“ASUHAN KEFARMASIAN”
Disusun Oleh:
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mana dengan rahmat dan
hidayah-Nya saya mampu menyelesaikan makalah ini yang berjudul “asuhan kefarmasian”
dengan tepat waktu. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata
kuliah asuhan kefarmasian yang meliputi nilai tugas individu.
Saya sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu demi kesempurnaan makalah ini saya mohon kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu saya harapkan.
Kepada para pembaca saya ucapkan selamat belajar dan semoga makalah ini bermanfaat
dan bisa digunakan sebagai salah satu referensi.
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
3.1.Kesimpulan ................................................................................................................. 7
3.2.Saran ........................................................................................................................... 7
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi
peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi
pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker
berperan dalam memberikan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait terapi
pengobatan yang dijalani pasien, mengarahkan pasien untuk melakukan pola hidup
sehat sehingga mendukung agar keberhasilan pengobatan dapat tercapai, dan
melakukan monitoring hasil terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien serta
melakukan kerja sama dengan profesi kesehatan lain yang tentunya bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000). Hal tersebut menegaskan peran
apoteker untuk lebih berinteraksi dengan pasien, lebih berorientasi terhadap pasien
dan mengubah orientasi kerja apoteker yang semula hanya berorientasi kepada obat
dan berada di belakang layar menjadi profesi yang bersentuhan langsung dan
bertanggungjawab terhadap pasien.
Pelayanan kefarmasian mulai berubah orientasinya dari drug oriented menjadi
patient oriented. Perubahan paradigma ini dikenal dengan nama Pharmaceutical care
atau asuhan pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI, 2011). Pharmaceutical care atau
asuhan kefarmasian merupakan pola pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada
pasien. Pola pelayanan ini bertujuan mengoptimalkan penggunaan obat secara
rasional yaitu efektif, aman, bermutu dan terjangkau bagi pasien (Depkes RI, 2008).
Hal ini meningkatkan tuntutan terhadap pelayanan farmasi yang lebih baik demi
kepentingan dan kesejahteraan pasien. Asuhan kefarmasian, merupakan komponen
dari praktek kefarmasian yang memerlukan interaksi langsung apoteker 1 dengan
pasien untuk menyelesaikan masalah terapi pasien, terkait dengan obat yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Kemenkes RI, 2011).
Akibat dari perubahan paradigma pelayanan kefarmasian, apoteker diharapkan
dapat melakukan peningkatan keterampilan, pengetahuan, serta sikap sehingga
diharapkan dapat lebih berinteraksi langsung terhadap pasien. Adapun pelayanan
kefarmasian tersebut meliputi pelayanan swamedikasi terhadap pasien, melakukan
pelayanan obat, melaksanakan pelayanan resep, maupun pelayanan terhadap
perbekalan farmasi dan kesehatan, serta dilengkapi dengan pelayanan konsultasi,
informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait
terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan
memiliki dokumentasi yang baik (Depkes RI, 2008). Apoteker harus menyadari serta
memahami jika kemungkinan untuk terjadinya kesalahan pengobatan (Medication
Error) dalam proses pelayanan kefarmasian dapat terjadi sehingga diharapkan
apoteker dapat menggunakan keilmuannya dengan baik agar berupaya dalam
melakukan pencegahan dan meminimalkan masalah tentang obat (Drug Related
Problems) dengan membuat keputusan yang tepat dan profesional agar pengobatan
rasional (Depkes RI, 2008).
1.2.Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi asuhan kefarmasian.
2. Mahasiswa dapat mengetahui landasan hukum asuhan kefarmasian.
3. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip dari asuhan kefarmasian.
4. Mahasiswa dapat mengetahui peran tenaga teknis kefarmasian dalam asuhan
kefarmasian sesuai landasan hukum.
1.3.Manfaat Pembelajaran
1. Mahasiswa mengetahui definisi asuhan kefarmasian.
2. Mahasiswa mengetahui landasan hukum asuhan kefarmasian.
3. Mahasiswa mengetahui prinsip dari asuhan kefarmasian.
4. Mahasiswa mengetahui peran tenaga teknis kefarmasian dalam asuhan
kefarmasian sesuai landasan hukum.
5. Sebagai referensi dan ilmu pengetahuan berdasarkan pada teori-teori yang ada.
BAB II
ISI
b. Faktor kedua dari PCS model adalah strategi yang diperlukan oleh leaders untuk
memotivasi terlaksananya praktek pelayanan kefarmasian.
Menurut Nimmo dan Holland faktor yang paling efektif untuk memotivasi
terlaksananya PC adalah rewards (Fee For Service). Namun, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, sampai saat ini belum ada fee yang jelas bagi apoteker jika
mereka melakukan PC. Peranan organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia-IAI
dan himpunan seminatnya, dalam hal ini) sangat strategis untuk memotivasi
anggotanya untuk dapat melaksanakan PC tsb. Organisasi-organisasi profesi harus
dapat mensosialisakan peranan profesi apoteker (Professional Socialisation) kepada
apoteker baru maupun calon apoteker. Sosialisasi dari organisasi profesi diharapkan
dapat menjadi internal driver bagi apoteker baru untuk dapat mengubah mind-set
mereka bahwa mereka tidak hanya bekerja di apotek atau di depo farmasi tetapi juga
sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien.
Untuk dapat melakukan sosialisasi terhadap peranan apoteker ini, perlu dukungan
dari apoteker yang telah melaksanakan pelayanan kefarmasian sebagai role model
agar apoteker baru dan calon apoteker dapat melihat peranan mereka secara nyata.
Apoteker role model harus dapat menjadi contoh untuk melakukan standar PC yang
diharapkan, mampu bekerjasama positif dengan tenaga kesehatan lainnya, dan
mampu berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain dan tentu saja
dengan pasien. ProfessionalProfessional socialisation yang efektif harus didukung
oleh institusi pendidikan (fakultas atau sekolah farmasi), institusi kesehatan (rumah
sakit/puskesmas maupun apotek komunitas), dan juga organisasi profesi (termasuk
himpunan seminatnya- komunitas dan rumah sakit).
c. Faktor yang ketiga dari PCS model adalah materi pelatihan dalam melakukan
pelayanan kefarmasian tersebut (Learning Resources).
Sampai sejauh ini, sepertinya asumsi umum, peran pelatihan dan pengetahuan
semata-mata ada di tangan institusi pendidikan. Namun, sebagai profesi, kerjasama
antara organisasi profesi dan institusi pendidikan tidak dapat dilepaskan untuk dapat
memberikan pelatihan/training berkaitan dengan peranan apoteker dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian tersebut. Leaders harus mampu membuat
pelatihan yang practiced-based yang dibutuhkan oleh apoteker dalam memberikan
pelayanan langsung kepada pasien. Misalnya, pelatihan dengan metode role play
dimana apoteker memberikan konseling kepada pasien, pelatihan tentang cara
berkomunikasi yang efektif dengan tenaga profesi lain, dan pelatihan tentang cara
melakukan review klinik terhadap pengobatan yang diterima pasien di ruangan.
Diharapkan pelatihan yang diberikan harus relevan untuk meningkatkan pemahaman
apoteker secara nyata untuk mempraktekkan pelayanan yang diinginkan dan mudah
dilakukan. Tentu saja faktor lain adalah pelatihan yang diberikan harus ramah waktu
dan biaya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Asuhan kefarmasian (phamaceutical care) merupakan tanggung jawab langsung
apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan
tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien.
Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan
tentang penggunaan obat pada pasien.
2. Pemerintah telah menetapkan standar pelayanan kefarmasian yang berasas
Pharmaceutical Care (Kepmenkes 1027/Menkes/Sk/IX/2004). Standar tersebut
mencakup aspek pengelolaan sumber daya dan pelayanan (Depkes, 2004).
3. Prinsip asuhan kefarmasian yang meliputi; keterkaitan dengan obat : Terapi obat.
Keputusan tentang penggunaan obat untuk pasien individu. Bila perlu mencakup
keputusan tidak menggunakan terapi obat tertentu. Pertimbangan pemilihan obat.
Dosis, rute, metode pemberian pemantauan terapi obat, Pelayanan Informasi yang
berkaitan dengan obat; Pelayanan langsung : Inti konsep pelayanan adalah
kepedulian, perhatian pribadi terhadap kesehatan orang lain. Ada hubungan langsung
antara pelaku pelayanan dan seorang pasien. Kesehatan pasien adalah yang
terpenting, apoteker mengadakan keterikatan pelayanan langsung; Hasil terapi:
Kesembuhan penyakit. Peniadaan atau pengurangan gejala. Menghentikan atau
memperlambat proses penyakit. Pencegahan penyakit atau gejala.
4. Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan asuhan kefarmasian sesuai
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/X/2002 adalah
melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya ,
memberi Informasi yang berkaitan dengan penggunaan/ pemakaian obat yang
diserahkan kepada pasien, penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas
permintaan masyarakat.
3.2. Saran
Diperlukan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker atau farmasis agar mereka
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan dampak pengobatan dan meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan sumber daya yang tersedia
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Health-System Pharmacy. 1993. AHFS drug information. USA : ASHP
Incorporation.
Bahfen, F. 2006. Aspek Legal Layanan Farmasi Komunitas Konsep Pharmaceutical Care.
Majalah Medisina.
Cipolle dkk. 1998. Pharmaceutical Care Practice : The Clinician’s Guide, 2nd Edition.
Hepler and Strand, 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care.
Rantucci, M.J., 2009. Komunikasi Apoteker-Pasien. Jakarta .EGC.
Rovers, J. P., et al., 2003. A Practical Guide to Pharmaceutical Care. Washington,D.C:
American Pharmaceutical Association.
Siregar,C.J.P., 2004, Farmasi Rumah Sakit.Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.