KAJIAN PUSTAKA
manifestasi klinik berupa diare (King et al., 2008). Kolera dapat menular sebagai
penyakit yang bersifat endemic. Penyakit Kolera telah menyebar dan menjadi
pandemik diseluruh dunia selama dua abad terakhir. Telah terjadi tujuh kali
pandemik kolera sejak tahun 1817 terakhir tahun 1992. Pada mulanya penyakit ini
menyebar ke Eropa, Asia dan sampai ke Indonesia (Matson et al., 2007; Todar,
2012).
Pandemi penyakit kolera pertama kali terjadi pada 1817. Kasus awal
kolera dilaporkan dari Purneah (sekarang Purnia) di Bihar (negara bagian di India
timur), pandemi ini diyakini berasal dari kota Jessore (dekat Kalkuta). Seorang
gejala muntah dan diare yang menyebabkan ribuan orang pingsan dan meninggal,
dengan cepat diseluruh negeri dan pada bulan Desember 1818 menyebar di Sri
7
8
Tenggara, Cina, Jepang, Timur Tengah dan Rusia Selatan (Frerichs, 2010).
Sungai Gangga dari Bengal kemudian tersebar di wilayah Amerika Serikat dan
Eropa, yang dilanjutkan dengan pandemik ketiga pada tahun 1839-1856, dimana
wabah kolera meluas sampai Afrika Utara dan mencapai Amerika Selatan, dengan
Negara yang paling parah terkena dampak wabah kolera di wilayah Amerika
Selatan pada saat itu adalah Brazil. Pada tahun 1863-1875 terjadi pandemik
keempat, yang bermula dari wilayah Bengal kemudian terbawa perjalanan haji ke
Mekkah oleh India muslim dan menyebar keseluruh Timur Tengah. Pandemi
kelima dan keenam berlangsung pada tahun 1881-1896 dan 1899-1923. Mesir,
Jazirah Arab, Persia, India dan Filipina merupakan Negara yang terkena dampak
paling parah epidemic. Sementara daerah lain yang terkena wabah kolera, adalah
9
Jerman pada tahun 1892 dan Naples 1910-1911. Pandemi keenam membunuh
800.000 jiwa di India. Pandemi ke tujuh terjadi pada tahun 1961 di Sulawesi
Indonesia meluas ke India, Rusia dan Afrika Utara yang ditandai oleh munculnya
strain baru, yang dijuluki El Tor (Barua, 1972; Dziejman et al., 2002).
Transmisi dan sumber infeksi kolera berasal dari makanan atau kontak
langsung dengan penjamah makanan, air yang terkontaminasi maupun ikan atau
produk perikanan yang pernah kontak dengan air yang terkontaminasi tersebut
konsumsi produk laut yang mentah atau setengah matang (Novotny et al., 2004;
Di Indonesia telah tercatat angka kejadian luar biasa kolera tahun 1993-
1998 dan sebanyak 9% disebabkan oleh Vibrio cholerae O1. Dari 7 provinsi
angka kejadian kolera yang tertinggi adalah daerah Bandung, Garut dan Timika.
terjadi KLB kolera sejak awal April hingga awal Agustus 2008 di Kabupaten
Paniai dan Kabupaten Nabire Provinsi Papua dan telah menelan korban 105
pedalaman Papua yang masih jauh dari hidup sehat serta kebiasaan berperilaku
tidak sehat seperti minum air mentah, tidak mencuci tangan sebelum makan,
jarang mandi dan berganti pakaian, biasa buang air besar tidak pada tempatnya
10
seperti di kebun atau sungai serta terbiasa mencium dan menyentuh penderita
yang meninggal akibatnya penyakit kolera sangat cepat menular, menyebar, dan
Pusat Penanggulangan Krisis Depkes juga menegaskan bahwa KLB kolera ini
disebabkan oleh keterbatasan sumber air, kurangnya perilaku hidup bersih dan
sehat serta adanya budaya duka di pegunungan tengah dengan memeluk dan
mencium jenazah, padahal pada penyakit kolera muntah dan feses adalah sumber
pencemaran sumber air minum oleh V. cholera. Sedangkan pada tahun 2009
Vibrio cholerae pertama kali ditemukan pada tahun 1854 oleh Fillipo
Pacini, seorang ahli anatomi asal Italia yang mempunya keahlian dalam
Pacini memiliki kesempatan untuk memeriksa mayat para pasien yang meninggal
di rumah sakit Santa Maria Nuova. Namun penemuannya ini kurang dikenal,
karena pada masa tersebut masih berkembang Teori Racun (Penyakit seperti
Kolera disebabkan oleh racun yang keluar dari tanah) sehingga penemuan Fillipo
Pacini diabaikan oleh komunitas ilmiah (Frerichs, 2010). Vibrio cholerae baru
dikenal secara luas sebagai bakteri penyebab penyakit kolera setelah Robert Koch
itu, makanan yang sanitasinya buruk juga dapat dipakai sebagai medium oleh
bakteri ini untuk menyebar dan menularkan penyakit kolera (Murray et al., 2002).
bengkok seperti koma dengan ukuran panjang 2-4 µm. oleh karena itu Robert
diperpanjang, bentuk bakteri bias berubah menjadi batang lurus yang mirip
dengan bakteri enteric Gram negatif. Vibrio cholerae dapat bergerak sangat aktif
karena mempunyai satu buah flagellum halus pada ujungnya (Monotrikh) (Joklik
et al., 1996; Brooks et al., 2013). Karakteristik morfologi lain dari bakteri ini
antara lain, tidak membentuk spora, bentuk koloninya cembung (convex), opaque,
pertumbuhannya berkisar antara 18-37 oC. Bakteri ini dapat tumbuh pada media
cholerae akan menjadi lebih baik dan lebih cepat, bila ditumbuhkan pada medium
berwarna kuning, sehingga dapat dibedakan dari koloni bakteri lain untuk
optimum dan mengalami laju kematian yang sangat cepat pada pH asam
Ciri khas lain yang membedakannya dari dari bakteri enteric Gram negatif
lain yang tumbuh pada agar darah adalah pada tes oksidase yang hasilnya positif.
Pada Alkaline Peptone Water (APW), bakteri ini akan tumbuh dengan baik setelah
6 jam inkubasi pada suhu kamar, sehingga medium ini sering dipakai untuk
terhadap campuran 0/129, tapi tumbuh pada media yang mngandung 6% NaCl,
et al., 2013).
13
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Order : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
dan O139, dan non O1 dan O139. Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen
flagel H yang sama. Antigen flagel H ini bersifat heat labile. Antibodi terhadap
antigen flagel H tidak bersifat protektif. Pada uji aglutinasi berbentuk awan.
al., 1996). Antigen somatic O merupakan antigen yang penting dalam pembagian
grup secara serologi (serotype) pada Vibrio cholerae O1, yakni serotipe Ogawa
(AB), Inaba (AC) dan Hikojima (ABC) (Karsinah et al., 2010). Vibrio cholerae
Klasikal dan El-Tor. V. cholerae lebih lanjut lagi dibagi kedalam lebih dari 30
strain berdasarkan variasi antigen, genomic dan toksisitasnya (Moat et al., 2002).
Biotype Klasikal merupakan penyebab kolera atau asiatik kolera. El-Tor pertama
tercatat muncul di Sulawesi pada tahun 1961. Biotype ini selain menghasilkan
14
toksin seperti biotype Klasikal juga menghasilkan hemolisin, yaitu suatu protein
memproduksi toksin dalam jumlah besar seperti serogrup O1. Beberapa jenis V.
bebas sehingga dianggap tidak pathogen (Lesmana, 2004). Strain V. cholerae non-
O1 dan non-O139 mayoritas tidak memiliki ctx dan tcp (Toxin Co-regulated
Pilus) (Rivera et al., 2001). Namun, tahun 2003 V. cholerae O75 diketahui
memiliki gen ctx (D-Angelo et al., 2008). V. cholerae O75 juga pernah
di Amerika pada tahun 2010 sampai 2011 (Onifade et al., 2011). V. cholerae
O141 juga pernah menyababkan kasus kolera pada tahun 2011 di New Jersey dan
Arizona (Centers for Disease Control and Prevention, 2012). Selain V. cholerae,
V. mimicus juga memiliki gen ctx. Kedua spesies ini berbagi banyak gen yang
faktor virulensi yang terkenal yakni CTX dan TCP. CTX dikode oleh gen ctx AB,
sementara TCP terletak pada daerah yang disebut Vibrio Pathogenicity Island
15
(VPI). Toxin Co-regulated Pilus atau TCP berperan dalam proses kolonisasi pada
intestinal dan Cholerae Toxin atau CTX inilah yang menyebabkan seseorang
mengalami diare kolera (Kaper et al., 1995; Lindmark, 2009). Toksin kolera
terdiri dari dua sub unit yaitu sub unit A dan sub unit B. Toxin kolera sub unit A
mengandung 1 sub unit A (active) dan sub unit B mengandung 5 sub unit B
Chatterjee, 2009).
Dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari tiga lapisan penting yaitu
dalam (IM), membran luar (OM) dan ruang periplasmik antara IM dan OM
(Nandi et al., 2005). Menurut Lin et al (2002), komponen terbesar dari OM yaitu
molekul 22 kDa (Heidelberg et al., 2000). Ompw juga merupakan salah satu
faktor virulensi V. cholerae yang dapat menginduksi respon imun (Alizadeh et al.,
cholerae yang diuji, maka dari itu gen ompW ini sangat cocok sebagai penanda
cholerae terjadi karena masuknya kuman melalui air atau makanan yang
kerentanan individu, masa inkubasi infeksi V. cholerae berkisar antara 12-72 jam.
lebih besar dibandingkan dengan bakteri enteric lainnya. Ini mungkin disebabkan
karena V. cholerae sangat tidak stabil dalam suasana asam sehingga sebagian
sensitif dengan suasana asam. Beberapa proses pengobatan atau keadaan yang
dapat menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang lebih sensitif
17
ditentukan oleh kombinasi dari beberapa gen virulensi yaitu faktor regulator toxR,
cholerae toxin enzymatic sub unit A (ctxA), toxin coregulated pilus (tcpA), outer
membrane protein (omp), accessory cholerae toxin (ace), dan zonula occludens
toxin (zot).
atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel, sehingga pada umumnya tetap
ganglioside sel epitel dan merangsang sekresi air dan klorida dan menghambat
elektrolit, walaupun secara histologi usus tetap normal (Novotny et al., 2004).
18
dan panas, dengan berat molekul sekitar 90.000. Pada tiap molekul enterotoksin V.
cholerae terdapat 5 sub unit B (binding) dan 1 sub unit A (active). Sub unit A ini
sub unit A2 mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen sub unit
sodium klorida yang terjadi secara aktif dan sebaliknya meningkatkan sekresi
per hari yang dikenal dengan Watery Diarrhea. Mekanisme lain selain
Oleh karena V. cholerae tidak bersifat invasif terhadap mukosa intestinal dan
maka suhu badan biasanya normal, demam derajat rendah terdapat pada sekitar
Reseptor toksin pertama kali diidentifikasi oleh King dan Van Heyningen
peningkatan permeabilitas pada kapiler kulit kelinci (membirukan kulit pada saat
kelinci, dan menghambat aksi CTX pada system adenilat siklase dalam usus halus
pada kelinci percobaan (Ganguly et al., 1996; Caudhuri and Chatterjee, 2009).
atau terjadi diare yang ringan pada pasien. Bila terjadi infeksi oleh V. cholerae,
gejala-gejala diare akan timbul setelah 1-4 hari masa inkubasi. Gambaran klinis
kolera yang paling mencolok adalah produksi feses cair yang jumlahnya besar dan
terjadinya dehidrasi sebagai akibat dari kehilangan cairan melalui feses yang tidak
bisa diganti. Masa inkubasi kolera dapat berkisar antara beberapa jam sampai
penyakit dapat mendadak, biasanya dimulai dengan munculnya diare encer yang
berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas dan tanpa adanya tenesmus. Mula-mula
berkembangnya penyakit, tinja akan menjadi lebih encer dan berwarna abu-abu
pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air cucian beras (rice water stool). Feses
penderita kolera ini tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir
tidak ada protein. Tidak adanya sel-sel leukosit, eritrosit dan protein ini
mual akan timbul setelah diare yang diikuti gejala muntah, dan selanjutnya
20
biasanya diikuti oleh kejang otot, terutama pada otot-otot betis, biseps, triseps,
berat memberikan gambaran yang khas dan menonjol sehingga kolera merupakan
sedikit dari penyakit-penyakit pada orang dewasa yang dapat didiagnosis secara
tepat secara klinis. Nadi perifer tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
Turgor kulit menurun sehingga memberi kesan kulit seperti adonan kue, mata
cekung dan kaki tangan keriput seperti terendam lama di air (washerwoman’s
hands). Suara penderita serak seperti suara bebek manila (vox cholerica),
kurang dan berakhir dengan anuria. (Simanjuntak et al., 2002; Lesmana, 2004).
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh serangan Vibrio ini dalam kasus-kasus yang
bersifat sporadic maupun yang ringan tidak mudah untuk dibedakan dari penyakit
Salah satu transmisi dan sumber infeksi V. cholerae berasal dari air yang
terkontaminasi maupun ikan atau produk perikanan yang pernah kontak dengan
air yang terkontaminasi tersebut (Novonty et al., 2004; Food and Environmental
terjadi akibat konsumsi produk laut yang mentah atau setengah matang,
sedangkan di area pandemi sumber utama terjadi dari konsumsi produk laut,
lingkungan di Hongkong pada tahun 2005, 38% dari kasus kolera yang terjadi
berasal dari hasil perikanan laut, dan dalam analisis berbeda didapatkan 59%
kasus disebabkan karena makanan yang dimasak tidak secara matang (Food and
Pulau Bali yang merupakan salah satu daerah tujuan wisata Internasional
tempat hidup bakteri V. cholerae karena dikelilingi pantai dan beriklim tropis.
pengawet ikan secara efektif memperpanjang masa kesegaran ikan sehingga dapat
mempertahankan nilai ekonomi lebih lama (Shawyer and Pizzali, 2003). Salah
satu pasar ikan yang sangat terkenal di daerah Bali bagian selatan adalah Pasar
sampel es pengawet hasil laut di Pasar Ikan Kedonganan, Kuta Bali menyebutkan
cholerae dengan serotipe Inaba dari es pengawet ikan di pasar modern dan 4 dari
membawa faktor virulensi ctxA, ompU, dan tcpA, ace, dan zot dan beberapa
isolate bersifat multidrug resisten setelah diuji dengan beberapa antibiotik, hal ini
ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan 1980-an, merupakan salah satu
pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Primer
yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diperbanyak adalah DNA untai
tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Pada proses
PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai cetakan (template)
dan sepasang primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu, kedua primer akan
mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya yang terletak pada
awal dan akhir fragmen DNA target, sehingga kedua primer tersebut akan
menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon 3’. Setelah kedua primer
ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang
DNA polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi
komplemen dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA template. PCR
melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan,
pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau
PCR memerlukan siklus berulang yang terdiri dari tiga tahap, yaitu
1. Tahap pertama adalah proses denaturasi DNA target sehingga DNA yang
berutas ganda akan terpisah menjadi DNA berutas tunggal. Proses ini
2. Tahap kedua adalah proses perlekatan (annealing). Pada tahap ini primer
akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA target pada daerah yang
varian PCR yang memanfaatkan lebih dari satu pasang primer untuk
bidang penyakit infeksi teknik ini sangat bermanfaat untuk mendeteksi virus,
bakteri, jamur dan parasite. PCR duplex/multiplex mampu menghemat biaya dan
waktu dalam pengerjaannya. Metode ini telah banyak digunakan dalam berbagai
lebih sulit, hal ini dikarenakan adanya kemungkinan positif palsu akibat primer
yang mengalami dimers pada saat proses amplifikasi. Primer yang mengalami
dimers ini disebabkan karena banyaknya primer yang digunakan dalam reaksi
(Brownie et al., 1997; Polz and Cavanaugh, 1998). Maka dari itu perlu
diperhatikan design primer yang digunakan, yakni homology primer dengan target
al., 1997).
25