Anda di halaman 1dari 69

MINI RISET

PENGARUH LAMA PEMAKAIAN VENTILATOR TERHADAP


KEJADIAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA
DI RUANG ICU RSUP SANGLAH DENPASAR
TAHUN 2020

Oleh :
KELOMPOK IB

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI NERS
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena

atas berkat asung kerta wara nugraha-Nya, peneliti dapat menyusun mini riset

yang berjudul “Pengaruh Lama Pemakaian Ventilator terhadap Kejadian

Ventilator Associated Pneumonia di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar

Tahun 2020” tepat pada waktunya dan sesuai dengan harapan.

Mini riset ini dapat terselesaikan bukanlah semata-mata atas usaha sendiri

melainkan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu melalui

kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

mambantu dalam menyelesaikan mini riset ini.

Kemajuan selalu menyertai segala sisi kehidupan menuju ke arah yang lebih

baik, karenanya sumbang saran untuk perbaikan sangat peneliti harapkan dan

semoga skripsiini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Denpasar, 21 Januari 2020

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
1. Tujuan umum..................................................................................................5
2. Tujuan khusus.................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian 5
1. Manfaat teoritis...............................................................................................5
2. Manfaat praktis...............................................................................................6
BAB II TINJAUN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Pneumonia 10
1. Pengertian......................................................................................................10
2. Patofisiologi Pnemonia.................................................................................10
3. Klasifikasi Pnemonia....................................................................................11
4. Penatalaksanaan Pnemonia ..........................................................................13
B. Konsep Dasar Saturasi Oksigen Pada PPOK 16
1. Pengertian......................................................................................................16
2. Penyebab penurunan saturasi oksigen pada PPOK.......................................18
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen pada PPOK.................18
4. Proses penurunan saturasi oksigen pada PPOK............................................21
5. Tanda dan gejala penurunan saturasi oksigen pada PPOK...........................23
6. Dampak penurunan saturasi oksigen pada PPOK.........................................24
7. Pengukuran saturasi oksigen.........................................................................25
C. Konsep Dasar Ventilator Associated Pnemonia (VAP) 27

iii
1. Pengertian Ventilator Associated Pnemonia (VAP)......................................27
2. Etiologi..........................................................................................................28
3. Epidemologi..................................................................................................29
4. Teknik deep breathing exercise.....................................................................29
D. Pengaruh Deep Breathing Exercise Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien
PPOK 30
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 33
1. Kondisi lokasi penelitian...............................................................................33
2. Karakteristik subyek penelitian.....................................................................34
3. Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian sesuai variabel penelitian......35
4. Hasil analisis data..........................................................................................36
B. Pembahasan Hasil Penelitian 38
1. Karakteristik pasien PPOK di Ruang Nakula RSUD Sanjiwani Gianyar.....38
2. Saturasi oksigen pada pasien PPOK sebelum pemberian deep breathing
excercise........................................................................................................40
3. Saturasi oksigen pada pasien PPOK setelah diberikan deep breathing
excercise........................................................................................................43
4. Pengaruh pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen pada
pasien PPOK.................................................................................................45
BAB IV SIMPULAN DAN DARAN
A. Simpulan............................................................................................................48
B. Saran..................................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................50

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Usia di IGD


RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020 ….................................... 34
Tabel 2 Distribusi Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Jenis
Kelamin di IGD RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020 …......... 35
Tabel 3 Distribusi Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK Sebelum
Pemberian Deep Brathing Exercise di IGD RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2020 ................................................................. 35
Tabel 4 Distribusi Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK Setelah
Pemberian Deep Brathing Exercise di IGD RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2020 ................................................................. 36
Tabel 5 Uji Normalitas Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK Sebelum
dan Setelah Pemberian Deep Breathing Exercise di IGD RSUP
Sanglah Denpasar ………………………………………........ 37
Tabel 6 Analisi Bivariat Pengaruh Pemberian Deep Breathing Exercise
Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK di IGD RSUP
Sanglah Denpasar Tahun 2020 ……........................................... 37
Halaman

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Master Tabel


Lampiran 2 Hasil Analisis Data

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ventilator associated pneumonia (VAP) atau pneumonia terkait ventilator

merupakan suatu pneumonia nosokomial pada pasien yang mendapat bantuan

ventilasi mekanik selama lebih dari 48 jam baik melalui pipa endotrakeal maupun

pipa trakeostomi. VAP merupakan kondisi penyulit yang sering dijumpai pada

perawatan pasien di ruang terapi intensif sehingga memperpanjang lama rawat dan

angka kematian juga tinggi. Insiden VAP pada pasien yang mendapat ventilasi

mekanik di dunia adalah sekitar 22,8%, dan pasien yang mendapat ventilasi

mekanik menyumbang sebanyak 86% dari kasus infeksi nosokomial.


Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi

pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia,

hiperkapnia berat dan gagal napas. Ventilator mekanik merupakan salah satu

aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang kritis di

Intensive Care Unit (ICU), dengan penggunaan di Amerika Serikat

mencapai 1,5 juta per tahun (Clare Hopper, 2012).


Pasien yang dirawat di ICU berisiko tinggi terkena infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial yang cukup sering diderita pasien adalah pneumonia. Delapan

puluh tujuh persen kejadian pneumonia di ICU terkait dengan penggunaan

dan asuhan keperawatan ventilator mekanik yang tidak tepat sehingga

menimbulkan kolonisasi kuman di orofaring yang berisiko terjadinya

pneumonia terkait ventilator / Ventilator Associated Pneumonia (VAP) (Koenig

Truwit, 2012).

Berdasarkan penelitian Yin-Yin Chen, dkk., pada tahun 2000-2008 di


Taiwan, VAP menempati urutan kedua terbanyak kejadian Device Associted

Infection (DAI) di ICU. Dari penelitian tersebut diperoleh angka kejadian

VAP sebanyak 3,18 kejadian per 1000 ventilator per hari. Angka ini berada

dibawah Infeksi Saluran Kemih (ISK) akibat penggunaan kateter dengan

angka kejadian 3,76 per 1000 kateter urin per hari (Chen YY, 2012).

Angka kejadian VAP di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah tahun 2012

sebesar 15,48 per 1000 hari pemakaian ventilator, masih di atas angka standar

nasional sebesar 10 per 1000 hari pemakaian ventilator. VAP menjadi perhatian

utama ICU karena merupakan kejadian yang cukup sering dijumpai, sulit untuk

di diagnosis secara akurat dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk

pengobatannya. Kejadian VAP memperpanjang lama perawatan pasien di ICU

dan berhubungan erat dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas pasien

di ICU, dengan angka kematian mencapai 40-50% dari total penderita (Hunter JD,

2012).

Secara umum, VAP dapat didiagnosis jika ditemukan tanda diagnosis standar

seperti demam, takikardi, leukositosis, sputum yang purulen dan konsolidasi pada

gambaran radiografi thoraks. Namun diagnosa VAP agak sulit dilakukan jika

hanya melihat tampilan klinis pasien. Oleh sebab itu, diagnosa VAP dapat dibantu

dengan Critical Pulmonary Infection Score (CPIS). Penentuan CPIS didasarkan

pada 6 variabel yaitu suhu tubuh pasien, jumlah leukosit dalam darah, volume

dan tingkat ke kentalan sekret trakea, indeks oksigenasi, pemeriksaan radiologi

paru dan kultur semikuantitatif dari aspirasi trakea. Jika diperoleh skor lebih dari

6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan (Luna CM, 2003).

Beberapa faktor risiko dicurigai dapat memicu terjadinya VAP, antara lain

2
usia lebih dari 60 tahun, derajat keparahan penyakit, penyakit paru akut atau

kronik, sedasi yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, posisi tubuh

yang supine, Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 9, penggunaan obat

pelumpuh otot, perokok dan lama pemakaian ventilator (Luna CM, 2003).

Pemakaian ventilator mekanik dengan pipa yang diintubasikan ke tubuh pasien

akan mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi ujung pipa

endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang (Marc J, 2004).

Faktor risiko kejadian VAP berhubungan dengan pasien sendiri (host),

pemakaian alat (device) dan perilaku petugas dalam mencuci tangan serta

mengganti sarung tangan saat kontak di antara pasien. Beberapa faktor dapat

dicegah, antara lain dengan melakukan cuci tangan sesuai standar, pemakaian

sarung tangan saat melakukan atau kontak dengan pasien, memberikan intervensi

farmakologis oral, stress ulcer prophylaxis, pengisapan sekret endotrakeal, posisi

semi fowler dan pemeliharaan sirkuit ventilator

Lama penggunaan ventilator mekanik diduga merupakan salah satu faktor

risiko penting yang terkait dengan kejadian VAP. Philippe Vanhems, dkk.,

dalam penelitiannya pada tahun 2001-2009 di 11 ICU di Perancis,

menemukan 367 (10.8%) dari 3.387 pasien dihitung dalam 45.760 hari

pemakaian ventilator mekanik yang mengalami kejadian VAP dalam 9 hari

pertama. Berdasarkan hasil perhitungan, diprediksikan angka kejadian VAP pada

hari pertama dan kedua (< 48 jam) adalah 5,3 dan 8,3 kejadian. Penelitian

dilakukan pada pasien dengan usia rata-rata 54,3 tahun dan angka kematian

21,7% (Vanhems P Benet, 2011). Perbedaan angka kejadian VAP di hari pertama

dan kedua mengindikasikan adanya pengaruh lama pemakaian ventilator

3
dalam kasus ini, walaupun faktor-faktor risiko lain masih ikut berpengaruh.

Penelitian tentang VAP juga sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia,

salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Imama Pranita R.

disebuah rumah sakit di Surabaya. Penelitian ini mengkaji beberapa faktor

risiko yang terkait dengan kejadian VAP, seperti metode suction, umur, riwayat

penyakit paru, diabetes mellitus dan merokok, termasuk lama pemakaian

ventilator (Rosyida MIP, 2011). Namun penelitian ini lebih menitikberatkan pada

hubungan metode suction pada pasien yang terpasang ventilator mekanik

dengan kejadian VAP. Pengaruh lama pemakaian ventilator tidak dibahas

secara khusus sehingga hubungannya belum jelas.

Berdasarkan temuan dari beberapa penelitian di atas, maka kami ingin

meneliti lebih lanjut tentang “Pengaruh lama pemakaian ventilator terhadap

kejadian ventilator associated pneumonia di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar

Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah “Apakah ada pengaruh lama pemakaian ventilator terhadap kejadian

ventilator associated pneumonia di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar Tahun

2020?”

4
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama

pemakaian ventilator terhadap kejadian ventilator associated pneumonia di Ruang

ICU RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengidentifikasi lama pemakaian ventilator terhadap terjadinya

ventilator associated pneumonia di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar

Tahun 2020.
b. Untuk menganalisa lama pemakaian ventilator terhadap terjadinya ventilator

associated pneumonia di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020.


c. Untuk menganalisa pengaruh lama pemakaian ventilator terhadap terjadinya

ventilator associated pneumonia di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar

Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi ilmiah di bidang

keperawatan dalam pengembangan ilmu penyakit dalam terutama pernapasan.


b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi peneliti

selanjutnya dalam melakukan penelitian mengenai pengaruh lama pemakaian

ventilator terhadap kejadian ventilator associated pneumonia di Ruang ICU

dengan berlandaskan pada kelemahan dari penelitian ini.

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapakan dapat menambah pengetahuan dan masukan

bagi perawat sebagai dasar pengembangan asuhan keperawatan kepada pasien

agar dapat mencegah terjadinya ventilator associated pneumonia.

5
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan saran kepada perawat dalam

memberikan edukasi sebagai upaya pencegahan dan mengurangi angka

terjadinya ventilator associated pneumonia pada pasien ICU di RSUP

Sanglah.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Pneumonia

1. Pengertian

Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru. Pneumonia

disebabkan oleh satu atau lebih agens berikut : virus, bakteri (mikoplasma),

fungi, parasit, atau aspirasi zat asing (Betz & Sowden, 2009).

Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut

(ISNBA) dengan batuk dan disertai dengan sesak nafas disebabkan aden

infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi

asing,berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi (Nurarif &

Kusuma, 2013).

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

(Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 edisi ketiga).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan pneumonia adalah salah

satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISNBA) dengan gejala

batuk dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen infeksius seperti

virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang

paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi..


2. Etiologi

Menurut Misnadiarly. (2008), Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat

umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peraliha antara

bakteri dan virus) dan protozoa.

a. Bakteri

Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai

usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah

Streptococcus pneumonia sudah ada di kerongongan manusia sehat. Begitu

pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera

memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi

pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut

jantungnya meningkat cepat.

b. Virus

Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus

yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV).

Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas,

pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya

sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat.

Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza gangguan bisa berat

dan kadang menyebabkan kematian.

c. Mikoplasma

Mikoplasia adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit

pada manuai. Mikoplasia tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun

bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan

11
biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis

usia., tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian

sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati.

d. Protozoa

Pneumonia yang disebabhkan oleh protozoa sering disebut pneumonia

pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia

(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang premature.

Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa

bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan

jika ditemukan P. Carini pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru.

Pneumonia juga disebabkan oleh terapi radiasi (terapi radisasi untuk kanker

payudara/paru) biasanya 6 minggu atau lebih setelah pengobatan selesai ini

menyebabkan pneumonia radiasi. Bahan kimia biasanya karena mencerna kerosin

atau inhalasi gas menyebabkan pneumonitis kimiawi (Smeltzer, 2001: 572).

Karena aspirasi/inhalasi (kandungan lambung) terjadi ketika refleks jalan nafas

protektif hilang seperti yang terjadi pada pasien yang tidak sadar akibat obat-

obatan, alkohol, stroke, henti jantung atau pada keadaan selang nasogastrik tidak

berfungsi yang menyebabkan kandungan lambung mengalir di sekitar selang

yang menyebabkan aspirasi tersembunyi. (Smeltzer, 2001:637).

3. Klasifikasi

a. Klasifikasi berdasarkan anatomi :

1) Pneumonia Lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu

atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai

Pneumonia Bilateral atau “ganda”.

12
2) Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir

bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk

bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, sehingga disebut

juga Pneumonia Loburalis.

3) Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di

dalam dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta

interlobular.

b. Klasifikasi berdasarkan inang dan lingkungan :

1) Pneumonia Komunitas, dijumpai pada H.Influenza pada pasien perokok,

patogen atipikal pada lansia, gram negative pada pasien dari rumah

jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta Kardiopulmunal atau

jamak, atau paska terapi antibiotika spectrum luas.

2) Pneumonia Nosokomial, faktor resiko Pneumonia yang didapat dari

Rumah Sakit, menurut Morton :

a) Faktor resiko terkait-pejamu : PPOK, penyakit berat, malnutrisi, Syok,

trauma tumpul, merokok.

b) Faktor resiko terkait pengobatan : ventilasi mekanik, bronkoskopi, selang

nasogastric, terapi antibiotic sebelumnya, peningkatann pH lambung,

pemberian makanan enteral, pembedahan kepala, pembedahan thorax atau

abdomen atas.

c) Faktor resiko terkait infeksi : mencuci tangan kurang bersiih, mengganti

selang ventilator kurang dari 48 jam sekali.

13
3) Pneumonia Aspirasi, disebabkan oleh infeksi kuman, Pneumotitis kimia

akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan

makanan atau lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik simple oleh

bahan padat.

4) Pneumonia pada Gangguan Imun, terjadi akibat proses penyakit dan

akibat terapi. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman patogen atau

mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa,

parasite, virus, jamur dan cacing. (Nurarif & Kusuma, 2013).

4. Tanda dan Gejala

Tanda –tanda klinis utama pneumonia menurut (Betz & Sowden, 2009) meliputi

hal-hal berikut :

a. Batuk

b. Dispnea

c. Takipea

d. Pucat, tampilan kehitaman,atau sianosis (biasanya tanda lanjut)

e. Melemah atau kehilangan suara nafas

f. Retaksi dinding toraks: interkostal, substernal, diafragma, atau

supraklavikula

g. Napas cuping hidung

h. Nyeri abdomen (disebabkan oleh iritasi diafragma oleh paru terinfeksi

didekatnya)

i. Batuk paroksismal mirip pertusis (sering terjadi pada anak yang lebih kecil)

j. Anak-anak yang lebih besar tidak nampak sakit

k. Demam

14
l. Ronchi

m. Sakit kepala

n. Sesak nafas

o. Menggigil

p. Berkeringat

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:

a. Kulit yang lembab

b. Mual dan muntah

5. Patofisiologi

Pneumonia adalah hasil dari proliferasi patogen mikrobial di alveolar dan

respons tubuh terhadap patogen tersebut. Banyak cara mikroorganisme memasuki

saluran pernapasan bawah. Salah satunya adalah melalui aspirasi orofaring.

Aspirasi dapat terjadi pada kaum geriatri saat tidur atau pada pasien dengan

penurunan kesadaran. Melalui droplet yang teraspirasi banyak patogen masuk.

Pneumonia sangat jarang tersebar secara hematogen.

Faktor mekanis host seperti rambut nares, turbinasi dan arsitektur

trakeobronkial yang bercabang cabang mencegah mikroorganisme dengan mudah

memasuki saluran pernapasan. Faktor lain yang berperan adalah refleks batuk

dan refleks tersedak yang mencegah aspirasi. Flora normal juga mencegah adhesi

mikroorganisme di orofaring.

Saat mikroorganisme akhirnya berhasil masuk ke alveolus, tubuh masih

memiliki makrofag alveolar. Pneumonia akan muncul saat kemampuan makrofag

membunuh mikroorganisme lebih rendah dari kemampuan mikroorganisme

15
bertahan hidup. Makrofag lalu akan menginisiasi repons inflamasi host. Pada saat

ini lah manifestasi klinis pneumonia akan muncul.

Respons inflamasi tubuh akan memicu penglepasan mediator inflamasi

seperti IL (interleukin) 1 dan TNF ( Tumor Necrosis Factor) yang akan

menghasilkan demam. Neutrofil akan bermigrasi ke paru paru dan menyebabkan

leukositosis perifer sehingga meningkatkaan sekresi purulen. Mediator inflamasi

dan neutrofil akan menyebabkan kebocoran kapiler alveolar lokal. Bahkan

eritrosit dapat keluar akibat kebocoran ini dan menyebabkan hemoptisis.

Kebocoran kapiler ini menyebabkan penampakan infiltrat pada hasil radiografi

dan rales pada auskultasi serta hipoxemia akibat terisinya alveolar.

Pada keadaan tertentu bakteri patogen dapat menganggu vasokonstriksi

hipoksik yang biasanya muncul pada alveoli yang terisi cairan hal ini akan

menyebabkan hipoksemia berat. Jika proses ini memberat dan menyebabkan

perubahan mekanisme paru dan volume paru dan shunting aliran darah sehingga

berujung pada kematian.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut (Misnadiarly, 2008) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan

adalah :

a. Sinar X

Mengidenfikasi distribusi struktural (misal : lobar, bronchial), dapat juga

menyatakan abses luas/infiltrate, empiema (stapilococcus); infiltrasi menyebar

atau terlokalisasi (bacterial); atau penyebaran/perluasan infiltrate nodul (lebih

sering virus). Pada pneumonia mikoplasma sinar X dada mungkin lebih bersih.

b. GDA

16
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan

penyakit paru yang ada.

c. JDL Leukositosis

Biasanya ditemukan, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus,

kondisi tekanan imun.

d. LED Meningkat

e. Fungsi paru hipoksia, volume menurun, tekanan jalan napas meningkat dan

komplain menurun

f. Elektrolit Na dan CI mungkin rendah

g. Bilirubin meningkat

h. Aspirasi / biopsi jaringan paru

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Misnadiarly. (2008) dan Effendy. (2001), penatalaksanaan pneumonia

dilakukan berdasarkan penentuan klasifikasi pada anak, yaitu :

a. Pneumonia Berat

Penderita pneumonia berat juga mungkin disertaii tanda lain, seperti :

1) Nafas cuping hidung

2) Suara rintihan

3) Sianosis

Tindakan : cepat dirujuk ke rumah sakit ( diberikan satu kali dosis antibiotika

dan kalau ada demam atau wheezing diobati lebih dahulu)

b. Pneumonia

1) Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah

2) Beri antibiotik selama 5 hari

17
3) Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan memburuk

4) Bila demam, obati

5) Bila ada wheezing, obati

WHO menganjurkan penggunaan antibiotika untuk pengobatan pneumonia yakni

dalam bentuk tablet atau sirup ( kortimoksazol, amoksisilin, ampisilisn) atau

dalam bentuk suntikan intra muskuler ( prokain penisilin )

c. Bukan Pneumonia

1) Bila batuk > 30 hari, rujuk

2) Obati penyakit lain bila ada

3) Nasehati ibunya untuk perawatan di rumah

4) Bila demam, obati

5) Bila ada wheezing, obati

Selain penatalaksanaan diatas ada beberapa penatalaksaan pada penderita

pneumonia, diantaranya:

1) Oksigen 1-2L/menit

2) Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100mmhg atau saturasi 95-96%

berdasarkan pemeriksaan AGD

3) Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak

4) Fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak , khususnya dengan clapping dan

vibrasi

5) Pemberian kortikosteroid , diberikan pada fase sepsis

6) Ventilasi mekananis , indikasi intubasi dan pemasangan ventilator

dilakukanbila terjadi hipoksemia persisten, gagal nafas yang disertai

peningkatan respiratory distress dan respiratory arrest

18
7) IVFD Dextrose 10% : NaCl 0,9%=3:1,+KCl 10 mEq/500 ml cairan. Jumlah

cairan sesuai BB, kenaikan suhu, dan status hidrasi.

8) Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat di mulai makanan enteral bertahap

melalui selang nasogastrik dengan feeding drip.

9) Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal

dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.

10) Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

11) Antibiotik sesuai hasil biakan

8. Komplikasi

Menurut (Misnadiarly, 2008) komplikasi pada pneumonia yaitu :

a. Abses paru

b. Edusi pleural

c. Empisema

d. Gagal napas

e. Perikarditis

f. Meningitis

g. Atelektasis

h. Hipotensi

i. Delirium

j. Asidosis metabolik

k. Dehidrasi

19
B. Konsep Dasar ventilator Pada Pneumonia

1. Pengertian

Ventilator merupakan suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian

atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi atau jalan nafas

agar tetap paten (Yusria, 2013).

Ventilator sering kali dibutuhkan oleh pasien yang tidak dapat bernapas

sendiri, baik karena suatu penyakit atau karena cedera yang parah. Melalui

ventilator, pasien yang sulit bernapas secara mandiri dapat dibantu untuk

bernapas dan mendapatkan udara layaknya bernapas secara normal. Mesin

ventilator akan mengatur proses menghirup dan menghembuskan napas pada

pasien. Ventilator akan memompa udara selama beberapa detik untuk

menyalurkan oksigen ke paru-paru pasien, lalu berhenti memompa agar udara

keluar dengan sendirinya dari paru-paru.

Indikasi Pemasangan Ventilator menurut Yusria Prihandono (2013)

diantaranya adalah,

a. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)

b. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.

c. Post Trepanasi dengan black out.

d. Respiratory Arrest.

Penyebab Gagal Napas

a. Penyebab sentral

1) Trauma kepala : Contusio cerebri

2) Radang otak : Encepalitis

3) Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak

20
4) Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi

b. Penyebab perifer
1) Kelaian Neuromuskuler:
a) Guillian Bare symdrom
b) Tetanus
c) Trauma servikal
d) Obat pelemas otot
2) Kelainan jalan napas.
a) Obstruksi jalan napas.
b) Asma bronchial.
3) Kelainan di paru, diantaranya adalah edema paru, atlektasis, dan ARDS.
4) Kelainan tulang iga, diantaranya adalah fraktur costae, pneumothorak, dan

hematothorak.
5) Kelainan jantung, salah satunya adalah kegagalan pompa pada jantung kiri.
(Medis Salam, 2013)

Sedangkan untuk kriterian pemasangan ventilator menurut Pontopidan

(2009), seseorang perlu mendapatkan bantuan ventilasi mekanik (ventilator)

apabila :

a. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.

b. Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.

c. PaCO2 lebih dari 60 mmHg

d. AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg

e. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

2. Macam atau Jenis Ventolator

Macam atau jenis ventilator menurut sifatnya ventilator dibagi menjadi tiga

tipe yaitu:

a. Volume Cycled Ventilator

Perinsip dasar ventilator ini adalah siklusnya berdasarkan volume. Mesin

berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang

21
ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada

komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.

b. Pressure Cycled Ventilator

Perinsip dasar ventilator type ini adalah siklusnya menggunakan tekanan.

Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang

telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi

terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru,

maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang

setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.

c. Time Cycled Ventilator

Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah siklusnya berdasarkan waktu

ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan

oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit). Normal ratio I : E

(inspirasi : ekspirasi ) adalah 1 : 2.

3. Mode-Mode Ventilator

Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan

ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung

dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mode Control

Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien.

Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali

atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan

diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada

ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila

22
pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan

dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara

inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli

pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah CR (Controlled

Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten

Positive Pressure Ventilation).

b. Mode IMV / SIMV (Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized

Intermitten Mandatory Ventilation)

Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara bergantian

dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan

pada frekuensi yang di setting tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat

inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting (benturan antara pernafasan

ventilator dengan pernafasan pasien) dengan segala akibatnya. Oleh karena itu

pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga

pernafasan mandatory yang diberikan sinkron dengan pernafasan pasien. Mode

IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas secara spontan tetapi

belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.

c. Mode ASB / PS (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport)

Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas secara spontan atau

pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumenya belum mencukupi karena

pernafasan pasien tergolong dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai

kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger

pernafasannya maka udara pernafasan tidak diberikan.

d. CPAP (Continous Positive Air Pressure)

23
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada

pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian mode ini

adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot pernafasan sebelum

pasien dilepas dari ventilator

4. Efek Ventilasi Mekanik

Akibat dari tekanan positif pada rongga thorak, darah yang kembali ke

jantung menjadi terhambat dan venous return menurun maka cardiac output

(curah jantung) juga menurun. Apabila kondisi penurunan respon simpatis

(misalnya karena hipovolemia, obat dan usia lanjut) terjadi maka bisa

mengakibatkan hipotensi. Darah yang melewati paru-paru juga akan berkurang

karena adanya kompresi microvaskuler (pembuluh darah kecil) akibat dari

tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang sehingga

meakibatkan cardiac output juga berkurang. Apabila tekanan terlalu tinggi dapat

terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu apabila volume tidal terlalu tinggi yaitu

lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan lebih besar dari 40 CmH2O, tidak hanya

mempengaruhi cardiac output (curah jantung) tetapi juga dapat menimbulkan

resiko terjadinya pneumothorak.

Sedangkan efek pada organ lain adalah dapat mengakibatkan cardiac output

menurun sehingga perfusi ke organ-organ lainpun ikut menurun. Akibat tekanan

positif di rongga thorak darah yang kembali dari otak terhambat sehingga dapat

mengakibatkan tekanan intrakranial meningkat.

5. Komplikasi Penggunaan Ventilator

Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tetapi apabila

perawatannya tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

24
a. Pada paru

1) Baro trauma : tension pneumothorak, emphisema sub cutis, emboli udara

vaskuler

2) Atelektasis/kolaps alveoli diffuse

3) Infeksi paru

4) Keracunan oksigen

5) Aspirasi cairan lambung

6) Tidak berfungsinya penggunaan ventilator

7) Kerusakan jalan nafas bagian atas

b. Pada sistem kardiovaskuler, hipotensi dan menurunya cardiac output

dikarenakan menurunnya aliran balik vena akibat meningkatnya tekanan

intra thorak pada pemberian ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.

c. Pada sistem saraf pusat

1) Vasokonstriksi cerebral, terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri

(PaCO2) dibawah normal akibat dari hiperventilasi.

2) Oedema cerebral, terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas

normal akibat dari hipoventilasi.

3) Peningkatan tekanan intra kranial

4) Gangguan kesadaran

5) Gangguan tidur

d. Pada sistem gastrointestinal

1) Distensi lambung dan illeus

2) Perdarahan lambung.

e. Gangguan psikologi

25
6. Prosedure Pemasangan Ventilator

Sebelum memasang ventilator pada pasien. Terlebih dahulu lakukan tes paru

pada ventilator untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standart.

Sedangkan pengaturan awal adalah sebagai berikut:

a. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%

b. Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB

c. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit

d. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik

e. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir ekspirasi

adalah 0-5 cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan

untuk mencegah atelektasis. Pengaturan untuk pasien ditentukan oleh tujuan

terapi sedangkan perubahan pengaturan ditentukan oleh respon pasien yang

ditunjukkan oleh hasil laboratorium yakni analisa gas darah (Blood Gas).

C. Ventilator Associated Pnemonia (VAP)

1. Definisi Ventilator Assosiated Pneumonia (VAP)

Pneumonia terkait ventilator atau Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang

mengalami inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan

menggunakan ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama (lebih

dari 48 jam) merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang paling

penting. VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul lebih dari 48 jam

setelah intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. Langer dkk, membagi

VAP menjadi onset dini (early onset) yang terjadi dalam 96 jam pertama

26
pemberian ventilasi mekanis dan onset lambat (late onset) yang terjadi lebih dari

96 jam setelah pemberian ventilasi mekanis.

American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu

keadaan dengan gambaran infiltrat paru yang menetap pada foto thoraks disertai

salah satu gejala yaitu ditemukan hasil biakan darah atau pleura sama dengan

mikroorganisme yang ditemukan pada sputum maupun aspirasi trakea, kavitas

pada rongga thoraks, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut,

yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen.

VAP merupakan bagian dari pneumonia nosokomial, yaitu suatu infeksi pada

parenkim paru yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen yang sering

ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial

terjadi pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 48 jam,

dimana periode inkubasinya tidak lebih dari 2 hari. Bagian dari pneumonia

nosokomial, yaitu VAP, biasa terjadi pada pasien yang dirawat di ICU yang telah

terintubasi atau menggunakan ventilator mekanik.

2. Etiologi

Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan hasil isolasi

kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram negatif sangat sering

ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram positif telah mengalami

peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada neonatus. Bakteri

penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau

lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman

gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp,

27
Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan

Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II

adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella

pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA).

Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter

spp, dan MRSA.

3. Epidemologi

VAP merupakan infeksi nosokomial kedua tersering dan menempati

urutan pertama penyebab kematian akibat infeksi nosokomial pada pasien di

ICU. Penelitian terbesar di Amerika Serikat dengan data lebih dari 9000

pasien menemukan bahwa VAP terjadi pada 9,3% penderita yang menggunakan

ventilasi mekanis lebih dari 24 jam. Penelitian di Eropa menyimpulkan

bahwa ventilasi mekanis dapat meningkatkan risiko pneumonia 3 kali lipat

dibandingkan penderita tanpa ventilator, sedangkan di Amerika dilaporkan 24

kali lipat (Wirasiti, 2006).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian VAP dipengaruhi

oleh usia, dengan 5 dari 1000 kasus dilaporkan pada pasien dengan usia kurang

dari 35 tahun dan 15 dari 1000 kasus di temukan pada pasien dengan usia diatas

65 tahun. Penelitian terbaru menyebutkan VAP meningkatkan lama rawat

pasien hingga 7 sampai 9 hari per pasien, menyebabkan peningkatan jumlah

pasien yang terkena infeksi di ICU hingga 25% dan juga

meningkatkan penggunaan antibiotik hingga lebih dari 50% (Vincent, 2011).

28
Hasil penelitian Kollef dkk. menyatakan bahwa penderita VAP

yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp

dan Stenophomonas maltophilia meningkatkan angka mortalitas secara

bermakna (65%) dibandingkan penderita dengan onset lambat akibat kuman

lain (31%) maupun tanpa pneumonia onset lambat (37%) (Wirasiti, 2006).

4. Faktor Resiko

Beberapa faktor disebutkan dapat meningkatkan risiko VAP di ICU,

diantaranya :

a. Profilaksis stress ulcer

Pada pasien ICU, pilihan profilaksis untuk stress ulcer antara lain

sukralfat, H2-antagonis (histamine type 2 blockers /H2 Blockers), atau

penghambat pompa proton/Proton Pump Inhibitors (PPI) (Vincent, 2011).

Antasida dan H2-antagonis telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor

risiko VAP. Kedua obat tersebut memiliki kemampuan untuk menurunkan

keasaman lambung dan juga meningkatkan volume dalam lambung (dalam

kasus antasida) sehingga dapat memicu terbentuknya kolonisasi dalam gaster dan

aspirasi isi lambung ke paru. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan dua obat

tersebut sebagai profilaksis stress ulcer dapat meningkatkan risiko terjadinya

VAP (Marc, 2012).

Pada sebuah meta-analisis tentang keamanan dan efektifitas PPI jika

dibandingkan dengan H2-antagonis ditemukan bahwa tidak ada perbedaan antara

PPI dan H2-antagonis jika dihubungkan dengan resiko VAP dan kematian di ICU

(Vincent, 2011).

29
Sukralfat telah dinyatakan sebagai obat alternatif untuk profilaksis stress

ulcer karena obat ini tidak menurunkan keasaman lambung maupun

meningkatkan volume dalam lambung secara signifikan sehingga mengurangi

risiko aspirasi. Sukralfat merupakan satu-satunya obat yang potensial

mencegah stress ulcer tanpa menurunkan keasaman lambung. Walaupun sebuah

penelitian double blind dengan sistem randomize trial gagal membuktikan

bahwa pemberian sukralfat dapat mengurangi risiko terjadinya VAP,

sukralfat tetap menjadi obat pilihan untuk profilaksis stress ulcer karena

memiliki risiko VAP lebih kecil jika dibandingkan dengan profilaksis stress

ulcer lainnya . Pada sebuah meta-analisis, penggunaan ranitidin memiliki risiko

VAP 4% lebih tinggi daripada sukralfat. Namun, pemakaian ranitidin

memberikan efek proteksi lebih baik terhadap kemungkinan perdarahan

lambung pada pasien risiko tinggi yang memakai ventilator. Dapat

disimpulkan bahwa penggunaan sukralfat bisa mengurangi risiko VAP, seperti

yang telah dibuktikan pada studi kasus terbaru, tapi disisi lain sukralfat bisa

meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal (Marc,2012).

b. Intubasi

Intubasi dan ventilasi mekanik bisa meningkatkan risiko VAP. Pemakaian

intubasi yang tidak terlalu dibutuhkan harus sebisa mungkin dihindari. Ventilator

non-invasif yang menggunakan sungkup muka bisa digunakan sebagai alternatif

pada pasien ICU yang menggunakan ventilator karena memiliki risiko VAP

yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan ventilator invasif (Marc,

2012).

c. Lama/durasi penggunaan ventilator mekanik

30
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi lama/durasi penggunaan ventilator

sebagai salah satu faktor penting pemicu VAP. Pada pasien dengan ventilasi

mekanik, insiden VAP meningkat seiring dengan lamanya ventilasi dan tidak

konstan dari waktu ke waktu pemakaian ventilator. Risiko VAP tertinggi

terdapat pada awal perawatan di rumah sakit. Pada sebuah penelitian

kohort diperkirakan risiko VAP sebanyak 3% setiap hari selama minggu

pertama dari ventilasi, 2% setiap hari diminggu kedua, dan 1% setiap hari pada

minggu ketiga dan seterusnya. Dapat disimpulkan, penurunan durasi penggunaan

ventilator bisa menurunkan risiko VAP, khususnya jika penurunan durasi

dilakukan di minggu pertama atau minggu kedua (Japoni,2011).

d. Aspirasi dan nutrisi

Aspirasi isi lambung maupun dari orofaring yang telah terkontaminasi

flora yang berkolonisasi adalah faktor penting dalam patogenesis VAP. Orofaring

berperan penting dengan menjadi sumber kuman terbanyak penyebab VAP

(Marc, 2012).

e. Posisi supin

Studi terbaru menunjukkan pasien yang terintubasi memiliki risiko lebih

tinggi mengalami aspirasi gastropulmoner jika berada dalam posisi supin

(0 derajat) jika dibandingkan dengan posisi semirecumbent (45 derajat)

(Vincent, 2011).

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Torres dengan

menginjeksikan bahan radioaktif melalui pipa nasogastrik secara langsung

ke lambung dari 19 pasien dengan ventilator mekanik, ditemukan bahan

radioaktif tersebut pada sekret endrobronkhial lebih banyak pada pasien

31
dalam posisi supin daripada pasien dalam posisi semirecumbent. Penelitian

lain menemukan mikroorganisme yang diisolasi dari lambung, faring dan

sekret endobronkial sebanyak 32% jika diambil pada pasien dengan posisi

semirecumbent dan 68% pada pasien dengan posisi supin (Cook DJ, 2012).

f. Nutrisi Enteral

Nutrisi enteral telah diperhitungkan sebagai salah satu risiko terjadinya

VAP, dikarenakan bisa meningkatkan risiko penurunan keasaman lambung,

refluk gastro-esofageal, dan aspirasi gastropulmoner. Namun nutrisi parenteral,

sebagai alternatif nutrisi enteral, disisi lain bisa meningkatkan risiko infeksi

akibat pemakaian kateter (catheter-related infection), komplikasi pada daerah

penusukan dan harga yang lebih mahal (Vincent, 2011).

Penelitian klinis dan data terbaru menyarankan pemberian nutrisi post-

pilorik atau jejunal untuk mengurangi risiko aspirasi sehingga dapat

menurunkan komplikasi infeksi jika dibandingkan dengan pemberian nutrisi

intragastrik meskipun hal ini masih kontroversial (Fink MP, 2005).

Sebuah meta-analisis dari 15 studi pada 753 pasien ICU akibat trauma, luka

bakar dan operasi abdomen menemukan insiden infeksi yang lebih rendah

secara signifikan serta menurunkan lama rawat yang dihubungkan

dengan pemberian nutrisi enteral lebih awal (early enteral feeding). Sebaliknya,

pemberian nutrisi enteral yang lebih awal (early enteral feeding) bisa

meningkatkan risiko VAP. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Artinian dkk.,

ditemukan adanya peningkatan risiko VAP yang dihubungkan dengan pemberian

nutrisi enteral,tapi tidak meningkatkan risiko kematian. Jadi, dapat disimpulkan

32
bahwa pada pasien ICU keuntungan pemberian nutrisi enteral berbanding

lurus dengan peningkatan risiko VAP (Vincent, 2011).

g. Modulasi oleh kolonisasi

Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan atas merupakan salah satu

faktor penyebab terjadinya VAP. Kolonisasi orofaringeal yang ditemukan

pada pasien ICU telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen

penyebab VAP yang disebabkan bakteri enterik gram negatif dan

Pseudomonas aeruginosa. Modulasi dari kolonisasi orofaringeal bisa

dicegah dengan pengunaan beberapa antiseptik seperti chlorhexidine

gluconate, iseganan, atau povidone iodine, dimana chlorhexidine lebih

banyak diteliti (Vincent, 2011). Chlorhexidine merupakan salah satu antiseptik

pada operasi, terutama digunakan pada kedokteran gigi. Obat ini

mempunyai aktivitas antiseptik yang kuat, bersifat bakteriostatik untuk

kuman gram positif maupun gram negatif, walaupun ada beberapa kuman gram

negatif yang resisten. Chlorhexidine digunakan sebagai alternatif penggunaan

antibiotik yang dapat memicu terjadinya resistensi kuman (Syarif.A, 2007).

h. Antibiotik sistemik

Peran antibiotik sistemik dalam kejadian VAP masih belum jelas.

Namun, penggunaan antibiotik di rumah sakit sering dihubungkan

dengan meningkatnya risiko VAP dan resistensi antibiotik. Sebuah penelitian

kohort yang dilakukan pada 320 pasien menyimpulkan bahwa penggunaan

antibiotik sebelumnya merupakan salah satu variabel yang berhubungan

dengan kejadian VAP bersama dengan pasien dengan gagal organ, usia

lebih dari 60 tahun, dan posisi kepala tertentu. Namun, penelitian lainnya

33
menemukan bahwa penggunaan antibiotik pada 8 hari pertama bisa

menurunkan angka kejadian VAP dengan onset dini (early onset).

Meskipun demikian, sebagian besar ahli berpendapat bahwa penggunaan

antibiotik sebelumnya pada pasien ICU meningkatkan risiko infeksi dengan

patogen yang resisten dan hanya memperlambat kejadian VAP (Porzecanski,

2012).

i. Pembedahan

Pasien pasca pembedahan memiliki risiko lebih tinggi terkena VAP.

Penelitian Cunnion pada pasien dewasa di ICU menunjukkan bahwa pasien pasca

pembedahan di ICU lebih banyak yang terkena VAP daripada pasien non-bedah.

VAP pada pasien pasca bedah dikaitkan dengan beberapa kondisi,

seperti: penyakit yang mendasari, kadar albumin preoperatif yang

rendah, riwayat merokok, lamanya perawatan preoperatif, dan prosedur operasi

yang lama. Tidak semua pasien pasca operasi dengan ventilator mekanik di

ICU memiliki risiko yang sama untuk terkena VAP karena hal ini juga

dipengaruhi oleh lokasi dan indikasi operasi. Pasien yang mengalami operasi

kardiotoraks dan operasi akibat trauma(biasanya kepala) memiliki risiko lebih

besar terkena VAP dibandingkan operasi pada lokasi tubuh lainnya (Chastre J,

2002).

34
5. Patogenesis

Patogenesis VAP sangat kompleks. Kollef menyatakan insiden VAP

tergantung pada lamanya paparan lingkungan dan penggunaan alat

kesehatan tertentu, dan faktor risiko lain. Faktor-faktor risiko ini

meningkatkan kemungkinan terjadinya VAP dengan cara meningkatkan

terjadinya kolonisasi traktus aerodigestif oleh mikroorganisme patogen dan

meningkatkan terjadinya aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran

napas bawah. Kuman dalam aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam

saluran napas bawah dan di parenkim paru. Biofilm tersebut akan

memudahkan kuman untuk menginvasi parenkim paru lebih lanjut sampai

kemudian terjadi reaksi peradangan di parenkim paru. Cook dkk.

menunjukkan bahwa lambung adalah reservoir utama kolonisasi dan aspirasi

mikroorganisme. Hal dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti pemakaian obat

yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan pencegah/ profilaksis stress

ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi enteral, dan derajat keparahan

penyakit pasien (Cook DJ, 2012).

35
Saluran pernapasan normal memiliki berbagai mekanisme pertahanan paru

terhadap infeksi seperti glotis dan laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial,

gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem fagositik. Pneumonia akan

terjadi apabila pertahanan tersebut terganggu dan adanya invasi mikroorganisme

virulen. Sebagian besar VAP disebabkan oleh aspirasi kuman patogen yang

berkolonisasi dipermukaan mukosa orofaring, dimana intubasi akan

mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi sekitar

ujung pipa endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang. Selain itu, VAP

dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Bronkoskopi serat optik,

penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat

mengkontaminasi kuman patogen kedalam saluran pernapasan bawah (Wirasiti,

2006).

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai VAP membutuhkan

tindakan yang cepat dan tepat dengan pemberian antimikroba/antibiotik dan

perawatan menyeluruh. Walaupun pengambilan sampel mikrobiologi

harus dilakukan sebelum memulai terapi, hal ini tidak boleh menunda

pemberian antibiotik. Sebagian besar penelitian menunjukkan penundaan

pemberian terapi yang efektif menyebabkan peningkatan angka kematian.

Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan epidemiologi dan pola kuman

setempat. Pada pasien dengan early onset VAP yang sebelumnya belum

pernah menerima terapi antibiotik bisa diberikan monoterapi dengan

generasi ketiga sefalosporin.

36
Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah penggunaan ventilator

mekanik jangka panjang dan telah pernah menggunakan antibiotik

sebelumnya memerlukan antibiotik kombinasi agar dapat mengatasi patogen

yang potensial (Chen YY, 2012).

Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan

untuk infeksi saluran pernapasan. Luna dkk. menyebutkan bahwa pemberian

antibiotik yang adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan

hidup penderita VAP pada saat data mikrobiologik belum tersedia.

Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan

kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian

antibiotika pada 95% penderita VAP sambil menunggu hasil biakan BAL (Luna

CM, 2003).

Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita

yang mendapatkan pengobatan penisilin anti-pseudomonas ditambah

penghambat β-laktamase serta aminoglikosida memiliki angka kematian

lebih rendah.

Piperasilin-tazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak

digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%),

sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%). Singh dkk. menyatakan bahwa

siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kuman Enterobacteriaceae,

Haemophilus influenza dan Staphylococcus aureus. Pemberian antibiotika

dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita dengan kecendrungan VAP rendah

(CPIS < 6) (Jaime C, 2013).

7. Pencegahan

37
Beberapa penelitian telah berhasil membuktikan keberhasilan strategi-

strategi tertentu dalam mencegah kejadian VAP. Olson dkk. melaporkan

bahwa silvercoated tube mengurangi pembentukan biofilm sehingga dapat

mengurangi kolonisasi kuman dengan angka risiko kecil, selain itu juga

memperlambat durasi kolonisasi internal dari 1,8 ± 0,4 menjadi 3,2 ± 0,8 hari.

Penderita di ICU yang mendapatkan pengaliran subglotik intermiten memiliki

insiden VAP lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol.

Pengurangan penggunaan antibiotik di ICU juga dapat menurunkan insiden

pneumonia nosokomial akibat resistensi obat. Salah satu intervensi yang

berkaitan dengan penurunan insidensi VAP dan penggunaan antibiotik adalah

ventilasi non invasif pada penderita gagal napas akut (Olson ME, 2012).

Secara umum, pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori,

yaitu strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi

saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang

bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi (Mandell LA, 2012).

Intervensi pencegahan VAP menurut Iregui Kollef tahun 2002 diantaranya :

1. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna :

a. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu

b. Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi

c. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer

d. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara

selektif

e. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut

38
f. Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi

g. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita

h. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR

2. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi:

a. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera

mungkin

b. Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk

c. Menghindari distensi lambung berlebihan

d. Intubasi oral atau non-nasal

e. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea

f. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan

D. Pengaruh Lama Pemakaian Ventilator terhadap Kejadian Ventilator

Associated Pnemonia di Ruang ICU

VAP adalah pneumonia yang merupakan infeksi nosokomial yang terjadi

setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik, baik melalui pipa

endotrakeal maupun pipa trakeostomi. VAP menjadi perhatian utama ICU karena

merupakan kejadian yang cukup sering dijumpai, sulit untuk di diagnosis secara

akurat dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk pengobatannya. Kejadian

VAP memperpanjang lama perawatan pasien di ICU dan berhubungan erat

dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas pasien di ICU, dengan angka

kematian mencapai 40-50% dari total penderita (Hunter JD, 2012).

Secara umum, VAP dapat didiagnosis jika ditemukan tanda diagnosis standar

seperti demam, takikardi, leukositosis, sputum yang purulen dan konsolidasi

pada gambaran radiografi thoraks. Namun diagnosa VAP agak sulit dilakukan

39
jika hanya melihat tampilan klinis pasien. Oleh sebab itu, diagnosa VAP dapat

dibantu dengan Critical Pulmonary Infection Score (CPIS). Penentuan CPIS

didasarkan pada 6 variabel yaitu suhu tubuh pasien, jumlah leukosit dalam

darah, volume dan tingkat ke kentalan sekret trakea, indeks oksigenasi,

pemeriksaan radiologi paru dan kultur semikuantitatif dari aspirasi trakea. Jika

diperoleh skor lebih dari 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan (Luna CM,

2003).

Beberapa faktor risiko dicurigai dapat memicu terjadinya VAP, antara lain

usia lebih dari 60 tahun, derajat keparahan penyakit, penyakit paru akut atau

kronik, sedasi yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, posisi

tubuh yang supine, Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 9, penggunaan obat

pelumpuh otot, perokok dan lama pemakaian ventilator (Luna CM, 2003).

Pemakaian ventilator mekanik dengan pipa yang diintubasikan ke tubuh pasien

akan mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi ujung pipa

endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang (Marc J, 2004).

Lama penggunaan ventilator mekanik diduga merupakan salah satu faktor

risiko penting yang terkait dengan kejadian VAP. Philippe Vanhems, dkk.,

dalam penelitiannya pada tahun 2001-2009 di 11 ICU di Perancis,

menemukan 367 (10.8%) dari 3.387 pasien dihitung dalam 45.760 hari

pemakaian ventilator mekanik yang mengalami kejadian VAP dalam 9 hari

pertama. Berdasarkan hasil perhitungan, diprediksikan angka kejadian VAP

pada hari pertama dan kedua (< 48 jam) adalah 5,3 dan 8,3 kejadian. Penelitian

dilakukan pada pasien dengan usia rata-rata 54,3 tahun dan angka kematian

21,7% (Vanhems P Benet, 2011). Perbedaan angka kejadian VAP di hari

40
pertama dan kedua mengindikasikan adanya pengaruh lama pemakaian

ventilator dalam kasus ini, walaupun faktor-faktor risiko lain masih ikut

berpengaruh.

Penelitian tentang VAP juga sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia,

salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Imama Pranita R.

disebuah rumah sakit di Surabaya. Penelitian ini mengkaji beberapa faktor

risiko yang terkait dengan kejadian VAP, seperti metode suction, umur, riwayat

penyakit paru, diabetes mellitus dan merokok, termasuk lama pemakaian

ventilator (Rosyida MIP, 2011).

41
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kondisi lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar yang merupakan Rumah

Sakit UPT. Kemenkes dengan PPKBLU yang bernama lengkap Rumah Sakit

Umum Pusat Sanglah Denpasar. Adapun lokasi RSUP Sanglah Denpasar yaitu

di Jalan Diponogoro Denpasar, 80114 Bali. RSUP Sanglah Denpasar

merupakan rumah sakit rujukan terbesar untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur.

RSUP Sanglah awalnya dibangun pada tahun 1956 dan diresmikan pada

tanggal 30 Desember 1959 dengan kapasitas 150 tempat tidur oleh Ir.

Soekarno. Pada tahun 1962 bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana sebagai Rumah Sakit Pendidikan. Pada tahun 1978

menjadi rumah sakit pendidikan tipe B dan sebagai rumah sakit rujukan untuk

Bali, NTB, NTT, Timor Timur (SK Menkes RI No.134/1978). Dalam

perkembangannya RSUP Sanglah mengalami beberapa kali perubahan status,

pada tahun 1993 menjadi rumah sakit swadana (SK Menkes No.

1133/Menkes/SK/VI/1994). Kemudian tahun 1997 menjadi Rumah Sakit PNBP

(Pendapatan Negara Bukan Pajak). Pada tahun 2000 berubah status menjadi

Perjan (Perusahaan Jawatan) sesuai peraturan pemerintah tahun 2000. Terakhir

pada tahun 2005 berubah menjadi PPKBLU (Kepmenkes RI NO.1243 tahun

2005 tanggal 11 Agustus 2005) dan ditetapkan sebagai RS Pendidikan Tipe A

sesuai Permenkes 1636 tahun 2005 tertanggal 12 Desember 2005. Pada tahun
2017 jumlah tempat tidur yang tersedia di RSUP Sanglah Denpasar sebanyak

765 tempat tidur sedangkan memasuki tahun 2018 tercatat sebanyak 765

tempat tidur yang dimiliki.

Penelitian tentang pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi

oksigen pada pasien PPOK dilakukan di IGD RSUP Sanglah Denpasar pada

tanggal 13 Januari – 20 Januari 2020. IGD RSUP Sanglah Denpasar berada di

lanate 1 yang dibagi menjadi 4 ruangan yaitu IGD Bedah, IGD Medik, Fast Track

dan Triage Anak.

2. Karakteristik subyek penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini yaitu pasien PPOK di IGD Sanglah

Denpasar tahun 2020 sebanyak 5 orang. Karakteristik responden yang diteliti

dapat diuraikan berdasarkan usia dan jenis kelamin disajikan dalam bentuk tabel

sebagai berikut :

a. Karakteristik responden berdasarkan usia

Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 1 yaitu

sebagai berikut :

Tabel 1
Distribusi Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Usia di IGD RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2020

N Mean Median Modus Standar Deviasi Min-Max


5 62,80 63 59 3,899 59-68

Berdasarkan interpretasi tabel 1 diatas, dari 5 responden didapatkan bahwa

rata-rata usia responden yaitu 62,80 tahun dengan usia terbanyak yaitu 59 tahun

dan mediannya yaitu 63 tahun dengan standar deviasi yaitu 3,899 dan usia

termuda yaitu 59 tahun dan usia tertua yaitu 68 tahun.

34
b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 2

yaitu sebagai berikut :

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Jenis Kelamin di
IGD RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020

No Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)


1 Laki-laki 4 80,0
2 Perempuan 1 20,0
Jumlah 5 100

Berdasarkan interpretasi tabel 2 diatas, dari 5 responden didapatkan bahwa

sebagian besar yaitu 80% berjenis kelamin laki-laki.

3. Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian sesuai variabel penelitian

Hasil pengamatan terhadap pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah Denpasar

sesuai variabel penelitian menggunakan pulse oximetry yang sudah terkalibrasi

untuk mengukur saturasi oksigen sebelum dan setelah pemberian deep breathing

excercise. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :


a. Saturasi oksigen sebelum pemberian deep breathing excercise
Distribusi responden berdasarkan saturasi oksigen sebelum pemberian deep

breathing exercise dapat dilihat pada tabel 3 yaitu sebagai berikut :

Tabel 3
Distribusi Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK Sebelum Pemberian Deep
Breathing Excecise di IGD RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020

N Mean Median Modus Standar Deviasi Min-Max


5 94,40 95,00 95 1,517 92-96

Berdasarkan interpretasi tabel 3 diatas, dari 5 responden didapatkan bahwa

rata-rata saturasi oksigen sebelum pemberian deep breathing excercise yaitu

35
94,40% dengan saturasi oksigen terbanyak yaitu 95% dan mediannya yaitu 95%

dengan standar deviasi 1,517, saturasi oksigen terendah yaitu 92% dan tertinggi

yaitu 96%.
b. Saturasi oksigen setelah pemberian deep breathing excercise
Distribusi responden berdasarkan saturasi oksigen setelah pemberian deep

breathing exercise dapat dilihat pada tabel 4 yaitu sebagai berikut :

Tabel 4
Distribusi Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK Setelah Pemberian Deep
Breathing Excecise di IGD RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2020

N Mean Median Modus Standar Deviasi Min-Max


5 97,40 97,00 97 1,140 96-99

Berdasarkan interpretasi tabel 4 diatas, dari 5 responden didapatkan bahwa

rata-rata saturasi oksigen setelah pemberian deep breathing excercise yaitu

97,40% dengan saturasi oksigen terbanyak yaitu 97% dan mediannya yaitu 97%

dengan standar deviasi 1,140, saturasi oksigen terendah yaitu 96% dan tertinggi

yaitu 99%.

4. Hasil analisis data

Sebelum melakukan analisa data dilakukan uji normalitas terlebih dahulu

karena variabel saturasi oksigen berskala data interval dengan menggunakan uji

shapiro wilk, hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 5 yaitu sebagai berikut :

Tabel 5
Uji Normalitas Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK Sebelum dan Setelah
Pemberian Deep Breathing Excecise di IGD RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2020

Shapiro Wilk
Saturasi Oksigen
N p Value

36
Sebelum diberikan perlakuan 5 0,492
Setelah diberikan perlakuan 5 0,814

Berdasarkan interpretasi tabel 5 diatas, didapatkan bahwa nilai p sebelum

pemberian deep breathing exercise yaitu 0,492 dan setelah pemberian deep

breathing exercise yaitu 0,814, karena nilai p > α (0,05) maka data berdistribusi

normal. Hal ini berarti untuk analisa data menggunakan uji paired t-test
Analisa data dilakukan untuk menganalisis pengaruh pemberian deep

breathing exercise terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK di IGD RSUP

Sanglah Denpasar tahun 2020 dengan menggunakan uji paired t-test, hasil analisis

dapat dilihat pada tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6
Analisis Bivariat Pengaruh Pemberian Deep Breathing Exercise Terhadap Saturasi
Oksigen Pada Pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2020

Saturasi Oksigen N Mean Selisih Mean p Value


Sebelum diberikan
5 94,40
perlakuan
3 0,001
Setelah diberikan
5 97,40
perlakuan

Berdasarkan interpretasi tabel 6 diatas, didapatkan bahwa terjadi peningkatan

rata-rata saturasi oksigen pada pasien PPOK setelah pemberian deep breathing

excercise dibandingkan dengan sebelum pemberian deep breathing excercise

sebanyak 3%, dengan rata-rata saturasi oksigen sebelum pemberian deep

breathing excercise yaitu 94,40% meningkat menjadi 97,40% setelah pemberian

deep breathing excercise.


Hasil analisis bivariat menggunakan uji paired t-test dan diperoleh nilai p =

0,001. Karena nilai p < α (0,05), maka H 0 ditolak. Hal ini berarti bahwa ada

pengaruh pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen pada

pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah Denpasar tahun 2020.

37
B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Karakteristik pasien PPOK di Ruang Nakula RSUD Sanjiwani Gianyar

a. Usia
Penelitian yang dilakukan terhadap 5 pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah

Denpasar didapatkan bahwa rata-rata usia responden yaitu 62,80 tahun dengan

usia terbanyak yaitu 59 tahun dan mediannya yaitu 63 tahun dengan standar

deviasi yaitu 3,899 dan usia termuda yaitu 59 tahun dan usia tertua yaitu 68 tahun.

Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkurangnya fungsi paru.

Menurut Yunus F (2007) menjelaskan bahwa faal paru pada setiap individu akan

bertambah atau meningkat volumenya sejak masa kanak-kanak dan mencapai

maksimal pada usia 19 – 21 tahun. Setelah usia itu faal paru terus menurun sesuai

dengan bertambahnya usia. Semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi

parunya akan semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin menurunnya

elastisitas dinding dada. Selama proses penuaan terjadi penurunan elastisitas

alveoli, penebalan kelenjar bronkial dan penurunan kapasitas paru. Perubahan ini

menyebabkan penurunan pada fungsi paru pasien dan meningkatkan risiko

terserang penyakit PPOK (Yunis, 2007).


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yatun dkk

(2016) di Rumah Sakit Paru Jember tentang faktor risiko PPOK menyatakan

bahwa -rata umur responden yaitu 59,34 dengan standar deviasi 7,07 tahun dan

usia termuda adalah 40 tahun dan usia tertua 65 tahun. Berdasarkan hasil

penelitian dan teori yang relevan, didapatkan bahwa rata-rata pasien PPOK di

IGD RSUP Sanglah Denpasar berusia 62,80 tahun, hal ini dapat diasumsikan

bahwa semakin tinggi usia maka semakin besar risiko terserang penyakit PPOK,

hal ini disebabkan karena proses degeneratif, penurunan fisiologis tubuh seperti

38
menurunnya elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial dan penurunan

kapasitas paru.

b. Jenis kelamin

Penelitian yang dilakukan terhadap 5 pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah

Denpasar didapatkan bahwa sebagian besar yaitu 80% berjenis kelamin laki-laki.

PPOK lebih banyak terjadi pada laki-laki karena kebiasaan merokok laki-laki

lebih tinggi dibandingkan perempuan dimana prevalensi perokok di Indonesia 16

kali lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Riskesdas, 2013).

Menurut data GATS (2011) bahwa sebanyak 67% laki-laki di Indonesia adalah

perokok. Merokok adalah faktor risiko utama PPOK dan asap rokok adalam

penyebab utama PPOK. Asap rokok akan menyebabkan terjadi

ketidakseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase yaitu elastase

bertambah banyak dan aktivitas sistem antielastase yaitu sistem alfa-1 protease

inhibitor terutama enzim alfa-1 antitripsin menjadi menurun. Akibat akan terjadi

kerusakan jaringan elastin paru. Apabila terjadi kerusakan jaringan elastin paru

akan mempengaruhi elastisitas paru dan compliance paru. Akibatnya

berkurangnya elastisitas paru atau rekoil paru disebabkan karena terjadinya high

compliance paru yang menyebabkan ekspirasi sudah selesai saat belum semua

karbondioksida habis dikeluarkan. Elastisitas paru atau rekoil paru ini dibutuhkan

untuk ekspirasi normal dan meningkatkan risiko terjadinya PPOK (Soemantri, E.

Soeria., Uyainah, 2004).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yatun dkk

(2016) di Rumah Sakit Paru Jember tentang faktor risiko PPOK menyatakan

bahwa dari 53 responden sebagian besar yaitu 37 responden (69,8%) berjenis

39
kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang relevan didapatkan

bahwa sebagian besar pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah Denpasar berjenis

kelamin laki-laki, hal ini disebabkan karena pasien PPOK yang laki-laki lebih

banyak yang merokok dibandingkan yang perempuan. Hal ini dapat diasumsikan

berarti pasien PPOK yang berjenis kelamin laki-laki lebih berisiko menderita

penyakit PPOK.

2. Saturasi oksigen pada pasien PPOK sebelum pemberian deep breathing

excercise

Penelitian yang dilakukan terhadap 5 pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah

Denpasar didapatkan bahwa rata-rata saturasi oksigen sebelum pemberian deep

breathing excercise yaitu 94,40% dengan saturasi oksigen terbanyak yaitu 95%

dan mediannya yaitu 95% dengan standar deviasi 1,517, saturasi oksigen terendah

yaitu 92% dan tertinggi yaitu 96%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Iryanita dan Afifah (2015) yang menemukan rata-rata saturasi oksigen

pada pasien PPOK sebelum diberikan intervensi sebesar 92,12%.

Bedasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa nilai saturasi oksigen sebelum

diberikan perlakuan dikategorikan dibawah nilai normal (≥ 95%) yang

menandakan responden mengalami penyempitan jalan napas. Terjadinya

perbedaan nilai rata-rata saturasi oksigen pasien PPOK pada hasil penelitian yang

didapatkan dengan hasil penelitian terdahulu karena nilai saturasi oksigen juga

dipengaruhi oleh pemberian bronkodilator (nebulizer) untuk meredakan spasme

otot polos (Somantri, 2012). Pada penelitian ini dilakukan pengukuran saturasi

oksigen sebelum diberikan deep breathing exercise yaitu 5 menit setelah pasien

40
mendapatkan terapi nebulizer dan perlakuan yang berbeda ini yang menyebabkan

terjadinya perbedaan nilai rata-rata saturasi oksigen pada pasien PPOK.

Saturasi oksigen yang dibawah nilai normal sebelum dilakukan intervensi

pada pasien PPOK dengan sesak napas akan mengalami penyempitan jalan napas

sehingga menyebabkan pengembangan paru yang tidak optimal, terjadinya

pertambahan ruang rugi dan penurunan difusi oksigen yang akan berdampak pada

penurunan saturasi oksigen (Smeltzer & Bare, 2002). Penurunan kapasitas vital

paru menyebabkan kecilnya perbedaan gradien tekanan gas oksigen dalam alveoli

dengan kapiler (Guyton & Hall, 2012). Pada pasien PPOK terjadi resistensi

saluran napas meningkat sehingga harus diciptrakan gradien tekanan yang lebih

besar untuk mempertahankan kecepatan aliran udara yang normal (Sherwood,

2016). Penurunan tekanan oksigen alveoli yang lebih kecil dari tekanan gas

oksigen dalam paru ini menyebabkan terjadinya penurunan difusi oksigen yang

dapat dilihat secara sederhana melalui penurunan saturasi oksigen (Potter& Perry,

2006).

Saturasi oksigen pada pasien PPOK sebelum diberikan deep breathing

exercise pada penelitian ini ditemukan bahwa seluruh pasien pada kelompok

perlakuan mengalami hipoksemia ringan dengan rata-rata saturasi oksigen pada

kelompok perlakuan sebesar 94,40%.

Hal tersebut diakibatkan oleh adanya faktor yang dapat menyebabkan

hipoksemia seperti kadar Hb serta pajanan terhadap faktor pencetus secara terus-

menerus seperti polusi dan asap rokok. Pada penelitian ini faktor kadar Hb tidak

dapat terdeteksi karena tidak memungkinkan untuk menunggu hasil pengukuran

kadar Hb sebelum melakukan deep breathing exercise di Instalasi Gawat Darurat.

41
Untuk menunggu hasil tersebut membutuhkan waktu selama satu jam hingga 3

jam lamanya. Kemungkinan pada penelitian ini faktor kadar Hb berpengaruh pada

hasil pengukuran saturasi responden.

Kadar Hb yang rendah mempengaruhi saturasi oksigen. Konsentrasi

hemoglobin yang rendah dapat mengurangi angka maksimal pengiriman oksigen

ke jaringan dan mengakibatkan kadar laktat meningkat. Setiap penurunan Hb

sebesar 1mg/dl akan menaikkan kadar laktat sebesar 0,12 mmol/l dan setiap

peningkatan kadar laktat akan menurunkan nilai saturasi oksigen hingga

terjadinya hipoksmeia (Tantri et al.,2011).

Selain itu, dapat juga disebabkan oleh pajanan terhadap faktor pencetus

secara terus-menerus seperti pulusi dan asap rokok dari lingkungan maupun

perokok aktif. Dalam penelitian ini pasien PPOK merupakan perokok aktif

sehingga dapat mempengaruhi penurunan saturasi oksigen hingga mencapai

hipoksemia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Septia (2016)

yang menyatakan bahwa penyakit PPOK menjadi lebih berat disebabkan oleh

paparan asap rokok dari perokok aktif baik derajat ringan, sedang dan berat.

Hipoksemia adalah suatu keadaan yang menggambarkan terjadinya

penurunan saturasi oksigen di bawah normal (Kozier et al., 2011). Hipoksemia

jika tidak ditangani akan bertambah buruk dan akan mengakibatkan hipoksia.

Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cidera dan kematian sel

(Price & Wilson, 2006).

42
3. Saturasi oksigen pada pasien PPOK setelah diberikan deep breathing

excercise

Penelitian yang dilakukan terhadap 5 pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah

Denpasar didapatkan bahwa rata-rata saturasi oksigen setelah pemberian deep

breathing excercise yaitu 97,40% dengan saturasi oksigen terbanyak yaitu 97%

dan mediannya yaitu 97% dengan standar deviasi 1,140, saturasi oksigen terendah

yaitu 96% dan tertinggi yaitu 99%. Hasil penelitian ini hampir sama dengan

penelitian yang dilakukan oleh Iryanita dan Afifah (2015) yang menemukan nilai

saturasi oksigen setelah di berikan intervensi berupa slow deep breathing exercise

dengan rata-rata saturasi oksigen sebesar 94,60%. Penelitian lain yang juga

mendukung yaitu hasil penelitian oleh Budiono (2017) yang yang menyatakan

bahwa dari 24 pasien PPOK, sebesar 58% mengalami penurunan saturasi dan

menemukan nilai saturasi oksigen meningkat setelah diberikan intervensi berupa

purs lips breathing dengan nilai normal yaitu >95%.

Terjadi perbedaan nilai rata-rata saturasi oksigen setelah diberikan intervensi

berupa deep breathing exercise dengan peneliti terdahulu dikarenakan

dipengaruhi oleh lamanya pemberian intervensi dan frekuensi. Menurut Nury

(2008) pemberian deep breathing exercise dapat meningkatkan kapasitas vital

paru sehingga dapat memaksimalkan proses difusi dan terjadinya peningkatan

saturasi oksigen. Pada penelitian ini pemberian intervensi berupa deep breathing

exercise dilakukan selama 15 menit dalam sehari.

Peningkatan saturasi oksigen pada penelitian ini dikuatkan oleh teori yang

menyatakan bahwa peningkatan saturasi oksigen ini terjadi akibat saluran napas

yang awalnya menyempit akan mengalami dilatasi sehingga memaksimalkan

43
ventilasi. Ventilasi yang baik akan meningkatkan oksigen paru dan terjadi

peningkatan difusi oksigen antara alveoli dengan kapiler paru dan terjadinya

pengurangan ruang rugi yang akhirnya akan meningkatkan ssaturasi oksigen

(Price & Wilson, 2006). Peningkatan saturasi oksigen ini dikarenakan oleh latihan

otot pernapasan yaitu deep breathing exercise.

Pemberian deep breathing exercise dilakukan selama 1 hari sebanyak 25 kali

dalam 5 siklus selama 15 menit dengan cara menarik nafas melalui hidung selama

4 detik dengan lambat dan dalam, jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi dan

biarkan abdomen menonjol sebesar mungkin kemudian tahan nafas selama 2 detik

dengan tujuan untuk memaksimalkan inspirasi. Ekspirasi dilakukan dengan

menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil

mengencangkan (kontraksi) otot-otot badomen dengan 4 detik dengan tujuan

memaksimalkan udara saat ekspirasi sehingga meningkatkan saturasi oksigen

(Kozier et al., 2011)

Deep breathing exercise yang dilakkukan dalam penelitian ini dapat

meningkatkan saturasi oksigen namun hanya dalam waktu 15 menit saja sehingga

peningkatan rata-rata saturasi oksigen belum maksimal. Hal tersebut dikuatkan

oleh teori yang menyebutkan bahwa walaupun deep breathing exercise dapat

dipelajari dan dirasakan manfaatnya dalam beberapa menit saja namun manfaat

yang lebih maksimal akan dapat dirasakan jika latihan pernapasan ini dilakukan

secara rutin selama beberapa hari hinggga seminggu bahkan sebulan lamanya

(Martha, 1995).

44
4. Pengaruh pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen

pada pasien PPOK

Penelitian yang dilakukan terhadap 5 pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah

Denpasar didapatkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata saturasi oksigen pada

pasien PPOK setelah pemberian deep breathing excercise dibandingkan dengan

sebelum pemberian deep breathing excercise sebanyak 3%, dengan rata-rata

saturasi oksigen sebelum pemberian deep breathing excercise yaitu 94,40%

meningkat menjadi 97,40% setelah pemberian deep breathing excercise.


Hasil analisis bivariat menggunakan uji paired t-test dan diperoleh nilai p =

0,001. Karena nilai p < α (0,05), maka H 0 ditolak. Hal ini berarti bahwa ada

pengaruh pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen pada

pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah Denpasar tahun 2020.

Berdasarkan penelitian Budiono et al (2017) yang menunjukkan bahwa nilai

rata-rata sebelum diberikan purs lips breathing yaitu 94,33% dan rata-rata setelah

pemberian perlakuan yaitu 98,13%. Selisih rata-rata sebelum dan setelah

pemberian purs lips breathing yaitu 4,37%. Hasil penelitian ini menunjukkan

terdapat peningkatan yang bermakna antara nilai saturasin oksigen sebelum dan

setelah perlakuan dengan p value = 0,001.

Perbedaan selisih rata-rata pada hasil penelitian ini dengan penelitian

terdahulu karena perbedaan perlakuan yang diberikan. Penelitian terdahulu

memberikan intervensi berupa purs lips breathing. Pada penelitian ini intervensi

yang diberikan berupa deep breathing exercise.

Dari hasil uji statistik paired sample t test didapatkan p value sebesar 0,001.

Hal ini menunjukkan p value ≤ α (0,05) dengan demikian Ho ditolak yang berarti

ada pengaruh deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen pada pasien

45
PPOK. Hal ini terjadi karena pengaruh dari deep breathing exercise pada pasien

PPOK yang sedang mengalami sumbatan atau obstruksi jalan napas. Deep

breathing exercise dapat memaksimalkan pengeluaran udara saat ekspirasi,

pengembangan paru menjadi optimal, berkurangnya ruang rugi, proses difusi

meningkat. Hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan pada kapasitas vital

paru sehingga dapat mempengaruhi nilai saturasi oksigen pada pasien PPOK.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa deep

breathing exercise ini memiliki kemampuan yang cukup untuk meningkatkan

tekanan intra abdomen agar paru-paru dapat mengembang secara optimal

sehingga mampu untuk meningkatkan kapasital vital yang mengakibatkan

semakin besar pula kuantitas gas yang dapat berdifusi melewati membran alveolus

(Ganong, 2008). Hal ini berdampak makin meningkatnya ikatan oksihemoglobin

dalam sel darah merah dalam pembuluh darah arteri sehingga meningkatkan

saturasi oksigen (Sherwood, 2016).

Deep breathing exercise dapat menyebabkan perubahan volume intratorakal

sebesar 75% selama inspirasi. Pada saat inspirasi, terjadi penurunan otot

diafragma dan iga terangkat karena kontraksi beberapa otot. Otot

sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas otot seratus, skaleus dan

interkostalis eksternus mengangakat iga (Price & Wilson, 2006). Pada saat thorak

mengembang, paru-paru akan dipaksa untuk mengembang juga akibatnya,

tekanan intrapleura menurun dari 756 mmHg menjadi 754 mmHg. Pada saat yang

bersamaan tekanan intrapulmonal juga mengalami penurunan dari 760 mmHg

menjadi 759 mmHg sehingga, gradien tekanan transmural meningkat

menyebabkan udara masuk kedalam alveoli (Sherwood, 2016).

46
Deep breathing exercise merupakan salah satu latihan otot pernapasan untuk

meningkatkan kapasitas vital paru sehingga dapat memaksimalkan proses difusi

(Nury, 2008). Peningkatan kapasitas vital paru menyebabkan semakin

meningkatnya perbedaan tekanan parsial gas antara tekanan parsial gas dalam

alveoli dan dan tekanan parsial gas dalam darah kapiler paru (Guyton & Hall,

2012). Peningkatan tekanan parsial gas oksigen dalam alveoli menyebabkan tidak

terganggunya proses difusi sehingga dapat menyebabkan peningkatan saturasi

oksigen (Potter and Perry, 2006).

Penelitian terkait yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian

Iryanita dan Afifah (2015) yang menyatakan bahwa deep breathing exercise

menyebabkan penyerapan oksigen dan volume tidal serta efisiensi ventilasi

meningkat, sehingga kapasital vital pzru juga akan meningkat dan akan

mempegaruhi saturasi oksigen.

Dengan melakukan deep breathing exercise dapat membantu pasien PPOK

mengurangi obstruksi jalan napas dan sesak napas yang dirasakan. Selain itu,

pemberian deep breathing exercise juga dapat memaksimalkan proses

ventilasi/perfusi menjadi adekuat dan dapat meningktkan saturasi oksigen. Hal ini

meminimalisir terjadinya hipoksemia hingga hipoksia yang berkepanjangan yang

dapat menyebabkan kematian.

47
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh pemberian

deep breathing excercise terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK di IGD

RSUP Sanglah Denpasar terhadap 5 responden, dapat disimpulkan sebagai berikut

1. Karakteristik pasien PPOK berdasarkan usia didapatkan bahwa rata-rata usia

responden yaitu 62,80 tahun dengan usia terbanyak yaitu 59 tahun dan

mediannya yaitu 63 tahun dengan standar deviasi yaitu 3,899 dan usia

termuda yaitu 59 tahun dan usia tertua yaitu 68 tahun, sedangkan berdasarkan

jenis kelamin didapatkan sebagian besar yaitu 80% berjenis kelamin laki-laki.
2. Saturasi oksigen pada pasien PPOK sebelum diberikan deep breathing

exercise didapatkan bahwa rata-rata saturasi oksigen sebelum pemberian deep

breathing excercise yaitu 94,40% dengan saturasi oksigen terbanyak yaitu

95% dan mediannya yaitu 95% dengan standar deviasi 1,517, saturasi oksigen

terendah yaitu 92% dan tertinggi yaitu 96%.


3. Saturasi oksigen pada pasien PPOK sebelum diberikan deep breathing

exercise didapatkan bahwa rata-rata saturasi oksigen setelah pemberian deep

breathing excercise yaitu 97,40% dengan saturasi oksigen terbanyak yaitu

97% dan mediannya yaitu 97% dengan standar deviasi 1,140, saturasi oksigen

terendah yaitu 96% dan tertinggi yaitu 99%.


4. Ada pengaruh pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen

pada pasien PPOK di IGD RSUP Sanglah Denpasar dengan nilai p = 0,001 (p

< 0,05).
B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa pemberian deep breathing

exercise mampu meningkatkan saturasi oksigen pada pasien PPOK, maka

disarankan kepada :

1. Kabid keperawatan RSUP Sanglah Denpasar agar memanfaatkan hasil

penelitian ini untuk pembuatan standar operasional prosedur pemberian deep

breathing exercise pada pasien PPOK di Instalasi Gawat Darurat.

2. Kepada peneliti selanjutnya yang berkeinginan melanjutkan penelitian ini,

agar memperhatikan kadar Hb dari pasien PPOK yang dapat mempengaruhi

saturasi oksigen, memperhatikan pemilihan responden untuk kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol agar nilai rata-rata dari kedua kelompok

tidak terlalu berbeda, selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

data dasar bagi peneliti berikutnya agar dapat dilakukan penelitian yang lebih

luas dengan metode yang berbeda.

49
DAFTAR PUSTAKA

Bare BG., Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Betz & Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC.
Budiharto., Faridah, Aini., dan Ratna, S. (2010) ‘Pengaruh Breathing Retraining
terhadap Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru pada Asuhan Keperawatan Pasien
PPOK’, Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(1), pp. 29–33.

Budiono, Mustayah and Aindrianingsih (2017) ‘the Effect of Pursed Lips


Breathing in Increasing Oxygen Saturation in Patients With Chronic
Obstructive Pulmonary Disease’, 3(3), pp. 117–123.

Dahlan, S. (2011) ‘No Title’, in Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 5th
edn. Jakarta: Salemba Medika.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2015) ‘Profil kesehatan Provinsi Bali’.

Djojodibroto, D. (2014) Respirologi. 2nd edn. Edited by Y. J. Suyono. Jakarta:


EGC.

Effendy, C. et al. (2009) ‘Akurasi Pulse Oksimetri Dalam menentukan


Hipoksemia’, 4.

Gallo and Hudak (2010) Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. 6th edn.
Jakarta: EGC.

Ganong (2008) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd edn. Jakarta: EGC.

GATS (2016) ‘GATS2 (Global Adult Tobacco Survey) Fact Sheet, India, 2016-
17’, pp. 6–9. Available at:
http://www.who.int/tobacco/surveillance/survey/gats/GATS_India_2016-
17_FactSheet.pdf.

GOLD (2016) ‘Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease Global
Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease Updated 2016’.

Gustiawan, S. P. et al. (2015) ‘Hubungan penggunaan masker sungkup selama


nebulizer terhadap saturasi perifer oksigen pada pasien ppok’, (14).

Guyton, A. C. and Hall, J. E. (2012) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta.

Hidayat, A. A. (2007) Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:


Salemba Medika.

Imania, D. R. (2015) ‘Breathing Exercise Sama Baiknya Dalam Meningkatkan


Iryanita, E. and Afifah, I. A. (2015) ‘Efektivitas slow deep breathing terhadap
perubahan saturasi oksigen perifer pasien tuberkulosis paru di rumah sakit
kabupaten pekalongan’.

Kapasitas Vital ( Kv ) Dan Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama ( Vep 1 ) Pada
Tenaga Breathingexercise Is As Better As To Increase the Forced Expiratory
Volume in Second ( Fev 1 ) and Vitalcapacity ( Vc’, 3(3), pp. 38–49.

Khasanah, S. and Maryoto, M. (2013) ‘Efektifitas Posisi Condong Ke Depan


( Ckd ) Dan Pursed Lips Breathing ( Plb ) Terhadap Peningkatan Saturasi
Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( Ppok )’, (2012).

Kozier, B. et al. (2011) Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses &
Praktik. Jakarta.

Martha, Elizabeth & Matthew,1995. Panduan Relaksasi & Reduksi Stres 3rd ed.
Yasmin, ed., Jakarta: EGC

Misnadiarly, 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia Pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Popular

Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.

Notoadmodjo (2016) Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam (2016) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.


Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam (2017) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 4. Edited by P.


P. Lestari. Jakarta: Salemba Medika.

Nury (2008) Efek Latihan Otot-Otot Pernafasan di Instalasi Rehabilitasi Medik


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Perpurtakaan Universitas
Indonesia.

Oemiati, R. (2013) ‘Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK)’, Media Litbangkes, 23(2), pp. 82–88. doi: 1 Desember 2013.

Patria and Fairuz (2012) Terapi oksigen Aplikasi klinis. Jakarta: EGC.

PDPI (2003) ‘( ppok ) 1973 - 2003’, pp. 1973–2003.

PDPI (2011) PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).

Potter, Patricia A & Perry, A. G. (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 4th
edn. Jakarta: EGC.

51
Potter, P. A. and Perry, A. G. (2006) Buku Ajar Fundamental Keperawatan
Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta.

Price, Sylvia A & Wilson, L. M. (2006) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit.

Putri, I. D. A. J. et al. (2016) ‘Deep Breathing Exercise lebih Efektif daripada


Diafragmatic Excercise dalam meningkatkan Kapasitas Vital Paru’.

RISKESDAS (2013) ‘Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013’, Laporan


Nasional 2013, pp. 1–384. doi: 1 Desember 2013.

Santika, A.,2011. Pengaruh Pemberian Oksigen Aliran Rendah Selama Nebulizer


Terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK), Denpasar: STIKES Wira Medika PPNI Bali.

Septia, N., Wungouw, H. and Doda, V. (2016) ‘Hubungan merokok dengan


saturasi oksigen pada pegawai di fakultas kedokteran universitas Sam
Ratulangi Manado’, Jurnal e-Biomedik, 4(2), pp. 2–7. Available at:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/14611/14179.

Setiadi (2013) Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. 2nd edn.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sherwood, L. (2016) Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.

Sinambela, A. H. and Dkk (2015) ‘Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Saturasi


Oksigen pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil’, 35(3).

Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. (2002) Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta.

Somantri, I. (2012) Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. 2nd edn. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiyono (2015) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:


ALFABETA.

Superdana and Sumara, R. (2015) ‘Efektifitas hiperoksigenasi pada proses’, 2(4).

Tantri, N.L. et al.,2011. Korelasi Laju Filtrasi Glomerulus, Hemoglobin, Saturasi


Oksigen Dengan Kadar Laktat. Journal of internal medicine, 12.

Tunik (2017) ‘Pengaruh Breathing Relaxation Dengan Teknik Balloon Blowing


Terhadap Saturasi Oksigen Dan Perubahan Fisiologis Kecemasan Pasien
Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Rsud Dr. Soedomo
Trenggalek’.

52
Wasis (2008) Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC.

Wijaya and Putri (2013) Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta.

53
LAMPIRAN

Lampiran 1 Master Tabel

No Usia Jenis Kelamin Saturasi Oksigen Pre Saturasi Oksigen Post


1 65 2 96 99
2 68 1 95 97
3 59 1 94 97
4 63 1 92 96
5 59 1 95 98

Keterangan : Jenis kelamin : 1 (Laki-laki), 2 (Perempuan)

Lampiran 2 Hasil Analisis Data

Statistics

Usia Saturasi Saturasi Oksigen


Oksigen Pre Post

Valid 5 5 5
N
Missing 0 0 0

Mean 62.80 94.40 97.40

Median 63.00 95.00 97.00

Mode 59 95 97

Std. Deviation 3.899 1.517 1.140

Minimum 59 92 96

Maximum 68 96 99

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Laki-laki 4 80.0 80.0 80.0

Valid Perempuan 1 20.0 20.0 100.0

Total 5 100.0 100.0

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Saturasi Oksigen Pre .254 5 .200* .914 5 .492


Saturasi Oksigen Post .237 5 .200* .961 5 .814

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Saturasi Oksigen Pre 94.40 5 1.517 .678


Pair 1
Saturasi Oksigen Post 97.40 5 1.140 .510

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Saturasi Oksigen Pre & 5 .896 .039


Pair 1
Saturasi Oksigen Post

Paired Samples Test

Paired Differences

Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence


Interval of the
Difference

Lower

Saturasi Oksigen Pre - -3.000 .707 .316 -3.878


Pair 1
Saturasi Oksigen Post

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-tailed)

95% Confidence
Interval of the
Difference

Upper

Saturasi Oksigen Pre - Saturasi -2.122 -9.487 4 .001


Pair 1
Oksigen Post

Anda mungkin juga menyukai