Anda di halaman 1dari 24

“KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

DALAM PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN STUDI KASUS,


DAS WAE ELA NEGERI NEGERI LIMA KECAMATAN LEIHITU”

PROPOSAL

Oleh :

ARI ASNAN SOUMENA


2016-74-022

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH & KOTA


JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Proposal penelitian yang berjudul “Kajian Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (Das) Dalam Pengendalian Banjir Dan Kekeringan Studi Kasus, Das Wae
Ela Negeri Negeri Lima Kecamatan Leihitu”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada


Dr.Pieter.Th.Berhitu, ST, MT selaku dosen mata kuliah metode penelitian yang
telah memberi masukan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas proposal dengan baik. Dan terimakasih kepada kedua orang tua yang telah
mendukung dan memfasilitasi segala bentuk kebutuhan penulis.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih belum sempurna, oleh


karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak. Atas kritikan dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.

Ambon, Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Latar belakang ........................................................................................... 1


1.3 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.4 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.5 Manfaat ..................................................................................................... 2
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) .................................................................... 4


2.2 Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................................ 4
2.3 DAS Rawan Bnjir dan Kekeringan ........................................................... 5
2.4 Hakikat DAS Sebagai Landasan Pengelolaan .......................................... 6
2.5 Situation-Structure-Behaviour-Performance (SSBP) ............................... 8
2.6 Analityc Hierarchy Process (AHP) ........................................................... 8
1. Dekomposisi ......................................................................................... 9
2. Menetapkan Prioritas ........................................................................... 9
3. Sintesis ................................................................................................. 10
4. Konsistensi ........................................................................................... 10
5. Expert Choice (EC) .............................................................................. 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 12


3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 12
3.3 Jenis data penelitian .................................................................................. 13
1. Data primer ......................................................................................... 13
2. Data sekunder ..................................................................................... 13
3.4 Teknik pengumpulan data ......................................................................... 13

ii
1. Kuisioner ............................................................................................. 13
2. Wawancara .......................................................................................... 14
3. Observasi ............................................................................................. 14
4. Studi literatur ....................................................................................... 14
3.5 Pendekatan dan kerangka analisis ............................................................. 14
1. Situation-Structure-Behavior-Performance (SSBP) ........................... 14
2. Analitycal Hierarchy process (AHP) .................................................. 15
3. Expert Choice (EC) ............................................................................. 15
4. Inconsistency Ratio (CR) .................................................................... 16
3.6 Pengolahan, Analisa dan Interpretasi Instansi Pemerintah dalam
Mewujudkan DAS sehat ........................................................................... 16
1) Penanaman .......................................................................................... 16
2) Pelestarian ........................................................................................... 17
3) Pengembalian fungsi ........................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Data responden studi kasus DAS Wae Ela ..................................... 13

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian .................................................................... 12

Gambar 3.2. Diagram Hirarki dengan Pendekatan AHP ................................. 15

v
BAB II

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daerah Aliran Sungai Wae Ela sering menjadi masalah yang sangat
besar di lingkungan masyarakat, banjir bandang yang pernah diakibatkan oleh
jebolnya bendungan alami yang membuat kondisi DAS Wae Ela dan
kawasan sekitarnya seperti perkebunan dan permukiman masyarakat Negeri
Negeri Lima menjadi rusak dan hancur.
Sebelum dan sesudah terjadinya banjir bandang Wae Ela masalah
kekeringan terjadi akibat kegiatan manusia, sehingga daerah aliran sungai
merupakan satu kesatuan ekosistem. Hal ini berarti bahwa keterkatikan sudah
terselenggara maka pengelolaan hutan, tanah, air, masyarakat dan lain-lain
harus memperhatikan komponen-komponen ekosistem tersebut. Daerah aliran
sungai yang tidak ada pengelolaan baik dari hulu sungai sampai hilir sungai
akan menimbulkan masalah kerusakan pada ekosistem DAS tersebut seperti
banjir dan kekeringan, banjir sering terjadi disebabkan oleh tiga faktor (1)
faktor meteorologi (2) faktor daerah aliran sungai (3) faktor manusia (Khalid,
2010).
Kondisi sebagaian besar DAS di Indonesia dan Maluku khususnya
saat ini semakin kritis. Kerusakan akibat ulah tangan manusia dalam
pendalangan liar maupun penebangan hutan mengakibatkan intesitas curah
hujan yang begitu tinggi menyebabkan banjir. Sedangkan kekeringan
disebabkan karena ketika musim kemarau DAS yang bentuk dan
topograpinya tidak teratur dan mengalami kerusakan itu tidak dapat
menyerap, menampung, dan menyimpan air, oleh karena itu harus di buat
suatu kebijakan tentang Pengelolaan DAS dalam mengendalikan banjir dan
kekeringan agar dapat menjadikan daerah aliran sungai menjadi daerah aliran
sungai yang mampu menahan banjir ketika intesitas hujan tinggi dan
menampung, menyimpan air agar tidak kekeringan pada saat terjadi musim
kemarau (Pasaribu, 2012).

1
Berdasarkan uraian diatas, menjadi acuan untuk melihat masalah
yang terjadi di sungai Wae Ela Negeri Lima yang perlu di perhatikan lebih
dalam oleh pemerintah pasca banjir bandang, upaya atau kebijakan
pengelolaan yang dibuat oleh pemerintah untuk menangani masalah
kerusakan lingkungan pada lahan kering di DAS sebenarnya sudah dimulai
setelah gunung roboh menutupi DAS di Wae Ela. Sudah lima tahun pasca
terjadinya banjir bandang sungai Wae Ela namun penangan pemerintah dari
hulu ke hilir sampai saat ini belum terlihat serius. Olenya itu, kajian
Kebijakan Pengelolalan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Pengendalian
Banjir dan Kekeringan perlu di buat dalam satu aturan yang mengikat antara
masyarakat dan pemerintah agar bisa bersinergis dalam penangananya.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dibatasi
oleh igir-igir gunung yang semua aliran permukaannya mengalir kesuatu
sungai utama (Soemarwoto, 1985).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Wae Ela Negeri Negeri Lima ?
2. Bagaimana Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam
Pengendalian Banjir Dan Kekeringan di DAS Wae Ela Negeri Negeri
Lima ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui kebijakan pemerintah Dalam pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Wae Ela Negeri Negeri Lima
2. Mengetahui Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam
Pengendalian Banjir Dan Kekeringan di DAS Wae Ela Negeri Negeri
Lima

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi keterkaitan kebijakan
pemerintah dalam pengelolaan DAS agar dapat memenuhi tingkat
kesejahteraan, sosial dan ekonomi masyarakat sekitar DAS agar

2
terwujudnya kelestarian DAS Wae Ela. Juga sebagai informasi bagi pihak-
pihak yang bersangkutan dalam melestarikan DAS sesuai dengan
kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah.

1.5 Sistematika Penulisan


BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang teori-teori para ahli serta peraturan yang
berkaitan dengan pembahasan ”Kajian Kebijakan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (Das) Dalam Pengendalian Banjir Dan Kekeringan Studi
Kasus, Das Wae Ela Negeri Negeri Lima Kecamatan Leihitu”
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini membahas tentang waktu tempat dan lokasi penelitian, jenis data
penelitian,Teknik pengumpulan data, dan pendekatan dan kerangka
analisis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah Aliran Sungai secara harafiah diartikan sebagai setiap
permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks unit kajian dan unit
pengelolaan, DAS Didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh
topografi pemisah aliran, yaitu punggung bukit atau gunung yang menangkap
curah hujan kemudian menyimpan dan mengalirkannya melalui saluran-saluran
pengaliran ke satu titik patusan (out-let). Titik patusan umumnya berupa muara
sungai di laut, kadang- kadang di danau. Suatu DAS yang titik patusannya berada
di sungai diistilahkan sebagai sub DAS dari sungai tempat titik patusan berada.
Daerah Pengaliran Sungai (DPS) merupakan terminologi lain yang mempunyai
arti sama dengan pengertian DAS (Wibowo, 2013).
Dewasa ini air dan DAS menjadi masalah yang perlu mendapat
perhatian yang seksama dan cermat. Untuk mendapatkan air yang baik sesuai
dengan standar tertentu saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah
banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik
limbah dan kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri dan kegiatan-
kegiatan lainnya.

2.2 Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Salah satu fungsi DAS adalah fungsi hidrologis, dimana fungsi tersebut
sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yang diterima, geologi dan bentuk
lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS untuk
mengalirkan air, menyangga kejadian puncak hujan, melepaskan air secara
bertahap, memelihara kualitas air, serta mengurangi pembuangan massa (seperti
terhadap longsor). Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan
oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah
(topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami
perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut
dan akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila

4
fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu,
penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat
berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan
menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada
musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim
kemarau berbeda tajam (Asdak, 2004).

2.3 DAS Rawan Bnjir dan Kekeringan

Banjir dapat disebabkan hujan sangat deras yang terjadi di hulu sungai,
atau kalau banjir bandang dapat disebabkan oleh bendungan yang jebol. Banjir
maupun banjir bandang menunjukkan fenomena perubahan tata air sebagai bentuk
respon alam atas interaksi alam dan manusia dalam sistem pengelolaan. Hal ini
dapat ditangkap sebagai suatu fenomena pengelolaan sumber daya alam oleh
manusia telah menimbulkan kerusakan siklus air, di mana air hujan yang jatuh di
atas bumi cepat menjadi aliran permukaan dan langsung ke sungai, sebaliknya
sedikit yang meresap ke dalam tanah. Telaah masalah kerusakan siklus air
tersebut harus menggunakan satuan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena
perubahan tata air yang terjadi dalam suatu DAS merupakan resultante dari
interaksi pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah tangkapannya
(catchment area).

Kekeringan merupakan kejadian yang sebenarnya dapat diantisipasi dari


kejadian hujan sebelumnya pada suatu DAS. Kekeringan pada suatu daerah dapat
disebabakan :

1. Curah hujan yang jatuh dalam satu tahun kurang atau jauh lebih kecil
evapotranspirasi < 1500 mm/th.
2. Curah hujan tidak terdistribusi dengan baik terhadap bulan atau terkonsentrasi
pada periode singkat.

5
2.4 Hakikat DAS Sebagai Landasan Pengelolaan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun


2012, pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal
balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala
aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian
ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia
secara berkelanjutan. Selama ini kerjasama pengelolaan DAS sering kali dibatasi
oleh batas-batas politis ataupun administrasi saja. Padahal kekuatan alam seperti
banjir di atas atau erosi dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis
ataupun administrasi (PP No. 37, 2012).

Pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan


mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan
pengelolaan DAS dan perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh
merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan
sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat
menimbulkan adanya degradasi DAS yang semakin buruk (Direktorat Kehutanan,
2010).

Degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) ditandai semakin meluasnya


lahan kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian
dan untuk peruntukan lain seperti pemukiman dan sebagainya telah berdampak
luas terhadap lingkungan antara lain banjir yang semakin besar dan frekuensinya
meningkat. Selain itu debit air sungai di musim kemarau yang sangat rendah,
percepatan sedimentasi pada danau dan jaringan irigasi, serta penurunan kualitas
air, yang mengancam keberlanjutan pembangunan khususnya pembangunan
pertanian. Terjadinya fenomena tersebut tidak terlepas sebagai akibat dari kurang
efektifnya pengelolaan DAS, terutama karena tidak adanya keterpaduan tindak
dan upaya yang dilakukan oleh berbagai sektor, instansi, atau pihak-pihak yang

6
berkepentingan dengan DAS. Pendekatan menyeluruh dan terpadu sangat
diperlukan yaitu pendekatan yang menuntut suatu manajemen terbuka yang
menjamin berlangsungnya proses koordinasi antara lembaga atau instansi
terkait, memandang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS
(Isrun, 2009).

Pengelolaan daerah aliran sungai yang dilakukan melalui pengaturan


siklus hidrologi, dengan mengupayakan peningkatan infiltrasi air hujan, cadangan
air tanah, pencegahan erosi dan sedimentasi serta penanggulan pencemaran air
merupakan penanganan yang harus dilaksanakan. Upaya tersebut akan dapat
meningkatkan daya dukung sumberdaya air karena makin banyak ketersediaan air
yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Selanjutnya
dapat mengurangi terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim
kemarau. Upaya tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tingkat kerusakan dan
kekritisan dari DAS tersebut ( Mawardi, 2010).

Pada dasarnya DAS merupakan suatu satuan hidrologi. DAS


menampung air, mengagihkan (distributes) air tampungan lewat suatu sistem
saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir pada tubuh air yang berupa danau atau laut.
Bersama dengan atmosfer dan laut (atau danau), DAS menjadi lokasi (site)
kelangsungan daur hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfer dan tubuh air
bumi dapat berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi pula
hubungan hidrologi langsung antara DAS dan atmosfer ( Notohadiprawiro, 2006).

Pengelolan sumberdaya sudah menjadi keharusan dimana sumberdaya


tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya yang
melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan
manusia, pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapat manfaat sebaik-baiknya
dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan dan
kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS
melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan dalam
mengelolanya (Fuady dan Azizah, 2008).

7
2.5 Situation-Structure-Behaviour-Performance (SSBP)
Situation-structure-behavior-performance atau disingkat SSBP adalah
metode yang digunakan untuk mempermudah suatu observasi dengan menentukan
poin-poin pada saat dilapangan. Metode SSBP biasa digunakan untuk mendata
suatu lokasi penelitian dengan meninjau dari segi situasi, struktur penerapan,
perilaku timbal balik dari masyarakat maupun yang lainnya dan juga meninjau
dari segi perkembangan atas apa yang telah diberlakukan seperti kebijakan-
kebijakan yang diterapkan pemerintah pada suatu daerah atau kawasan tertentu.
Sistem ekonomi terdiri dari tiga komponen yang saling mempengaruhi
satu sama lain, yaitu kondisi lingkungan, respon dan reaksi pelaku-pelaku
ekonomi terhadap lingkungan yang dihadapinya, serta kinerja ekonomi yang
diakibatkannya. Konsep ini disebut konsep lingkungan-prilaku-kinerja. Bentuk
kesempatan yang tersedia dalam lingkungan yang dimaksud, tergantung dari
aturan main, baik yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun
informal seperti adat, kebiasaan, dan lain-lain. Selanjutnya konsep lingkungan
perilaku-kinerja perlu pengembangan untuk dapat mengintegrasikan pengaruh
kebijakan pemerintah sehingga ruang analisis dapat diperluas dan melingkupi
situasi ekonomi makro. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut kedalam
kerangka SSBP (Situation - Structure – Behaviour – Performance), dimana situasi
lingkungan (Situation) dan kebijakan pemerintah (Structure) akan direspon dalam
bentuk perilaku tertentu oleh para aktor (Behavior), yang menghasilkan kinerja
(Performance) tertentu.

2.6 Analityc Hierarchy Process (AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah suatu teori umum tentang


pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio, baik dari
perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinyu. AHP menguraikan
masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki.
Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang
kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan,
yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga
level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat

8
diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu
bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan
sistematis (Darmanto, et al., 2014). AHP merupakan metode yang sangat
Powerfull dalam menyelesaikan masalah yang rumit. AHP telah digunakan pada
berbagai bidang ilmu, mulai dari ekonomi, kebijakan publik sampai dengan
pengambilan keputusan. Suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka
pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil
keputusan yang efektif sehingga persoalan yang kompleks dapat disederhanakan
dan dipercepat proses pengambilan keputusannya (Sestri, 2013).

AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi


manusia. Keberadaan hierarki memungkinkan dipecahnya masalah kompleks atau
tidak terstruktur ke dalam sub–sub masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu
bentuk hierarki. Prinsip-prinsip dalam AHP (Kurniawati, 2008) adalah:

1. Dekomposisi

Pengambil keputusan harus memecah permasalahan ke dalam elemen-


elemen dan menyusunnya ke dalam suatu struktur hirarkis yang menunjukkan
hubungan antara sasaran, tujuan/kriteria, sub tujuan/sub kriteria serta
alternatifalternatif keputusan. Hirarki merupakan alat mendasar dari pemikiran
manusia dengan melibatkan pengidentifikasian elemen-elemen suatu persoalan,
mengelompokan elemen-elemen itu ke dalam beberapa kumpulan yang homogen,
menata kumpulan-kumpulan ini pada tingkat-tingkat yang berbeda. Ada dua
macam bentuk hirarki yaitu truktural dan fungsional. Setiap set elemen dalam
hiraiki fungsional menduduki satu tingkat hirarki. Tingkat puncak disebut focus.
Ini terdiri dari satu elemen, yaitu sasaran dari keseluruhan yang sifatnya luas.
Tingkat-tingkat berikutnya masing-masing dapat memiliki beberapa elemen.

2. Menetapkan Prioritas

Langkah pertama dalam menetapkan prioritas elemen-elemen dalam


suatu persoalan keputusan adalah dengan membuat pembandingan berpasangan,

9
yaitu elemen-elemen dibandingkan berpasangan terhadap suatu kriteria yang
ditentukan. Proses pembandingan ini dimulai dari puncak hirarki untuk memilik
kriteria C, atau sifat yang akan digunakan untuk melakukan pembandingan yang
pertama.

3. Sintesis

Setelah matrik perbandingan berpasangan sudah lengkap di isi


berikutnya mensintesis berbagai pertimbangan untuk memperoleh suatu taksiran
menyeluruh dari prioritas relatif. Sehingga pertama-tama jumlahkan nilai-nilai
dalam setiap kolom. Lalu bagi dalam setiap entri dalam setiap kolom dengan
jumlah pada kolom tersebut untuk memperoleh matrik yang dinormalisasi.
Terakhir rata-ratakan sepanjang baris dengan menjumlahkan semua nilai dalam
setiap baris dari matrik yang dinormalisasi itu, dan membaginya dengan banyak
entri dari setiap baris. Sintesis ini menghasilkan persentase prioritas relatif
menyeluruh untuk masing-masing.

4. Konsistensi

Konsistensi sampai kadar tertentu dalam menetapkan prioritas untuk


elemen-elemen atau aktivitas berkenaan dengan beberapa kriteria adalah perlu
untuk memperoleh hasil yang akurat. Menurut Kurniawati (2008) menyebutkan
bahwa AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan
melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang.
Pada referensi yang lain menyebutkan bahwa hasil perhitungan nilai
inkonsistensi antara 0 hingga 1. Jika lebih dari 10%, pertimbangan yang telah
dibuat mungkin agak acak dan mugkin perlu untuk diperbaiki.

5. Expert Choice (EC)

EC merupakan suatu program aplikasi yang dapat digunakan sebagai


salah satu tool untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan
keputusan. EC menawarkan beberapa fasilitas mulai dari input data-data kriteria,
dan beberapa alternatif pilihan, sampai dengan penentuan tujuan. EC mudah
dioperasionalkan dengan Interface yang sederhana. Kemampuan lain yang

10
disediakan adalah mampu melakukan analisis secara kuantitatif dan kualitatif
sehingga hasilnya rasional. Didukung dengan gambar grafik dua dimensi
membuat EC semakin menarik. EC didasarkan pada metode atau proses hirarki
analitik ( Retnoningsih, 2009).

11
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan september 2019 sampai


desember 2019, lokasi penelitian berada di DAS Wae ELA negeri Negeri lima,
Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada gambar 3.1

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian (sumber Google Earth)

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera,
komputer dan Software Expert Choice. Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah kuesioner, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 dan peta DAS Wae
Ela. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah melalui Purposive
sampling. Peneliti melakukan wawancara secara mendalam kepada para
responden yang mengetahui dan memahami persoalan yang terkait dengan
pengelolaan DAS Wae Ela. Peneliti juga mewawancarai responden yang perduli

12
dengan pengelolaan DAS hulu sampai hilir, baik langsung maupun tidak
langsung.

3.3 Jenis Data dan Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa :

a. Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada


masyarakat dan aparat pemerintah, untuk mendapatkan data sesuai dengan
kuesioner yang ada.

Tabel 3.1. Data responden studi kasus DAS Wae Ela.

No Nama Jenis Pekerjaan Usia Pendidikan Lama bermukim


Kelamin terkahir (tahun)

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah yang meliputi kondisi


umum penelitian dan literatur-literatur yang mendukung.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan


kondisi DAS Wae Ela, yaitu sebagai berikut:

1. Kuisioner

Kuesioner adalah daftar pertanyaan atau pernyataan yang ditujukan


kepada responden, untuk mempermudah peneliti melakukan wawancara secara
langsung sehingga tujuan penelitian dapat terjawab.

13
2. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk menggali informasi dengan mengajukan


pertanyaan sesuai dengan kuesioner dan melengkapi informasi lainnya sesuai
dengan tujuan penelitian. Wawancara ini terstruktur dengan kuesioner yang
ditujukan kepada responden, tokoh yang ada pada desa tersebut dan aparat desa
setempat.

3. Observasi

Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data yang tidak bisa diperoleh
dengan cara wawancara, karena terdapat hal-hal yang bersifat rahasia. Sehingga
peneliti harus belajar mengamati secara cermat kondisi yang ada di wilayah
penelitian.

4. Studi literatur (pustaka)

Studi literatur (pustaka) ini dilakukan untuk mendapatkan data-data


sekunder yang mendukung akurasi data yang diperlukan dalam penelitian.

3.5 Pendekatan dan Kerangka Analisis

Menganalisis kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan DAS,


peneliti melakukan pendekatan menggunakan metode Situation-Structure
Behavior-Performance dan metode Analytical Hierarchy Process agar data yang
didapatkan akurat dan memiliki tingkat konsistensi yang tinggi.

1. Situation-Structure-Behaviour-Performance (SSBP)
Menganalisis kebijakan pemerintah terkait DAS Wae Ela untuk
mendapatkan data dari masyarakat DAS Wae Ela dibagian hilir sungai ialah
menggunakan metode Situation - Structure – Behaviour – Performance atau
metode analisis SSBP digunakan untuk pengklasifikasian data analisis
berdasarkan 4 (empat) kriteria, yaitu:
a. Situation (situasi lingkungan), diperoleh bagaimana keadaan suatu wilayah
DAS tersebut, apakah kondisi dan lingkungan sekitar terjalin dengan sangat
baik atau sebaliknya.

14
b. Structure (kebijakan pemerintah) mengetahui bagaimana struktur yang
diberlakukan oleh pemerintah dalam mengelola DAS.
c. Behavior (perilaku), respon masyarakat terhadap pembentukan kebijakan
pemerintah dalam mengelola DAS.
d. Performance (kinerja), indikator dalam pendataan bagaimana kinerja yang
sudah dilakukan pemerintah ialah dengan mengetahui sebagaimana
pengelolaan DAS dalam fungsinya dalam mensejahterakan masyarakat.

2. Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Analytical hierarchy process (AHP) adalah suatu proses “rasionalitas


sistemik” untuk mempertimbangkan suatu persoalan sebagai satu keseluruhan
dan mengkaji interaksi serempak dari berbagai komponennya di dalam suatu
diagram hirarki (Gambar 3.2). AHP menangani suatu persoalan komplek sesuai
dengan interaksi-interaksi pada persoalan itu sendiri. Proses tersebut dapat
memaparkan sebagaimana kompleksitasnya persoalan itu sendiri dan memperluas
definisi dan strukturnya melalui pengulangan.

Gambar 3.2. Diagram Hirarki dengan Pendekatan AHP. (sumber AHP)

3. Expert Choice (EC)

Pengolahan data dalam metode AHP menggunakan software EC untuk


menentukan masing-masing bobot nilai dari alternatif yang ditujukan. Untuk
mendapatkan bobot nilai dari hasil kuesioner perbandingan pilihan yang telah

15
didapat dilakukan perataan masing-masing nilai dari alternatif. Setelah melakukan
perataan nilai dari masing-masing alternatif, masukkan data nilai tersebut pada
aplikasi tools EC pada masing-masing alfternatif yang telah dipersiapkan.

4. Inconsistency Ratio (CR)


Inconsistency ratio atau rasio inkonsistensi ialah data responden ahli yang
merupakan parameter untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah
dilakukan dengan konsekuen atau tidak. Rasio inkonsistensi data dianggap baik
jika nilai CR-nya ≤ 0.1.

4.6 Pengolahan, Analisa dan Interpretasi Instasi Pemerintah dalam


Mewujudkan DAS Sehat

Proses pengolahan, analisa dan interpretasi data yang didahului dengan


menentukan elemen-elemen yang signifikan pada masing-masing level dari sisi
kriteria dan sub-kriteria pada metode AHP dimulai dari, yaitu:

1. Level 1 yang merupakan penentuan “Fokus, yaitu Mewujudkan DAS Sehat”.


2. Level 2 berisi “Kriteria, yaitu Ekologi, Ekonomi dan Sosial”.
3. Level 3 ditentukan sub-sub kriteria Ekologi memiliki turunan Tingkat Erosi,
Vegetasi, Tingkat Banjir, Kekeringan. Sub-sub kriteria Ekonomi memiliki
turunan Pendapatan Masyarakat, Tingkat Pengangguran, Distribusi Nilai
Tambah, Dukungan Pemerintah dan sub-sub kriteria Sosial memiliki turunan
Kesejahteraan, Kearifan Lokal dan Fasilitas Publik.
4. Level 4 berisi alternatif dari strategis penerapan metode AHP dalam
mewujudkan DAS sehat. Alternatif tersebut diharapkan dapat mewujudkan
DAS Wae Ela yang sehat, adapun alternatifnya sebagai berikut:
1) Penanaman
Penanaman adalah salah satu alternatif dalam mewujudkan DAS
sehat. Penanaman diharapkan dapat memperbaiki DAS yang hampir rusak
maupun sudah rusak, sehingga dapat memperbaiki ekosistem DAS.
Penanaman dilakukan dengan membagikan bibit kepada wilayah yang sudah
mengalami kerusakan. Penanaman berpusat pada lahan bekas perkebunan dan
permukiman yang sudah lama ditinggalkan, lahan bekas perkebunan dan

16
permukiman yang sudah lama ditinggalkan akan terlihat gersang maka
dengan di lakukan penanam pohon akan membuat kawasan tersebut menjadi
hijau dan sejuk, oleh karena itu alternatif penanaman merupakan salah satu
cara dalam mewujudkan DAS sehat.
2) Pelestarian
Pelestarian merupakan salah satu alternatif dalam mewujudkan
DAS sehat yang diharapkan dapat menyeimbangkan kembali ekosistem DAS.
Pelestarian bertujuan untuk merapatkan kembali tajuk pohon yang sudah
mulai berkurang komoditinya di alam. Jika kerapatan tajuk pohon dapat
terjaga, maka daya serap akar terhadap air akan maksimal dan debit air pada
sungai di bagian hilir berada pada batas ketinggian normal. Sehingga
alternatif pelestarian merupakan salah satu cara dalam mewujudkan DAS
sehat.
3) Pengembalian fungsi
Alternatif terkahir untuk mewujudkan DAS sehat adalah
pengembalian fungsi. Pengembalian fungsi dimaksudkan kepada areal
perkebunan yang dahulunya merupakan areal kawasan hutan yang dialih
fungsikan oleh masyarakat. Kurangnya kesadaran dan wawasan merupakan
faktor pertama terjadinya perubahan ekosistem DAS. Masyarakat cenderung
lebih mengutamakan kepentingan pribadi untuk memenuhi kebutuhan
finansial tanpa berfikir dampak negatif yang akan terjadi dari peralihan fungsi
areal hutan menjadi lahan permukiman. Namun pengalihan fungsi lahan
dengan permukiman tidak dilakukan berdekatan dengan DAS Wae Ela
dikarenakan kekawatiran masyarakat akan masalah banjir maka masyarakat
diharapkan dapat berpartisipasi menjaga kawasan DAS agar terciptanya DAS
yang sehat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ridho Faisal, 2018. Kajian Kebijakan Pengelolaan DAS dalam Pengendalian


Banjir dan Kekeringan Studi Kasus DAS Lepan, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id
Darmanto, E., Latifah, N dan Susanti, N. 2014. Penerapan Metode AHP
(Analythic Hierarchy Process) untuk Menentukan Kualitas Gula
Tumbu. J. Simetris, Vol. 5 No. 1. ISSN: 2252-4983.
Soegiyanto, Juni 2014. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Rawan Banjir. Jurnal
Geografi, Volume 12, Nomor 1, Juni 2014 :46 –58

18

Anda mungkin juga menyukai