Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usia harapan hidup (UHH) ialah salah satu indikator keberhasilan
terhadap perbaikan kualitas kesehatan dan kondisi sosial masyarakat. Angka
harapan hidup di Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan pada periode
2010-2015 adalah 70,1 tahun. Pada periode 2030-2035 diperkirakan angka
harapan hidup meningkat menjadi 72,2 tahun (Badan Pusat Statistik, 2014).
Peningkatan usia harapan hidup tercermin dari semakin meningkatnya
jumlah lansia dari tahun ke tahun. Menurut World Health Organisation
(WHO) di kawasan Asia Tenggara terdapat populasi lansia sebesar 8% atau
sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia sekitar 5.300.000 (7,4%)
dari total populasi, tahun 2010 jumlah lansia 24.000.000 (9,77%) dari total
populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia mencapai 28.800.000
(11,34%) dari total populasi. Di Indonesia sendiri berdasarkan Data Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menyebutkan jumlah penduduk lansia
mencapai 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk) dan pada tahun 2014
jumlah lansia menjadi 18,781 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2025
diperkirakan jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa. Hal ini membuat
Indonesia diperkirakan akan memasuki era penduduk berstuktur tua (aging
structured population), karena 7% penduduknya akan berusia 60 tahun ke
atas. Peningkatan usia harapan hidup juga mengakibatkan peningkatan pada
jumlah lansia (Depkes, 2013; Badan Pusat Statistik, 2014).
Seiring dengan bertambahnya usia, tubuh juga mengalami perubahan
pada semua tingkat seluler, organ, dan sistem sehingga menyebabkan
peningkatan kejadian penyakit baik akut maupun kronik. Rongga mulut juga
ikut serta mengalami perubahan pada jaringan lunak maupun jaringan
kerasnya, antara lain meningkatnya karies gigi dan penyakit periodontal, hal
ini merupakan dua penyebab utama kehilangan gigi. Menurut Kida (2007)
kehilangan gigi disebabkan oleh berbagai keadaan misalnya pencabutan oleh

1
2

tenaga kesehatan gigi atau hilang karena trauma pada gigi. Selain itu, kanker
mulut, penyakit sistemik, efek iatrogenik, kebiasaan konsumsi minuman
keras dan merokok juga bisa menjadi penyebab hilangnya gigi. Apabila hal
ini terus berlanjut tanpa adanya perawatan maka dapat berakibat hilangnya
gigi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) RI tahun 2013, angka
kehilangan gigi mulai meningkat dari kelompok umur 35-44 tahun sebesar
3,42%, kelompok umur 45-54 tahun sebesar 6,08%, kelompok umur 55-64
tahun sebesar 11,59%, dan pada kelompok umur 65 tahun ke atas kehilangan
gigi mencapai 18,12% (Ratmini dan Arifin, 2011; Wangsarahardja, Olly dan
Eddy, 2007; Riskesdas, 2013).
Ketika lansia mengalami kehilangan gigi, maka dapat terjadi pemilihan
makanan, karena adanya kesulitan dalam mengunyah makanan keras dan
lebih memilih makanan lunak, sehingga pemasukan nutrisi akan berkurang
dan berlanjut menjadi defisiensi yang dapat mempengaruhi kesehatan umum.
Menurut Senjaya (2016) lansia harus tetap memiliki minimal 20 gigi yang
berfungsi supaya dapat mengunyah makanan dengan baik (Koodaryan et al.,
2014; Amuwarningsih et al, 2010).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari kehilangan
gigi ini salah satunya dengan membuatkan gigi tiruan. Gigi tiruan menurut
Kamus Kedokteran Gigi (2013) ialah merupakan piranti yang dibuat untuk
menggantikan gigi dan jaringan sekitarnya yang hilang. Penggantian gigi
hilang ini dapat dilakukan dengan pembuatan gigi tiruan cekat atau gigi tiruan
lepasan. Kebutuhan penggunaan gigi tiruan meningkat pada kelompok lansia
kerena mengalami perubahan-perubahan fisiologis dalam rongga mulut
termasuk kehilangan gigi. Pemakaian gigi tiruan dapat meningkatkan kualitas
hidup serta rasa percaya diri seseorang ketika bergaul dengan masyarakat
sekitar, tetapi penggunaan gigi tiruan juga memberikan keluhan pada
pemakainnya antara lain rasa sakit, gigi tiruan yang digunakan longgar, tidak
stabil serta mengganggu fungsi bicara (Lengkong, Damajanti, Ni Wayan,
2015; Massie, Vonny, Lydia, 2016).
3

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan pemakaian gigi
palsu terhadap indeks massa tubuh (IMT) pada geriatri.

1.3 Manfaat Penulisan


Dengan membuat tulisan ini diharap dapat lebih mengetahui dan memahami
hubungan pemakaian gigi palsu terhadap indeks massa tubuh (IMT) pada
geriatri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geriatri
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun
serta mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya
cadangan faali menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional.
Penderita geriatri berbeda dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari
segi konsep kesehatan maupun segi penyebab, perjalanan, maupun gejala dan
tanda penyakitnya sehingga, tatacara diagnosis pada penderita geriatri
berbeda dengan populasi lainnya (Penninx et al., 2004).
Menurut World Health Organization (WHO), batasan-batasan usia
lanjut terdiri dari empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) yang
merupakan kelompok usia antara 45-59 tahun; lanjut usia (elderly age) yang
merupakan kelompok usia antara 60-74 tahun; usia tua (old age) yang
merupakan kelompok usia antara 75-90 tahun; dan usia sangat tua (very old)
yang merupakan kelompok usia diatas 90 tahun.

2.2 Status Kesehatan Gigi dan Mulut pada Geriatri


Sistem mastikasi terdiri atas gigi geligi, mukosa mulut, kelenjar ludah,
sistem neuromaskular, tulang alveolar dan temporomandibular. Proses
penuaan akan merubah struktur dan keadaan rongga mulut baik bersifat
fisiologis maupun patologis yang umumnya sulit dibedakan. Proses penuaan
fisiologis pada seluruh sistem tubuh bersama-sama dengan faktor lokal, dapat
mempengaruhi struktur dan fungsi rongga mulut. Perubahan pada sistem
mastikasi pada lansia juga dipengaruhi oleh kebiasaan, kebersihan rongga
mulut dan lingkungan.
Proses penuaan menyebabkan perubahan struktur dan tampilan gigi
geligi. Beberapa keadaan yang umumnya terjadi pada gigi seiring
pertambahan usia, misalnya perubahan warna menjadi gelap atau
kekuningan. Seringkali terjadi keretakan, yang bersama dengan produk

4
5

korosif akan menyebabkan perubahan warna. Menipisnya lapisan enamel


dapat disebabkan atrisi, erosi atau abrasi. Hal ini akan berlanjut dengan
tereksposnya dentin yang menyebabkan terbentuknya dentin sekunder yang
dalam waktu jangka lama menyebabkan gigi kurang sensitif dan lebih rapuh,
sehingga lebih beresiko terhadap terjadinya karies dan fraktur. Oral mukosa
akan menjadi lebih tipis, halus, dan kering, sehingga lebih rentan terhadap
trauma.
Pada lidah terlihat penurunan ketebalan epitel, penyederhanaan struktur
epitel dan rete peg yang kurang menonjol, sehingga lidah terlihat lebih halus.
Tidak ada bukti nyata adanya penurunan persepsi rasa yang signifikan
sehubungan dengan bertambahnya umur. Perubahan indera perasa dianggap
kurang berpengaruh dibandingkan indera lain.
Penurunan fungsi kelenjar ludah merupakan keadaan normal pada
proses penuaan. Pada lansia yang sehat penurunan aliran saliva yang terjadi
seiring bertambahnya usia, tidak bermakna secara klinis. Penurunan aliran
saliva yang menuju pada kekeringan mulut (xerostomia) seringkali berkaitan
dengan penyakit kronis atau pemakaian obat-obatan tertentu. Fungsi otot dan
sistem persyarafan berkaitan erat.
Tulang alveolar turut ambil bagian dalam hilangnya mineral tulang
karena usia melalui resorbsi matriks tulang. Proses ini dapat dipercepat
dengan tanggalnya gigi, penyakit periodontal, atau protesa yang kurang baik.
Keadaan yang berhubungan dengan sendi temporomandibular masih
belum jelas. Sejumlah kelainan termasuk atritis dan kerusakan meniskus telah
disebutkan, tapi hubunganya dengan usia, terpisah dari trauma lokal dan
penyakit sistemik masih belum dapat dipastikan.
Dampak dari buruknya kesehatan gigi dan mulut mempengaruhi
kehidupan sehari-hari lansia. Lebih lanjut akan mempengaruhi kemampuan
mengunyah, berkurangnya indera perasa, bicara, estetik, dan seringkali
mengakibatkan terbatasnya kehidupan sosial. Secara umum status kesehatan
gigi yang buruk pada lansia dapat terlihat dengan tingginya kehilangan gigi,
adanya karies gigi, tingginya pravelensi penyakit periodontal, xerostomia,
prakanker/kanker rongga mulut. Kehilangan gigi merupakan kondisi yang
6

sering ditemui pada lansia. Menurut penelitian-penelitian yang telah


dilakukan, pravalensi kehilangan gigi pada lansia masih tinggi.

2.3 Kehilangan Gigi


Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan ketidakadaan gigi individu
dari soketnya yang disebabkan oleh pencabutan karena karies, penyakit
periodontal, trauma, dan penyakit sistemik. Kehilangan gigi biasanya terjadi
pada lansia dan menyebabkan terganggunya fungsi pengunyahan, fungsi
temporomandibular joint (TMJ), dan psikologis yaitu estetika dan fungsi
bicara. Masalah gizi pada lansia berkaitan erat dengan asupan makanan dan
metabolisme tubuh. Aktivitas fisik, depresi, serta kondisi mental, pengobatan
penyakit dan kemunduran biologik merupakan faktor yang dapat
memengaruhi kebutuhan gizi pada lansia. Perubahan fisik dan penurunan
fungsi organ tubuh pada lansia dapat juga memengaruhi konsumsi dan
penyerapan zat gizi sehingga buruknya asupan gizi akan berdampak pada
kualitas hidup lansia. Masalah gizi yang sering dijumpai pada lansia yaitu
masalah gizi lebih (overweight dan obesitas), dan gizi kurang (kurus).
Hilangnya gigi sebagian dapat menimbulkan efek pada rongga mulut,
seperti :
A. Migrasi dan rotasi gigi
Hilangnya kesinambungan pada lengkung gigi dapat
menyebabkan pergeseran, miring, atau berputarnya gigi. Karena gigi ini
tidak lagi menempati posisi yang normal untuk menerima beban yang
terjadi pada saat pengunyahan, maka akan mengakibatkan kerusakan
struktur periodontal. Gigi yang miring lebih sulit dibersihkan, sehingga
aktivitas karies dapat meningkat.
B. Erupsi berlebih
Bila gigi sudah tidak mempunyai antagonis lagi, maka akan
terjadi erupsi berlebih (overeruption). Erupsi berlebih dapat terjadi
tanpa atau disertai pertumbuhan tulang alveolar, maka struktur
periodontal akan mengalami kemunduran sehingga gigi mulai extrusi.
Bila terjadinya hal ini disertai pertumbuhan tulang alveolar berlebih,
7

maka akan menimbulkan kesulitan jika pada suatu hari penderita perlu
dibuatkan geligi tiruan lengkap.
C. Gangguan temporomandibular joint (TMJ)
Kebiasaan mengunyah yang buruk, penutupan berlebih
(overcloser), hubungan rahang yang eksentrik akibat kehilangan gigi,
dapat menyebabkan gangguan pada struktur sendi rahang.
D. Beban berlebih jaringan pendukung
Bila penderita sudah kehilangan sebagian gigi aslinya, maka gigi
yang masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besar sehingga
terjadi pembesaran berlebih (over loding). Hal ini akan mengakibatkan
kerusakan membran periodontal dan lama kelamaan gigi tadi menjadi
goyang dan akhirnya terpaksa dicabut.
E. Estetika yang buruk
Menjadi buruknya penampilan (loss of appearance) karena
kehilangan gigi depan akan mengurangi daya tarik wajah seseorang,
apalagi dari segi pandang manusia modern.
F. Kelainan bicara
Kehilangan gigi depan atas dan bawah seringkali menyebabkan
kelainan bicara, karena gigi khusunya yang depan termasuk bagian
organ fonetik.
G. Atrisi
Atrisi adalah suatu gesekan fisik antara permukaan sebuah gigi
terhadap gigi yang lain sehingga pada permukaan yang saling berkontak
akan timbul keausan, umumnya terjadi pada gigi di daerah oklusal dan
insisal. Keausan jenis ini kebanyakan bersifat fisiologis oleh karena
pemakaian dan kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia.
Suatu keausan disebut fisiologis apabila gigi masih dapat berfungsi,
tidak menimbulkan keluhan dan bentuknya masih wajar. Sebaliknya,
pada keadaan patologis sudah timbul bentuk yang tidak memuaskan,
hipersensitivitas atau masalah mekanis seperti berkurangnya dimensi
vertikal oklusal.
8

Buruknya kesehatan rongga mulut dapat berdampak pada kehilangan


gigi yang mengakibatkan timbulnya masalah pada pengunyahan dan pola
makan sehingga mengganggu status nutrisi pasien. Hal ini dikarenakan pasien
yang mengalami kehilangan gigi hanya dapat makan makanan yang lembut
sehingga nutrisi bagi tubuh menjadi berkurang.
Pasien yang yang mengalami kehilangan gigi akan mengubah pola
konsumsinya antara lain dengan tidak memakan makanan yang keras seperti
buah-buahan, sayur-sayuran, dan daging yang merupakan sumber vitamin,
mineral, dan protein akibat menurunnya kemampuan mengunyah.
Kemampuan mengunyah pada pasien yang kehilangan gigi hanya
sebesar 1/6 dibandingkan pasien yang masih memiliki gigi. Hal ini yang
menyebabkan pasien tersebut mengalami kesulitan dalam mengunyah
makanan yang keras.
Proses pengunyahan merupakan suatu proses gabungan gerak antara
dua rahang yang terpisah termasuk biofisik dan biokimia dari penggunaan
bibir, gigi, pipi, lidah, palatum, serta seluruh struktur pembentuk oral untuk
mengunyah makanan agar dapat mudah ditelan. Fungsi dari proses
mengunyah adalah untuk memotong dan menggiling makanan, membantu
mencerna selulosa, merangsang sekresi saliva, melindungi mukosa, serta
mempengaruhi pertumbuhan jaringan mulut. Selain disebabkan oleh
kehilangan gigi, gangguan pengunyahan juga dapat disebabkan oleh
penurunan fungsi dari lidah, mukosa mulut, otot-otot pengunyahan, kelenjar
ludah, dan sistem saraf.
Gangguan psikologis akibat kehilangan gigi juga dapat mempengaruhi
selera makan dan kegiatan mengunyah. Gangguan pengunyahan tersebut
dapat mempengaruhi asupan makanan dan status gizi pada lansia.
Menurut Fiske dan Lewis (1995), kesehatan gigi dan mulut merupakan
hal yang penting pada lansia dalam hubunganya dengan kemampuan
pengunyahan dan mendapatkan asupan makanan yang sehat. Lansia yang
banyak kehilangan giginya berdampak negatif terhadap pemilihan dan
kualitas makanan. Jumlah kehilangan gigi yang banyak akan menyebabkan
penurunan kemampuan pengunyahan dan pemilihan jenis makanan tertentu.
9

Keadaan tidak bergigi mempengaruhi penurunan berat badan karena


masalah pengunyahan. Dampak fungsional yang lainnya dari kehilangan gigi
yaitu berupa gangguan pada proses bicara.
Gigi geligi memiliki peranan penting dalam proses bicara. Beberapa
huruf dihasilkan melalui bantuan bibir dan lidah yang berkontak dengan
gigigeligi sehingga dihasilkan pengucapan huruf tertentu. Huruf-huruf yang
terbentuk dari kontak gigi-geligi dan lidah adalah huruf konsonan, seperti S,
Z, X, D, N, L, J, T, TH, CH, SH. Huruf-huruf tersebut sulit dihasilkan oleh
pasien yang mengalami kehilangan gigi-geligi sehingga dapat mengganggu
proses berkomunikasi.

2.4 Masalah Gizi pada Geriatri


Masalah gizi yang sering terjadi pada lansia menurut Watson, (2003)
adalah malnutrisi dan obesitas. Obesitas pada lansia biasanya disebabkan
karena pola konsumsi yang berlebihan. Selain itu, proses metabolisme yang
menurun pada lansia dapat menyebabkan kalori yang berlebihan akan diubah
menjadi lemak sehingga menyebabkan kegemukan jika tidk diimbangi
dengan peningkatan aktivitas fisik. Sedangkan malnutrisi pada lansia
kurangnya vitamin dan mineral dalam beberapa kasus terjadi pula kekurangan
protein kalori (Stanley,2007). Malnutrisi pada lansia jika dalam kondisi lama
akan berdampak pada kelemahan otot dan kelelahan karena energi yang
menurun. Oleh karena itu, lansia akan beresiko tingga untuk terjatuh atau
mengalami ketidakmampuan dalam mobilisasi yang menyebabkan cedera
atau luka tekan (Watson, 2003).

2.5 Indeks Massa Tubuh


Kehilangan gigi yang tidak dirawat dengan menggunakan gigi tiruan
tentu akan menyebabkan fungsi gigi yang hilang tidak bisa dikembalikan,
yang akan mengakibatkan terganggunya status gizi dan kualitas hidup lansia.
Terganggunya status gizi lansia disebabkan karena pada kondisi kehilangan
banyak gigi akan menurunkan kemampuan mastikasi atau pengunyahan
sehingga dapat menyebabkan terjadinya pembatasan diet tertentu dan
10

berkurangnya asupan nutrient yang sangat dibutuhkan tubuh. Makanan yang


tidak dicerna secara sempurna tidak akan terserap dengan baik oleh tubuh
sehingga juga mempengaruhi asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status
gizi dapat diukur menggunakan indeks antropometri yaitu salah satunya
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana
untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan (Thalib,2010).
IMT merupakan rumus matematis yang dinyatakan sebagai berat badan
(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter).
Penggunaan rumus ini hanya dapat diterapkan pada seseorang berusia antara
19 hingga 70 tahun, berstruktur tulang belakang normal, bukan atlet atau
binaragawan, dan bukan ibu hamil atau menyusui.
Rumus untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus
metrik berikut:

IMT diinterpretasikan menggunakan kategori status berat badan standar


yang sama untuk semua umur bagi pria dan wanita secara umum. Standar
baru untuk IMT telah dipublikasikan pada tahun 2010 oleh Kemenkes RI.
Adapun klasifikasinya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Kategori IMT
11

2.6 Gigi Tiruan


Beberapa individu lansia juga mengimbangi penurunan kemampuan
mengunyah dengan memilih makanan yang sudah diolah atau dimasak
daripada makanan segar yang harus dikunyah lebih lama sebelum ditelan.
Hasil penelitian Elham Emami juga menyatakan bahwa individu yang
edentulous sering kali mengkonsumsi makanan yang kurang akan serat dan
tingginya lemak jenuh. Sehingga untuk menghindari gangguan nutrisi akibat
dari dampak kehilangan gigi tersebut, perlu dibuatkan gigi tiruan yang baik
dan dapat membantu meningkatkan kesehatan mulut pasien terkait kualitas
hidup dan mengoptimalkan fungsi oral.
Lansia yang menggunakan Gigi Tiruan Penuh (GTP) memiliki status
gizi yang lebih tinggi dibanding lansia yang tidak menggunakan GTP. Proses
pengunyahan merupakan proses yang meliputi aktivitas fasial, mandibula,
otot suprahyoid, dan lidah yang berfungsi untuk menggilas makanan yang
akan masuk ke tahap pencernaan selanjutnya. Sehingga penggunaan GTP
pada lansia yang edentulous akan memperbaiki sistem stomatognatik,
khususnya dalam proses mastikasi (pengunyahan) sehingga asupan makanan
menjadi lebih baik dan gizinya pun menjadi meningkat.
Tujuan perawatan prostodontik antara lain adalah untuk
mengembalikan fungsi mastikasi, fungsi bicara, fungsi estetika serta
mempertahankan jaringan yang masih ada. Tujuan utama dari perawatan
prostodonsia pada lansia adalah :
1. Jika memungkinkan kondisi oklusi yang stabil dipertahankan.
2. Dimensi vertikal oklusal dipertahankan atau diperbaiki.
3. Sequele langsung maupun jangka panjang akibat pembuatan gigi tiruan
diminimalkan.
4. Pengaplikasian prosedur perawatan sederhana dengan hasil nyaman
dan estetis.
5. Pemilihan rencana perawatan yang dapat diterima secara finansial.
12

Dokter gigi dan pasien harus bekerja sama untuk mendapatkan


perawatan prostodontik yang optimal. Berbagai restorasi prostodontik seperti
gigi tiruan lepas (GTL) baik gigi tiruan lepas (GTSL) atau gigi tiruan penuh
(GTP), gigi tiruan cekat (GTC) dan gigi tiruan dukungan implan dapat
menjadi pilihan perawatan pada lansia. Pilihan perawatan hendaknya sesuai
dengan kebutuhan individu dari segi kenyamanan, estetik, fungsi
pengunyahan dan kemampuan menjaga kebersihan rongga mulutnya.
BAB III

KESIMPULAN

Kehilangan gigi akan berkaitan dengan pemilihan makanan dan sehingga


akan meningkatkan resiko gangguan nutrisi pada lansia. Lansia yang mengalami
banyak kehilangan gigi mengalami terganggunya kemampuan dalam
mengkonsumsi makanan yang bertekstur keras seperti daging, buah dan sayur
sehingga asupan energi yang didapatkan hanya dari lemak dan gula tambahan,
sehingga mempengaruhi status gizi pada lansia

13
DAFTAR PUSTAKA

Thalib, B., Relationship of mastication capability and nutrion status of elderly buginese
and mandarnese. DENTIKA. 2010. 15(2): 161-164.

14

Anda mungkin juga menyukai