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal
di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan
dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami
tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan,
yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2010: 122).
E. Evaluasi keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini adalah
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan kesimpulan
tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan
pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
1. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi
dengan respon segera.
2. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Di samping
itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang
membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
1) Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan kemajuan yang sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara keseluruhan
sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien dapat makan
sendiri tetapi masih merasa mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan kearah kemajuan
sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:
a. Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
b. Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
c. Kecemasan orang tua dapat berkurang.
d. Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
e. Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
f. Tidak terjadi infeksi.
g. Gangguan pola eliminasi teratasi.
19
BAB 4
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Colostomy adalah pemotongan colon pada bagian proximal dan distal lalu dikeluarkan
samapai luar kulit sehingga membentuk stoma.
Stoma adalah lubang buatan pada abdomen untuk mengalirkan urine atau faeces keluar dari
tubuh (sajalnsuhidajat-de jong 2010).
B. Pengertian: suatu tata cara menyiapkan alat untuk operasi colomy dan proses
instrumentasinya.
C. Tujuan
Mengatur alat secara sistematis di meja instrument
Memperlancar handling instrument
Mempertahankan alat-alat instrument selama operasi
D. Persiapan
1. Persiapan pasien
Puasa
Personal Higiene
Informed consert
Persiapan psikologis
2. Persiapan ruangan
Menata ruangan mesin section, mesin cauter, meja operasi, meja instrument, troli
waskom dan meja mayo.
Memberi alas linen dan underpad pada meja operasi.
Menempatkan tempat sampah medis dan tempat sampah non medis.
3. Persiapan alat steril
Meja Mayo
Washing and dressing forcep (desinfeksi Klem) : 1 buah
Towel klem (duk klem) : 5 buah
Dissecting forcep (pinset cirurgis) : 2 buah
Tissue forcep (pinset anatomis) : 2 buah
Scalp blade handle ( handvant mess) no 3 : 1 buah
20
Meja Instrument
Duk kecil : 4 buah
Duk besar : 2 buah
Sarung meja mayo : 1 buah
Schort : 4 buah
Selang suction : 1 buah
Bengkong dan kom : 1 dan 2 buah
Cauter : 1 buah
21
6. Untuk mempersempit area steril dilakukan drapping area operasi. Perawat instrument
memberikan 2 duk besar untuk sisi atas dan bawah, 2 duk kecil untuk sisi kanan dan kiri,
dan berikan 4 duk klem untuk memfikasi.
7. Perawat instrument memasang selang suction dan kabel cauter dan fiksasi dengan
menggunakan duk klem dan kassa.
8. Perawat instrument mendekatkan meja mayo ke dekat pasien.
9. Perawat memberikan kassa basah dan kassa kering untuk membersihkan area operasi dari
bekas povidon iodin 10%.
Time Out ( konfirmasi nama tim operasi, konfirmasi pemberian antibiotik profilaksis,
tindakan darurat diluar standar operasi, estimasi lama operasi, antisipasi kehilangan darah,
perhatian khusus selama pembiusan, sterilitas alat instrument bedah, jumlah instrument,
jumlah kassa, jumlah deppers, jumlah jarum )
10. Operator melakukan marker daerah yang akan di insisi. Perawat instrument memberikan
pinset cirurgis pada operator.
11. Perawat instrument memberikan handvant & mess no. 10 kepada operator. Operator
melakukan insisi kulit, fat dan fasia. Operator melakukan sayatan sedikit pada fasia
kemudia operator melebarkan fasia, perawat instrument memberikan 2 pinset cirurgis dan
gunting kasar sampai terlihat otot.
12. Operator memotong otot dengan menggunakan cauter.
13. Setelah otot terbuka akan tampak peritonium , instrument memberikan double pinset
anatomis dan metzenboum kepada operator untuk membuka peritonium.
14. Setelah peritonium terbuka berikan double pinset anatomis kepada operator untuk
mencari kolon desenden.
15. Kolon desenden dikeluarkan ke dinding abdomen lalu dipasang tegel, dan dilakukan
penjaitan “ spur “ 3 – 4 jahitan. Berikan operator nalfoeder, pinset anatomis dan benang
mersilk 3.0
16. Kemudian kolon dijahit ke peritonium, fasia dan kulit. Berikan operator nalfoeder, pinset
cirurgis dan benang mersilk 3.0
17. Bila masih terdapat bekas insisi yang lebar, jahit peritonium, fasia, fat dengan vikryl 2.0
atau 3.0 lapis demi lapis, dan nylon 3.0 untuk lapisan kulit.
18. Kolon kemudian dibuka tranversal menggunakan cauter.
19. Setelah stoma terbentuk, berikan kassa povidon iodin 10% untuk membersihkan mukosa
kolon dari feses
Sign Out ( hitung jumlah kassa dan jumlah alat, kesesuaian jenis tindakan ) dengan
mencocokkan jenis tindakan, kecocokan alat, bahan habis pakai yang digunakan, serta
perhatian khusus pada pasien setelah tindakan.
20. Pembuatan stoma selesai, berikan operator kassa basah dan kassa kering untuk
membersihkan sisi stoma.
21. Tutup tepi stoma dengan menggunakan sufratule dan kassa, kemudian pasang colostomy
bag.
22. Operasi selesai.
23. Pasien dibersihkan dan alat dirapikan.
22
BAB 5
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley, 1996). Etiologi secara pasti atresia ani masih belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Secara fungsional , atresia ani dibagi
menjadi 2 yaitu tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar
tinja. Untuk memperkuat diagnostik sering dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan sinar X terhadap abdomen, Ultrasound abdomen, CT Scan dan pmeriksaan
fisik rektum . Penatalaksaan medis yang sering dilakukan pada pasien atresia ani yaitu
pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut Colostomi
sementara
B. SARAN
Sebagai seorang perawat profesional, maka seharusnya kita bisa melakukan
pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir terutama pada anggota badan yang rentan
mengalami kelainan kongenital seperti anus. Hal yang harus dilakukan colok dubur untuk
mengetahui apakah bayi mempunyai anus atau tidak. Untuk bayi yang mengalami atresia
ani sebaiknya berkolaborasi dengan tim medis melakukan perawatan bayinya.
Dengan memahami pembahasan tindakan Colostomi kita dapat memberikan asuhan
keperawatan yang benar dan berfikir kritis dalam menghadapi kasus Atresia Ani. Dan bagi
Instansi Rumah Sakit diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan perioperatif
yang optimal bagi klien.
23
DAFTAR PUSTAKA
Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Nanda NIC-NOC. Jogjakarta : Penerbit
Mediaction
Brunner & Suddart. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Hidayat,Agung . 2009. http//Askep Atresia Ani Pada Anak « Hidayat2's Blog.com yang diakses
pada tanggal 12 April 2016 pada pukul 15.20
Hidayat, A. Azis Alimul . (2010) . Pengantar Ilmu Anak buku 2. Editor Dr Dripa Sjabana
Mutaqin Arif & Sari Kumala. 2013. Asuhan Keperawatan Perioperatif, Konsep, Proses Aplikasi.
Jakarta : Salemba Medika
Sjalnsuhidajat-de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta : EGC
Suriadi & Rita Yuliani, 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak edisi 2. Jakarta : Penebar
swadaya.
24
Wong, Donna L. 2011. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Monica Ester (Alih Bahasa). Sri
Kurnianianingsih (ed),. edisi ke-4. Jakarta : EGC.
25