Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kolera dan Penyebarannya

Penyakit kolera atau disebut juga Asiatic cholerae adalah penyakit

menular di saluran pencernaan yang disebabkan olek Vibrio cholerae dengan

manifestasi klinik berupa diare (King et al., 2008). Kolera dapat menular sebagai

penyakit yang bersifat endemic. Penyakit Kolera telah menyebar dan menjadi

pandemik diseluruh dunia selama dua abad terakhir. Telah terjadi tujuh kali

pandemik kolera sejak tahun 1817 terakhir tahun 1992. Pada mulanya penyakit ini

merupakan penyakit endemik dari Indian Subcontinent dan Afrika kemudian

menyebar ke Eropa, Asia dan sampai ke Indonesia (Matson et al., 2007; Todar,

2012).

Pandemi penyakit kolera pertama kali terjadi pada 1817. Kasus awal

kolera dilaporkan dari Purneah (sekarang Purnia) di Bihar (negara bagian di India

timur), pandemi ini diyakini berasal dari kota Jessore (dekat Kalkuta). Seorang

ahli bedah melaporkan tingginya insiden penyakit gastrointestinal yang parah

diantara pasien-pasiennya yang mana sumber penularannya dari beras, dengan

gejala muntah dan diare yang menyebabkan ribuan orang pingsan dan meninggal,

termasuk tentara Inggris yang transit di Bengal. Kolera kemudian menyebar

dengan cepat diseluruh negeri dan pada bulan Desember 1818 menyebar di Sri

Lanka (Ceylon). Sementara itu infeksi ditransmisikan ke tentara Afghanistan dan

Nepal yang berperang melawan tentara Inggris disepanjang perbatasan India

7
8

utara. Selanjutnya penyakit ini menyebar ke Burma (Myanmar), Thailand, Asia

Tenggara, Cina, Jepang, Timur Tengah dan Rusia Selatan (Frerichs, 2010).

Gambar 1. Penyebaran Pandemi Kolera 1817


(Sumber: Cox, 1996).

Pandemi kedua berlangsung dari tahun 1826-1835 dengan wabah di delta

Sungai Gangga dari Bengal kemudian tersebar di wilayah Amerika Serikat dan

Eropa, yang dilanjutkan dengan pandemik ketiga pada tahun 1839-1856, dimana

wabah kolera meluas sampai Afrika Utara dan mencapai Amerika Selatan, dengan

Negara yang paling parah terkena dampak wabah kolera di wilayah Amerika

Selatan pada saat itu adalah Brazil. Pada tahun 1863-1875 terjadi pandemik

keempat, yang bermula dari wilayah Bengal kemudian terbawa perjalanan haji ke

Mekkah oleh India muslim dan menyebar keseluruh Timur Tengah. Pandemi

kelima dan keenam berlangsung pada tahun 1881-1896 dan 1899-1923. Mesir,

Jazirah Arab, Persia, India dan Filipina merupakan Negara yang terkena dampak

paling parah epidemic. Sementara daerah lain yang terkena wabah kolera, adalah
9

Jerman pada tahun 1892 dan Naples 1910-1911. Pandemi keenam membunuh

800.000 jiwa di India. Pandemi ke tujuh terjadi pada tahun 1961 di Sulawesi

Indonesia meluas ke India, Rusia dan Afrika Utara yang ditandai oleh munculnya

strain baru, yang dijuluki El Tor (Barua, 1972; Dziejman et al., 2002).

Transmisi dan sumber infeksi kolera berasal dari makanan atau kontak

langsung dengan penjamah makanan, air yang terkontaminasi maupun ikan atau

produk perikanan yang pernah kontak dengan air yang terkontaminasi tersebut

(lingkungan aquatik). Di Amerika Serikat transmisi utama Vibrio melalui

konsumsi produk laut yang mentah atau setengah matang (Novotny et al., 2004;

Food and Government 2005; Infectious disease epidemiology section, 2006;

suzita et al., 2009).

Di Indonesia telah tercatat angka kejadian luar biasa kolera tahun 1993-

1998 dan sebanyak 9% disebabkan oleh Vibrio cholerae O1. Dari 7 provinsi

angka kejadian kolera yang tertinggi adalah daerah Bandung, Garut dan Timika.

Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Jenderal

Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) menginformasikan telah

terjadi KLB kolera sejak awal April hingga awal Agustus 2008 di Kabupaten

Paniai dan Kabupaten Nabire Provinsi Papua dan telah menelan korban 105

penderita meninggal. Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Departemen Kesehatan RI melaporkan kondisi masyarakat daerah

pedalaman Papua yang masih jauh dari hidup sehat serta kebiasaan berperilaku

tidak sehat seperti minum air mentah, tidak mencuci tangan sebelum makan,

jarang mandi dan berganti pakaian, biasa buang air besar tidak pada tempatnya
10

seperti di kebun atau sungai serta terbiasa mencium dan menyentuh penderita

yang meninggal akibatnya penyakit kolera sangat cepat menular, menyebar, dan

mewabah ke daerah-daerah sekitarnya hingga akhirnya menimbulkan KLB kolera.

Pusat Penanggulangan Krisis Depkes juga menegaskan bahwa KLB kolera ini

disebabkan oleh keterbatasan sumber air, kurangnya perilaku hidup bersih dan

sehat serta adanya budaya duka di pegunungan tengah dengan memeluk dan

mencium jenazah, padahal pada penyakit kolera muntah dan feses adalah sumber

penularan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara kontak

jenazah di masyarakat Papua dengan penularan kolera dan membuktikan

pencemaran sumber air minum oleh V. cholera. Sedangkan pada tahun 2009

tercatat KLB kolera terjadi di Bogor (Puspandari et al., 2010).

2.2 Vibrio cholerae

Vibrio cholerae pertama kali ditemukan pada tahun 1854 oleh Fillipo

Pacini, seorang ahli anatomi asal Italia yang mempunya keahlian dalam

menggunakan mikroskop. Berawal ketika Florance yang terkena wabah kolera,

Pacini memiliki kesempatan untuk memeriksa mayat para pasien yang meninggal

di rumah sakit Santa Maria Nuova. Namun penemuannya ini kurang dikenal,

karena pada masa tersebut masih berkembang Teori Racun (Penyakit seperti

Kolera disebabkan oleh racun yang keluar dari tanah) sehingga penemuan Fillipo

Pacini diabaikan oleh komunitas ilmiah (Frerichs, 2010). Vibrio cholerae baru

dikenal secara luas sebagai bakteri penyebab penyakit kolera setelah Robert Koch

melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1884 (Taneja, 2005). Bakteri V.

cholerae umumnya banyak ditemukan pada perairan yang terkontaminasi. Selain


11

itu, makanan yang sanitasinya buruk juga dapat dipakai sebagai medium oleh

bakteri ini untuk menyebar dan menularkan penyakit kolera (Murray et al., 2002).

2.2.1 Morfologi Vibrio cholerae

Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negative, berbentuk batang

bengkok seperti koma dengan ukuran panjang 2-4 µm. oleh karena itu Robert

Koch sempat menamakannya “kommabacillus” (Joklik et al., 1996). Bila inkubasi

diperpanjang, bentuk bakteri bias berubah menjadi batang lurus yang mirip

dengan bakteri enteric Gram negatif. Vibrio cholerae dapat bergerak sangat aktif

karena mempunyai satu buah flagellum halus pada ujungnya (Monotrikh) (Joklik

et al., 1996; Brooks et al., 2013). Karakteristik morfologi lain dari bakteri ini

antara lain, tidak membentuk spora, bentuk koloninya cembung (convex), opaque,

dan bergranul bila disinari (Matson et al., 2007).

Gambar 2. Bentuk sel Vibrio cholerae


(Sumber: Todar, 2012).

2.2.2 Fisiologi Vibrio cholerae

Vibrio cholerae bersifat aerob atau anaerob fakultatif dengan suhu

pertumbuhannya berkisar antara 18-37 oC. Bakteri ini dapat tumbuh pada media

sederhana, termasuk media tertentu yang mengandung garam mineral dan


12

aspargin sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, dan phosphor. Pertumbuhan V.

cholerae akan menjadi lebih baik dan lebih cepat, bila ditumbuhkan pada medium

padat thiosulfate-citrate-bile-sucrose (TCBS). Pada media ini, koloni V. cholerae

berwarna kuning, sehingga dapat dibedakan dari koloni bakteri lain untuk

memudahkannya dalam proses isolasinya (Purwoko, 2007). Vibrio cholerae

umumnya memerlukan pH netral 7,0 untuk pertumbuhanya dengan kecepatan

optimum dan mengalami laju kematian yang sangat cepat pada pH asam

(Yuwono, 2005). Namun V. cholerae toleran pada pH alkalis sampai 9,0. V.

cholerae memfermentasi nitrit, tetapi tidak memfermentasi sukrosa dan manosa

tanpa menghasilkan gas, memfermentasi nitrit, tetapi tidak memfermentasi

arabinose (Joklik et al., 1996; Brooks et al., 2013).

Ciri khas lain yang membedakannya dari dari bakteri enteric Gram negatif

lain yang tumbuh pada agar darah adalah pada tes oksidase yang hasilnya positif.

Pada Alkaline Peptone Water (APW), bakteri ini akan tumbuh dengan baik setelah

6 jam inkubasi pada suhu kamar, sehingga medium ini sering dipakai untuk

mentransport sampel dari penderita kolera. Untuk membedakan spesies V.

cholerae dari spesies Aeromonas, biasanya dipakai campuran 0/129 (2,4-diamino-

6,7-diisipropylpteridine phosphate) atau medium yang mengandung 6% NaCl.

Pada kedua kondisi tersebut, V. cholerae akan menunjukkan sifat sensitive

terhadap campuran 0/129, tapi tumbuh pada media yang mngandung 6% NaCl,

sedangkan sifat sebaiknya akan ditunjukkan oleh kelompok Aeromonas (Brooks

et al., 2013).
13

2.2.3 Klasifikasi Vibrio cholerae

Menurut Todar (2008) klasifikasi dari V. cholerae adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria

Order : Vibrionales

Family : Vibrionaceae

Genus : Vibrio

Species : Vibrio cholerae

Berdasarkan patogenesitasnya V. cholerae dibagi menjadi dua yakni O1

dan O139, dan non O1 dan O139. Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen

flagel H yang sama. Antigen flagel H ini bersifat heat labile. Antibodi terhadap

antigen flagel H tidak bersifat protektif. Pada uji aglutinasi berbentuk awan.

Antigen somatic O ini terdiri dari lipopolisakarida. Pada reaksi aglutinasi

berbentuk seperti pasir. Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif. (Joklik et

al., 1996). Antigen somatic O merupakan antigen yang penting dalam pembagian

grup secara serologi (serotype) pada Vibrio cholerae O1, yakni serotipe Ogawa

(AB), Inaba (AC) dan Hikojima (ABC) (Karsinah et al., 2010). Vibrio cholerae

O1 juga dibagi lagi berdasarkan sensitifitasnya terhadap bakteriofaga yaitu

Klasikal dan El-Tor. V. cholerae lebih lanjut lagi dibagi kedalam lebih dari 30

strain berdasarkan variasi antigen, genomic dan toksisitasnya (Moat et al., 2002).

Biotype Klasikal merupakan penyebab kolera atau asiatik kolera. El-Tor pertama

tercatat muncul di Sulawesi pada tahun 1961. Biotype ini selain menghasilkan
14

toksin seperti biotype Klasikal juga menghasilkan hemolisin, yaitu suatu protein

yang dapat menyebabkan hemolysis darah sehingga penderita diare mengalami

diare yang berdarah (Brooks, 2013).

2.3 Cholerae Toxin (CTX)

Sebelum tahun 1992, hanya V. cholerae O1 enterotoksigenik yang

memproduksi toksin kolera (cholera toxin= ctx) yang dikenal menyebabkan

kolera endemic dan epidemic. Belakangan, V. cholerae O139 juga diketahui

memproduksi toksin dalam jumlah besar seperti serogrup O1. Beberapa jenis V.

cholerae tidak memproduksi ctx (non-toxigenix), terutama yang hidup di alam

bebas sehingga dianggap tidak pathogen (Lesmana, 2004). Strain V. cholerae non-

O1 dan non-O139 mayoritas tidak memiliki ctx dan tcp (Toxin Co-regulated

Pilus) (Rivera et al., 2001). Namun, tahun 2003 V. cholerae O75 diketahui

memiliki gen ctx (D-Angelo et al., 2008). V. cholerae O75 juga pernah

menyebabkan kasus kolera sporadic akibat konsumsi kerang yang terkontaminasi

di Amerika pada tahun 2010 sampai 2011 (Onifade et al., 2011). V. cholerae

O141 juga pernah menyababkan kasus kolera pada tahun 2011 di New Jersey dan

Arizona (Centers for Disease Control and Prevention, 2012). Selain V. cholerae,

V. mimicus juga memiliki gen ctx. Kedua spesies ini berbagi banyak gen yang

sama (Chun et al., 1999).

Genom V. cholerae mempunyai dua kromosom yakni kromosom I

berukuran 3 Mb dan kromosom II berukuran 1 Mb. Pada kromosom 1 terdapat

faktor virulensi yang terkenal yakni CTX dan TCP. CTX dikode oleh gen ctx AB,

sementara TCP terletak pada daerah yang disebut Vibrio Pathogenicity Island
15

(VPI). Toxin Co-regulated Pilus atau TCP berperan dalam proses kolonisasi pada

intestinal dan Cholerae Toxin atau CTX inilah yang menyebabkan seseorang

mengalami diare kolera (Kaper et al., 1995; Lindmark, 2009). Toksin kolera

terdiri dari dua sub unit yaitu sub unit A dan sub unit B. Toxin kolera sub unit A

mengandung 1 sub unit A (active) dan sub unit B mengandung 5 sub unit B

(binding). Sub unit A mempunyai 2 komponen yakni A1 dan A2 (Caudhuri and

Chatterjee, 2009).

Gambar 3. Struktur tiga dimensi ctx


(Sumber: Komiazyk et al., 2015)

2.4 Outer membran protein W (OmpW)

Dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari tiga lapisan penting yaitu

terletak pada amplop permukaan yang merupakan sitoplasma atau membran

dalam (IM), membran luar (OM) dan ruang periplasmik antara IM dan OM

(Nandi et al., 2005). Menurut Lin et al (2002), komponen terbesar dari OM yaitu

phospholipid, polisakarida, dan protein, yang berfungsi sebagai protective barier


16

antara bakteri dengan sekitarnya, menjadikan bakteri tahan terhadap faktor

pertahanan host seperti garam empedu dan antibiotik.

Gen ompW terletak pada kromosom ke II dari V. cholerae dengan berat

molekul 22 kDa (Heidelberg et al., 2000). Ompw juga merupakan salah satu

faktor virulensi V. cholerae yang dapat menginduksi respon imun (Alizadeh et al.,

2013). Identifikasi spesies-spesifik V. cholerae banyak menggunakan gen ompW,

kebanyakan primer ompW menunjukkan 100% spesifitas untuk semua strain V.

cholerae yang diuji, maka dari itu gen ompW ini sangat cocok sebagai penanda

genetik untuk V. cholerae (Nandi et al., 2000).

2.5 Patofisiologi dan Gambaran Klinis

Secara alamiah, V. cholerae hanya pathogen terhadap manusia. Infeksi V.

cholerae terjadi karena masuknya kuman melalui air atau makanan yang

terkontaminasi ke saluran cerna. Tergantung pada jumlah inokulum dan

kerentanan individu, masa inkubasi infeksi V. cholerae berkisar antara 12-72 jam.

Jumlah inoculum yang diperlukan untuk terjadinya infeksi V. cholerae relatif

lebih besar dibandingkan dengan bakteri enteric lainnya. Ini mungkin disebabkan

karena V. cholerae sangat tidak stabil dalam suasana asam sehingga sebagian

besar V. cholerae yang masuk ke saluran cerna (ingested) terbunuh pada

lingkungan asam di lambung (Benish, 1994). Seseorang dengan asam lambung

normal akan terinfeksi oleh Vibrio bila mengkonsumsi makanan yang

mengandung sebanyak 102-104 sel/gram makanan, karena bakteri ini sangat

sensitif dengan suasana asam. Beberapa proses pengobatan atau keadaan yang

dapat menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang lebih sensitif
17

terhadap infeksi V. cholerae (Dziejman, 2002). Patogenesitas V. cholerae

ditentukan oleh kombinasi dari beberapa gen virulensi yaitu faktor regulator toxR,

cholerae toxin enzymatic sub unit A (ctxA), toxin coregulated pilus (tcpA), outer

membrane protein (omp), accessory cholerae toxin (ace), dan zonula occludens

toxin (zot).

Gambar 4. Mekanisme cholera toxin


(Sumber: Thiagarajah, 2005).

Vibrio cholerae berkolonisasi di epitel intestinal dan tidak bersifat invasif

atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel, sehingga pada umumnya tetap

berada disaluran usus penderita. Dalam proses infeksinya, V. cholerae virulen

akan menempel pada mikrovili permukaan sel epithelial, dimana mereka

melepaskan toksin kolera (enterotoksin). Toksin kolera diserap dipermukaan

ganglioside sel epitel dan merangsang sekresi air dan klorida dan menghambat

absorpsi natrium. Akibatnya penderita akan kehilangan banyak cairan dan

elektrolit, walaupun secara histologi usus tetap normal (Novotny et al., 2004).
18

Vibrio cholerae dapat menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan asam

dan panas, dengan berat molekul sekitar 90.000. Pada tiap molekul enterotoksin V.

cholerae terdapat 5 sub unit B (binding) dan 1 sub unit A (active). Sub unit A ini

mempunyai 2 komponen A1 dan A2. Enterotoksin berikatan dengan reseptor

ganglion pada permukaan enterosit melalui 5 sub unit B. sedangkan komponen

sub unit A2 mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen sub unit

A1 bertugas meningkatkan aktivitas Adenil siklase akibatnya produksi cyclic

AMP (cAMP) meningkat. Selanjutnya cAMP bekerja sebagai pembawa perintah

intraseluler kedua (intracellular second messenger) untuk menghambat absorpsi

sodium klorida yang terjadi secara aktif dan sebaliknya meningkatkan sekresi

klorida melalui Cystic Fibrosis Transmembran conductance Regulator (CFTR)

dan bikarbonat, yang menyebabkan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit.

Sehingga menimbulkan diare masif dengan kehilangan cairan mencapai 20 liter

per hari yang dikenal dengan Watery Diarrhea. Mekanisme lain selain

peningkatan konsentrasi intraselular dari cAMP yang juga dianggap berperan

didalam sekresi cairan intestinal pada kolera adalah meningkatnya kadar

prostaglandin. Prostaglandin meningkatkan sekresi cairan intestinal secara in vitro

dan meningkatnya prostaglandin dapat dijumpai di dalam feses penderita kolera.

Oleh karena V. cholerae tidak bersifat invasif terhadap mukosa intestinal dan

tidak menyebabkan terjadinya respons inflamatorik pada penderita-penderita

maka suhu badan biasanya normal, demam derajat rendah terdapat pada sekitar

20% penderita, terutama pada anak-anak yang disebabkan karena adanya

vasokonstriksi perifer (Lesmana, 2004; Tantillo et al., 2004).


19

Reseptor toksin pertama kali diidentifikasi oleh King dan Van Heyningen

(1973), yang mengamati bahwa ganglioside GM1 mencegah CTX terhadap

peningkatan permeabilitas pada kapiler kulit kelinci (membirukan kulit pada saat

pengujian), mencegah CTX menginduksi akumulasi cairan di ileal loop usus

kelinci, dan menghambat aksi CTX pada system adenilat siklase dalam usus halus

pada kelinci percobaan (Ganguly et al., 1996; Caudhuri and Chatterjee, 2009).

Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh V. cholerae ini asimptomatik

atau terjadi diare yang ringan pada pasien. Bila terjadi infeksi oleh V. cholerae,

gejala-gejala diare akan timbul setelah 1-4 hari masa inkubasi. Gambaran klinis

kolera yang paling mencolok adalah produksi feses cair yang jumlahnya besar dan

terjadinya dehidrasi sebagai akibat dari kehilangan cairan melalui feses yang tidak

bisa diganti. Masa inkubasi kolera dapat berkisar antara beberapa jam sampai

beberapa hari tergantung kepada jumlah inoculum. Awal terjadinya gejala

penyakit dapat mendadak, biasanya dimulai dengan munculnya diare encer yang

berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas dan tanpa adanya tenesmus. Mula-mula

feses mengandung masa dan berwarna kuning kecoklatan, tetapi dengan

berkembangnya penyakit, tinja akan menjadi lebih encer dan berwarna abu-abu

pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air cucian beras (rice water stool). Feses

penderita kolera ini tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir

tidak ada protein. Tidak adanya sel-sel leukosit, eritrosit dan protein ini

mencerminkan penyakit yang sifatnya noninflamatorik dan noninvasive. Gejala

mual akan timbul setelah diare yang diikuti gejala muntah, dan selanjutnya
20

biasanya diikuti oleh kejang otot, terutama pada otot-otot betis, biseps, triseps,

pektoralis dan dinding perut (kram perut) (Nurmaini, 2001).

Beberapa peneliti menduga bahwa muntah ini disebabkan karena adanya

gangguan elektrolit, khususnya gangguan keseimbangan asam-basa. Dehidrasi

berat memberikan gambaran yang khas dan menonjol sehingga kolera merupakan

sedikit dari penyakit-penyakit pada orang dewasa yang dapat didiagnosis secara

tepat secara klinis. Nadi perifer tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

Turgor kulit menurun sehingga memberi kesan kulit seperti adonan kue, mata

cekung dan kaki tangan keriput seperti terendam lama di air (washerwoman’s

hands). Suara penderita serak seperti suara bebek manila (vox cholerica),

penderita menjadi gelisah dan merasa sangat haus, diuresis berangsur-angsur

kurang dan berakhir dengan anuria. (Simanjuntak et al., 2002; Lesmana, 2004).

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh serangan Vibrio ini dalam kasus-kasus yang

bersifat sporadic maupun yang ringan tidak mudah untuk dibedakan dari penyakit

diare yang lain (Suzita et al., 2009).

2.6 Kaitan Es Pengawet Hasil Laut dengan Vibrio cholerae

Salah satu transmisi dan sumber infeksi V. cholerae berasal dari air yang

terkontaminasi maupun ikan atau produk perikanan yang pernah kontak dengan

air yang terkontaminasi tersebut (Novonty et al., 2004; Food and Environmental

Hygiene Departement, 2005; Suzita et al., 2009). Transmisi primer di Amerika

terjadi akibat konsumsi produk laut yang mentah atau setengah matang,

sedangkan di area pandemi sumber utama terjadi dari konsumsi produk laut,

sayur, makanan, air maupun es yang terkontaminasi (Infectious Disease


21

Epidemiology Section, 2006). Menurut Departemen pangan dan higienitas

lingkungan di Hongkong pada tahun 2005, 38% dari kasus kolera yang terjadi

berasal dari hasil perikanan laut, dan dalam analisis berbeda didapatkan 59%

kasus disebabkan karena makanan yang dimasak tidak secara matang (Food and

Environmental Hygiene Departement, 2005).

Pulau Bali yang merupakan salah satu daerah tujuan wisata Internasional

dimana pariwisata merupakan komoditas utama, sangat berpotensi untuk menjadi

tempat hidup bakteri V. cholerae karena dikelilingi pantai dan beriklim tropis.

Warga masyarakat memanfaatkan dan mengolah air menjadi keperluan, termasuk

sebagai es untuk pengawet hasil perikanan di pasar. Penggunaan es sebagai sarana

pengawet ikan secara efektif memperpanjang masa kesegaran ikan sehingga dapat

mempertahankan nilai ekonomi lebih lama (Shawyer and Pizzali, 2003). Salah

satu pasar ikan yang sangat terkenal di daerah Bali bagian selatan adalah Pasar

Ikan Kedonganan yang terletak di daerah Kuta, Kabupaten Badung, Bali.

Sebagian besar dari pedagang memanfaatkan es balok, sebagai sarana untuk

mengawetkan barang dagangan pada lapak penjualan. Hasil penelitian Wijaya et

al., (2013) yang melakukan penelitian deteksi serotipe V. cholerae O1 dengan

sampel es pengawet hasil laut di Pasar Ikan Kedonganan, Kuta Bali menyebutkan

50% sampel positif mengandung bakteri V. cholerae O1 Inaba. Ananta et al.,

(2013) menyebutkan 5 dari 6 sampel (83,33%) positif mengandung bakteri V.

cholerae dengan serotipe Inaba dari es pengawet ikan di pasar modern dan 4 dari

6 sampel (66,67%) positif mengandung V. cholerae dengan serotipe Inaba dan 1

dari 6 sampel (16,67%) dengan serotipe Hikojima. Waturangi et al., 2013,


22

menemukan kontaminasi V. cholerae pada es yang dijual di Jakarta positif

membawa faktor virulensi ctxA, ompU, dan tcpA, ace, dan zot dan beberapa

isolate bersifat multidrug resisten setelah diuji dengan beberapa antibiotik, hal ini

tentunya akan mempersulit terapi jika bakteri tersebut menginfeksi manusia.

2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR), yang

ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan 1980-an, merupakan salah satu

tonggak revolusi dalam genetika molekuler. PCR (Polymerase Chain Reaction)

merupakan suatu teknik perbanyakan (amplifikasi) potongan DNA secara in vitro

pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Primer

yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diperbanyak adalah DNA untai

tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA templatenya. PCR

memungkinkan adanya perbanyakan DNA antara dua primer, hanya di dalam

tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Pada proses

PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai cetakan (template)

yang mengandung DNA-target (yang akan diamplifikasi) untuk pembentukan

molekul DNA baru, enzim DNA polimerase, deoksinukleosida trifosfat (dNTP),

dan sepasang primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu, kedua primer akan

mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya yang terletak pada

awal dan akhir fragmen DNA target, sehingga kedua primer tersebut akan

menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon 3’. Setelah kedua primer

menempel pada DNA template, DNA polimerase mengkatalisis proses

pemanjangan kedua primer dengan menambahkan nukleotida yang komplemen


23

dengan urutan nukleotida template. DNA polimerase mengkatalisis pembentukan

ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang

ditambahkan. Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh enzim

DNA polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi

polimerisasi. Enzim DNA polimerase hanya akan menambahkan dNTP yang

komplemen dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA template. PCR

melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan,

yaitu pemisahan (denaturation) rantai DNA templat, penempelan (annealing)

pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau

reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polymerase (Gaffar, 2007).

PCR memerlukan siklus berulang yang terdiri dari tiga tahap, yaitu

denaturasi, perlekatan (annealing), dan perpanjangan (extension) sebagai berikut:

1. Tahap pertama adalah proses denaturasi DNA target sehingga DNA yang

berutas ganda akan terpisah menjadi DNA berutas tunggal. Proses ini

dilakukan dengan cara memanaskan sampel DNA pada temperatur 90 oC -

95oC selama 1 - 2 menit.

2. Tahap kedua adalah proses perlekatan (annealing). Pada tahap ini primer

akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA target pada daerah yang

komplementer dengan sekuens primer. Primer dapat melekat pada sekuens

komplementernya dengan cara menurunkan temperatur antara 40 - 60oC.

3. Tahap ketiga adalah tahap pemanjangan atau extension. Tahap ini

dilakukan dengan cara menaikkan temperatur antara 70 - 75oC. Lamanya


24

reaksi bergantung pada DNA polimerase yang digunakan dan panjangnya

fragmen DNA yang akan diamplifikasi (Yuwono, 2006; Gaffar, 2007).

Menurut Elnifro et al., 2000 Metode PCR duplex/multiplex merupakan

varian PCR yang memanfaatkan lebih dari satu pasang primer untuk

mengamplifikasi beberapa target sequence sekaligus dalam satu reaksi. Pada

bidang penyakit infeksi teknik ini sangat bermanfaat untuk mendeteksi virus,

bakteri, jamur dan parasite. PCR duplex/multiplex mampu menghemat biaya dan

waktu dalam pengerjaannya. Metode ini telah banyak digunakan dalam berbagai

bidang diagnostik asam nukleat, termasuk analisis delesi (Chamberlain 1988),

mutasi dan polimorfisme (Shuber et al., 1995; Rithidech et al., 1997).

Metode PCR duplex/multiplex mempunyai tingkat kesulitan yang relatife

lebih sulit, hal ini dikarenakan adanya kemungkinan positif palsu akibat primer

yang mengalami dimers pada saat proses amplifikasi. Primer yang mengalami

dimers ini disebabkan karena banyaknya primer yang digunakan dalam reaksi

(Brownie et al., 1997; Polz and Cavanaugh, 1998). Maka dari itu perlu

diperhatikan design primer yang digunakan, yakni homology primer dengan target

asam nukleatnya, panjang primer, kandungan G C, dan juga konsentrasi harus

ditentukan (Dieffenbach, et al., 1993; Shuber et al., 1995; Mitsuhashi, 1996;

Nicodème and Steyaert, 1997; Wu et al., 1997; Robertson and Walsh-Weller).

Idealnya, semua primer yang digunakan dalam multiplek PCR masing-masing

harus mempunyai target yang spesifik. (Dieffenbach, et al., 1993; Henegariu et

al., 1997).
25

Duplex PCR (dPCR) maupun multiplex PCR (mPCR) telah banyak

digunakan untuk mendeteksi keberadaan V. cholerae. Senachai et al (2013)

mengembangkan tetraplex PCR untuk mendeteksi Vibrio spp. dengan

menggunakan target gen ompW untuk V. cholerae, tl untuk V. parahaemolyticus,

hsp60 untuk V. vulnificus, dan sodB untuk V. mimicus. Jo et al (2013)

menggunakan duplex PCR untuk mendeteksi V. anguillarum dan Edwardsiella

tarda. Mehrabadi et al (2012) mengembangkan multiplex PCR untuk deteksi cepat

V. cholerae dengan target gen ctxA, tcpA dan ompW.

Anda mungkin juga menyukai