i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS
“PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN”
ISBN : 978-602-73501-0-6
Redaksi
Program Studi Magister Keperawatan
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 50275
Telp. (024) 76480919 Fax : (024) 76486849
Email : semnascomundip@gmail.com
Website : www. keperawatan.undip.ac.id
ii
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
7 November 2015
iii
KATA PENGANTAR
Perawat memiliki peran yang vital dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sehat dan aktif dalam mengisi pembangunan. Perawat memberikan kontribusi yang sangat
besar terhadap keberhasilan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna
terhadap pasien. Perawat menempati 1/3 dari keseluruhan tenaga kesehatan di Indonesia
baik di RS maupun di Puskesmas. Oleh sebab itu diperlukan suatu mekanisme dalam
upaya meningkatkan profesionalisme perawat dalam mewujudkan program percepatan
pembangunan kesehatan di Indonesia.
Saat ini permasalahan kesehatan yang dihadapi cukup kompleks, upaya kesehatan
belum dapat menjangkau seluruh masyarakat meskipun Puskesmas telah ada di setiap
kecamatan yang rata-rata ditunjang oleh tiga Puskesmas Pembantu. Hal ini ditunjukkan
dengan masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, jumlah kasus baru
TB, jumlah kasus baru AIDS dan penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
dan penyakit pembuluh darah, juga terjadi peningkatan.
Keperawatan sebagai salah satu bagian pelayanan kesehatan di Indonesia
memandang isu ini sebagai masalah krusial yang perlu untuk ditindaklanjuti bersama, tidak
hanya oleh stakeholder, tetapi juga oleh praktisi, akademisi, dan masyarakat. Jalinan
kerjasama ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dan pemecahan masalah yang
mempengaruhi outcome berupa kualitas pelayanan dan profesionalisme perawat.
Menjawab realitas tersebut kegiatan seminar nasional dengan tema “Peran perawat dalam
pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” dapat bermanfaat
untuk memajukan dan menggiatkan kembali pendidikan dan profesi sebagai perawat yang
berkompeten dan berkualitas di keperawatan komunitas ( masyarakat) terutama menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN .
iv
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Semarang, 7 November 2015
v
Susunan Acara
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Semarang, 7 November 2015
vii
Daftar Isi
viii
12. Treesia Sujana ................................................................................................. 101
Effectiveness of maternal and neonatal health promotion strategies in low
and middle income countries with disadvantage environment Road to an in-
context health promotion strategy for Indonesia
13. Domianus Namuwali ...................................................................................... 108
Pengaruh Penggunaan SMS Dan Telpon Pengingat Terhadap Kepatuhan
Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis Paru : Literatur review
14. Umi Setyoningrum 115
..........................................................................................
Hubungan Peran dan Fungsi Keluarga Terhadap Perilaku Seksual Pra
Nikah Remaja 118
15. Yuni Dwi Hastuti , Sidik Awaludin.................................................................
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Hiv/Aids Terhadap Pengetahuan
Dan Sikap Siswa Di Sma Setiabudi Semarang 125
16. EIstki Suprihatin .............................................................................................
Hubungan Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Dengan Pencegahan
Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk 131
17. Budi Kristanto .................................................................................................
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Bahasa Pada
Anak Pra Sekolah 139
18. Lusia Lilik Mei M ..........................................................................................
The Relationship Between Husband Support And Self Efficacy With Stress
Levels In Multiple Roles Woman 146
19. Asti Nuraeni, Susana Agustina, Mamat Supriyono.........................................
Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok Terhadap
Frekuensi Merokok Siswa Sman 14 Semarang 153
20. Yulia Susanti, Junaiti Sahar, Poppy Fitriyani ................................................
Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian
Demam Berdarah Pada Anggota Keluarga Di Kabupaten Kendal 161
21. Dwi Roma Yogi, Riani Pradara Jati
Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia
Memeriksakan Kesehatan di Posyandu Lansia di Desa Sawahjoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang 168
22. Dwi Susilawati, Reni Sulung Utami .............................................................
Efektivitas Senam Diabet Terhadap Aktivitas dan Kepuasan Dalam
Berhubungan Seksual Pada Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas
Kecamatan Ungaran Barat 178
23. Yunitia Aulianita, Sari Sudarmiati .................................................................
Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan
Wanita Klimakterium di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan
Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah 186
24. Puji Purwaningsih ...........................................................................................
Kajian Literatur : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik dan
Perilaku Sedentary Pada Anak 192
25. Chandra Bagus Ropyanto ...............................................................................
Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Efficacy
Melakukan Activity Daily Living (ADL) Pasien Pasca Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) Ekstremitas Bawah di Kota Semarang
ix
26. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti ................................................................. 202
Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia di Semarang
27. Wachidah Yuniartika...................................................................................... 210
Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi
Pasien Diabetes Mellitus
28. Diah Indriastuti................................................................................................ 218
Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami
29. Diah Fitri Purwaningsih ................................................................................ 225
Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community
Treatment Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature
Review
30. Rinda Winandita , Rita Hadi Widyastuti ........................................................ 234
Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha
31. Muchammad Nurkharistna Al Jihad .............................................................. 241
Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil
C. Poster Presentation
1. Herry Setiawan ............................................................................................... 250
Nilai Marketing Perawat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada
Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA): Literature Review
2. Arwyn Weynand Nusawakan ........................................................................ 260
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi
dalam konteks lintas budaya.
3. Azka Fathiyatir Rizqillah, Diyan Yuli Wijayanti............................................ 266
Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia : Studi Eksporatif Pada Lansia Di
Kelurahan Padangsari Kota Semarang
4. Diah Indriastuti , Tahiruddin............................................................................ 274
Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal
Depression Scale) Pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum
5. Retno Yuli Hastuti, Sutaryono, Ayu Arumsari................................................ 281
Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan Kecemasan Pada
Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi Di Stikes Muhammadiyah
Klaten
6. Muhammad Mu’in, Dyan Yuli Wijayanti....................................................... 289
Spiritualitas Dan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus
7. Yossie Susanti Eka Putri, Livana PH.............................................................. 295
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Keluarga
Sebagai Akibat Beban Merawat Lansia Demensia Di Ciwaringin Bogor
8. Satriya Pranata, Aini Hidayati........................................................................ 304
Literature Review : Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Tingkat Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus
x
26. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti ................................................................. 202
Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia di Semarang
27. Wachidah Yuniartika...................................................................................... 210
Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi
Pasien Diabetes Mellitus
28. Diah Indriastuti................................................................................................ 218
Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami
29. Diah Fitri Purwaningsih ................................................................................ 225
Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community
Treatment Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature
Review
30. Rinda Winandita , Rita Hadi Widyastuti ........................................................ 234
Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha
31. Muchammad Nurkharistna Al Jihad .............................................................. 241
Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil
C. Poster Presentation
1. Herry Setiawan ............................................................................................... 250
Nilai Marketing Perawat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada
Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA): Literature Review
2. Arwyn Weynand Nusawakan ........................................................................ 260
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi
dalam konteks lintas budaya.
3. Azka Fathiyatir Rizqillah, Diyan Yuli Wijayanti............................................ 266
Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia : Studi Eksporatif Pada Lansia Di
Kelurahan Padangsari Kota Semarang
4. Diah Indriastuti , Tahiruddin............................................................................ 274
Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal
Depression Scale) Pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum
5. Retno Yuli Hastuti, Sutaryono, Ayu Arumsari................................................ 281
Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan Kecemasan Pada
Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi Di Stikes Muhammadiyah
Klaten
6. Muhammad Mu’in, Dyan Yuli Wijayanti....................................................... 289
Spiritualitas Dan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus
7. Yossie Susanti Eka Putri, Livana PH.............................................................. 295
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Keluarga
Sebagai Akibat Beban Merawat Lansia Demensia Di Ciwaringin Bogor
8. Satriya Pranata, Aini Hidayati........................................................................ 304
Literature Review : Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Tingkat Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus
x
Materi Pembicara
No Nama Judul
1 Ns. Dely Maria Kemampuan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi
P. M.Kep., untuk meningkatkan status gizi anak usia sekolah.
Sp.Kep. Kom.
2 Puji Kajian Literatur : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik
Purwaningsih Dan Perilaku Sedentary Pada Anak Usia 7-12 Tahun.
xi
RUANG : 2 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP)
WAKTU : JAM 13.00-14.30
MODERATOR : Ns. Diyan Yuli W., M.Kep.
No Pengarang Judul
1 Fitri Efektifitas Program Perawatan Diri Terhadap Kemampuan Diri
Suciana,S.Kep., Pasien Gagal Jantung
Ns.,M.Kep.
2 Ns. Kastuti Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Keluarga Dalam
Endang Perawatan Pasien Tuberculosis Paru
Trirahayu.,
S.Kep
3 Chandra Bagus Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Efficacy
Ropyanto, Melakukan Activity Daily Living (Adl) Pasien Pasca Open Reduction
Muhamad Rofi’i Internal Fixation (Orif)
Ekstremitas Bawah
5 Dwi Yuniar Literatur Review : Dukungan Keluarga, Efikasi Diri dan Kualitas
Ramadhani Hidup Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2
10 Dwi Roma Yogi, Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia
Riani Pradara Memeriksakan Kesehatan Di Posyandu Lansia Di Desa Sawahjoho
jati Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.
xii
RUANG : 3 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP)
WAKTU : JAM 13.00-14.30
MODERATOR : Ns. Sri Padma Sari, MNS
No Pengarang Judul
Fitroh Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Tekanan Darah pada
Suryaningsih Tut Pasien Hipertensi
1
Wuri Prihatin
Witri Hastuti
Yunitia Aulianita, Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap
Sari Sudarmiati, Kecemasan Wanita Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan
2
Sp.Mat. Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah
Ns. Candra Dewi Kolaborasi Perawat Klien Dalam Penanganan Kesehatan Jiwa
5 Rahayu, S. Kep Komunitas: Literature Review
Lusia Lilik Mei The Relationship Between Husband Support And Self Efficacy With
8 M., Vivi Retno Stress Levels In Multiple Roles Woman
Intening
Dwi Susilawati, Efektivitas Senam Diabet Terhadap Aktivitas Dan Kepuasan Dalam
M.Kep., Sp.Mat, Berhubungan Seksual Pada Penderita Diabetes Mellitus Di
9 Ns. Reni Sulung Puskesmas Kecamatan Ungaran Barat
Utami, S.Kep.,
MSc.
M. Nurkharistna Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil
10
Al Jihad
xiii
KONSEP DAN IMPLEMENTASI ASUHAN
KEPERAWATAN KOMUNITAS DALAM RANGKA
PENINGKATAN STATUS KESEHATAN MENUJU MEA;
Aplikasi Program 1 RW 1 Perawat Untuk Warga
Jakarta Lebih Sehat dan Sejahtera
Daftar Isi
A. Prinsip Kerja 1RW 1 Perawat
B. Alasan program 1 RW 1 perawat
C. Tugas & wewenang perawat menurut UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
D. Skema kerja logis 1 RW 1 perawat
E. Hubungan kerja dengan mitra lain
F. Yang dilakukan oleh perawat
G. Standar Pelayanan Minimal
H. Sasaran kerja prioritas
I. Jadwal harian tentatif
J. Peralatan yang dibutuhkan
K. Manfaat 1 RW 1 Perawat
L. Dukungan PPNI
M. Indikator Keberhasilan
N. Hal yang perlu diperhatikan
O. Data yang harus dimiliki perawat
P. Yang dilaporkan ke Puskesmas dan PPNI Kabupaten/kota
Q. Kontak Person Ketua PPNI Wilayah
Kader Tokoh
kesehatan masy
Perawat
Institusi
Kelurahan Kelg Kelg pendidikan
nakes
Kelg
Klinik Posyandu
Selamat
berkarya
memperkuat
pelayanan
kesehatan
primer, melalui
konstribusi
profesi perawat
bagi masy
sekitar.
Abstrak
Latar Belakang. Nutrisi yang baik berkontribusi pada tumbuh kembang anak usia sekolah,
dikarenakan nutrisi tersebut untuk memenuhi kebutuhan secara fisik, perkembangan kognitif dan
social anak usia sekolah.
Tujuan. Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan
keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah.
Metoda. Desain penelitian cross sectional, menggunakan metode proportional random sampling,
responden sebesar 276. Sampel penelitian siswa kelas 4-5 beserta orangtua siswa di SD wilayah
kelurahan Pondokranggon. Uji statistik menggunakan chi-square dan regresi logistik.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan keluarga merawat baik berpeluang sebesar 6.3 kali
(OR: 6.303) memiliki status gizi baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga merawat yang tidak
baik.
Kesimpulan. Status gizi anak usia sekolah tidak terlepas dari kemampuan keluarga melakukan tugas
kesehatan keluarga khususnya kemampuan keluarga merawat dan pentingnya meningkatkan kerjasama
lintas sektor dan program dalam meningkatkan dan mengatasi masalah gizi pada anak usia sekolah.
Kata kunci : kemampuan keluarga merawat, status gizi, anak usia sekolah
Pendahuluan
Periode usia sekolah selain mengalami pertumbuhan fisik juga mengalami perkembangan
secara kognitif dan sosial. Seiring pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas anak usia
sekolah semakin meningkat diperlukannya faktor yang mendukung untuk pemenuhan tersebut.
Salah satu faktor yang mendukung yaitu pemenuhan kebutuhan nutrisi anak usia sekolah.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi anak sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Menurut
Stanhope dan Lancaster (2010), faktor risiko meliputi usia dan biologi, lingkungan dan gaya
hidup. Faktor risiko yaitu usia 6-12 tahun, merupakan kelompok umur yang berisiko terhadap
masalah nutrisi dikarenakan pemasukan yang tidak seimbang (Allender,Rector &Warner,
2010). Faktor biologi yaitu genetik, merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi lebih
(Hitchock, 1999; Barlow, 2007;Kaakinen, 2010).
Gaya hidup juga dapat mempengaruhi kesehatan anggota keluarga lainnya. Kaakinen (2010)
juga mempertegas, bahwa bila salah satu anggota keluarga berinisiatif merubah perilaku,
anggota keluarga yang lain juga akan melakukan perubahan. Faktor lingkungan psikologis
sangat mempengaruhi anak dalam pemenuhan nutrisi seperti menyediakan makanan yang
bervariasi, membujuk saat anak tidak mau makan, memberikan pujian saat anak
mengkonsumsi makanan yang sehat, memotivasi anak untuk mau makan makanan yang sehat.
James dan Flores (2004), di dalam Kaakinen,Duff,Coehlo dan Hanson (2010), menyatakan
bahwa perilaku hidup sehat sangat dipengaruhi oleh keluarga seperti konsumsi makan yang
sehat
Allender, Rector dan Warner (2010), menguraikan bahwa anak usia sekolah dalam tahap
tumbuh kembangnya berisiko terhadap berbagai masalah kesehatan, antara lain masalah gizi.
Masalah gizi yang dimaksud disini adalah gizi lebih dan gizi kurang. Gizi yang adekuat
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. Gizi kurang merupakan faktor risiko dari
penyakit dan kematian di negara berkembang (Amare,et.all, 2012; Olosunya,2010) dan
berdampak pada perkembangan kognitif dan performance anak (Cook,2002;Hall et.all,2001
dalam Allender, 2010; Hioui,Azzaoui,Ahami&Aboussaleh,2011). Penelitian Saifah (2011),
didapatkan 65,39 % diantaranya tidak makan buah secara rutin, 28,85% tidak makan sayur
secara rutin, dan 59,62% mempunyai kebiasaan jajan makanan berenergi tinggi. Gizi lebih bila
tidak ditangani beresiko terhadap perkembangan penyakit kronik seperti hipertensi, DM tipe 2,
hipercolesterolemia (Taylor, 2005; Juresa, 2012). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan
prevalensi nasional anak usia sekolah (6 - 12 tahun), kategori gizi kurang sebesar 11.2%
sedangkan kelebihan gizi 18.8%.
Salah satu faktor sosial yang mempengaruhi status gizi yaitu faktor keluarga
(Stanhope&Lancaster, 2010). Faktor keluarga dalam hal ini meliputi kemampuan
menyediakan makanan, pola asuh keluarga, jenis makanan yang disediakan keluarga, dan
sosialisasi terhadap makanan (Taylor,2005). Perilaku keluarga dan praktik kesehatan di dalam
keluarga sangat mempengaruhi kesehatan di dalam keluarga (Kaakinen,Duff,Coehlo&Hanson,
2010).
Berdasarkan data Puskesmas kelurahan Pondokranggon I tahun 2013, dari hasil screening
kelas satu di keenam sekolah, didapatkan data gizi kurang (0,78%), gizi baik (83,34%), gizi
lebih (15,88%). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak puskesmas, anak usia sekolah
sering didapatkan mengkonsumsi jajanan diluar pagar sekolah, walaupun ada beberapa
sekolah yang sudah memiliki kantin sekolah. Jajanan yang dikonsumsi seperti cilok yang
menggunakan saus. Hal ini dibenarkan dengan pernyataan dari guru sekolah yang mengatakan
“walaupun anak anak membawa bekal dari rumah, namun tetap saja mereka membeli jajan”.
Berdasarkan hal tersebut, perlunya perawat komunitas melakukan penelitian tentang “
Hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi
dengan status gizi anak usia sekolah di wilayah kelurahan Pondok Ranggon”
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 21
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Tujuan
Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan
keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah.
Metoda
Desain penelitian menggunakan desain deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 753 siswa. Pengambilan sampel dengan menggunakan
metode proportional random sampling, Berdasarkan perhitungan sampel setelah dikoreksi,
jumlah sampel sebesar 291 responden Jumlah kuesioner yang terkumpul tidak sebesar 291
responden, namun 276 responden Hal tersebut dikarenakan 6 (enam) orangtua siswa tidak
mengembalikan kuesioner, 4 (empat) orangtua tidak mengisi secara lengkap kuesioner dan 5
(lima) orangtua tidak mengisi kuesioner. Namun jumlah responden sebesar 276 sudah
memenuhi syarat minimal dari perhitungan sampel. Waktu penelitian dimulai dari April
minggu I – Mei minggu ke III. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan menggunakan
alat ukur antropometri (timbangan, meteran/ microtoise, dan kuesioner untuk anak usia
sekolah dan orangtua siswa.
Hasil
Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah
kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Status Gizi Jumlah Prosentase
Baik 165 59.8%
Tidak baik 111 40.2%
Jumlah 276 100%
Hasil analisis pada tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden memiliki status gizi baik(-2
SD sampai 1 SD) yaitu 59.8%.
Analisis bivariat
Tabel 2. Hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia sekolah di SD
wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Pendapatan Status gizi
Baik Tidak baik Total pv OR (95% CI)
Tinggi 83 (61.9%) 51(38.1%) 134
(100%)
0.557 1.191 (0.735-1.929)
Rendah 82 (57.7%) 60 (42.3%) 142
(100%)
Jumlah 165(55.8%) 111(40.2%) 276(100%)
Tabel 3. Hubungan Pendidikan Bapak dengan status gizi anak usia sekolah di SD
wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Hasil analisis menunjukkan pendidikan bapak tinggi memiliki anak usia sekolah dengan status
gizi baik sebesar 57.5%, sedangkan pendidikan bapak yang rendah sebesar 63.9% juga
mengalami status gizi baik. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara
pendidikan bapak dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.367).
Tabel 4. Hubungan pendidikan Ibu dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah
kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n = 276)
Hasil analisis menunjukkan pendidikan ibu tinggi memiliki anak usia sekolah dengan status
gizi baik 60.8%, sedangkan ibu yang pendidikan rendah memiliki anak usia sekolah yang
berstatus gizi baik sebesar 58.5 %. Namun hasil uji chi square menunjukkan tidak ada
hubungan antara pendidikan ibu dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah
(p=0.796).
Hasil analisis menunjukkan jumlah anak dalam keluarga besar (> 2 orang) memiliki anak usia
sekolah dengan status gizi baik sebesar 66.4% sedangkan keluarga yang memiliki anak dalam
jumlah kecil (1-2 orang) berstatus gizi baik 53.2%. Hasil uji chi square menunjukkan ada
hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.035).
Hasil analisis juga menunjukkan OR= 1.738, artinya jumlah anak dalam keluarga besar (> 2
orang) mempunyai peluang 1.7 kali memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik
dibandingkan dengan jumlah anak dalam keluarga kecil.
Analisis Multivariat
Tabel 8. Hasil pemodelan akhir multivariat status gizi anak usia sekolah di SD wilayah
kelurahan Pondok ranggon (n=276)
No Variabel B P value OR
(95% CI)
1 Kemampuan keluarga 1.841 0.000 6.303 (3.703 – 10.730)
merawat
Konstanta -0.550 0.003 0.577
Dapat disimpulkan dari seluruh proses analisis bahwa kemampuan keluarga merawat
mempengaruhi status gizi pada anak usia sekolah karena memiliki OR paling besar yaitu
6.303. Kemampuan keluarga merawat baik berpeluang sebesar 6.3 kali (CI : 3.703 – 10.730)
memiliki status gizi anak usia sekolah baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga
merawat yang tidak baik.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan tinggi dan rendah memiliki kontribusi yang
sama dalam menentukan status gizi anak usia sekolah. Menurut analisis peneliti, yang
mempengaruhi status gizi dari berbagai faktor dimana tidak hanya dari status pendapatan
keluarga namun ditunjang dengan pengetahuan keluarga dalam mengolah makanan yang tepat
untuk anak usia sekolah yang bisa didapatkan melalui informasi dari media cetak maupun
elektronik terkait nutrisi yang seimbang untuk anak usia sekolah .
Hasil penelitian tidak menunjukkan ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan status
gizi anak usia sekolah. Menurut analisis peneliti, pemenuhan nutrisi anak usia sekolah tidak
hanya dikarenakan faktor pendidikan. Namun dapat dipengaruhi faktor observasi, meniru dan
merubah perilaku sendiri. Juga dapat dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu dalam
memperhatikan kebutuhan nutrisi anak usia sekolah, dalam hal ini adalah ibu yang tidak
bekerja.
Hasil penelitian ini, kemampuan keluarga merawat merupakan faktor yang dominan dalam
mempengaruhi status gizi anak usia sekolah. Keadaan status gizi tidak terlepas dari
kemampuan keluarga melakukan perawatan dimana tindakan perawatan dikaitkan dengan
perilaku kesehatan keluarga. Perilaku disini berkaitan dengan tingkat pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh keluarga. Kurangnya pengetahuan cara merawat
berarti kurangnya kemampuan keluarga melakukan pencegahan dan pemenuhan gizi
seimbang. Secara teori keluarga juga menjadi role model pada anggota keluarga lainnya secara
positif dan negatif (Friedman, Bowden&Jones, 2003 dalam Kaakinen, 2010). Perilaku dan
praktik keluarga juga mempengaruhi kesehatan yang meliputi praktik pemberian makan, jenis
makanan yang dikonsumsi (Kaakinen, 2010). Sosialisasi terkait makanan, perilaku keluarga
makan juga mempengaruhi status gizi anak usia sekolah.
Kesimpulan
1. Pendapatan keluarga yang rendah dan tinggi memiliki peran yang sama dalam status gizi
anak usia sekolah. Status gizi tidak mutlak dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,
dikarenakan tidak semua keluarga memanfaatkan pendapatan keluarganya secara bijak
dalam pemenuhan nutrisi. Dengan pendapatan yang rendah namun bijak dalam manajemen
keuangan, status nutrisi akan terpenuhi.
3. Sebagian besar pendidikan orangtua ( ibu dan bapak) memiliki pendidikan tinggi yaitu
SMA. Hasil penelitian tidak ada hubungan pendidikan dengan status gizi anak usia sekolah.
Status gizi anak usia sekolah tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan, namun dapat
dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu, keluarga mencari dan mendapatkan informasi
tentang gizi melalui media.
4. Ada hubungan antara jumlah anggota keluarga > 2 dengan status gizi anak usia sekolah.
Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini dapat disebabkan pengetahuan
keluarga tentang gizi anak usia sekolah, pengaruh media massa dan pengalaman positif dari
ibu.
5. Kemampuan keluarga merawat merupakan variabel yang dominan mempengaruhi status
gizi anak usia sekolah. Status gizi anak usia sekolah dapat ditingkatkan melalui
peningkatan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam menyediakan makanan
seimbang pada anak usia sekolah.
Abstrak
Latar Belakang: Gagal jantung merupakan sekumpulan proses dari kegagalan jantung
yang berlangsung kronis. Penyakit ini membutuhkan biaya perawatan yang tinggi karena
seringnya pasien gagal jantung mengalami rehospitalisasi sehingga menyebabkan biaya
perawatan yang tidak sedikit.Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup adalah
dengan meningkatkan kemampuan perawatan diri pasien dengan program perawatan diri
pasien gagal jantung.Program perawatan diri meliputi edukasi dan pemberian modul
tentang mengenal gejala gagal jantung dan home monitoring yaitu kontrol tekanan darah,
keteraturan minum obat, kontrol edema dan kontrol terjadinya rawat inap berulang yang
dilakukan oleh perawat di rumah.
Tujuan: diketahuinya efektifitas program perawatan diri terhadap kemampuan perawatan
diri pada pasien gagal jantung yang meliputi self maintenance, self management dan self
confidence.
Metoda : Metoda yang digunakan adalah quasi eksperimen, pre-post with control group.
Teknik sampling yang digunakan consecutive sampling,didapatkan 36 responden dengan
pembagian 18 responden kelompok kontrol dan 18 reponden kelompok intervensi. Pada
kelompok kontrol dilakukan pretes serta home monitoring dan postest yang dilakukan
setelah minggu keempat, sedangkan kelompok intervensi diberikan edukasi dan pemberian
modul tentang cara mencegah gagal jantung serta pretest. Home monitoring pada
kelompok intervensi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Pengumpulan data
kemampuan perawatan diri dengan Self Care Heart Failure Index sedangkan analisa data
untuk mengetahui efektifitas kemampuan perawatan diri menggunakan paired t-test.
Hasil : Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada kemampuan perawatan diri self maintenance,self management dan self confidence
pada kelompok kontrol dengan nilai p value 0,40;0,38;0,08 sedangkan pada kelompok
intervensi self maintenance dan self management mengalami perbedaan yang signifikan
dengan nilai P value yaitu 0,03 dan 0,00 sedangkan self confidence dengan P value 0,50.
Pada penelitian ini ada beberapa responden yang mengalami penyakit penyerta dan hal
tersebut dapat meyebabkan self confidence pada responden tidak ada perubahan yang
signifikan. Kepercayaan diri responden diakibatkan karena kondisi kronis penyakit yang
diderita oleh responden.
Kesimpulan : program perawatan diri efektif digunakan untuk meningkatkan self
maintenance dan self management.
Kata kunci : edukasi, home monitoring, kemampuan perawatan diri
Pendahuluan
Penyakit kronis merupakan penyakit yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya
perawatan yang tidak sedikit. Penyakit ini akan menimbulkan dampak bagi penderitanya
Di Indonesia, penyakit ini mulai diderita pada usia 30 tahun dan paling banyak terjadi pada
usia diatas 50 tahun dengan jumlah penderita gagal jantung mencapai 13 % dari total
jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2013. Di propinsi Jawa Tengah jumlahnya
mencapai 18 % dari jumlah penduduk dan merupakan peringkat terbesar kedua setelah
kota Yogyakarta (Riskesdas ,2013).
Individu yang mengalami gagal jantung membutuhkan penanganan yang spesifik karena
pada dasarnya penanganan pada gagal jantung membutuhkan perawatan jangka panjang.
Perawatan dalam waktu lama di rumah sakit membutuhkan biaya yang banyak,
mempengaruhi kondisi ekonomi dan kondisi psikologis pasien, menurunkan aktivitas
fisik, membatasi kehidupan sosial sehingga menyebabkan menurunnya kualitas hidup
(Buapan,A.,2008; Salehitali, SH et al, 2009 ;Shojaei 2008).
Gagal jantung selain membutuhkan perawatan dalam jangka waktu lama juga
menyebabkan rawat inap berulang. Faktor yang mempengaruhi kejadian rawat inap
berulang antara lain adalah pasien tidak mampu mengenali tanda dan gejala seperti
kelebihan cairan (edema), sesak nafas saat melakukan aktivitas ringan maupun berat,
ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan diet. Ketidakmampuan pasien dalam mengenali
tanda dan gejala inilah, maka sangat penting dilakukannya edukasi dan program perawatan
diri. (Majid,A., 2010; Sadiati ,2014).
Di Indonesia, program perawatan diri dan manajemen gejala termasuk di dalam program
rehabilitasi pasca gagal jantung dan telah dilaksanakan di beberapa Rumah Sakit di
Indonesia, seperti RSCM, RS Harapan Kita, RS Fatmawati, RS Hasan Sadikin Bandung
dan RSUP Dr. Sardjito. Program rehabilitasi ini masih terpusat di rumah sakit karena
kurangnya fasilitas penunjang seperti transportasi, kurangnya fasilitas rehabilitasi di luar
klinik, maka perlu dikembangkan program rehabilitasi jantung ke arah group-base, home-
base atau community-base (Radi, 2009).
Salah satu kegiatan program perawatan diri adalah dengan edukasi dan home monitoring.
Home monitoring dapat dilakukan dengan memantau perkembangan kesehatan pasien di
rumah serta memantau manajemen gejala pasien. Manajemen tersebut meliputi ada atau
tidaknya peningkatan berat badan , edema, dispnea, kelelahan pada aktivitas fisik ringan,
keadaan pasien tidur kemudian tiba-tiba bangun dalam keadaan sesak nafas berat sambil
duduk dan berusaha mencari udara segar (paroxysmal nocturnal dispnea) dan ortopnea
(Black MJ & Hawk,2014).
Edukasi dapat efektif jika pasien diberikan modul atau panduan dan check list. Check list
yang digunakan dalam manajemen gejala meliputi check list jadwal minum obat serta
check list dan diagram kontrol berat badan. Timbang berat badan dapat dilakukan setiap
hari atau maksimal seminggu sekali untuk mengetahui perubahan berat badan karena
penimbunan cairan. Program perawatan diri yang pernah dilakukan untuk pasien dengan
gagal jantung yaitu program HFSC (Heart Failure of Self Care ) dari perhimpunan gagal
jantung Amerika-Heart Failure Society of America. (HFSA ,2006). Program dari HFSA ini
pernah dilakukan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk pada tahun 2011
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 29
“Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
untuk menilai efektifitas program self care terhadap gejala distress, status fungsional dan
kulitas hidup.
Dikembangkannya program perawatan diri tersebut berawal dari teori yang disampaikan
oleh Orem bahwa perawatan diri merupakan pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan
dilakukan oleh individu itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan guna mempertahankan
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai keadaan baik sehat maupun sakit. Tujuan
dari melakukan perawatan diri secara mandiri adalah untuk meningkatkan kemandirian
individu dalam memenuhi kebutuhan dirinya sehingga individu secara psikologis puas
dengan keadaan umumnya sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya rawat inap
berulang (Alligood,& Tomey, 2006).
Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya efektifitas program perawatan diri terhadap kemampuan perawatan diri
pada pasien gagal jantung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung sebelum dan
setelah program perawatan diri pada kelompok intervensi.
b. Mengetahui kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung sebelum dan
setelah program perawatan diri pada kelompok kontrol.
c. Mengetahui perbedaan kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol dan
intervensi.
Metoda
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Quasy Experiment dengan pre post test design.
Sampel penelitian ini adalah pasien gagal jantung yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak
36 responden dengan 18 responden kelompok intervensi dan 18 responden kelompok
kontrol. Teknik sampling menggunakan consecutive sampling dengan waktu pengambilan
data bulan Juni-Agustus 2015. Variabel penelitian ini meliputi program perawatan diri dan
kemampuan perawatan diri. Kelompok intervensi mendapatkan program perawatan diri
berupa edukasi tentang pengenalan gagal jantung serta mendapat modul.
Hasil Analisis Perbedaan Kualitas Hidup dan Kemampuan Perawatan Diri Sebelum
dan Sesudah Program Perawatan Diri selama 4 minggu Pada Kelompok Kontrol dan
Intervensi di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36)
Variabel Kelompok Waktu n Mean SD SE P Value
Perawatan Kontrol
Diri Maintenance Pretest 18 14,39 2,524 0,595 0,40
Postest 18 18,61 7,031 1,657
Management Pretest 18 7,00 2,679 0,631 0,38
Postest 18 9,17 3,502 0,825
Confidence Pretest 18 14,83 5,113 1,205 0,08
Postest 18 19,44 4,033 0,950
Intervensi
Maintenance Pretest 18 12,83 1,689 0,398 0,03
Postest 18 18,56 7,147 1,685
Management Pretest 18 4,78 1,263 0,298 0,00
Postest 18 9,56 3,929 0,926
Confidence Pretest 18 16,67 4,159 0,980 0,50
Postest 18 19,61 4,972 1,172
Skor kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol menunjukkan hasil tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada maintenance (p=0,40,α=0,05), management
(p=0,38,α=0,05), confidence (p=0,08,α=0,05) sedangkan pada kelompok intervensi
terdapat perbedaan yang signifikan pada skor maintenance (p=0,03,α=0,05), management
(p=0,000,α=0,05), namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor confidence
(p=0,50,α=0,05).
Hasil Analisis Perbedaan Kualitas Hidup dan Kemampuan Perawatan Diri Antara
Kelompok Kontrol Dengan Kelompok Intervensi Setelah Mendapatkan Program
Perawatan Diri selama 4 Minggu di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36)
Rata-rata skor kemampuan perawatan diri kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol. Hasil uji statistik didapatkan hasil P value 0,01 sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada alpha 0,05 terdapat perbedaan bermakna secara statistik rata-rata
kemampuan perawatan diri setelah dilakukan program perawatan diri selama 4 minggu
antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Hasil uji statistik didapatkan P value 0,11 dan dapat disimpulkan bahwa pada alpha 0,05
tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik selisih rata-rata kemampuan perawatan
diri setelah dilakukan program perawatan diri antara kelompok kontrol dan kelompok
intervensi.
Pembahasan
Kegiatan home visit ini merupakan kegiatan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat
terkait dengan tugasnya sebagai edukator. Hal ini sesuai dengan UU RI no. 38 tahun 2014
tentang keperawatan pasal 29 ayat 1,2 dan 3 yang menyampaikan bahwa perawat dalam
menyelenggarakan praktik keperawatan salah satunya sebagai edukator dapat dilaksanakan
secara bersama atau sendiri-sendiri. Pelaksanaan tugas perawat harus dilaksanakan secara
bertanggung jawab dan akuntabel (UU Keperawatan, 2014). Di dalam Undang-Undang
mengatur tugas dan kewajiban seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
bagi pasien. Di dalam teori Orem disampaikan bahwa sebagian tindakan keperawatan
dilakukan oleh perawat dan sebagian lagi dilakukan oleh pasien. Hal ini dilakukan dengan
tujuan pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (Alligood & Tomey,2006).
Program perawatan diri yang dilakukan pada penelitian ini diawali dengan edukasi kepada
pasien. Program edukasi pada perawatan gagal jantung meliputi pemahaman penyebab
CHF, gejala, diet restriksi garam dan cairan, regimen terapeutik, kepatuhan, aktivitas fisik,
perubahan gaya hidup. Pengenalan terhadap gejala perlu dipahami oleh pasien agar dapat
segera berkonsultasi kepada dokter atau perawat (Sadiati, 2014). Penelitian ini dalam
melakukan edukasi menggunakan buku panduan yang telah disusun sendiri oleh peneliti
dengan menggunakan referensi dari HFSA dan melalui proses uji validitas pakar sebanyak
3 orang. Poin-poin yang disampaikan di dalam buku panduan ini adalah pengertian gagal
jantung, gejala awal gagal jantung, cara mencegah agar tidak terjadi kekambuhan, jadwal
minum obat, kontrol berat badan, kontrol edema, dan kontrol tekanan darah.
Obat obatan sebaiknya dikonsumi secara teratur sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh
dokter, maka perlu dibuatkan jadwal minum obat. Penjadwalan minum obat dapat berupa
buku diary atau check list yang ditempel di kotak obat (Albert, 2012;Eastwood,2007).
Peneliti telah membuat format jadwal minum obat sehingga responden dapat melakukan
penandaan jika telah minum obat. Namun hasilnya hanya 2 responden yang melakukan
penandaan minum obat, hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pemahaman dari
responden untuk melakukan penandaan minum obat. Dari kegiatan home visit, 90 %
responden mengatakan rutin minum obat terutama digoksin, antihipertensi dan diuretik.
Manajemen cairan dan berat badan perlu dilakukan secara rutin oleh pasien gagal jantung
maksimal 1 minggu sekali, sedangkan untuk manajemen cairan pasien perlu mebatasi
konsumsi sodium yaitu sebanyak 2-3 gram per hari. Hal ini dilakukan untuk mencegah
Pelaksanaan program perawatan diri dapat lebih efektif dengan pemberian buku panduan.
Buku panduan yang telah disusun terdapat format kontrol edema dengan tujuan agar
responden selalu kontrol berat badan untuk mencegah kenaikan berat mendadak sehingga
dapat mengurangi terjadinya sulit bernafas. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan
pasien dalam kontroling berat badan sudah baik, terbukti hanya satu pasien dalam
kelompok intervensi yang mengalami kenaikan berat badan 2 kg dalam satu minggu.
Minggu III dan IV program perawatan diri dijalankan merupakan satu minggu setelah
lebaran, kemungkinan pada waktu lebaran responden tidak dapat mengontrol makan.
Kontrol berat badan dan kontrol edema merupakan satu kesatuan strategi perawatan diri
pasien gagal jantung untuk mencegah terjadinya sesak nafas. Sesak nafas karena pitting
edema menyebabkan cairan keluar dari kapiler dan memasuki ruang interstitial (Black &
Hawks, 2014).
Strategi program perawatan diri lainnya yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pasien
namun penting dilakukan minimal satu minggu sekali adalah kontrol tekanan darah.
Kontrol tekanan darah perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan sistolik dan
diastolik. Penyakit hipertensi telah terbukti meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung
(Mariyono & Santoso, 2009). Hipertensi yang berlangsung lama dan tidak terkendali dapat
menyebabkan perubahan struktur miokard, pembuluh darah dan system konduksi jantung.
Perubahan ini menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner, disfungsi
sistolik dan diastolik sehingga berakibat nyeri dada, infark miokard, aritmia jantung dan
gagal jantung kongestif (Diamond,Philip, 2005). Responden yang dirawat dengan gagal
jantung semuanya diberikan obat antihipertensi oleh dokter. Hasil kontrol tekanan darah
menunjukkan ada 1 responden pada kelompok kontrol yang mengalami hipertensi,
sedangkan pada kelompok intervensi setiap minggunya ada yang mengalami peningkatan
tekanan darah maupun stabil tekanan darahnya. Responden yang mengalami peningkatan
tekanan darah adalah pasien dengan gagal jantung dan gagal ginjal.
Hasil penelitian ini menyampaikan bahwa kemampuan perawatan diri pasien pada
kelompok kontrol tidak mengalami perubahan yang signifikan dikarenakan responden
sebagian besar baru mengalami rawat inap yang pertama sehingga belum memperoleh
edukasi. Faktor budaya di masayarakat kota klaten yang berasumsi bahwa sesorang yang
menderita gagal jantung usianya tidak akan panjang, dan membutuhkan biaya yang sangat
banyak untuk biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya sehari-hari selama di rumah
sakit. Sedangkan dari segi pembiayaan, pasien sudah menggunakan BPJS sehingga
menjadi terbantu dalam pembiayaan rumah sakit. Kondisi ekonomi yang sebagian besar
responden tidak memiliki pendapatan dapat mempengaruhi kemampuan perawatan diri
pasien dalam melakukan manajemen perawatan diri seperti diet nutrisi dan kontrol ke
rumah sakit sehingga menyebabkan nilai confidence pada perawatan diri tidak mengalami
perbedaan yang signifikan.
Teori Orem menyampaikan bahwa perawatan diri merupakan proses kognitif dan
kemampuan individu dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan aktivitas dalam
meningkatkan derajat kesehatan (Riegel,2008;Orem,2001). Dikaitkan dengan teori Orem
tersebut, pada penelitian ini rata-rata pasien memiliki pendidikan yang rendah, namun
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 33
“Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
kemampuan responden untuk melakukan tindakan preventif dan manajemen gejala sudah
bagus. Terlihat dari hasil penelitian self care maintenace dan self care management bahwa
ada perbedaan yang signifikan pada kelompok intervensi. Yang termasuk di dalam dimensi
self care maintenance adalah menjalankan terapi pengobatan, melakukan aktivitas
fisik,menjalankan diet nutrisi serta monitor BB dan TD, sedangkan yang termasuk di
dalam self care management adalah melakukan manajemen diri untuk melakukan
perubahan, pengambilan keputusan, melakukan strategi pengobatan dan evaluasi dari
tindakan yang dilakukan (Riegel & Dickson, 2004). Namun keyakinan responden untuk
sembuh atau meningkat derajat kesehatannya masih rendah, terlihat dari hasil penelitian
self care confidence tidak ada perbedaan yang signifikan.Hal ini mungkin terkait dengan
faktor budaya masyarakat yang menganggap bahwa gagal jantung hanya membutuhkan
perawatan di rumah sakit dan tidak dapat dicegah gejalanya.
Program perawatan diri dikatakan berhasil jika diiringi dengan self management yang baik
dari pasien. Self management merupakan kemampuan individu dalam upaya untuk
mengenal gejala dan perubahan yang terjadi sehingga dapat mengambil keputusan yang
tepat (Riegel & Dickson, 2004). Keberhasilan self management didukung oleh pemahaman
individu terhadap edukasi yang diberikan serta monitoring yang teratur dari tenaga medis.
Self management pada responden penelitian ini rata-rata baik dan dapat mengenali gejala
gagal jantung. Hal ini bisa disebabkan responden pernah mendapatkan informasi
sebelumnya, karena beberapa pasien pernah mengalami rawat inap sebelumnya dengan
diagnosis yang sama.
Monitoring pasien di rumah dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain adalah
telemonitoring, telefon dan home visit (Bui et al, 2012). Strategi monitoring pada
penelitian ini menggunakan kegiatan home visit. Alasan memilih home visit ini adalah
agar pasien dapat terkontrol dengan benar tekanan darah, berat badan, edema dan
kepatuhan minum obat, sehingga dapat diperoleh hasil yang sebenarnya.
Kegiatan home visit yang dilakukan oleh perawat dapat memberikan psikologis yang
positif bagi pasien karena pasien merasa nyaman dan mendapatkan dukungan yang positif
dalam melakukan perawatan diri, sehingga diharapkan kemampuan perawatan diri pasien
dapat meningkat (Greene, 2004). Sebagian besar pasien membutuhkan dukungan dari
pasangan, keluarga dan teman untuk melaksanakan perawatan dirinya, sehingga
diharapkan akan meningkat kualitas hidupnya (Fahlberg, 2010). Penelitian ini dukungan
sosial muncul dari keluarga terdekat pasien, yaitu dari anak dan cucu. Yang termasuk
dukungan sosial pada penelitian ini adalah dari segi dukungan psikologis maupun secara
finansial, sehingga pasien memliki self maintenance dan self management yang baik.
Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri maintenance,
management pada kelompok intervensi,namun tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada kemampuan perawatan diri confidence setelah diberi program
perawatan diri.
2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri
maintenance, management dan confidence pada kelompok kontrol setelah
dilakukan program perawatan diri.
Abstrak
Latar Belakang. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan
konsisten diatas 140/ 90 mmHg. Salah satu cara untuk menurunkan tekanan darah yaitu dengan
metode bekam. Bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara
signifikan. Beberapa penelitian juga mendukung pernyataan diatas. Penelitian yang dilakukan oleh
Akbar dan Mahati (2013) dengan judul pengaruh bekam basah terhadap kolesterol dan tekanan
darah pada pasien hipertensi di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekam dapat
menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara signifikan.Hasil wawancara yang
dilakukan terhadap 4 orang perawat di Puskesmas Kalongan, mereka mengatakan bahwa terapi
bekam belum pernah dilakukan sama sekali di puskesmas tersebut, 10 pasien dengan hipertensi di
Puskesmas Kalongan, hanya 1 orang yang pernah melakukan bekam, namun tidak dilakukan
pengukuran tekanan darah baik sebelum dan sesudah dilakukan bekam. Data survei menunjukan
masyarakat di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur yang merupakan bagian daerah
binaan Puskesmas Kalongan, masyarakatnya masih belum mengetahui bahwa terapi bekam
merupakan salah satu terapi alternatif untuk menurunkan hipertensi.
Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi bekam terhadap perubahan
tekanan darah pada pasien hipertensi di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur.
Metoda. Dilakukan uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk, variabel dengan distribusi data
normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam dan variabel tekanan darah diastol setelah bekam
tidak normal. Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji
statistik non-parametrik Mann-Whitney dan variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji
statistik. menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test.
Hasil. Hasil uji kenormalan data hanya satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan
darah sistol setelah bekam dengan nilai α = 0,208. Sedangkan pada variabel tekanan darah diastol
setelah bekam didapatkan nilai α = 0,002 (< 0,05). Pada variabel tekanan darah diastol setelah
bekam uji statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney, diperoleh p-value =
0.000 (< 0,05). Sedangkan Pada variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik
menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test, diperoleh p-value = 0.000 (< 0,05).
Kesimpulan. Terdapat perbedaan tekanan darah pada pasien hipertensi antara yang tidak
dilakukan bekam dengan yang dilakukan bekam.
Pendahuluan
Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH) dalam Rahajeng &
Tuminah (2009), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta
di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat. Prevalensi kejadian hipertensi sebesar 25,8
persen dari total jumlah penyakit tidak menular di seluruh Indonesia. Selain itu hipertensi
Penelitian yang dilakukan oleh Akbar dan Mahati (2013) dengan judul pengaruh bekam
basah terhadap kolesterol dan tekanan darah pada pasien hipertensi di Semarang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik secara signifikan. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 4 orang
perawat di Puskesmas Kalongan, mereka mengatakan bahwa terapi bekam belum pernah
dilakukan sama sekali di puskesmas tersebut. Selain itu hasil wawancara dengan 10 pasien
dengan hipertensi di Puskesmas Kalongan, hanya 1 orang yang pernah melakukan bekam,
namun tidak dilakukan pengukuran tekanan darah baik sebelum dan sesudah dilakukan
bekam. Data survei menunjukan masyarakat di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran
Timur yang merupakan bagian daerah binaan Puskesmas Kalongan, masyarakatnya masih
belum mengetahui bahwa terapi bekam merupakan salah satu terapi alternatif untuk
menurunkan hipertensi.
Metodelogi
Metode penelitian menggunaka quasi exsperiment, terlebih dahulu dilakukan uji
kenormalan data dengan Shapiro-Wilk, variabel dengan distribusi data normal yaitu
tekanan darah sistol setelah bekam dan variabel tekanan darah diastol setelah bekam tidak
normal. Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji
statistik non-parametrik Mann-Whitney dan variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji
statistik. menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test.
K O1 X O2
K’ O1’ O2’
Populasi sebanyak 40 orang, pada bulan Februari 2015 di Kelurahan Susukan Kecamatan
Ungaran Timur, yaitu. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling (sampel
jenuh), dimana semua populasi dijadikan sampel, sehingga sampel dalam penelitian ini
sebanyak 40 orang, 20 orang sebagai kelompok perlakuan dan 20 orang sebagai kelompok
kontrol.
Laki-laki 16 40,0
Perempuan 24 60,0
Jumlah 40 100,0
Tabel 2.1. menunjukkan bahwa jumlah laki – laki lebih kecil 16 (40%) dibanding
perempuan 24 (60%).
Tabel 2.2
Distribusi responden berdasarkan tekanan darah pada kelompok kontrol (n=20)
Tekanan Darah Mean SD Min Max
Pengukuran pertama
TD sistol 155,5 9,72 140 170
TD diastole 94,5 3,94 90 100
Pengukuran kedua
TD sistol 154,75 9,93 140 170
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa rata-rata tekanan darah pada kelompok
kontrol baik tekanan darah sistol maupun diastol cenderung tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Pada pengukuran pertama rata-rata tekanan darah sistol 155,5 mmHg dan
tekanan darah diastol rata-rata 94,5 mmHg. Sedangkan pada pengukuran kedua rata-rata
tekanan darah sistol 154,75 mmHg dan tekanan darah diastol rata-rata 93,75 mmHg.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah responden pada kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan masuk dalam kategori tekanan darah stage I (mild),
yaitu 155,5/ 94,5 mmHg (kelompok control) dan 152/ 93,25 mmHg (kelompok perlakuan).
Tabel 2.3
Distribusi responden berdasarkan tekanan darah pada kelompok perlakuan (n=20)
Tekanan Darah Mean SD Min Max
TD diastol 84 4,17 80 90
Berdasarkan Tabel 2.3 dapat diketahui terjadi perubahan yang cukup signifikan nilai rata-
rata tekanan darah pada kelompok perlakuan baik tekanan darah sistol maupun diastol.
Pada pengukuran sebelum dilakukan bekam nilai rata-rata tekanan darah sistol 152 mmHg
dan tekanan darah diastol rata-rata 93,25 mmHg. Kemudian setelah dilakukan bekam
tekanan darah mengalami penurunan, pada tekanan darah sistol menjadi rata-rata 139,5
mmHg dan tekanan darah diastol menjadi rata-rata 84 mmHg. Hasil penelitian
menujukkan bahwa responden dengan hipertensi yang telah dilakukan bekam mengalami
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 39
“Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
penurunan tekanan darah yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 139,5/ 84 mmHg
dari 152/ 93,25 mmHg. Hal tersebut menunjukkan bahwa bekam secara langsung dapat
menurunkan tekanan darah seseorang, terutama pada pasien hipertensi.
Tabel 2.4
Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok kontrol (n=20)
Tests of Normality
Tekanan Darah Kelompok Kontrol Shapiro-Wilk p-value
Statistic df Sig.
Tekanan Darah Sistol Pertama 0.926 20 0.130
Wilcoxon= 0.083
Tekanan Darah Sistol Kedua 0.892 20 0.029
Tekanan Darah Diastol Pertama 0.809 20 0.001
Wilcoxon= 0.083
Tekanan Darah Sistol Kedua 0.784 20 0.001
Tabel 2.4. menunjukkan bahawa hasil uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk hanya
satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol pertama dengan nilai
α = 0,130, sedangkan variabel yang lain distribusi data tidak normal dengan nilai α < 0,05
(0.029, 0.001, dan 0.001). Sehingga untuk melakukan uji beda berpasangan menggunakan
uji statistik non-parametrik Wilcoxon.
Setelah dilakukan uji statistik non-parametrik Wilcoxon diperoleh hasil p-value = 0,083
dan 0,083 ( > 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa pada kelompok kontrol tidak terdapat
perbedaan tekanan darah, baik pada pengukuran pertama maupun pengukuran yang kedua.
Tabel 2.5
Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok perlakuan (n=20)
Tests of Normality
Tekanan Darah Kelompok Kontrol Shapiro-Wilk p-value
Statistic df Sig.
Tekanan Darah Sistol Sebelum
0.923 20 0.112 Paired
Bekam
t-test = 0.000
Tekanan Darah Sistol Setelah
0.960 20 0.550
Bekam
Tekanan Darah Diastol Sebelum
0.734 20 0.000
Bekam
Wilcoxon= 0.000
Tekanan Darah Diastol Setelah
0.778 20 0.000
Bekam
Berdasarkan Tabel 2.5 dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji kenormalan data hanya
dua variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol sebelum dan setelah
bekam dengan nilai α = 0,112 dan 0,550, sedangkan variabel yang lain nilai α < 0,05
(0.000 dan 0.000). Uji berpasangan pada tekanan darah sistol menggunakan Paired t-test
diperoleh p-value = 0.000. Sedangkan Uji berpasangan pada tekanan darah diastol
menggunakan Wilcoxon diperoleh p-value = 0.000. Jadi dapat disimpulkan, terdapat
Tabel 2.6
Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok perlakuan (n=40)
Tests of Normality
Tekanan Darah Setelah
Shapiro-Wilk p-value
Bekam
Statistic df Sig.
Tekanan Darah Diastol 0.899 40 0.002 Mann-Whitney = 0,000
Tekanan Darah Sistol 0.963 40 0.208 Independent t-test = 0,000
Berdasarkan Tabel 2.6 dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji kenormalan data hanya
satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam
dengan nilai α = 0,208. Sedangkan pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam
didapatkan nilai α = 0,002 (< 0,05). Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji
statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney, diperoleh p-value =
0.000 (< 0,05). Sedangkan Pada variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik
menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test, diperoleh p-value = 0.000 (<
0,05).
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah pada pasien hipertensi
antara yang tidak dilakukan bekam dengan yang dilakukan bekam di Kelurahan Susukan
Kecamatan Ungaran Timur. Bekam merupakan metode pengobatan dengan cara
mengeluarkan darah yang terkontaminasi toksin atau oksidan dari dalam tubuh melalui
permukaan kulit ari. Dalam istilah medis dikenal dengan istilah ‘Oxidant Release Therapy’
atau ‘Oxidant Drainage Therapy’ atau istilah yang lebih populer adalah ‘detoksifikasi’.
Bertujuan untuk menetralkan oksidan di dalam tubuh sehingga kadarnya tidak makin
tinggi (Asmui, 2014).
Apabila dilakukan pembekaman pada satu poin, maka kulit (kutis), jaringan bawah kulit
(sub kutis), fasia, dan otot akan terjadi kerusakan dari mast-cell atau lain-lain. Akibat dari
kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin, histamine, bradikinin, slow
reacting substance (SRS). Zat-zat ini akan meyebabkan dilatasi kapiler dan arteriol serta
flare reaction pada daerah yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi ditempat yang
jauh dari tempat pembekaman, ini menyebabkan terjadinya perbaikan mikrosirkulasi
pembuluh darah. Akibatnya timbul efek relaksasi (pelemasan) otot-otot yang kaku serta
akibat vasodilatasi umum akan menurunkan tekanan darah secara stabil. Proses ini akan
terjadi pelepasan corticotrophin releasing faktor (CRF), serta releasing faktor lainnya oleh
adenohipofise. CRF selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya adrenocorticotropic
hormone (ACTH), corticotropihin, dan corticosteroid. Corticosteroid ini akan
menyembuhkan peradangan dan menstabilkan permeabilitas sel (Kusyati, 2012).
Sedangkan sistem endokrin terjadi pengaruh pada sistem sentral melalui hypothalamus dan
pituitary sehingga menghasilkan ACTH, thyroid stimulating hormone (TSH), follicle
stimulating hormone-luteinizing hormone (FSH-LH), antideuretik hormone (ADH),
sedangkan melalui sistem perifer langsung berefek pada organ untuk menghasilkan
hormon-hormon insulin, thyroxin, adrenalin, corticotropin, estrogen, progesterone,
testoteron. Hormon-hormon inilah yang bekerja ditempat jauh dari yang dibekam
(Kusyati, 2012). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Eka Etik Putri
ebelumnya. Hasil dari penelitian hanya efektif buat penurunan sistol tapi tidak efektif
untuk penurunan diastol.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan yang sigificant antara nilai tekanan darah sistole dam diastole sebelum
dan sesudah dilakukan terpi bekam.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, N., & Mahati, E. (2013). Pengaruh Bekam Basah terhadap Kolesterol dan Tekanan
Darah pada Pasien Hipertensi Di Semarang. Semarang: UNDIP.
Andari, R., & Mahati, E. (2014). Pengaruh Bekam Basah terhadap Kadar Gula Darah
Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Semarang: UNDIP.
Asmui. (2014). Materi Pelatihan: Bekam Pengobatan menurut Sunnah Nabi. Semarang.
Baradero, M. (2008). Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta:
EGC.
Dinkes Jawa Tengah. (2012). Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012.
Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Fahmy, A., & Gugun, A.,M. (2008). Pengaruh Bekam (Al Hijamah) terhadap Kadar
Kolesterol LDL pada Pria Dewasa Normal. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Gunawan, L. (2007). Hipertensi. Yogyakarta: Kanisius.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar RI 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kusyati, E. (2012). Bekam: Sebagai Terapi Komplementer Keperawatan. Yogyakarta:
Popup Design Yogyakarta.
Rahajeng, E., & Tuminah, S. (2009). Majalah Kedokteran Indonesia: Prevalensi Hipertensi
dan Determinannya di Indonesia. Jakarta: IDI.
Ramayulis, R. (2010). Menu dan Resep untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: Penebar plus.
Suarsyaf, P. (2012). Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Skala Nyeri pada Pasien
Nyeri Punggung Bawah. Jakarta: UIN.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 42
“Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
LITERATUR EVIEW
JENIS TERAPI KOMPLEMENTER YANG BERPENGARUH TERHADAP
PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES
MELITUS
Zahroh Ulil Fadhilah1), Wahyu Maha Nugraha2)
1) Mahasiswa Stikes Al Islam Yogyakarta Dukuh MJ1/1221 Yogyakarta (02743814892,
zahrohulil@gmail.com) 2) Stikes Al Islam Yogyakarta
Abstrak
Latar Belakang. Peningkatan penderita Diabetes Melitus (DM) terus terjadi tiap tahunnya,
diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 8,2 juta. Harus ada
penanganan yang tepat terutama upaya dalam pengembangan dan pemanfaatan terapi
komplementer untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pasien dengan DM.
Tujuan. Tujuan dari pembuatan literature review untuk mengetahui jenis terapi komplementer
yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM.
Metoda. Artikel terapi komplementer didapatkan dari berbagai macam pencarian yaitu medline,
proquest, dan google search. Kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan review literature adalah
semua jenis-jenis terapi komplementer yang terbukti secara statistik mampu menurunkan kadar
glukosa darah kemudian dilihat desainnya, desain yang diambil adalah RCT, Quasy eksperiment,
case sontrol study dan cross sectional. Selain itu literatur yang diambil hanya berbatas pada tahun
2006-2014. Jenis kriteria sampel bebas, tidak dibatasi usia maupun jenis DM. Penelitian
literatur menggunakan critical apraisal guidelines dan caps tools. Keterbatasan proses review
adalah sulitnya menemukan penelitian yang khusus melihat outcome berupa kadar glukosa darah,
kebanyakan outcome yang diukur adalah nyeri, relaksasi dan kualitas hidup. Kondisi ini yang
menyebabkan literatur yang didapatkan hanya 7 buah.
Hasil. Swedish massage, panax ginseng, yoga, terapi doa, aroma terapi, acupuncture dan
acupressure terbukti secara signifikan dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM.
Kesimpulan. Dari hasil review didapat bahwa jenis terapi komplementer yang dapat
diaplikasikan di Indonesia adalah panax ginseng, swedish massage, terapi doa dan aroma terapi.
Sedangkan acupuncture, acupressure,dan yoga sulit di aplikasikan.
Pendahuluan
Dengan adanya peningkatan ekonomi, peningkatan kesejahteraan diikuti pula oleh
peningkatan penyakit degenerative, salah satunya adalah Diabetes Melitus (DM) yang
terus berkembang tiap tahunnya (Soegondo dalam Mashudi, 2011). Kondisi
peningkatannya dapat dilihat dari angka prevalensi yang dirilis oleh International
Diabetes Federation (IDF) tahun 2006 bahwa USA mencapai angka 8,3%, sedangkan
Cina mencapai 3,9%. Dari data Litbang Depkes 2008 sebesar 4,6% dan meningkat 1,1%
menjadi 5,7% pada tahun 2008 (Soegondo dalam Mashudi 2011). Seiring dengan
pertambahan penduduk seperti saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada
jumlah 8,2 juta penderita DM di Indonesia (Soegondo, et al, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh (Finch, et al, 2007) menunjukkan bahwa massage therapy
berefek positif terhadap potensial pergerakan, menurunkan insiden ulcer neuropati pada
DM. Hasil publikasi dari original article oleh (Fan, et al, 2013) menunjukkan bahwa
yoga, massage, aroma terapi dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh (Garrow&Egede, 2006) menunjukkan bahwa
terapi relaksasi dan berdoa dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM.
Dengan banyak manfaat yang dilaporkan mengenai terapi komplementer, maka penulis
tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai jenis terapi komplementer yang
berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM.
Tujuan
Mengetahui jenis terapi komplementer yang berpengaruh terhadap penurunan kadar
glukosa darah pada pasien DM.
Metode
Jenis design penelitian yang dimasukkan dalam literature review adalah RCT, quasi
eksperiment, case control dan crosssesional. ITipe studi yang akan direview adalah
semua jenis terapi komplementer yang terbukti signifikan menurunkan kadar glukosa
darah pada pasien DM. Semua jenis partisipan DM tipe I atau tipe II baik anak-anak,
dewasa maupun lansia dimasukkan sebagai partisipan dalam review. Semua intervensi
berupa terapi komplementer terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah pada
penderita DM.
Tipe outcome yang diukur hanya berbatas pada keefektifan terapi dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM. Literatur review ini dilaksanakan
dengan melakukan penelusuran artikel penelitian yang mampu menurunkan kadar glukosa
darah. Penelusuran dilakukan menggunakan Science direct, Medline, Google Search dan
Pro-quest dengan kata kunci setiap variable. Artikel yang ditemukan dari masing-masing
pencarian kemudian dilakukan pembacaan secara cermat. Pencarian dibatasi dari tahun
2006-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Ekstraksi data penelitian
dilakukan dengan membaca hasil dari penelitian kemudian mengambil intisari dari
penelitian. Hasil akhir dari penelitian disertakan lengkap dengan nilai signifikansi P
value, OR dan CI. Nilai tersebut dimasukkan dalam sebuah tabel untuk mempermudah
pembahasan hasil ekstraksi.
Hasil
Kualitas artikel dinilai menggunakan tools yang sesuai dengan desain penelitian. Hasil
dari analisis didapatkan bahwa semua studi memenuhi kriteria baik. Berikut hasil
analisis dari critical apraisal penelitian:
a. Panax Ginseng
Pada artikel jenis metode penelitian yang dipilih merupakan jenis metode yang baik,
yaitu RCT. Dari hasil analisis menggunakan caps tools yang khusus digunakan
untuk menganalisis RCT, didapatkan hasil bahwa treatment yang dilakukan sudah
dirandom sehingga tingkat kepercayaan tinggi, hanya saja untuk mengontrol variabel
pengganggu dalam artikel tidak dijelaskan. Ini menjadi hal yang dianggap menurunkan
penilaian artikel meskipun bila dilakukan pembacaan pada artikel secara mendalam.
Kemungkinan besar variabel pengganggu sudah dilakukan kontrol dengan baik agar
menghindari bias, hanya saja tidak dituliskan. Proses blinding pada artikel sudah
dilakukan, yaitu dengan tidak diketahuinya kelompok kontrol dan kasus, kedua
kelompok sama-sama diberikan ekstrak yang salah satunya adalah placebo, kelompok
kontrol dan kasus tidak mengetahui apakah mereka termasuk dalam kelompok
kontrol maupun kelompok kasus. Jenis intervensi yang diberikan pada kelompok
intervensi adalah pemberian ekstrak ginseng dengan takaran 20 gr/hari. Pemberian
diberikan selama 4 hari dengan dicampurkan air hangat sebanyak 200 ml. Berikut
merupakan gambaran intervensi pemberian panax ginseng terhadap outcome yang
diharapkan. Hasil penelitian mampu menjawab outcome yang diharapkan dimana
efek dari panax ginseng terbukti secara statistik mampu meningkatkan sensitivitas
insulin, menurunkan resistensi terhadap insulin dan mampu menurunkan kadar gula darah
pada penderita diabetes melitus dengan P value <0,05. Penerapan dari hasil
penelitian mudah dan murah, sehingga dapat direkomendasikan untuk diterapkan
sebagai salah satu terapi kompementer yang digunakan perawat dalam memberikan
intervensi pada pasien diabetes melitus untuk menurunkan kadar glukosa darah.
b. Acupressure
Metode yang digunakan dalam artikel sudah menggunakan metode yang baik, yaitu
RCT, dimana dalam memberikan intervensi dilakukan random, sehingga tingkat
kepercayaan tinggi. Proses blinding sudah dilakukan pada penelitian. Pada kelompok
intervensi acupresssure dilakukan selama 90 menit dengan durasi 4-6 kali seminggu
untuk waktu yang lama, yaitu 3 tahun. Hasil penelitian mampu menjawab outcome
yang diharapkan yaitu acupresssure terbukti akurat dan kuat secara statistik dapat
PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 47
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
menurunkan resiko perkembangan DM ke arah progresif dengan nilai P <0,001. Untuk
penerapan di Indonesia, acupressure tidak familiar sehingga sulit dilaksanakan,
proses pelatihan masih sedikit dan mahal.
c. Acupuncture
Pada penelitian yang menggunakan intervensi acupuncture terdapat beberapa
sampel yang menolak di awal tidak dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian,
partisipasi sampel yang setuju sekitar 60-79%. Jenis metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah quasi experiment. Proses kontrol variabel pengganggu dalam
penelitian tidak dijelaskan dalam artikel. Hasil dari penelitian artikel adalah adanya
kemungkinan bias, jenis study design, kontrol variabel pengganggu dan blinding
memiliki rating moderate. Metode belum cukup kuat dan jumlah sampel masih sedikit.
Untuk pelaksanaan di Indonesia intervensi ini masih dianggap tidak familiar sehingga
sulit dilaksanakan, selain itu pola pelaksanaanya butuh keahlian, proses pelatihan masih
sedikit dan mahal sehingga intervensi tidak begitu efektif untuk dilakukan di Indonesia.
d. Massage
Ada 2 artikel yang dianalisis tentang pemberian intervensi mengenai Swedish
Imassage. Kedua artikel sudah menggunakan metode penelitian yang baik yaitu RCT.
Pada dasarnya kualitas penelitian sama, hanya saja outcome yang ingin dicapai
sedikit berbeda satu sama lain. Sampel pada kedua artikel sudah dilakukan randomisasi.
Sampel yang diberikan massage adalah anak-anak dengan usia 6-12 tahun. Untuk
outcome yang ingin melihat efektivitas swedish massage terhadap glycohemoglobin.
Jumlah sampel adalah 36 pasien dengan 18 kelompok intervensi dan 18 kelompok
kontrol. Sedangkan outcome artikel lainnya adalah untuk melihat efektivitas massage
dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien anak dengan DM, sampel
berjumlah 38 dengan 19 kontrol dan 19 intervensi. Hasil penelitian dari kedua artikel
sudah mampu menjawab outcome yang menunjukkan bahwa swedish massage terbukti
mampu secara signifikan menjaga kadar gula darah tetap normal dan mampu menurunkan
kadar gula darah pasien yang menderita DM dengan nilai P value <0,0001. Berikut
merupakan gambaran penurunan glukosa darah pada dua kelompok. Proses aplikasi dari
hasil penelitian mudah dan dapat diterapkan di Indonesia karena pelaksanaanya cepat dan
tidak dianggap sebagai hal yang tabuh. Pelatihan mengenai swedish massage sudah
ada di Indonesia dengan sertifikasi yang baik. Pengaplikasian swedish massage
terbukti menguntungkan secara finansial dan menguntungkan untuk meningkatkan
kesehatan penderita DM dalam mengontrol dan menurunkan kadar glukosa darah.
Abstrak
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit kronis yang menjadi salah satu fokus
permasalahan dalam bidang kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. Teori Orem dan
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang berpengaruh
dalam perawatan pengobatan dan kesembuhan pasien Tuberkulosis Paru. Hasil survey
menunjukkan bahwa kebanyakan pasien TB paru lebih memilih untuk dirawat di rumah bersama
dengan keluarga mereka. Oleh karena itu, kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru
adalah hal yang sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru.
Metode: Metode yang digunakan tinjauan sistemik (systemic review) yaitu dengan melakukan
penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB
Paru mulai tahun 2009-2015. Penelusuran dilakukan melalui media online seperti Googlesearch,
Sciencedirect.com, Proquest.com, EBSCO, dll. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh.
Hasil: Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa
manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis
klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Selain edukasi, tujuan yang jelas mengenai
perawatan pasien TB (Palinggi dkk., 2013) dan teknik komunikasi yang tepat (Kaulagekar-
Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013) harus dimiliki oleh keluarga.
Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan
keluarga dalam perawatan pasien TB paru bisa meningkat (Anand dkk., 2013). Dan untuk
meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, keluarga dapat dilibatkan
dalam proses medis seperti konsultasi dan pemeriksaan ke dokter, yang rutin berjalan pada pasien
(Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004).
Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara
lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru,
teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta
penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru.
Latar Belakang
Secara global, Beban TB masih sangat besar, bahkan WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Pada tahun 2013, 9 juta jiwa terinfeksi penyakit ini, dan 1,5
juta diantaranya meninggal dunia. Berbagai upaya dikerahkan, meliputi diagnosa dan
pengobatan yang efektif, untuk menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit
TB. Terbukti semenjak tahun 2000-2013, ada sebanyak 37 juta jiwa berhasil diselamatkan
karena adanya diagnosa dan pengobatan dini (WHO, 2014). Indonesia sendiri, sejak tahun
2010 menempati urutan kelima Negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi
prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insiden berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian
Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil dalam mendekati target deteksi kasus TB
paru adalah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2012, Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di
Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 1.570.598 orang (BPS 2012). Penemuan penderita
TB paru di kabupaten Banyumas tahun 2012 sebanyak 1.161 kasus case detection rate
(CDR) sebesar 69,0% (target >70%) menempati urutan ke-10 kabupaten terbanyak di Jawa
Tengah (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Penemuan penderita TB Paru anak tahun
2012 sebanyak 427 kasus dan tahun 2013 sebanyak 448 kasus dengan proporsi 14,1% .
Case notification rate (CNR) tahun 2011 sebesar 176/100.000 penduduk, tahun 2012
sebesar 179/100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 195/100.000 penduduk. CNR
Nasional adalah sebesar 85/100.000 penduduk (Dinkes Kabupaten Banyumas, 2014).
Kesuksesan dalam penyembuhan penderita TB Paru tentunya tidak terlepas dari pola
perawatan yang sesuai. Orem menyebutkan bahwa faktor kondisi dasar yang
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam merawat dirinya sendiri diantaranya adalah
usia, jenis kelamin, orientasi sosial-budaya, status kesehatan, dan sistem keluarga (Orem,
2001). Faktor kondisi dasar semacam ini dan partisipasi perawatan diri dari individu pada
akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan individu tersebut, termasuk persepsi
mengenai kualitas hidup personal dan pencapaian kontrol metabolisme. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yani (2012) diketahui bahwa kepatuhan pasien
Tuberkulosis paru terhadap perilaku hidup sehat meningkat secara signifikan setelah
menerima perawatan dengan dukungan keluarga berbasis program DOTS.
Dari hasil survei prevalensi TB oleh Kemenkes pada tahun 2004 mengenai pengetahuan,
sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76%
keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat
disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama
TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui
bahwa tersedia obat TB gratis. Agar proses penyembuhan pasien TB paru bisa berjalan
dengan efektif dan efisien dalam perawatan keluarga, tentunya kemandirian serta
kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru sangat dibutuhkan. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang bisa mempengaruhi
kemandirian dan kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan pada pasien TB paru.
Tujuan
Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian dan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien TB paru. Memberikan rekomendasi tentang apa saja yang
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 51
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“ Semarang, 7 November 2015
bisa dilakukan untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien TB paru.
Metoda
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan sistematik (systemic review).
Tinjauan sistemik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer yang
menyajikan topik yang terkait dengan formulasi pertanyaan dan tujuan penelitian. Metode
tinjauan sistematik ini yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang
berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru. Penelusuran jurnal-
jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian dilakukan melalui Website publikasi jurnal
penelitian resmi yaitu ProQuest, EBSCO, dan PubMed, dengan menggunakan kata kunci
yang dipilih. Pencarian hanya dibatasi pada terbitan 2007-2014 yang dapat diakses fulltext
dalam format pdf. Jurnal yang terpilih kemudian ditelaah untuk kemudian dibahas dan
ditarik kesimpulannya dalam makalah. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh.
Hasil
Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa
manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang
berbasis klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Program DOTS berbasis keluarga
terdiri dari tiga tahap yaitu: estimasi, transitif, dan operatif, yang melibatkan partisipasi
keluarga. Faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pengobatan salah satunya adalah
adanya program pengarahan. Dalam rangka mengimplementasikan program DOTS yang
baik, ada empat metode utama yaitu pengajaran, pengarahan, pemberian dukungan, dan
penyediaan lingkungan. Selain itu, buku panduan juga dibutuhkan untuk mengembangkan
kemandirian keluarga dalam perawatan pasien TB paru (Yani et al., 2012).
Selain edukasi melalui program DOTS, hal lain yang juga berpengaruh terhadap
kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru adalah adanya
tujuan yang jelas. Ketika anggota keluarga memiliki tujuan atau target untuk terlibat dalam
perawatan, maka keinginan mereka untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien akan
berubah kedalam sebuah tindakan konkrit (Palinggi dkk., 2013).
Faktor lainnya yang juga dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga
dalam merawat pasien TB paru adalah teknik komunikasi yang baik. Komunikasi yang
baik adalah komunikasi yang dapat memberikan rasa dukungan bagi pasien. Komunikasi
yang terbuka dalam keluarga mengenai manajemen perawatan penyakit, respon keluarga
yang sehat terhadap situasi penyakit yang membuat stress (terterkan), dan dukungan
keluarga terhadap kemandirian pasien berhubungan dengan perilaku manajemen pribadi
pasien yang lebih baik. Selain itu, komunikasi langsung antara tenaga medis dengan
anggota keluarga dapat membantu menyelesaikan kekhawatiran keluarga tentang pasien
dan membantu anggota keluarga untuk menyusun tujuan yang tepat dalam perawatan
pasien (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013).
Dengan komunikasi yang baik, anggota keluarga juga akan bisa mengatasi permasalahan
atau tekanan yang ada sehingga mereka menjadi lebih termotivasi untuk secara mandiri
merawat pasien TB paru. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga
harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bias
meningkat (Anand dkk., 2013)
Diskusi
Dari jurnal-jurnal penelitian yang dipilih, dapat diketahui bahwa ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB
paru. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh adalah edukasi tentang penyakit
dan manajemennya; adanya tujuan yang jelas dan spesifik; pengembangan teknik
komunikasi yang efektif dan mendukung; dan keterlibatan dalam proses perawatan klinis.
Keseluruhan faktor tersebut tentunya tidak dapat dikembangkan sendiri oleh keluarga.
Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien
TB paru, tentunya keterlibatan dari lembaga-lembaga terkait diperlukan. Salah satu hal
yang dapat dilakukan adalah dengan membuat sebuah rancangan program yang dapat
meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru.
Sebagai catatan keterbatasan makalah ini adalah bahwa makalah ini disusun berdasarkan
hasil penelitian pustaka-pustaka yang beragam dari sisi obyek penelitiannya dan tidak
semuanya berkaitan langsung dengan tujuan makalah ini. Jurnal-jurnal terkait topik
makalah masih sangat sedikit, namun di lain sisi ini adalah sebuah peluang penelitian yang
berarti di masa mendatang akan sangat baik untuk bisa meneliti lebih mendalam tentang
aplikasi perancangan program asuhan keperawatan keluarga untuk pasien TB paru dengan
pengembangan berlandaskan pada penelitian-penelitian yang ada sebelumnya.
Kesimpulan
Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain
program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru,
teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta
penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Untuk dapat meningkatkan
kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien, lembaga terkait (lembaga
keperawatan) atau tenaga medis harus bisa mengidentifikasi faktor yang berpengaruh,
kemudian membuat sebuah rancangan, mengaplikasikan, dan terakhir melakukan evaluasi
dan pengembangan.
Abstrak
Latar belakang. Data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68
kelahiran hidup anak. Dengan pemanfaatan caring perawat kepada pasien melalui konsep holistik,
dan dengan perkembangan ilmu keperawatan, terapi komplementer bisa menjadi salah satu pilihan
dalam merawat pasien. Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and
Alternative Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi
biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi masuk pada terapi
biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam. Banyak terapi
kesehatan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran anak dengan autisme, termasuk aromatrapi,
kandungan essensial oil dalam aromaterapi terbukti dapat meningkatkan proses interaksi dan
peningkatan pola tidur, sehingga beberapa gangguan yang mendominasi anak dengan autisme bisa
terminimalisir dengan pemanfaatan aromaterapi.
Tujuan. Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukkan literature review terhadap
salah satu aplikasi komplementari terapi yakni aromaterapi untuk penanganan autisme.
Metoda. Metode yang dipilih ialah literature review, dengan 5 jurnal yang di peroleh, dengan
penelusuran artikel publikasi PROQUEST menggunakan tahun 2005-2015 serta penelusuran
manual menggunakan Google Search dengan kata kunci aromatherapy, autism, complementhary
therapy. Pencarian hanya dibatasi pada jurnal yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dan
berbahasa Inggris.
Hasil. Kelima artikel menggunakan desain penelitian qualitatif dengan responden sasaran primer
dan sekunder anak dengan autisme, terapi dilakukan dengan membaui aromaterapi dan juga
penggabungan dengan pijatan menggunakan minyak aromatherapi. Empat artikel memiliki kulaitas
yang tinggi dan 1 artikel memiliki kualitas sedang.
Kesimpulan. Hasil pembahasan bahwa dari 5 gangguan yang biasa terjadi pada anak autisme,
hanya 4 gangguan autisme yang bisa ditangani dengan aromaterapi. Dan 1 jurnal menjelaskan
bahwa tidak ada perubahan dalam pemanfaatan aromaterapi pada anak dengan autisme.
Pendahuluan
Anak adalah titipan Illahi dengan berbagai karakteristiknya, dan anak tentunya akan
menjadi tumpuan masa depan orang tua, dengan harapan anak yang terlahir tidak memiliki
kekurangan, baik secara fisik maupun psikis. Namun kita sebagai manusia tetap memiliki
keterbatasan dalam perwujudan seorang anak, karena akan banyak faktor yang
melatarbelakangi hal tersebut, misalnya saja dalam kesehatan anak, proses dari periode
perinatal dan natal akan sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak, konsumsi makanan,
pskikis dan fisik ibu, kesehatan ibu dan pengetahuan ibu juga akan memiliki pengaruh
dalam perwujudan buah hatinya kelak.
Bila kita dihadapkan dengan pilihan mengenai anak, pasti kita akan berangan memiliki
anak yang tidak memiliki kekurangan dalam hal apapun, tetapi pernahkah kita
Betty Neuman (dalam, Marriner-Tomey, 1994) mengubah istilah holistik menjadi holistik
yang makna dan pengertiannya sama, yaitu memandang manusia (klien) sebagai suatu
keseluruhan yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi dan berinteraksi secara dinamis.
Bagian-bagian tersebut meliputi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual.
Perubahan istilah tersebut untuk meningkatkan pemahaman terhadap manusia secara
keseluruhan.( Marriner-Tommey, A., 1994) Kozier (1995), mengemukakan bahwa dalam
holistik, memandang semua kehidupan organisme sebagai interaksi. Gangguan pada satu
bagian akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Dengan kata lain adanya gangguan
pada salah satu bagian akan menimbulkan dampak pada keseluruhan.( Kozier, E.B, Erb, G.
L, et. All, 1995) Keperawatan dengan caring bio, psiko, sosio, kultural dan psikososial
tentunya tidak terlepas dari konsep holistik, dengan tidak mengesampingkan keseluruhan
sistem caring, maka perkembangan terbaru di sistem kesehatan dalam ranah keperawatan
adalah pemanfaatan terapi komplementer. Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir
ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi
bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder,
M. & Lindquist, R., 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna
terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith, S.F.,
Duell, D.J., Martin, B.C., 2004). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah
pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di
tahun 1997 (Snyder, M. & Lindquist, R., 2002).
Tujuan
Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa, 2006., melakukan penelitian
dengan judul “Effects of aromatherapy on the development of communication skills in
children with autism” tujuannya yaitu mengetahui apakah aromaterapi bsa untuk
mengatasi masalah komunikasi pada anak autis. Intervensi dilakukan dengan
menggunakan diffuser aromaterapi lavender selama 15-20 menit 3x dalam satu minggu
dan dilakukan dalam 4 bulan. Hasil yang peneliti dapatkan, sampel mempertahankan
perhatian lebih dari waktu biasanya, tenang, interaksi dengan peneliti dengan kemauan
mengulang tindakan peneliti, mengikuti petunjuk dan keinginan mengulang sesi
aromaterapi. Selanjutnya penelitian Emily J. Laconic. 2014, “ Health Professionals’ Use of
Aromatherapy with Children and Adolescents with Mental Illness”. Penelitian ini
menggunakan sampel praktisi kesehatan yang menangani kesehatan mental pada anak dan
remaja, diharapkan terjadi perubahan sikap pada anak autis, lebih tenang dan rileks dalam
sesi pengajaran. Tim I. Williams. 2006, juga melakukan penelitian dengan judul
“Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with Autism: A Pilot
Study”. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek aromaterapi dalam onset tidur stabil anak
autis. Heather Godfrey BSc (Joint Hons), PGCE, MIFA. 2009, juga melakukan kajian
serupa dengan judul “The Role of Essential Oils In The Treatment and Management of
Aattention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD)”, tujuannya adalah mengurangi
hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian untuk anak dengan kebutuhan khusus ADHD.
Terakhir adalah Cynthia C. Woo and Michael Leon. 2013, “Environmental Enrichment as
Metoda
Metode yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan literature review ini adalah
metode Evidence-Based Practice (EBP). EBN merupakan pendekatan yang dapat
digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan pada evidence atau fakta
hasil penelitian. EBN ini dilakukan dengan melakukan penelusuran jurnal, publikasi
lembaga ahli, maupun hasil penelitian tesis ataupun disertasi yang berkaitan dengan topik
pemanfaatan aromaterapi untuk anak autis. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
Critical Apprasial Tools yang menyesuaikan apakah penelitian kualitatif atau kuantitatif
dan ditemukan level evidence jurnla tersebut. Sintesis dilakukan pada artikel yang sejenis
yang sudah dikelompokkan untuk dibahas dan memperoleh kesimpulan.
Hasil
Pemanfaatan aromaterapi untu anak autis dengan masalah utama komunikasi didapatkan
hasil gangguan Asperger, terdapat perbaikan dalam mempertahankan perhatian, tetapi
tidak konsisten. Gangguan Perkembangan Menurun, perhatian pada objek meningkat
menjadi 30 detik. Sindrom Rett, terjadi peningkatan pehatian dan konsentrasi dan juga
terdapat peningkatan dalam penggunaan kontak mata, dan hasil selanjutnya gangguan
Disintegrasi Anak menjadikan anak tersebut menemiliki waktu yang lebih untuk fokus
pada satu kegiatan.
Berikutnya adalah masalah anak autis dengan gangguan mental, hasilnya yakni
menjadikan klien lebih rileks dan tenang. Anak autis dengan gangguan tidur diperoleh
hasil bahwa aromaterapi tidak memberikan efek pada pola tidur. Anak autis dengan
karakteristik ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) terbukti dapat mengurangi
hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian setelah penggunaan aromaterapi. Juga untuk
anak autis berusia 3-12 tahun didapatkan jikalau aromaterapi dapat meningkatkan
senorimotor anak.
Pembahasan
Pemanfaatan aromaterapi dalam mengatasi 5 masalah utama pada anak autis yakni,
Gangguan Autistik, Gangguan Asperger, Gangguan Perkembangan Menurun, Sindrom
Rett, dan Gangguan Disintegrasi Anak terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan,
meskipun dalam satu gangguan tidak bisa teratasi, mengenai hal ini anggapan peneliti
adalah usia sampel yang diambil dalam penelitian, karena gangguan autistik timbul pada
anak autis usia dibawah 3 tahun dan seluruh sampel pada penelitian ini adalah anak dengan
usia 3 tahun atau lebih, selanjutnya adalah mengenai jenis essensial oil yang dimanfaatkan
dalam aromaterapi untuk anak autis, sebagai contoh pemanafaatan essensial oil lavender,
dengan harga yang relatif mahal perlu pengkajian ulang mengenai jenis essensial oil bumi
Indonesia untuk pengganti lavender
Kesimpulan
Daya aromaterapi dalam penanganan autis didasarkan pada mekanisme alamiahnya bahwa
terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna bau dan menggunakan sentuhan dalam
penyampaian perawatan. Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma,
selanjutnya berjalan ke olfaktori dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 58
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
limbik dia bereaksi dengan korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke
bagian-bagian otak yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat
stres, dan tingkat hormon. Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi,
epidermis dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak
esensial mencapai dermis dan aliran darah. Mengenai mekanisme penggunaanya dapat
disesuaikan dengan kondisi klien, apakah cukup dengan membaui aromanya atau jiga
perlakuan pijatan dengan menggunakan essensial oil aromaterapi, perlu juga untuk
mengetahuikrakteristik klien, dan bisa dimulai dari usia berlanjut ke keluhan sehingga bisa
optimal dalam bekerja, selanjutnya adalah jenis essensial oil yang akan digunakan dengan
harapan harga terjangkau, efek maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association, h. 75, 2000. Diagnostic and Statictical Manual-IV
Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H. (1999). Nurse’s
handbook of alternative and complementary therapies. Pennsylvania: Springhouse.
Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa. Effects of aromatherapy on the
development of communication skills in children with autism. Paper presented at
„Unravelling autism: causes, diagnostics and intervention conference, New Delhi,
India (2006)
Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network. 2014. Community Report on
Autism. National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities. Division
of Birth Defects and Developmental Disabilities.
Cynthia C. Woo and Michael Leon. Environmental Enrichment as an Effective Treatment
for Autism: A Randomized Controlled Trial. 2013 American Psychological
Association
Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., & Glaser, R.
(2007). Olfactory influences on mood and autonomic, endocrine, and immune
function. Psychoneuroendocrinology, 11(15), 765–772).
Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All. Fundamental of Nursing: Concept, Process and Practice. 5
th ed. California: Addison-Wesley Publ. 1995.
Laconic, Emily J., "Health Professionals’ Use of Aromatherapy with Children and
Adolescents with Mental Illness" (2014).Master of Social Work Clinical Research
Papers. Paper 349. http://sophia.stkate.edu/msw_papers/349
Libster, M. (2002). Delmar’s integrative herb guide for nurses. Victoria, Australia: Delmar
Thompson Learning.
Mariah Snyder, PhD, RN, & Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA. 2010.
Complementary & Alternative Therapies in Nursing. Sixth Edition Springer.
Publishing Company, LLC. New York.
Marriner-Tommey, A. Nursing Theorist and Their Work, 3rd ed. St. Louis: Mosby
Company. 1994.
Publications (8) The Role of Essential oils in the Management of ADHD: Heather
Godfrey©/2001 – revised 2009 / One Clinic©
Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic to advanced
skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. 4th
ed. New York: Springer.
Tim I. Williams. Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with
Autism: A Pilot Study. Advance Access Publication 19 April 2006
Abstrak
Latar Belakang. TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Evaluasi
WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia
mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB
terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009).
Banyak faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan tbc di Indonesia. Diantaranya
dilihat dari segi sosial ekonomi, gaya hidup, obat, jangkauan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan,dan lingkungan. Oleh karena itu , sistematik review ini akan mengulas tentang
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis
paru.
Tujuan. Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan
ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru.
Metode. Metode yang digunakan adalah metode sistematis review yang menggunakan beberapa jenis
artikel ilmiah seperti jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan
penelitian. Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian
dianalisa.
Hasil. Faktor yang paling dominan mempengaruhi ketidakpatuhan dengan obat antara pasien
TB paru adalah pendidikan, sedangkan faktor yang tidak mempengaruhi ketidakpatuhan
dengan obat adalah umur, jenis kelamin, kualitas layanan, dukungan dari obat mengambil
pengawas dan jarak dari rumah ke pusat kesehatan (Erni Erawatyningsih, dkk, 2009). Pasien
yang mempunyai keluhan efek samping OAT berisiko sebesar 4,07 kali untuk default
dibandingkan pasienyang tidak mempunyai keluhan OAT.Diketahui juga terdapat beberapa
faktor risiko lain yang berpengaruh sebagai konfounder terhadap hubungan antara efek
samping OAT dengan terjadinya default tersebut yaitu penyakit penyerta, jenis obat dan
carabayar.(Samsu Rian, 2010). Pasien 42% gagal yang diberikan regiman
pengobatan.(Nagaraja SB, Srinath Satyanarayana, et al,2011),hasil yang paling banyak yaitu
program yang didapatkan praktisi mandiri mendapatkan informasi tentang pengobatan yang
diobservasi secara langsung short-course (DOTS) strategy. (Putra I W. Ni Wayan Utami. et
al, 2013).dan pasien 93% diterima pada regimen standard kategori 2. (Dooley KE, Ouafae
Lahlou, at al, 2011)
Kesimpulan : Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien
tuberculosis paru diantaranya pendidikan, adanya penyakit penyerta, jenis obat dan cara
bayar.
Kata Kunci : kegagalan, OAT, TBC paru
Evaluasi WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC
Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia masih termasuk 10 besar negara
dengan beban permasalahan TB terbesar dari 22 negara di dunia. Indonesia merupakan
negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan
dan.Nigeria (WHO, 2009). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari
total jumlah pasien TB didunia. Setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246
orang.Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.Estimasi prevalensi
TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun.Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per
tahun.
Adapun kendala yang dihadapi yaitu Komitmen dan kontribusi pemerintah daerah terhadap
pengendalian TB, Masih ada populasi tidak terjangkau (wilayah Indonesia Timur, penjara,
pendatang di kota besar, dan populasi dengan risiko tinggi HIV), Peningkatan jumlah
jaringan laboratorium untuk biakan dan uji kepekaan di pulau lain selain Jawa dan EQA,
Pengenalan metode diagnostik baru (LPA, Xpert MTB/RIF) dan integrasi ke dalam sistem,
Pengembangan aktivitas kolaboratif mengenai TB/HIV untuk mencakup provinsi lain,
Mencegah habisnya obat lini pertama dan lini kedua.
Cakupan penemuan kasus TB baru BTA (+) atau Case Detection Rate (CDR) di Jawa Tengah
tahun 2006 s/d 2010 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 100%. Meskipun masih
dibawah target yang ditentukan, capaian CDR tahun 2010 sebesar 23.922 kasus (69,04%)
meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 (48,15%). CDR tertinggi di Kota Tegal sebesar
111,58% dan yang terendah di Kota Salatiga sebesar 30,60%. Terdapat tiga kabupaten/kota
yang sudah melampaui target 100% yaitu Kota Tegal (111,58%), Kota Pekalongan (105,96)
dan Kabupaten Pekalongan (100,89%).
Penyakit TBC masih banyak diderita oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor. Baik itu dari penderita maupun lingkungan di sekitarnya. Salahsatunya faktor dari
bagaimana pengobatan penderita TBC. Sesuai dengan aturan dan petunjuk yang diberikan
atau tidak, atau ada faktor yang lain yang mempengaruhi dan sampai sekarang ini diketahui
belum berhasil dalam pengobatannya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Hal
inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru”.
Tujuan
a. Tujuan Umum
Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan
pengobatan pada pasien tuberculosis paru.
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi karakteristik responden tentang umur , pendidikan, pekerjaan,
pendapatan.
2) Mengidentifikasi kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan tbc paru.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 62
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
3) Menganalisa faktor-faktor yang paling dominan terhadap kegagalan dan
ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru.
Metoda
Dalam sistemik review ini , metode yang digunakan adalah campuran metode sistematis
review, semacam tinjauan literatur yang menggunakan beberapa jenis artikel ilmiah seperti
jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan penelitian.
Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian dianalisa.
Systematic review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi pada
EBSCO, Googlesearch, proquest.com serta Sciencedirect.com dengan kata kunci yang
dipilih. Artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil salah satunya dan
dianalisa.
Penelusuran literatur dibatasi pada terbitan 2005-2015 yang dapat diakses fulltext dalam
format pdf.Artikel yang dipilih adalah hasil penelitian yang berupa faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberculosis
paru.Adapun topik yang dipilih adalah Artikel yang sesuai kriteria lalu dianalisis
menggunakan critical appraisal tool yang sesuai untuk hasil penelitian kuantitatif untuk
menilai kualitas penelitian.Data-data dari hasil temuan yang sudah dianalisis kemudian
diekstraksi dan dikelompokkan yang sejenis kemudian data-data yang sudah diekstraksi tadi
dilakukan triangulasi, dibahas dan disimpulkan untuk menjawab tujuan. Ada 6 artikel yang
dilakukan sistematik review. Yaitu :
1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang
Kecamatan Manggala kota Makassar. Pada tahun 2012
2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di Rumah
Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010. Pada tahun 2010
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberculosis.
Pada tahun 2009
4. Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto community
health centres in Bali Province, Indonesia. Pada tahun 2013
5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an MDR-
TB Regimen Fare inSouth India? Pada tahun 2011
6. Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of
retreatment in Morocco. Pada tahun 2011
Hasil
1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas
Antang Kecamatan Manggala kota Makassar.
Pengetahuan seseorang tentang suatu penyakit dapat dihubungkan dengan kegagalan
dalam pengobatan.responden yang memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak
mengalamikegagalan pengobatan dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan
yang baik dan ternyata pasien yang banyak mengalami kegagalan dalam pengobatannya
adalah mereka yang pengatahuannya kurang.
Penelitian oleh Sulianti (2001) menyatakan bahwa lamanya waktu pengobatan penyakit
tuberkulosis yang harus dilakukan selama 6 bulan, mungkin saja dijadikan beban oleh
penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi
penderita yang memiliki pengetahuan yang cukup akan terhindar dan sembuh dari
penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur.
Hubungan antara efek samping OAT dengan default setelah mengontrol variabel lainnya
tersebut di atas terlihat sangat bermakna artinya pasien yang mempunyai keluhan efek
samping OAT berisiko 4,07 untuk mengalami default dibandingkan dengan pasien yang
tidak mempunyai keluhan efek samping OAT setelah dikontrol oleh faktor penyakit
penyerta, jenis obat dan cara bayar. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
sebelumnya, misalnya pada penelitian Tekle et al di Ethiophia tahun 2002 didapatkan OR
4,20 (95%CI: 1,51 – 11,66), dan penelitian di India tahun 2000 yang dilakukan oleh
Santha et al diketahui OR sebesar 4,3 (95%CI: 2,5 – 7,4), demikian halnya hasil penelitian
di China tahun 2005 yang dilakukan oleh Xiangin eta al yang membagi efek samping
OAT ke dalam tiga kategori yaitu ringan, sedang dan berat. Masing- masing OR untuk
efek samping OAT tersebut pada derajat kepercayaan 95% adalah 2,32 (1,15-4,66) dan
4,47 (2,46-8,12) dan beberapa penelitian lainnya yang menyimpulkan bahwa efek samping
OAT sebagai salah satu penyebab default dalam program pengobatan TB paru.
Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih patuh berobat dibandingkan dengan wanita.8 Menurut beberapa
teori mengatakan bahwa wanita lebih banyak melaporkan gejala penyakitnya dan
berkonsultasi dengan dokter karena wanita cenderung memiliki perilaku yang lebih
tekun daripada laki-laki.
f) Pengaruh lama sakit keluarga terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TBparu
Ada pengaruh yang signifikan antara lama sakit terhadap ketidakpatuhan berobat pada
penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif bermakna, artinya
semakin lama keluhan yang diderita penderita maka akan semakin tidak patuh untuk
datang berobat. Hal ini disebabkan karenakondisi kesehatan penderita yang lemah, gizi
yang kurang dan keparahan penyakit yang diderita. Beberapa penelitian
mengkonfirmasikan hasil yang sama dengan penelitian ini yang memperlihatkan ada
hubungan yang bermakna antara kepatuhan penderita dengan kondisi penyakit bahwa
penderitamemutuskan menghentikan pengobatan secara sepihak meskipun belum
terjadi konversi dahak.
5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an
MDR-TB Regimen Fare inSouth India?
Studi ini menunjukkan bahwa hasil pengobatan keseluruhan pasien yang gagal pengobatan
anti-TB pada lini pertama dan yang tidak ditempatkan pada rejimen MDR-TB yang sangat
buruk.Hasil terburuk terlihat di antara kategori I dan II kegagalan ditempatkan pada
penafsiran suatu rejimen. Temuan memiliki program beserta implikasi. Pertama, hanya
satu dari tiga pasien memiliki keberhasilan pengobatan pada saat RNTCP rejimen
pengobatan ulang.Dengan demikian, terlepas dari obat pola sensitivitas, pasien yang gagal
pada pengobatan lini pertama di India memiliki hasil pengobatan yang buruk jika terus
pada 'pengobatan ulang rejimen '.Penelitian serupa telah didokumentasikan dari bagian
lain dunia Kedua, dalam kondisi ideal, kegagalan dalam dikelola NTP harus jarang dengan
tidak adanya MDR-TB. Terjadinya kegagalan umumnya terkait program faktor-faktor
seperti kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk.
Praktisi mandiri di pusat kesehatan masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam hal
pengobatan pasien tbc. Di indonesia ada petugas khusus yang menangani masalah tbc. Di
setiap puskesmas ada. Hal ini merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk
mengurangi angka kejadian penyakit tbc yang ada di masyarakat. Peran petugas kesehatan
selain memberikan penyuluhan juga berperan sebagai PMO selain anggota keluarga pasien.
Mengawasi minum obat pasien, meskipun tidak selalu disamping pasien.
Di India, pasien dengan tbc ada yang berhasil dalam penyembuhan ada juga yang mengalami
kegagalan. Terjadinya kegagalan umumnya terkait program faktor-faktor seperti kemiskinan,
kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk.Faktor kemiskinan ini dimana-
mana ada, karena tidak ada biaya akan mempengaruhi dalam berbaga hal, seperti transportasi
dan kepatuhan minum obat, kualitas obat yang buruk juga mempengaruhi kegagalan
pengobatan tbc. Hal ini bisa membuat resisitensi obat.
Kesimpulan
Terjadinya kegagalan pengobatan tbc umumnya terkait dengan program faktor-faktor seperti
kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk. Responden yang
memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak mengalami kegagalan pengobatan
dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan yang baik, pengobatan yang tidak tuntas
dapat mengakibatkan menurunnya sensitifitas kuman terhadap jenis obat yang telah diberikan
(resisten), Berdasarkan kerangka teori yang ada, banyak sekali faktor risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya default,yaitu efek samping OAT, umur, penyakit penyerta, jenis
obat, cara ambil obat, keberadaan PMO, jenis PMO, pendidikan PMO, cara bayar dan
penyuluhan kesehatan, Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada
penderita tuberculosis diantaranya pengaruh jenis kelamin, umur, pendidikan, pengetahuan,
pendapatan keluarga, lama sakit, efek samping obat, kualitas pelayanan, peran PMO dan
pengaruh jarak rumah terhadap ketidakpatuhan berobat.
Abstrak
Latar Belakang. Remaja merupakan tahapan dimana seseorang berada diantara fase anak dan dewasa
yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi. Remaja merupakan
kelompok beresiko terhadap berbagai masalah kesehatan di masyarakat, salah satunya terkait dengan
perilaku seksual. Proporsi penduduk berusia remaja menunjukkan angka yang cukup besar. lebih dari
seperempat penduduk dunia adalah remaja berusia antara 10-24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 500 responden mahasiswa di Semarang, 31 orang (6,2%) menyatakan pernah melakukan
intercourse, 111 orang (22%) pernah melakukan petting. Penelitian lain menyebutkan bahwa kebiasaan
pacaran mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di semarang yaitu kissing 43%, necking 17%,
petting 15%, dan sebanyak 5% mengaku pernah melakukan intercourse (hubungan seksual) pranikah.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual remaja
Metode. Penulis melakukan pencarian literature/ jurnal di google scholar terkait dengan tema perilaku
seksual remaja dengan format pdf. Kata kunci yang digunakan adalah perilaku seksual remaja, perilaku
seksual pranikah pada remaja, faktor perilaku seksual remaja dari tahun 2010-2014. Setelah mendapatkan
jurnal yang sesuai dengan tema diatas kemudian dilakukan identifikasi sesuai dengan topik kemudian
dilakukan review dan dilaporkan hasilnya pada makalah yang akan disusun.
Hasil. Dari hasil studi literature didapatkan hasil bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi terjadinya perilaku seksual pada remaja. Faktor internal antara lain: aspek perkembangan
alat seksual (biologis), religiusitas yang rendah, rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah,
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang kurang, serta aspek motivasi, sedangkan dari faktor
eksternal antara lain: aspek keharmonisan keluarga, tempat tinggal beresiko, aspek pergaulan, gaya hidup,
dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah yang beresiko KTD, dan aspek media massa.
Kesimpulan. Remaja yang memiliki sikap lebih permisif terhadap masalah seksualitas akan cenderung
melakukan hubungan seksual pranikah, hal ini dicegah dengan meningkatkan self efficacy pada diri
remaja tersebut. Perlu adanya upaya khusus agar pengetahuan remaja meningkat tentang perilaku seksual
yang sehat dan bertanggung jawab, mengurangi "tabu" terhadap seksualitas, meningkatkan efikasi diri
terhadap perilaku seksual pranikah yang pada akhirnya dapat mengambil keputusan yang tepat dan
bertanggung jawab pada kehidupan seksualnya. Remaja hendaknya dapat menekan perilaku seksual
pranikah dan menjauhi media pornografi sehingga bisa mengendalikan dorongan negative dan mengubah
kearah positif.
Kata Kunci: Perilaku Seksual, Remaja, faktor internal, faktor eksternal
Pendahuluan
Remaja indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya
hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta
nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan
Perilaku seksual pada remaja semakin meningkat frekuensinya seiring dengan banyaknya faktor
yang mempengaruhi sehingga diperlukan perhatian khusus dari semua pihak baik dari orang tua,
lingkungan, sekolah serta teman dekat. Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan
yang penting bagi tahap kehidupan selanjutnya. Pada umumnya remaja memiliki rasa
keingintahuan yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang baru dan belum pernah dialaminya.
Kurangnya informasi yang akurat tentang kesehatan reproduksi menjadikan remaja untuk
mencaritahu mencari akses sendiri baik dari media cetak, media internet, pengalaman teman
sebaya, dan yang lainnya. Remaja merupakan kelompok beresiko secara seksual maupun
kesehatan reproduksi karena rasa keingintahuaanya yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang
baru.
Perkembangan jaman saat ini sangat mempengaruhi perilaku seksual remaja dalam memandang
seksualitas, mulai dari berpacaran yang dahulu dianggap tabu sekarang sudah banyak remaja
yang tidak mempunyai rasa malu dalam menunjukkan sikap berpacaran di khalayak umum misal
berpegangan tangan sampai anggapan bahwa pacaran itu sesuatu yang harus dilakukan pada
masa remaja dengan alasan masa remaja tidak akan terulang dua kali, malu dengan teman jika
tidak memiliki pacar, sebagai trend gaya hidup remaja sekarang. Dengan berubahnya stigma/
kepercayaaan tentang pacaran yang menjadi legal saat ini diperlukan pengawasan yang lebih
pada remaja supaya tidak berakhir kepada tindakan yang tidak diinginkan seperti kehamilan
diluar nikah, kebiasaan free sex,aborsi tidak aman yang berujung kematian, HIV/AIDS, Penyakit
Menular Seksual, dan sebagainya. Keluarga mempunyai peranan penting dalam membentuk
perkembangan dan kepribadian sebagai pengontrol bagi remaja dalam memberikan batasan di
kehidupan sosial yang mulai terkikis dengan masuknya era modernisasi.
Tujuan
Penulisan review ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual pada remaja
Metoda
Jurnal yang dilakukan review oleh penulis dicari di google scholar dengan memasukkan kata
yang spesifik terkait dengan perilaku seksual pada remaja (perilaku seksual remaja, perilaku
seksual pranikah, faktor perilaku seksual remaja) tahun 2010-2014 dan ditemukan beberapa
literature yang terkait tetapi penulis hanya melakukan review terhadap 5 jurnal lebih detail,
sedangkan jurnal yang lain dipakai sebagai penunjang dalam pembahasan di dalam artikel yang
disusun. Dari masing-masing penelitian terdapat beberapa variable berbeda yang mempengaruhi
perilaku seksual pada remaja.
Dari
Terhadap hi perilaku an terhadap KTD.
Kehamilan seksual 3. Reprodu hasil analisis
Tidak pranikah ksi ditemukan 5 variabel yang
Diinginkan beresiko signifikan berhubungan
(KTD) KTD pada dengan perilaku seksual
remaja pranikah yaitu religiusitas,
sikap, akses dan kontak
dengan media pornografi,
sikap teman dekat, serta
perilaku seksual teman
dekat.
2 B.Syamsul Faktor yang Cross Penelitian ini 1. Remaja Hasil penelitian
huda, mempengar section bertujuan 2. Kesehata menunjukkan bahwa
Musthofa, uhi perilaku al untuk n 11,9% melakukan
Winarti.P. seks menganalisa reproduk perilaku seks pranikah
(2010)
Adanya hubungan yang
pranikah beberapa si bensiko.
Mahasiswa variabel yang 3. Perilaku
di mempengaru seks signifikan antara umur,
pekalongan hi perilaku pranikah jenis kelamin, religiusitas,
tahun 2009- seks beresiko sikap permisif terhadap
2010 Pranikah seksualitas, efikasi diri,
pada remaja akses media pornografi
dan kontrol orang tua
dengan perilaku seks
pranikah yang berisiko
Mahasiswa
KTD
yang
mempunyai sikap lebih
permisif mempunva resiko
berperilaku seks pranikah
yang berisiko KTD
sebesar 3,473 kali lebih
besar dibandingkan
dengan yang kurang
permisif. Remaja yang
mempunyai efikasi din
tinggi mempunyai
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 74
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
proteksi din untuk tidak
melakukan perilaku seks
pranikah berisiko KTD
sebesar 0,192 kali lebih
bcsar daripada yang
mempunyai efikasi diri
rendah
3 Khairunni Hubungan Metode Untukmenget 1. Religiusi Terdapat hubungan antara
sa, A. religiusitas skala ahui tas religiusitas dan kontrol
(2013) dan kontrol hubungan 2. Kontrol diri dengan perilaku
diri antara diri seksual pranikah pada
Dengan religiusitas 3. Perilaku remaja di MAN 1
perilaku dan control seksual Samarinda (F = 3.251, R2
seksual diri dengan = 0.066, dan p = 0.043)
pranikah perilaku Terdapat hubungan antara
remaja di seksual religiusitas dan perilaku
MAN 1 pranikah seksual pranikah dengan
samarinda pada remaja. beta = - 0.235, t = -2.170,
dan p = 0.033
Kemudian pada kontrol
diri dengan perilaku
seksual pranikah terdapat
hubungan dengan beta =
0.221, t = 2.042, dan p =
0.044.
Nilai signifikasi < 0.05
menjelaskan bahwa ada
hubungan yang antara
religiusitas dan kontrol
diri dengan perilaku
seksual pranikah adalah
signifikan
4 Hartono, Faktor- Peneliti untuk 1. Mahasis Mahasiswa melakukan
RD. Faktor an menganalisis wa seks bebas disebabkan
(2013) Yang deskript dan 2. seks oleh dua faktor yaitu
Menyebabk if mendeskripsi bebas faktor internal dan faktor
an Remaja kan penyebab 3. perilaku eksternal
Berperilaku mahasiswa menyim Faktor internal dan faktor
Menyimpan melakukan pan eksternal saling
g seks bebas 4. faktor mempengaruhisatu sama
internal lain. sehingga
5. faktor mengakibatkan informan
eksternal pokok (remaja)
melakukan hubungan seks
Pembahasan
Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan
lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai
dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Pada remaja
yang masih berada dalam masa peralihan dalam mencari jati diri sering terpengaruh dalam
perilaku ini mulai dari yang ringan sekedar rasa tertarik sampai ke tindakan yang dilarang yaitu
bersenggama. Orang tua mempunyai peran penting dalam proses sosialisasi anak. Dari orang
tualah anak belajar tentang nilai-nilai dan sikap yang terdapat dan dianut masyarakat Menurut
aliran psikoanalisis, orang – orang yang tidak mempunyai hubungan yang harmonis dengan
orang tuanya dimasa kecil maka kemungkinan besar akan menjadi orang yang paling sering
melanggar norma masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan
pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang anak remaja. Secara ideal perkembangan anak
remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarga yang harmonis, sehingga berbagai
kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi dan memiliki role model yang positif dari orang
tuanya sendiri.
Gaya hidup remaja pada era globalisasi juga merupakan salah satu faktor terjadinya perilaku
seksual, dikarenakan gaya hidup remaja saat ini banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi.
Pengaruh teknologi terutama media masa memberikan kontribusi pada perubahan gaya hidup
remaja. Remaja yang memiliki aktivitas dan hobi dalam memanfaatkan media visual seperti
menonton video dan film pornografi bisa saja tanpa mereka sadari akan mempengaruhi
pengetahuan serta sikap dalam bertindak kearah gaya hidup yang berisiko melakukan perilaku
seksual. Selain itu religiusitas juga menjadi faktor remaja dalam melakukan perilaku seksual.
Religiusitas memberikan kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan
tingkah lakunya. Religiusitas dapat menstabilkan tingkah laku, memberikan perlindungan rasa
Diperlukan pengawasan dan perhatian khusus bagi remaja baik ketika di rumah, lingkungan,
maupun di sekolah. Menciptakan lingkungan yang kondusif juga diperlukan bagi remaja dalam
menemani masa tumbuh kembang dan transisi yang sedang dialami sehingga tidak terjerumus
kepada perilaku seksual yang beresiko ke kejadian yang tidak diinginkan seperti seks pranikah,
kehamilan diluar nikah, kebiasaan free sex, HIV AIDS, dan lainnya. Peran serta orang tua dan
komunikasi yang efektif merupakan pondasi yang kuat dalam menciptakan susana keluarga yang
nyaman sehingga remaja bertumbuh, berkembang, serta mempunyai kepribadian yang baik.
Kesimpulan
Dari hasil studi literature diketahui terdapar beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
perilaku seksual pada remaja, antara lain: aspek perkembangan alat seksual (biologis), tingkat
religiusitas, rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi yang kurang, aspek motivasi, aspek keharmonisan keluarga, tempat tinggal beresiko,
aspek pergaulan, gaya hidup, dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah, sikap orang
tua terhadap seksualitas, komunikasi dalam keluarga, perilaku seksual teman dekat dan aspek
media massa.
Daftar Pustaka
Hartono & Ginawati. 2013. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Remaja Berperilaku
Menyimpang. Artikel Ilmiah Penelitian Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember
Azinar, M. 2013. Perilau Seksual Pranikah Beresiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
Banum, F.OS & Setyogroho, S. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku
seksual Pranik STIKes X Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan 5 (1) Januari 2013 S1
Kesehatan MMasyarakat STIKes MH.Thamrin
Khairunnisa, A. 2013. Hubungan Religiusitas Dan Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual
Pranikah Remaja Di MAN 1 Samarinda. eJournal Psikologi, 2013, 1 (2): 220-229 ISSN
0000-0000, ejournal.psikologi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
Suryoputro. A, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilau Seksual Remaja Di Jawa
Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan Dan Layanan Kesehatan Seksual Dan
Reproduksi. Jurnal MAKARA, Kesehatan Vol 10, No 1, Juni 2006: 29-40
Abstrak
Latar Belakang. Penting bagi perawat untuk mengikutsertakan klien dalam proses
perawatannya, perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan fokus kepada klien
sehingga meningkatkan kemamapuan dalam menentukan pilihan bantuan sesuai dengan
kebutuhannya. Asuhan keperawatan harus memadukan antara proses pembelajaran dan
pemeberian asuhan. Perawat komunitas harus mampu mengorganisir proses pengambilan
keputusan karena hal ini meningkan pemahaman keluarga dan masyarakat sehingga
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Tujuan. Meningkatkan kolaborasi perawat klien dalam penangan kesehatan jiwa komunitas
Metoda. Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada
tahun 2010-2015 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search.
Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “clinical
decision making” and “mental heath” and “primary care”. Metodologi yang digunakan dalam
publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif, kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat
kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat. Selanjutnya data direview dengan
penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dibahas dan
disimpulkan.
Hasil. Hasil penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik. Hasil
penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan klien dalam penangan kesehatan jiwa di
komunitas akan menurunkan konflik dalam pengambilan keputusan. Lima komponen kunci
dalam konsep hubungan perawat klien yaitu mendasari etos, ketenagaan, intervensi, indikator
dan hasil. Ilustrasi hubungan perawat klien adalah pemberdayaan klien dan pengambilan
keputusan bersama.
Kesimpulan. Pengalaman dan tingkat pemahaman akan berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan oleh pengasuh (care giver). Akan tetapi yang terjadi di Indonesia asuhan
keperawatan belum mencerminkan asuhan yang berfokus pada klien. Belum
teridentifikasinya kasus kesehatan jiwa di komunitas serta deskriminasi terhadap klien
dengan gangguan jiwa menunjukan kolaborasi perawat klien belum optimal.
Kata Kunci: Kolaborasi, Kesehatan Jiwa Komunitas, Pengambilan Keputusan, Asuhan
Keperawatan
Pendahuluan
Kesehatan jiwa masyarakat (community mental health) telah menjadi bagian masalah
kesehatan masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara. Salah satu pemicu
terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak moderenisasi dimana tidak
semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan kemajuan teknologi baru yang
secara tidak langsung akan berdampak terhadap daya emban ekonomi masyarakat. Hasil
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat/skizofrenia di daerah
pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan di daerah pedesaan, proporsi
Masalah kesehatan jiwa hasil survei Riskesdas sampai tahun 2013 di Indonesia sangat besar.
Diperkirakan 72.800 penyandang gangguan jiwa berat di Indonesia dan gangguan mental
emosional 19,5 juta orang dengan 1 juta kasus gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar
18.000 kasus “ditangani” dengan dipasung. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat belum
sepenuhnya memahi kebutuhan bagi keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Barry K.J
2007 menjelaskan bahwa penting bagi perawat untuk mengikutsertakan keluarga dalam
proses perawatan, perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan yang fokus kepada
keluarga sehingga keluarga mampu memilih bantuan sesuai dengan kebutuhan. Penelitian
yang dilakuan oleh Elaine Haycock-Stuart tahun 2012 dalam memeberikan asuhan
keperawatan yang berfokus pada pasien perawat harus mampu memadukan antara proses
pembelajaran dan pemeberian asuhan, perawat komunitas harus mampu mengorganisir proses
pengambilan keputusan karena hal ini meningkan pemahaman keluarga dan masyarakat
sehingga meningkatkan kualitas asuhan keperawatan (Margaret M. Mahon, 2010) dalam
penelitiannya juga disebutkan bahwa peran perawat komunitass adalah melakukan
pendampingan proses pengambilan keputusan.
Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan
penderitaannya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga serta
lingkungan masyarakat sekitarnya. Seperti yang diuangkapkan hasil survei oleh word bank
bahwa beberapa negara menunjukan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau disability
Ajusted Life Years (DALY’s) sebesar 8,1% dari global burden of Disease disebabkan oleh
maslah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi pada dampak yang disebkan oleh penyakit TB
(7,2%), Kanker (5,8%) maupun Penyakit Jantung (4.4%). Tingginya masalah tersebut
menunjukan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang besar dibanding dengan massalah kesehtan lainnya di masyarakat.
Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan tingakat I yang diharapkan mampu menjadi ujung
tombak langkah keberhasilan visi kementrian kesehatan untuk memberikan akses pelayanan
kesehatan yang berfokus pada keluarga (family centered care). Akan tetapi hal ini belum bisa
dilakssanakan oleh pukesmas terbukti dari penelitian yang dilakuan Keliat dkk tahun 2011
menunjukan bahwa 46% pasien yang dirawat di lima rumah sakit jiwa di Pulau Jawa
Sejak tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan pelayanan
kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun, program pelayanan kesehatan
jiwa di puskesmas belum menjadi program pelayanan pokok di Indonesia. Menyelesaikan
masalah kesehatan jiwa bukan melalui pembangunan rumah sakit jiwa yang baru, melainkan
mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, menggunakan komunikasi
dialogis dalam penyelesaiannya serta reflektife learning bagi masyarakat (Barry K.J 2007).
Dengan alasan ini penulis merasa penting untuk meningkatkan kolaborasi perawat-klien
dalam hal ini adalah masyarakat sebagai upaya untuk menacapai masyarakat yang sehat jiwa
Tujuan
Secara umum meningkatkan kolaborasi perawat klien dalam penangan kesehatan jiwa
komunitas. Secara khusus mengetahi peran perawat dalam penanganan kesehatan jiwa
masyarakat. Selain itu mengetahui metoda efektif tenaga kesehatan dalam penanganan
kesehatan jiwa masyarakat, mengetahui pentingnya keterlibatan klien dalam pengambilan
keputusan penanganan kesehatan jiwa masyarakat, mengetahui manfaat pentingnya
pengambilan keputusan klinis dengan melibatkan masyarakat.
Metode
1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif, kuantitatif atau
campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan full teks.
Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan gangguan jiwa di
komunitas. Asuhan keperawatan yang diberikan adalah asuhan keperawatan yang berfokus
pada klien (pasien, klien dan komunitas) sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan
harus melibatkan klien termasuk dalam hal pengambilan kepetusan untuk menentukan
pilihan bantuan yang tepat sesuai dengan masalah.
2. Strategi Pencarian Literatur
Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada tahun
2010-2015 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American
Journal Of Nursing (AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline
dengan kata kunci “clinical decision making” and “mental heath” and “primari care”.
3. Ekstraksi data dan motede pengkajian kualitas studi
Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian
dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan disimpulkan
sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan menggunakan
prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas baik, sedang dan
kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%-100%, cukup jika
65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%.
Google search
1. PDF
Skrening 2. Full Teks 1. EBSCO n=28
3. Bahasa Inggris 2. ProQuest n=
4. Free Download 3. Pub Med n=45
5. Medeline 4. BMC PH n= 8
6. Peer Review 5. Google Search
7. Tahun 2010-2015
1. EBSCO n= 2
1. Kolaborasi perawat klien 2. ProQuest n= 1
Analisis dalam penanganan 3. Pub Med n=1
kesehatan jiwa 4. BMC n=1
5. Google Search n=1
Sitematik Review n=4
Hasil
Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif, kuantitatif dan RCT pada empat
jurnal yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal
EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan google search (gambar 1). Hasil penelitian kualitatif
dengan mengidentifikasi beberapa tema, sedangkan hasil penelitian RCT dilakukan perlakuan
untuk menguji CORAL decision aid tool penelitian ini dilakukan dengan single blind yang
kemudian di lakukan follow up untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan/tindakan.
1. Peran Kepemimpinan Keperawatan Komunitas
Perawatan berkualitas dianggap sebagai komponen penting dari profesi keperawatan.
Kebijakan baru-baru ini telah menekankan peran kepemimpinan dalam memenuhi agenda
kualitas. Sebagai pergeseran keseimbangan perawatan dari rumah sakit kepada masyarakat
ada keharusan untuk mengkonfirmasi lebih efektif kualitas perawatan pasien dan keluarga
dalam menerima perawat yang bekerja di masyarakat (Elaine Haycock-Stuart, 2012).
Penekanan kebijakan layanan kesehatan menekannya penawaran yang sama kepada semua
perawat untuk membuat unsur-unsur praktik klinis mereka sehingga menunjukan
perawatan yang berkualitas tinggi dan memverifikasi apa yang benar-benar penting untuk
pasien dan keluarga.
Keinginan klien untuk terlibat dalam proses kepeerawatan, setidaknya dalam pengambilan
keputusan hal ini menegaskan kembali penelitian yang telah dilakukan oleh Jan Flotin 2007
yang menejelaskan bahwa klien lebih menyukai jika berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan klinis keperawatan dan berharap diikutkan dalam asuhannya. Penelitian tersebut
menegaskan bahwa klien lebih menyukai dalam hubungan kolaborasi bukan hubungan yang
otonom. Hal ini akan bermanfaat untuk meneliti lebih lanjut terkait sejauh mana keterlibatan
klien serta hubungan kolaborassi antara klien dan tenaga kesehatan dalam pengambilan
keputusan terutama pada masalah ganggun jiwa.
Claire Henderson tahun 2012 dengan penelitian tentang kemampuan pengambilan keputusan
mentukan pilihan bantuan dengan Conceal Or ReveAL, or CORAL tools menjukan bahwa
pengungkapan masalah menyebabkan pengurangan konflik dalam pengambilan keputusan,
hal ini menegaskan penelitaian oleh Magenta B et all tahun 2011 menegaskan pengalaman
dan keterlibatan klien dalan asuhan mempunyai efek positif terhadap kemampuan klien
dalam pengambilan keputusan. Hubungan kolaborasi sangat dibutuhkan untuk itu kolaborasi
perawat klien harus menunjukan hubungan yang saling menghormati, saling percaya, berbagi
informasi, komunikassi terbuka, pengambilan keputusan bersama sehingga, intervensi
keperawatan harus memperhatikan nilai, kepercayaaan dan pilihan pasien sebagai
landasannya (Blue-Banning M, Summers J, Frankland H, et al 2004 dan Keen D, 2007).
National Collaborating Centre For Method and Tools menjelaskan Kolaborasi perawat klien
klien dalam komunitas sangatlah penting karena proses keperawatan komunitas akan
tergantung pada keadaan tertentu, serta keterampilan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
individu dan kelompok yang terlibat dalam proses. Pada akhirnya, kolaborasi perawat-klien
harus menarik pengetahuan klien terkait kesehatan tenaga kesehatan dituntut mempunyai
keahlian dalam menggabungkan semua yang relevan faktor yang mempengaruhi dalam
hubungan, kesimpulan atau rekomendasi. Untuk mencapai kolaborasi yang otimal diperlukan
perawat yang mempunyai kualifikasi sehingga dibutuhkan pendidikan berkelanjutan bagi
perawat atau dengan dengan membangun mitra bestari antara puskesmas dengan intansi
pendidikan yang mempunyai perawat spesial komunitas atau spesialis jiwa untuk
memberikan mentoring kepada perawat, keluarga dan masyarakat sehingga tercipta hubungan
kolaborasi antara perawat pendidik (perawat spesialis), perawat klinik (perawat vokasi),
keluarga dan masyaarakat.
Kesimpulan
Penelusuran literatur menunjukan bahwa pentingnya melibatkan klien dalam asuhan
keperawatan dan hal ini juga disepakati oleh klien bahwa klien ingin diikutkan dalam proses
keperawatan, akan tetapi hal ini belem sepenuhnyadengan berbagai alasan. Hasil ini bisa
1
Staff Akademik Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
2
Bagian Parasitologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
3
Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit dr. Kariadi.
mariadyah15@gmail.com.
Abstrak
Latar Belakang. Peringkat ke-4 Provinsi dengan penderita HIV tertinggi di Indonesia adalah
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kumulatif kasus HIV: 9.340 penderita, sedangkan jumlah
penderita AIDS berjumlah 4131 penderita (Spiritia Y & KPA Jawa Tengah. 2014). Terapi
yang diaplikasikan selama ini adalah onat antiretroviral/ARV dengan efek samping yang
menyertai (Abbas AK, 2007). Kulit Buah manggis mengandung xanthone sebagai
antioksidan yang, sangat dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reduxing
radicals, oxidizing radicals, carbondentered, sinar UV, metal, dll) yang ada dilingkungan
manusia yang dapat menghambat replikasi virus HIV dan aktivitasnya dilihat dari berat badan
penderita, karena penurunan berat badan dapat memicu penurunan sistem imun dan
merangsang oxidative stress (Planta Med, 1996).
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas pemberian ekstrak kulit
manggis (Garcinia mangostana) terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi
antiretroviral (ARV).
Metoda. Dilakukan penelitian eksperimental pada manusia, dengan design Randomized
Control Group Pretest-Post Test Design, sampel sebanyak 20 pada masing-masing
kelompok. Kelompok 1: Penderita HIV dengan terapi ARV diberikan ekstrak kulit manggis,
2: Penderita HIV dengan terapi ARV diberikan kapsul placebo. Perlakuan selama 30 hari,
dilakukan pemeriksaan berat badan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Penelitian ini
menggunakan statistik non-parametik oleh karena inferensi statistik (pengambilan keputusan)
tidak membahas parameter-parameter populasi sehingga distribusi data (populasinya)
menjadi tidak normal. Untuk dapat mengetahui uji beda antar kelompok (pre test dan post
test) maka digunakan uji Paired T Test. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan kelompok
perlakuan dan placebo maka digunakan uji beda Mann Whitney.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna berat badan (p: 0.701 ) pada penderita HIV
antara pemeriksaan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana ). Terdapat perbedaan bermakna yang bermakna berat badan (p: 0.008) pada
penderita HIV antara pemeriksaan kelompok yang diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana ) dan placebo.
Pembahasan. Antioxidan yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis ini tidak
menunjukan efeknya dalam mengurangi terjadi induksi oxidative stress. Banyak faktor yang
mempengaruhi berat badan pada manusia, dimana kita ketahui bahwa manusia memiliki
banyak sekali faktor yang berpengaruh pada berat badan.
Kesimpulan. Pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) tidak efektif terhadap
berat badan pada penderita HIV dengan terapi ARV.
Kata Kunci: Ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana ), Berat badan
Salah satu bukti efek samping obat ARV tercantum pada laporan dari penelitian terbaru yang
menunjukan bahwa penderita HIV mengalami penurunan berat badan yang bermakna (10%)
dalam tiga bulan pertama setelah memulai ARV (Carole, 2012). Gejala awal seperti nafsu
makan menurun, mual dan/ muntah. Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap penurunan
berat badan adalah terjadinya infeksi yang menyertai pada penderita HIV seperti malabsorpsi
gastrointestinal yang disebabkan oleh infeksi bakteri, contohnya diare. Selain itu, faktor
masalah neurologis dan/atau kejiwaan yang membuat penderita mengalami perburukan nafsu
makan dan mengalami malabsorpbsi. Sedangkan, status nutrisi yang dapat mengacu pada
berat badan yang baik pada penderita HIV sendiri penting untuk mempertahankan daya tahan
tubuh melawan infeksi penyerta, sehingga selanjutnya akan berimplikasi pada kemampuan
penderita HIV tetap dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aktif dan produktif
(Nursalam, dkk., 2007).
Salah satu dari keanekaragaman tanaman di Indonesia, dapat menjadi potensi menjadi
tanaman obat. Kulit Buah manggis mengandung xanthone sebagai antioksidan yang, sangat
dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reduxing radicals, oxidizing
radicals, carbondentered , sinar UV, metal, dll) yang ada dilingkungan manusia yang dapat
menghambat replikasi virus HIV dan aktivitasnya dilihat dari berat badan penderita, karena
penurunan berat badan dapat memicu penurunan sistem imun dan merangsang oxidative
stress (Plant Med, 1996). Tanaman obat tersebut dapat menjadi pengobatan adjuvant. Peneliti
ingin menggunakan ekstrak kulit manggis sebagai antioksidan yang harapannya dapat
digunakan sebagai obat komplemen, bersamaan dengan pemberian obat antiretroviral/ ARV.
Harapan dari penelitian ini, terdapat efektivitas ekstrak kulit manggis terhadap berat badan
penderita HIV dengan terapi ARV, sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan
komunitas khususnya sebagai perawat komplementer serta memenurunkan terjadinya ko-
infeksi pada penderita HIV.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas pemberian ekstrak kulit manggis
(Garcinia mangostana) terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi antiretroviral
(ARV).
Hasil dari analisa deskriptif tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis statistik
menggunakan Paired T Test bila distribusi normal dan uji Wilcoxcon Smith bila distribusi
tidak normal. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dan placebo
maka digunakan uji beda Mann Whitney. Data dianggap berbeda secara bermakna bila nilai
(p<0,05) dengan derajat kepercayaan 95%. Penelitian dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
Hasil
Karakteristik dasar subjek penelilian memiliki karakteristik yang sama, yang ditunjukan pada
Tabel 1.
Table 01. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan memiliki karakteristik data yang setara, sehingga
memulai dengan start point yang sama dalam masing-masing kelompok.
Tabel 04. Uji Paired T Test ( Kelompok perlakuan dan placebo pre test dan postest)
Kelompok n p
Perlakuan Pre Test 20
0.701
Post Test 20
Placebo Pre Test 20
0.008
Post Test 20
90 90
2 2
80 80
5 5
70 70
7
BERAT BADAN
BERAT BADAN
60 7 60
9
50 9 50
10
40 10 40
11
30 11 30
12
20 12 20
17
10 17 10
18
0 18 0
pre post 20
pre post
20 22
PLACEBO PERLAKUAN
Grafik 01. Grafik Berat Badan Individu Kelompok Perlakuan dan Placebo pada Pre
dan Post test
Pembahasan
Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis Terhadap Berat Badan
Berat badan pada pemeriksaan pretest dan posttest dalam kelompok perlakuan tidak memiliki
perbedaan yang signifikan, yang dibuktikan dengan hasil uji beda non parametik Paired T
Test dengan nilai p = 0.701 (p> 0.05). Namun pada kelompok placebo, terdapat perbedaaan
yang signifikan antara pemeriksaan pretest dan posttest, dibuktikan dengan nilai p = 0.008
(p<0.005). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok: kelompok
perlakuan dan placebo, baik pada pemeriksaan pretest maupun posttest. Hasil ini telah
ditunjukan pada tabel analisa Mann Whitney pada bab sebelumnya (Tabel 05).
Selain faktor ARV, banyak faktor lain yang dapat menjadi prediktor penurunan berat badan
seperti kondisi sosioekonomi, tingkat hemoglobin (Spiritia Y, 2013). Keadaan sosioekonomi
jelas mempengaruhi berat badan, khususnya status nutrisi penderita. Status sosioekonomi
yang lebih rendah dikaitkan dengan resiko lebih tinggi dari penurunan berat badan jangka
panjang. Sementara, dari hasil observasi saat penelitian, para penderita termasuk dalam
kelompok sosioekonomi menengah kebawah, yang dibuktikan dengan data rekam medis yang
mengemukakan tentang riwayat kesehatan terdahulu pasien.
Faktor lain seperti tingkat hemoglobin ini terkait dengan IMT penderita, karena dengan IMT
penderita yang lebih rendah dapat berarti bahwa kemungkinan penderita tersebut terdapat
infeksi atau penyakit lain yang menyertai. Pada penderita HIV dengan ko-infeksi tuberculosis
dan gangguan sistem gastrointestinal dapat bermanifetsasi anemia (yang mempunyai
indikator hemoglobin). Proses patofisiologi penyakit yang menyertai ini yang menyebabkan
terjadinya proses penurunan hemoglobin. Sehingga jika seorang penderita ditemukan
hemoglobin yang rendah maka kemungkkinan mendapatkan ko-infeksi yang secara tidak
langsung menyebabkan penurunan berat badan.
Menurut penelitian terbaru, jika kita kaitkan dengan sel CD4, dimana sel ini adalah sel imun
yang diserang oleh virus HIV, maka tidak terdapat hubungan dengan IMT (Swity, 2013).
Sehingga berat badan yang terkait dengan IMT tidak secara langsung berefek pada status
imun penderita HIV, dimana dapat menjadi indikator prognosa kesehatan penderita, namun
pemeriksaan berat badan dapat menjadi pemeriksaan yang penting bagi status nutrisi
penderita. Status nutrisi yang baik pada penderita HIV sendiri guna untuk mempertahankan
kekuatan dan yang lebih penting lagi untuk meningkatkan fungsi imun, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Pada seseorang dengan intake
protein, mikronutrisi seperti iron, zinc, vitamin B12, dan folat yang tidak adekuat dapat
menyebabkan penurunan sel monosit dan aktivitas makrofag, defisiensi Ig, dan penurunan
konsentrasi serum sitokin dan komponen sel komplemen, serta terjadi induksi oxidative stress
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 92
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“ Se ara g, 7 No e ber 5
(Yu Ping Tan, 2009). Jika penderita HIV dapat mempertahankan ketahanan tubuhnya, maka
dapat juga menjaga penderita HIV tetap dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aktif dan
produktif (Nursalam, dkk., 2007).
Jika dilihat dari respon subjektif yang mereka tuliskan pada form yang sudah disediakan oleh
peneliti, beberapa subjek penelitian mengemukakan perubahan atau efek yang mereka
rasakan secara subjektif. Beberapa efek posistif yang mereka rasakan seperti nafsu makan
bertambah, dan badan terasa lebih fit. Hal tersebut menunjukan bahwa motivasi, dukungan
dan perhatian dari orang lain dapat berpengaruh pola pikir, perasaan dan tindakan penderita
HIV.
Namun, hasil dari penelitian ini, kerja dari antioxidan yang terkandung dalam ekstrak kulit
manggis tidak menunjukan perbedaan yang signifikan setelah diberikan. Hasil penelitian ini
tentunya akan mendapatkan hasil yang jauh lebih bagus dengan jangka waktu perlakuan yang
lebih lama dan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak, dengan meminimalkan faktor-
faktor lain yang berpengaruh pada berat badan penderita. Banyak faktor yang mempengaruhi
berat badan karena, dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah manusia, dimana kita
ketahui bahwa manusia memiliki banyak sekali faktor yang berpengaruh pada berat badan.
Subjek penelitian penelitian ini, memiliki kesetaraan karakteristik dasar/ srtarting point yang
sama menurut statistik. Namun, banyak faktor lain seperti makan yang dikonsumsi sehari-
hari, aktivitas keseharian subjek penelitian yang berbeda-beda. Hal ini akan mempengaruhi
keadaan umum penderita. Sehingga, dapat mempengaruhi hasil penilaian berat badan.
Berbeda jika penelitian ini dilakukan pada mencit yang dapat dikontrol secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut dengan intensitas kontrol yang lebih
menyeluruh, sehingga tidak banyak faktor yang mempengaruhi hasil penilaian variabel
penelitian.
Kesimpulan
Pemberian ekstrak kulit manggis (Garciana mangostana ) tidak efektif terhadap jumlah sel
berat badan dalam kelompok perlakuan penderita HIV dengan terapi ARV. Diperlukan
penelitian selanjutnya dengan pengembangan kajian pemberian ekstrak kulit manggis
(Garcinia mangostana ), khususnya kandungan ektrak kulit manggis, apakah terdapat
interaksi yang menimbulkan efek negative antara ekstrak kulit manggis dengan terapi ARV.
Penelitian dengan jangka waktu agar mendapatkan hasil penelitian yang jauh lebih baik.
Selain itu, diperlukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan orang sehat sebagai
kelompok kontrol dengan kontrol penuh pada seluruh faktor-faktor yang berpengaruh pada
berat badan. Diperlukan pemeriksaan darah lengkap yang berpengaruh pada berat badan serta
lebih lengkap dan pemeriksaan viral load. Juga dibutuhkan penelitian efektivitas pemberian
motivasi, dukungan, dan perhatian terhadap pola pikir, perasaan dan tindakan penderita HIV,
terkait dengan data hasil pengakuan subjektif responden penelitian ini.
Daftar Pustaka
Abbas AK, Lichtman AH PS. 2007. Celluer and Molecular Immunology. 6th ed. Philadelpia,
WB Saunders.
Karnen B. 2004. Imunologi Dasar. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Planta Med. 1996. Aug;62(4):381-2. Chen SX, Wan M, Loh BN. Active constituents against
HIV-1 protease from Garcinia mangostana. Journal of pubmed.gov.
Abstrak
Latar Belakang : Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin,
aksi insulin atau keduanya. Perawatan penderita dengan diabetes melitus membutuhkan waktu yang
lama sehingga berpengaruh pada kualitas hidup penderita. Penderita yang tinggal dengan keluarga
dapat memberikan dukungan sehingga berpengaruh pada kualitas hidup. Efikasi diri pasien DM
dapat ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan mengubah pola pikir tertentu sehingga dapat
mengelola dan meminimalkan gejala yang mereka alami dan meningkatkan kualitas hidup.
Metode: Literatur review dengan mengumpulkan jurnal dengan cara melakukan penelusuran jurnal
yang telah terpublikasi pada ProQuest, Ebsco, Google Search, Google Scholar dengan
menggunakan kata kunci Dukungan Keluarga, Self Efficacy, Kualitas Hidup, Lansia dengan
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal yang diambil mempunyai kemiripan kemudian dianalisis.
Penelusuran dibatasi terbitan tahun 2005-2015 dengan format Fulltext PDF.
Hasil: Dari hasil penelusuran didapatkan 167 abstrak dan diambil 8 jurnal yang sesuai untuk
dilakukan review.
Diskusi: Diabetes mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Beberapa hal yang berhubungan
dengan kualitas hidup penderita diabetes melitus diantaranya adalah dukungan keluarga dan efikasi
diri. Dengan adanya hubungan dukungan keluarga dan efikasi diri maka penderita dapat melakukan
perawatan diri, meningkatkan kemampuan dan merubah pola pikir sehingga dapat mengelola dan
meningkatkan kualitas hidup.
Kesimpulan : Dukungan keluarga, efikasi diri, dan kualitas hidup penting bagi lansia dengan
diabetes melitus tipe 2, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan
dari ketiga komponen tersebut.
Kata Kunci: Dukungan Keluarga, Efikasi Diri, Kualitas Hidup, Lansia denganan DM Tipe 2
Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin,
aksi insulin atau keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel beta
pankreas, yang diperlukan untuk memanfaatkan glukosa dari makanan yang dicerna
sebagai sumber energi (Loghmani, 2005). Diabetes tipe 2 adalah tipe diabetes yang banyak
terjadi, biasa terjadi pada usia dewasa, tetapi banyak juga pada anak-anak dan remaja
(International Diabetes Federation, 2013, p.23). Faktor yang beresiko berpengaruh pada
pathogenesis diabetes diantaranya adalah penuaan, obesitas, peminum alkohol, perokok,
faktor genetik, dan lain-lain (Ozougwu et al, 2013). Banyak orang dengan diabetes tipe 2
tidak menyadari penyakitnya, karena butuh waktu bertahun-tahun gejala dari penyakit
tersebut muncul. Mereka didiagnosa ketika telah terjadi komplikasi diabetes (International
Diabetes Federation, 2013, p.23).
Kualitas hidup penderita Diabetes Melitus merupakan perasaan puas dan bahagia akan
hidup secara umum. Kualitas hidup telah digambarkan oleh WHO (1994) sebagai sebuah
persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan pada konteks budaya dan sistem
nilai dimana mereka tinggal hidup, harapan, standar dan fokus hidup mereka.
Meningkatkan kualitas hidup penderita DM dibutuhkan pengelolaan yang baik.
Pengelolaan DM tipe 2 membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan perhatian jangka
panjang untuk perawatan diri dan perilaku preventif (Hunt, Caralise W, et al. 2012).
Perawatan pada DM membutuhkan waktu yang lama karena penyakit tersebut merupakan
penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup dan memiliki permasalah yang sangat
kompleks. Penderita harus memiliki kemampuan dan keyakinan diri untuk dapat
melakukan perawatan diri serta membutuhkan dukungan keluarga terdekat. Dukungan
sosial dan anggota keluarga dianggap sebagai sumber yang berpengaruh pada dukungan
sosial untuk penderita diabetes. Anggota keluarga dapat memberikan dampak positif dan
atau negatif pada kesehatan penderita diabetes, mengganggu atau memfasilitasi aktivitas
perawatan diri dan berkontribusi atau menpengaruhi stress pada kontrol glikemik
(Mayberry et al, 2012).
Berdasarkan social cognitive theor y Bandura (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk
dukungan sosial berasal dari keluarga yang merupakan salah satu sumber informasi yang
mendukung peningkatan efikasi diri. Efikasi diripada lanjut usia berfokus pada penerimaan
dan penolakan terhadap kemampuannya seiring dengan kemunduran fisik dan intelektual
yang dialami (Bandura, 1994).
Tujuan
Untuk menggambarkan dukungan keluarga, efikasi diri dan kualitas hidup lansia dengan
diabetes melitus tipe 2.
Metoda
Literatur review dengan mengumpulkan jurnal dengan cara melakukan penelusuran jurnal
yang telah terpublikasi pada ProQuest, Ebsco, Google Search, Google Scholar dengan
menggunakan kata kunci Dukungan Keluarga, Self Efficacy, Kualitas Hidup, Lansia
dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal yang diambil mempunyai kemiripan kemudian
analisis. Penelusuran dibatasi terbitan tahun 2005-2015 denga format Fulltext PDF.
Hasil
Hasil penelitian Ariani (2012), didapatkan hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri
(p = 0,010; α = 0,05; 95% CI ; 1,152; 16,286). Menggambarkan bahwa responden yang
mendapatkan dukungan keluarga memiliki peluang 4,97 kali menunjukkan efikasi diri
yang baik dibandingkan responden yang kurang mendapatkan dukungan keluarga. Hasil
Hasil penelitian Nursari (2014) didapatkan efikasi diri sedang dengan kualitas hidup
sedang sebanyak 18 orang (31%). Hasil analisis menggunakan korelasi Spearman Rank
menunjukkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pada peasien DM dengan p
value sebesar 0,000 dan r hitung sebesar 0,678, sehingga dapat diartikan semakin tinggi
efikasi diri pasien DM maka semakin baik kualitas hidupnya. Hasil penelitian Rini (2011)
didapatkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien PPOK di RS Paru Batu
(p value: 0,022 ; α: 0,10). Berdasarkan nilai OR dapat disimpulkan bahwa responden
dengan efikasi diri baik memiliki peluang 3,417 kali menunjukkan kualitas hidup baik
dibandingkan dengan responden yang memiliki efikasi diri tidak baik (CI 95% ; OR:
1,291-9,043). Hasil penelitian Caralise W, et al (2012) didapatkan Self-efficacy secara
signifikan berkorelasi positif dengan pengelolaan diri diabetes [r (150) = 0,40], dukungan
sosial [r (150) = 0,28], dan pemecahkan masalah sosial [r (150) = 0,36] pada p, 0,01.
Diabetes manajemen diri tidak signifikan berkorelasi dengan dukungan sosial atau
pemecahan masalah sosial dalam sampel ini. Hasil penelitian Permatasari (2014)
didapatkan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan perawatan diri lansia
hipertensi (ρ< 0,02), terdapat hubungan antara efikasi diri dan perawatan diri lansia
hipertensi (ρ< 0,00), terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan efikasi diri (ρ< 0,00).
Efikasi diri merupakan faktor yang paling dominan berkontribusi terhadap perawatan diri
dengan nilai (beta 0,28). Terdapat koefisien regresi negatif antara dukungan keluarga dengan
perawatan diri lansia hipertensi -0,02. Dukungan keluarga dan efikasi diri memiliki
pengaruh sebesar 20% terhadap perawatan diri lansia hipertensi.
Pembahasan
American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 menyatakan diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2011).
Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas yang membebaskan glukosa dari
makanan untuk masuk kedalam sel dimana akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan
oleh otot dan jaringan. Seseorang dengan diabetes tidak mampu menyerap glukosa dengan
baik dan sisa glukosa beredar dalam darah sehingga merusak jaringan dari waktu ke waktu.
Banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari penyakitnya, karena butuh waktu
bertahun-tahun gejala dari penyakit tersebut muncul. Mereka didiagnosa ketika telah
terjadi komplikasi diabetes. Orang dengan diabetes tipe 2 semakin berkembang pesat di
seluruh dunia. Peningkatan ini berhubungan dengan perkembangan ekonomi, populasi usia
lanjut, peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan, kurangnya aktivitas fisik dan
perubahan gaya hidup (International Diabetes Federation, 2013, p.23).
Bentuk dukungan keluarga pada penderita DM usia lanjut merupakan bentuk bakti anak
kepada orang tua. Bentuk bakti anak kepada orang tua adalah untuk memuja, merawat dan
memenuhi kebutuhan mereka dimasa tua. Hubungan yang saling mendukung adalah dengan
menyediakan sumber daya dan memfasilitasi manajemen diabetes (Liu, 2012). Berdasarkan
social cognitive theor y Bandura (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk dukungan
sosial berasal dari keluarga yang merupakan salah satu sumber informasi yang mendukung
peningkatan efikasi diri.
Efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu
tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri
menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berperilaku
(Bandura, 1994). Efikasi diri yang dimiliki oleh penderita DM baik atau kurang dapat
dibentuk oleh individu itu sendiri. Adanya keyakinan pada diri pasien DM dapat
ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan mengubah pola pikir tertentu sehingga dapat
mengelola dan meminimalkan gejala yang mereka alami dan meningkatkan kualitas hidup.
Kesimpulan
Dukungan keluarga, self efficacy, dan kualitas hidup penting bagi lansia dengan diabtes
melitus tipe 2, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan
dari ketiga komponen tersebut.
Treesia Sujana
Abstrak
Latar Belakang. Kesehatan maternal dan neonatal merupakan dua masalah kesehatan yang
besaran masalahnya telah mendesak untuk diatasi. Walaupun angka kematian ibu telah menurun
sebanyak 47% dalam sepuluh tahun, tetapi masih ada kurang lebih 287.000 ibu yang meninggal
pada masa ante dan post natal pada tahun 2010.
Tujuan. Tujuan dari kajian literature ini adalah untuk mempelajari strategi promosi kesehatan dari
konteks yang nyata dan melihat faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari program
program yang telah dicanangkan.
Metoda. Studi ini menggunakan metoda strategy literature review dari 20 artikel yang membahas
strategi promosi kesehatan. Sample menggunakan purposive sampling dengan populasi artikel
akademik yang telah melalui proses peer reviewed. Artikel dipilih melalui database artikel
penelitian ProQuest dan melalui proses seleksi dengan penelusuran abstrak dan full text. Sample
dipilih dengan kriteria: memiliki strategi promosi kesehatan; mendeskripsikan evaluasi dari strategi
promosi kesehatan yang diteliti dan ditulis; dan mengimplementasikan strategi promosi kesehatan
di negara negara berkembang dengan pendapatan rendah dan menengah sebagai konteks.
Hasil. Dari ke-20 penelitian intervensi promosi kesehatan didapatkan adanya 4 tujuan besar dari
strategi promosi kesehatan. Penigkatan kesadaran terhadap kesehatan, peningkatan terhadap akses
dan layanan kesehatan Ibu dan anak, mengurangi angka kematian anak, serta analisis pihak pihak
yang berkepentingan dalam kesehatan Ibu dan anak. 13 dari 20 artikel yang diteliti ditemukan
berfokus pada the Ottawa Charter action area yang kedua yaitu promosi kesehatan untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi peningkatan kesehatan.
Kesimpulan. Ada duaj hal penting yang teridentifikasi dari studi ini.pertama adalah bahwa
mengerti konteks dan lokasi pemberian promosi kesehatan itu penting; memiliki pengetahuan
dasar mengenai tahapan perilaku di masyarakat akan memperkaya peneliti dalam menyusun tujuan
dan prioritas. Kedua, memliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mendekati pemegang kebijakan
akan sangat diperlukan dalam pemberian strategi promosi kesehatan the Ottawa Charter action area
yang pertama.
Kata Kunci: kesehatan komunitas, strategi promosi kesehatan, ibu dan anak.
Pendahuluan
Kesehatan maternal dan neonatal merupakan dua masalah kesehatan yang besaran
masalahnya telah mendesak untuk diatasi. Oleh karena itu PBB telah mengembangkan 8
Millenium Development Goals (MDGs) dimana menurunkan angka kematian anak dan
meningkatkan kesehatan ibu menjadi dua fokus pengembangannya (PBB, 2013).
Walaupun angka kematian ibu telah menurun sebanyak 47% dalam sepuluh tahun, tetapi
masih ada kurang lebih 287.000 ibu yang meninggal pada masa ante dan post natal pada
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 101
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
tahun 2010 (WHO, 2013). WHO pada tahun 2013 juga menekankan bahwa penyebab
paling besar dari kematian ibu dapat dihindari, dimana akses untuk mendapatkan layanan
kesehatan maternal dan tidak adanya kesadaran terhadap bahaya bahaya terkait kesehatan
maternal merupakan penyebab kematian yang paling utama. Selain itu angka kematian
anak di dunia juga belum mencapai target yang ditetapkan oleh MDGs yaitu menurunkan
angka kematian anak hingga dua pertiga dalam periode 15 tahun dari 93 anak menjadi 31
anak di setiap 1000 kelahiran pada 2015 (PBB, 2012).
Kesehatan neonatal sendiri sangat tergantung pada kesehatan ibu. Kematian dan kesakitan
neonatal seringkali terkait dengan kesehatan ibu ketika masa kehamilan dan juga terkait
dengan ketrampilan Ibu pada masa neonatal. Apabila kita melihat dari paradigma sehat
(Greg & O'Hara, 2007) kesehatan Ibu merupakan sesuatu yang rumit, semua dimensi
kesehatan Ibu akan mempengaruhi pengetahuan dan ketrampilan Ibu. Oleh demikian,
layanan kesehatan maternal dan neonatal yang terintegrasi akan meningkatkan
kemungkinan menurunnya angka kematian ibu dan anak.
Konteks yang dipilih dari kajian literature terhadap strategi promosi kesehatan ini adalah
negara negara berkembang yang terindikasi memiliki berbagai faktor penentu kesehatan
yang diakibatkan oleh situasi yang kurang menguntungkan. Terlebih lagi infrastruktur
yang kurang dan kondisi sosial ekonomi di negara negara berkembang terindikasi sebagai
kontributor paling besar terhadap angka kematian ibu dan neonatal. Laporan MDGs
membuktikan bahwa negara negara Sub-Sahara Afrika dan wilayah Asia Tenggara terdata
sebagai negara dengan angka kematian maternal dan anak dibawah lima tahun yang tinggi
di dunia (PBB Laporan MDGs, 2012). Struktur dari kajian literature ini dimulai dengan
penjelasan singkat dari hasil analisa dari 20 artikel hasil penelitian yang disajikan di dalam
bagan. Penemuan dari analisa kemudian dikembangkan dan didukung dengan literature
pendukung pada bagian diskusi. Akhirnya penekanan kembali dari tujuan dan keuntungan
dari studi ini akan dijelaskan di kesimpulan.
Tujuan
Studi ini akan menganalisa strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan di area
kesehatan maternal dan neonatal. Tujuan dari kajian literature ini adalah untuk
mempelajari strategi promosi kesehatan dari konteks yang nyata dan melihat faktor faktor
yang mempengaruhi keberhasilan dari program program yang telah dicanangkan. Kajian
literature ini juga akan melihat kemungkinan dari adanya proses adaptasi dan
pengembangan strategi strategi promosi kesehatan baru.
Metoda
Studi ini menggunakan metoda strategy literature review dari 20 artikel yang membahas
strategi promosi kesehatan. Sample pada studi ini menggunakan purposive sampling
dengan populasi artikel artikel akademik yang telah melalui proses peer reviewed. Artikel
dipilih melalui database artikel penelitian ProQuest dan melalui proses seleksi dengan
penelusuran abstrak dan full text. Sample kemudian dipilih dengan kriteria : memiliki
strategi promosi kesehatan; mendeskripsikan evaluasi dari strategi promosi kesehatan yang
diteliti dan ditulis; dan mengimplementasikan strategi promosi kesehatan di negara negara
berkembang dengan pendapatan rendah dan menengah sebagai konteks. Setelah proses
seleksi maka 20 artikel penelitian pengkajian strategi promosi kesehatan dengan konteks
Ke-20 artikel yang terpilih kemudian di analisa dengan metoda pengkategorian yang
memilah informasi pada setiap artikel. Pengkategorian pada studi ini ditentukan sesuai
dengan ide ide penting yang kemudian muncul pada proses awal analisa yang kemudian
dikaitkan dengan the Ottawa Chatter action area, yang merupakan area fokus promosi
kesehatan dunia yang ditetapkan pada tahun 1986 di Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan yang pertama di Ottawa.
Hasil
Dari tahap membaca dan menyeleksi awal dari setiap artikel yang diteliti, pengkategorian
mengarah kepada beberapa kategori besar yaitu: tujuan promosi kesehatan; konteks dari
lokasi promosi kesehatan; pertanyaan penelitian dan hipotesa; strategi promosi kesehatan
dan teori yang mendukung; fokus pada the Ottawa Charter action area, hasil dan metoda
evaluasi; serta kekuatan dan kelemahan dari strategi promosi kesehatan yang digunakan.
Beberapa strategi lain seperti kunjungan rumah oleh perawat, adanya koperasi simpan
pinjam bagi keperluan persalinan, serta intervensi dengan program Nasional yang
dicanangkan pemerintah merupakan strategi promosi kesehatan lain yang teridentifikasi
dalam studi ini. Strategi strategi tersebut tidak tercatat sebagai strategi yang berdampak
signifikan terhadap kesehatan ibu dan anak. Program nasional yang berkaitan dengan
kesehatan ibu dan anak ditemukan memberikan perubahan pada perilaku kesehatan ibu,
tetapi tidak teridentifikasi menurunkan angka kematian ibu dan bayi secara langsung
dalam periode tertentu.
Terdapat lima buah artikel yang menekankan terhadap strategi promosi kesehatan dari
sudut pandang pengambil kebijakan, dimana terdapat program program Nasional yang
dicanangkan di masing masing lokasi penelitian dan mengkaji keberhasilan program
program tersebut dengan provinsi lain sebagai kontrol. Semua strategi promosi kesehatan
yang dilakukan teridentifikasi memiliki framework yang kuat sebagai landasan dalam
melakukan intervensi di masyarakat. Tetapi terdapat adanya keterbatasan dalam
implementasi strategi dan diperlukan tindakan lanjutan bagi keefektifan strategi ini.
Pembahasan
Hasil analisa dari 20 strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan memperlihatkan
bahwa semua strategi promosi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
individu; meningkatkan akses dan layanan kesehatan maternal dan neonatal yang
menurunkan angka mortalitas dan memperkuat analisa pihak pihak yang berkepentingan
dalam memberi keputusan pencanangan strategi. Sebagian besar strategi promosi
kesehatan yang muncul dilakukan berdasarkan evaluasi dari implementasi promosi
kesehatan sebelumnya atau strategi yang diadaptasi dari setting yang lain.
Beberapa strategi terkait dengan the Ottawa Charter action area 1, yaitu membangun
kebijakan yang sehat. Hampir semua strategi strategi yang terkait dengan the Otthawa
Charter area 1 ini menganalisa kebijakan ibu dan anak dan mendokumentasijan efek dari
strategi maternal dan neonatal. Untuk dapat mengkomunikasikan kebijakan dengan
pemerintah, kita harus mampu membangun ulang permasalahan dan memiliki pengetahuan
yang akan membawa kita terhadap pemecahan masalah. Akan tetapi beberapa strategi
tidak menyertakan theoritical framework untuk startegi promosi kesehatan yang
dicanangkan sehingga seringkali tidak mencapai tujuan spesifik dan tidak mendalam.
Proses evaluasi seringkali hanya dihitung dari satu faktor dan memiliki hasil yang bias.
Kesimpulan
Kajian literatur ini telah memberikan gambaran akan beberapa pengembangan strategi
promosi kesehatan ibu dan anak di negara berkembang seperti Indonesia. Evaluasi dari
setiap strategi mendeskripsikan kebehrasilan dari setiap strategi dan intervensi yang
diimplementasikan di masyarakat. Beberapa hal yang sangat penting dari kajian ini adalah
bahwa: mengerti konteks dan lokasi pemberian promosi kesehatan itu penting; memiliki
pengetahuan dasar mengenai tahapan perilaku di masyarakat akan memperkaya peneliti
dalam menyusun tujuan dan prioritas. Kedua, memliki pengetahuan dan ketrampilan dalam
mendekati pemegang kebijakan akan sangat diperlukan dalam pemberian strategi promosi
kesehatan the Ottawa Charter action area yang pertama. Keberlanjutan dari pelaksanaan
kebijakan perlu dilakukan dan dikembangkan dalam pengembangan konsep intervensi aksi
promosi kesehatan. Ketiga, memiliki theoritical framework yang dapat memfokuskan
intervensi pada tujuan dan akan memntukan bentuk intervensi yang akan dilakukan.
Dengan mempertimbangkan hal hal ini penetapan tujuan yang mendalam dan sesuai
dengan konteks serta intervensi yang nyata dapat dilakukan di masyarakat. Hal ini akan
mengarah kepada tujuan yang paling utama yaitu menurunkan angka kematian ibu dan
anak di komunitas.
Domianus Namuwali
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
Email : domianus2012@gmail.com
Abstrak
Latar Belakang. Pada tahun 2014 ada sekitar 8,6 kasus TB paru di seluruh dunia. Pengobatan TB
paru selama 6 bulan. Kemungkinan penderita tidak patuh minum obat sangat besar karena waktu
pengobatan lama, jumlah obat yang banyak, efek samping, kurang kesadaran penderita akan
penyakitnya dan pasien tidak mengambil obat karena lupa. penggunaan sms dan telepon pengingat
memiliki potensi untuk membantu mempromosikan kapatuhan pengobatan Tuberkulosis.
Tujuan. untuk mengetahui pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan
pasien minum obat anti Tuberkulosis paru.
Metode. Metode penelitian yang digunakan adalah literatur review terhadap hasil penelitian yang
berkaitan dengan pengaruh penggunaan sms dan telepon terhadap kepatuhan pasien minum obat
tuberkulosis yang dipublikasi pada pangkalan data (data base) EBSCO, dan PubMed, artikel yang
dipilih merupakan artikel bahasa Inggris yang terbit sejak tahun 2011 sampai tahun 2014.
Hasil. Hasil pencarian pada pangkalan data, artikel yang ditemukan sebanyak 16 dan hanya 5
artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil dari artikel yang ditemukan adalah pengaruh
penggunaan sms terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berkisar 72,94 % - 100% dan
pengaruh penggunaan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat berkisar 66 % 100%.
Kesimpulan. Penggunaan sms dan telepon pengingat efektif untuk meningkatkan kepatuhan
minum obat pada penderita tuberkulosis
Pendahuluan
Tuberkulosis adalah Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis(Depkes RI, 2005).penyakit Tuberculosis ditularkan ke orang
lain melalui inhalasi. (Liu et al., 2014) Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan
masyarakat dunia. Pada laporan WHO tahun 2014 menyebutkan bahwa penduduk
diseluruh dunia yang menderita TB Paru sebanyak 6.1 juta kasus TB dan terdapat 5.7
juta kasus baru dan kasus TB kambuh. India dan Cina menyumbang 37 % dari 5,7 juta
dan sisanya terdapat di beberapa negara seperti Negara-negara Afrika, Eropa, Amerika
Dan Asia Tenggara (WHO, 2014).
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dilaporkan pada tahun 2014
penduduknya berjumlah 252.124.458 jiwa dan dari jumlah tersebut yang menderita TB
Paru sebanyak 285.254 jiwa dan terdapat 176.677 kasus baru TB Paru BTA Pisitif
176.677. Pada tahun 2014 cakupan angka kesembuhan penderita TB Paru sebanyak 74,2%.
(Kemenkes RI, 2015). Pengobatan TB berlangsung enam sampai delapan bulan dan dapat
mengakibatkan efek samping yang sulit seperti mual, pusing, ruam kulit, dan gejala seperti
flu. Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan sangat penting untuk pengendalian TB.
Kegagalan dalam mematuhi pengobatan dapat mengakibatkan pasien terus menularkan
Pasar ponsel global seluler saat ini sekitar 1,8 milyar pelanggan dan diperkirang 3 milyar
pada akhir tahun 2010 (Reid dan Reid dalam Liliweri Alo, 2015). Ponsel mengambil alih
semua usaha untuk menjawab pikiran perasaan dan tindakan pengguna pada tingkat
regional dan internasional. Ponsel telah mengubah cara dimana semua interaksi
antarpersonal dapat terjadi dalam suatu masyarakat, karena itu pandangan sosiologis
kehadiran ponsel sangat relevan.(Liliweri Alo, 2015). Berdasarkan fenomena diatas maka
dirumuskan pertanyaan klinis dalam bentuk PICO (Patients/Problem, Intervention,
Comparison, Outcome). Dalam jurnal ini, P: pasien TB Paru, I: DOTS dengan SMS dan
telepon pengingat, C: DOTS Standar tanpa pengingat O: Kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis paru. Dari PICO dapat diformulasikan pertanyaan klinis menjadi “apakah ada
pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat antit
tuberkulosis ?“. Untuk mendapatkan bukti terbaik tentang penggunaan ponsel (telpon
seluler) dalam bentuk sms dan telpon sebagai salah satu intervensi untuk mempromosikan
kepatuhan pengobatan TB peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan sistimatic
review.
.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan SMS dan
telepon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat anti Tuberkulosis paru.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah Systematic/literatur review, studi evaluasi,
Random Control Trial terhadap artikel tentang penggunaan pesan singkat (SMS) dan
telpon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat Tuberkulosis. Pencarian jurnal
penelitian dilakukan dengan menggunakan pencarian literatur pada pangkalan data (data
base) EBSCO dan PubMed. Jurnal yang dipilih adalah jurnal berbahasa Inggris yang
Hasil
Artikel yang ditemukan melalui pencarian data pada pangkalan data ESBCO dan PubMed
sebanyak 5 artikel yang terdiri 2 artikel dengan jenis penelitian sistimatic review dan 1
artikel dengan jenis penelitian study evaluasi dan 2 artikel dengan jenis penelitian
Random Control Trial (RCT). Hasil dari artikel yang ditemukan adalah pengaruh
penggunaan sms terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berkisar 72,94 % -
100% dan pengaruh penggunaan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat
berkisar 66 % 100%. Hasil lengkap dari lima artikel dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Penggunaan sms dan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat anti tubekulosis
Desain,
Sampel,
No Judul Penulis Cara Hasil
menganalisa
data
Mobile phone Mweete D Nglazi Desain: Hasil dari 4 artikel akan diuraikan sebagai
text messaging Linda Gail Bekker, Sistimatic berikut :
for promoting Robin Wood, review 1. Bridges.org: Evaluation of the On Cue
adherence to Gregory D Hussey Compliance Service pilot: Testing the
antituberculosis Charles S Sampel: Use of SMS Reminders in the Treatment
treatment: Wiysonge 4 artikel of Tuberculosis in Cape Town, South
a systematic dengan 565 Africa . Cape Town. Cape Town:
review protocol responden Bridges.org; 2005. Hasil dari penelitian
ini keberhasilan pengobatan pada
Tahun: 2013 Analisa data kelompok yang di invensi SMS sebesar
dengan 72,94% dan kelompok DOTS 69,4%
menggunakan dan tingkat tingkat penyelesaian
Cochrane pengobatan TB lebih tinggi pada
Collaboration kelompok intervensi SMS sebesar
Review 10,59 % dibandingkan dengan DOTS
Manager 3,0%.
version 5.1 2. Broomhead S, Mars M: Retrospective
return on investment analysis of an
electronic treatment adherence device
piloted in the Northern Cape Province.
Hasil dari penelitian adalah tingkat
kesembuhan TB secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok SIMpill® -
Pembahasan
Kunci keberhasilan pengobatan TB adalah Kepatuhan (adherence) penderita terhadap
farmakoterapi. Kemungkinan penderita TB tidak adherence sangat besar, karena
pemakaian obat jangka panjang, jumlah obat yang diminum perhari, efek samping yang
mungkin timbul dan kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya. Bentuk-bentuk non
adherence terhadap farmakoterapi bagi penderita TB diantaranya : Tidak mengambil
obatnya, Minum obat dengan dosis yang salah, Minum obat pada waktu yang salah, Lupa
minum obat, Berhenti minum obat sebelum waktunya. (Depkes RI, 2005)
Penggunaan pesan teks (SMS) dan telepon untuk promosi kepatuhan pengobatatan telah
dilakukan penelitian pada berbagai penyakit antara lain : hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sarah Iribarren tahun et al tahun 2013 menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan lebih
pada pasien yang menggunakan pesan teks dibandingkan dengan pasien yang
menggunakan buku harian obat.(Iribarren et al., 2013). Penelitian lain yang berkaitan
dengan penggunaan ponsel dilakukan oleh (Elangovan & Arulchelvan, 2013), S
Arulchelvan tahun 2013 menyebutkan mayoritas pasien menggunakan untuk memanggil
petugas kesehatan untuk memperjelas keraguan mereka pada efek samping, makanan, dan
gejala penyakit. Supervisor pengobatan TB efektif menggunakan ponsel untuk menasihati
pasien agar mematuhi rejimen pengobatan.(Elangovan & Arulchelvan, 2013)
Promosi kepatuhan pengobatan TB paru melalui pesan teks (SMS) dapat dikirim
mingguan atau harian pada pasien untuk mengingatkan mereka minum obat, komunikasi
satu arah atau komunikasi interaktif dua arah yaitu pasien dapat menerima dan membalas
pesan. Pesan teks /sms dapat digunakan untuk memberitahukan penyedia layanan
kesehatan bahwa pasien telah mengambil obat (Nglazi et al., 2013).
Hasil dari literatur review ini memberikan bukti pada pembuat kebijakan agar mengadopsi
intervensi penggunaan SMS dan telpon pengingat terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis. Penggunaan intervensi ini dapat dikombinasikan dengan intervensi lain yang
mempunyai bukti dari hasil penelitian. Review literatur ini perlu dikembangan dengan
melakukan penelitian lebih lanjut diwaktu yang akan datang dengan mempertimbangkan
lokasi penelitian, konten(isi) waktu pesan, pesan perlu dibalas atau tidak, pesan dikirim
secara otomatis atau manual dan ukuran sampel.
Daftar Pustaka
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical care Untuk Penyakit Tuberkulosis (pp. 1–110).
Jakarta.
Elangovan, R., & Arulchelvan, S. (2013). Original Article A Study on the Role of Mobile
Phone Communication in Tuberculosis DOTS Treatment, 38(4). http://doi.org/
10.4103/0970-0218.120158
Iribarren, S., Beck, S., Pearce, P. F., Chirico, C., Etchevarria, M., Cardinale, D., &
Rubinstein, F. (2013). TextTB : A Mixed Method Pilot Study Evaluating
Acceptance, Feasibility , and Exploring Initial Efficacy of a Text Messaging
Intervention to Support TB Treatment Adherence, 2013.
Kemenkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. (2015). Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan). Retrieved
September 3, 2015, from http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/
profil-kesehatan-indonesia/data-dan-informasi-2014.pdf
Liliweri Alo. (2015). Komunikasi Antar Personal (Edisi Pert, pp. 331–336). Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Liu, Q., Abba, K., Mm, A., Sinclair, D., Vm, B., & Mad, L. (2014). Reminder systems to
improve patient adherence to tuberculosis clinic appointments for diagnosis and
treatment (Review) SUMMARY OF FINDINGS FOR THE MAIN
COMPARISON, (11).
Mbuagbaw, L., Kop, M. L. Van Der, Lester, R. T., Thirumurthy, H., Pop-eleches, C., Ye,
C., & Smieja, M. (2013). Mobile phone text messages for improving adherence to
antiretroviral therapy ( ART ): an individual patient data meta-analysis of
randomised trials. http://doi.org/10.1136/bmjopen-2013-003950
Nglazi, M. D., Bekker, L., Wood, R., Hussey, G. D., & Wiysonge, C. S. (2013). Mobile
phone text messaging for promoting adherence to anti-tuberculosis treatment : a
systematic review protocol. http://doi.org/10.1186/2046-4053-2-6
WHO. (2014). Global Tuberculosis Report. Retrieved from http://apps.who.int/
iris/bitstream/10665/137094/1/9789241564809_eng.pdf
Umi Setyoningrum
Abstrak
Latar belakang : Perilaku seksual pra nikah pada remaja semakin meningkat dan memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan remaja. Hal tersebut di pengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah peran dan fungsi keluarga yang tidak berfungsi secara maksimal. Sehingga
remaja mencari pemenuhan peran dan fungsi keluarga di luar. Berdasarkan data dari Badan KBPP
tahun 2010 angka pernikahan dini d bawah usia 19 tahun mencapai angka 46%. Hal ini membutuhkan
perhatian khusus berkaitan dengan beberapa ancaman permsalahan pada remaja.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan peran dan fungsi keluarga terhadap perilaku Seksual Pra Nikah
pada remaja.
Metode : systematik review dengan cara melakukan penelusuran artikel publikasi pada Google
scholar, dengan kata kunci yang dipilih, Penelusuran dibatasi pada terbitan tahun 2000-2014 dengan
format fulltext PDF. Kriteria inklusi : Remaja dengan perilaku seks dan kriteria eksklusi : peran dan
fungsi keluarga. Artikel yang sesuai kemudian dianalisis menggunakan critical appraisal tool yang
sesuai untuk hasil penelitian RCT untuk menilai kualitas penelitian. Data diekstraksi dari artikel lalu
dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan.
Hasil : Temuan berupa 4 buah artikel dengan rincian 4 artikel memiliki kualitas tinggi. Didapatkan
adanya hubungan peran dan fungsi keluarga terhadap perilaku seksual pra nikah pada remaja.
Diantaranya fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi reproduksi, fungsi perlindungan.
Kesimpulan : Diantara beberapa fungsi keluarga yang tidak optimal akan memberikan dampak pada
perilaku seks bebas pada remaja.
Kata Kunci : Peran dan Fungsi Keluarga, Perilaku Seksual Pra Nikah, Remaja
Pendahuluan
Perkembangan usia remaja semakin meningkat, hal ini beresiko terhadap munculnya
permasalahan terhadap remaja salah satunya yaitu perilaku seks pra nikah. Pemasalah ini bisa
disebabkan karena faktor keluarga yaitu terkait dengan peran dan fungsi keluarga.
Berdasarkan PP No 21 tahun 20 tahun 1994 yang sedang digalakkan oleh BKKBN terdapat
delapan fungsi keluarga yaitu : fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih,
fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan
fungsi pembinaan sosial. Keluarga merupakan lembaga yang paling utama dalam
pembentukan nilai dan norma sebelum remaja masuk dalam lingkungan masyarakat. Masa
remaja merupakan masa dimana mereka bersikap sesuka hati selama itu membuat mereka
merasa senang tanpa memikirkan dampak terburuk dari kejadian atau peristiwa yang mereka
alami. Menurut Supriyatna (2009), perubahan yang terjadi pada masa remaja berlangsung
sesuai kodrat manusia yang mana masih membutuhkan bantuan, bimbingan dan pertimbangan
dari orang sekelilingnya.
Tujuan
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara peran dan fungsi keluarga tehadap perilaku
seks pranikah pada remaja.
Hasil
Perilaku menyimpang pada remaja ada kaitannya dengan peran dan fungsi keluarga, karena di
dalam keluarga orang tua sangat menentukan perilaku remaja saat ini. Dari beberapa penelitian
yang sudah dilakukan di peroleh beberapa fungsi yang dominan mempengaruhi perilaku seks
pra nikah pada remaja yaitu : fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi
seksual,
Pembahasan
Terjadinya perilaku seks pra nikah pada remaja merupakan gejolak kehidupan yang
disebabkan karena perubahan sosial di masyarakat. Perubahan tersebut bisa berawal dari tidak
optimalnya peran dan fungsi keluarga. Keluarga mempunyai pengaruh terhadap kejadian
perilaku seks bebas pada remaja, untuk itu perlu adanya peningkatan komunikasi dan
keharmonisan dalam lingkungan keluarga. Serta adanya pengoptimalan fungsi keluarga.
Pada fungsi afeksi, keluarga mempunyai kewajiban memberikan kasih sayang pada semua
anggota keluarganya. Sehingga masing-masing anggota keluarga merasa dihargai dan dicintai.
Apabila hal tersebut tidak terbentuk dalam keluarga maka anak cenderung mencari fungsi
afeksi di luar. Fungsi sosialisasi, berperan mendidik anak dari awal pertumbuhan dan
perkembangan sampai terbentuk kepribadian. Anak mendapatkan pengetahuan dari orang tua
tentang sosialisasi sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak, pantas atau tidak pantas, baik atau
tidak baik, karena faktor kesibukan orang tua hal tersebut sering terabaikan. Sehingga
membuat orangtua kadang lebih mempercayakan pada lembaga pendidikan sekolah. Fungsi
perlindungan, berkewajiban melindungi seluruh anggota keluarga antara satu dengan yang
lainnya. seluruh anggota keluarga saling bekerja sama melindungi sehingga tercipta
kenyamanan dalam keluarga. Fungsi seksual, perlu adanya pendidikan atau pengetahuan
seksual sejak dini sehingga anak akan memahami setiap perubahan secara fisik selama proses
pertumbuhan dan perkembangannya.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian mengenai disfungsi keluarga perlu adanya komunikasi dan
hubungan yang efektif antara orang tua dan anak-anaknya, sehingga akan tercipta
keharmonisan dalam keluarga. Hal tersebut untuk meminimalkan kenakalan remaja di luar
rumah yang tidak bisa terpantau secara maksimal oleh orang tua. Akan tetapi hal tersebut bisa
diantisipasi dengan adanya pelaksanaan fungsi keluarga yang baik serta peran orang tua yang
sesuai.
Saran
Sebaiknya para orang tua membekali anak-anak mereka terutama yang telah beranjak dewasa
dengan ajaran-ajaran agama, nilai dan norma serta memberikan edukasi dampak negatif dari
perilaku seks bebas terutama pada anak usia karena pada masa itu mereka memilki rasa ingin
tahu yang berlebih. Orang tua juga harus menjalankan fungsi keluarga (afeksi) seperti
memberikan kasih sayang yang penuh terhadap anak-anak mereka, sehingga anak-anak
mereka terlebih yang telah berusia remaja merasa bahagia dengan keluarga merasa nyaman
dengan suasana rumah daripada di lingkungan luar rumah. Menjadikan anak-anak mereka
terutama para remaja tidak terjerumus ke dalam bahaya pergaulan bebas seperti seks pranikah.
Daftar Pustaka
Mellyanika Dita, 2014. Disfungsi Keluarga Dalam Perilaku Hubungan Seks Pra Nikah
Remaja Di Kota Samarinda Kalimantan Timur . eJournal Sosiatri, 2014, 2(1): 22-34.
Rochaniningsih Sri N, 2014. Dampak Pergeseran Peran Dan Fungsi Keluarga Pada Perilaku
Menyimpang Remaja. Jurnal Pembangunan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi : 59-71.
Irmawaty Lenny, 2013. Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa . Jurnal Kemas 9 (1)
(2013) 44-52.
Ahmad Taufik, 2013. Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seks Pranikah (Studi Kasus SMK
Negeri 5 Samarinda). eJournal Sosiatri-Sosiologi, 2013, 1 (1): 31-44.
Abstrak
Latar Belakang. Peningkatan angka HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh perilaku seksual
tetapi juga penggunaan narkoba suntik bersama-sama. Di Indonesia, jumlah pengguna narkoba
sekitar 35% adalah siswa SMA dan 30% siswa SMP, sehingga siswa merupakan salah satu
kelompok beresiko. Kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab tingginya angka
HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang
diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa.
Metoda. Penelitian ini merupakan eksperimen semu (quasi eksperiment) dengan desain non
equivalent control group atau non random control group pretest posttest. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Sampel penelitian
meliputi 84 siswa di SMA Setiabudi Semarang dengan menggunakan purposive sampling sebagai
teknik pengambilan sampel. Analisa data yang digunakan adalah analisa bivariat, Wilcoxon Match
Pair Test.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesudah pemberian pendidikan kesehatan, jumlah
responden yang memiliki pengetahuan tinggi meningkat sebesar 83,6% dengan p value 0,000 dan
jumlah responden yang memiliki sikap baik meningkat sebesar 4,7% dengan p value 0,000.
Kesimpulan. Hasil tersebut menunjukkan terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat
disarankan supaya dilakukan penelitian lain tentang metode yang lebih mempengaruhi sikap siswa
terhadap HIV/AIDS.
Pendahuluan
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit mematikan yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV/AIDS menyerang sistem kekebalan manusia dan
menghancurkannya (Kurniawati, 2007). HIV/AIDS tidak hanya menular melalui hubungan
seksual, tetapi juga melalui penggunaan narkoba suntik bersama-sama. Sekitar 5-10 %
penularan HIV/AIDS melalui alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika
suntik) (Sasongko, 2009). Di Indonesia, jumlah pengguna narkoba sekitar 35% adalah
siswa SMA dan 30% siswa SMP (Badan Narkotika Nasional, 2003). Pendidikan kesehatan
tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang diharapkan mampu meningkatkan
pengetahuan dan sikap siswa. Pendidikan kesehatan merupakan usaha atau kegiatan untuk
membantu individu, kelompok, dan masyarakat meningkatkan kemampuan baik
pengetahuan, sikap maupun keterampilan untuk mencapai hidup sehat secara optimal
(Herawani, 2001). Kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab tingginya angka
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa di SMA Setiabudi Semarang.
Metoda
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan
menggunakan desain non equivalent control group atau non random control group pretest
posttest. Dalam desain ini sebelum diberikan pendidikan kesehatan terlebih dahulu
dilakukan pembagian sampel menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kemudian dilakukan pretest, setelah itu untuk kelompok eksperimen
diberi intervensi yaitu pemberian pendidikan kesehatan sedangkan kelompok kontrol tidak.
Setelah program pemberian pendidikan kesehatan selesai, dilakukan post-test pada kedua
kelompok karakteristik sampel dengan jangka waktu kurang lebih 1 bulan.
Populasi penelitian ini adalah siswa SMA Setiabudi Semarang yang berjumlah 514 orang.
Kemudian dari jumlah subjek ini dilakukan pemilihan calon responden dengan
menggunakan purposive sampling dengan kriteria : (1) Siswa kelas X SMA Setiabudi
Semarang; (2) Siswa yang belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS selama 1 tahun terakhir; (3) Siswa yang bertempat tinggal atau bersekolah di
sekitar lingkungan prostitusi; (4) Siswa yang tidak pernah atau jarang mendapatkan
informasi tentang HIV/AIDS dari berbagai sumber informasi. Sampel yang digunakan
adalah 84 orang. Peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah
diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis
univariat dan bivariat menggunakan Wilcoxon Match Pair Test.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terdiri dari 17 laki-laki
dan 25 perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol terdiri dari 22 laki-laki dan 20
perempuan. Umur responden berkisar antara 15-18 tahun dan mayoritas berumur 16 tahun
baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.
Uji analisa statistik pada pengetahuan kelompok eksperimen menggunakan uji Wilcoxon
Match Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi
0,000 (p=0,000) yang berarti ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah pemberian
pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok eksperimen. Uji analisa statistik
pada pengetahuan kelompok kontrol menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan
tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,009 (p=0,009) yang
berarti ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS pada kelompok kontrol.
Uji analisa statistik pada pengetahuan menggunakan uji Mann-Whitney dengan tingkat
kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,000 (p=0,000) yang berarti ada
perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
Pembahasan
Karakteristik Responden
Proporsi jenis kelamin responden antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda,
karena proporsi siswa menurut jenis kelamin di SMA Setiabudi Semarang sendiri tidak
terlalu jauh berbeda dan pihak sekolah lebih cenderung menyeimbangkan jumlah siswa
laki-laki dan perempuan di setiap kelas dengan cara mengatur pembagian siswa pada saat
kenaikan kelas dengan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang cukup seimbang di
setiap kelas dan hal ini dilakukan oleh bagian kesiswaan.
Sebagian besar responden berumur 16 tahun. Umur sekitar 16 tahun adalah masa dimana
siswa sebagai remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar akan sesuatu hal yang baru.
Dengan demikian, diharapkan bahwa proses belajar siswa menjadi lebih mudah dan
efektif, karena siswa akan berusaha memuaskan rasa keingintahuannya itu dengan
memperhatikan informasi yang diberikan pada saat pendidikan kesehatan dan berusaha
bertanya tentang hal-hal yang memancing keingintahuan. Namun, di samping itu rasa
keingintahuan yang besar dapat pula memancing remaja untuk mencoba sesuatu hal yang
baru, sekalipun hal tersebut adalah perilaku yang buruk, misalnya penyalahgunaan narkoba
atau bahkan perilaku seks bebas yang merupakan salah satu cara yang beresiko
menularkan HIV/AIDS.
Sikap memiliki beberapa tingkatan yaitu menerima (receiving) yaitu seseorang mau dan
memperhatikan stimulus, merespon (responding) yaitu seseorang memberikan jawaban
ketika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah indikator
level ini, menghargai (valuing) yaitu seseorang mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu masalah, bertanggung jawab (responsible) yaitu seseorang
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilih dengan segala risiko yang merupakan
sikap yang paling tinggi. Pendidikan kesehatan mampu mempengaruhi sikap seseorang
sampai pada tingkatan menerima (receiving) yaitu mau dan memperhatikan stimulus dan
merespon (responding) dengan memberikan jawaban ketika ditanya walaupun belum
sampai pada tahapan menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu objek ataupun bertanggung jawab (responsible) atas segala
sesuatu yang dipilih dengan segala risiko yang merupakan tingkatan sikap tertinggi (11).
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok
eksperimen, terdapat lebih banyak responden perempuan, sedangkan pada kelompok
kontrol, terdapat lebih banyak responden berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa berdasarkan umur, pada kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol, responden paling banyak berumur 16 tahun. Berdasarkan hasil penelitian,
pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai salah
satu usaha untuk membantu individu meningkatkan kemampuan dalam hal pengetahuan.
Pendidikan kesehatan juga dapat mempengaruhi sikap individu dan dapat dijadikan
sebagai salah satu usaha untuk membantu individu mengubah sikap dengan tetap
memperhatikan faktor-faktor eksternal lain yang membentuk sikap secara utuh. Selain itu
dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan
Bagi pihak sekolah hendaknya membekali siswa tentang pengetahuan HIV/AIDS dan
meningkatkan pembinaan sikap siswa agar terhindar dari perilaku yang beresiko
menularkan HIV/AIDS serta meningkatkan pembinaan sikap siswa terhadap penderita
HIV/AIDS dan orang terdekat penderita HIV/AIDS. Bagi institusi kesehatan agar
membuat dan melaksanakan program pencegahan meningkatnya perilaku yang beresiko
menularkan HIV/AIDS seperti penyalahgunaan narkoba dan seks bebas dengan melakukan
pendidikan kesehatan di sekolah-sekolah dengan materi dan metode yang bervariasi
seputar HIV/AIDS. Untuk penelitian selanjutnya perlu diadakan penelitian yang lebih
mendalam tentang bagaimana cara untuk meningkatkan sikap remaja terhadap HIV/AIDS
selain dengan pendidikan kesehatan, misalnya dengan metode diskusi kelompok atau
bermain peran dan mengambil responden dengan jumlah yang lebih banyak dan apabila
menggunakan responden kontrol, akan lebih baik bila menggunakan responden kontrol
yang berada dilokasi yang berbeda dengan responden eksperimen, tetapi memiliki
karakteristik yang hampir sama.
Daftar Pustaka
Badan Narkotika Nasional. Narkoba Suntik pada Remaja SMA di Bandung . Jakarta :
BNN-IASTP. 2003.
Herawani. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan . Jakarta : EGC. 2001.
Kurniawati, N.D, S.Kep, Ns. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
Jakarta : Salemba Medika. 2007.
Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Prinsip-Prinsip Dasar . Jakarta : PT.
Rineka Cipta. 2003.
Notoatmojo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2003.
Sarwono, S.W. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta :
Balai pustaka. 1999.
Sasongko, Adi, dr. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Petra.ac.id. Diakses tanggal 9
Januari 2009. http://www.petra.ac.id/science/aids/aids2.htm
Abstrak
Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue(DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit
menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama Negara berkembang. Kejadian
DBD di Indonesia terjadi peningkatan setiap tahun yang menimbulkan Kejadian Luar
Biasa dan dampak sosial dan ekonomi dimasyarakat.Pencegahan DBD diperlukan untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.Pencegahan DBD dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya pelaksanaan tugas kesehatan keluarga.
Tujuan. Mengetahui hubungan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan
DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk
Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi. Populasi
penelitian ini adalah semua jumlah KK yang ada di Desa Wonosari. Sampel sebanyak 81
KK dengan teknik cluster random sampling. Analisa data menggunakan Kendal Tau.
Hasil.. Hasil penelitian diperoleh 79% keluarga mengenal masalah dengan baik tentang
DBD, 87% keluarga mengambil keputusan dengan baik, 50,6% keluarga dalam kategori
baik melakukan perawatan penegahan DBD, 84% kategori baik dalam memodifikasi
lingkungan sesuai syarat kesehatan, dan 77,8% kategori baik dalam memanfaatkan
pelayanan. 85,2% responden kategori baik dalam pencegahan DBD.
Kesimpulan. Terdapat hubungan pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga dengan
pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk dengan arah hubungan positif dan
p value = 0,027 atau p< 0,05.
Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit
menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang.Penyakit
ini banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia.Insidensi DBD
meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir ini.Populasi DBD di dunia
meningkat lebih dari 40%. World Health Organization (WHO, 2013) menjelaskan, sekitar
2,5 milyar orang, atau 40% merupakan population at risk DBD. WHO memperkirakan 50
sampai 100 juta terinfeksi virus DBD setiap tahunnya, ditemukan 500.000 kasus DBD dan
22.000 kematian, sebagian besar di antara anak-anak. Anomali iklim dan buruknya
penanganan lingkungan yang menyebabkan kasus DBD meningkat di masyarakat.Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama jumlah penderita DBD
setiap tahunnya. WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD pada
urutan keempat tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2011).
Peningkatan IR DBD yang terjadi setiap tahun menimbulkan dampak sosial dan ekonomi
di masyarakat. Kerugian sosial yang terjadi antara lain kepanikan dalam keluarga,
kematian anggota keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup. Dampak ekonomi yang
langsung dirasakan oleh penderita DBD adalah biaya pengobatan. Dampak yang tidak
langsung adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain dikeluarkan seperti
transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita (Kemenkes RI, 2013). Untuk
mengurangi dampak tersebut diperukan upaya pengendalian masalah DBD.
Pengembangan kebijakan nasional penanggulangan DBD dilakukan dengan berbagi cara:
mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di berbagai tingkat
administrasi, penanggulangan DBD masuk dalam standar pencapaian minimum (SPM)
bidang kesehatan di kabupaten kota sehingga upaya pengendalian operasional dan non-
operasional menjadi tanggung jawab kabupaten kota sesuai dengan peranturan menteri
kesehatan RI Nomor. 174 Tahun 2008.Hasil dari program di atas belum dapat
dilaksanakan secara maksimal, karena keluarga maupun masyarakat hanya
mengaplikasikan program 3M saja, dan itupun belum dilakukan semua keluarga (Dirjen
P2P Kemenkes RI, 2012).
Upaya pemberantasan DBD dapat berhasil apabila seluruh masyarakat berperan secara
aktif dalam PSN DBD. Gerakan PSN DBD merupakan bagian yang paling penting dari
keseluruhan upaya pemberantasan DBD oleh keluarga/masyarakat. Hasil dari PSN
menunjukkan bahwa pemberantasan jentik melalui kegiatan PSN DBD dapat
mengendalikan populasi nyamuk aedes aegypti sehingga penularan DBD dapat dicegah
dan dikurangi.Dari gerakan sederhana itu, angka penderita dan kematian DBD bisa
ditekan. Hasil studi pendahuluan di Desa Wonosari, Kecamatan Trucuk yang merupakan
daearah endemis DBD didapatkan fenomena masih banyak ditemukan jentik-jentik
nyamuk aides aaigepti di rumah warga, masih menggantung baju kotor lebih dari 3 hari.
Sinar matahari jarang masuk di dalam rumah karena jendela tidak pernah di buka.Di
sekeliling rumah masih ada sampah yang masih bisa menampung air. Keluarga belum
mampu memahami cara pencegahan DBD dan perilaku 3M tidak dilakukan di keluarga.
Metoda
Dengan desain penelitian deskriptif korelasi.Pengambilan data dilakukan dengan metode
cluter random sampling.Populasi dalam penelitian ini adalah semua KK yang ada di Desa
Wonosari Kecamatan Trucuk sebanyak 1300 KK.Sampel yang diambil pada penelitian
semuanya memenuhi syarat inklusi sebanyak 81 responden.Instrumen A digunakan untuk
mengukur variabel pelasanaan tugas kesehatan keluarg, Instrumen B lembar observasi
pelaksananaan pencegahan DBD di rumah. Analisa bivariat yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan
pencegahan DBD menggunakan uji statistik Kendall-Tau
Hasil
Karakteristik Responden
81 100
Pendapatan
< UMR 22 27.2
>UMR 59 72.8
81 100
Frekuensi Prosentas
Variabel
(f) e (%)
Mengenal masalah
Baik 64 79.0
Kurang 17 21.0
Memutuskan masalah
Baik 71 87.7
Kurang 10 12.3
Merawat angota keluarga
Baik 41 50.6
Kurang 40 49.4
Modifikasi lingkungan
Baik 68 84.0
Kurang 13 16.0
Memanfaatkan Yankes
Baik 63 77.8
Kurang 18 22.2
Pelaksanaan tugas kesehatan
keluarga
Baik 60 74.1
Kurang 21 25.9
Total 81 100.0
Tabel 1.2. Menunjukan distribusi frekeunsi pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga di
Desa Wonosari tertinggi dengan kategori baik adalah keluarga dalam memutuskan
Tabel 1.4 Menunjukan tugas kesehatan keluarga terkait pencegahan DBD dengan kategori
baik 67.9%, lebih besar dibandingkan dengan kategori kurang baik 6,2%. Hasil uji statistik
Kendall-Tau menunjukan ada hubungan antara tugas kesehatan keluarga dengan
pencegahan DBD p< 0,05, dengan r =0,54.
Pembahasan
Maglaya (2009) menjelaskan tugas kesehatan keluarga dalam pencegahan DBD meliputi 5
indikator yaitu keluarga dalam mengenal masalah kesehatan terkait pencegahan DBD,
keluarga dalam memutuskan masalah, keluarga dalam merawat anggotanya, keluarga
dalam memodifikasi lingkungan, keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
ada. Hasil penelitian menunjukkan proporsi pelaksanan lima tugas kesehatan keluarga
dalam pencegahan DBD dengan kategori baik 67.9%. Hasil secara keseluruhan
penatalaksanaan tugas kesehatan keluarga didapatkan mayoritas dalam kategori baik
dimana keluarga melaksanakan tugas kesehatan dalam pencegahan DBD dengan baik.
Friedman (2010) menjelaskan keluarga merupakan sebuah system yang erat hubungannya
yang saling mempengaruhi antar anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan Ramlah (2011)
menjelaskan peran dan pelaksanaan tanggung jawab keluarga sangat mempengaruhi
kondisi anggota keluarga dalam berinteraksi, ataupun dalam memenuhi semua kebutuhan
anggota keluarga, sesuai dengan tumbuh kembang semua anggota keluarga, termasuk
pemenuhan kebutuhan kesehatan.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga
dengan pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk dengan arah hubungan
positif dan p value =0,027 (p<0.05).
Daftar Pustaka
Dirjen P2P Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pengertian Demam
Berdarah Dengue
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Program Penanggulangan Demam Berdarah
Dengue
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Data penyakit menular
Kusyogo, Cahyo. 2006. Kajian Faktor-faktor Perilaku dalam Keluarga yang
mempengaruhi Pencegahan Penyakit DBD di Kelurahan Meteseh, Kota
Semarang. Media Litbang Kesehatan XVI, Nomor 4 tahun 2006.
Maglaya. 2009. Family Health Nursing: The Proses. Argonauta Corporation: Nangka
Marikina City
Manalu Emmylia. 2009. Determinan Partisipasi Keluarga dalam Tindakan Pencegahan
Demam Berdarah Denguedi Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekan Baru.USU
Sitio, Anton. 2008. Hubungan Perilaku tentang PSN dan Kebiasaan Keluarga dengan
Kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.
World Health Organization (WHO). 2013. Prevalensi penyakit menular di dunia
Budi Kristanto
Abstrak
Latar belakang. Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Semakin hari gangguan ini tampak
semakin meningkat dengan pesat. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara
dan bahasa berkisar 5 – 10% pada anak sekolah.
Tujuan. Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengetahui fakor yang berhubungan
dengan perkembangan bahasa anak
Metode. Literatur review dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi melalui
Gogle search dengan dengan kata kunci yang dipilih yaitu “faktor yang mempengaruhi
perkembangan baahasa anak pra sekolah”. Penelusuran dibatasi terbitan 2004-2014 yang dapat
diakses fulltext dalam format pdf yang merupakan penelitian di dalam negeri. Dari hasil
penelusuran didapatkan 3 jurnal penelitian yang sesuai.
Hasil. Pada penelitian dari studi ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%.
Didapatkan bahwa terdapat faktor yang berhubungan dari perkembangan bahasa anak adalah pola
asuh orang tua. Pada penelitian yang lain didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak usia 1-3
tahun.
Pembahasan. Faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa
dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari anak. Faktor yang diteliti dan
berkontribusi pada perkembangan bahasa anak pada penelitian ini adalah pola asuh orang tua,
pengetahuan dan sikap orang tua terkait stimulasi anak.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan perkembangan bahasa masih cukup tinggi, pada penelitian yang
dibahas ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%.. Dari berbagai sumber
dipaparkan terkait faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa
dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari anak. Pada studi dari penelitian ini
didapatkan bahwa salah satu faktor eksternal yang disimpulkan memberikan pengaruh yang
signifikan adalah factor pola asuh dari orang tua anak. Sedangkan pada penelitian berikutnya dapat
dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu
tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak.
Pendahuluan
Perkembangan merupakan bertambah atau meningkatnya kemampuan dalam struktur serta
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai
hasil dari proses pematangan. Hal tersebut menyangkut proses diferensiasi dari sel-sel
tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang semakin berkembang sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi,
intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.1 Gangguan
bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering
ditemukan pada anak. Semakin hari gangguan ini tampak semakin meningkat dengan
Dari paparan tersebut terlihat bahwa sangat besar akibat yang diimbulkan oleh karena
keterlambatan bahasa pada anak usia pra sekolah, maka sangatlah penting untuk
optimalisasi proses perkembangan bahasa pada masa ini. Deteksi dini keterlambatan dan
gangguan bicara usia prasekolah adalah tindakan yang terpenting untuk menilai tingkat
perkembangan bahasa anak, sehingga dapat meminimalkan kesulitan dalam proses belajar
anak tersebut saat memasuki usia sekolah nantinya. Profesi perawat khususnya perawat
komunitas sesuai dengan salah satu peran dan fungsinya sebagai penemu kasus sangat
strategis. Kegiatan skrining dapat dilakukan dengan lebih awal, sehingga factor resiko dari
gangguan perkembangan bahasa lebih awal dapat dikomunikasikan dengan orang tua anak
dan tindakan dapat segera dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengetahui fakor yang berhubungan dengan
perkembangan bahasa anak.
Metode
Literatur review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi melalui
Gogle search dengan dengan kata kunci yang dipilih yaitu “faktor yang mempengaruhi
perkembangan baahasa anak pra sekolah”. Penelusuran dibatasi terbitan 2004-2014 yang
dapat diakses fulltext dalam format pdf yang merupakan penelitian di dalam negeri. Dari
hasil penelusuran didapatkan 3 jurnal penelitian yang sesuai. Penelitian tersebut berjudul :
1. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA
Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2. Penelitian dilakukan oleh:
Rosalia Beyeng, Soetjiningsih dan Trisna Windiani. Tahun 2012.
2. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Usia toodler
(1-3 Tahun) di Desa Sambiroto Demak. Penelitian dilakukan oleh Misbakhul Munir,
Vivi Yosafianti dan Shobirun. Tahun 2012.
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan
Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur
Tunggal Depok Sleman Yogyakarta. Penelitian dilakukan oleh Dewi Listyowati,
Listyana Natalia Retnaningsih dan Lala Budi Fitriana. Tahun 2012.
Hasil
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 132
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
1. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA
Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2.
Jumlah anak yang berada di TPA Werdhi Kumara I adalah 148 anak, dengan kisaran
usia dari 3 bulan-7 tahun. Dari 148 anak yang berada di TPA, yang berusia 3 bulan
sampai 36 bulan ada 58 anak (39.1). Pada penelitian ini di dapatkan prevalensi
keterlambatan bicara sebesar 8.6%
Variabel Frekuensi P
Jenis Kelamin
- laki-laki 4
- perempuan 1 0.40
Usia
- 0-12 bulan 1
- 13-24 bulan 2 0.66
2. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Usia toodler
(1-3 Tahun) di Desa Sambiroto Demak.
Penelitian dilakukan dengan crossectional terhadap ibu dan anak usia toodler sebanyak
63 responden dengan total sampling di Desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupaten
Demak. Instrumen yang digunakan adalah kwesioner dan lembar DDST.
Hasil pada penelitian ini adalah :
Berdasarkan hasil analisis statistik hubungan pola asuh dengan perkembangan bahasa
anak usia toodler didapatka hasil : sebagian besar responden perkembangan bahasanya
baik, yaitu 48 responden (76.2%) sedangkan sisanya 25 responden (23.8%)
perkembangan bahasanya kurang baik.
Berdasarkan uji statistic dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p value
sebesar 0.000 dengan nilai signifikan <0.05 yang berarti ada hubungan antara pola asuh
ibu dengan perkembangan bahasa anak usia toddler (0-3tahun). Berdasarkan analisis
hubungan pola asuh ibu dengan perkembangan bahasa anak usia toddler didapatkan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 133
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
data responden dengan perkembangan bahasa baik dengan pola asuh demokratis
sebanyak 36 (75%), otoriter sebanyak 6 (12.5%), permisif 2 (4.2%), laissez faire
sebanyak 4 (8.4%). Responden dengan perkembangan bahasa kurang baik dengan pola
asuh demokratis sebanyak 3 (20%), otoriter sebanyak 1 (6.7%), permisif 6 (40%),
laissez faire sebanyak 5 (33.3%).
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan
Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur
Tunggal Depok Sleman Yogyakarta
Desain penelitian ini adalah kuantitatif yang dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif korelasi (correlasion study) menggunakan rancangan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah 34 orang tua dan 34 anak usia 1-3 tahun yang
sekolah di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman, Yogyakarta. Teknik
sampling dilakukan secara total sampling yaitu 34 ibu dan 34 anak usia 1-3 tahun.
Tehnik Pengumpulan Data menggunakan kuesioner tertutup dan dengan metode
dokumentasi. Analisis data penelitian menggunakan analisis univariat dan analisa
bivariat menggunakan uji korelasi Spearman Rank (Rho) uji ini digunakan untuk
mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD
Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta
Juni 2012
No Perkembangan bahasa Frekwensi %
1. Normal 17 50
2. Suspek 17 50
Jumlah 34 100
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel diketahui bahwa perkembangan bahasa anak yang normal dan
suspek adalah sebanyak 17 (50%).
Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan ibu baik dan
perkembangan bahasa dikategorikan normal yaitu 11 (64,7%).
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebagian besar sikap ibu tentang stimulasi
bahasa kurang dan perkembangan bahasa anak dikategorikan suspek yaitu 8 (53,3%).
Pembahasan
Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara
Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara, bahasa dan gabungan
keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah. Prevalensi keterlambatan bicara dan
bahasa pada anak usia 2-4.5 tahun adalah 58%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah
2.3-19%. 6 Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi keterlambatanbicara pada anak
di TPA Werdhi Kumara I sebesar 8.62%. Pada penelitian ini keterlambatan bicara yang
terdeteksi dengan pemeriksaan ELMS 2 terbanyak pada rerata usia di atas 13 bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Campbell.7 mendapatkan adanya factor resiko terjadinya
keterlambatan bicara pada anak apabila terdapat riwayat keluarga yang mengalami
keterlambatan bicara. Penelitian lain menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara pendidikan ibu yang rendah, jumlah anggota keluarga, social ekonomi dan usia ibu
yang muda dengan resiko terjadinya keterlambatan bicara.Pada penelitian ini, pendidikan
orang tua yang terdiri dari pendidikan menenganh dan pendidikan tinggi tidak beda
bermakna dalam mempengaruhi frekuensi keterlambatan bicara pada anak, sedangkan
faktor resiko lain tidak dicari pada penelitian ini.
Yliherva, dkk.8 melakukan penelitian pada lebih dari 8000 anak di Finlandia menemukan
adanya hubungan prematuritas, asfiksia, berat badan lahir rendah dengan terjadinya
keterlambatan bicara pada anak. Keterlambatan bicara pada penelitian ini lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki, status gizi baik, usia kehamilan cukup bulan, tidak asfiksia
namun tidak bermakna secara statistic (p>0.05). Kelemahan penellitian ini adalah tidak
mencari factor resiko lain yang mungkin mempengaruhi terjadinya keterlambatan bicara
pada subyek penelitian.
Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak
Berdasarkan hasil penelitian, data karakteristik responden menunjukkan persentase
terbesar umur responden (ibu) berumur antara 20-35 tahun sebanyak 55 responden
(87.3%) dan pada responden anak sebagian besar berumur 25-36 bulan sebanyak 33
responden (52.4%). Menurut Notoatmodjo9, seseorang yang umurnya lebih tua akan lebih
banyak pengalamannya sehingga mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki, maka ibu
semakin cukup umur akan semakin berpikir matang dan ligis. Sejak lahir sampai usia 3
tahun anak memiliki kepekaan sensoris dan daya piker yang sudah mulai dapat menyerap
pengalaman-pengalaman melalui sensorisnya, usia satu setengah sampai kira-kira tiga
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 135
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
tahun mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat bahasanya (berbicara atau
bercakap-cakap).10 Berdasarkan karakteristik data dari hasil penelitian untuk tigkat
pendidikan responden (ibu) yaitu SMP atau sederajad sebanyak 34 responden (54.0%). Hal
ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan tersebut responden lebih mudah
menerima informasi yang diberikan oleh peneliti. Pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikaan semakin tinggi,
maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan
bahwa orang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah
pula11.
Berdasarkan hasil penelitian pola asuh yang dilakukan oleh ibu terhadap perkembangan
bahasa anak usia toddler (1-3 tahun) di desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupaten
Demak tergolong baik yaitu 39 responden (61.9%) menerapkan pola asuh demokratis dan
sisanya ibu menerapkan pola asuh otoriter 7 responden (11,1%), permisif 8 responden
(12.7%), dan laissez faire 9 responden (14.3%). Hal tersebut dikarenakan rata-rata ibu
yang memiliki anak usia toddler sudah melatih anak untuk belajar bicara melalui aktivitas
bermain, mengajarkan anak bernyanyi untuk melatih kemampuan mengucapkan kata-kata,
melatih anak berbicara sampai lancar untuk secara berulang-ulang sampai anak dapat
berbicara sesuai tahap perkembangannya. Hasilnya pola asuh ini mendorong anak untuk
mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan
verbal member dan menerima dimungkinkan, dan ibu bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak. 12 Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara pola asuh ibu terhadap
perkembangan bahasa anak usia toddler hasilnya nilai p= 0.000 (p<0.05), maka dapat
disimpulkan ada hubungan antara pola asuh ibu terhadap perkembangan bahasa anak usia
toddler (1-3 tahun) di Desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupeten Demak.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa
dengan Perkembangan Bahasa Anak
Pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat sesuatu hal, termasuk mengingat kembali
kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi
setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu.
Berdasarkan tabel diketahui bahwa mayoritas pengetahuan ibu tentang stimulasi bahasa di
PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta adalah baik.
Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berpola dari
keyakinan tersebut. Dengan baiknya pengetahuan merupakan faktor terpenting karena
sangat mempengaruhi tingkat kemampuan atau intelektual yang dimiliki seseorang dalam
melakukan stimulasi bahasa13
Sikap ibu tentang stimulasi bahasa yang kurang berarti keinginan ibu untuk melakukan
stimulasi bahasa masih kurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berpengaruh
dalam pembentukan sikap ibu tentang stimulasi bahasa diantaranya pengalaman pribadi,
pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media masa, lembaga
pendidikan, agama dan faktor emosional. Hal lain yang mempengaruhi sikap ibu tentang
stimulasi bahasa adalah pengaruh orang lain. Biasanya orang yang memiliki pengaruh
besar adalah keluarga, bisa dari suami, orangtua bahkan mertua. Seringkali ibu melakukan
stimulasi bahasa belajar dari orangtua karena dianggap sudah banyak pengalaman. Hal ini
didukung oleh Azwar15 pada umumnya individu cenderung memiliki sikap yang
konfromis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting dalam perilaku kesehatannya, yang
kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku
seseorang. Sikap positif seseorang terhadap kesehatan kemungkinan tidak otomatis
berdampak pada perilaku seorang menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap
kesehatan hampir pasti dapat berdampak negatif pada perilakunya. Berdasarkan tabel
diketahui bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan
perkembangan bahasa anak usia 1-3 tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal
Depok Sleman Yogyakarta. Sikap ibu yang kurang tentang stimulasi bahasa tidak selalu
menyebabkan perkembangan bahasa anak terganggu, hal ini didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti bahwa sikap ibu yang kurang tentang stimulasi bahasa
menyebabkan perkembangan bahasa anak antara normal dan suspek sama. Sikap ibu
dalam penelitian ini masih suatu keinginan untuk melakukan sesuatu dan bukan tindakan
untuk melakukan sesuatu.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga didukung oleh teori Menurut Newcomb
dalam Notoatmodjo16, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Perkembangan bahasa
anak sangat dipengaruhi oleh sikap ibu dalam memberikan stimulasi bahasa pada anak,
dimana pemberian stimulasi tersebut tergantung keinginan ibu dalam melakukan stimulasi
pada anak. Hal ini didukung oleh Moersintowarti16, bahwa stimulasi adalah perangsangan
dan latihan-latihan terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan di luar anak.
Stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang tua anggota keluarga, atau orang dewasa lain
disekitar anak.
Kesimpulan
Dari studi 3 penelitian yang telah dilakukan terkait dengan perkembanganbahasa anak ini,
maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Prevalensi gangguan
perkembangan bahasa masih cukup tinggi, pada penelitian yang dibahas ini di dapatkan
prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%. 2) Dari berbagai sumber dipaparkan terkait
faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa dibagi
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 137
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
menjadi 2 yaitu factor internal dan factor eksternal dari anak. 3) Pada studi dari penelitian
ini didapatkan bahwa salah satu factor eksternal yang disimpulkan memberikan pengaruh
yang signifikan adalah factor pola asuh daro orang tua anak. 4) Sedangkan pada penelitian
berikutnya dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak.
Daftar Pustaka
Soetjiningsih. Perkembangan anak dan permasalahannya . Dalam:Narendra MB,Sularyo T
S, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IG, penyunting. Buku Ajar Tumbuh Kembang
Anak dan Remaja; Edisi I. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, Sagung
Seto, 2002; 91
Busari JO, Weggelaar NM. How to investigate and manage the child who is slow to speak.
BMJ 2004; 328:272 276
Parker S, Zuckerman B, Augustyn M. Developmental and behavioral Pediatrics (2nd ed):
Language Delays. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005
Owens RE. Language Development an Introduction, 5th edition. New York:Allyn and
Bacon; 2001.
Smith C, Hill J, Language Development and Disorders of Communication and Oral Motor
Function. In : Molnar GE, Alexander MA,editors. Pediatric Rehabilitation.
Philadelphia: Hanley and Belfus;1999.p. 57-79.
US Preventives Services Task Force. Screening for speech ang language delay in
preschool children : Recommendation statement. Pediatrics. 2006; 117:497-501.
Law J, Boyle J, Harkness a. Screening for speech and language delay : systematic review
of literature. Health Technol Asses. 1998;2:1-184.
Tomblin JB, Hardy JC, Hein HA. Predicting poor-communication status in preschool
children using risk factors present at birth. J Speech Hear Res. 1991: 34: 1096-
105.
Theo, R., & Martin, H. Pendidikan Anak Usia Dini: tuntunan psikologis dan pedagogis
bai pendidik dan orang tua . Jakarta : PT Gramedia Widiasarana, 2004.
Admin.(2011). Definisi pengetahuan dan serta factor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan.http//dunia baca.com.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan remaja . Edisi 11. Jakarta: Erlangga.
Mubarak, et al. (2007). Promosi Kesehatan. Sebuah Pengantar proses belajar mengajar
dalam pendidikan. Edisi I. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sukmadinata, N. (2003). landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: Alfabeta
Azwar, S. (2011). sikap manusia teori dan pengukurannya . Jakarta: Pustaka Pelajar
Departemen Rehabilitasi Medik RSCM. (2006). Internet. prevalensi keterlambatan
perkembangan berbahas a di Indonesia .
http://speechclinic.wordpress.com/2009/12/13/faktor-risiko-gangguan-berbahasa-
pada-anak. 12 desember 2011
Notoatmodjo, S. (2011). pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Moersintowarti, B. (2002). telat bicara akibat kurang stimulasi. Jakarta: EGC.
Abstrak
Latar Belakang: Wanita berperan ganda yaitu wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga
(isteri dan ibu dari anaknya) dan juga sebagai pekerja. Maka diperlukan dukungan suami dan
adanya kemampuan diri (self efficacy). Wanita yang berperan ganda lebih potensial mengalami
banyak stresor daripada wanita berperan tunggal. Karena setiap peran yang melekat menimbulkan
berbagai stresor.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres pada
wanita yang berperan ganda pada bulan September 2015.
Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif korelasional. Sampel penelitian 30 orang dengan
purposive sampling. Analisis data menggunakan uji Chi Square Yate’s Correction dengan tingkat
kepercayaan 95 %.
Hasil: Hasil uji statistik Chi Square Yate’s Correction: Diperoleh p-value = 3,281 > α = 0,05,
artinya tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres, diperoleh p-value = 0,201
> α = 0,05, artinya tidak ada hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres.
Pembahasan: Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat stres pada wanita dengan berperan
ganda tidak hanya dapat dihubungkan dengan dukungan suami. Faktor lain seperti: kepribadian,
persepsi, tingkat pendidikan, status keluarga, usia pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah anak dan
tempat tinggal turut berperan dalam perubahan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda. Self
efficacy tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat stres, hasil yang dicapai manusia dan
kesejahteraan pribadi yang positif membutuhkan penghayatan yang optimis akan self-efficacy.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres
pada wanita yang berperan ganda di Dusun Puluhan Jerukan, Sumberarum, Moyudan, Sleman,
Yogyakarta September 2015.
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin pesat membuat kebutuhan rumah
tangga juga mengalami peningkatan. Kurangnya pendapatan yang dihasilkan suami
sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut serta
bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan latar pendidikan yang berbeda-beda,
membuat sejumlah wanita mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Dalam sektor industri domestik banyak dijumpai wanita bekerja sebagai
buruh pabrik, pembantu rumah tangga, maupun buruh cuci (Anoraga, 2005). Peran wanita
saat ini sudah bergeser dari peran tradisional menjadi modern, dari sekedar memiliki peran
tradisional untuk melahirkan anak dan mengurus rumah tangga, sekarang ini wanita
memiliki peran sosial dimana dapat berkarir dalam bidang kesehatan, ekonomi, sosial,
maupun politik. Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik
dan sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Peran ganda yang dimaksud adalah wanita
yang berkerja dan berumahtangga mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 139
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
terhadap wanita, karena terkadang wanita menghabiskan waktu untuk mengurus rumah
tangga dibandingkan dengan pasangannya yang berkerja (Triaryati, 2006). Perempuan
yang berkerja, dapat mengalami ketegangan (stres) yang berkaitan dengan pemenuhan
tuntutan peran antara pekerjaan dan rumah tangga. Dari semua tuntutan yang ada tersebut
maka diperlukan adanya kerja sama antara kedua belah pihak, disini suami yang berperan
untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut. Hasil wawancara yang sudah dilakukan
ditemukan permasalahan yaitu para ibu rumah tangga yang juga bekerja di luar rumah
merasa sangat sulit untuk membagi waktu antara urusan rumah tangga dan urusan
pekerjaan. Setelah bekerja para ibu biasanya sudah merasa lelah, sedangkan masih harus
mengurus rumah, belum juga ibu yang mempunyai anak kecil dan anak tersebut ”rewel”,
semua permasalah ini membuat ibu stres sehingga tidak dapat memenuhi
tanggungjawabnya dengan baik. Para ibu juga sangat membutuhkan dukungan dari
keluarga terutama suami, pada kenyataannya ada juga suami yang kurang memberikan
dukungan kepada isteri.
Tujuan
Secara Umum mengetahui hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan
tingkat stres pada wanita yang berperan ganda pada September 2015. Secara khusus
mengetahui karakteristik responden, mengetahui dukungan suami pada wanita yang
berperan ganda, mengetahui self efficacy pada wanita yang berperan ganda, mengetahui
tingkat stres pada wanita yang mempunyai peran ganda, mengetahui hubungan antara
dukungan suami dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda apabila diketahui
ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres pada wanita yang berperan
ganda, dan mengetahui hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres pada wanita
yang berperan ganda apabila diketahui ada hubungan antara self efficacy dengan tingkat
stres pada wanita yang berperan ganda.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan deskriptif correlation dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2015 dengan 30 responden sebagai sampel
yang digunakan menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria wanita yang
berperan sebagai kepala keluarga dan sebagai ibu untuk anaknya. Alat pengumpulan data
untuk mengukur dukungan suami, self efficacy dan tingkat stres adalah kuesioner.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
September 2015
Usia Frekuensi Persentase
18 - 40 tahun 24 80,00 %
41 - 60 tahun 6 20,00 %
Total 30 100,00 %
Total 30 100,00 %
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
September 2015
Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
Dasar 0 0,00 %
Menengah 21 70,00 %
Tinggi 9 30,00 %
Total 30 100,00 %
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
September 2015
Pekejaan Frekuensi Persentase
Tidak Bekerja (IRT) 0 0,00 %
PNS 5 16,67 %
Pegawai Swasta 15 50,00 %
Wiraswasta 10 33,33 %
Total 30 100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Suami
September 2015
Dukungan Suami Frekuensi Persentase
Baik 20 66,67 %
Kurang 10 33,33 %
Total 30 100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Stres Wanita
September 2015
Tingkat Stres Frekuensi Persentase
Ringan 12 40,00 %
Sedang 16 53,33 %
Berat 2 6,67 %
Total 30 100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 8
Hubungan Antara Dukungan Suami Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang
Berperan Ganda September 2015
Dukungan Suami Koefisien
Total p-value
Tingkat Stres Dukungan Dukungan Kontingensi
Baik Kurang
Stres Ringan 6 6 12
Stres Sedang 13 3 16 3.281 0.194
Stres Berat 1 1 2
Total 20 10 30
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 9
Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang
Berperan Ganda September 2015
Self Efficacy Koefisien
Self Self Total p-value
Tingkat Stres Efficacy Efficacy Kontingensi
Tinggi Rendah
Stres Ringan 7 5 12
Stres Sedang 8 8 16 0.201 0.904
Stres Berat 1 1 2
Total 16 14 30
Sumber : Primer terolah 2015
Pekerjaan dalam keluarga juga mempunyai peran demi keharmonisan keluarga itu sendiri.
Hasil penelitian berdasarkan pekerjaan didapatkan sebanyak 5 responden dengan
pekerjaan sebagai PNS, 15 responden dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta, 10
responden dengan pekerjaan sebagai wiraswasta, dan tidak ada responden yang tidak
bekerja. Tidak memiliki pekerjaan akan membuat seseorang lebih mudah mengalami stres
karena kehilangan status sosialnya. Selain dari pekerjaan, penghasilan seorang isteri yang
lebih tinggi dari suami, juga bisa memunculkan potensi masalah dalam kehidupan rumah
tangga apabila tidak disikapi secara bijak oleh kedua pihak. Hasil analisis menunjukkan
bahwa dari 30 responden didapatkan 20 responden mendapatkan dukungan suami baik dan
10 responden mendapatkan dukungan suami kurang. dukungan adalah adanya bantuan atau
dukungan yang diterima individu dari orang lain dalam kehidupannya sehingga individu
tersebut merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya
(Sarafino, 2006). Bentuk dukungan sendiri ada beberapa diantaranya yaitu emosional,
instrumental, infomasi dan persahabatan. Hasil dari uji hipotesisi juga menunjukkan tidak
ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres, jadi wanita menjadi stres
dikarenakan oleh hal-hal selain dukungan suami.
Hasil analisis dari 30 responden didapatkan 12 responden dengan tingkat stres ringan, 16
responden dengan tingkat stres sedang dan 2 responden dengan tingkat stres berat. Dimana
stres sendiri dapat muncul karena beberapa faktor yang meliputi stresor fisik, sosial dan
psikologis (Priyoto, 2014). Dalam penelitian ini sebagian besar responden mengalami stres
sedang, tetapi setiap individu masih bisa mengontrol emosi dan menguranga stres dengan
koping masing-masing. Sebagian besar wanita di Dusun Puluhan Jerukan, Sumberarum,
Moyudan, Sleman, Yogyakarta sudah bisa mengatasi stres dengan cukup baik, disamping
dukungan dari keluarga dan relasi, masyarakat sekitar juga saling berhubungan baik satu
sama lain, ini semua mendukung setiap individu dari stres.
Uji statistik dengan Chi Square diperoleh p-value = 3,281 > α = 0,05, artinya tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Adapun
variabel pengganggu antara lain kepribadian, persepsi, tingkat pendidikan, status keluarga,
usia pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah anak dan tempat tinggal, dari semua variabel
pengganggu tersebut tidak ada yang berpengaruh secara langsung untuk mempengaruhi
tingkat stres.Uji statistik dengan Chi Square diperoleh p-value = 0,201 > α = 0,05, artinya
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Hasil
yang dicapai manusia dan kesejahteraan pribadi yang positif membutuhkan penghayatan
yang optimis akan self-efficacy. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya kehidupan
sosial sehari-hari penuh dengan kesulitan.
Kesimpulan
Karakteristik berdasarkan usia responden terbanyak yaitu usia 18-40 tahun
sebanyak 24 responden. Karakteristik berdasarkan usia perkawinan terbanyak yaitu usia >
10 tahun sebanyak 21 responden. Karakteristik berdasarkan pendidikan responden
terbanyak yaitu pendidikan menengah sebanyak 21 responden. Karakteristik berdasarkan
jenis pekerjaan terbanyak yaitu pegawai swasta sebanyak 15 responden. Dari variabel
dukungan suami terdapat 66,67% dengan kategori baik. Dari variabel self efficacy terdapat
53,33% dengan kategori tinggi. Dari variabel tingkat stres terdapat 53,33% dengan
kategori sedang. Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan
tingkat stres. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan tingkat stres.
Abstrak
Pendahuluan: Merokok adalah permasalahan remaja yang dari tahun ke tahun semakin
mengkhawatirkan. Prevalensi perokok remaja Indonesia pada tahun 2010 adalah 38,4% dan
menurun pada tahun 2013 menjadi 37,3%. Penurunan ini belum mencapai target yang diharapkan
(5% per tahun). Peningkatan jumlah perokok tentu meningkatkan masalah kesehatan yang terjadi.
Salah satu cara untuk mengurangi frekuensi merokok adalah pendampingan peer group tentang
bahaya rokok.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas
pendampingan peer group tentang bahaya rokok terhadap frekuensi merokok siswa SMAN 14
Semarang.
Metode: Desain penelitian ini adalah the one group pre test-post test design dengan teknik total
sampling. Instrumen yang digunakan adalah lembar instrumen pendampingan peer group.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara. Peneliti menggunakan uji normalitas shapiro-
wilk dan uji hipotesis dependent T test. P-value yang didapatkan adalah 0,0001 (≤ 0,05).
Hasil: Hasil penelitian ini terdapat perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum
dan sesudah pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Responden berada pada rentang usia
16-18 tahun dengan mayoritas berusia 17 tahun (63,3%). Kategori perokok terbesar sebelum
dilakukan intervensi adalah perokok berat (50%) dan kategori ini tetap menjadi kategori perokok
terbesar sesudah dilakukan intervensi, tetapi frekuensinya menurun (46,7%). Rata-rata penurunan
frekuensi merokok sebelum dan sesudah dilakukan intervensi adalah 2,26. Peneliti memiliki
harapan agar peneliti selanjutnya menggunakan kelompok kontrol.
Kata kunci: Pendampingan peer group tentang bahaya rokok, frekuensi merokok
Pendahuluan
Keperawatan kesehatan komunitas adalah sebuah spesialisasi yang membawa secara
bersamaan pengetahuan dari ilmu kesehatan masyarakat dan keperawatan untuk
meningkatkan kesehatan komunitas (American Public Health Association, 1996 dalam
Stanhope & Lancaster, 2014, hlm. 6). Sasaran keperawatan kesehatan komunitas menurut
Depkes (2006, dalam Efendi & Makhfudli, 2009, hlm. 8-9) adalah individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat. Sasaran kelompok adalah kelompok yang rentan terhadap
timbulnya masalah kesehatan. Sasaran kelompok terbagi menjadi 2 macam, yaitu
kelompok masyarakat khusus yang tidak terikat dalam suatu institusi dan kelompok
masyarakat khusus yang terikat dalam suatu institusi. Remaja merupakan salah satu bagian
dari kelompok masyarakat khusus yang terikat dalam suatu institusi, salah 1 institusi yang
dimaksud adalah sekolah. Masa remaja atau usia muda adalah usia yang paling rawan
dalam kehidupan. Masa ini dipenuhi dengan pertentangan dan perlawanan, bertolak
belakang dari masa kecil yang lebih aman dan lebih mudah diatur (Agustin, dalam Bali
Post, 2009, ¶5-7). Masa remaja memang masa yang menyenangkan, akan tetapi tidak
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 146
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
jarang masa ini menjadi masa yang berat karena para remaja biasanya menghadapi
berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain cyber bullying
and stalking, seks bebas, alkohol dan narkoba, grades, masalah keluarga, eating disorder,
depresi, dan merokok (Iif, 2014, ¶2, 4, 6-8,10-12). Permasalahan remaja yang dari tahun
ke tahun semakin mengkhawatirkan adalah permasalahan merokok. Merokok adalah
menghirup asap pembakaran tembakau yang digunakan (Encyclopedia of Children’s
Health, 2014, ¶1). Remaja umumnya merokok karena sekedar mengikuti orang yang lebih
dewasa darinya, mengikuti trend, dan memiliki teman perokok berat (Husaini, 2006, hlm.
27-28).
Peningkatan jumlah perokok tentu meningkatkan masalah kesehatan yang terjadi. Akibat
merokok antara lain kanker, terganggunya perbaikan DNA, penyakit dan serangan jantung,
stroke, katarak, diabetes melitus tipe 2, dan kerusakan paru-paru, lambung, dan pembuluh
darah (Dharma, 2014, ¶2). Perawat komunitas seharusnya turut berpartisipasi dalam
membantu perokok mengurangi frekuensi rokok yang dikonsumsi bahkan membantunya
berhenti merokok. Peran perawat komunitas ada bermacam-macam, yaitu sebagai pemberi
asuhan keperawatan, perencana, pendidik, konselor, advokat, dan pemimpin. Peran-peran
tersebut dapat diterapkan pada masyarakat, rumah, tempat kerja, sekolah, tempat bermain,
dalam sebuah organisasi, dan dalam sebuah pemerintahan (Stanhope & Lancaster, 2014,
hlm. 3). Peran dan fungsi perawat sekolah akan lebih berhasil jika para siswa turut
berpartisipasi. Partisipasi siswa dibutuhkan karena pengaruh teman sebaya (peer group)
bagi remaja turut menjadi andil untuk pertumbuhan perokok baru. Teman sebaya sangat
berpengaruh karena pada masa remaja, seseorang akan mulai mengembangkan
persahabatan yang lebih intim, eksklusif dan konstan. Remaja bahkan terkadang lebih
terbuka dengan teman sebayanya dibandingkan dengan keluarganya.
Layanan peer group adalah layanan yang dilakukan dimana beberapa anggota teman
sebaya berkumpul (Moro, Bergamaschi, & Aberer, 2005, hlm. 169). Peer group dapat
menurunkan frekuensi merokok karena kebanyakan murid merasa lebih nyaman berbicara
mengenai isu sosial dan personal dengan peer leaders (Media Smarts, 2013, hlm. 15).
Teknik ini juga memberikan dukungan emosional, informasi, dan dukungan sosial dengan
memberikan pendidikan kesehatan, manajemen stres dan teknik mengubah tingkah laku,
dukungan emosional mengenai pembaruan bebas rokok, dan membuat klien membangun
jaringan sosial bebas rokok (University of Colorado, hlm. 1).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas
pendampingan peer group tentang bahaya rokok terhadap frekuensi merokok siswa SMAN
14 Semarang.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experiment karena pada desain ini
semua persyaratan yang dibutuhkan untuk mengendalikan pengaruh dari variabel eksternal
tidak dipenuhi, khususnya saat menentukan partisipan yang akan berpartisipasi dalam
sebuah eksperimen (Santoso, 2010, hlm. 25). Rancangan penelitian yang digunakan adalah
rancangan the one group pre test-post test design. Pada rancangan ini dilakukan pre test,
pendampingan peer group dan post test (Harris et al., 2006, ¶24).
Penelitian ini dilakukan di SMAN 14 Semarang pada 03 Maret sampai 02 April 2015. Alat
yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar observasi yang digunakan untuk
mencatat frekuensi merokok responden sebelum dan sesudah pendampingan peer group
tentang bahaya rokok. Peralatan yang dibutuhkan untuk pertemuan pertama adalah
mangkok, papan tulis, dan spidol. Pertemuan ke-2 membutuhkan LCD dan pertemuan ke-3
membutuhkan mangkok Penelitian ini juga dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan
pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Analisis univariat bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis bivariat
adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2012, hlm. 182-183). Analisis univariat digunakan untuk
menggambarkan usia dan frekuensi merokok responden. Variabel bebas dalam penelitian
ini adalah pendampingan peer group tentang bahaya rokok, sedangkan variabel terikat
dalam penelitian ini adalah frekuensi merokok. Hasil analisis data menggunakan uji
statistik paired T-test karena distribusinya normal (p-value ≥ 0,05). Uji paired T test
digunakan untuk membandingkan mean dari 2 set nilai yang berhubungan secara langsung
satu sama lain. (Social Science Statistics, 2014, ¶1).
Hasil
Penelitian ini dilakukan di SMAN 14 Semarang yang berada di Kecamatan Semarang
Utara, Propinsi Jawa Tengah. Sekolah ini didirikan pada tahun 1988 berdasarkan SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 52/6/1988. Jenis bangunan
SMAN 14 Semarang sebagian besar berlantai 2. Fasilitas yang terdapat di sekolah ini
antara lain perpustakaan, lapangan olahraga, UKS, laboratorium dan musholla. Jumlah
keseluruhan siswa adalah 930 siswa yang terbagi menjadi 503 siswa putra dan 427 siswa
putri.
1. Analisis univariat
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Usia Siswa SMAN 14 Semarang, Maret 2015
(n=30)
Usia Jumlah Persentase
(tahun) (f) (%)
16 9 30,0
17 19 63,3
18 2 6,7
Jumlah 30 100,0
Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas XI berada pada rentang usia 16 sampai 18
tahun. Frekuensi setiap usia berbeda-beda karena selisih antar usia cukup besar.
Responden yang berusia 16 tahun ada 9 siswa, yang berusia 17 tahun berjumlah 19 siswa,
dan ada 2 siswa yang berusia 18 tahun. Penelitian ini didukung oleh penelitian Smet (1994,
dalam Riadi, 2013, ¶2) yang menyatakan bahwa 85%-95% perokok mulai merokok
sebelum umur 18 tahun. Penelitian lain juga dikemukakan oleh Nasution (2007, hlm. 2)
yang menyatakan bahwa merokok pada umumnya dimulai pada usia remaja (diatas 13
tahun).
Hasil analisis menyimpulkan bahwa sebagian besar perokok adalah remaja. Responden
merokok karena ingin mencoba bagaimana rasa rokok dan karena bujukan teman.
Responden memiliki persepsi bahwa hampir semua teman mereka merokok sehingga
responden merasa aneh jika tidak merokok sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian terkait
dan juga teori yang menunjukkan bahwa sebagian besar perokok adalah remaja. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pendampingan peer group tentang
bahaya rokok, 10 siswa (33,3%) berstatus perokok ringan, 5 siswa (16,7%) termasuk
dalam kategori perokok sedang, dan 15 orang (50%) merupakan perokok berat. Hasil post
test yang dilakukan sesudah pemberian intervensi selama 3 minggu menunjukkan bahwa
jumlah perokok ringan bertambah menjadi 12 siswa (40%), perokok sedang jumlahnya
menurun menjadi 4 siswa (13,3%), dan jumlah perokok berat juga menurun menjadi 14
siswa (46,7%). Kategori perokok ada 3 yaitu perokok ringan, sedang, dan berat (The
Cancer Council, 2015, ¶13).
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan frekuensi merokok
sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Uji paired T test
menyimpulkan pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan
frekuensi merokok siswa (p=0,0001 < α 0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Campbell et al. pada tahun 2008 (¶2, 4, 13) dengan judul Sebuah
Intervensi Informal yang Dipimpin Teman Sebaya Untuk Pencegahan Merokok Pada
Remaja (ASSIST (A Stop Smoking In Schools Trial)): Percobaan Randomisasi Rumpun.
Penelitian ini menggunakan teknik sampel acak berstrata dimana jumlah respondennya
adalah 10.730 siswa. Dua puluh sembilan sekolah menjadi kelompok kontrol dan 30
sekolah menjadi kelompok intervensi. Intervensi yang diberikan berupa percakapan
informal mengenai merokok yang dilakukan saat berangkat ke sekolah, pulang sekolah,
istirahat, dan makan siang. Perlakuan ini berlangsung selama 10 minggu dan hasilnya
adalah prevalensi merokok remaja menurun.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lotrean et al. pada
tahun 2010 (¶1) dengan judul Evaluasi Program Pencegahan Merokok yang Dipimpin
Oleh Teman Sebaya pada Remaja Roma. Responden dalam penelitian ini berjumlah 1.071
siswa yang berasal dari 20 SMP. Responden dibagi menjadi 28 kelompok yang berfungsi
ebagai kontrol dan 27 kelompok yang mendapat perlakuan. Intervensi yang dilakukan
berupa menonton video dan berdiskusi dalam kelompok yang dipimpin oleh teman sebaya.
Lotrean et al. lalu melakukan follow up selama 9 bulan. Hasil analisis regresi logistik
berganda menunjukkan efek yang signifikan dari program merokok pada remaja sehingga
kesimpulan dari penelitian ini adalah efek jangka pendek program pencegahan merokok
dapat direalisasikan di Roma.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Tiga puluh siswa yang merokok berada pada kelas XI IPA dan IPS dimana rentang usianya
16-18 tahun. Mayoritas responden berusia 17 tahun (19 siswa). Kategori perokok terbesar
sebelum dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok adalah perokok berat
(15 siswa atau 50%). Perokok berat tetap menjadi kategori perokok terbesar sesudah
dilakukan intervensi, tetapi frekuensinya menurun menjadi 14 siswa (46,7%). Hasil
analisis data menyimpulkan pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam
menurunkan frekuensi merokok siswa. Rata-rata penurunan frekuensi merokok sebelum
dan sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok adalah 2,26. Uji
paired T test menujukkan nilai significancy 0,0001 (p<0,05), maka hipotesis terdapat
perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum dan sesudah pendampingan
peer group tentang bahaya rokok dapat diterima.
Daftar Pustaka
Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Encyclopedia Of Children’s Health. (2014). Smoking. http://www.healthofchildren.
com/S/Smoking.html, diperoleh tanggal 03 Desember 2014
Harris, et al. (2006). The Use And Interpretation Of Quasi-Experimental Studies In
Medical Informatics. http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1380192/,
diperoleh tanggal 31 Januari 2015
Abstrak
Latar Belakang. Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang diprioritaskan dalam
pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus
penyakit demam berdarah sampai saat ini belum ada, sehingga mengakibatkan kasus demam masih
tinggi di berbagai belahan dunia. Standar pelayanan Minimum (SPM) penanggulangan penyakit
menular wajib dilaksanakan oleh masing- masing daerah. Penyakit menular yang menjadi prioritas
pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 salah satunya adalah demam berdarah. Penyakit
demam berdarah telah menjadi wabah tahunan yang telah menghilangkan ratusan jiwa orang setiap
tahunnya Di kabupaten Kendal terdapat 18 desa endemis demam berdarah dari 286 kelurahan/desa,
pada tahun 2013 terdapat 322 pasien dan bulan Februari 2014 terdapat 59 pasien yang dirawat di
rumah sakit umum. Pencegahan dan pengendalian laju penularan virus dengue merupakan salah
satu cara yang bisa dilakukan oleh keluarga dalam upaya pengendalian kejadian penyakit pada
anggota keluarganya.
Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan dengan
kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di Kabupaten Kendal.
Metoda. Desain penelitian deskriptif korelasi, pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel
secara probability sampling yaitu cluster sampling, responden berjumlah 108. Kriteria sampel yaitu
orang dewasa yang tinggal bersama keluarga di Kelurahan Langenharjo. Uji statistik yang
digunakan chi square.
Hasil. Hasil penelitian menyatakan ada hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan penyakit
demam berdarah dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga.
Kasimpulan. Disimpulkan bahwa anggota keluarga membutuhkan dukungan dari seluruh anggota
keluarga dalam pencegahan penyakit. Dukungan keluarga diberikan berupa dukungan informasi,
emosional, penghargaan dan instrumental sehingga dapat terhindar anggota keluarga dapat
terhindar dari penyakit demam berdarah.
Kata kunci: Dukungan keluarga, kejadian demam berdarah pada anggota keluarga
Pendahuluan
Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang diprioritaskan dalam
pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Standar pelayanan Minimum (SPM)
penanggulangan penyakit menular wajib dilaksanakan oleh masing-masing daerah, kecuali
apabila daerah tersebut bebas dari masalah penyakit menular. Penyakit menular yang
menjadi prioritas pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 adalah demam
berdarah, malaria, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, penumonia,
dan penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit demam berdarah saat ini
harus segera untuk diberantas, karena telah menjadi wabah tahunan yang telah
menghilangkan ratusan jiwa orang setiap tahunnya (Dinkes Jateng, 2010). Vaksin untuk
pencegahan terhadap infeksi virus dan obat penyakit demam berdarah sampai saat ini
Kabupaten Kendal termasuk kabupaten endemis demam berdarah di Jawa Tengah, dimana
terdapat 18 desa endemis dari 286 desa. Jumlah kasus tahun 2010 terdapat 501 dengan 2
korban jiwa, tahun 2011 terdapat 84, tidak ada korban jiwa. Sedangkan akhir Oktober 2012
terdapat 108 kasus dengan tidak ada korban jiwa (Dinkes Kendal, 2012). Sedangkan
jumlah pasien demam berdarah yang dirawat di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal pada
tahun 2013 terdapat 322 orang dan 2014 sampai dengan bulan Februari
2014 terdapat 59 orang (RSUD Kendal, 2014). Meskipun kasus demam berdarah menurun
dengan tidak adanya korban jiwa, namun kejadian demam berdarah ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di wilayah kabupaten Kendal. Hal ini dimungkinkan
adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya antara faktor manusia, penyakit dan
lingkungan wilayahnya.
Pencegahan dan pengendalian laju penularan virus dengue merupakan salah satu cara yang
bisa dilakukan oleh keluarga dalam upaya pengendalian kejadian penyakit pada anggota
keluarganya. Dengan melakukan pencegahan secara mandiri dengan kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus (Misnadiarly, 2009). Terbentuknya
perilaku hidup sehat pada anggota keluarga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,
masyarakat dan lingkungan sosial yang luas. Keluarga akan berada pada kondisi
berisiko (family at risk) terhadap masalah kesehatan, apabila individu dalam keluarga atau
anggota keluarga memiliki faktor risiko yang tersebut diatas. Karena perilaku yang tidak
sehat akan berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian dalam keluarga
atau masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2010). Sesuai dengan fungsi pemeliharaan
kesehatan, keluarga mempunyai tugas bidang kesehatan yang perlu dipahami dan
dilakukan oleh keluarga. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan
perilaku dari anggota keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi, 2010).
Upaya pencegahan kejadian penyakit demam berdarah keluarga selain harus ada didukung
oleh peran masing- masing anggota keluarga juga memperlukan dukungan sosial
keluarga. Menurut Friedman, Bowden, & Jones (2003), dukungan sosial keluarga
merupakan sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dan lingkungan sosial.
Dukungan sosial berdasarkan Peterson dan Bredow (2004), dukungan sosial keluarga
menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga
akan meningkatkan kesehatan dan adapatasi mereka dalam kehidupan. Dukungan
keluarga yang dapat diberikan antara lain: dukungan instrumental, dukungan
informasional, dukungan penghargaan, dan dukungan emosional. Dalam upaya tersebut
Tujuan
Mengetahui hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan dengan kejadian demam
berdarah pada anggota keluarga di Kabupaten Kendal.
Metode
Rancangan deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional yang digunakan
pada penelitian ini. Populasi adalah seluruh anggota keluarga yang tinggal di daerah
endemis demam berdarah Kelurahan Langenharjo Kabupaten Kendal sebanyak 1956
kepala keluarga. Sampel penelitian ini adalah orang dewasa yang tinggal bersama keluarga
di kelurahan Langenharjo dengan sampel sebanyak 108 orang. Responden diharapkan
adalah ibu di keluarga sebagai primary care giver/pemberi perawatan utama dalam
keluarga. Adapun kriteria inklusi sampel meliputi: seorang dewasa berusia 18-55 tahun,
bersedia menjadi responden, dapat membaca dan menulis, serta berkomunikasi dengan
baik.
Hasil penelitian
Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden mayoritas berusia 36 – 55 tahun
sebanyak 65,7%, berjenis kelamin perempuan sebanyak 78,7%, berpendidikan tinggi
sebanyak 72,2%, status pekerjaan bekerja sebanyak 75%, berpendapatan tinggi diatas Upah
Minimum Kabupaten (UMK) sebanyak 60,2% , dan memiliki tipe keluarga keluarga inti
sebanyak 75,9%. Berdasarkan hasil analisis univariat kejadian demam berdarah pada
anggota keluarga menunjukkan bahwa dari 108 keluarga yang diteliti, didapatkan 15
keluarga (13,9%) sedang atau pernah menderita demam berdarah, sebagian besar usia
dewasa muda antara 18-35 tahun sebanyak 80%, dan berjenis kelamin laki-laki benyak
66,7%. Hasil analisis univariat tentang dukungan keluarga menunjukkan bahwa dukungan
informasi baik sebesar 69,4%, dukungan emosional baik sebesar 71,3%, dukungan
penghargaan dan instrumental keluarga baik sebesar 59,3%. Disimpulkan bahwa
presentase dukungan keluarga yang meliputi dukungan informasi, dukungan emosional,
dukungan penghargaan dan dukungan instrumental dalam kategori baik.
Tabel 5.4
Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian Demam Berdarah
Di Kabupaten Kendal Bulan Juni Tahun 2014 (n=108)
Kejadian Demam
Total
Dukungan Berdarah P
No OR 95% CI
Keluarga Tdk Terjadi Terjadi Value
n % n % n %
1 Informasi
Baik 73 97,3 2 2,7 75 100
23,725 4,942-113,893 0,000
Kurang 20 60,6 13 39,4 33 100
2 Emosional
Baik 70 90,9 7 9,1 77 100 3,478 1,137-10,644 0,049
Kurang 23 74,2 8 25,8 31 100
Pembahasan
Hasil analisis univariat tentang distribusi kejadian demam berdarah pada anggota
keluarga di Kelurahan Langenharjo Kabupaten Kendal didapatkan dari 108 kepala keluarga
yang menjadi responden, terdapat 15 orang kepala keluarga yang anggota keluarganya
yang berusia dewasa sedang atau pernah menderita demam berdarah dalam 1 tahun
terakhir. Ini berarti ada sebagian besar dari anggota keluarga yang mengalami demam
berdarah yang berusia dewasa. Berdasarkan hasil penelitian ini, angka ini lebih banyak dari
laporan rekam medik pasien yang dirawat di RSUD Kendal pada 1 tahun terakhir sampai
dengan bulan Februari 2014 sejumlah 10 orang dewasa. Jumlah ini berbeda karena peneliti
melakukan penelitian pada minggu keempat bulan Mei sampai dengan minggu pertama
bulan Juni 2014. Berdasarkan data tersebut jumlah penderita berisiko tinggi terjadinya
kejadian luar biasa demam berdarah, oleh karena itu perlu diwaspadai oleh masyarakat atau
keluarga yang tinggal didaerah endemis demam berdarah. Hal ini dukung oleh penelitian
Ali, Rehman, Nisar, Rafique, Hussain, dan Nausheen (2013), pasien yang memilki riwayat
perjalanan ke daerah endemis demam berdarah lebih tinggi berisiko dibandingkan mereka
yang tidak. Riwayat perjalanan ke daerah endemik secara bermakna berkaitan positif
terhadap kejadian demam berdarah.
Anggota keluarga berusia dewasa yang tinggal di wilayah endemis demam berdarah
kelurahan Langenharjo berisiko tinggi untuk menderita demam berdarah. Selain faktor
daerah atau lokasi tempat tinggal, faktor usia dapat mempengaruhi. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Soedarto (2012), bahwa demam berdarah dapat menyerang
semua kelompok umur, sejak tahun 2001 sebagian besar terjadi pada kelompok usia
dewasa. Hal ini didukung juga oleh penelitian Ali, Rehman, Nisar, Rafique, Hussain
dan Nausheen (2013), yang menunjukkan angka kejadian demam berdarah di Pakistan
lebih tinggi ditemukan pada kelompok usia 21 - 30 tahun dibandingkan dengan usia anak-
anak dan usia tua. Sementara hasil penelitian lain di Malaysia menunjukkan bahwa orang
dewasa lebih rentan terhadap demam berdarah dibandingkan dengan anak-anak penderita
usia rata-rata 32 tahun (Sam, et.all, 2013). Hasil penelitian yang serupa oleh Pang, Salim,
Lee, Hibberd dan Chia (2012) membuktikan bahwa pasien dengue di Singapura sebagian
besar diderita oleh orang dewasa kelompok umur 30-39 tahun dibandingkan pada
kelompok umur 40-49 tahun. Ini berarti bahwa usia dewasa antara 21 – 39 tahun sangat
berisiko tinggi untuk menderita demam berdarah.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti berpendapat bahwa terjadinya demam berdarah pada
anggota keluarganya dapat juga disebabkan oleh kurang pedulinya keluarga dalam
menjaga lingkungan tempat tinggal yang sehat, keluarga tidak melakukan pencegahan
demam berdarah sehingga terdapat anggota keluarga yang menderita demam berdarah. Hal
ini sudah dibuktikan dengan penelitian Hasan dan Ayubi (2007), menunjukkan bahwa
individu yang tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M Plus berisiko
5,85 kali lebih besar mengalami demam berdarah daripada individu yang melakukan 2M
atau 3M.
Hasil penelitian ini dari analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
dukungan informasi dengan kejadian demam berdarah. Hasil penelitian ini mempunyai
kesamaan dengan Herlinah (2011), menemukan ada hubungan yang kuat antara dukungan
informasi dengan perilaku lansia hipertensi dalam pengendalian hipertensi. Hasil
penelitian lain yang sama Yenni (2011), juga menemukan adanya hubungan antara
dukungan informasi yang diberikan keluarga dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi.
Menurut Peterson dan Bredow (2004), dukungan informasi meliputi pemberian nasihat,
saran, pengetahuan dan informasi serta petunjuk. Menurut analisis peneliti, anggota
keluarga yang mendapatkan dukungan informasi dari keluarga berupa nasihat, pengarahan
atau masukan terkait dengan pencegahan penyakit, akan termotivasi untuk melakukan
tindakan pencegahan yang lebih baik. Seperti apabila didalam keluarga terdapat
kegiatan saling bertukar pikiran atau sharing informasi terkait penyakit pencegahan
demam berdarah, maka akan terpenuhinya kebutuhan informasi didalam keluarga. Anggota
keluarga yang mendapatkan informasi yang cukup dari keluarga akan memahami apa yang
harus dilakukan supaya terhindar dari demam berdarah. Apabila anggota keluarga selalu
melakukan tindakan pencegahan penyakit demam berdarah secara rutin dan teratur
akan mengurangi risiko untuk menderita demam berdarah.
Hasil penelitian dari analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
dukungan emosional dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value = 0,049.
Hasil penelitian ini mempunyai kesamaan dengan hasil penelitian Herlinah (2011),
menemukan ada hubungan yang kuat antara dukungan emosional dengan perilaku lansia
hipertensi dalam pengendalian hipertensi. Hasil penelitian ini juga ditunjang dengan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 157
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
hasil penelitian Yenni (2011), menemukan adanya hubungan antara dukungan
emosional keluarga dengan kejadian stroke pada lansia. Dukungan emosional
merupakan bentuk bantuan yang diberikan oleh keluarga seperti mendengarkan,
memberikan pujian, dan kehadiran (Kaakinen, Duff, Coehlo & Hanson, 2010). Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa dukungan emosioanal keluarga sangat berperan
penting dalam memberikan dukungan perawatan dan pengobatan penyakit menular atau
kronis sehingga membantu meningkatkan kesehatannya (Amiya, 2014; Miller, 2013).
Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan emosioanl dari
keluarga berupa mendengarkan keluhan, memberikan pujian atau reinforcement, dan
perhatian yang cukup terkait dengan cara pencegahan penyakit demam berdarah.
Dengan terpenuhinya dukungan emosional dalam keluarga dalam pencegahan maka
akan meningkatkan kesehatan dan perilaku pencegahan demam berdarah sehingga akan
terhindar dari penyakit demam berdarah.
Berdasarkan analisis bivariat penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
dukungan penghargaan dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value =
0,002. Hasil penelitian ini sda kesamaan dengan hasi penelitian Handayani (2013),
menemukan ada hubungan yang bermakna antara dukungan penghargaan dengan
penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Menurut Kaakinen, Duff, Coehlo dan
Hanson (2010), dukungan penghargaan berupa umpan balik yang diberikan kepada
individu untuk membantu dalam mengevaluasi dirinya dalam menilai situasi. Menurut
analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan penghargaan dari keluarga
berupa umpan balik dalam mengevaluasi dirinya dalam menilai situasi yang cukup terkait
dengan pencegahan demam berdarah, akan mengurangi atau terhindar dari penyakit
demam berdarah dan akan merubah perilakunya supaya menjadi lebih sehat. Semakin baik
dukungan penghargaan keluarga terhadap anggota keluarganya akan semaikin baik
perilaku anggota keluarga untuk melakukan pencegahan demam berdarah. Oleh sebab
itu, keluarga harus memberikan dukungan penghargaan berupa memberikan umpan balik,
dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah pencegahan yang dihadapi anggota
keluarga sehingga angka kejadian demam berdarah dapat diturunkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan instrumental
dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value = 0,031. Hasil
penelitian ini mempunyai kesamaan dengan Herlinah (2011), menemukan terdapat
hubungan antara dukungan instrumental dengan perilaku lansia hipertensi. Bentuk
dukungan instrumental dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi
penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan dan lain-lain (Setiadi, 2010).
Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan instrumental yang
baik seperti tenaga, peralatan, dana dan waktu dari keluarganya akan mempermudah
melakukan kegiatan pencegahan penyakit demam berdarah. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa anggota keluarga yang mendapatkan dukungan instrumental
yang baik dari keluarga akan mendapat melakukan pencegahan dan mengontrol
kesehatannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan status kesehatannya dan
menurunkan risiko untuk mengalami demam berdarah.
Kesimpulan
Karakteristik keluarga sebagian besar dalam kategori usia dewasa menengah,
perempuan, berpendidikan tinggi, bekerja, pendapatan keluarga tinggi, tipe keluarga
inti. Terdapat 13,9% anggota keluarga mengalami kejadian demam berdarah berusia
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 158
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
dewasa dan laki-laki. Dukungan keluarga (dukungan informasi, emosional, penghargaan
dan instrumental) dalam pencegahan demam berdarah sebagian besar kategori baik. Ada
hubungan antara dukungan informasi dalam pencegahan dengan kejadian demam
berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan emosional dalam
pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan
antara dukungan penghargaan dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada
anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan instrumental dalam pencegahan dengan
kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan
keluarga (dukungan informasi, emosional, penghargaan dan instrumental) dalam
pencegahan demam berdarah dengan kejadian demam berdarah.
Referensi
Ali, A. Rehman, Nisar, Rafique, Hussain, & Nausheen. (2013). Seroepidemiology of
dengue fever in Khyber Pakhtunkhawa, Pakistan. International Journal Of
Infectious Diseases: IJID: Official Publication Of The International Society For
Infectious Diseases [Int J Infect Dis] 2013 Jul; Vol. 17 (7), pp. e518-23. Date of
Electronic Publication: 2013 Mar 21.
Amiya, RM., et.al. (2014). Perceived Family Support, Depression, and Suicidal
Ideation among People Living with HIV/AIDS: A Cross-Sectional Study in the
Kathmandu Valley, Nepal.
Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2013). Laporan Penyelenggaran Rakerkesda
2013. Semarang: Dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah
Handayani, D.Y. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Penerapan Perilaku
Hidup Bersih Dan Sehat Di Kelurahan Cisalak Pasar Kecamatan Cimanggis Kota
Depok. Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok.
Hasan, A. & Ayubi, D. (2007). Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
dan Kejadian Demam Berdarah Di Kota Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. Volume 2. Nomor 2. Oktober. 2007. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Herlinah, L(2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Lansia Dalam
Pengendalian Hipertensi Di Wilayah Kec. Koja Jakarta Utara . Tesis. Program
Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok
Kaakinen, J.R., Duff, V.G., Coehlo, D.P., & Hanson, S.M.H. (2010). Family health care
nursing : Theory, practice and research. 4th edition. Philadelphia: F.A. davis
Company.
Miller & Dimatteo. (2013). Importance of family/social support and impact on
adherence to diabetic therapy. Diabetes, Metabolic Syndrome And Obesity: Targets And
Therapy [Diabetes Metab Syndr Obes] 2013 Nov 06; Vol. 6, pp. 421-426. Date of
Electronic Publication: 2013 Nov 06.
Pang, J., Salim, A., Lee, V.J., Hibberd, M.L., & Chia, K.S. (2012). Diabetes with
Hypertension as Risk Factors For Adult Dengue Hemorrhagic Fever In A
Predominantly Dengue Serotype 2 Epidemic: A Case Control Study. PLoS
Neglected Tropical Diseases Vol. 6.Edisi 5. 2002 May.
RSUD Kendal. (2014). Laporan tahunan pasien. Kendal: RSUD Kendal.
Sam, SS., Omar, S.E., Teoh, B.T., Abdul, J.J., & Abu, B.S. (2013). Review of Dengue
hemorrhagic fever fatal cases seen among adults: a retrospective study. Plos
Neglected Tropical Diseases [PLoS Negl Trop Dis] 2013 May 02; Vol. 7 (5), pp.
e2194.
Abstrak
Latar Belakang. Keluarga sebagai suatu kelompok individu di dalam keluarga dapat
menimbulkan mencegah, mengabaikan, atau memperbaiki masalah kesehatan dalam
kelompok sendiri. Hampir setiap masalah kelompok kesehatan individu di pengaruhi oleh
keperawatan keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh
anggota keluarganya dan bukan individu itu sendiri yang mengusahakan tercapainya
tingkat kesehatan yang di inginkan. Kesehatan pada usia lanjut harus sangat di perhatikan,
karena lansia sering di ikuti dengan penurunan kualitas hidup sehingga status lansia dalam
kondisi sehat ataupun sakit. Penuaan dapat terjadi secara alamiah / fisiologis atau
patologis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Dukungan Keluarga
dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia.
Metoda. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif
dengan rancangan Cross sectional. Tekhnik sampling yang digunakan proporsional
random sampling sebanyak 70 lansia yang dilaksanakan di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang pada bulan januari 2015. Analisa data menggunakan
univariat dan bivariat dengan Chi Square. Karena syarat chi-square tidak terpenuhi maka
membaca uji statistik dengan menggunakan continuity correction, berdasarkan uji tersebut
didapatkan hasil p = 0,006 (0,006 < 0,05).
Hasil. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan
antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu
lansia.
Kesimpulan. Menurut hasil penelitian ini, keluarga disarankan agar selalu memberikan
dukungan kepada keluarga terutama lansia sehingga lansia mengujungi posyandu lansia.
Pendahuluan
Lansia adalah bagian dari suatu proses tumbuh kembang manusia tidak secara tiba-tiba
menjadi tua, tetapi berkembang menjadi bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi
tua. Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia, suatu proses menjadi
lebih tua dengan umur mencapai umur 60 tahun ke atas. Pada lansia akan mengalami
masalah fisik, mental dan sosial kemunduran fungsi yang di miliki seorang lansia
(Hidayanti, 2009). Menurut data WHO tahun (2012) terjadi peningkatan jumlah lansia
yang cenderung cepat, dengan jumlah penduduk lansia yang diseluruh dunia mencapai 426
Seiring dengan pelaksanaan program posyandu lansia di harapkan lansia semakin berperan
dalam meningkatkan derajat kesehatanya pelayanaan yang bisa diberikan di posyandu
lansia yaitu pemeriksaan aktifitas sehari-hari, pemeriksaan status mental, pemeriksaan
status gizi dengan pemeriksaan berat badan, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan gula
darah dan kunjungan rumah yang dilakukan oleh kader dalam rangka kegiatan perawatan
kesehatan masyarakat (Yuni, 2009). Namun hal yang terjadi adalah rendahnya perilaku
lansia untuk memeriksakan kesehatannya ke posyandu dikarenakan tidak semuanya rumah
tangga mengetahui keberadaan posyandu lansia (Kemenkes, 2013). Berdasarkan survey
Riset Kesehatan Dasar (2013) hanya 65,2% rumah tangga yang mengetahui keberadaan
posyandu. di jawa tengah hanya 66% (Kemenkes, 2013). berdasarkan profil jateng
prosentase ke datangan ke pelayanan kesehatan posyandu terjadi penurunan yaitu pada
tahun 2011 (17.417 atau 36,84) menjadi 17.184 (35,22%) pada tahun 2012 (Dinkes
jateng,2012).
Pelayanan kesehatan di posyandu lanjut usia meliputi kesehatan fisik dan mental
emosional. Hasil pemeriksan kesehatan fisik dicatat dan dipantau ,dengan Kartu Menuju
Sehat (KMS) untuk mengethui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau
anacaman masalah kesehtan yang dihadapi, dengan memperhatikan aspek kesehatan
kegiatan olahraga senam lansia lanjut usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan
kebugaran (DepKes RI, 2008). Frans juniardi (2010) dalam penelitianya faktor-faktor yang
mempengaruhi dengan rendahya kunjungan lansia ke posyandu lansia di puskesmas, telah
membuktikan bahwa dukungan keluarga yang merupakan faktor yang penting yang
mempengaruhi perilaku lansia dalam memeriksakan kesehatan di posyandu lansia,
penelitian yang dilakukan Herdini (2013) Faktor-faktor yang berhubungan dengan angka
kehadiran lanjut usia di posyandu lansia, juga membuktikan pengaruh kehadiran lansia
yang aktif menghadiri posyandu lansia, dukungan keluarga yang memiliki pengaruh tinggi
selain dari pengetahuan lansia terhadap posyandu serta pendidikan lansia.
Menurut kader posyandu lansia mengatakan tidak semua lansia memeriksakan kesehatan
dan aktif di posyandu tiap bulan, dan itu disebabkaan tidak ada yang mengantar, dan selain
fisiknya yang lemah sedangan keluarga kalau pagi pada bekerja dan tetangga puya aktifitas
sendiri, lansia yang aktif ke posyandu lansia biansanya kalau ada temanya dan kalau ada
keluhan, sedangkan lansia yang tidak aktif keposyandu mengatakan karena tidak ada yang
mengantar dan tidak bisa dimintai tolong kondisi fisik yang tidak memungkinkan karena
sering pusing, badan lemas, susah makan. Hasil survey pendahuluan pada bulan 16
September 2014, Pada Desa Sawahjoho dari 214 lansia hanya 70 orang lansia yang
memeriksakan kesehatan ke posyandu atau hanya 32% , yang telah berumur 60 tahun dan
hidup bersama keluarga, Dari 6 sampel diambil terdapat 3 responden yang tidak
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, mengontrol keadaan kesehatanya bila ada
teman dan kalo ada keluhan, sedangkan 3 tidak datang ke posyandu mengatakan karena
tidak ada yang mengatar dan tidak ada yang bisa dimintai tolong menggingat kondisi fisik
yang tidak memungkinkan. Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik melakukan
penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang
Tujuan
Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia dalam
pemeriksakan kesehatan pada posyandu lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang.
Metode
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga
peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya (Karjono & Yasril,
2009). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi, yaitu melihat
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 163
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
hubungan antara dua variabel satu dengan lainnya, dalam penelitian ini peneliti ingin
mencari hubungan dukungan keluarga dengan perilaku memeriksakan kesehaatan pada
lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Sedangkan
pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu suatu penelitian non eksperimental untuk mengetahui dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada saat itu (point time approuch). Artinya, tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali dan faktor resiko serta efek diukur menurut keadaan
atau status saat diobservasi. (Sumantri, 2011).
Populasi penelitian ini adalah semua lansia yang berumur ≥ 60 tahun di Desa Sawahjoho
yang berjumlah 70 orang, Sampel dalam penelitian ini adalah semua lansia yang berusia
berumur ≥ 60 tahun ke atas memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, Teknik Sampling yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan Total Sampling yaitu suatu teknik penetapan
sampel dengan cara menggunakan semua populasi sebagai sampel untuk menggambarkan
kondisi dari keseluruhan objek yang diteliti (Hidayat, 2007).
Analisis univariate Variabel yang dianalisis adalah dukungan keluarga dan perilaku
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, Analisis Bivariate Pada penelitian ini untuk
mengetahui dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di
posyandu lansia menggunakan rumus chi-Square Karena data yang digunakan merupakan
data kategorik dihubungkan dengan skala kategorik.
Hasil
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur lansia di Desa SawahJoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015.
Berdasarkan Tabel 4.1 di atas diketahui bahwa rata-rata umur lansia yang memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia di desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten
Batang dari 70 responden adalah yang berumur 60 tahun, umur yang paling muncul 60
tahun sebanyak 9 responden dan umur terendah 60, umur tertinggi responden 75 tahun
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin lansia di Desa
SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa proporsi responden berdasarkan Jenis Kelamin Lansia yang
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia Di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang. Mayoritas lansia perempuan yaitu sebanyak 39 (55.7%) responden dan
responden laki-laki sebanyak 31 ( 44.3%).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 164
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Dukungan keluarga
Dari tabel 4.3 diatas didapatkan data bahwa lansia di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang sebagian besar mendapatkan dukungan keluarga dengan
baik sebanyak 39 orang (55.7%) dan hanya sebagian kecil lansia yang mendapatkan
dukungan keluarga kurang sebanyak 31 orang (44.3%)
Perilaku lansia
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi Perilaku Lansia di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015
Perilaku Lansia Jumlah Prosentase ( % )
Baik 41 58.6%
Kurang 29 41.4%
Total 70 100
Dari tabel 4.4 diatas didapatkan data bahwa lansia di Desa Sawah Joho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang mayoritas perilaku lansia memeriksakan kesehatan di
posyandu lansia baik sebanyak 41 orang (58.6%) dan hanya sebagian kecil saja yang
kurang sebanyak 29 orang (41.4%).
Diskusi
Tabel 4.5 Hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia di Desa Sawah Joho
Perilaku lansia
Dukungan p
Baik Kurang Total OR
keluarga value
n % n % n %
Baik 29 74.4 10 25 39 100
Kurang 12 38.7 19 61.5 31 100 0.003 4.59
Jumlah 41 58.6 29 41.4 70 100
Tabel 4.8 Menunjukkan frekuensi dukungan keluarga dari masing-masing kategori dari 70
responden. dari 39 responden yang memiliki dukungan keluarga baik, ada 29 (74,4%)
memiliki perilaku yang baik dan 10 (25,0%) sedangkan 31 reponden yang memiliki
Berdasarkan hasil analisa bivariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang saling berhubungan, yaitu untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan
perilaku lansia memeriksakan kesehan di posyandu. Jenis analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Chi-Square dengan tingkat signifikansi 0,05.Uji statistic alternatife
Continuity Correction diperoleh nilai ρvalue 0,006 (0,006 < 0,05), maka dapat disimpulkan
ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia yang memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=4,59, artinya
lansia yang memliki dukungan keluarga yang baik mempunyai peluang 4,59 kali perilaku
baik.
Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilaksanakan di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dukungan keluarga pada lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang, dukungan keluarga dengan baik sebanyak 39 responden (55.7%).
2. Perilaku lansia dalam memeriksakan kesehatan di posyandu lansia Desa SawahJoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang bahwa mayoritas baik 41 responden
(58.6%).
3. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia nilai ρvalue 0,006 (0,006 < 0,05).
Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Kesehatan lansia di Indonesia .http://subhankadir.files.wordpress.com
Arikunto, S (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Azizah, L.M 2011, Keperawatan lanjut usia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Balitbangkes, Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007: Prevalensi
Penduduk lansia Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Balitbangkes, Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007: Prevalensi
Penduduk. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Bomar, P.J.( 2007) promotion health in families : applyimg research and theory to nursing
practice. Philadelphia : W.B Saunders Company
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan. Semarang. 2009
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
Depkes RI. (2006). pelayanan posyandu lansia. Jakarta: Depkes RI.
Friedman, M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga “riset, teori dan praktik. Jakarta :
EGC.
Hayani Hasugia Fitri 2012, “Hubungan perilaku lansia dan dukungan keluarga terhadap
pemanfaatan posyandu lansia di wilayah kerja darussalan tahun 2012”. Diakses
pada tanggal 14 September 2014 jam 13.00 WIB.
Hidayat, A. (2008). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.
Kasjono, H & Yasril. (2009). Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan.Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Latifah, Nurul. 2010. Urgensi Posyandu Lansia. http://bataviase.co.id
Abstrak
Latar Belakang. Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia. Diabetes mellitus memberikan dampak baik
dampak fisik dan psikologis pada penderitanya. Adanya dampak fisik dan psikologis akan
menimbulkan perubahan saat melakukan hubungan sexual. Hubungan seksual atau coitus adalah
masuknya penis ke vagina yang kemudian memberikan rangsangan sehingga keduanya mencapai
orgasme.
Tujuan. Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang efektivitas senam diabet
terhadap aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Ungaran
Barat.
Metoda. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan metode triangulation yang
menggunakan rancangan “Pretest-Posttest with control Group” yang berguna untuk mengukur
tingkat aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM sebelum (pre-test) dan sesudah (post –
test) diberi intervensi. Populasi dalam penelitian ini adalah pria DM sejumlah sampel 30 orang.
Pengambilan sampel dengan menggunakan total sampel, kemudian diambil dengan tehnik simple
random sampling untuk mendapatkan data kualitatif yaitu sebanyak 5 orang. Analisis efektivitas
senam diabet terhadap aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM menggunakan chi-square.
Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya Sebagian besar karakteristik umur responden
berada pada rentang lansia awal sebanyak 14 orang (46,7 %), karakteristik pekerjaan responden
adalah wiraswasta sebanyak 18 orang (60 %), kategori pendidikan responden paling banyak adalah
SMA yaitu sebanyak 12 orang (40 %).
Kesimpulan. Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas dan
kepuasan sexual sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM.
Kata Kunci : Diabet Melitus, Senam diabet, Kepuasan dan aktivitas sexual
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius.
Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun
2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126
mg/dL dan pada tes sewaktu >200 mg/dL. Prevalensi penyakit DM semakin meningkat
jumlah penderitanya setiap tahun di seluruh dunia.Jumlah penderita DM tersebut sekitar 60
% berada di benua Asia.Indonesia berada di posisi ke-empat dunia setelah India, China,
dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes mellitus di Provinsi Jawa Tengah terus
meningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi diabetes mellitus di Jawa Tengah tahun 2007
sebesar 1,3%, meningkat menjadi 1,41% pada tahun 2008, dan 1,43% pada tahun 2009.
Prevalensi diabetes mellitus tergantung insulin tahun 2008 sebesar 0,16% dan meningkat
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 168
“Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
menjadi 0,81% pada tahun 2009. Prevalensi diabetes mellitus tidak tergantung insulin pada
tahun 2008 sebesar 1,25%, mengalami penurunan menjadi 0,62% pada tahun 2009.
Diabetes mellitus memberikan dampak baik dampak fisik dan psikologis pada
penderitanya.Dampak fisik yang terjadi adalah adanya komplikasi yang dialami penderita
diabetes mellitus.Komplikasi tersebut dapat berupa angiopati atau kelainan pada pembuluh
darah, neuropati pada sistem saraf, ataupun campuran dari keduanya.Dampak psikologis
yang umumnya dialami penderita diabetes mellitus adalah penolakan, ketakutan,
ketidakpatuhan dan tertekan.Penolakan dan ketakutan terjadi ketika pertama kali
didiagnosis menderita diabetes mellitus.Kebanyakan penderita tidak percaya bahwa
mereka memiliki diabetes mellitus. Adanya dampak fisik dan psikologis akan
menimbulkan perubahan saat melakukan hubungan sexual. Hubungan seksual atau coitus
adalah masuknya penis ke vagina yang kemudian memberikan rangsangan sehingga
keduanya mencapai orgasme.
Menurut Bangun ( 2013) perubahan dalam hubungan sexual pada penderita pria diabet
melitus yang terjadi adalah perubahan frekuensi dalam berhubungan sexual, perubahan
hasrat, perubahan fisik, perubahan ereksi dan perubahan ejakulasi.Penelitian yang
dilakukan oleh Rahmadi di Martapura pada tahun 2008, menyebutkan bahwa dari 40
penderita diabetes mellitus dengan rentang usia 20-50 tahun terdapat 80 % yang
mengalami gangguan ereksi, 85,3 % mengalami hambatan libido. Kemampuan ereksi -
0,536 dengan p = 0,000, sedangkan pada hambatan libido r = 0,462 dengan p = 0,003 21.
Penyebab perubahan dalam hubungan sexual adalah karena rendahnya kadar gula dalam
darah. Kadar gula yang sangat rendah dapat mengakibatkan gangguan pada beberapa
fungsi saraf.Kerusakan saraf dan penyakit arteri yang mengakibatkan hilangnya potensi
seksual atau disfungsi ereksi pada pria penderita diabetes mellitus. Kondisi tersebut akan
memberikan respon yang berbeda saat melakukan hubungan sexual(Bhasin,2007). Respon
yang dialami pria penderita DM karena adanya perubahan dalam hubungan sexual adalah
kecewa, jengkel, menyesal dan putus asa. Menurut Bangun (2013) Rasa kecewa dan
jengkel disebabkan karena ketidakmampuan penderita DM dalam melakukan atau
memenuhi kebutuhan sexual dengan pasangannya. Perasaan menyesal disebabkan tidak
mampu memberikan nafkah batin pada isterinya. Adanya perasaan putus asa disebabkan
karena penyakitnya yang tidak bisa sembuh.
Adanya perubahan dan respon dalam hubungan sexual yang terjadi pada pria penderita
DM akan berpengaruh pada aktivitas dan kepuasan seseorang pria penderita DM saat
berhubungan sexual. Hal ini disebabkan karena adanya disfungsi seksual. Disfungsi
seksual merupakan salah satu penyebab ketidak harmonisan kehidupan seksual setiap
pasangan. Pria penderita disfungsi seksual akan merasa kecewa dan tidak puas dengan
hubungan seksual. Disfungsi seksual yang berkepanjangan akan membuat pria merasa
malu kepada pasangannya, bahkan dapat terjadi penolakan terhadap aktivitas seksual. Hal
tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan perceraian dalam rumahtangga. Oleh karena
itu diperlukan peran perawat untuk meminimalkan disfungsi sexual pada penderita
DM.Salah satu peran perawat adalah memberikan pendidikan kesehatan yang berupa
senam diabet pada pria DM. Senam diabet adalah suatu latihan yang dilakukan oleh
penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan
peredaran darah bagian kaki. Menurut Widianti (2010) senam diabet dapat membantu
memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot –otot kecil kaki dan mencegah
terjadinay kelainan bentuk kaki. Senam diabet akan memberikan manfaat bagi penderita
Metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan metode triangulation
yang menggunakan rancangan “Pretest-Posttest without control Group”. Populasi pada
penelitian ini adalah pria penderita diabet di wilayah kerja Puskesmas Ungaran
barat.Peneliti menggunakan batas minimal sampel dalam penelitian quasi eksperimen yaitu
30 orang. Sampel ditetapkan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalahPria DM yang sudah 1 tahun mendertia DM dan Aktif
melakukan hubungan sexual. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan
kuesioner untuk mengukur kepuasan hubungan sexual.Peneliti bekerja sama dengan
perawat dan enumerator yang sebelumnya dilakukan persamaaan persepsi dengan memberi
pengarahan kepada enumerator yaitu menjelaskan tujuan dari penelitian. Penelitian
mengkategorikan aktivitas dan kepuasan penderita DM sebelum dilakukan pemberian
pelatihan senam diabet. Skala pengukuran data yang digunakan adalah skala ordinal dan
nominal. Pengumpulan datadilakukan pada penderita DM dengan mendatangi rumah
penderita. Pelaksanaan dan pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh
enumerator (mahasiswa). Pengumpulan data dilaksanakan bulan Mei – Oktober 2014.
Hasil
Hasil penelitian analisa data yang dikumpulkan sejak bulanApril sampai dengan
November 2014. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ungaran Barat.
1. Analisis kuantitatif
a. Tingkat aktivitas dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet
Melitus.
Tabel 1.
Perbedaan tingkat aktivitas dalam melakukan hubungan sexual pada penderita
Diabet Melitus padapre dan post test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran
Barat tahun 2014
Kategori aktivitas Kelompok Intervensi
Hubungan sexual Pre Post
Frek % frek %
Tidak pernah 0 0 0 0
Jarang 15 50 11 36,7
Sering 15 50 19 63,3
Total 30 100 30 100
P value 0,001
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden
yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat pre test
sebanyak 11 orang (36,7%). Sedangkan jumlah responden yang mengalami
ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat post test sebanyak 16 orang
(53,3). Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut
adalah 0,017. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara kepuasan dalam melakukan
hubungan sexual pada saat pre dan post test pada kelompok intervensi.
2. Analisis kualitatif
a. Karakteristik partisipan
Tabel 3.
Karakteristik partisipan yang dilakukan wawancara mendalam tentang kepuasan
hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapre dan post test pada kelompok
intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Parisipan Umur Pendidikan Pekerjaan Kelompok
(tahun)
P1 60 SMP Wiraswasta Intervensi
P2 52 SI PNS Intervensi
P3 46 SMP BURUH Intervensi
P4 52 SMP Wiraswasta Intervensi
P5 51 SMP PNS Intervensi
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sampel pada kelompok intervensi,
partisipannya yang berumur 44 tahun sebanyak 2 orang, partisipan yang
mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebagai IRT sebanyak
Tabel 4.
Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus
padapre test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kata kunci Sub Kategori Tema
Jengkel Perasaan pada hubungan Perasaan pada hubungan
Kecewa sexual sexual
Ereksi ora tegang banget Ereksi tidak maksimal Disfungsi ereksi
Ereksi ora kenceng
Kurang tegang
Ejakulasi sedikit Gangguan ejakulasi Disfungsi ejakuasi
Susah keluar
Metune susah
Tabel 5.
Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus
padapost test padakelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kata kunci Sub Kategori Tema
Puas Perasaan pada hubungan Perasaan pada hubungan
Rasane senang sexual sexual
Nikmat Ereksi normal Tidak ada disfungsi ereksi
Ereksi tegang
Ereksi kenceng
Tegang
Ejakulasi banyak Ejakulasi normal Tidak ada disfungsi
Keluarnya normal ejakuasi
Keluar banyak
Pembahasan
Tingkat aktivitas penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada
kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada
perbedaan yang bermakna (p value 0,001). Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada
penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas hubungan sexual. Salah
satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang
senam diabet.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Smith (1995) dan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan
bahwa pendidikan kesehatan senam diabet adalah kegiatan belajar mengajar yang
disesuaikan dengan kondisi penderita DM dan diberikan oleh perawat.Pendidikan
kesehatan menurut WHO merupakan berbagai kombinasi pengalaman belajar yang
dirancang untuk membantu individu dan komunitas meningkatkan kesehatannya dengan
Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre
intervensi sebanyak 15 orang ( 50 %). Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya
perubahan aktivitas dalam hubungan sexual. Kaplan menyebutkan bahwa adanya diabetes
pada pria dapat berdampak pada kemampuan seks dimana neuropati dapat menyebabkan
kerusakan syaraf (Duning, 2003). Hal ini senada dalam penelitian Bangun (2013)
didapatkan bahwa dalam hubungan sexual penderita DM mengalami penurunan frekuensi
hubungan sexual. Berdasarkan penelitian Bangun secara kualitatif (2013) didapatkan hasil
bahwa pria DM melakukan hubungan sexual sebanyak 3 atau 4 kali sebulan, ada juga yang
hanya sebulan sekali. Adanya perubahan aktifitas hubungan sexual pada responden
tercermin melalui penuruan frekuensi hubungan sexual dan penurunan hasrat dalam
sexual. Perubahan frekuensi ini terjadi karena adanya penurunan kadar testoteron yang
berkaitan dengan keseluruhan aktivitas sexual dan rendahnya hasrat sexual. Nilai total dan
bebas dari testoteron umumnya akan rendah pada pasien DM.
Diabetes Melitus dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah akibat aterosklerosis
berupa kelainan mikrovaskular dan makrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai
faktor aterogenik seperti kelainan metabolisme lemak, perubahan adhesi trombosis.
Gangguan pembuluh darah terkait dengan disfungsi endotelial karena aktivasi protein
kinase C (PKC), ekspresi berlebihan growth factors/cytokines dan stress oxidasi.
Peningkatan glukosa di jalur poliol mengeluarkan co-faktor aldose reductase (nicotinamide
adenine dinucleotidephosphate / NADPH) dan sorbitol dehydrogenase (nikotinamid adenin
dinukleotida / NAD+), menyebabkan berkurangnya NADPH yang berdampak menurunnya
aktifitas glutathione reductase dan sintesis nitric oxide (NO) sehingga terjadi gangguan
mikrovaskular dan melambatnya konduksi saraf, kegagalan neurogenik dan menurunnya
NO menyebabkan akumulasi advanced glycation end products (AGEs) (22). Selain itu
hiperglikemia dengan melewati jalur glycolytic meningkatkan sintesis de novu
deacylglyceral (DAG) yang meningkatkan aktifitas PKC yang gilirannya meningkatkan
aktifitas sodium-proton antiport yang mengatur pH intrasel, pertumbuhan dan difrensiasi
sel juga menambah ekspresi protein matriks seperti fibronectin, kolagen tipe IV dan
laminin yang menyebabkan disfungsi vaskular. Hiperglikemia kronis juga menyebabkan
peningkatan nonenzimglucation yang berlaku sebagai antigen bagi protein dan DNA
sehingga terjadi kelainan struktur dan fungsi makromolekul jaringan yang menyebabkan
gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta saraf perifer. Pada penderita diabetes
juga terjadi peningkatan very low densiy lipoprotein (VLDL) yang memudahkan agregasi
platelet, peningkatan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan penurunan insulin-like
growth factor-1 (IGF-1) yang mengakibatkan disfungsi saraf simpatis sehingga terjadi
penurunan aliran darah proksimal dan vasokonstriksi paradoksal. Peningkatan jalur poliol,
akumulasi AGEs intrasel, aktifitas PKC menyebabkan komplikasi endotelium pembuluh
darah, saraf perifer berupa mikroangiopati dan neuropati yang mengakibatkan
Adanya disfungsi ereksi pada penderita diabetes mellitus dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain neurogenik, vaskulogenik, kerusakan endotel, dan miogenik.Pada
penyakit diabetes yang telah mengalami neuropati, terjadi kerusakan saraf perifer menuju
corpora yang dapat mengurangi sensasi penis. Pada vaskulogenik terjadi gangguan yang
mempengaruhi aliran darah arteri perifer yang berkaitan erat dengan disfungsi ereksi.
System perdarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi
arteri penis komunis dan bercabang menjadi arteri kavernosa, arteri dorsalis penis, dan
arteri bulbo uretralis. Penyempitan arteri pudenda interna mengurangi penekanan perfusi
ke corpora yang mengakibatkan kegagalan untuk mencapai kekakuan penuh sehingga
ereksi menjadi lemas (flaccid).
Disfungsi endotel merupakan awal terjadinya lesi aterosklerosis pada penderita diabetes.
Kerusakan endotel menyebabkan gangguan relaksasi otot polos, sedangkan pada
kerusakan miogenik terjadi gangguan fungsi otot polos. Endotel mempunyai peranan
penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah. Sel-sel endotel yang rusak
dapat mengurangi pelepasan neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama
sintesis nitric oxide (NO) . Menurunnya NO dapat mengakibatkan gangguan
mikrovaskular dan konduksi saraf juga akan melambat. Nitric oxide merupakan mediator
neural pada proses terjadinya ereksi yang prinsipnya dapat menyebabkan relaksasi otot-
otot halus kavernosum penis dan pembuluh darah penis. Sebelum NO berperan dalam
mekanisme ereksi, terlebih dahulu terjadi ereksi refleksogenik. Ereksi refleksogenik hasil
dari stimulus reseptor sensori pada penis, hubungan dengan tulang belakang, aksi saraf
somatik dan saraf eferen parasimpatis. Aktifitas saraf parasimpatis memicu rangkaian
peristiwa melalui neurotransmiter acetylcholine dan merangsang neurefektor
nonadrenergic-noncholinergic (NANC) melepaskan NO yang menyebabkan relaksasi otot
halus trabekular dan pembuluh darah penis. Aliran darah masuk ke dalam korpus
kavernosum menekan vena sehingga terjadi penurunan aliran balik vena (mekanisme
penutupan venocorporal). Peningkatan inflow dan penurunan outflow secara cepat
mengakibatkan tekanan intrakavernosa meningkatkan sehingga menyebabkan kekakuan
pada penis yang progresif dan terjadi ereksi penuh. eksogen merupakan komponen penting
dari seksualitas yang dapat meningkatkan libido. Rendah tingkat testosteron
mengakibatkan penurunan libido. Disfungsi ereksi dilaporkan sekitar 50 % terjadi pada
Tingkat kepuasan penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada
kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada
perbedaan yang bermakna (p value 0,017). Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada
penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepuasan hubungan sexual. Salah
satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang
senam diabet.Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet tidak efektif dalam
meningkatkan kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang
merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang (36,7%). Sedangkan
jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang
(53,3%).
Demon dan Byers (1999) menyatakan kepuasan seksual adalah suatu bentuk kedekatan
seksual yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam wilayah interpersonal, yaitu dalam
kualitas komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan
hubungan seksual. Kepuasan seksual merupakan suatu bentuk perasaan yang dirasakan
oleh pasangan atas kualitas hubungan seksual mereka yang dapat berupa sentuhan fisik
dan psikis. Hubungan seksual ini bukanlah semata-mata bertemunya secara keadaan
fisiologik antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga bertemunya keadaan
psikologik dari kedua individu itu.semua curahan hatinya,curahan perasaannya dinyatakan
pada waktu hubungan seksual tersebut (Walgito, 1984).
Pusat pengaturan prilaku seksual termasuk libido terdapat pada otak di bagian
hipotalamus dan korteks serebri. Fungsi bagian ini salah satunya dipengaruhi keberadaan
hormon testosteron yang berfungsi sebagi faktor tropik. Akibat hiperglikemia
berkepanjangan menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta
sistem saraf perifer karena peningkatan aktifitas PKC dan TNF α , Selain itu pula juga
dapat terjadi penurunan ekspresi IGF-I akibat tidak cukupnya atau tidak sensitifnya
insulin, gangguan replikasi sel Leydig karena penurunan signalling SCF akibat
sesistensinya insulin pada testis menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron,
selain itu juga menyebabkan berkurangnya reseptor androgen pada sel Leydig sehingga
juga akan mempengaruhi kadar hormon testosteron. Testosteron diperlukan untuk
terjadinya bangkitan libido, testosteron dapat meningkatkan rangsang seksual (sexual
erotism) dan kesadaran seksual (sexual awareness).Menurunnya jumlah testosteron
Jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang
(36,7%). Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya ketidakpuasan penderita
dalam melakukan hubungan sexual. Hal ini dikarenakan karena adanya perubahan
disfungsi ereksi yang terjadi pada responden. Adanya disfungsi ereksi tersebut akan
berpengaruh terhadap kepuasan dalam hubungan sexual. Ketidakpuasan dalam melakukan
hubungan sexual pada penderita DM akan memberikan adanya emosi negatif pada
responden. Berdasarkan wawancara dengan informan didapatkan emosi negatif yang
muncul dari informan sebelum dilakukan pelatihan senam diabet diantaranya adalah
kecewa dan jengkel. Kecewa merupakan respon yang dialami oleh informan dalam
penelitian ini. Kecewa merupakan perasaan kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul
keinginannya dan harapan). Satu dari informan yang berperan serta dalam penelitian ini
menyatakan bahwa informan merasa kecewa akibat dari ketidakmampuan atau
kegagalannya memenuhi kewajibanya sebagai suami. Dalam penelitian ini hal ini terjadi
sebagai akibat dari ketidak mampuan informan dalam melakukan atau memenuhi
kebutuhan seksualitas yang diakibatkan oleh perubahan seksualitas yang terjadi.
Menurut Bangun (2013) Harapan atau keinginan informan adalah mampu menjalankan
kewajibannya sebagai seorang suami untuk memenuhi kebutuhan bathin dari istrinya.
Dimana sebagai seorang laki – laki secara umum menginginkan menjadi the real men atau
pria sejati, yang mempunyai pekerjaan baik, stress yang tertata, hidup yang baik bersama
perempuan yang benar dan baik, dan bahkan mendapatkan keberhasilan dan kegagalan
yang nyata dan baik pula. Namun diabetes yang dideritanya mengakibatkan disfungsi atau
tidak berfungsi secara normal dari organ seksualnya akan menyebabkan seorang lelaki
tersebut akan merasa sudah tidak bisa menjadi pria sejati lagi dan akhirnya kesejahteraan
hidup terganggu. Emosi negatif lain yang muncul dari informan yang diteliti adalah
munculnya perasaan jengkel terhadap kondisi perubahan seksual yang terjadi saat
dilakukan penelitian. Salah satu informan mengatakan jengkel terhadap kondisinya saat ini
sebagai dampak akibat perubahan seksual yang dialaminya. Rasa jengkel informan
dikarenakan adanya perubahan dalam ereksi sehingga mempengaruhi kepuasan dan
kenikmatan dalam hubungan sexual. Jumlah responden yang merasakan tidak puas pada
saat post intervensi sebanyak 16 orang (53,3%). Apabila dibandingkan dengan jumlah
responden pada saat pre Intervensi memang meningkat peningkatan 16,6 %. Kondisi ini
disebabkan ada beberapa responden yang tidak rutin melakukan senam diabet. Responden
yang melakukan senam rutin dalam 4 kali dalam seminggu hanya 40 %. Responden tidak
melakukan senam diabet secara rutin karena responden kurang menyadari akan dampak
perubahan sexual akibat adanya penyakit diabet mellitus. Senam diabet apabila dilakukan
rutin oleh penderita diabet akan memberikan manfaat bagi penderita terkait hubungan
sexual.
Kesimpulan
Sebagian besar karakteristik umur responden berada pada rentang lansia awal sebanyak 14
orang ( 46,7 %), karakteristik pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 18 orang (
60 %), kategori pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu sebanyak 12 orang
(40 %), Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas
sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM, Ada
hubungan yang bermakna antara senam diabet tingkat dan kepuasan sexual sebelum dan
sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM untuk kelompok intervensi.
Saran diperuntukkan bagi pria penderit a DM yaitu Penderit a DM disarankan
untuk lebih rajin melakukan senam diabet sehingga bermanfaat untuk dirinya dan
pasanganya.
Daftar Pustaka
Arikunto. (2008). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Atul Lutha. (2013). Erectile Dysfunction In Diabetic Male : Plausible Mechanism And
Management Strategies. Diaskes melalui http://diabetesindia.com tanggal 29
Agustus 2013.
Bhasin S, et al. (2007). Sexual Dysfunction In Men And Women With Endocrine
Disorders. Diakses melalui http://www.thelancet.com tanggal 28 Agustus 2013.
Bangun. (2013). Pengalaman hubungan seksual pada penderita Diabet Mellitus Di
Puskesmas Bergas, Skripsi, tidak dipublikasikan.
Hafna Ilmy Muhala ( 2011). Pengalaman Disfungsi Seksual pada Klien Pria Diabetes di
RSUPN Dr. Cipto. Diambil dari
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 20281063&lokasi= lokal
pada tanggal 12 Januari 2013
Jacobs LI.(2005). Impotensi Yang Perlu Diketahui Setiap Suami Istri. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Misnadiarly.(2006).Diabetes Mellitus Ulcer, Gangren, Infeksi. Jakarta : Pustaka populer
Obor.
Moelong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. .Bandung : PT. Rosdakarya
Notoatmodjo S. (2002). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Sustrani L.(2006). Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tjokronegoro A, Murtiani AS.(2003). Rahasia Dibalik Keperkasaan Pria. Jakarta : FKUI
Pangkahila W.(2005). Menguak Disfungsi Ereksi:Menyimak Masalah Pria,Keluhan
Wanita. Jakarta : PT Gramedia.
Profil Kesehatan Jawa Tengah.(2013) Diakses melaui www.dinkesjatengprov.go.id tanggal
25 Juli 2013.
Widhyastuti. (2012). Senam Diabet. Jakarta : Rineka Cipta.
Abstrak
Kecemasan wanita klimakterium terjadi akibat adanya sindrom klimakterium dan
ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. SEFT sebagai salah satu
terapi non farmakologis untuk mengatasi kecemasan. SEFT adalah terapi yang
menggabungkan sistem energi tubuh dan spiritualitas dengan metode tapping pada 18 titik
kunci di sepanjang 12 jalur energi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh spiritual emotional freedom technique terhadap kecemasan wanita klimakterium.
Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperiment tanpa kelompok
kontrol. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah
responden sebanyak 30 wanita klimakterium. Kecemasan pre-test dan post-test diukur
dengan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kecemasan sebanyak 30 responden (100%), setelah dilakukan terapi
SEFT adalah tidak ada kecemasan sebanyak 4 responden (13,3%). Rata-rata skor
kecemasan (pre-test) sebesar 21,50 dan rata-rata skor kecemasan (post-test) sebesar 19,43.
Hasil uji statistik dengan Wilcoxon signed rank test diperoleh value = 0,000, dengan
value < (0,05) H0 ditolak, hal ini menunjukkan ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan
wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang Jawa Tengah. Saran bagi wanita klimakterium adalah terapi SEFT dapat
direkomendasikan sebagai terapi alternatif untuk mengatasi kecemasan wanita
klimakterium.
Pendahuluan
Klimakterium adalah fase proses penuaan wanita dari masa reproduktif menuju masa tidak
reproduktif (Andrews, 2009). Pada tahun 2014 di Jawa Tengah, jumlah wanita
klimakterium dengan kelompok usia 45-59 tahun mencapai 2.794.706 jiwa (Kementrian
Kesehatan RI, 2011). Jumlah wanita diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan
peningkatan angka harapan hidup (AHH). Pada tahun 2010, AHH perempuan di Jawa
Tengah sebesar 74,8 tahun dan diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 75,6 tahun (BPS,
2010). Peningkatan AHH wanita akan membawa konsekuensi terhadap kesehatan wanita
klimakterium (Aziz, 2010).
Terapi untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan terapi psikologis. Salah satu
terapi psikologis yang digunakan adalah spiritual emotional freedom technique (SEFT).
SEFT merupakan kombinasi antara Spiritual Power dengan Energy Psychology yang
memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku
manusia. Prinsip SEFT adalah mengatasi masalah kesehatan dengan cara merangsang titik-
titik kunci di sepanjang 12 jalur energi meridian tubuh. SEFT tidak menggunakan alat
bantu terapi dan cara penggunaan SEFT mudah dipelajari. SEFT menggunakan teknik
ketukan ringan (tapping) dengan ujung jari telunjuk dan jari tengah pada 18 titik kunci di
sepanjang 12 energi meridian tubuh (Zainuddin, 2006).
Telah banyak penelitian tentang SEFT berguna untuk mengatasi masalah emosi,
diantaranya adalah penelitian oleh Zakiyyah yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh
terapi SEFT terhadap penurunan nyeri dismenorea pada remaja putrid (Zakiyyah, 2013).
Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Yuliani dan Purwanti yang melaporkan bahwa
setelah dilakukan spiritual healing kecemasan wanita menopause sudah tidak ada lagi
(Yuliani & Purwanti, 2013). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Faridah
membuktikan bahwa terapi SEFT dapat menurunkan tekanan darah tinggi (Faridah, 2012).
Penelitian oleh Dhianto juga melaporkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap
penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Pekalongan
(Dhianto et al., 2014).
Hasil studi pendahuluan kepada 12 wanita klimakterium, peneliti memperoleh data sebagai
berikut: 9 dari 12 orang mengalami kecemasan dengan kecemasan ringan sebanyak 5
orang, kecemasan sedang 3 orang dan kecemasan berat 1 orang. Kegiatan posyandu lansia
di Kelurahan Pedalangan belum ada yang berkaitan dengan penatalaksanaan kecemasan
wanita klimakterium dengan menggunakan terapi SEFT. Berdasarkan fenomena tersebut,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Spiritual Emotional
Freedom Technique terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di RW 6 Kelurahan
Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah”.
Metode
Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian quasi eksperiment tanpa
kelompok kontrol dengan pendekatan one group pre-test-post-test design. Populasi
penelitian ini adalah wanita klimakterium berusia 45-55 tahun di RW 6 Kelurahan
Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah sebanyak 52 orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah
sampel penelitian 30 orang. Sebelum dilakukan pengambilan data, dilakukan skrining
tingkat kecemasan dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety
Hasil Penelitian
1. Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan
Pekerjaan
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan,
Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan
Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei – 11 Juni
2015 (n: 30)
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan tertinggi berdasarkan usia adalah 51-
55 tahun sebesar 47,0%, status pernikahan adalah menikah sebesar 54,6%, pendidikan
terakhir adalah SD sebesar 100%, dan pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar
35,7%.
Tabel 2
Kategori Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi
SEFT di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa
Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 (n: 30)
Tabel 3 menunjukkan sebelum SEFT, mean 21,50, median 23,00, standar deviasi 5,23,
skor terendah 14,00 dan tertinggi 31,00. Sesudah SEFT, mean 19,43, median 20,00,
standar deviasi 5,09, skor terendah 13,00 dan tertinggi 28,00. Uji Wilcoxon Signed Rank
Test menunjukkan penurunan rata-rata skor kecemasan sebelum dan sesudah SEFT sebesar
2,07. Diperoleh nilai (p < 0,05) dan nilai Z (-4,593a) berada diluar rentang -/+1,95, artinya
menunjukkan bahwa dengan p-value= 0,000 terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap kecemasan wanita
klimakterium.
Pembahasan
1. Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum Diberikan Terapi SEFT
Tabel 3 menunjukkan kecemasan sebelum SEFT dengan mean 21,50, skor terendah 14
dan tertinggi 31. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh wanita mengalami
kecemasan. Tingkat kecemasan sebelum SEFT, yaitu kecemasan ringan 14 wanita
(46,7%), kecemasan sedang 10 wanita (33,3%), dan kecemasan berat 6 wanita
(20,0%). Responden berusia 51-55 tahun mengalami kecemasan lebih besar, yaitu
47,0% mengalami kecemasan ringan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian
Afuanti yang mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada usia
51-55 tahun. Semakin bertambah usia wanita klimakterium, maka berbagai keluhan
juga akan bertambah dan kecemasan akan semakin meningkat (Afuanti et al., 2010).
Responden ibu rumah tangga mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 35,7%
mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fitriah
mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium adalah ibu rumah tangga. Ibu
yang bekerja memiliki lebih banyak bersosialisasi, sehingga dapat mempengaruhi
informasi yang didapat. Ibu rumah tangga lebih merasakan kehilangan gairah seksual
sehingga takut tidak dapat memuaskan suami, ketakutan suami mencari wanita lain,
berkurangnya peran dalam keluarga, ketakutan berkurangnya penghasilan karena tidak
bekerja (Fitriah & Susilowati, 2010).
SEFT menurunkan adrenalin dan kortisol, sehingga denyut jantung, tekanan darah
tinggi dan ketegangan otot menurun (Hart, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian
Faridah yang menyatakan bahwa terdapat penurunan tekanan darah systole dan
diastole pada penderita hipertensi usia 45-59 tahun di RSUD dr. Soegiri Lamongan
(Faridah, 2012).
Penelitian di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan pasien
pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan setelah diberikan terapi
SEFT. Hasil uji paired sample T-Test diperoleh nilai p value= 0,000 < aplha (0,05)
dengan rata-rata skor kecemasan saat pre-test 52,82 dan turun saat post-test menjadi
43,47 (Dhianto et al., 2014).
Daftar Pustaka
Afuanti, V., Widajati, S., & Usnawati, N. (2010). Gambaran tingkat kecemasan ibu dalam
masa klimakterium. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 1(1), 58–63.
Retrieved from
http://static.schoolrack.com/files/100398/295411/volume1_nomor1.pdf
Andrews, G. (2009). Buku ajar kesehatan reproduksi wanita . Jakarta: EGC.
Apriyanti Emi, Sumantri, A. S. T. (2012). Attitudes of Klimakterium’s Women in Dealing
Menopause Period at Jimus Village Polanharjo District Klaten Regency. Jurnal
Ilmu Kesehatan, IV(2), 1–9.
Aziz, I. J. (2010). Pembangunan berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim. Jakarta:
Gramedia.
BPS. (2010). Angka harapan hidup (Eo) menurut provinsi, kabupaten/kota dan jenis
kelamin. Retrieved from http://www.datastatistik-indonesia.com/
Abstrak
Latar Belakang. Aktifitas fisik dan perilaku sedentary seringkali dihubungkan dengan kasus-
kasus penyakit tidak menular. Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013
mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia
Sehat 2015-2019. Prevalensi ini didapat melalui wawancara dan pemeriksaan dimulai usia ≥ 15
tahun. Temuan ini menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya
penelitian faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary anak usia 0-< 15
sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang
lambat dengan durasi yang lama. Upaya preventif diperlukan sebagai upaya mengurangi angka
kejadian penyakit menular maka sebagai awal pijakan penelitian perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak
Tujuan. Kajian literature ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada
aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak
Metoda. Kajian literatur ini dengan menggunakan pencarian komprehensif dengan melibatkan
semua database Ebscho, Science Direct yang dibatasi pada tahun 2005-2015 dengan format full
PDF. Kata kunci pencarian menggunakan kata influence factor, physical activity, sedentary
behavior, children. Kajian ini untuk mengetahui faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan
perilaku sedentary pada anak ..
Hasil. Hasil penilaian literature menunjukkan kualitas sedang dan baik. Lima kajian literature ini
menunjukkan beragam faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada
anak . Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah
penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status
perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua ,
Perjalanan akhir pekan
Kesimpulan. Ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah
penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status
perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua ,
Perjalanan akhir pecan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary pada anak . Berbagai faktor ini sebagai pencetus penyakit-penyakit tidak menular diusia
dewasa anak tersebut.
Pendahuluan
Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang berkembang lambat dengan
durasi yang panjang serta tidak menular. Menurut WHO yang termasuk penyakit tidak
menular adalah Penyakit kardivaskuler, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan ( asma) .
Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013 mempunyai pola
cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 2015-
2019 (Penelitian, Pengembangan, & Pengantar, 2013) . Prevalensi hipertensi, penyakit
kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit
Prevalensi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Diana Herrmaan Et All
tahun 2015 bahwa penyakit sendi dipicu oleh aktivitas fisik yang kurang, hal ini
sedentary time berperan penting dalam demineralisasi tulang sehingga berpengaruh pada
kekuatan tulang (Herrmann et al., 2015), penelitian oleh Travis J Saunders Et All tahun
2014 bahwa perilaku sendentary menjadi faktor resiko penyakit cardiometabolik pada
anak dan remaja (Saunders, Chaput, & Tremblay, 2014), hasil kajian literatur oleh Valerie
Carson Et All tahun 2015 bahwa tipe perilaku sedentary berdampak pada perkembangan
aspek kognitif pada anak usia 0-5 tahun (Carson et al., 2015).
Penelitian prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya
hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, gaya hidup traditional lifestyle berubah
menjadi sedentary lifestyle (Remaja, Sma, & Cendrawasih, n.d.). Hal ini diperkuat oleh
catatan Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, DTCE bahwa salah
satu faktor timbulnya penyakit di Indonesia adalah perilaku sedentary merupakan perilaku
berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan
bahkan mempengaruhi usia harapan hidup. Perilaku sedentary adalah perilaku santai
antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja
(kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di
perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur(Prof. dr
Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, n.d.).
Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan <3 jam per
hari dapat meningkatkan umur harapan hidup se esar tahun ata dari alit an kes
iskesdas 1 menun ukkan ahwa 1 persen penduduk kita ter l n kuran akti
secara isik Data Balitbangkes juga menunjukkan proporsi penduduk kelompok umur
≥1 tahun den an perilaku akti itas sedentari < am aru penduduk sedan kan
sedentari ≥ am per hari adalah 1 hampir satu dari empat penduduk Artinya, masih
terlalu banyak penduduk kita yang relatif terlalu banyak bersantai dan tidak beraktifitas
fisik (Penelitian et al., 2013).
Metoda
Ka ian literature ini diawali den an men identi ikasi kata kunci “In luence act r”
“physical activity” “sedentary” “pediatric” yan di unakan dalam data ase elektr nik
Pencarian artikel dibatasi dari tahun 2005 – 2015 dengan menggunakan data base
EBSCHO dan PubMed. Skrinning dilakukan untuk mencari artikel sesuai kata kunci..
Hasil ekstraksi dengan total artikel 5 literatur.
Hasil
Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan
jumlah penempatan TV ( n = 1), pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas
sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua ( n = 2 ), Sosio
ekonomi dan etnis ( n = 3), Dukungan orang tua ( n=4), Perjalanan akhir pecan ( n=5).
Tabel 1
Penelitian Metode Tujuan Variabel utama Hasil penelitian/ temuan
penelitian
Kaushal, Systematic Untuk mengetahui 1. Alat untuk aktifitas 1. Intervensi untuk
et al (2014) review lingkungan fisik fisik dan penunjang mengurangi perilaku
rumah yang perilous sedentary sedentary dengan
berhubungan dengan 2. Aktifitas fisik dan membatasi jumlah TV
physical aktivitas dan perilous sedentari memperlihatkan efektif
perilaku sedentari pada anak dan orang
dewasa
2. Ketersediaan peralatan
aktifitas fisik terlihat
efektif
3. Studi observasi :
Lokasi dan jumlah
penempatan TV
dihubungan perilous
sedentary pada anak
perempuan
4. Jumlah dan jenis
peralatan fisik
berhubungan dengan
aktifitas fisik dan
perilous sedentary pada
laki-laki
Crawford, The CLAN Untuk mengetahui 1. Keluarga 1. Pada laki laki
et al ( Study Catatan orangtua 2. Lingkungan sekitar berhubungan :
2010) tentang lingkungan 3. Aktifitas fisik pendidikan ibu, paparan
rumah ( dukungan 4. Berat badan kondisi jalan raya,
social, model peran, 5. Lingkungan aktifitas sibling, peran
Peaturan, ling, ibu. Status perkawinan
Tandon, et Observasio Mengetahui faktor 1. Aktifitas fisik dan 47, 2 % rata-rata waktu anak
al (2014) nal kohort yang dihubungkan lingkungan social tinggal di rumah, 43,6 dan
study aktifitas fisik dan 2. Interaksi faktor social 46.4 % terlibat dalam
perilous sedentary di dan lingkungan aktifitas fisik dan perilous
rumah sedentary. Dukungan orang
tua positif dihubungkan
dengan aktifitas fisik dan
negative dengan perilous
sedentary.
Schoeppe, Cross- Mengetahui Alat Perjalanan ke sekolah Perjalanan akhir pecan
et al (2015) sectional hubungan perjalanan dan akhir pekan mempunyai hubungan
studi ke sekolah dan akhir positif dengan aktifitas fisik
pekan pada
perbedaan aktifitas
fisi dan perilous
sedentary, yang
diidentifikasi melalui
jenis kelamin
Pembahasan
Faktor – faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan prilaku sedentary adalah
lingkungan rumah dimana terdapat peralatan atau media yang mendukung pada aktifitas
fisik dan perilous sedentari. Ketersediaan sarana seperti adanya videogame, alat untuk
aktifitas fisik merupakan faktor pendukung yang paling kuat untuk membentuk perilous
atau kebiasaan . Peraturan akan Pembatasan aktifitas menonton TV bermain game
merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kejadian pelaku sedentary. Alat aktifitas
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Tandon, et al ( 2014) bahwa
Lingkungan social dan aktifitas yang spesifik merupakan variable yang kuat berhubungan
dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orangtua merupakan faktor
terbesar dalam penyediaan sarana aktifitas fisik. Peraturan –peraturan yang dibuat oleh
orangtua juga sebagai faktor yang berhubungan dengan perilous sedentary. Proporsi waktu
luang anak adalah rumah(tempat tinggal) sehingga aktifitas fisik dan perilous sedentary
cenderung terjadi di rumah. Upaya – upaya modifikasi fisik rumah dan lingkungan social
merupakan intervensi untuk mengurangi kejadian perilous sedentary ((Tandon et al.,
2014). Faktor sosioekonomi dan perbedaan budaya dalam menonton TV dan penggunaan
waktu libur merupakan faktor yang berkontribusi dalam aktifitas fisik dan perilous
sedentary pada anak. Pekerjaan ibu merupakan faktor utama dalam perilous menonton TV.
Pendidikan rendah merupakan penyebab utama kerusakan fungsi social dan menjadi
penyebab adanya masalah stresst keluarga. Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu lebih
unuk melihat TV (Van Rossem et al., 2012). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya
bahwa pendidikan ibu, status pekerjaan ibu (Crawford et al., 2010).
Faktor lingkungan dalam rumah yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilous sedentary
adalah adanya saudara kandung, model peran orangtua dan saudara, keikutsertaan orangtua
dalam aktifitas fisik. Keikutsertaan orangtua mempunyai hubungan yang positif dalam
perubahan aktifitas fisik anak ((Crawford et al., 2010). Hal ini diperkuat oleh penelitian
Salmon et al, 2013 bahwa karakteristik lingkungan mempunyai nilai signifikan. Tujuan
perjalanan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous
sedentary. Tujuan perjalanan diluar perjalanan kesekolah merupakan faktor yang paling
berhubungan dengan aktifitas fisik. Perjalanan menggunakan mobil merupakan faktor
yang paling berkontribusi untuk waktu sedentary pada anak. Anak yang pergi ke sekolah
dengan berjalan kaki atau bersepeda mendukung pada tingkat aktifitas anak (Schoeppe,
Duncan, Badland, Oliver, & Browne, 2015).
Kesimpulan
Aktifitas fisik dan perilous sedentary anak dipengaruhi dari berbagai faktor yaitu
lingkungan rumah ( ketersediaan sarana dan prasana, jumlah dan lokasi penempatan),
peraturan dalam keluarga , lingkungan social keluarga ( model peran orangtua, dukungan
orangtua, perilous orangtua), social, ekonomi budaya, tingkat pendidikan orangtua, usia
orangtua, status perkawinan. Pekerjaan orangtua, budaya keluarga, peran model saudara
kandung, tujuan perjalanan, alat transportasi. Faktor – faktor aktifitas fisik dan perilous
sedentary pada anak sangat penting diketahui sebagai upaya promotif terhadap
pencegahan penyakit yang timbul akibat perilous sedentary. Peran perawat komunitas
sangatlah penting untuk survey tentang aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak,
sebagai temuan awal temuan kasus perilous sedentary pada anak.
Daftar Pustaka
Cars n V Kuzik N Hunter S Wie e S a Spence J C Friedman A … Hinkley T
(2015). Systematic review of sedentary behavior and cognitive development in
early childhood. Preventive Medicine, 78, 115–122. doi:10.1016/j.ypmed.
2015.07.016
Abstrak
Latar Be;akang. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah
memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program
rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living (ADL) secara mandiri
merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Self efficacy merupakan aspek
yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy merupakan keyakinan diri pada seseorang
yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self
efficacy pasien pasca ORIF ekstremitas bawah.
Metoda. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data
menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari pasca ORIF, jenis fraktur,
nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi; sementara variabel dependen adalah self
efficacy. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho
untuk data numerik.
Hasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi (r = 0,515 dan nilai p=0,002) dan usia (-0,464
dan nilai p=0,005) merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,001
dan persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 % self efficacy dengan nyeri
sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi self efficacy setelah dikontrol usia,
pengetahuan, dan persepsi.
Kesimpulan. Penelitian ini merekomendasikan melakukan manajemen nyeri non farmakologis
untuk meningkatkan self efficacy terintegrasi dengan peningkatan pengetahuan dan memperhatikan
aspek psikologis.
Kata kunci: Self efficacy, pasca ORIF, dan activity daily living.
Pendahuluan
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang dikategorikan berdasarkan jenis dan
luasnya (Smeltzer & Bare, 2006). ORIF merupakan salah satu prosedur pembedahan untuk
mereduksi patah tulang yang paling banyak keunggulannya (Price & Wilson, 2003). ORIF
sebagai bagian dari bedah ortopedi menimbulkan yang berkaitan dengan nyeri, perfusi
jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare & Smeltzer, 2006).
Permasalahan pasca ORIF baik yang bersifat fisik maupun psikologis akan menimbulkan
dampak pada kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien ditentukan salah satunya pada
kemampuan fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama
dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011).
Perawat selama ini kurang memperhatikan perubahan kemampuan fungsional pada pasien
pasca ORIF. Status fungsional pada pasca ORIF merupakan fase dimana kemampuan
Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori baru berbasis penelitian.
Penelitian bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy dalam melakukan
ADL dengan memprediksi faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi self efficacy pada ADL pasien pasca ORIF perlu dilakukan analisa lebih
lanjut. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap self efficacy ADL pasien pasca ORIF
diadaptasi dari Teori Sosial Kognitif Bandura yang terdiri dari tiga aspek personal, yaitu :
kognitif, persepsi, dan kejadian biologis (Bandura 1977, diadaptasi dari Cardoza 2011).
Faktor personal kognitif berupa pengetahuan pasien mengenai ADL pasca operasi. Faktor
persepsi merupakan persepsi dan motivasi pasien mengenai keyakinan dalam melakukan
ADL. Faktor kejadian biologis terdiri dari usia, jenis fraktur, lama hari rawat pasca ORIF,
nyeri, dan kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan self efficacy melakukan ADL pasien pasca ORIF ekstremitas bawah
di Semarang.
Metode
Penelitian cross-sectional mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen, tentunya tidak semua subyek harus diukur pada hari ataupun saat yang sama
jadi desain cross-sectional tidak ada tindak lanjut atau follow-up (Sastroasmoro & Ismael,
2010). Variabel independen adalah variabel independen dalam penelitian ini adalah usia,
lama hari rawat pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan
persepsi, sementara variabel dependen adalah self efficacy. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien paska ORIF pada fraktur ekstremitas bawah yang menjalani rawat
inap di lima rumah sakit di Kota Semarang pada saat dilakukan penelitian. Metode
penarikan sampel dengan menggunakan consecutive sampling, dimanan semua subjek
yang datang harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sampel adalah :
pasien paska ORIF pada ekstremitas bawah (femur, tibia, dan fibula, patella, hindfoot,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 193
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
midfoot, dan fore foot), berusia 15 – 65 tahun, kemampuan kognitif baik, bersedia menjadi
responden penelitian. Kriteria eksklusi sampel adalah : pasien mengalami fraktur pada
kedua sisi ekstremitas bawah, pasien yang mengalami fraktur pada area selain ekstremitas
bawah, mengalami komplikasi akut seperti infeksi, perdarahan, sindrom kompartemen,
emboli lemak, dan DVT, mempunyai riwayat penyakit stroke, jantung, dan paru-paru.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan remus koefisien korelasi jumlah sampel yang
terkumpul adalah 35 responden.
Instrumen
Pengetahuan diukur dengan menggunakan pertanyaan dengan nilai alpha cronbach’s =
0,450, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,11 – 0,733. nilai alpha cronbach’s = 0,824,
dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Persepsi diukur dengan dengan
mengadaptasi instrumen perceived general self efficacy dengan nilai alpha cronbach’s =
0,851, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,477 – 0,906. Nyeri pada area fraktur
diukur dengan menggunakan Numeric Rating Scale dengan rentang 0 sebagai rentang
terendah sampai 10 sebagai yang tertinggi. Numeric Rating Scale reliabel dan valid untuk
mengkaji nyeri dengan rentang pada kondisi medis dan area klinis (Loretz, 2005).
Kelelahan diukur dengan menggunakan Fatigue Severity Scale (NWRC, 2011) yang telah
dimodifikasi. Pertanyaan awal terdiri dari 9 pernyataan yang mengukur kelelahan
responden selama berada di RS. Instrumen memiliki nilai koefisien alpha 0,91 dan internal
konsistensi 0,81 – 0,89 (Folden & Tappen, 2007). Hasil uji validitaas dan reliabilitas
menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 –
0,854. Motivasi diukur dengan menggunakan modifikasi Health Motivation Scale in
Physical yang dikutip dari Xiaoyan (2009). Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan
nilai alpha cronbach’s = 0,755, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,279 – 0,820.
Self efficacy diukur dengan menggunakan modifikasi dari Fall-Efficacy Scale (Tinetti et al,
1990). Instrumen memiliki nilai reliabilitas alpha 0,94 (Folden & Tappen, 2007). Uji
reliabilitas instrumen self efficacy didapatkan nilai alpha cronbach’s = 0,747, dengan nilai
korelasi validitas berkisar 0,299 – 0,918.
Hasil
Hasil analisa karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1. Hasil analisis menunjukan
bahwa hampir seluruhnya responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27 responden
(77,1 %). Tingkat pendidikan responden hampir seluruhnya SMA sebanyak 25 responden
(71,4 %). Pekerjaan responden paling banyak adalah pegawai swasta sebanyak 8
responden (22,9 %). Lebih dari setengahnya status perkawinan responden adalah belum
menikah sebanyak 18 responden (51,4 %). Jenis fraktur paling banyak adalah fraktur
femur dimana lebih dari setengahnya sebanyak 21 responden (60,0 %). Tindakan operasi
responden lebih dari setengahnya adalah ORIF sebanyak 23 responden (65,7 %). Jenis
anastesi responden seluruhnya Regional Anastesi (RA)/Spinal Anastesi Block (SAB)
sebanyak 35 responden (100,0 %).
Tabel 1.
Distribusi karakteristik responden di RS Kota Semarang 2014 (n=35)
Karakteristik Responden Frekuensi %
Jenis Kelamin
Laki-laki 27 77,1
Perempuan 8 22,9
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 194
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Karakteristik Responden Frekuensi %
Total 35 100
Pendidikan
SD 6 17,2
SMP 2 5,7
SMA 25 71,4
Pendidikan Tinggi 2 5,7
Total 35 100
Pekerjaan
Wiraswasta 8 22,9
Pegawai Swasta 12 34,3
TNI 5 14,2
Pelajar 7 20,0
Tidak Bekerja 3 8,6
Total 35 100
Status Perkawinan
Belum Menikah 18 51,4
Menikah 17 48,6
Total 35 100
Jenis Fraktur
Femur 21 60,0
Tibia dan Fibula 8 22,9
Hindfoot 6 17,1
Total 35 100
Tindakan Operasi
ORIF 23 65,7
ORIF dan Debridemen 12 34,3
Total 35 100
Jenis Anastesi
Regional Anastesi/Spinal Anastesi Block 35 100,0
Tabel 2
Distribusi Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi,
Motivasi, dan Self Efficacy Responden di Kota Semarang (n=35)
Minimal -
Variabel Mean SD 95 % CI
Maksimal
Usia 36,06 17,12 15 – 63 30,17 – 41,94
Lama Hari Pasca ORIF 2,34 1,39 1-6 1,86 – 2,82
Nyeri 4,57 2,05 0-8 3,87 – 5,27
Kelelahan 24,46 8,60 7 – 42 21,50 – 27,41
Pengetahuan 11,69 2,40 6 – 16 10,86 – 12,51
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 195
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Minimal -
Variabel Mean SD 95 % CI
Maksimal
Persepsi 19,86 5,84 6 - 27 17,85 – 21,86
Motivasi 35,91 5,01 25 - 44 34,19 – 37,63
Self-Efficacy 21,83 5,23 10 - 30 20,03 – 23,63
Tabel 3
Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, dan Motivasi
kaitannya dengan Self Efficacy Melakukan ADL di RS Kota semarang (n=35)
No. Variabel Independen r R2 p-value
1. Usia -0,464 0,215 0,005
2. Lama Hari Pasca ORIF 0,012 0,001 0,945
3. Nyeri -0,120 0,014 0,494
4. Kelelahan -0,135 0,018 0,440
5. Pengetahuan 0,107 0,011 0,540
6. Motivasi 0,515 0,265 0,002
7. Persepsi -0,225 0,051 0,193
Tabel 4
Jenis Fraktur berdasarkan Self Efficacy Pasien Pasca ORIF Ekstremitas Bawah
di Kota Semarang (n=35)
Minimal -
maksimal
Variabel Independen Mean SD P-value
Jenis Fraktur :
1. Fraktur Femur 21,10 5,08 12 – 30 0,603
2. Fraktur Tibia dan Fibula 23,13 6,22 10 – 30
3. Fraktur hindfoot, 22,67 4,8 16 - 26
midfoot, dan forefoot
Tabel 5
Persepsi, Kelelahan, dan Motivasi Kaitannya dengan Self Efficacy Responden
di Kota Semarang (n=35)
Kefisien B P-value Koefisien B
Variabel R2 P-value
Variabel variabel (Constant)
Persepsi -0,272 0,025 0,494 6,64 0,001
Interprestasi persamaan regresi, setiap kenaikan motivasi 1 point, akan meningkatkan self
efficacy sebesar 0,748 setelah dikontrol variabel persepsi dan kelelahan. Setiap kenaikan
persepsi 1 point, akan mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,272 setelah
dikontrol variabel motivasi dan kelelahan. Setiap kenaikan kelelahan 1 point akan
mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,257 setelah dikontrol variabel motivasi
dan persepsi. Hasil analisa menunjukan bahwa variabel motivasi merupakan variabel yang
paling besar pengaruhnya terhadap self efficacy.
Pembahasan
Aspek fisik yang terdiri dari lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, dan kelelahan
menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap self efficacy pasien paca
ORIF ekstremitas bawah Aspek fisik lain yaitu usia menunjukan hubungan yang dengan
tingkat signifikansi sedang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlunya dibahas
mengenai variebel-variabel dalam aspek fisik secara spesifik.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa terdapat hubungan dengan
tingkat signifikan sedang yang bersifat negatif dan rata-rata usia responden berada pada
dewasa muda. Kesesuaian perbandingan hasil penelitian dengan melihat pada aspek
fisiologis dan psikologis berdasarkan dengan tumbuh kembang kaitannya dengan kondisi
pasca ORIF yang membuat variabel usia lebih berhubungan dibanding variabel dalam
aspek fisik lainnya. Usia dewasa muda merupakan usia ideal dimana mencapai puncak
efisiensi muskuloskeletal dan akan mengalami penurunan massa otot, kekuatan, dan
ketangkasan pada dewasa menengah (DeLaune & Ladner, 2002). Perkembangan
muskuloskeletal yang maksimal akan membantu kemampuan beraktivitas tidak hanya pada
area yang fraktur, sehingga self efficacy pada pasca ORIF akan lebih cepat untuk optimal.
Usia juga berkaitan dengan tumbuh kembang yang mempengaruhi kematangan mekanisme
koping seseorang. Mekanisme koping yang positif akan meningkatkan self efficacy
seseorang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hari pasca ORIF
dengan self efficacy yang berkaitan dengan kondisi perkembangan pada fase inflamasi
didukung dengan latihan untuk rehabilitasi yang didapatkan saat tahap paska operasi.
Lama hari pasca ORIF saat diukur self efficacy adalah 2,34 menunjukan bahwa semua
responden masih berada pada fase inflamasi. Lama hari rawat pasca ORIF berkaitan
dengan tahap perkembangan status fungsional, fase penyembuhan fraktur dan program
rehabilitasi yang dilakukan sebagai variabel confounding yang berperan mempengaruhi
self efficacy. Rata-rata lama hari rawat 2,34 hari hampir mencapai setengah dari
kemampuan fungsional pada fase rehabilitasi. Peningkatannya dengan melihat
perbandingan hari sebelumnya pada responden yang sama terdapat peningkatan tetapi
tidak terlalu jauh pada hari selanjutnya dan didukung dengan melihat kemampuan pada
responden dengan lama hari rawat yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 197
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Nyeri paska pembedahan ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan
kejadian sampai 70 % dengan durasi 3 hari (Smeltzer & Bare, 2005). Nyeri paska bedah
ortopedi saat berada diruang perawatan adalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai
10. Nyeri berkontribusi terhadap aktivitas pasca operasi (Morris et al, 2010). Nyeri ringan
dapat berlangsung sampai beberapa bulan pada kasus bedah ortopedi (Hoffenfeld &
Murthy, 2011). Nyeri berhubungan secara negatif terhadap self efficacy karena berkaitan
dengan ambang nyeri (Miro, Matinez, Sanchez, Prados, Medina, 2011). Nyeri merupakan
pengalaman universal individu, yang didefinisikan sebagai pengalaman individu dan
melaporkan adanya sensasi rasa nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif
tergantung persepsi individu (DeLaune & Ladner, 2002). Nyeri paska ORIF
mempertimbangkan jenis fraktur, tindakan operasi, dan respon terhadap nyeri yang
mempengaruhi rentang gerak sendi, kekuatan otot, serta kemampuan mobilisasi dan
ambulasi. Kemampuan mengontrol nyeri mendukung penggunaan analgetik untuk
meningkatkan kemampuan aktivitas. Tingkat nyeri tidak hanya ditentukan berdasarkan
aspek fisiologis tetapi aspek psikologis berperan penting karena nyeri bersifat subjektif.
Gate control pain theory menjelaskan bahwa persepsi individu menentukan kemampuan
mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional individu
(DeLaune & Ladner, 2002). Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu
meningkatkan self efficacy (Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram,
Kashdan, Kasle, Zautra, 2010).
Self-efficacy ditentukan beberapa komponen dari penyebab personal terdiri dari fungsi dari
kemauan, perasaan (suatu rasa terhadap kapasitas dan efektivitas), nilai, dan ketertarikan
(Peterson et al, 2009). Penelitian yang dilakukan Peterson et al (2009) menjelaskan bahwa
self efficacy didasari oleh penerimaan personal penyakit, penerimaan terhadap perubahan
kapasitas, fokus dalam kontrol, kemampuan belajar dan melakukan, kewaspadaan, dan
tanggung jawab personal. Peningkatan komponen dasar self efficacy ditunjukan pada pasca
ORIF seiring dengan perbaikan kondisi umum sehingga meningkatkan efikasi untuk
mandiri.
Pengetahuan seseorang tidak mendukung peningkatan self efficacy, karena ada aspek
psikologis lain seperti motivasi yang sangat mempengaruhi kepercayaan diri dalam
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 198
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
kehidupan nyata (Mancuso, Sayles, Allegrante, 2010). Pasien pasca ORIF ekstremitas
bawah kemampuan seseorang untuk menerima aspek negatif sehingga meningkatkan
motivasi dan berakibat tingkat pengetahuan responden kurang berpengaruh terhadap self
efficacy. Pengetahuan merupakan bagian dari aspek kognitif yang membentuk tujuan
personal seseorang yang mempengaruhi kemampuan aprasial seseorang. Pengetahuan yang
tinggi akan mendorong seseorang untuk memvisulisasikan tujuan dengan melihat aspek-
aspek negatif. Hal tersebut merupakan fungsi utama untuk memprediksi kemampuan
seseorang untuk mengontrol aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan
komponen utama dari self efficacy (Zulkosky, 2009).
Motivasi self-care status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan
aktivitas fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik. Status fungsional merupakan gambaran dari kemampuan
aktivitas kesehatan yang positif dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal
melakukan aktivitas fisik. Pemahaman akan kondisi penyakit dan kurangnya peran
individu berperan terhadap perbedaan motivasi dengan tindakan yang dilakukan untuk
mencapai kemandirian (Siegert & Taylor, 2004). Dampak yang timbul adalah
ketidaktertarikan dan ketakutan untuk gagal sebagai penghambat. Kesiapan untuk
meningkatkan kemandirian berkaitan dengan perilaku tidak maksimal pada tahap action
dan maintenance.
Persepsi merupakan bagian dari aspek afektif yang merupakan kepercayaan dalam
kemampuan untuk bersikap menghadapi berbagai situasi yang mengancam. Kemampuan
seseorang dalam melakukan mekanisme koping akan membuat perubahan level
kepercayaan diri seserang dalam mengelola hal yang mengganggu dan merupakan
komponen kunci dari self efficacy (Zulkosky, 2009). Kemampuan koping seseorang lebih
mampu mengontrol pasien pasca ORIF ekstremitas bawah dalam melakukan aktivitas
dibandingkan aspek persepsi. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu
meningkatkan self efficacy (Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram,
Kashdan, Kasle, Zautra, 2010).
Kesimpulan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi keperawatan
berupa pendidikan kesehatan, latihan aktivitas seperti makan, perawatan diri, mandi,
menggunaan toilet dengan mengintegrasikan manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska
ORIF fraktur ekstremitas bawah yang lebih lanjut sebagai pengembangan SOP. Perlunya
peningkatan kemampuan perawat dalam latihan aktivitas terintegrasi manajemen nyeri
pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah melalui pelatihan atau
Daftar Pustaka
Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing : Clinical management for
positive outcome, 8thed. St Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Cardoza, M.P. (2011). A Study of self-efficacy and functional ability in pre-operative and
post-operative patients with primary elective total hip replacements. Proquest LLC.
Dahlen, L., Zimmerman, L., & Barron, C. (2006). Pain perception and its relation to
functional status post total knee arthroplasty : a pilot study. Orthopaedic Nursing,
July-August 2006, 25 (4). Academic Research Library.
Depkes R.I. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 20 Oktober 2010. http://www.depkes
co.id.
Folden, S., & Tappen, R. (2007). Factors influencing function and recovery following hip
repair surgery. Orthopaedic Nursing, July-August 2007, 26 (4). Academic Research
Library.
Halstead J.A. (2004). Orthopaedic Nursing : Caring for patients with musculoskeletal
disorders. Brockton : Westren Schools.
Loretz, L. (2005). Primary Care Tools for Clinicians : A Compendium of forms,
quistionnares, and rating scales for everyday Practice. Philadelphia : Mosby-
Elseviers.
Mancuso, C.A., Sayles W., & Allegrante J.P., (2010). Knowledge, attitude, and self
sfficacy in asthma self sanagement and quality of life. Journal of Asthma : 2010,
47:883-888. Taylor & Francis Ltd.
McKnight, P.E., Afram A., Kashdan, T.B., Kasle S., & Zautra A., (2010). Coping Self
Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning :
Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral
Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science & Business Media B.V.
Miro, E., Matinez, M.P., Sanchez, A.I., Prados, G., & Medina A., (2011). Coping Self
Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning :
Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral
Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science & Business Media B.V.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2005). Nursing Research : Priciples and methods, 7th edition.
Philadelphia : Lippinscott Williams & Wilkins.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nursing: Study guide and skills
performance checklists, 6th ed, Australia, Elseiver-Mosby.
Ridge, R.A., & Goodson, A.S. (2000). The Relationships between multidisciplinary
discharge outcomes and functional status after total hip replacement. Ortopaedic
Nursing : Jan/Feb 2000, 19 (1). Academic Research Library.
Ropyanto, C.B., Sitorus, R., & Eryando, T. (2011). Analisis faktor-faktor yang
berhubungan terhadap status fungsional pasien pasca ORIF fraktur ekstremita
bawah.
Saltzman, S. (2010), Functional Status Assesment. Diunduh 3 Maret 2011
www.galter.northwestern.edu/functional_status_assesment.cfm.
Smeltzer, S., & Bare, B. (2009). Brunner and Suddarth’s : Text book medical surgical
nursing. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 200
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Wrong Diagnosis (2011). Prevelence and Incidence Statistic for Fractures. Diunduh 25
Mei 2011 www.wrong diagnosiswho.com.
William, L.S, & Hopper, P.D. (2009). Understanding Medical Surgical Nursing, 3rd ed.
Philadelphia : F.A. Davis Company.
Wilkinson, A. (2010), Functional Status. Diunduh 3 Maret 2011 www.uic.edu/nursing/
ccrv/pdf.
Wood, G.L., & Haber, H. (2010). Nursing Research : Methods and critical apprasial for
evidence based practice 7thedition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Zulkosky, K. (2009). Self Efficacy : Concept Analysis. Journal Compilation Nursing
Forum. Volume 44, No. 2, April-June 2009..
Abstrak
Pendahuluan
Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Peningkatan kualitas hidup bagi lansia
dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban membina lansia sesuai dengan peraturan
Undang- Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan
bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan dan kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan dan meningkatkan
pengembangan lembaga.
Metoda
Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini adalah koordinasi dengan jajaran
pemerintahan untuk penentuan tempat posyandu lansia, penyusunan kebutuhan sarana dan
prasarana yang diperlukan, rekruitment calon kader, penyusunan struktur pengelolaan,
pengurusan ijin pembentukan posyandu, perencanaan anggaran pembentukan posyandu
dan anggaran operasional, sosialisasi posyandu lansia di Kelurahan Tembalang dan
Kalisidi. Ruang lingkup kegiatan adalah kader berjumlah 24 orang, yang terdiri dari 12
kader dari kelurahan Tembalang dan 12 kader dari Kelurahan Kalisidi. Bahan dan alat
yang digunakan adalah panduan buku pantau lansia, panduan posyandu lansia, buku
penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Alat yang digunakan untuk kegiatan
posyandu lansia adalah alat untuk pemeriksaan tekanan darah : spigmomanometer dan
stetoskop, alat untuk pemeriksaan :asam urat ; kadar gula darah; kolesterol, stik : asam
urat ; kadar gula darah ; kolesterol, alkohol, kapas. Selain itu meja berjumlah 10 buah,
kursi 10 buah, 5 Buku Form pengisian dari masing-masing fungsi meja posyandu lansia,
timbangan berat badan, dan alat pengukur tinggi badan. Tempat kegiatan pengabdian
dilaksanakan di rumah kader ibu Roisatun untuk kelurahan Kalisidi dan rumah kader ibu
Yuliarti untuk kelurahan Tembalang. Teknik pengumpulan data adalah dengan pre-post
test bagi kader yang mengikuti pelatihan.
Hasil
Hasil yang dicapai untuk Mitra I (RW 01 Kelurahan Tembalang) :
Terbentuknya pos yandu lansia Melati : Hasil rapat koordinasi dengan calon kader di 5 RT
yang ada di RW 01 Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang ditentukan rumah Ibu
Yuliarti sebagai tempat kegiatan posyandu lansia yang beralamat di RT 02 RW 01
Kelurahan Tembalang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan
untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop,
mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Selain itu
alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku
pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku panduan penyakit
hipertensi 30 buah, buku panduan penyakit reumatik 30 buah, buku panduan penyakit
diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbangan/pengukuran
tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, KMS (Kartu Menuju Sehat) bagi lansia,
buku tamu dan alat tulis lain yang menunjang keperluan posyandu lansia.
Tabel 1 menunjukkan bahwa kader kurang memahami tentang dampak dari terjadinya
hipertensi sebanyak 20%
Tabel 2 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan jenis herbal
yang digunakan pada klien dengan penyakit reumatik sebanyak 84,61%
Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah
preventif terjadinya penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3%.
Tabel 1 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian, faktor resiko serta
danda dan gejala penyakit hipertensi sebanyak 84,61%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa mampu memahami tentang pengertian penyakit reumatik sebanyak
84,61%.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah
preventif penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3%.
Pembahasan
Terbentuknya posyandu lansia
Posyandu lansia dibentuk di dua tempat yaitu posyandu lansia Mahardika dan Melati.
Keberhasilan pengabdian terjadi karena adanya dukungan dari kelurahan setempat dan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah proses kegiatan sosial dalam meningkatkan
partisipasi orang, organisasi dan masyarakat terhadap tujuan individu dan masyarakat,
pengaruh politik, peningkatan kualitas hidup masyarakat dan keadilan sosial
(Wallerstein,1992 dalam Helvie,1998). Hubungan saling percaya dapat terbina dengan
kelurahan dan jajarannya merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan posyandu lansia
ini. Koordinasi dengan ketua FKK (Forum Kesehatan Keluarga) tidak mengalami
hambatan. Koordinasi dan komunikasi dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan
gambaran posyandu lansia, tujuan, ruang lingkup, sasaran, sarana dan prasarana serta
perlunya keterlibatan kader sebagai penggerak memandirikan lansia.
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada
lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan
non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan
pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Eng dan Parker (1994) dalam
Helvie (1998) menyebutkan 2 dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat
atau calon kader adalah kemampuan komunikasi dan artikulasi dalam memberikan support
sosial kepada masyarakat. Interaksi merupakan suatu proses persepsi dan komunikasi
antara individu dengan lingkungan dan antara individu yang satu dengan individu yang
lain, diwujudkan dengan perilaku verbal dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Setiap
individu yang berinteraksi dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan,
tujuan, pengalaman terdahulu dan persepsi (King dalam Tomey, A.M. & Alligod, M.R.
(2006).
Kesimpulan
Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100% dari target
luaran secara keseluruhan. Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang
bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia
“Mahardika”. Posyandu memiliki kepengurusan dengan pembina dari Lurah, penanggung
jawab Ketua RW dan jumlah keseluruhan kader 24 orang . Pengurus telah memiliki
rencana program kedepan bagi kegiatan lansia dalam meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan kemandirian lansia.
Daftar Pustaka
Anderson & McFarlane. (2001).Community as Partner Theory and Practice in Nursing.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia
Ervin, N.E. (2002). Advanced Community Health Nursing Practice.Population Focuced-
Care. Michigan.Frentice Hall
Green, L.W, Kreuter, M.W. (2000). Health Promotion Planning an Educational and
Environmental Approach., second edition. Toronto. Mayfield Publishing Company
Helvie, Carl O. (1998). Advanced Practice Nursing in The Community. Sage Publications
Thousand Oaks.London
Abstrak
Pendahuluan. Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan penanganan mandiri
seumur hidup. Diet, aktivitas fisik dan stress fisik dapat mengakibatkan depresi sehingga berakibat
juga kualitas hidup menurun, karena itu pasien kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah
mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak psikososial yang dialami
pasien adalah psikoedukasi.
Tujuan. untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien
diabetes mellitus.
Metode. Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun
2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut
psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata
kunci pencarian nursing. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, menggunakan
Intervensi psikoedukasi, outcome yang diukur : ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi
atau diabetes mellitus.
Hasil. Sesuai criteria dan metode didapatkan 7 jurnal yang bisa dilakukan dalam studi ini. Hasil
analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan kadar glukosa
darah pasien diabetes Mellitus (mashudi), intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna
mencegah terjadinya depresi pascasalin (Yafeti), psikoedukasi SWEEP lebih efektif dari daripada
UC untuk mengobati wanita depresi dengan diabetes tipe 2 (Sue M, et al), pelatihan kognitif
dikombinasikan dengan intervensi psikoedukasi pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam
menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan peningkatan pengetahuan tentang diabetes
mellitus (De’bora, et al), pasien dengan terapi psikoedukasi kelompok lebih baik dibandingkan
kelompok pendidikan diabetes konvensional dalam mencapai tujuan pengendalian diabetes,
program ini efisien pada pasien diabetes dalam perawatan primer (Miguel et al), psikoedukasi
efektif dalam penanganan jangka panjang dan pendek untuk pasien depresi ringan, tetapi untuk
pasien depresi sedang efektif dalam jangka pendek (Rocio et al).
Kesimpulan. Semua studi melaporkan efektivitas intervensi psikoedukasi dalam hal mengurangi
depresi dan pengendalian diabetes.
Kata Kunci : Psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus
Pendahuluan
Diabetes adalah penyakit kronis yang mempengaruhi sekitar 346 juta orang di seluruh
dunia, 1 dengan tambahan 7 juta orang terkena diabetes setiap tahun. Indonesia kini telah
menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika
Serikat, China dan India. Hasil penelitian dari International Diabetes Federation (2005)
menunjukkan prevalensinya 60% penderita diabetes mellitus mengalami depresi dan juga
menunjukkan 15% penderita diabetes mellitus mengalami depresi sedang. Menurut
penelitian penckofer,et al, prevalensi depresi di antara pasien dengan diabetes tipe 2 adalah
9,8%, 5,2% untuk laki-laki dan 15,1% untuk perempuan.
Tujuan
Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi
psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus.
Metoda
Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun
2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai
berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication
Index dengan kata kunci pencarian nursing, diabetes mellitus, psikoedukasi.
a. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, Menggunakan Intervensi
psikoedukasi,
b. Kriteria Eksklusi: tidak secara khusus melaporkan diabetes atau depresi, tidak
melaporkan intervensi psikoedukasi
c. outcome yang diukur : Ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes
mellitus.
d. Penilaian Kualitas: pedoman untuk melakukan penilaian kritis dalam literature review
ini melibatkan proses lima langkah secara berurutan: Pemahaman: Membaca melalui
artikel untuk memahami ide-ide kunci dan konten. Perbandingan: membaca setiap
artikel yang dipilih untuk memahami masalah penelitian, tujuan, desain, ukuran sampel,
prosedur pengumpulan data dan temuan kunci. Analisis: memeriksa dan
menghubungkan dengan review ini sesuai tujuan dan kriteria inklusi/eksklusi. Evaluasi:
menentukan arti, makna, dan validitas dengan memeriksa jurnal antara proses studi, dan
temuan.
Hasil
Sebanyak 20 abstrak diidentifikasi sebagai potensi masuknya review. Setelah duplikat
abstrak dihapus dan diperiksa sesuai kriteria inklusi, 10 abstrak yang diidentifikasi relevan
tetapi tidak cocok semua kriteria inklusi dan 7 yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah
studi tambahan diidentifikasi selama proses review. Gambaran dari 7 studi secara rinci
ditampilkan dalam Tabel 1 dibawah ini:
Debora Elderly Individuals Desain Bertujuan untuk menilai Hasil menunjuk perbedaan
Lee & with Diabetes: Adding eksperimen efek dari pelatihan yang signifikan antara kedua
Monica Cognitive menggunakan kognitif delapan sesi dan kelompok untuk ATT-19,
(2012) Training to kelompok program pendidikan pada DKN, dan memori SKT- dan
Psychoeducational perlakuan (EG) orang tua diabetes dan SKT-total, dan perbedaan
Intervention dan kelompok mengetahui perubahan sedikit signifikan bagi sejarah
control (CG) kesadaran mereka RBMT di posttest. Adapun
tentang aspek-aspek variabel kognitif yang tersisa,
tertentu dari diabetes. tidak ada perubahan yang
Protokol pertanyaan klinis diamati. Efek tes ulang tidak
dan sosiodemografi: diamati dalam CG. Kami
dengan menggunakan menyimpulkan bahwa
instrument (ATT-19); pelatihan kognitif
(DKN-A); (MMSE); dikombinasikan dengan
(GDS); (SKT); dan intervensi psychoeducational
(RBMT) pada lanjut usia dengan
diabetes efektif dalam
menghasilkan keuntungan
kognitif serta sikap dan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 213
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
peningkatan pengetahuan
tentang diabetes mellitus.
Mirjana P, Does treatment of Dewasa pasien diabetes Pasien yang diacak ke dalam
et al subsyndromal tipe 2 yang positif kelompok A 74, 66 B dan 69
(2015) depression improve mengalami depresi dan ke dalam kelompok C, 203
depression-related menyatakan kebutuhan menyelesaikan
and untuk bantuan profesional intervensi, dan 179 pasien
diabetes-related dengan masalah hati yang dengan semua 3 penilaian
outcomes? A memenuhi syarat. Kriteria dianalisis. Gejala depresi
randomised adalah depresi klinis, saat peserta dari
controlled ini perawatan psikiatris psychoeducational, latihan
comparison of dan komplikasi diabetes. fisik dan ditingkatkan
psychoeducation, Dari 365 pasien yang perawatan sebagai kelompok
physical exercise and memenuhi syarat 209 biasa membaik sama dari
enhanced treatment yang bisa dilakukan waktu 12 bulan follow-up
as usual. intervensi selama 6 (waktu terhadap waktu efek
sesi.psikoedukasi (A) dan x kelompok; seperti yang
latihan fisik (B), atau dilakukan diabetes dan
untuk meningkatkan kualitas hidup, perawatan
perawatan seperti biasa diri diabetes, trigliserida, dan
(C). Pengacakan kolesterol total dan LDL-
dikelompokkan kolesterol.
berdasarkan jenis Intervensi yang digunakan
kelamin.gejala depresi memiliki efek positif setelah
(hasil primer) dan dilakukan intervensi 12-bulan
diabetes, perawatan diri psikologis dan hasil terkait
diabetes, kontrol diabetes menunjukkan
metabolik dan kualitas bahwa intervensi minimal
kesehatan yang menangani pasien diabetes
berhubungan dengan terkait masalah klinis yang
kehidupan(hasil sekunder) menguntungkan dan cukup
dianalisis pada 6 bulan untuk mengobati
dan 12 bulan follow-up. subsyndromal depresi.
Menggunakan uji statistic
ANOVA.
Miguel Psychoeducative Studi kuasi- Tujuan dari penelitian ini Pasien PGT mencapai
angel, et al groups help control eksperimental adalah untuk mengukur signifikan
(2013) type 2 diabetes in a (pra / pasca- dampak dari intervensi peningkatan HbAlC, BMI dan
primary care setting. intervensi) dengan kelompok CVRF, dibandingkan
kelompok kontrol psychoeducational kelompok pendidikan
non-ekuivalen. pada diabetes diabetes konvensional dlm
menggunakan hemoglobin mencapai tujuan
glikosilasi (HbAlc), pengendalian diabetes yang
indeks massa tubuh (BMI) optimal. struktur
dan risiko kardiovaskular perubahan dalam program
faktor (CVRF) ini adalah terapi yang lebih
dibandingkan dengan cara efisien untuk
pendidikan konvensional. pendidikan diabetes dalam
kelompok perawatan primer.
psychoeducational
terapi dalam kelompok
studi (PGT) dibandingkan
dengan pendidikan
diabetes konvensional di
kelompok kontrol (CG).
Pembahasan
Kami mengidentifikasi tujuh artikel kuantitatif studi yang meneliti tentang intervensi
psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau terkait Diabetes Mellitus. studi menemukan
bahwa intervensi psikoedukasi efektif dalam mencegah dan mengurangi depresi walaupun
dalam studi tersebut dijelaskan model intervensinya dilakukan berbeda-beda. Intervensi
psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi dengan cara dukungan
keluarga (Yafeti, 2009), terapi kelompok dengan prinsip terapi perilaku kognitif dalam
pengembangannya (Penckofer, et al, 2012), dibuat dalam 6 sesi kegiatan dimana dalam
tindakan psikoedukasi tersebut dimasukkan juga tindakan dalam perawatan diri diabetes,
kontrol metabolic dan kualitas kesehatan yag berhubungan dengan kehidupan, kegiatan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 215
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
dianalisis pada 6 bulan dan follow-up 12 bulan (mirjana, 2015). Pasien dengan depresi
ringan psikoedukasi efektif untuk pengobatan jangka pendek dan panjang, tetapi jika
pasien depresi sedang pengobatan efektif untuk jangka pendek saja (Rocio, et al, 2012).
Pasien dengan penyakit kronis salah satunya Diabetes Mellitus dua kali mengalami
gangguan kecemasan dan depresi dari seluruh populasi. Studi terbaru telah menunjukkan
bahwa secara umum kadar glukosa yang tinggi dapat berkontribusi untuk pengembangan
kecemasan dan depresi. 3 Untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita Diabetes
Mellitus tipe 2 bisa melakukan Progressive muscle relaxation (PMR) (mashudi, 2012),
pelatihan kognitif dan program pendidikan diabetes khususnya pada pasien lanjut usia
(Debora,et al, 2012). cara mengontrol Diabetes Mellitus tipe 2 dengan intervensi
psikoedukasi kelompok dan pengukuran kadar glukosa, berat badan dan pemeriksaan
faktor resiko kardiovaskuler (Miguel, et al, 2013)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil review dari tujuh artikel dapat disimpulkan bahwa Intervensi
psikoedukasi efektif dalam menurunkan depresi pada pasien dengan Diabetes Mellitus.
Daftar Pustaka
Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood
Disorder . Jurnal: Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective
Disorders.
Casanas Rocio, et,al, 2012, Effectiveness of a psycho-educational group program for
major depression in primary care: a randomized controlled trial . Research
Article, BMC Psychiatry.
Debora lee, et al, 2012, Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to
Psychoeducational Intervention, educational gerontology.
Miguel, et al, 2012, Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care
setting. Original Article, Nutricion Hospitalaria.
Diah Indriastuti
Abstrak
Pendahuluan. Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan
hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk
persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan
doula post partum. Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan
dan pemenuhan kebutuhan. Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep
caring dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan
kebutuhan seorang pasien secara terus menerus.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan
Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami..
Metoda. Literatur review disusun menggunakan metode campuran, yang mengintegrasikan
temuan dari penelitian kualitatif dan kuantitatif. 3 artikel digunakan dengan komposisi 1
junarl systematic review dan 2 artikel penelitian Qualitatif.
Hasil. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses
perawatan di rumah sakit, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan
bayinya dan mengurangi kejadian post partum depresi. Keperawatan dalam Islam memiliki
sifat kesucian terkait dengan ibadah, kemurahan hati dan mendahulukan orang lain,
tanggungjawab dan komitmen social, mengutamakan kebajikkan. Keperawatan memiliki
simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al
Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang
yang bersifat demikian.
Pembahasan. Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin
membutuhkan pendampingan secara terus menerus, doula memberikan dukungan secara
bermakna pada ibu. Keperawatan menurut budaya islam membimbing seseorang untuk
mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses
pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar
untuk memandirikan diri mereka sendiri.
Kesimpulan. Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek
doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak.
Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan
kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim
pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula
yang menerapkan konsep Islami. Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep
mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah.
Pendahuluan
Kelahiran adalah proses yang kompleks, timbal balik dan terintegrasi dengan sosiokultural
(Fulton, 1999). Asal kata doula adalah dari bahasa Yunani yang berpengalaman dan melalui
pelatihan sebelumnya sebagai seorang pendamping persalinan. Doula memberikan dukungan
terus menerus kepada ibu hamil dan pasangannya secara fisik, emosi, social, serta pemberian
informasi selama kehamilan hingga persalinan (Indriastuti & Namuwali, 2015). Tugas doula
adalah merawat dan menemani ibu hamil.(Arnold, 2001) Doula menjalankan tugasnya secara
holistic, biological, psychological, social, cultural, dan spiritual selama masa kehamilan dan
persalinan
Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan
menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan
menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum (Arat,
2013). Peran doula terdiri dari :
a. Menyediakan dukungan emosional yang berkelanjutan, seperti berbicara dengan ibu dan
memberikan dukungan dengan tetap menjaga kontak mata
b. Memberikan informasi pada ibu mengenai kemajuan persalinan dan menjelaskan
kemungkinan intervensi medis yang perlu dilakukan
c. Membantu ibu mendapatkan posisi bersalin yang baik, ibu mendapatkan kenyamanan dan
kemajuan persalinan terfasilitasi
d. Komunikasi terus menerus dengan ibu baik verbal maupun nonverbal untuk meyakinkan
ibu bahwa dia tidak sendirian.
e. Memfasilitasi ibu untuk melakukan kontak skin to skin dengan bayinya segera setelah
lahir dan berusaha melakukan IMD(Fulton, 1999)
Dalam Islam, ucapan Nabi (SAW) merupakan hadis yang menekankan pada pekerjaan
merawat dan melayani pasien. Tinjauan dalam Al Qur’an mengenai caring adalah perawatan
dari istri Nabi ayub yang menderita penyakit kulit sehingga penampilannya buruk dan berbau.
Pada kisah Mariam dan Zakaria terlihat perawatan orang tua kepada seorang anak. Nabi Yusuf
memperlihatkan caring pada para tahanan dengan memenuhi kebutuhan mereka. Kewajiban
seorang ibu yang diatur dalam Al Qur’an adalah caring pada anak selama masa
pengasuhan(Sadat, Hoseini, & Alhani, 2013).
Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan dan pemenuhan
kebutuhan.
a. Caring dianggap sebagai sebuah symbol dalam Islam, bahwa caring bukan hanya untuk
manusia tetapi untuk semua makhluk. Kepedulian caring Islami adalah sebuah bentuk
pelayanan pada Tuhan(Alimohammadi et al., 2013). Caring dalam Islam berarti keinginan
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan
Dengan Nilai-Nilai Islami.
Metoda
Design penelitian yang digunakan adalah sistematik review mix metode atau metode
campuran. Artikel dipilih berdasarkan criteria inklusi sebagai berikut :
a. Profesi Doula
b. Konsep perawatan kesehatan dalam Islam.
c. Caring
Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak membahas mengenai doula dan konsep
perawatan kesehatan dalam Islam. CASP yang digunakan adalah Evaluative Tool for Mixed
Method Studies (USIR, 2005). Penelusuran dilakukan melalui EBSCO, Proquest dan Google
search dengan keyword, doula, Islamic dan konsep. Boolean operator yang digunakan adalah
“And” agar pencarian data lebih fokus. Ekstraksi data, adalah mengelompokkan data menurut
variabel yang ingin dikaji. Data sinthesis dilaksanakan untuk melihat konsep doula dama
pandangan Islam.
Akram Analisis Konsep Melakukan analisa konsep keperawatan Keperawatan dianggap mirip
Sadat et al. konsep keperawatan menggunakan 8 tahapan dari Walker dan dengan pengasuhan ibu dan
(2013) Walker melalui analisis Avant memilki sifat feminism. Namun
dan Avant sumber Islami dalam Islam digambarkan
(Kualitatif seorang perawat sebagai
design) seseorang yang berusaha untuk
memperbaiki keadaan pasien.
Dalam kisah nabi musa (Qs Al-Qashah:7), ketika ibu nabi musa menghanyutkannya di
sungai untuk keselamatannya dari Fir’aun. Kemudian, saat diasuh oleh istri Fri’aun, Musa
tidak mau meminum susu dari ibu susu manapun. Ibu susu yang bisa menyusui Musa
adalah ibu kandungnya sendiri. Hal ini menyebabkan pengasuhan dan perawatan anak pada
Musa bayi ditangani langsung oleh ibunya sendiri.
Pembahasan
Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan
pendampingan secara terus menerus. Pendampingan yang dibutuhkan memnbutuhkan
perhatian penuh secara emosional, informatif, dukungan fisik dan bantuan untuk melakukan
perawatan pada bayi untuk pertama kali (Fulton, 1999). Keuntungan dari dukungan doula
secara keseluruhan pada 1 artikel sistemati review mengenai manfaat dukungan doula baik
saat kehamilan, persalinan dan pasca bersalin (Indriastuti & Namuwali, 2015). Doula mampu
meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit
(Kathryn D. Scoot, 1999), memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan
bayinya(Campbell et al., 2007) dan mengurangi kejadian post partum depresi (Lumley et al.,
2004).
Keperawatan menurut budaya islam adalah membimbing seseorang untuk mencari solusi atas
permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada
anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri
mereka sendiri, sebagaimana Musa diasuh oleh ibu kandungnya. Meski begitu seorang laki-
laki seperti Nabi Yusuf juga mampu untuk berperan dalam keperawatan yang memiliki sifat
feminism keibuan. Kemampuan Yusuf ini berkat kemurahan hati dan sikapnya yang suka
membantu orang lain serta kemampuannya memberikan perawatan dalam semua aspek
kehidupan.
Dukungan yang diberikan oleh doula memiliki nilai-nilai moral baik yang sesuai dengan
kajian Islam, Kemurahan hati , altruism, tanggungjawab, komitmen social, simpati, kasih
sayang, dan memberikan pertolongan pada sesama. (Alimohammadi et al., 2013).
Kesimpulan
Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang
professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara
dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan
sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal
kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan
konsep Islami. Pendekatan secara spiritual keagamaan memiliki cakupan yang menyeluruh.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 223
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan
konsep keperawatan Islami secara terpisah. Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai
profesi doula menurut perspektf kajian Islam.
Daftar Pustaka
Alimohammadi, N., Taleghani, F., Mohammadi, E., & Akbarian, R. (2013). Nursing in
Islamic thought: Reflection on application nursing metaparadigm concept: A
philosophical inquiry. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research , 18(4),
272–9. Retrieved from
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3872860&tool=pmcentre
z&rendertype=abstract
Arat, G. (2013). Doulas’ perceptions on single mothers' risk and protective factors, and
aspirations relative to child-birth. The Qualitative Report, 18(4), 1–11.
Campbell, D., Scott, K. D., Klaus, M. H., & Falk, M. (2007). Female relatives or friends
trained as labor doulas: Outcomes at 6 to 8 weeks postpartum. Birth, 34(3), 220–227.
doi:10.1111/j.1523-536X.2007.00174.x
Fulton, J. M. (1999). Doula Supported Childbirth : An Exploration of Maternal Sensitivity ,
Self-Efficacy , Responsivity , and Parental Attunement Diploma ( Mountainside
Hospital School of Nursing ) 1976 Approved :
Indriastuti, D., & Namuwali, D. (2015). Beneficial effects of doula support on pregnancy. In
Java International Conference.
Kathryn D. Scoot. (1999). the obstetrical and post partum benefits of continuous support
during childbirth. JOOURNAL OF WOMEN’S HEALTH & GENDERBASED
MEDICINE, 8.
Lumley, J., Austin, M.-P., & Mitchell, C. (2004). Intervening to reduce depression after birth:
a systematic review of the randomized trials. International Journal of Technology
Assessment in Health Care, 20(2), 128–144. doi:10.1017/S0266462304000911
Rassool, G. H. (2000). The crescent and Islam: healing, nursing and the spiritual dimension.
Some considerations towards an understanding of the Islamic perspectives on caring.
Journal of Advanced Nursing, 32(6), 1476–1484. doi:10.1046/j.1365-
2648.2000.01614.x
Sadat, A., Hoseini, S., & Alhani, F. (2013). Sources : Seeking Remedy Search terms : Author
contact :, 24(3).
USIR. (2005). Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method”
evaluation tool was developed from the evaluation tools for “quantitative” and
“qualitative” studies,. Policy. Salford, Greater Manchester: University of Salford
Manchester. Retrieved from http://usir.salford.ac.uk/13070/
Abstrak
Latar Belakang. Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan yang sangat rentan untuk kambuh. Hal yang
paling sering menyebabkan kekambuhan adalah kurangnya dukungan dari keluarga, masyarakat
sekitar, dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi kekambuhan pasien
skizofrenia adalah dengan melakukan assertive community treatment dimana tim multidisiplin
memberikan pelayanan secara komprehensif dan fleksibel dengan pelayanan diberikan di tempat
tinggal pasien. Assertive community treatment dilakukan di masyarakat binaan dengan ratio paling
banyak 1 perawat 10 pasien.
Tujuan.meningkatkan efisiesi biaya dengan menggunakan metode assertive community treatment pada
pasien skizofrenia dengan melibatkan tim interdisiplin.
Metodologi.Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan
penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search. Penelusuran dengan metoda
boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “Skizofrenia” and “ Assertive Community
Treatment” and “Cost”.Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif,
kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat.
Hasil. Hasil penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan tim interdisiplin dalam mengurangi
kekambuhan pasien sangat besar. Assertive community treatment dapat menurukan biaya $ 4.529
rawat inap dan menurunkan 37% kekambuhan. Assertive community treatment dapat memberikan
perawatan komprehensif pada perawatan rawat jalan. Assertive community treatment memiliki rata-rata
biaya per-orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding.
Kesimpulan. Dimana dengan menggunakan metode assertive community treatment tim interdisiplin
(dokter, psikiatri, perawat) untuk memberikan dukungan pada pasien dalam minum obar secara rutin
dan memberikan aktifitas positif pada pasien skizofrenia agar tetap dapat hidup berdampingan dengan
masyarakat yang lainnya.
Kata Kunci. efesiensi biaya, assertive community treatment, skizofrenia
Pendahuluan
Kesehatan merupakan keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan
tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh
aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial (Stuart
& Laraia, 2005). Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara
dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa
skizofrenia. seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality). Skizofrenia
merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi
(kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan)
(Maramis, 1994). Penderita Skizofrenia sering mengalami kekambuhan sehingga ia harus
menjalani perawatan dan pengobatan yang berulang/ keluar masuk rumah sakit jiwa. Banyak
faktor yang memicu terjadinya kekambuhan yaitu faktor lingkungan, keluarga, penyakit fisik,
maupun faktor dari dalam individu itu sendiri. Lingkungan dan keluarga mempunyai andil
yang besar dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa,
oleh karena itu pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan
lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan
wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah kekambuhan penderita.
Tujuan
a. Tujuan umum
Melakukan review efisiensi biaya dengan menggunakan metode assertive community
treatment pada pasien skizofrenia.
b. Tujuan khusus
1) Mengetahi peran tim interdisiplin dalam penanganan skizofrenia di masyarakat
2) Mengetahui pentingnya dukungan keluarga dalam meningkatkan kemandirian pasien
skizofrenia.
Metoda
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi : Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif,
kuantitatif atau campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan
full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan skizofrenia
di masyarakat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan assertive community
treatment. Dengan dampak yang ditimbulkan dari assertive community treatment adalah
efisiensi biaya.
2. Strategi Pencarian Literatur
Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan
penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing
(AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci
“assertive community treatment” and “cost” and “skizofrenia”.
Hasil
Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan kuantitatif pada tiga jurnal
yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO,
ProQuest, PubMed, BMC dan google search.
1. Kontribusi perawat dalam kesehatan jiwa di puskesmas
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu
hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin
hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai
antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting.
Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Kualitas hidup pasien dengan skizofrenia perlu ditingkatkan
dengan cara mentoring dari petugas kesehatan. (Zavradashvili et al., 2010)
2. Efisiensi biaya pada penggunaan metode assertive community treatment pada pasien
skizofrenia
Dalam penelitian oleh Erick dengan studi observasional menyebutkan bahwa perkiraan
fiscal pada tahun 2001 sampai denga 2004 terjadi peningkatan $ 4.529 dalam biaya VA tren
dalam penggunaan rawat inap, kemudian efek assertive community treatment tetap stabil
setelah tahun 2004 dimana dengan menggunakan assertive community treatment menurun
37%, karena lebih sedikit pasien dirawat dirumah sakit. (Slade, McCarthy, Valenstein,
Visnic, & Dixon, 2013). Timbal balik yang sama antara efektivitas biaya dan akses
mungkin terjadi dengan program perawatan kesehatan lainnya sumber daya intensif dan
hemat biaya, seperti Program All-In Perawatan untuk Lansia (PACE) (Eng et al 1997;.
Greenberg 2010; Gross et al. 2004). Studi ini menunjukkan bagaimana pengorbanan ini
dapat sistematis model yang mendukung dalam pengambilan keputusan antara keluarga
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 227
Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
pasien. penggunaan ACT dapat meingkatkan efektifitas biaya dalam pengobatan rawat inal
pasien, sehingga dapat digunakan dalam jangka panjang. Para peneliti meneliti efisiensi
dalam menggunakan model ACT layanan tanpa batas pada tingkat tinggi intensitas
ditetapkan dalam ACT Model.
Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran
capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per-
orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Biaya bersih per
orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok
pembanding. Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001
sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari $ 4.529 dalam VA
cost. (Slade et al., 2013). ACT dapat menurunkan efektifitas biaya 20% lebih rendah,
karena ACT melibatkan tim interdisiplin. (Rosen, Mueser, & Teesson, 2007). ACT untuk
pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan (18,8% dari
asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50% pasien TAU; x 2
(df = 1) = 6.75, p = 0,009). (Stobbe et al., 2014)
Dengan ACT kepuasan pasien meningkat, penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih
besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal
substansial, memiliki rata-rata biaya per-orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari
kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County
untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok pembanding.(William, 2011)
Pembahasan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu
hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya
memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama
anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan nalar
dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota
tim. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan. Psikososial adalah bentuk praktek psiko-therapeutik dimana pengetahuan tentang
bio-psiko-sosial.
Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain:
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik
profesional untuk pasien sakit jiwa
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 228
Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain.
Assertive community treatment adalah suatu program pelayanan kesehatan dengan pendekatan
tim multidisiplin yang memberikan pelayanan yang komprehensif dan fleksibel, dukungan dan
pelayanan rehabilitasi untuk individu dengan gangguan jiwa berat, dimana pelayanan
diberikan di lingkungan natural pasien, bukan dalam setting Rumah Sakit. (ACT Tools Kit,
2008)
Dalam Assertive Community Treatment tim multidisiplin bekerja bersama dalam suatu tim.
Tim Assertive Community Treatment berkolaborasi dalam memberikan terapi, rehabilitasi,
dan dukungan bagi tiap-tiap klien untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Konsumen
adalah klien dari suatu tim, bukan klien dari salah satu anggota tim secara individual. Individu
dengan gangguan jiwa berat biasanya tidak mengalami perbaikan yang bermakna bila hanya
ditangani dengan pelayanan rawat jalan yang biasa. Tim Assertive Community Treatment
memberikan pelayanan kapanpun dan dimanapun dibutuhkan. Konsumen tidak perlu
mengikuti
Gambaran penting dari Assertive Community Treatment
a. Staf multidisiplin
Tim yang memberikan layanan Assertive Community Treatment terdiri dari berbagai
profesi yang saling bekerjasama memberikan layanan komprehensif untuk pasien dengan
gangguan jiwa berat.
b. Pelayanan yang terintegrasi Pelayanan dalam Assertive Community Treatment dilakukan
secara terintegrasi oleh sebuah tim, yang terdiri dari: - Terapi : terapi obat/medikasi,
perawatan kesehatan fisik, kontrol gejala - layanan rehabilitasi : aktivitas sehari-hari,
hubungan interpersonal - terapi penyalahgunaan zat - bantuan-bantuan praktis - layanan
sosial - layanan terhadap keluarga - layanan yang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
c. Pendekatan tim Anggota Tim Assertive Community Treatment adalah para profesional di
bidang kesehatan jiwa dari berbagai profesi yang bekerja bersama-sama secara kolaboratif.
Masing-masing anggota tim mempunyai klien tetap yang ditangani, akan tetapi anggota tim
yang lain juga mengenal klien dari anggota tim yang lain dan siap
d. Rasio staf-klien rendah (1:10) Rasio staf dengan klien relatif kecil untuk menjamin layanan
yang adekuat untuk masing-masing klien. Rasio yang ideal adalah satu tenaga kesehatan
melayani 10 klien.
e. Tempat kontak di lingkungan pasien dengan kunjungan rumah (home visit) Semua anggota
tim Assertive Community Treatment melakukan kunjungan rumah terhadap klien.
Kunjungan dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien atau lingkungannya, seperti di
tempat kerja klien, bukan pertemuan di tempat pelayanan kesehatan. Penilaian yang
dilakukan di lingkungan kehidupan pasien sehari-hari akan memberikan hasil yang lebih
akurat tentang keadaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Medication management Prioritas utama dari Assertive Community Treatment adalah
pemberian pengobatan yang efektif, dengan penilaian yang adekuat tentang gejala yang
Menurut paham kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak mampu berfungsi
secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam penaganannya keikutsertaan peran
pekerja sosial medis di Rumah Sakit dan Puskesmas sangat berpengaruh terhadap proses
pengobatan yang harus dijalani pasien dan pembiayaan yang harus ditanggung keluarganya.
Secara garis besar peran pekerja sosial medis dalam penanganan pasien gangguan jiwa di
Rumah Sakit dan Puskesmas adalah sebagai berikut:
a. Inisiator; membantu seorang klien/pasien gangguan jiwa menyelesaikan persoalan karena
tidak dapat menerima keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya.
b. Negosiator; membantu keluarga pasien/klien dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan
jiwa di Rumah Sakit atau Puskemas.
c. Advokasi; membantu mengemukakan persoalan yang dihadapi pasien/klien.
d. Pembicara; membantu keluarga pasien/klien dalam menyampaikan permasalahan kepada
pihak Rumah Sakit atau Puskesmas.
e. Organisator; mengorganisir tim penanganan secara psiko-sosial
Tim interdisiplin yang ada di Puskesmas diharapkan dapat mengatasi masalah kekambuhan
pasa pasien skizofrenia. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan
kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk
melakukan assertive community treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat
dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah
satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga
kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat
meningkatkan efisiensi biaya.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 230
Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
Judul Hasil
Cost Savings from Assertive Community Treatment Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004,
Services in an Era of Declining Psychiatric Inpatient Use masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari $ 4.529.Tren penggunaan rawat inap
(Eric P. Slade, John F. McCarthy, Marcia Valenstein, yang akan datang menyarankan untuk menggunakan assertive community treatment (ACT).
Stephanie Visnic, and Lisa B. Dixon 2013) Efek rogram ini tetap stabil setelah 2004. Dimana kelayakan untuk assertive community
treatment (ACT) menurun 37 persen, karena lebih sedikit pasien yang dirawat di Rumah
Sakit
The effectiveness of assertive community treatment for Dari 62 pasien yang diacak, 26 hilang untuk menindaklanjuti (10 pasien di ACT untuk
elderly patients with severe mental illness: a randomized pasien lansia dan 16 di TAU). Sehubungan dengan pasien dengan TAU, lebih banyak pasien
controlled trial yang dialokasikan untuk ACT memiliki kontak pertama dalam waktu tiga bulan (96,9 vs
(Jolanda Stobbe (j.stobbe@erasmusmc.nl) 66,7%; X 2 (df = 1) = 9,68, p = 0,002). ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus
André I Wierdsma (a.wierdsma@erasmusmc.nl) Rob M sekolah lebih sedikit dari pengobatan (18,8% dari asertif pengobatan masyarakat untuk
Kok (R.Kok@parnassia.nl) Hans Kroon pasien usia lanjut dibandingkan 50% pasien TAU; x 2 (df = 1) = 6.75, p = 0,009). Tidak ada
(hkroon@trimbos.nl) perbedaan dalam variabel hasil primer dan sekunder lainnya. Kesimpulan bahwa ada
Bert-Jan Roosenschoon dampak positing dalam menerapkan metode assertive community treatment (ACT) terhadap
(B.Roosenschoon@parnassiagroep.nl) Marja Depla perawatan lansia dengan gangguan mental berat
(mdepla@dds.nl)
Cornelis L Mulder (niels.clmulder@wxs.nl)
Cost-Effectiveness Of A Capitated Assertive Community Hipotesis penelitian adalah bahwa dengan langkah tim mendukung orang-orang yang
Treatment Program dinyatakan akan di fasilitas subakut jangka panjang dapat dipertahankan dalam masyarakat.
(Chandler, Daniel, Spicer, Gary, Wagner, Marti, Skor pada skala kepuasan klien berkisar dari 1,0 (paling puas) untuk 4.0. Kelompok
Hargreaves, William 2011) pembanding yang non-signifikan lebih puas (perbandingan rata-rata = 2.19, SD = 0,839;
demonstrasi berarti = 2,34, SD = 0,847; t = -0,647, df = 52, p </ = 0,521; efek ukuran =
0,179 )
Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran
capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per-
orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian,
biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya
bersih kelompok pembanding.
Daftar Pustaka
Bramesfeld, A., Moock, J., Kopke, K., Büchtemann, D., Kästner, D., Radisch, J., &
Rössler, W. (2013). Effectiveness and efficiency of assertive outreach for
Schizophrenia in Germany: study protocol on a pragmatic quasi-experimental
controlled trial. BMC Psychiatry, 13, 56. http://doi.org/10.1186/1471-244X-13-56
Eng, C., J. Pedulla, G. P. Eleazer, R. McCann, and N. Fox. 1997. “Program of All-
inclusive Care for the Elderly (PACE): An Innovative Model of Integrated
Geriatric Care and Financing.” Journal of the American Geriatrics Society 45 (2):
223.
Greenberg, G., and R. Rosenheck. 2010. Department of Veterans Affairs National Mental
Health Program Performance Monitoring System: Fiscal Year 2009 Report.West
Haven, CT: Northeast ProgramEvaluation Center, VA ConnecticutHealthcare
System.
Gross, D. L., H. Temkin-Greener, S. Kunitz, and D. B. Mukamel. 2004. “The Growing
Pains of Integrated Health Care for the Elderly: Lessons from the Expansion of
PACE.” Milbank Quarterly June 82 (2): 257–82.
Maramis, W.F. (1994). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press
Phillips, S. D., B. J. Burns, E. R. Edgar, K. T. Mueser, K.W. Linkins, R. A. Rosenheck, R.
E. Drake, and E. C. McDonel Herr. 2001. “Moving Assertive Community
Treatment into Standard Practice.” Psychiatric Services 52 (6): 771–9.
Rosenheck, R., and M. Neale. 1998a. “Intersite Variation in the Impact of Intensive
Psychiatric Community Care on Hospital Use.” American Journal of
Orthopsychiatry 68 (2): 191–200.
Rosenheck, R. A., and M. S. Neale. 1998b. “Cost-Effectiveness of Intensive Psychiatric
Community Care for High Users of Inpatient Services.” Archives of General
Psychiatry 55: 459–66.
Stuart & Laraia. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 . Jakarta: EGC
Latimer, E.A. 1999. “Economic Impacts of Assertive Community Treatment: A Review of
the Literature.” Canadian Journal of Psychiatry 44 (5): 443–54.
Rosen, A., Mueser, K. T., & Teesson, M. (2007). Assertive community treatmentIssues
from scientific and clinical literature with implications for practice. The Journal of
Rehabilitation Research and Development, 44(6), 813.
http://doi.org/10.1682/JRRD.2006.09.0110
Slade, E. P., McCarthy, J. F., Valenstein, M., Visnic, S., & Dixon, L. B. (2013). Cost
Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining
Abstract
Latar Belakang. Jatuh merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia
dan dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Risiko jatuh dapat dinilai berdasarkan faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik seperti usia, penyakit yang diderita, psikologis dan
pengobatan sedangkan, faktor ekstrinsik seperti tersandung, lantai licin dan penerangan kurang.
Jatuh pada lansia dapat mengakibatkan cedera fisik ringan, berat bahkan komplikasi yang
mengakibatkan kematian, rasa takut jatuh kembali, tidak percaya diri dan pengeluaran biaya untuk
berobat.
Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti
Wredha.
Metoda. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif dengan pendekatan survei. Pengambilan
sampel menggunakan teknik Total Sampling dengan responden sebanyak 177 lansia. Pengambilan
data menggunakan pengkajian Morse Fall Scale.
Hasil. Hasil penelitian menunjukan 77 lansia (43,5%) memiliki risiko jatuh yang tinggi, 60 lansia
(33,9%) risiko rendah dan 40 lansia (22,6%) tidak berisiko.
Kesimpulan. Identifikasi terhadap tingkat risiko jatuh pada lansia perlu dilakukan agar kejadian
jatuh dapat diantisipasi. Saran dari penelitian ini diharapkan pengasuh lansia dapat lebih
memperhatikan kondisi biologis dan psikologis dari lansia yang menyebabkan jatuh.
Kata kunci : Risiko Jatuh, Lansia, Morse Fall Scale
Pendahuluan
Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-
menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya, akan menyebabkan perubahan anatomis,
fisiologi dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi tubuh dan
kemampuan tubuh secara keseluruhan (Michael and Mehmet, 2009). Pada UU No. 13
Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa batasan umur yang masuk dalam kategori
lansia adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Di Indonesia hasil
sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia
termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yaitu
18,1 juta pada tahun 2010. Daerah Kota Semarang berdasarkan data BPS Kota Semarang
tahun 2013, penduduk lansia laki-laki dan perempuan berjumlah 111.103 lansia dari total
seluruh penduduk di Kota Semarang (BPS, 2013)
Sekitar 30-50% dari populasi lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas mengalami jatuh
setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Pada lanjut usia di
atas 80 tahun, sekitar 50% pernah mengalami jatuh. Walaupun tidak semua kejadian jatuh
mengakibatkan luka atau memerlukan perawatan, tetapi kejadian luka akibat jatuh pun juga
meningkat terutama pada usia diatas 85 tahun (Pangkahila, 2007). Dampak terjadinya jatuh
pada lansia dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek biologis beberapa lansia yang
pernah jatuh sekitar 5% mengalami perlukaan jaringan lunak dan sekitar 5% mengalami
fraktur. Kemudian, dari aspek psikologis pada lansia yang mengalami jatuh akan muncul
rasa tidak percaya diri dan takut mengalami kejadian jatuh kembali. Rasa takut jatuh sering
juga dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial. Dari aspek ekonomi, lansia yang
mengalami jatuh maupun keluarga lansia membutuhkan biaya untuk pengobatan apabila
kejadian jatuh pada lansia menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan lansia
(Miller, 1995).
Salah satu upaya untuk mengidentifikasi risiko jatuh pada lansia adalah dengan cara
melakukan pengkajian dan penilaian terhadap gaya berjalan, riwayat jatuh maupun riwayat
penyakit yang diderita. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia
yang dikarenakan berbagai faktor (Tamher dan Noorkasani, 2009). Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di
Panti Wredha.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti
Wredha.
Metoda
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan jenis
penelitian deskriptif dan menggunakan metode survei. Populasi dalam penelitian ini
seluruh lansia yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading, PELKRIS (Elim) dan Harapan
Ibu Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 177 lansia.
200 146
100
31 Jenis Kelamin
0
Laki-laki Perempuan
150 110
100 57
50 10
0 Usia
Lanjut Usia Lanjut Usia Tua Lanjut Usia
Sangat Tua
35 30
30 24
25 22
20 16
12 13
15
6 6 8 7
10 Lama Tinggal
3 4 3 2 4 4 4
1 2 1 1 2 1 1
5
0
1 bulan
2 bulan
4 bulan
1 tahun
2 tahun
5 tahun
6 tahun
7 tahun
8 tahun
10 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
20 tahun
29 tahun
30 tahun
3 bulan
5 bulan
6 bulan
7 bulan
4 tahun
3 tahun
Diagram 3 menunjukan data lama tinggal responden sebanyak 30 lansia (16,9%) telah
tinggal di panti selama 2 tahun.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 236
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
Diagram 4 Karakteristik Responden di Panti Wredha Kota
Semarang Berdasarkan Riwayat Penyakit, Mei 2015 (n=177)
80 72
60 47
40 27 21
20 6 5 10 5
3 3 1 Riwayat Penyakit
0
Diagram 4 menunjukan riwayat penyakit yang paling banyak responden yaitu hipertensi
dengan penderita sebanyak 47 lansia (26,6%).
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Jatuh Responden di Panti Wredha
Kota Semarang, Mei 2015 (n=177)
Tingkat Risiko Jatuh Frekuensi Prosentase (%)
Tidak Berisiko 40 22,6
Risiko Rendah 60 33,9
Risiko Tinggi 77 43,5
Jumlah 177 100
Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 146 lansia (82,5%). Jumlah lansia perempuan yang lebih tinggi
daripada jumlah lansia laki-laki sesuai dengan usia harapan hidup perempuan yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kementrian Kesehatan menyatakan pada tahun
2013 rata-rata usia harapan hidup yaitu 72,7 tahun untuk perempuan dan 68,4 tahun
untuk laki-laki (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Hasil penelitian ini juga
menunjukan risiko jatuh tinggi sebesar 37,3 % atau 66 lansia perempuan dan 6,2%
atau 11 lansia laki-laki. Kejadian jatuh lebih banyak terjadi pada lansia perempuan
juga disebabkan karena penurunan hormon estrogen pada lansia post menopouse.
Berkurangnya hormon estrogen dapat menyebabkan tulang kehilangan kalsium dan
metabolisme serta absorbsi nutrien menjadi kurang efektif (Mauk, 2010). Kejadian
jatuh pada lansia perempuan lebih banyak terjadi juga dikarenakan berkurangnya
kekuatan otot pada ekstremitas bawah pada lansia perempuan dan kurangnya
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 237
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
kemampuan lansia perempuan dalam mengembalikan stabilitas tubuh (Lord, 2007).
Hal tersebut didukung oleh penelitian Yuna Ariawan (2011) menunjukan dari 52
responden lansia terdapat prevalensi kejadian jatuh sebesar 17,3% atau 9 lansia dan 6
lansia (67%) diantaranya wanita dan 3 lansia (33%) sisanya laki-laki (Ariawan, 2011).
Data usia responden menunjukan hasil bahwa sebagian besar responden masuk dalam
kategori lanjut usia tua yaitu usia 75-90 tahun sebanyak 110 lansia (62,1%).
Keseimbangan berkurang seiring bertambahya usia karena perubahan yang terjadi
pada lansia. Semakin tinggi usia seseorang akan lebih berisiko mengalami masalah
kesehatan karena adanya faktor-faktor penuaan lansia dan akan mengalami perubahan
baik dari segi fisik, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual (Sihvonen,2004).
Risiko jatuh juga meningkat dari 25% pada usia 70 tahun menjadi 35% setelah berusia
lebih dari 75 tahun (Stanley, 2006). Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Setyo
Harsoyo (2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat usia dengan risiko
jatuh pada lansia dengan p-value 0,00 (Harsoyo, 2012).
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden telah tinggal di panti selama
lebih dari 1 tahun. Lansia yang tinggal di panti selama kurang lebih 1 tahun sebanyak
24 lansia (13,6%), 2 tahun sebanyak 30 lansia (16,9%) dan 3 tahun sebanyak 22 lansia
(12,4%). Peneliti mengobservasi bahwa lansia yang telah lama tinggal di panti telah
mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta mereka mampu beradaptasi
dengan tenaga caregiver di panti. Lansia yang telah mampu beradaptasi dengan
lingkungan maupun sosial di panti lebih dapat menempatkan dirinya agar lebih
berhati-hati dalam beraktivitas (Hana dan Ismail, 2009).
Hasil penelitian menunjukan dari keseluruhan lansia yang menderita hipertensi yaitu
sebanyak 47 lansia (40,7%). Riwayat penyakit yang diderita lansia dapat
meningkatkan risiko jatuh pada lansia seperti gangguan kardiovaskuler, persarafan,
penglihatan, psikologi, muskuloskeletal dan lain-lain (Stanley, 2006). Prevalensi
hipertensi akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Terjadinya hipertensi
pada lansia disebabkan oleh menurunya elastisitas dinding aorta, katub jantung
menebal dan menjadi kaku dan kemampuan jantung untuk memompa darah menurun
1% setiap tahun setelah berumur 20 tahun (Xiaohua, 2012). Hasil penelitian Anne
Ambrose (2013) menyatakan bahwa keseimbangan dan gaya berjalan berhubungan
dengan tekanan darah dan detak jantung. Hal tersebut sejalan dengan dengan
penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat risiko jatuh tinggi dimiliki oleh
penderita hipertensi sebanyak 11,9% atau 21 lansia.
Status mental dan emosional pada lansia mempengaruhi kesadaran, penilaian gaya
berjalan, keseimbangan dan proses informasi yang diperlukan untuk mobilisasi atau
berpindah secara aman. Perilaku dan kemampuan kognitif juga dapat mempengaruhi
risiko jatuh seseorang dan kemungkinan penyebab jatuh (Stanley, 2006). Berdasarkan
penelitian ini dari 177 responden terdapat 38 lansia (21,5%) mengalami keterbatasan
daya ingat atau tidak dapat mengungkapkan tentang kondisi dirinya dan beberapa
diantaranya pernah mengalami jatuh. Hasil penelitian dari Nasution Zulkarnaen (2014)
menyatakan bahwa adanya hubungan antara keadaan status mental dengan
meningkatnya risiko jatuh (p=0,002). Seiring lanjutnya usia seseorang didapatkan
penurunan yang kontinyu dalam kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi
baru serta kecepatan bereaksi terhadap stimuls sederhana maupun kompleks .
Perubahan status mental pada lansia yang berupa berkurangnya kontrol sistem saraf
pusat dapat menurunkan persepsi dan sensori, kesadaran atau perhatian yang
mengakibatkan lansia kesulitan terlambat dalam mengantisipasi kejadian yang tiba-
tiba, yang akan memudahkan lansia terjatuh (Zulkarnaen, 2014).
Kesimpulan
Hasil peneitian didapatkan jenis kelamin responden dalam penelitian ini yaitu sebagian
besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 146 lansia (82,5%), usia responden
sebagian besar masuk dalam kategori lanjut usia tua kisaran umur 75-90 tahun sebanyak
110 lansia (62,1%), riwayat penyakit hipertensi adalah salah satu penyakit yang diderita
oleh mayoritas responden yaitu sebanyak 47 lansia (40,7%) dan mayoritas responden
tinggal di panti selama kurang lebih 2 tahun yaitu sebanyak 30 lansia (16,9%).
Gambaran tingkat risiko jatuh responden yakni sebagian besar menggambarkan tingkat
risiko jatuh tinggi sebanyak 77 lansia (43,5%) sedangkan, sebesar 33,9% atau 60 lansia
memiliki tingkat risiko jatuh rendah dan 40 lansia (22,6%) tidak berisiko. Kejadian jatuh
memiliki dampak negatif dan serius bagi lansia baik untuk kesehatan dan kualitas hidup
lansia. Pihak Panti Wredha perlu menginstrusikan kepada para pengasuh lansia untuk
melakukan langkah-langkah pencegahan jatuh. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi
Panti Wredha dalam menilai risiko jatuh dan mengurangi kejadian jatuh serta cedera pada
lansia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 239
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
Daftar Pustaka
Ambrose AF. Risk Factors for Falls Among Older Adults: A riview of the literature.
Elsevier Matur. 2013;75(1):51–61.
Ariawan Y et al. Hubungan Antara Activities Specific Balance Confidence Scale Dengan
Umur Dan Falls Pada Lansia Di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar. J
Penyakit Dalam. 2011;12(1).
Badan Pusat Statistik Kota Semarang . 2013 . Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
di Kota Semarang. Diakses pada 15 Maret 2015 di http://semarangkota.bps.go.id/
Hadi dan Kris . 2009 . Buku Ajar Boedhi - Darmojo Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hana dan Ismail . 2009 . Memahami Krisis Lanjut Usia: Uraian Medis dan Pedagogis-
Pastoral. Jakarta: Gunung Mulia
Kementrian Kesehatan RI . 2013 . Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta:
Bakti Husada
Lord et al. Epidemiology of Falls and Fall-Related Injuries in: fall in Older People: Risk
Factors and Strategies for Prevention. Cambridge Univ Press. 2007;3–5.
Mauk K . 2010 . Gerontological Nursing: Competencies for Care. 2nd ed. Sudbury,
Masschusetts: Jones and Bartlett Publisher
Michael and Mehmet. 2009. Staying Young : Jurus Menyiasati Kerja Gen Agar Muda
Sepanjang Hidup. Bandung: Qanita
Miller CA . 1995 . Nursing Care Of Older Adult . : Philadelphia: J.B. Lippincott Company
Zulkarnaen, N . 2014. Hubungan Status Mental Dengan Risiko Jatuh Pada Lansia.
Universitas Darma Agung
Nugroho, W. 2008 . Keperawatan Gerontik dan Geriatik Ed.3 . Jakarta: EGC
Pangkahila W. 2007 . Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta:
Kompas
Setyo H. Hubungan antara Usia dan Resiko Jatuh Pada Lansia di Posyandu Lansia RW 09
Kalirejo Wilayah Kerja Puskesmas Lawang. Poltekes Kemenkes Malang; 2012.
Sihvonen S. 2004. Postural Balance and Aging. Finland: University Of Jyvaskyla
Stanley M. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Ed. 2. Jakarta: EGC
Tamher dan Noorkasani . 2009 . Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Xiaohua . 2012 . Risk Factors For Accidential Falls in the Elderly and Intervention
Strategy. J Med Coll PLA 27. 299–305.
jihad_selalu1990@gmail.com
Abstrak
Latar Belakang. Kualitas pelayanan antenatal merupakan faktor penentu penting dari kesehatan ibu.
Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui Antenatal Care antara petugas kesehatan yaitu perawat yang
baik berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ibu hamil.
Metoda. Desain artikel ilmiah ini menggunakan sistematik review. Tipe study dalam artikel ini adalah
deskriptif yang berusaha menggambarkan, menjelaskan dan menafsirkan kondisi saat ini. Data yang
didapatkan dari kebiasaan atau perilaku seseorang untuk memahami mengapa dan bagaimana
keputusan dibuat.
Hasil. Hasil kajian perempuan yang menghadiri layanan perawatan antenatal Usia rata-rata
perempuan adalah 25 tahun penelitian, 9% di bawah 18 tahun, dan 8% lebih dari 33 tahun. Perawat
perlu melakukan berbagai kegiatan penyediaan pelayanan antenatal termasuk anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penyelidikan laboratorium.Ibu hamil yang memanfaatkan palayanan antenatal care masih
belum maksimal.
Kesimpulan. Temuan penelitian ini berkelanjutan dari standar perawatan kualitas dan perbaikan lebih
lanjut yang ada dalam profesi keperawatan dan pelayanan keperawatan.Penelitian ini mungkin
memiliki implikasi untuk beberapa bidang program keperawatan termasuk: praktik keperawatan,
pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan untuk perbaikan lebih lanjut layanan perawatan
antenatal.
Kata kunci: antenatal care, ibu hamil, perawat
Pendahuluan
Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan MDGs, khususnya menurunkan AKI dari 359
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup, tujuan ini diharapkan tercapai di tahun menurun di
tahun 2015. Kota Semarang sebagai Ibu Kota Jawa Tengah menjadi kota yang ikut serta
menyumbangkan angka kematian ibu sebanyak 29 kasus pada tahun 2013 (Sumber: DKK
Kota Semarang). Data deskriptif dari 2007 Indonesia Demografis dan Survei Kesehatan
(SDKI) telah menunjukkan bahwa, seperti di lain negara-negara berkembang, pelayanan
antenatal di Indonesia masih kurang dimanfaatkan. Sekitar 95% dari ibu hamil di Indonesia
sekurang-kurangnya satu kunjungan pemeriksaan kehamilan, namun hanya 66% dari
perempuan memiliki empat kunjungan antenatal seperti yang direkomendasikan, yang lebih
rendah dari target nasional dari 90% wanita memiliki setidaknya empat kunjungan antenatal
care.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah salah satu pointnya adalah dalam
peningkatan kualitas antenatalcare yaitu penggunaan Buku KIA pada ibu hamil, pelayanan
antenatal terpadu di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar dan rujukan, pencegahan dan
penanganan malaria pada kehamilan, pencegahan dan penanganan anemia pada kehamilan,
pencegahan dan penanganan Kurang Energi Kronis (KEK) pada kehamilan, pelaksanaan
Kelas Ibu Hamil, prevention of Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT).
Pelayanan antenatal yang berkualitas dapat mandeteksi terjadinya risiko pada kehamilan yaitu
mendapatkan akses perawatan kehamilan berkualitas, memperoleh kesempatan dalam deteksi
secara dini terhadap komplikasi yang mungkin timbul sehingga kematian maternal dapat
dihindari (Mufdlilah, 2009).Dari sini kita perlu mengetahui bagaimana kualitas antenatal care
yang dilakukan, terutama peran perawat dalam melakukan pelayanan antenatal care.Kualitas
pelayanan antenatal diberikan selama masa hamil secara berkala sesuai dengan pedoman
pelayanan antenatal yang telah ditentukan untuk memelihara serta meningkatkan kesehatan
ibu selama hamil jika sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan kehamilan
dengan baik dan melahirkan bayi yang sehat.Apakah kualitas pelayanan antenatalcare yang
dilakukan oleh perawat berhubungan dengan kunjungan pemeriksaan ibu hamil.
Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui Antenatal Care antara petugas kesehatan yaitu perawat yang baik berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ibu hamil
Tujuan Khusus
1. Memahami karakteristik dan hambatan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
Antenatal Care
2. Mengetahui tindakan keperawatan terkait pemeriksaan Antenatal Care
3. Mengetahui kualitas fasilitas kesehatan terkait layanan Antenatal Care
4. Mengetahui hasil ibu hamil yang memanfaatkan layanan Antenatal Care
Metoda
Design artikel ilmiah ini menggunakan sistematik review. Review sistematik adalah sebuah
sintesis dari studi-studi penelitian primer yang menyajikan suatu topik tertentu dengan
formulasi pertanyaan klinis yang spesifik dan jelas, metode pencarian yang eksplisit dan
reprodusibel, melibatkan proses telaah kritis dalam pemilihan studi, serta
mengkomunikasikan hasil dan implikasinya1. Tipe study dalam artikel ini adalah deskriptif.
descriptive study : Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan, menjelaskan dan
Kriteria inklusi untuk mengontrol mengacaukan variabel yang dapat menyebabkan persepsi
yang berbeda untuk perawat adalah: (1) paling sedikit diploma dalam kebidanan, (2) bekerja
minimal 3 bulan di perawatan antenatal, dan (3) bekerja di antenatal peduli keluar
departemen pasien untuk memberikan teknis dan perawatan interpersonal, dan tugas ini
menjabat di lingkungan lain dalam tahun ini. Kriteria inklusi untuk hamil perempuan: (1)
kehamilan normal, (2) usia kehamilan ≥ 28 minggu, dan (3) kunjungan ke klinik antenatal
setidaknya sekali. Pada beberapa jurnal yang diambil diukur persepsi perawat dan ibu
hamil.kualitas layanan Antenatal care yang dinilai melalui checklist, dan proses atribut,
termasuk interpersonal dan aspek teknis, melalui observasi dan wawancara
langsung. Pengambilan jurnal yang ada menggunakan critical appraisal. Telaah kritis
(critical appraisal) adalah suatu proses yang secara teliti dan sistematis mengevaluasi
penelitian untuk memutuskan tingkat kepercayaan, nilai, serta relevansinya dalam suatu
konteks tertentu2. Dengan kata lain, telaah kritis merupakan suatu proses mengevaluasi dan
menginterpretasikan suatu evidence secara sistematis dengan mempertimbangkan validitas,
hasil, dan relevansinya. Sedangkan, praktik berbasis bukti merupakan integrasi dari bukti
penelitian terbaik (best research evidence) dengan keahlian klinis (clinical expertise) dan
nilai-nilai serta preferensi pasien (patient values and preferences)3.
Hasil
1. Memahami karakteristik dan hambatan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan Antenatal
Care
Perempuan yang mengunjungi layanan perawatan antenatal 9% berusia di bawah 18
tahun, dan 8% lebih dari 33 tahun. Untuk 31% dari perempuan itu kehamilan pertama
mereka. Untuk 12% dari wanita yang observasi dan wawancara keluar dilakukan selama
mereka kunjungan pertama ke layanan kesehatan, dan 17% selama kedua kunjungi. Para
wanita yang tersisa menghadiri untuk ketiga atau Kunjungan lanjut. Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kandungan Karakteristik yang ditemukan antara womenattending
publik atau penyedia layanan swasta.Kondisi sosial ekonomi rumah tangga mungkin juga
mempengaruhi perilaku kesehatan mencari (19, 20). Hasil menunjukkan bahwa
penggunaan pelayanan antenatal oleh hamil Wanita ini terkait dengan status sosial
ekonomi-nya rumah tangga: perempuan yang hidup dalam kondisi yang lebih buruk
berkonsultas pelayanan kesehatan swasta kurang sering dan mengandalkan lebih sering
pada pelayanan kesehatan pemerintah daripada mereka yang tinggal di lebih baik
keadaan. Wanita menghadiri fasilitas sektor publik memiliki skor sosial ekonomi rata-rata
11 (kisaran, 5-25).
Penyedia layanan kesehatan harus memberikan informasi kesehatan kepada ibu hamil
untuk meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan, seperti pendidikan kesehatan
umum tentang nutrisi yang tepat; jarak kelahiran dan keluarga berencana.Informasi saran
untuk ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, menyusui; dan persiapan untuk
bayi baru lahir dan perawatan postnatal setelah melahirkan.Medis dan psikososial
intervensi. Dalam pelayanan antenatal kesehatan penyedia layanan harus memberikan
perawatan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan mengukur kemajuan status kesehatan
ibu dan pertumbuhan janin. Ini termasuk: pemantauan berat badan, mengukur tekanan
darah, rekaman ukuran uterus, memperkirakan usia kehamilan dari janin, mencatat waktu
gerakan pertama janin, presentasi janin dan auskultasi denyut jantung janin; dan
memberikan janji antenatal4. Selain itu, Intervensi farmakologis atau non farmakologis
mungkin diperlukan untuk mengelola ketidaknyamanan umum karena kehamilan sebagai
berikut:
1) Pengelolaan ketidaknyamanan umum kehamilan. Beberapa ketidaknyamanan biasanya
muncul selama kehamilan yang meliputi perasaan gelisah.Perawat perawatan antenatal
harus tahu ketidaknyamanan ini dan manajemen mereka. Ituyang paling umum yang
menyebabkan ketidaknyamanan kecemasan ibu adalah: kelelahan, mual danmuntah,
sembelit, mulas, keputihan, varises, sakit pinggang danwasir. Untuk menghilangkan
kecemasan, perawat perlu memberikan intervensi keperawatan untukmeringankan
ketidaknyamanan mereka .Kesimpulannya, komponen perawatan antenatal adalah
urutan pentingkegiatan yang diperlukan untuk memantau kondisi ibu dan
perkembangan janin selamakehamilan. Untuk memantau kemajuan ini, perawat perlu
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 244
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
melakukan awal dan terus meneruskajian untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
janin. Medis dan psikologisintervensi yang dibutuhkan oleh layanan perawatan
antenatal untuk mengelola ketidaknyamanan umumselama kehamilan dan untuk
meningkatkan kesejahteraan ibu.
Perawat memainkan peran penting dalam menyediakan layanan berkualitas tinggi ibu
selama periode antenatal dan persalinan yang berkontribusi untuk mengurangi ibu
dankematian perinatal (Lavender & Chapple, 2004). Trinh dan rekan (2007) menyatakan
bahwapenyedia pelayanan antenatal seperti perawat memiliki dampak yang besar pada
kualitas perawatan.
Perawat harus memiliki tanggung jawab moral, etika dan profesional untuk memberikan
perawatan kepada ibu hamil (Viccars, 2003). Mereka bertanggung jawab untuk pemberian
perawatan, memberikanpendidikan kesehatan saat ini dan mendengarkan klien "saran
tentang layananyang wanita butuhkan (Kritcharoen et al., 2005). Untuk mengidentifikasi
kebutuhan tersebut, keperawatanProses adalah kerangka diterima digunakan untuk
menilai, menganalisis, perencanaan,melaksanakan dan mengevaluasi asuhan keperawatan
(Murray et al., 2002). Perawat dapat mengambilriwayat kesehatan yang lengkap,
melakukan pemeriksaan fisik, ketertiban dan menafsirkan laboratoriuminvestigasi, dan
menyediakan perawatan primer untuk pemeliharaan kesehatan dan
promosi. Berdasarkankerangka ini, perawat "peran dalam perawatan antenatal adalah: (1)
penilaian, (2) analisis,(3) perencanaan, (4) pelaksanaan dan (5) evaluasi.
Penilaian harus sistematis dan terencana; dan pengumpulan data dan informasi fisiologis
yang berkaitan dengan psikologis, sosial danpertimbangan budaya harus dilakukan secara
efektif. Perawat mengumpulkan informasiyang membantu untuk mendiagnosa kelainan
pada tahap awal. Perawat harus menggunakanpenilaian penilaian awal dan lanjut untuk
wanita hamil di klinik antenatal.
1. Penilaian awal. Di klinik antenatal, selama kunjungan pertama wanita hamil perawat
harus mengkaji status kesehatan dengan mengambil sejarah,melakukan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan menilai faktor risikoberikut.
a. Mengambil sejarah. Perawat mengambil sejarah sebelumnya dan kehamilan
sekarang dan riwayat menstruasi dalam rangka membangun perkiraan
tanggalpengiriman (Kirkham, Harris, & Grzybowski 2005). Juga, ia mengambil
medis dansejarah bedah, termasuk kondisi kronis seperti diabetes mellitus,
hipertensi,penyakit ginjal, atau operasi yang dapat mempengaruhi
kehamilan; riwayat keluarga, dan kronispenyakit anggota keluarga yang dapat
mengungkapkan pola kelainan genetik. ASejarah psikososial juga harus diambil
dalam rangka membangun perasaan ibudan kondisi sosial-ekonomi ibu (Boller et al,
2003;. Donabedian, 1980;Murray et al., 2002; Rani et al., 2008; Trinh et al., 2007).
b. Pemeriksaan fisik. Perawat harus melakukanpemeriksaan fisik untuk mendeteksi
masalah sebelumnya tidak terdiagnosis yang dapat mempengaruhihasil
kehamilan. Pemeriksaan ini meliputi: memeriksa tanda-tanda vital seperti
darahtekanan, nadi, respirasi, suhu; mengamati kongesti vena dan edema;tinggi
mengukur dan berat, diameter panggul, tinggi fundus; dan mendengar jantung
janinsuara; memeriksa warna kulit untuk mendeteksi penyakit kuning dan anemia,
memeriksa kelenjar tiroiduntuk kebersihan pembesaran dan oral untuk infeksi,
memeriksa payudara untuk mendeteksi tanda-tanda abnormal 4. Puting datar atau
terbalik dapat mempengaruhi bayi yang baru lahir untuk menyusui; Oleh karena itu,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 245
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
selamayang antenatal check up perawat harus memeriksa payudara untuk
mempersiapkan wanitauntuk menyusui efektif setelah melahirkan dia.
c. Uji Laboratorium. Tes laboratorium yang umum digunakanselama kehamilan
adalah: pengelompokan darah; tes darah untuk hemoglobin dan hematokrit;hitung
darah lengkap; Rh factor dan antibodi layar; uji laboratorium penyakit
kelamin(VDRL); titer rubela; tes kulit untuk TBC layar; hemoglobin elektroforesis
untuklayar untuk sifat sel sabit; Layar hepatitis B; HIV (Human Immunodeficiency
Virus) layar; urine analisis tes urin untuk memeriksa jumlah protein,
glukosa,keton; dan bakteri papnicolaou (Pap) smear untuk menyaring neoplasia
serviks; danTes glukosa darah ibu untuk menyaring diabetes mellitus gestasional.
Selain itu, selama kunjungan awal, perawat harus mengkaji beberapa faktor risikoyang
dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin. Ini adalah: usia ibu di bawah 16tahun
atau lebih dari 35 tahun; multigravida; berat di bawah 45 kg atau lebih dari 90
kg;ketinggian di bawah 154 cm; merokok; kecanduan narkoba; Sejarah abnormal
kelahiran sebelumnya;penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
jantung, ginjal. Penyakit, gangguan tiroid dan infeksi bersamaan.Dengan
demikian,perawat dapat berkontribusi untuk diagnosis dan memberikan pengobatan
tepat waktu selama risiko
2. Analisis
Perawat harus melakukan analisis kritis terhadap data ibu hamil sebelum
diagnosis. Asumsi teruji dapat menyebabkan tidak relevan atau kesalahan diagnosis
masalah yang sebenarnya. Berdasarkan analisis tersebut,Perawat dapat mendiagnosa
wanita hamil dan berencana untuk menerapkan perawatan untukkasus yang
dipilihmenyebutkan kemungkinan diagnosa keperawatan untukwanita hamil misalnya:
(1) kecemasan yang berhubungan dengan ragu-ragu tentang kehamilan dan tidak tahu
apa yang diharapkan selama kunjungan kantor, (2) perilaku kesehatan terkait dengan
mempertahankan kehamilan yang sehat dan kekhawatiran mengenai
umumketidaknyamanan kehamilan, (3) pengetahuan kekurangan perawatan diri selama
kehamilan,(4) ketakutan terkait dengan tidak diketahui melahirkan. Theses ketakutan
mungkin termasuk kekhawatirantentang perjalanan yang aman diri dan bayi melalui
pengalaman pengiriman, dan kekhawatiran terkait dengan mengasumsikan peran
orangtua.
3. Perencanaan.
Berdasarkan diagnosis keperawatan, perawat berencana untuk menerapkankesehatan
terkait pengetahuan dan keperawatan intervensi melalui pendidikan
kesehatanProgram. Sebagai contoh, perawat dapat merencanakan untuk memberikan
informasi nutrisi untukmeningkatkan kesehatan ibu dan pertumbuhan janin yang bisa
memfasilitasi ibu hamil untukmeningkatkan protein dan asupan zat besi; mengurangi
komplikasi dari status kesehatan mereka yang buruk. Selain itu, kelas antenatal
mempersiapkan peran keibuan, danmenyusui, dan mengingatkan mereka untuk
menerima perawatan postnatal setelah melahirkan. Sebagai akibatwanita hamil akan
dapat mempromosikan dan melindungi diri mereka sendiri dan bayi yang
dikandungnyaselama kehamilan. Perawat harus merencanakan untuk memberikan
informasi kepadaibu hamil untuk meredakan ketidaknyamanan umum selama
kehamilan. Maka perawat harusjuga merekomendasikan cara-cara untuk memodifikasi
perilaku yang mungkin memiliki efek yang merugikan pada ibudan janin seperti
perasaan stres, beristirahat kurang dan melakukan kerja keras.
4. Implementasi.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 246
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Perawat klinik antenatal harus menerapkan direncanakanasuhan keperawatan pada ibu
hamil di klinik antenatal. Dia harus meminta wanitatentang ketidaknyamanan mereka,
memberikan perawatan untuk meringankan itu, mempertahankan tenang dan percaya
diricara selama aksi, melindungi privasi selama pemeriksaan fisik, menggunakan
aktifmendengarkan dan memberikan informasi faktual mengenai rencana
perawatannya. Perawat perlu memberikan informasi kesehatantentang gizi, perawatan
bayi baru lahir, manfaat menyusui dan teknik, dan kelahirandi kelas pendidikan
kesehatan antenatal. Selain itu, perawat mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan
termasuk perdarahan vagina, pecahnyamembran, pembengkakan jari atau bengkak
wajah, penglihatan kabur, perutnyeri, nyeri buang air kecil, muntah dan penurunan
gerakan janin, dan rencanauntuk tindakan segera membungkus tanda-tanda bahaya
5. Evaluasi.
Evaluasi adalah hasil perawatan. Perawat perlu mengevaluasidiimplementasikan
informasi kesehatan terkait dan intervensi keperawatan lainnya yang efektif untukibu
hamil berdasarkan pemahaman mereka. Evaluasi mempromosikan keselamatan dan
kesejahteraanmenjadi ibu hamil dan janin mereka selama kehamilan. Dalam
mengevaluasifase, wanita hamil verbalisasi pemahaman mereka tentang pengetahuan
kesehatan terkaitdan metode yang membantu mereka untuk mempromosikan status
kesehatan mereka dan meringankan ketidaknyamanankehamilan. Perawat harus
meminta ibu hamil tentang rencana mereka untuk memodifikasikebiasaan yang dapat
merugikan kesehatan mereka. Setelah mengevaluasi, jika perawat merasa bahwa
dirinyaimplementasi efektif dalam klinik antenatal, dia dapat berkolaborasi dengan
keluargauntuk menentukan rencana baru untuk pelaksanaan.
3. Mengetahui kualitas fasilitas kesehatan terkait layanan Antenatal Care
Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses layanan yang
efisien dengan maksud memaksimalkan manfaat kesehatan dalam kaitannya dengan
kebutuhan klien.Kualitas didefinisikan sebagai refleksi dari nilai-nilai dan tujuan saat ini
digunakan dalam sistem perawatan medis dan dalam masyarakat yang lebih besar. Selain
itu, Campbell et al. (2000) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai model sistem
berbasis terdiri dari struktur dan proses. Berdasarkan ini, Donabedian (1966) didefinisikan
kualitas pelayanan sebagai sejauh mana pelayanan yang sebenarnya konsisten dengan
kriteria hadir untuk perawatan yang baik.
Pembahasan
Ada dua kelompok subjek dalam penelitian ini: perawat dan wanita hamil. Mereka memiliki
informasi demografis yang berbeda dan berbagai jenis tingkat persepsi mengenai kualitas
pelayanan antenatal di Bangladesh. Dalam hal perawat, sebagian besar perawat yang lebih
dari 35 tahun (87.50%) dengan rata-rata usia 42,5 tahun. Kebanyakan menikah (98,20%) dan
Diploma pemegang Keperawatan (80.40%). Kebanyakan perawat telah bekerja selama lebih
dari 10 tahun (80.40%); dan memiliki lebih banyak dari 6 bulan "pengalaman dalam
pelayanan antenatal (91,10%) bekerja. Di sisi lain kelompok, sebagian besar wanita hamil
adalah 20-35 tahun (94,60%) dengan rata-rata usia 25,27 tahun. Sebagian besar wanita hamil
memiliki baik pendidikan formal atau kehadiran di sekolah dasar atau menengah
(89,30%); hampir semua ibu rumah tangga (96,40%); 62.50% dari perempuan memiliki usia
kehamilan 32 minggu atau lebih; dan 82.10% perempuan telah membuat setidaknya tiga
kunjungan antenatal.
Total skala perawat "persepsi mengenai kualitas pelayanan antenatal adalah tinggi (M =
176,95, SD = 16,07). Demikian pula, perawatan teknis dan perawatan antar pribadi
ditemukan untuk menjadi tinggi (M = 116,18, SD = 14,74; M = 60,77, SD = 2.58). Hanya
Beberapa alasan termasuk struktur rumah sakit, durasi pengalaman kerja, Pengalaman di unit
perawatan antenatal, tingkat pendidikan mereka, dan program pelatihan mungkin pengaruh
untuk melihat di tinggi. Di sisi lain, skala total ibu hamil persepsi mengenai kualitas
pelayanan antenatal juga pada tingkat tinggi (M = 162,71,SD = 24,70); dan perawatan teknis
subskala dan perawatan interpersonal yang juga ditemukan tinggi (M = 106,55, SD = 18,74;
M = 56,16, SD = 7,25). Selain itu, teknis merawat subskala untuk penilaian dan pendidikan
kesehatan, dan hasil perawat dan wanita hamil juga ditemukan pada tingkat tinggi.
Meskipun temuan perawat dan persepsi ibu hamil mengenai kualitas pelayanan antenatal
berada di tingkat tinggi, persepsi perawat secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita hamil (M = 179,45 vs M = 164,49 t = 4,50,p <.001). Selain itu, dalam sub-skala untuk
perawatan teknis dan perawatan interpersonal, yang persepsi perawat secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan ibu hamil(M = 118,49 vs M = 107,82, t = 3,97, p < .001); (M =
68,07 vs M = 41,43, Z = 4,47, p <.001). Dalam hal persepsi yang berbeda dari perawat dan
wanita hamil antara rumah sakit dalam dan di luar Dhaka, ditemukan bahwa perawat
"persepsi dalam Dhaka tidak berbeda nyata (M = 181,48 vs M = 178,13, t = 0,973, p > .05);
dan persepsi wanita hamil di luar Dhaka secara signifikan lebih tinggi daripada mereka untuk
rumah sakit di Dhaka (M = 171,85, vs M = 152,57, t = 3.67, p <.01).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 248
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Temuan penelitian ini dapat diartikan dan merekomendasikan kelanjutan dari standar
perawatan kualitas dan perbaikan lebih lanjut yang ada dalam profesi keperawatan dan
pelayanan keperawatan.Penelitian ini mungkin memiliki implikasi untuk beberapa bidang
program keperawatan termasuk: (1) praktik keperawatan, (2) pendidikan keperawatan, dan
(3) penelitian keperawatan untuk perbaikan lebih lanjut layanan perawatan antenatal.
Daftar Pustaka
Akobeng AK. Principles of evidence based medicine. Arch Dis Child 2005;90:837-40.
Burls A. What is critical appraisal? What is…? series of evidence-based medicine 2nd ed.
Hayward Group Ltd, Hayward Medical Communications Division; 2009 Feb[cited
2012 August 12]. Supported by Sanofi Aventis. Available from URL:HYPERLINK
http://www.medicine.oc.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/what_is_critical_a
ppraisal.pdf
Donabedian, A. (2005). Mengevaluasi kualitas perawatan medis. The Milbank Quarterly, 83 ,
691-729.
Green S. Systematic reviews and meta-analysis. Singapore Med J 2005;46(6):270-4.
Herry Setiawan
Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara
maju dan berkembang. Di negara ASEAN, stroke menjadi penyebab utama keempat kematian
sejak tahun 1992, nomor satu di Indonesia. Klien stroke membutuhkan fasilitas perawatan
jangka panjang di rumah sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah. Mereka bisa mendapatkan
kembali kualitas hidup dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari
keluarga atau pengasuh. Pengasuh membutuhkan dukungan dan motivasi dari perawat dalam
pelaksanaannya. Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadikan persaingan
perawat Indonesia dan perawat asing semakin nyata. Keadaan ini memberikan kesempatan
klien dan keluarga memilih dirawat oleh profesional keperawatan.
Tujuan: mengidentifikasi karakteristik perawat yang dibutuhkan masyarakat sebagai pemberi
pelayanan keperawatan pada klien stroke.
Metodologi: Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi tahun 2001-
2014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search. Penelusuran
dengan metoda boleon, full teks, pdf, dengan kata kunci “stroke patients” and “nurse” and
“caregiver”. Metodologi yang digunakan dalam publikasi dengan metoda kuantitatif, non-
RCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien dengan Stroke. Selanjutnya data
di-review dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk
dibahas dan disimpulkan.
Hasil: Penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik yang menunjukan
bahwa pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan,
mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan.
Diskusi: Perawat Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing
yang terasosiasi dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat
masyarakat memilihnya. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan
kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai
harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan.
Kesimpulan: Perawat yang memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat
masyarakat memilih perawat Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan
dalam perawatan klien Stroke di era MEA.
Kata Kunci: Stroke, Karakteristik Perawat, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi karakteristik perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan
pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui peran perawat dalam pemberi pelayanan keperawatan pada klien stroke
b. Mengetahui pentingnya nilai marketing perawat sebagai pemberi pelayanan dalam
menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
c. Mengetahui pentingnya pembentukan karakteristik perawat sebagai pemberi
pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA).
METODE
1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi yaitu artikel dengan metoda penelitian metoda kuantitatif, non-
RCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien Stroke yang dilakukan
tahun 2011-2014 dengan menggunakan bahasa inggris dan full teks. Pemilihan sampel
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 252
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
pada artikel adalah pemberian pelayanan perawat kepada pasien dan keluarga pasien
dengan penyakit Stroke.
2. Strategi Pencarian Literatur
Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi pada tahun 2001-
2014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search.
Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “stroke
patients” and “nurse” and “caregiver”.
Diagram Pencarian Literatur:
1. PDF 1. EBSCO n= 14
Skrening 2. Full Teks 2. Pub Med n= 5
3. Bahasa Inggris 3. Pro-Quest n= 3
4. Free Download 4. Google Search n = 15
5. Tahun 2001-2014
HASIL
Dari ekstraksi data dapat dilakukan beberapa sintesa guna memberikan gambaran
mengenai keadaan klien, keluarga, pengasuh pada penyakit Stroke. Penelitian Han Boter, et
al (2004), dari 173 pasien, 166 (96%) menyebutkan total 1.419 masalah. Masalah fisik (92%;
153/166), masalah emosional (60%; 99/166). Proporsi pasien dengan masalah menurun dari
94% (142/151) di kontak pertama, 74% (108/145) di kontak terakhir. Dari 148 penjaga, 118
(80%) dihubungi dan 84 disebutkan 266 masalah 'beban psikososial' paling sering disebutkan
(45%; 53/118). Proporsi wali dengan masalah adalah 56% (54/96) pada kontak pertama dan
37% (26/70) pada kontak terakhir. Dari 864 intervensi untuk pasien, perawatan stroke yang
paling sering diterapkan 'mendengarkan mendukung' (55%; 471/864) dan 'meyakinkan atau
mendorong' (12%; 107/864), dan dari 258 intervensi untuk penjaga 45% (115/258 ) adalah
'mendengarkan mendukung' dan 17% (43/258) 'menginformasikan'. Penelitian Visser-Meily,
et al (2005), kepuasan rata-rata adalah 7, dan 44% dari semua pasangan ‡ 8 (sangat puas) tapi
23% tidak puas. Karakteristik ‘pasangan dan pasien' dan skor kepuasan tidak terkait.
Karakteristik dukungan jumlah hari pertemuan (p ¼ 0,02), partisipasi dalam kelompok
pengasuh (p ¼ 0,006) dan dukungan dari anggota tim (p ¼ 0,000) terkait dengan kepuasan.
Tidak ada perbedaan dalam skor kepuasan pasangan ditemukan antara pusat rehabilitasi yang
berpartisipasi. Hanya 39% dari pasangan berpartisipasi dalam kelompok pengasuh. Alasan
penting untuk tidak berpartisipasi dalam kelompok tersebut tidak menyadari kesempatan
untuk mengambil bagian dalam kelompok (49%). Pasangan berpartisipasi dalam kelompok
menunjukkan gejala depresi lebih dan memiliki lebih mitra sangat cacat. Dukungan Pengasuh
terutama diberikan oleh perawat dan pekerja sosial. Satu dari lima pasangan menunjukkan
tidak terindikasi setelah didukung oleh tim rehabilitasi.
DISKUSI
Pada pelaksanaannya perawat memegang peranan penting karena wajib memilih
pengasuh terbaik untuk perawatan lanjutan. Kebutuhan informasi terkait perawatan lanjutan,
motivasi, dorongan dan dukungan untuk merawat klien stroke menjadikan penguat bagi
mereka yang bertindak sebagai pengasuh atau caregiver . Caregiver adalah orang yang
memiliki kewajiban untuk peduli karena adanya hubungan kekerabatan dekat atau ikatan
emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al., 1998). Caregiver utama biasanya
adalah anggota keluarga, teman yang rela mengorbankan waktu, tenaga dan dalam beberapa
kasus, seluruh diri mereka cenderung untuk kebutuhan penerima pelayanan (Robcares, 2013).
Keluarga atau caregiver akan menjadi care-taker untuk penderita stroke dalam perawatan
jangka panjang (Burke et al., 2007).
Peran caregiver adalah menyediakan kebutuhan dasar pangan, sandang, kebersihan
dan tempat tinggal. Mereka juga harus tahu bagaimana untuk memenuhi kebutuhan emosional
seseorang tanpa menciptakan ketergantungan. Terlebih lagi, mereka tidak boleh melupakan
kebutuhan mereka sendiri dan memahami bahwa untuk merawat orang yang dicintai, mereka
juga harus merawat dirinya sendiri (Robcares, 2013). Di Indonesia, istilah "caregiver" masih
langka di masyarakat karena profesi ini masih relatif jarang. Istilah lain caregiver adalah
"pekerja perawatan", "pengasuh lanjut usia", atau di Jepang disebut "kaigofukushishi". Selain
itu, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjaga keluarga mereka. Dengan
demikian caregiver di Indonesia adalah pengasuh keluarga (primary caregiver).
Tim kesehatan mengidentifikasi caregiver pasien stroke sebagai salah satu kunci dari
tim kesehatan. Namun, terlibatnya caregiver secara aktif dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan dalam perawatan akut sering tidak ada (Maclsaac et al., 2011). Caregiver
membahas dasar-dasar mengelola aktivitas sehari-hari dan strategi pemecahan masalah. Jadi,
caregiver juga perlu belajar tentang peran mereka secara koheren (Thompson et al., 2004).
Peran caregiver adalah membantu penderita stroke dalam hal makan, melakukan ADL dan
rehabilitasi (Dewit, 2009). Caregiver juga berkontribusi terhadap kebutuhan informasi dan
psikologi (Dorsey & Vaca, 1998).
Pada pelaksanaan pelayanan keperawatan klien dengan Stroke, mungkinkah perawat
Indonesia bisa bersaing dengan Negara Asia Tenggara lainnya? inilah yang akan menjadi
tugas besar untuk setiap individu perawat Indonesia dan organisasi profesi tentunya akan
mendukung perawat Indonesia dalam membenahi kompetensi, keahlian dan profesionalisme
dalam pelaksanaan keperawatan. Perawat profesional adalah perawat yang dapat memberikan
pelayanan keperawatan dengan menerapkan etika profesional keperawatan serta memiliki
kemampuan secara keilmuan. Jadi tidak hanya pintar secara keilmuan tetapi juga memiliki
prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan dan naluri pengembangan secara mandiri maupun
bekerjasama.
Menyikapi persaingan era pasar bebas bukan hanya perawat asing yang akan
berdatangan. Namun, klien asing juga akan banyak dirawat di Indonesia. Kemampuan
berbahasa asing akan memudahkan komunikasi perawat klien. Kaitannya dengan klien Stroke
jelas karena kejadian Stroke baik di dalam maupun di luar negeri sama besarnya. Di Amerika
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 255
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Serikat, stroke adalah penyebab utama ketiga kematian (Hinkle & Guanci, 2007). Di negara
ASEAN, data kematian lebih bervariasi, stroke telah menjadi penyebab utama ke-empat
kematian sejak tahun 1992. Era MEA 2015, antisipasi arus tenaga kerja asing tidak hanya
dikelola oleh negara, setiap Individu dan profesi masyarakat Indonesia pun harus mampu
melakukan antisipasi arus tersebut. Hal utama yang dapat dilakukan oleh individu adalah
dengan memiliki kompetensi dan kemampuan yang dapat menandingi tenaga kerja asing, hal
yang dapat menandingi kemampuan tenaga asing adalah dengan memiliki etos kerja
profesional yang tentunya tidak akan mudah ditiru oleh tenaga asing. Persaingan dalam hal
harga dan kualitas akan mudah ditiru oleh kompetitor tetapi persaingan dalam hal etika,
perilaku tentunya bukanlah hal mudah untuk ditiru khususnya perilaku yang berasal dari hati
nurani perawat Indonesia.
Perawat Indonesia haruslah mencari arti pentingnya positioning yang otentik dalam
pelayanan keperawatan. Hal ini akan menjadi Point of Difference (POD) yang sangat efektif.
Positioning seperti ini tentunya perlu didukung oleh banyak hal yang bersumber dari karakter
dan perilaku perawat itu sendiri. Semakin cerdasnya masyarakat dan adanya ledakan
informasi, maka strategi positioning yang mengaitkan dengan authenticity sungguh efektif
untuk menciptakan citra perawat Indonesia yang akan dipilih oleh masyarakat selaku klien
yang memerlukan pelayanan keperawatan. Perawat secara personal dan tim perawatan
memiliki beberapa POD yang sangat kuat dan menancap dalam benak sebagian besar
masyarakat Indonesia. Perawat adalah tenaga kesehatan yang mendengarkan dan melayani
klien saat sakit. Bagaimana terkait perihal caring dalam tata klinis. Jawaban yang lugas dan
sederhana harus diberikan, yaitu mendengarkan keluhan klien terkait penyakitnya. Perawat
memposisikan seperti ini pada saat klien melihat banyak perawat tidak mendengarkan dan
melayani klien saat sakit. Jadi, POD yang efektif adalah atribut atau karakter yang memiliki
oposisi atau sisi kontras yang kuat. Selain itu, sudah pasti bahwa POD yang kuat juga harus
didukung oleh banyak elemen merek. Dalam hal ini, sosok perawat yang sederhana, ramah,
dekat dengan klien melalui waktu panjang yang disediakan. Hal ini memberi kekuatan yang
besar sehingga POD ini menjadi kuat, unik, dan dapat dipercaya oleh masyarakat selaku klien.
Points of Parity (POP) diibaratkan sebuah merek tidak boleh hanya unik dan berbeda,
tapi juga harus memiliki citra yang menetralisir keunggulan dari pesaing dalam hal ini
perawat dari Negara asing. Inilah yang disebut dengan POP. Misal. Perawat Indonesia
ternyata, tidak tangguh dalam hal daya tahan tubuh dalam bekerja, kalah jauh dari pesaing
yaitu perawat asing. Ini yang megakibatkan beberapa kelompok masyarakat selaku klien
mulai meragukan kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Jadi, sebagian yang
mulai beralih adalah mereka yang melihat bahwa perawat Indonesia tidak memiliki sesuatu
yang dipunyai oleh perawat asing. Misalnya, sebagai pengambil keputusan klinis yang tegas.
POP harus mulai dibentuk sehingga menetralisir keunggulan perawat asing. Perawat
Indonesia juga bisa tegas, pelaksana keperawatan yang mampu berpikir kritis. Inilah yang
disebut Points of Parity (POP), yaitu citra yang mampu menetralisir keunggulan pesaing,
walau tidak perlu lebih unggul.
Kotler dan Keller (2006), menyebutkan bahwa POP merupakan asosiasi-asosiasi yang
tak perlu unik pada merek tetapi mungkin terbagi dengan merek-merek lain. Hal ini juga ada
pada diri perawat, aspek kompetensi dasar, pintar, lulusan terbaik tidak hanya milik perawat
Indonesia tapi juga perawat asing. Soal keramahan, tulus, kenyamanan, dan kecepatan dalam
pelayanan juga telah menjadi standar umum seorang perawat. Bukan hal yang khusus.
Namun, justru bila aspek tersebut tidak terpenuhi, klien tidak akan memandang perawat
Indonesia tersebut sebagai tenaga keperawatan yang layak untuk dipilih. Perawat bukanlah
KESIMPULAN
Pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan,
mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan. Perawat
Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing yang terasosiasi
dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat masyarakat memilihnya.
Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis
pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan
pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan
keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. Perawat yang
memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat masyarakat memilih perawat
Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan dalam perawatan klien Stroke di
era MEA.
Point of Difference (POD) dan Point a it ( ) adalah suatu keniscayaan dalam
dunia pemasaran profesi keperawatan. Menjadi serupa dengan pesaing adalah suatu standar
yang harus dipenuhi agar jasa pelayanan memperoleh legitimasi dan dipandang kredibel oleh
klien selaku konsumen. Tetapi menjadi yang berbeda dalam benak klien relatif terhadap
perawat pesaing adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Majulah Perawat
Indonesia, saatnya perawat Indonesia muncul dipermukaan dengan langkah penuh percaya
DAFTAR PUSTAKA
A˚ F anze´n-Dahlin et al. 2008. A randomized controlled trial evaluating the effect of a
support and education programme for spouses of people affected by stroke. Clinical
Rehabilitation 2008; 22: 722–730.
Berita Jatim. Perawat Dituntut lebih Profesional, Menyambut MEA.
http://wartakesehatan.com/54664/perawat-dituntut-lebih-profesional-menyambut-mea.
Diakses, 02 Oktober 2015
Carlsson C and Linander K. 2012. Positioning of a brand point of parity- a study of a possible
approach for taking position of a point of parity in a mature business to business
market. Master of Science Thesis INDEK 2012:08
Depkes RI. Delapan dari 1000 orang di Indonesia terkena stroke.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/ 1703-8-dari-1000-orang-di-
indonesia-terkena-stroke.html. Retrieved November 1, 2015
Dewit SC. Medical-surgical nursing concepts & practice. St Louis, Missouri: Saunders
Elsevier; 2009.
Dorsey MK & Vaca KJ. The stroke patient and assessment of caregiver needs. Journal of
Vascular Nursing 1998; 16: 62 – 67.
Ghodeswar. 2008. Building brand identity in competitive markets: a conceptual model.
Journal of Product & Brand Management 17/1 (2008) 4–12
Han Boter, et al. 2004. ut each nu se supp t a te st ke: a desc iptive stud n patients’
and care s’ needs, and applied nu sing inte venti ns. Clinical Rehabilitati n 2004; 18:
156–163.
Hinkle JL & Guanci MM. 2007. Acute ischemic stroke review. Journal Neuroscience Nurse;
39: 285 – 293.
Hunt LA et al. 2011. Assessment of student nurses in practice: A comparison of theoretical
and practical: assessment results in England. Nurse Education Today
Janiszewska K. 2012. The strategic importance of brand positioning in the place brand
concept: elements, structure and application capabilities. Journal of International
Studies, Vol. 5, No 1, pp. 9-19
J.M. Anne Visser-Meil et al. 2005. Sp uses’ satis acti n with ca egive supp t in st ke
rehabilitation. Scand J Caring Sci; 2005; 19; 310–316.
Kuptniratsaikul V, et al.. Complications during the rehabilitation period in Thai patients with
stroke. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation 2008; 88 (2): 92 – 99.
Mohn-Brown et al. 2007. Medical-surgical nursing. 2nd ed. New Jersey: Pearson.
Murray CJL & Lopez AD. 1997. Mortality by cause for eight regions of the world: Global
burden of disease study. The Lancet; 349: 1269 – 1276.
Phipps WJ, et al. 2003. Medical-surgical nursing health and illness perspectives. USA: Seventh
edition. Mosby; 2003.
R. Oupra; et al. 2010. Effectiveness of Supportive Educative Learning programme on the
level of strain experienced by caregivers of stroke patients in Thailand. Health and
Social Care in the Community 18(1), 10–20.
Abstrak
Latar Belakang. Keberagaman bangsa Indonesia dari segi suku dan budaya akan berimplikasi
pada perilaku kesehatan masyarakat yang juga beragam. Perawat yang berada dan bekerja pada
layanan kesehatan primer dimana pusta layanan yang akan diberikan adalah kepada individu atau
keluarga yang tentu memiliki keberagaman, sangat diharapkan memiliki kompetensi kultural yang
akan sangat membantunya beradaptasi dan memahami faktor sosial budaya yang dapat
berpengaruh pada kesehatan masyarakat dan sikap mereka terhadap penyakit.
Tujuan. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam
melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya ( crosscultural adaptation).
Metoda. studi ini merupakan sebuah studi literatur dimana jurnal-jurnal terpublikasi pada Ebsco
Host yang berhubugan dengan adaptasi kultural pada perawat maupun calon perawat di ringkas dan
kemudian disintesa hasil-hasilnya.
Hasil. Berdasarkan analisis 14 jurnal terpublikasi didapatkan beberapa faktor yang berhubungan
dengan adaptasi dalam konteks perawatan lintas budaya adalah pendidikan, komunikasi,
pengalaman dan pelatihan. Hasil penelitian menemukan bahwa tingkat pendidikan perawat
berpengaruh pada kemampuan beradaptasi lintas budaya yang mana, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin tinggi kemampuan beradaptasinya. Tidak hanya itu, Kominikasi (verbal dan
non verbal) merupakan salah satu hal penting yang bisa berpengaruh dalam hal kompetensi kultural.
Hal lainnya adalah pengalaman terpapar dengan lingkungan lintas budaya juga membuat seorang
perawat atau mahasiswa keperawatan mampu belajar beradaptasi. Sejumlah pelatihan intensif
berkaitan dengan kompetensi kultural kepada perawat terbukti bermanfaat untuk meningkatkan
pengetahuan, skill, dan sensitifitas kultural.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi dalam
konteks lintas budaya adalah tingkat pendidikan, kemampuan berkomunikasi, pengalaman, dan
pelatihan mengenai kompetensi kultural kepada perawat.
Pendahuluan
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia sudah sangat dikenal sebagai negara yang
memiliki latar belakang suku budaya yang beragam. Hal ini bisa terlihat dari berbagai suku
bangsa yang terdapat di negara ini. Badan Pusat Statistik (2015) mencatat bahwa Indonesia
yang didalamnya terdapat 34 provinsi, memiliki ± 17.504 pulau yang tersebar luas dari
barat hingga timur. Keberagamaan suku dan bangsa ini bisa menjadi sebuah kekayaan
yang besar berdampak baik bagi negara ini, tetapi juga bisa menjadi masalah jika tidak di
kelola dengan baik. Salah satu bidang yang berhubungan dengan keberagaman ini adalah
bidang kesehatan. Kebiasaan, sistem kepercayaan, dan perilaku masyarakat yang beragam
akan berdampak pada cara pandang mereka terhadap kesehatan itu sendiri. Sebagai sebuah
harmony dari tubuh, jiwa, dan roh (Watson 1985), kesehatan dimaknai berbeda pada setiap
budaya, yang bergantung pada nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan
kemampuan untuk memenuhi setiap kebutuhan dasar manusia (Ray, 2010).
Perawat sebagai salah satu bagian dari petugas kesehatan yang berperan penting dalam
melakukan proses caring pada pasien diperhadapkan dengan kompleksitas yang dimiliki
individu maupun komunitas tertentu. Kompleksitas tersebut terkait dengan essensi dari
manusia itu sendiri yang unik dan holistik dimana sakit bukan hanya persoalan fisik
melainkan psikis, sosialspiritual maupun budaya. Dalam hal budaya, Ray (2010)
mengatakan bahwa dalam proses merawat para pasien perawat harus berhadapan dengan
latar belakang budayanya sendiri, keberagaman budaya pasien, pengetahuannya terhadap
keberagaman budaya tersebut, dan kemampuan perawat tersebut untuk menghubungkan
hal-hal tersebut atau beradaptasi dengan hal-hal tersebut. Dengan kata lain, dibutuhkan
kemampuan perawat dalam melakukan dapatasi terhadap budaya para pasien yang
beragam tersebut.
Adaptasi kultural dapat dipandang sebagai sebuah proses seseorang dalam menyesuaikan
dirinya yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda dengan budaya orang lain.
Dengan kata lain, adaptasi budaya adalah kemampuan seseorang dalam melakukan
penyesuaian terhadap norma, nilai, kepercayaan, perilaku dan kebiasan dari orang lain.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang mempengaruhi
kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya. Hal ini
diangkat dengan asumsi bahwa perawat yang mampu beradaptasi dengan budaya pasien
dapat memberikan layanan yang lebih baik. Leininger (1991) dalm bukunya mengatakan
bahwa perawatan yang total kepada pasien hanya mungkin dilakukan ketika perawat
mampu memandang klien dari desain kerangka berpikir budayanya.
Tujuan
Tujuan dari peelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya.
Metode
Studi ini adalah sebuah studi literatur untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi lintas budaya. Hal ini dilakukan dengan
cara mereview jurnal-jurnal yang telah terpublikasi mengenai adaptasi kultural pada
perawat maupun calon perawat. Jurnal-jurnal tersebut diringkas kemudian disintesa
hasil-hasilnya. Jurnal-jurnal tersebut diidentifikasi melalui artikel-artikel yang telah
dipublikasikan yang diunduh melalui Ebsco Host sebagai pangkalan data jurnal-jurnal
antara tahun 2002-2015 dengan menggunakan kata kunci seperti
Hasil
Berdasarkan hasil sintesis dari 14 jurnal yang berkaitan dengan faktor yang
mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi lintas budaya, didapati
Pendidikan.
Faktor yang pertama adalah tentang latar belakang pendidikan perawat itu sendiri.
Pendidikan sangat berkaitan dengan kemampuan perawat memahami budaya orang lain.
Melalu proses pendidikan keperawatan baik dalam tahap akademik maupun praktik,
perawat maupun calon perawat diarahkan baik secara kognitif maupun sikapnya untuk
mampu memahami budaya lain disekitarnya. Semakin tinggi pendidikan yang didapat
perawat diharapkan semakin baik kemampuan beradaptasinya.
Selain itu dunia pendidikan keperawatan memegang peranan penting dalam mencetak
calon perawat yang mampu beradaptasi lintas budaya. Institusi pendidikan yang mengatur
kurikulum berbasis lintas budaya maupun memasukannya kedalam proses belajar
mahasiswa serta program-program lintas budaya membuat calon perawat memiliki bekal
yang cukup dalam layanan keperawatan kedepan. Pendapat ini didukung oleh Purnell
(2013) dalam bukunya Transcultural Health Care yang mengatakan bahwa memasukan
materi mengenai kopetensi kultural akan membuat perawat diajarkan sejak dunia
pendidikan untuk mampu memahami kebudayaan pasien. Hal ini akan membuat
mahasiswa calon perawat lebih mampu ketika melakukan layanan kesehatan sebagai
seorang perawat.
Ruth, Cantrell dan Reynolds (2014) yang melakukan penelitian mengenai promoting
cultural understanding through pediatric clinical dyads menemukan bahwa keenam riset
partisipan yang merupakan mahasiswa keperawatan dari Amerika dan Oman ini mampu
memahami mitos-mitos, mengatasi rintangan-rintangan budaya, dan terjadi peningkatan
pemahaman terhadap pandangan budaya lain. Ruddock dan Turner (2007) dalam studiny
mengenai membangung sensitifitas budaya pada mahasiswa keperawatan melalui program
internasionalisasi dan mendapatkan hasil bahwa program ini berhasil mengembangkan
sensitifitas budaya mahasiswa seperti mampu membuat penyesuaian terhadap perbedaan
budaya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Mareno dan Hart (2014) tentang perbandingan
kompetensi kultural antara perawat lulusan sarjana dan pasca sarja dimana 365 perawat
yang berpartisipan dalam survey ini mendapatkan hasil bahwa meskipun tidak ada
perbedaan yang signifikan dari segi kesadatan, skill, kenyamanan dengan pasien perawat
lulusan pasca sarjana memiliki pengetahuan tentang budaya yang lebih tinggi
dibandingkan perawat sarjana. Penelitian ini memunculkan kesimpulan bahwa pendidikan
keperawatan baik sarjana maupun pasca sarjana perlu memasukan aspek kecakapan
kultural kedalam kurikulum perkuliahan sejak mahasiswa bisa dipersiapkan sejak awal.
Duffy (2002) dalam tulisannya mengenai sebuah kritik pada pendidikan budaya dalam
keperawatan bahkan mengatakan bahwa pendidikan yang transformatif diperlukan sebagai
alternatif untuk mempelajari pendidikan budaya karena pendekatan ini memfokuskan pada
perkembangan kepribadian dan sepertihalnya meningkatkan kemampuan merawat orang
lain dalam hal ini adalah pasien.
Komunikasi
Komunikasi merupakan elemen penting dalam melakukan interaksi umat manusia. Baik
komunikasi verbal maupun non verbal harus mampu dimaknai secara kultural sehingga
Sebuah penelitian kualitatif oleh Jirwe, Gerrish, and Emami (2009) mengenai pengalaman
komunikasi mahasiswa keperawatan (5 mahasiswa berkewarganegaraan swedia dan 5
mahasiswa berkewarganegaraan non swedia) dalam pertemuan perawatan lintas budaya
dan menemukan beberapa tema seperti para mahasiswa keperwatan ini menyadari bahwa
komunikasi yang efektif menjadi hal yang penting dalam melakukan pertemuan lintas
budaya mengenai perawatan pasien, hal ini terlihat dari kesulitan yang mereka alami dalam
berkomunikasi dengan patient yang memiliki komunikasi verbal yang berbeda,
mengembangkan strategi dalam berkomunikasi dengan pasien yang berbeda, dan
keterbatasan itu berdampak pada ketidakpuasan layanan yang diterima oleh pasien-pasien
yang mereka rawat.
Pengalaman
Proses peningkatan kompetensi layanan keperawatan berbasis lintas budaya akan terus
berkembang seiring terpapar dengan berbagai pengalaman merawat pasien yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda. Penelitian Gabriel dkk (2014) mengatakan bahwa
proses mendapatkan penerimaan dan adaptasi dengan lingkungan profesional adalah
contoh pengalaman-pengalaman perawat dalam mencapai kompetensi budaya. Studi
serupa dilakukan oleh Hung dkk (2013) tentang pengalaman perawat jiwa pemula yang
bekerja pada latar belakang budaya Taiwan menemukan bahwa pengalaman perawat
berproses mulai dari berjuang dengan keterbatasan yang ada, belajar dari interaksi dengan
perawat senior maupun pasien dan keluarga, mulai mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut
hingga perawat memliki perasaan memiliki untuk bekerja di unit itu dan mampu
beradaptasi dengan pasien maupun dengan perawat senior. Penelitian serupa tentang
pengalaman perawat asal Cina yang bekerja di Australia oleh Zhou (2014) menemukan
bahwa pengalaman bekerja dengan budaya yang berbeda ini melewati paling tidak 3
proses yaitu berjuang dengan susah payah, melakukan refleksi, dan menyadari adanya
perbedaan budaya yang harus dikelola dalam proses pelayanan perawat tersebur.
Pelatihan
Guna memperlengkapi perawat dengan kemampuan memahami budaya pasien yang
majemuk, diperlukan pelatihan-pelatihan yang memungkinkan perawat meningkatkan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran jurnal-jurnal hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi ketika
melakukan perawat lintas budaya adalah faktor pendidikan, komunikasi, pengalaman, dan
pelatihan-pelatihan yang di dapat.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Indonesia 2015. Badan Pusat Statistik; Indonesia
Watson, J. (1985). Nursing: Human Science and Human Care. Norwalk, CT:
Appleton-Century-Crofts.
Berlin, Anita et.al. (2010). Cultural competence among Swedish child health nurses after
specific training: A randomized trial. Blackwell Publishing Asia Pty Ltd. (12).
381–391. DOI: 10.1111/j.1442-2018.2010.00542.x
Elminowski, Nerfis S. (2015). Developing and Implementing a Cultural Awareness
Workshop for Nurse Practitioners. Journal of Cultural Diversity. (22)3.
Duffy Mary . (2002). A Critique of Cultural Education in Nursing. Journal of Advanced
Nurrsing. (36)4, 487-495. DOI: 10.1046/j.1365-2648.2001.02000.x
Gabriel, Rodriguez.,et.al. (2014). Cultural experiences of immigrant nurses at two
hospitals in Chile. Revista Latino-Americana de Enfermagem. (22)2. 187-196. DOI:
10.1590/0104-1169.2980.2401.
Ho, Ya-Yu Cloudia. (2015). Investigating Internationally Educated Taiwanese Nurses'
Training and Communication Experiences in the United States. Journal of
Continuing Education in Nursing. (46)5. 218-277. DOI:
10.3928/00220124-20150420-02
Hung B.J et.al. (2014). The working experiences of novice psychiatric nurses in Taiwanese
culture: a phenomenological study. Journal of Psychiatric and Mental Health
Nursing. (21). 536–543. DOI: 10.1111/jpm.12121
Jirwe M., Kate G & Azita E. (2010). Student nurses’ experiences of communication in
cross-cultural care encounters. Nordic College of Caring Science Journal. (24).
436-444. doi: 10.1111/j.1471-6712.2009.00733.x
Kleinman, A. (1998). Do Psychiatric disorders differ in defferent cultures? In P Brown
(Ed). Mayfield Publishing Company: CA
Leininger, M. (1991). Culture Care Diversity and Universality: A theory of nursing . New
York: National League fo Nursing Press.
Majundar, B. Browne, et. Al. (2003). Effects of Cultural Sensitivity Training on Health
Care Provider Attitudes and Patient Outcomes. Journal of Advanced Nursing, 53(4),
470-479. DOI: 10.1111/j.1547-5069.2004.04029.x
Abstrak
Latar Belakang. Depresi adalah masalah psikriatrik yang paling sering terjadi di dunia
dan menyerang lebih dari 300 juta jiwa di dunia (National Mental Health Strategy
Australia , 2001). Umumnya, prevalensi depresi pada wanita sekitar 5% - 12% yang jauh
lebih besar daripada prevalensi depresi pada laki-laki yaitu sekitar 2% - 3% (American
Psychiatric Association, 1994). Tahun 2009, prevalensi depresi pada lansia di dunia
kurang lebih 8-15%. Hasil meta analisis didapatkan prevalensi rata-rata depresi pada
lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. WHO memperkirakan
pada tahun 2020 depresi akan menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut
usia di negara berkembang termasuk Indonesia (Dharmono, 2008)..
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat depresi pada lansia di
Kelurahan Padangsari.
Metoda. Metode yang dipakai adalah observasi dan structured interview. Penelitian ini
melibatkan 88 lansia di Kelurahan Padangsari Kota Semarang. Instrumen yang digunakan
adalah kuesioner Geriatric Depression Scale Short Form.
Hasil. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada lansia cukup bervariasi
yaitu 40,9% (36 orang) lansia tidak mengalami depresi, 40,9% (36 orang) lansia
mengalami depresi ringan dan 18,2% (16 orang) lansia mengalami depresi sedang.
Kesimpulan. Masih minimnya pemeriksaan akan depresi pada posyandu lansia menjadi
salah satu faktor penyebab cukup tingginya prevalensi depresi di Kelurahan Padangsari.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan tenaga kesehatan di Indonesia untuk semakin
memberikan perhatian terhadap masalah psikososial pada lansia dan tidak hanya berfokus
pada masalah-masalah fisik lansia.
Pendahuluan
Keberhasilan suatu program kesehatan dan program pembangunan suatu negara
pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduknya
(Badan Pusat Statistik, 2010). Angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki
dan perempuan) diproyeksikan naik dari 67,8 tahun pada periode 2000-2005
menjadi 73,6 tahun pada periode 2020-2025 sebagai akibat dari adanya transisi
demografi (Badan Pusat Statistik, 2010). Peningkatan usia harapan hidup
penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun
ke tahun. Tahun 2002 di Indonesia terdapat 14.439.967 jiwa (7,18%) lansia dan
tahun 2009 jumlah lansia di Indonesia mencapai kurang lebih 23,9 juta jiwa
(9,77%). Diperkirakan tahun 2020 jumlah lansia yang ada di Indonesia akan
mencapai 11,34% atau 28,8 juta jiwa (Menkokesra, 2010; Ronawulan, 2009).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 266
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang terus meningkat menyebabkan
adanya tuntutan yang besar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan
khususnya pada lansia dimana masa lanjut usia adalah masa terdapat beberapa
perubahan baik biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Perubahan biologis yang
terjadi pada lansia dimulai dari perubahan tingkat sel hingga organ. Tingkat sel
terjadi penurunan kemampuan untuk replikasi (membelah) sehingga sel menjadi
tetap dan dapat mengalami nekrosis dan apoptosis akibat fisik maupun kimiawi
(Ham, 2007).
Perubahan secara psikologis pada lansia erat kaitannya dengan perubahan biologis
dan perubahan sosial yang dialaminya. Perubahan biologis pada lansia akan
berdampak pada kemampuan sensasi, persepsi dan penampilan psikomotor yang
sangat penting bagi fungsi individu sehari-hari (Atchley&Barusch, 2004; Stuart,
2005). Shives mengatakan bahwa perubahan biologis tersebut umumnya akan
mengakibatkan lansia merasa cemas, kesepian, rasa bersalah, keluhan somatik,
demensia dan depresi (Shives, 2005).
Depresi adalah masalah psikriatrik yang paling sering terjadi di dunia dan
menyerang lebih dari 300 juta jiwa di dunia (National Mental Health Strategy
Australia , 2001). Umumnya, prevalensi depresi pada wanita sekitar 5% - 12%
yang jauh lebih besar daripada prevalensi depresi pada laki-laki yaitu sekitar 2% -
3% di salah satu komunitas di Amerika Serikat (American Psychiatric
Association, 1994). Tahun 2009, prevalensi depresi pada lansia di dunia kurang
lebih 8-15%. Hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia didapatkan
prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan
wanita-pria 14,1 : 8,6. WHO memperkirakan pada tahun 2020 depresi akan
menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut usia di negara
berkembang termasuk Indonesia (Dharmono, 2008).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain cross sectional.
Data merupakan data primer yang diambil pada bulan April – Mei 2013. Subjek
dari penelitian ini adalah lansia yang tinggal di wilayah Kelurahan Padangsari,
berusia lebih dari sama dengan 60 tahun dan kurang dari 70 tahun dan tidak
mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan hambatan komunikasi
seperti gangguan pendengaran, gangguan berbicara, demensia dan delirium.
Kriteria eksklusi ditetapkan untuk mengeliminasi subjek yaitu lanjut usia yang
mengalami gangguan persepsi dan sensori atau mengalami kondisi sakit yang
menyebabkan gangguan komunikasi seperti stroke.
Jumlah sampel dari penelitian ini adalah 88 lansia dari populasi lansia yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 189 lansia. Subyek dipilih dengan
menggunakan teknik random sampling. Penentuan sampel dilapangan
menggunakan metode Tabel Angka Random (TAR). Lansia yang memenuhi
kriteria inklusi kemudian dijelaskan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian ini
dan diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden
(informed consent). Responden kemudian diukur tingkat depresi dengan
menggunakan kuesioner Geriatric Depression Scale Short Form, dimana nilai 0-
4 menunjukkan tidak depresi, nilai 5-9 menunjukkan depresi ringan, nilai 10-12
depresi sedang dan nilai 13-15 depresi berat. Peneliti mengumpulkan data dengan
mengikuti kegiatan posyaandu lansia dan mendatangi rumah lansia satu per satu
sesuai data yang ada. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisa
univariat dimana data akan disajikan dalam distribusi frekuensi melalui grafik
atau tabel.
Hasil Penelitian
Sebanyak 88 responden ikut serta dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner
GDS Short Form dan kuesioner data demografi. Adapun karakteristik dari
responden penelitian ini dapat dilihat melalui tabel dibawah ini :
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Depresi di Wilayah Kerja
Kelurahan Padangsari, bulan April-Mei 2012
(n=88)
Tingkat Depresi F %
Tidak Depresi 36 40,9
Depresi Ringan 36 40,9
Depresi Sedang 16 18,2
Depresi Berat 0 0
TOTAL 88 100
Pembahasan
Depresi pada lansia dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah, kerusakan
fungsional dan kematian (Whooley and Jonathan, 2008). Masih tingginya
prevalensi depresi pada lansia di dunia membutuhkan perhatian yang cukup besar
dari tenaga kesehatan. Prevalensi depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari
cukup sedikit. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar lansia yang tinggal di
wilayah Kelurahan Padangsari tidak mengalami depresi yaitu 36 orang (n=88)
serta cukup banyak yang mengalami depresi ringan yaitu sebanyak 36 orang
(n=88) dan lansia yang mengalami depresi sedang adalah sebanyak 16 orang
(n=88). Lansia di Kelurahan Padangsari juga baik secara secara mental, hal itu
dibuktikan dengan tidak adanya lansia yang mengalami depresi berat (0%).
Depresi ringan ditandai afek depresif (suasana hati tertekan), kehilangan minat
terhadap kesenangan dan merasa lelah. Depresi ringan ditunjukkan dengan
sedikitnya ada 2 gejala yang ditemukan selama kurun waktu minimal 2 minggu.
Kriteria depresi sedang adalah sedikitnya ada dua dari tiga gejala-gejala utama
depresi, ditambah minimal 3 gejala lain dari depresi dan dalam kurun waktu
minimal 2 minggu (WHO, 2008). Hal ini sesuai dengan validasi yang dilakukan
oleh peneliti.Sebagian besar lansia dengan depresi ringan tidak dalam suasana hati
yang menyenangkan saat bertemu dengan peneliti. Bahkan beberapa responden
terlihat setengah hati menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bayu Rizky A
(2011) tentang gambaran tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Babakan Sari
Wilayah Kerja Puskesmas Babakan Sari Kota Bandung. Penelitian Bayu ini
menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan 95 responden lansia dan
diukur tingkat depresi dengan kuesioner yang sama dengan penelitian peneliti
yaitu kuesioner GDS 15-item. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58%
responden tidak mengalami depresi dan 42% responden (n=95) mengalami
depresi dengan rincian 24% mengalami depresi ringan, 11% mengalami depresi
sedang dan 7% mengalami depresi berat (Rizky Bayu, 2011).
Hal ini cukup sesuai dengan keadaan lansia di lingkungan Kelurahan Padangsari.
Berdasarkan hasil observasi peneliti sebagian besar lansia yang terlihat memiliki
suasana hati yang buruk dan sudah meninggalkan aktivitas yang disukainya
selama lebih dari 2 minggu adalah lansia berjenis kelamin wanita. Peneliti lebih
sering menemukan lansia wanita yang tidak puas dengan kehidupannya dan
memiliki suasana hati yang buruk saat dilakukan wawancara berdasarkan
kuesioner GDS-SF.
Secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian tentang prevalensi
depresi pada lansia di Seoul, Korea Selatan. Penelitian Lee, Choi, Jung & Kwak
(2000) melaporkan bahwa prevalensi depresi pada lansia di Seoul adalah 44% dari
seluruh lansia yang ada di Seoul dan 18,8% nya mengalami depresi ringan, 7,4%
mengalami depresi sedang dan 17,8% mengalami depresi berat (Lee, Choi, Jung
& Kwak, 2000). Secara angka terdapat jumlah yang jauh berbeda tentang
prevalensi depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari dan data dari penelitian
Lee, Choi, Jung & Kwak. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan jumlah populasi
dan responden yang signifikan antara penelitian ini dan data tersebut. Data
tersebut dapat menunjang bahwa prevalensi depresi pada lansia memang cukup
banyak terjadi.
Fenomena lain yang cukup menarik dari hasil sebaran tingkat depresi lansia di
Kelurahan Padangsari adalah jumlah lansia yang tidak mengalami depresi sama
dengan jumlah lansia yang mengalami depresi ringan (40,9%). Hasil observasi
peneliti di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia dengan depresi
ringan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami depresi dan tidak mau percaya
bahwa dirinya mengalami depresi ringan. Hal ini dapat menjadi faktor banyaknya
depresi yang tidak terdiagnosa secara dini (underdiagnosed). Hal ini sejalan
dengan data dari The Behavioral Risk Factor Surveillance System 2006 di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi pasien dengan depresi yang
terlambat didiagnosa di Amerika Serikat mencapai 8.7%-9.2% (Strine TW et al,
2008).
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada lansia di Kelurahan
Padangsari cukup bervariasi dimana jumlah lansia yang tidak mengalami depresi
sama dengan jumlah lansia yang mengalami depresi ringan dan tidak ada lansia
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 272
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
yang mengalami depresi berat di Kelurahan Padangsari. Adapun beberapa saran
yang dapat peneliti sampaikan adalah petugas kesehatan khususnya perawat
komunitas di puskesmas diharapkan dapat menjalankan tugas pokok dan
fungsinya secara holistik, tidak hanya fokus pada masalah fisik tetapi juga
masalah mental lansia khususnya masalah depresi pada lansia.
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: DSM-IV. 4th ed. Washington: American Psychiatric
Association; 1994.
Campbell, Maimane & Sibiya, 2005. Understanding and Challenging HIV/AIDS
Stigma.
Chung S. Residential status and depression among Korean elderly people:a
comparison between residents of nursing home and those based in the
community. Health Soc Care Community. 2008 Jul; 16(4): 370-7.
Darmojo RB. Gerontologi dan geriatri di Indonesia. Dalam: Sudoyo
AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibarata MK, Setiyati S (editor). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009:halaman 924-33.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengelolaan Kesehatan di
Kelompok Usia Lanjut. 2003
Dharmono. S. Waspadai Terhadap Lansia . Available
from:http//www.infogue.com. 2008. diakses pada 21Desember 2012.
National Mental Health Strategy (Australia), Australia. Departmentof Health and
Aged Care. Mental Health and SpecialPrograms Branch. National action
plan for depression : under the National Mental Health Plan: 1998–2003.
Canberra: Mental Health and Special Programs Branch, Commonwealth
Department of Health and Aged Care, 2001.
Strine TW et al. Depression and anxiety in the United States: findings from the
2006 Behavioral Risk Factor Surveillance System. Psychiatr Serv. 2008
Dec;59(12):1383-90.
Stuart, G. W. & Laraia, M.T. Principle and practice of psychiatric nursing. (8th
ed.). Philadelphia, USA: Mosby, Inc. 2005.
Thompson DJ, Borson S. Major depression and related disorders in late life.
Dalam: Agronin ME, Maletta GJ. Principles and practice of geriatric
psychiatry. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins; 2006: 349-68.
Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa . Edisi Bahasa Indonesia. Alih
bahasa : Renata Komalasari dan Afrina Hany. Jakarta: EGC.
Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric nurse.
USA: Mosby, Inc.
World Health Organization. 2008. Depression. Retrieved April 18, 2008, from
http://www.who.int/mental_health/management/depression/definition/en/.
diakses pada 18 Juni 2013
Abstrak
Pendahuluan. Gambaran buruk setelah nifas dan kecemasan yang tidak dapat dikontrol oleh ibu
pasca melahirkan merupakan tanda terjadinya depresi post partum atau Post natal depression (PND)
yang tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga bayinya. Gejala depresi yang tidak dikenali dan
ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan social, psikologi dan pekerjaan bagi ibu dan
menempatkan bayi pada posisi beresiko mengalami masalah perkembangan, perilaku dan emosional.
Hubungan antara PND dan kesehatan mental bayi telah menjadi fokus utama intervensi pada
kunjungan rumah. Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS) sebagai alat pengkajian suasana
hati sangat penting bagi ibu dengan resiko PND. EPDS adalah skala laporan diri berisi 10 item
pertanyaan mengenai gejala depresi selama 1 minggu yang lalu. Nilai dari pengukuran skala dalah 0-
30, setiap item memiliki skala empat poin (0-3).
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kejadian PND pada ibu postnatal melalui
kunjungan rumah.
Metoda. Penelitian ini menggunakan mix methods atau metode campuran dengan sampel ibu
postnatal. Data dikumpulkan dari 3 jurnal, pengukuran skala depresi posnatal dilakukan
menggunakan EPDS.
Hasil. Kunjungan pertama pada ibu Post Partum ditemukan kejadian PND, 9 dari 17 ibu (47%)
memiliki skor EPDS ≥9. 5 dari 7 kasus yang dikunjungi (71%), ditemukan ibu post partum telah
mengalami selama episode depresi dengan skor EPDS ≥9. 2 ibu tidak terindentifikasi memiliki
potensi depresi menurut pengukuran EPDS. Setelah melahirkan pada bulan ketiga, 69 ibu pada
kelompok kontrol (37.7%) dan 65 ibu pada kelompok intervensi (35.3%) memiliki skor postpartum
sebesar 10.1 tahun setelah post partum, 174 wanita (25,6%) mengalami depresi dengan skala EPDS ≥
12.
Pembahasan. Lima puluh persen episode depresi terjadi diantara 5 minggu pertama setelah
melahirkan bahkan selbih singkat yaitu 1 minggu. Akibat terlalu cepat dan pendeknya waktu kejadian
depresi dan ketrlambatan kunjungan rumah dilaksanakan, skor EDPS seringkali menunjukkan level
rendah cenderung tidak dapat teridentifikasi. Keterlambatan kunjungan, pada bulan ketiga setelah
persalinan tidak memberikan efek yang dignifikan pada kejadian PND. Intervensi yang berguna
untuk mengatasi depresi adalah kunjungan rumah khusus untuk pengelolaan PND untuk perawatan
depresi bukan untuk pencegahan. Sedangkan untuk kunjungan rumah yang ditujukan pada neonatal
dilaksanakan secara terpisah. Wanita dengan Ekonomi status rendah, riwayat keluarga memiliki
penyakit kejiwaan, pernah mengalami penyakit somatic, tidak merencanakan kehamilan, tidak puas
terhadap body image selama kehamilan, paritas > 3, persalinan SC, tidak dapat menyusui, riwayat
kehilangan bayi, tidak mendapatkan dukungan suami dan memiliki riwayat sakit Jiwa dapat menjadi
sasaran utama untuk pemeriksaan EPDS.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 274
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“ Se ara g, 7 No e ber 5
Kesimpulan. PND dapat meningkat setiap saat. EPDS berperan dalam mendeteksi keberadaan
depresi ibu post partum. Pengembangan skill dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam deteksi PND
dan edukasi masyrakat untuk pemanfaat EPDS sangat dibutuhkan. Kunjungan rumah yang paling
tepat dilaksanakan pada 2 minggu setelah persalinan.
Keyword: Deteksi, Postnatal Depression, EPDS, Kunjungan Rumah
Pendahuluan
Gambaran buruk setelah nifas dan kecemasan yang tidak dapat dikontrol oleh ibu pasca
melahirkan merupakan tanda terjadinya depresi post partum atau Post natal depression (PND)
yang tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga bayinya. Meskipun kehamilan dan
melahirkan adalah proses alami untuk wanita, namun dapat menyebabkan ketidakseimbangan
emosional terutama setelah bersalin. Pada tahun 1996 dilakukan penelitian mengenai depresi
post natal oleh O’Hara dan Swain yang menunjukkan bahwa depresi terjadi pada ibu
primipara sebesar 13%(Soep, 2000). Gejala depresi yang tidak dikenali dan ditangani dengan
baik dapat menyebabkan gangguan social, psikologi dan pekerjaan bagi ibu dan menempatkan
bayi pada posisi beresiko mengalami masalah perkembangan, perilaku dan emosional(Ueda et
al., 2006). Tingkat kejadian PND terendah terjadi di Eropa Barat dan Australia, tingkat
menengah terjadi di Amerika, tingkat tertinggi di Amerika Selatan dan Asia. Negara di Asia
yang memiliki prevalensi PND tinggi diataranya India (32%), korea (36%), Guyana dan
Taiwan (61%), namun sebagian penderita menolak untuk dikatakan mengalami depresi, tidak
memperdulikan tanda dan gejala depresi dan cenraderung untuk tidak mencari bantuan
profesiona l(Dindar & Erdogan, 2007). Penderita PND akan merasa malu jika diketahui
mengalami depresi dan takut dianggap tidak mampu berperan sebagai ibu(Soep, 2000).
Terjadinya peningkatan prevalensi PND pada wanita dengan riwayat depresi atau memiliki
factor resiko gangguan psikososial seperti pendapatan rendah atau stress semasa
kehamilan(Dugravier et al., 2013).
Rusaknya tali kasih antara ibu dan anak dapat menyebabkan gangguan dalam pengasuhan
sehingga menyebabkan gangguan perkembangan pada anak sejak bayi hingga dewasa. (Soep,
2000). Sehingga PND menjadi permasalahan penting dalam masyarakat umum yang
berpengaruh buruk pada kesehatan ibu, bayi, dan anggota keluarga lainnya yang terjadi dalam
rentang waktu 2 minggu sampai 1 tahun (Dindar & Erdogan, 2007). PND merupakan factor
resiko untuk kesehatan mental anak dan dikaitkan dengan gangguan mental lanjutan pada anak
pra sekolah terutama persaan aman, dan gangguan perkembangan kognitif, sosial dan
emosional. Pengaruh PND diperkirakan menjadi sebab anak pada usia 11 tahun beresiko 4 kali
mengalami gangguan kejiwaan(Dugravier et al., 2013)
Hubungan antara PND dan kesehatan mental bayi telah menjadi fokus utama intervensi pada
kunjungan rumah(Dugravier et al., 2013). Ibu yang meminta diberikan kunjungan rumah
disebabkan oleh kesulitan dalam perawatan bayi dan pengasuhan. Pada minggu ke 6-10,
kunjungan rumah dilaksanakan(Ueda et al., 2006), Pada kunjungan rumah ini, tenaga
kesehatan dapat melakukan pengkajian pada ibu untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
depresi. Sebagai contoh program kunjungan rumah yang disertai dengan pengkajian PND
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 275
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“ Se ara g, 7 No e ber 5
adalah Program Keluarga Sehat di Amerika atau Kemitraan Perawat dan Keluarga. Tim
kesehatan dalam kunjungan rumahnya bekerjasama dengan ibu mengakan stategi promosi
kesehatan mental seperti cara mengatasi stress di waktu sulit, mengajarkan kemapuan
menyelesaikan masalah pada ibu yang meningkatkan self efficacy, menyediakan bantuan dan
bekerja sama dengan ibu untuk meningkatkan dukungan social. Kemampuan pengasuhan dan
kasih sayang pada awal pengasuhan anak dapat mengurangi resiko gangguan
mental(Dugravier et al., 2013).
Penggunaan Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS) sebagai alat pengkajian suasana
hati sangat penting bagi ibu dengan resiko PND. Skala ini dikembangkan oleh COX pada
tahun 1987 (Dindar & Erdogan, 2007). EPDS adalah skala laporan diri berisi 10 item
pertanyaan mengenai gejala depresi selama 1 minggu yang lalu. Nilai dari pengukuran skala
dalah 0-30, setiap item memiliki skala empat poin (0-3) (Ueda et al., 2006). Penilaiannya
adalah sebagai berikut:
a. Nilai 1-8 tidak menunjukkan kejadian depresi
b. Nilai 9-11 menunjukkan nilai depresi yang rendah
c. Nilai 12-30 menunjukkan nilai depresi rendah meningkat ke tinggi.
d. Nilai 0 dicatat sebagai kemungkinan terjadinya depresi karena beberapa wanita cenderung
menutupi gejala depresinya(Dindar & Erdogan, 2007).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kejadian PND menggunakan EPDS pada ibu
postnatal melalui kunjungan rumah.
Metoda
Design penelitian ini adalah sistematik review dengan metode campuran (mix metode). Artikel
dikumpulkan dengan menelusuri jurnal yang melaksanakan pengukuran Postnatal depression
menggunakan EPDS. Criteria inklusi yang digunakan adalah :
a. Artikel pengukuran PND menggunakan EPDS
b. Populasinya meliputi ibu post natal, baik nulipara maupun multipara.
c. Menerima kunjungan rumah dari tenaga kesehatan.
d. Hasil akhir yang diukur adalah prevalensi kejadian PND yang terdeteksi menggunakan
EPDS pada kunjungan rumah
Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak menggunakan EPDS dan tidak menerima
kunjungan rumah dari tenaga kesehatan. CASP menggunakan Evaluative Tool for Mixed
Method Studies (USIR, 2005). Artikel dikumpulkan dengan melakukan penelusuran di
EBSCO, Proquest dan Google search dengan keyword, Postnatal depression, post partum
depression, dan EPDS. Boolean operator yang digunakan adalah “And” untuk memfokuskan
pencarian data. Ekstraksi data, mengelompokkan data menurut variabel yang ingin dikaji. Data
synthesis digunakan untuk prevalensi kejadian PND menggunakan EPDS pada kunjungan
rumah.
Pembahasan
Kejadian PND terjadi pada masa awal post partum. Para ibu yang mengalami depresi adalah
mereka yang membutuhkan dukungan kunjungan rumah selama periode postnatal atau post
partum. 50% episode depresi terjadi diantara 5 minggu pertama setelah melahirkan bahkan
selbih singkat yaitu 1 minggu. Akibat terlalu cepat dan pendeknya waktu kejadian depresi dan
ketrlambatan kunjungan rumah dilaksanakan, skor EDPS seringkali menunjukkan level rendah
cenderung tidak dapat teridentifikasi(Ueda et al., 2006).
Keterlambatan kunjungan, yaitu pada bulan ketiga setelah persalinan tidak akan memberikan
efek yang dignifikan pada kejadian PND. Intervensi yang terbukti berguna untuk mengatasi
depresi adalah kunjungan rumah yang hanya ditujukan pada pengelolaan PND. Fokus utama
kunjungan rumah pada ibu post partum adalah untuk perawatan depresi bukan untuk
pencegahan. Sedangkan untuk kunjungan rumah yang ditujukan pada neonatal dilaksanakan
secara terpisah(Dugravier et al., 2013).
Wanita dengan Ekonomi status rendah, riwayat keluarga memiliki penyakit kejiwaan, pernah
mengalami penyakit somatic, tidak merencanakan kehamilan, tidak puas terhadap body image
selama kehamilan, paritas > 3, persalinan SC, tidak dapat menyusui, riwayat kehilangan bayi,
tidak mendapatkan dukungan suami dan memiliki riwayat sakit Jiwa dapat menjadi sasarn
utama untuk pemeriksaan EPDS(Dindar & Erdogan, 2007).
Kesimpulan
Postnatal Depression dapat meningkat setiap saat selama tahun-tahun kelahiran. Penelitian
menunjukkan bahwa EPDS sang berperan dalam mendeteksi keberadaan depresi pada ibu post
partum. Pengembangan skill dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam deteksi PND dan
Edukasi masyrakat untuk pemanfaat EPDS sangat dibutuhkan(Dindar & Erdogan, 2007).
Akibat keterlambatan kunjungan rumah, PND seringkali tidak terdeteksi. Kunjungan rumah
yang paling tepat dilaksanakan pada 2 minggu setelah persalinan(Dugravier et al., 2013).
Dindar, I., & Erdogan, S. (2007). Screening of Turkish Women for Postpartum Depression
Within the First Postpartum Year : The Risk Profile of a Community Sample, 24(2), 176–
183.
Dugravier, R., Tubach, F., Saias, T., Guedeney, N., Pasquet, B., Purper-ouakil, D., … Matos,
J. (2013). Impact of a Manualized Multifocal Perinatal Home- Visiting Program Using
Psychologists on Postnatal Depression : The CAPEDP Randomized Controlled Trial,
8(8), 1–11. doi:10.1371/journal.pone.0072216
Ueda, M., Yamashita, H., & Yoshida, K. (2006). Impact of infant health problems on postnatal
depression : Pilot study to evaluate a health visiting system, 182–189.
USIR. (2005). Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method”
evaluation tool was developed from the evaluation tools for “quantitative” and
“qualitative” studies,. Policy. Salford, Greater Manchester: University of Salford
Manchester. Retrieved from http://usir.salford.ac.uk/13070/
Abstrak
Pendahuluan: Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi banyak mengalami kendala salah
satunya kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan yang dialami mahasiswa yang sedang menyusun
skripsi diberikan terapi hipnotis lima jari.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk
menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan pendekatan rancangan
penelitian One group Pre test-Post test yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis
lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi
Hasil : Responden sebanyak 18 orang, setelah dilakukan pengukuran sebelum perlakuan
didapatkan hasil cemas sedang sebnyak 18 orang (100%) dan setelah mendapat perlakuan menjadi
15 orang (83,3%) mengalami cemas ringan dan 3 orang (16,7%) mengalami cemas sedang.
Adapun hasil uji statistik didapatkan hasil p=0,000 (p<0,05).
Kesimpulan : bahwa dalam penelitian ini ada hubungan atau pengaruh yang kuat dari perilaku
sebelum terapi hipnotis lima jari dan sesudah terapi hipnotis lima jari (p < 0,05).
Pendahuluan
Kecemasan (ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan
dengan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan (ansietas) berbeda dengan rasa takut,
yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. kecemasan (anisietas) adalah
respon emosional terhadap penilaian tersebut (Stuart, 2006). Menurut Kliat dkk (2011)
Kecemasan (ansietas) adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan
terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejala-gejala fisik
seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosma (2008) pada mahasiswa tingkat akhir di
Universitas Ahmad Dahlan menunjukan bahwa dari 10 mahasiswa didapatkan 5
mahasiswa (50%) mengalami kecemasan tingkat sedang dan 5 mahasiswa (50%)
mengalami tingkat kecemasan rendah. Kecemasan (ansietas) ini dapat diatasi dengan
beberapa cara, antara lain terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi
farmakologi seperti obat anti cemas (anxiolytic) dapat membantu menurunkan cemas
tetapi memiliki efek ketergantungan, sedangkan terapi non farmakologi seperti
psikoterapi, terapi tertawa, terapi kognitif, relaksasi dan salah satunya dengan hipnotis
lima jari (Suyatmo, 2009). Hipnotis lima jari adalah pemberian perlakuan pada mahasiswa
dalam keadaan rileks, kemudian memusatkan pikiran pada bayangan atau kenangan yang
diciptakan sambil menyentuhkan lima jari secara berurutan dengan membayangkan
kenangan saat menikmati (Jenita D.T. Donsu dkk, 2008).
Hipnotis lima jari merupakan salah satu bentuk self hipnosis yang dapat menimbulkan efek
relaksasi yang tinggi, sehingga akan mengurangi ketegangan dan stress dari pikiran
seseorang. Hipnotis lima jari mempengaruhi system limbik seseorang sehingga
berpengaruh pada pengeluaran hormone-hormone yang dapat memacu timbulnya stress.
Mahasiswa yang diberikan hipnotis lima jari akan mengalami relaksasi sehingga
berpengaruh terhadap system tubuh dan menciptakan rasa nyaman serta perasaan tenang
(Mahoney, 2007). Hipnotis lima jari juga dapat mempengaruhi pernafasan, denyut jantung,
denyut nadi, tekanan darah, mengurangi ketengangan otot dan kordinasi tubuh,
memperkuat ingatan, meningkatkan produktivitas suhu tubuh dan mengatur hormon-
hormon yang berkaitan dengan stress.
Hasil penelitian Mu’afiro Adin (2007) pada 45 pasien Ca Servik (kanker leher rahim) di
Ruang Kandungan RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan 26 pasien (57,77%)
mengalami penurunan kecemasan setelah diberikan hipnotis lima jari.
Metode hipnotis lima jari dapat dilakukan ±10 menit dengan konsentrasi dan rileks
pertama menyentuh ibu jari dengan telunjuk dan mengenang saat mahasiswa merasa
sehat, kedua menyentuh ibu jari dengan jari tengah dan mengenang saat mahasiswa
pertama kali mengalami kemesraan, ketiga menyentuh ibu jari dengan jari manis dan
mengenang saat mahasiswa mendapat pujian dan terakhir menyentuh ibu jari dengan
kelingking dan mengenang tempat yang paling indah yang pernah dikunjungi (Keliat dkk,
2011).
Metode
Lokasi, populasi dan sampel penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Pra eksperiment dalam satu kelompok (One
group Pre Test Post Test Design), di mana responden dilakukan pre test sebelum diberikan
perlakuan dan responden dilakukan post test setelah diberikan perlakuan (Notoatmodjo,
2012). Perlakuan pada mahasiswa berupa Hipnotis Lima Jari oleh peneliti kurang lebih 10
menit sebanyak 1x pertemuan Penelitian ini dilaksanakan di STIKES Muhammadiyah
Klaten pada tanggal 01 juli - 02 juli 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat IV di STIKES Muhammadiyah Klaten tahun 2015,
laki-laki maupun perempuan yang berjumlah 92 mahasiswa. Teknik pengambilan sampel
menggunakan metode non-probability, jenis porposive sampling berdasarkan
penghitungan besar sampel, dibutuhkan 18 responden. Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah mahasiswa tingkat IV yang sudah terdaftar mengikuti skripsi, mahasiswa yang
bersedia menjadi responden, mahasiswa yang belum menikah, mahasiswa yang mengalami
kecemasan sedang. Pada penelitian ini jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 32 responden kemudian peneliti membagikan nomer undian 1-18. Bagi
responden yang mendapat nomor undian maka yang akan menjadi respondenya
Pengumpulan data
Pengumpulan data dengan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dengan
membagikan kuisoner (HRS-A) Hamilton Ranting Scale for Anxietas. Alat ukur ini terdiri
dari 14 pertanyaan gejala yang masing-masing pertanyaan gejala diberi penilaian antara
0-4, yang artinya 0 = tidak ada (tidak ada gejala), 1 = gejala ringan (satu gejala dari pilihan
yang ada), 2 = gejala sedang (terdapat separuh dari gejala yang ada), 3 = gejala berat (lebih
dari separuh gejala yang ada), 4 = gejala berat sekali (semua gejala ada). Masing-masing
nilai dari ke 14 kelompok gejala dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui derajat kecemasan, yaitu : Total nilai 0-13 = tidak ada kecemasan, 14-20 =
kecemasan ringan dan 21-27 = kecemasan sedang
Analisis data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Analisia univariat dilakukan
dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi. Analisia bivariat untuk mengetahui
pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan mahasiswa yang sedang
menyusun skripsi menggunakan uji statistik parametrik yang bertujuan untuk uji
kemaknaan dengan paried t test.
Umur frekuensi %
21 7 38,9
22 7 38,9
23 4 22,2
Jumlah 18 100
Minimum 21
Maksimum 23
Mean 21,83
SD 0,786
Sumber : Data primer
b. Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin di STIKES
Muhammadiyah Klaten Tahun 2015 (n=18).
Tingkat frekuensi %
kecemasan
Tidak ada 0 0
kecemasan 0 0
Ringan 18 100
Sedang
Jumlah 18 100
Sumber : Data primer
Tingkat frekuensi %
kecemasan
Tidak ada 0 0
kecemasan 15 83,3
Ringan 3 16,7
Sedang
Jumlah 18 100
Sumber : Data primer
No Perelaku P value
an
1. Pretest 0,399
2. Posttest 0,728
Sumber : Data sekunder
Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Berdasarkan tabel 4.1 distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, mahasiswa
yang mengalami kecemasan adalah mahasiswa usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7 orang
(38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. Prawirohusodo (2006) menyatakan umur muda
lebih banyak mengalami stress dan cemas dikarenakan pada usia ini mekanisme koping
belum terbentuk secara utuh sehingga kesulitan dalam mengambil keputusan berlanjut
kecemasan. Berdasarkan tabel 4.2 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis
kelamin paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 responden (77,8%)
dan kelamin berjenis laki-laki sebanyak 4 responden (22,2%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadibroto (2010) menyatakan bahwa
perempuan memiliki tingkat kecemasan atau stress yang lebih tinggi dari laki-laki.
Stress dapat menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan hormone epineprin yang
mempunyai efek dalam glikolisis di hati. Kaplan & Saddock (2006) menyatakan bahwa
kecemasan (ansietas) adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, perubahan
dan pengalaman terhadap sesuatu yang baru dan belum dicoba. Perubahan dalam
kehidupan seseorang merupakan stress yang bagi individual tertentu mengakibatkan
timbulnya kecemasan (ansietas). Kecemasan (ansietas) menurut Prawirohusodo (2006)
adalah perasaan yang dialami manusia sepanjang hidupnya, yang dapat muncul sebagai
gejala normal tetapi dapat jugasebagai gejala gangguan jiwa. Semua perilaku ditunjukan
untuk mengurangi ketegangan . Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk
dapat memusatkan pikiran. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Indah
(2013) menyatakan ada pengaruh hipnotis lima jari terhadap penurunan kecemasan
lansia di desa beteng dengan nilai signifikansi p value < 0,05.
2. Pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa
yang sedang menyusun skripsi.
Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai P value = 0,000 dimana nilai p <
(α=0,05), sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan nilai pengukuran perilaku pretest
dan posttest. Dengan hasil tersebut berati Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh secara signifikan dari pemberian terapi hipnotis
lima jari. Kecemasan (ansietas) adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang
buruk akan terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejala-
gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar (Kliat
dkk, 2011). Kecemasan (ansietas) pada mahasiswa sering kali muncul sebagai hal yang
bisa karena adanya kebutuhan tertentu yang harus dilewati oleh seseorang mahasiswa
untuk dapat masuk ke tahap selanjutnya seperti skripsi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi mahasiswa yang menyusun skripsi adalah tugas akademik (skripsi) yaitu
tugas akademik (skripsi) yang dianggap berat dan tidak sesuai dengan kemampuan
individu dapat menyebabkan terjadinya kecemasan (ansietas) Kaplan (2006). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Ibnu dan Yoga (2008) menyatakan bahwa faktor yang
menghambat penyusunan skripsi adalah kesulitan menemukan permasalahan, tidak rutin
bimbingan dengan dosen dan kesulitan menulis karya tulis ilmiah.
Tiga fase reaksi stress yaitu tahap pertama fase alarm reaction (waspada) adalah respons
tahap awal tubuh bereaksi terhadap stress dengan mengatifkan sistem syaraf simpatis
dan sistem hormon tubuh seperti kotekolamin, epinefrin, nerepinefrint, glukokortikoid,
koetisol dan kortison. Tahap kedua resistance (reaksi pertahanan) adalah respon tubuh
terhadap stressor dengan menggunakan kemampuan tubuh sehingga timbul gejala psikis
dan somatik. Tahap ketiga exhaustion (kelelahan/keletihan) adalah respon atau gejala
yang timbul akibat stressor seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri
koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada gastrointestinal), depresi, kecemasan
(ansietas), frigiditas, impotensia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Kumalasari (2013) menyatakan bahwa mahasiswa yang diberikan hipnotis, gelombang
pikirannya masuk ke gelombang alfa frekuensinya 7-14 hertz atau lebih dalam lagi ke
gelombang theta frekuensinya 4-7 hertz. Ketika pikiran masuk ke gelombang ini,
mahasiswa menghasilkan zat endorphin alami yang menghasilkan sensasi nyaman dan
dalam hipnotis state ini, sistem metabolisme tubuh menjadi jauh lebih baik dan tubuh
bebas dari ketegangan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka kesimpulan yang dapat diambil adalah umur
responden yang paling banyak mengalami kecemasan usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7
orang (38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. Tingkat kecemasan (ansietas) mahasiswa di
STIKES Muhammadiyah Klaten sebelum memperoleh hipnotis lima jari menunjukan 18
(100%) responden mengalami kecemasan (ansietas) sedang. Tingkat kecemasan
(ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten sesudah memperoleh hipnotis
lima jari menunjukan 15 responden (83,3%) mengalami kecemasan ringan dan 3
responden (16,7%) mengalami kecemasan (ansietas) sedang. Ada pengaruh hipnotis lima
jari terhadap penurunan kecemasan (ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah
Klaten sebelum diberikan terapi hipnotis lima jari dan setelah diberikan terapi hipnotis
lima jari dengan p value =0, 000 (p<0,05).
SARAN
Terapi hipnotis lima jari dapat dijadikan salah satu terapi untuk meningkatkan asuhan
keperawatan khususnya individu yang mengalami kecemasan (ansietas). Bagi institusi
Stikes Muhammadiyah Klaten dapat dijadikan bahan masukan dalam upaya menurunkan
kecemasan (ansietas) dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan cara
Abstrak
Latar Belakang. DM dan komplikasinya berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita.
Upaya mempertahankan kualitas hidup dilakukan dengan menginternalisasi, menerima kondisi
serta melaksanakan perawatan DM secara disiplin. Spiritualitas yang adekuat menunjang
manajemen perawatan yang adekuat yang akan berdampak pada kualitas hidup yang baik.
Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan antara spiritua;itas dengan kualitas hidup
penderita DM.
Metoda. Desain penelitian adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional yang
bertujuan mengetahui hubungan spiritualitas dengan kualitas hidup pada penderita DM. Penelitian
dilakukan pada 51 penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor spiritualitas 76,43, rata-rata skor kualitas hidup
dimensi fisik 22.23, dimensi psikologis 19.52, dimensi sosial 10.21, dan dimensi lingkungan 27.64.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup
penderita DM, dengan arah hubungan yang positif (nilai P 0,025).
Pembahasan. DM menurunkan kualitas hidup penderitanya dengan menurunkan semua dimensi
kesehatan secara umum. Agama dan spiritualitas membentuk dasar makna dan tujuan serta
memberikan bekal bagi penderita DM untuk memaknai penyakit yang mereka alami sebagai suatu
peristiwa hidup yang positif. Pasien DM yang sehat secara spiritual dapat mendayagunakan
kepercayaan mereka dalam melakukan koping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup. Mereka
mempunyai perasaan eksistensi pribadi yang bermakna, pemenuhan tujuan hidup, serta perasaan
hidup sampai pada suatu tahap adalah berharga serta cenderung mempunyai pandangan yang lebih
positif dan kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup yang baik pada penderita berdampak
positif terhadap kepatuhan terhadap manajemen terapi DM.
Kesimpulan. Aspek spiritual pada penderita DM mutlak diperhatikan dalam asuhan keperawatan
untuk mempertahankan kualitas hidup mereka.
Kata Kunci : spiritualitas, kualitas hidup, DM
Pendahuluan
Prevalensi penderita Diabetes Melitus (DM) di Indonesia cukup tinggi, mencapai 0,7 %
sampai 1,6 %. (Litbangkes Depkes, 2008, Suyono dalam Sudoyo et al, (2006). Secara
global Indonesia menempati ranking ke-empat setelah India, Cina dan Amerika Serikat.
Tujuan
Penelitian bertujuan mengetahui hubungan spiritualitas dengan kualitas hidup penderita
DM.
Metoda
Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif deskriptif korelasi bertujuan mengetahui
hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM. Strategi penelitian
dengan pengambilan data melalui penyebaran kuesioner yang dilakukan satu waktu (cross
sectional). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien DM di wilayah kerja Puskesmas
Padangsari. Data penderita DM di Posyandu tidak mencakup semua penderita, sehingga
digunakan teknik sampling dengan snow ball, penderita DM yang menjadi responden
diminta untuk menunjukkan responden lain yang ada di wilayah setempat. Tempat
penelitian dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Daily Spiritual Experience Scale
untuk mengukur spiritualitas dan kuesioner WHOQoLBREF versi Indonesia untuk
mengukur kualitas hidup. Dari 60 kuesioner yang disebar hanya 51 yang dikembalikan dan
diisi lengkap oleh responden. Analisis univariat dalam bentuk distribusi frekuensi dan
prosentase mendeskripsikan karakteristik setiap variabel meliputi jenis kelamin, umur,
agama, pekerjaan, lama mengalami DM; serta rata-rata skor spiritualitas dan kualitas hidup
penderita DM. Analisis bivariat uji Pearson Product Moment untuk mengidentifikasi
hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM.
Jenis Kelamin
Laki-laki 25 49
Perempuan 26 51
Pekerjaan
Swasta 2 3,9
Ibu rumah tangga 16 31,4
Wiraswasta 5 9,8
Pensiunan 24 47,1
Dagang 1 2
PNS 1 2
Tidak bekerja 2 3,9
Agama
Islam 45 88,2
Kristen 2 3,9
Katolik 3 5,9
Hindu 1 2
Lama mengalami DM
1-5 thn 23 45,1
> 5 thn 28 54,9
Total 51 100
Data Skor kualitas hidup setiap dimensi penderita DM di wilayah kerja Puskesmas
Padangsari disajikan dalam Tabel. 3 berikut.
Hasil uji Pearson Product Moment menunjukkan ada hubungan positif antara spiritualitas
dengan kualitas hidup penderita DM (r : 0,313 nilai P : 0,025). Semakin tinggi spiritualitas
akan semakin baik kualitas hidup penderita.
Pembahasan
Usia responden terbanyak pada penelitian ini adalah 46 tahun ke atas. Jumlah penderita
penyakit degeneratif semakin tinggi dengan meningkatnya usia, termasuk di Indonesia
(Litbangkes Depkes, 2008). Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya
DM lebih dini. Jenis kelamin responden dalam penelitian ini hampir sama antara laki-laki
dan perempuan. Prevalensi DM di Indonesia antara laki-laki dan perempuan tidak jauh
berbeda. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi yang sama antara penderita DM
laki-laki (0.7 %) dan perempuan (0.7 %) (Litbangkes Depkes, 2008). Semua responden
memeluk agama yang resmi dan diakui di Indonesia. Mayoritas warga Indonesia
mempunyai agama sebagai panutan dalam menjalani kehidupan. Agama juga merupakan
salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan spiritual (Zohar dan Marshal, 2000),
termasuk pada penderita DM. Sebagian responden sudah tidak bekerja karena memasuki
usia pensiun. Krisis kehidupan seperti kehilangan pekerjaan karena pensiun akan
berdampak pada spiritualitas seseorang (Zohar & Marshal, 2000). Sebagian responden
sudah mengalami DM selama lebih dari 5 tahun. Kondisi kronis seperti DM dapat
menyebabkan distres spiritual yang dicirikan dengan berbagai cara seperti
mempertanyakan makna penderitaan, makna eksistensi diri, atau implikasi moral dan etis
dari rejimen terapi (Hymovich dan Hagopian, 1992).
Agama dan spiritualitas membentuk dasar makna dan tujuan bagi banyak orang Foglio, JP
& Brody, H, dalam Puchalski, 2001). Spiritualitas memberikan bekal bagi penderita DM
untuk memaknai penyakit yang mereka alami sebagai suatu peristiwa hidup yang positif.
Pasien yang sehat secara spiritual dapat mendayagunakan kepercayaan mereka dalam
melakukan koping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa mereka yang sehat secara spiritual cenderung mempunyai pandangan
yang lebih positif dan kualitas hidup yang lebih baik (Puchalski, 2001). Penderita DM
membutuhkan strategi koping yang efektif menghadapi vonis penyakit dan prognosisnya,
perubahan perilaku hidup berupa pembatasan maupun pengobatan, serta kejadian
komplikasi DM. Spiritualitas memberikan kekuatan bagi penderita menghadapi stressor
fisik dan psikologis akibat penyakit DM.
Pasien dengan penyakit lanjut, seperti DM yang sehat secara spiritual mempunyai perasaan
eksistensi pribadi yang bermakna, pemenuhan tujuan hidup, serta perasaan hidup sampai
pada suatu tahap adalah berharga yang berkaitan dengan kualitas hidup yang baik (Cohen
SR, Mount BM, Strobel MG, Bui F, dalam Puchalski, 2001). Spiritualitas memungkinkan
penderita DM memaknai kejadian sakit sebagai pengalaman positif yang bermakna
baginya.
Kualitas hidup yang baik pada penderita berhubungan dengan kepatuhan terhadap
manejemen terapi DM (Chaveepojnkamjorn, W; Pichainarong, N; Schelp, FP; &
Mahaweerawat, U; 2008). Asuhan keperawatan yang ditujukan untuk mempertahankan
atau meningkatkan spiritualitas penting dilakukan untuk mempertahankan kualitas hidup
penderita DM sekaligus meningkatkan kepatuhan terhadap manajemen terapi.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara spiritualitas dengan kualitas
hidup penderita DM. Semakin baik spiritualitas maka akan semakin baik kualitas hidup
penderita DM. Penderita dengan kualitas hidup yang baik lebih patuh terhadap manajemen
terapi DM
Daftar Pustaka
Chaveepojnkamjorn, W; Pichainarong, N; Schelp, FP; & Mahaweerawat, U (2008).
Quality of Life among Type 2 Diabetic Patients. South East Asian Journal Trop
Med Public Health. Vol 39 No. 2 Maret 2008 329
Gonzales, J.S; Esbitt, S.A; Schneider, H.E; Osborne, P.J; Kupperma, E.G (2011)
Psychological Isuues in Adults with Type 2 Diabetes. Available from
http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9781
Isworo, A (2008) Hubungan Depresi dan Dukungan Keluarga Terhadap Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Sragen. Tesis: FIK UI: Tidak
dipublikasikan
Kariadi, SHKS., 2009. Diabetes? Siapa Takut!!. Panduan lengkap untuk Diabetisi,
Keluarganya, dan Profesional Medis. Bandung: Mizan Media Pustaka.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 293
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Litbangkes Depkes (2008) Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007. Depkes RI: Jakarta
Phelps, Kenneth W. (2010) Satisfaction with Life and Biopsycosocial-Spiritual Health
Among Underserved Patients with Diabetes. Dissertation
Puchalski, C.M (2001) The Role of Spirituality in Health Care. Diperoleh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305900/.
Ramsey, S.D. (1999) Incidence, Outcomes, and Cost of Foot Ulcers in Patients with
Diabetes. http://care.diabetes journals.org.
Sudoyo et al (2006) Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid III edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakitd Dalam FK UI
Tyas, MDC. (2008) Hubungan Perawatan Diri dan Persepsi Sakit Dengan Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di Kota
Blitar. Tesis. FIKUI. Tidak dipublikasikan
Yanti, S (2009) Analisis Hubungan Kesadara Diri Pasien dengan Kejadian Komplikasi
Diabetes Melitus Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD Dr AdnanW.D.
Payakumbuh. Tesis. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC; Fong, KY; Thumboo, J (2005) The Impact of Diabetes
Mellitus and Other Chronic Medical Conditions on Health-related Quality of
Life: Is the Whole Greater than the Sum of its Parts?
http://www.hqlo.com/content/3/1/2.
Zohar, D & Marshal, Ian (2000) SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence,
Bloomsbury, London 2000
Abstrak
Latar Belakang. Stres merupakan respon individu terhadap rangsangan atau tekanan yang
mengancam dan mengganggu individu serta berdampak pada kejiwaan yang lebih didominasi oleh
keluhan-keluhan somatik atau fisik. Stres terjadi pada keluarga yang merawat lansia dengan
demensia. Prevalensi keluarga yang mengalami stres sedang akibat beban merawat lansia demensia
sebesar 69% sehingga perlu tindakan keperawatan untuk mengatasi stres tersebut.
Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progesif terhadap
tingkat stres keluarga sebagai akibat beban merawat lansia demensia di Ciwaringin Bogor.
Metoda. Desain penilitian quasi eksperiment dengan pre-post test without control group. Teknik
pengambilan sampel delakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 26 orang.
Hasil. Hasil penelitian menggunakan uji chi square menunjukkan penurunan tingkat stres keluarga
setelah mendapat terapi relaksasi otot progresif (P Value= 0,001). Rekomendasi penelitian ini
bahwa stres sebagai akibat beban merawat lansia demensia dapat diatasi dengan terapi relaksasi
otot progresif.
Pendahuluan
Lanjut usia merupakan individu yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Undang-
Undang Nomer 13 tahun 1998). Lansia mengalami beberapa perubahan baik fisik,
kognitif, psikologis, dan sosial. Perubahan yang terjadi secara fisik pada lansia antara lain
kulit menjadi keriput, mata mengalami kerabunan, penurunan pendengaran, penurunan
indra pengecap, gigi banyak yang tanggal, penurunan kepadatan tulang, perubahan fungsi
organ tubuh yang mengakibatkan daya tahan tubuh lansia cendrung menurun sehingga
mudah terkena penyakit. Lansia juga mengalami perlambatan tingkah laku dimana lansia
lebih membutuhkan waktu yang cukup ama untuk menerima, memproses, dan bereaksi
terhadap suatu perintah. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan kognitif.
Penurunan kemampuan kognitif tersebut dapat berupa penurunan kemampuan berhitung,
mengeja, dan mengingat. Salah satu bentuk penurunan fungsi kognitif adalah demensia
(Stanley, 2006).
Demensia merupakan gangguan mental yang berlangsung progresif dan bersifat
irreversibel yang disebabkan oleh kerusakan organik jaringan otak (Maryam; Ekasari;
Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008). Demensia akan menimbulkan dampak pada memori
masa lalu dan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang. Kondisi ini cukup berbahaya
sehingga kemampuan berpikir, berkomunikasi menjadi terganggu. Lansia demensia juga
tidak mampu menerima informasi yang baru, sehingga suasana hati dan perilaku akan
mengalami penurunan dalam kehidupan sehari-hari.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 295
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Lansia yang mengalami demensia mengalami penurunan Kemampuan intelektual sehingga
mengganggu pekerjaan dan lingkungan. Gangguan berpikir secara nyata dan
menganalisis masalah, memberi pertimbangan, serta tidak mampu melakukkan gerakan
bertujuan, meskipun tidak ada kelumpuhan, sulit mengartikan rangsangan luar seperti
suara, sentuhan, sehingga penderita mengalami kesulitan menunjukkkan dan mengenal
objek, memperkirakan lamanya kejadian, dan menggambarkan objek yang dilihat
meskipun kesadaraan tetap baik.
Lansia yang mengalami demensia memiliki beberapa gejala yaitu, meningkatnya
kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, mengabaikan kebersihan diri, sering
lupa akan kejadian-kejadian yang dialami dalam keadaan yang makin berat, nama orang
atau keluarga dapat dilupakan, pertanyaan atau kata-kata sering diulang ulang, tidak
mengenal dimensia waktu, misalnya bangun dan berpakaian pada malam hari, tidak dapat
mengenal demensia ruang dan tempat, sifat dan perilaku berubah menjadi keras kepala dan
cepat marah, menjadi depresi dan menangis tanpa alasan yang jelas (Maryam; Ekasari;
Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008).
Lansia yang mengalami demensia dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan keadaan
mental lansia yaiitu dengan melakukan pemeriksaan orientasi, regristasi (menyuruh dan
menyebutkan beberapa nama benda dalam waktu singkat), perhitungan (menambahkan
dan mengurangi), mengingat kembali (mengulangi nama benda yang sudah disebut
sebelumnya), dan tes bahasa (menyebutkan nama benda yang ditunjuk) (Yatim, DTM &
H, 2003).
Keluarga sebagai orang terdekat lansia hendaknya mampu memahami perilaku lansia
demensia tersebut. Tindakan yang dapat dilakukan keluarga dalam merawat lansia dengan
demensia antara lain melakukan evaluasi secara cermat kemampuan yang maksimal dari
lansia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari kemudian dapat ditentukan jenis
perawatan yang dibutuhkan, memperbaiki lingkungan tempat tinggal untuk menghindari
kecelakaan yang tidak diinginkan, mengupayakan lansia tersebut dapat mempertahankan
kegiatan sehari-hari secara optimal, membantu daya pengenalan terhadap waktu, tempat,
dan orang dengan sering mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan kejadian
yang pernah terjadi.(Maryam; Ekasari; Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008).
Keluarga yang merawat lansia demensia juga mengalami beberapa masalah yang dialami
selama merawat lansia dengan dementia sehingga berisiko tinggi mengalami tekanan
beban dalam menjaga lansia seperti stres, cemas, depresi, dan bebagai masalah kesehatan
lainnya. Secara sosial, keluarga lansia dengan demensia umumnya mengalami masalah
dalam interaksi sosial, karena cenderung mengorbankan waktu luangnya untuk mengurus
lansia. Secara Finansial, Biaya untuk merawat lansia dengan demensia cukup tinggi.
Secara fisik dan mental, keluarga yang merawat lansia dengan demensia berisiko
mengalami masalah pada kesehatan seperti menurunnya imun, penyembuhan luka yang
lambat, meningkatnya resiko penyakit jantung (Brodaty & Donkin, 2009).
Tingkat stres keluarga lansia dengan demensia lebih tinggi dibandingkan keluarga lansia
lainnya. keluarga memiliki peran penting dalam merawat lansia dengan dementia.
Seringkali pelaku rawat mengalami beban dalam merawat lansia, baik secara fisik dan
psikologis. Profesional kesehatan, salah satunya perawat perlu memperhatikan kondisi
keluarga lansia demensia dengan membantu mengurangi beban yang dialami. Seorang
perawat memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung keluarga yang merawat
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 296
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
lansia dengan demensia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pelaku rawat,
memperbaiki mood, menurunkan stres dan depresi.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dalam mengidentifikasi masalah
psikologis berupa stres pada keluarga lansia dengan demensia didapatkan hasil bahwa dari
26 keluarga lansia demensia mengalami stres sedang sebesar 69% yang ditandai dengan
sering sakit kepala, otot terasa tegang dan pegal, mudah lelah, tidur tidak nyenyak dan
sering terbangun. Respons stres yang terjadi pada keluarga lansia dengan demensia
tersebut perlu segera diatasi agar masalah stres yang ada dapat berkurang atau teratasi
sehingga perlu tindakan keperawatan. Ada beberapa cara untuk menurunkan beban, stres,
depresi, dan memperbaiki mood keluarga yang merawat lansia demensia yang dapat
dilakukan secara berkelompok maupun seara individu. Terapi kelompok dapat dilakukan
perawat berupa Supportive psychotherapy dan Interpersonal psychotherapy sedangkan
terapi individu dapat berupa Tarik Napas Dalam, terapi musik, teknik koping efektif, dan
terapi relaksasi otot progresif (Tracy & Chlan, 1999).
Relaksasi Otot progresif merupakan salah satu cara relaksasi yang sederhana dan mudah
untuk dilakukan dengan menegangkan dan merilekkan otot-otot tubuh (Richmond, 2013).
Terapi relaksasi otot progresif yang dilakukan bertujuan untuk mengenali perbedaan saat
otot ditegangkan dan saat otot dilemaskan selama 10-15 detik yang dilakukan sebanyak
dua hingga tiga kali pada setiap gerakannya (Nay,2007). Relaksasi otot progresif dapat
digunakan untuk mengurangi beberapa respons stres, misalnya nyeri, kaku leher,
perubahan tekanan darah, sakit kepala, gangguan tidur, dan nyeri punggung bawah
(Nasional Safety Council, 2004). Penelitian yang pernah dilakukan Livana, Helena, dan
Mustikasari (2014) menunjukkan bahwaa relaksasi otot progresif yang diberikan selama 4
hari pada keluarga klien gangguan jiwa mampu menurunkan tingkat stres sebesar 78%,
sedangkan hasil penelitian Livana dan Wardani (2015) menunjukkan bahwa relaksasi otot
progresif mampu menurunkan tingkat ansietas sebesar 87% setelah diberikan kepada
keluarga klien hemodialisis selama 4 hari. Penelitian yang pernah dilakukan Kanender,
Palandeng, dan Kallo (2015) menunjukkan bahwa terapirlaksasi otot progresif mampu
mengatasi insomnia. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya tersebut peneliti
simpulkan bahwa terapi relaksasi otot progresif dapat diberikan pada keluarga lansia
dengan demensia yang mengalami stres selama 5- 6 hari berturut-turut untuk mencapai
hasil yang maksimal. Berdasarkan latarbelakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat
stres keluarga dengan demensia di iwaringin Bogor.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh terapirelaksasi otot progresif terhadap
tingkat stres keluargalansia dengan demensia sebagai akibat beban merawat lansia
demensia.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperiment dengan Pre-post test without
control group. Penelitian ini dilaksanakan di Ciwaringin Bogor pada bulan Agustus-
September 2015. Populasi penelitian ini adalah semua keluarga lansia demensia di
Ciwaringin Bogor yang memenuhi kriteria inklusi yang berjumlah 26 orang. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pengukuran tingkat stres pada
saat pre dan post test menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS
42) yang berisikan 14 pertanyaan terkait stres dan buku kerja. Pre test dilakukan pada
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 297
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
masing-masing keluarga lansia dengan demensia setelah menandatangani Imformed
consent dan selanjutnya diberikan terapi relaksasi otot progresif hingga masing-masing
keluarga lansia dengan demensia dianggap paham dan mampu mengikuti 15 gerakan
secara berurutan sesuai dengan petunjuk dalam panduan yang tersedia. Tahap selanjutnya
masing-masing keluarga lansia dengan demensia diminta untuk melakukan terapi relaksasi
otot progresif secara mandiri dirumah masing-masing selama 6 hari berturut-turut yang
dilakukan pada malam hari sebelum tidur dan pagi hari setelah bangun tidur. Tahap
selanjutnya keluarga lansia dengan demensia dievaluasi dengan menanyakan kembali
perasaannya dan menjelaskan bahwa intervensi telah selesai dilakukan, kemudian masing-
masing keluarga lansia demensia diminta untuk mengumpulkan buku kerja yang telah diisi
selama latihan terapi relaksasi otot progresif dan dilakukan post test pada semua keluarga
lansia dengan demensia yang telah memenuhi kriteria inklusi tersebut. Tahap terakhir yaitu
dilakukan pengolahan dan analisis data dengan bantuan perangkat lunak komputer yang
menggunakan analisis statistik uji Chi-Square.
Hasil
Tabel 1
Distribusi karakteristik jenis kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan,
pekerjaan, penghasilan, hubungan keluarga dengan lansia (n = 26)
No Variabel f % No Variabel F %
1 Jenis Kelamin 5 Pekerjaan
Laki-laki 0 0 Tidak Bekerja 19 73
Perempuan 26 100 Bekerja 7 27
2 Umur Pensiunan 0 0
Dewasa muda 1 4 6 Penghasilan
(18-25 tahun) < UMK Bogor 7 27
Dewasa (25-60 24 92 > UMK Bogor 0 0
tahun) Tidak ada 19 73
Lansia (> 60 1 4 penghasilan
tahun) 7 Hubungan keluarga dengan
3 Pendidikan klien
Tamat SD 7 27 Suami/Istri 3 12
Tamat SLTP 7 27 Kakak/ Adik 1 4
Tamat SLTA 12 46 Anak 20 76
4 Status Perkawinan Cucu 2 8
Belum menikah 0 0
Menikah 25 96
Janda atau duda 1 4
Tabel 2
Perubahan tingkat stres keluarga lansia dengan demensia sebelum dan sesudah
pemberian terapi relaksasi otot progresif (n = 26)
No Tingkat Ansietas P-Value
Normal Ringan Sedang Berat
f % f % f % f %
1 Sebelum pemberian terapi relaksasi otot progresif
0 0 1 4 18 69 7 27
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 298
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
2 Sesudah pemberian terapi relaksasi otot progresif
4 15 19 73 3 12 0 0 0,001
Pembahasan
Distribusi keluarga lansia dengan demensia semuanya berjenis kelamin perempuan
(100%). Hasil ini jika dikaitkan dengan hasil ukur tingkat stres, maka dapat disimpulkan
bahwa perempuan cenderung mudah terkena stres. Hasil ini sesuai dengan pendapat Black
& Halwk (2005) yang menyatakan bahwa perempuan itu emosional, dan pasif. Penelitian
Isnarti dan Ritandiyah (2006) juga mendukung hasil penelitian ini yaitu bahwa perempuan
mengalami tingkat stres lebih tinggi dibanding laki-laki. Thompson (2007) berpendapat
bahwa stres yang dirasakan keluarga dipengaruhi oleh beban biaya yang dihabiskan lansia
dalam memenuhi perawatan diri, selain itu karakteristik dari care giver seperti jenis
kelamin, orang tua, dukungan sosial juga mempengaruhi tingkat stres keluarga sebagai
care giver. Berdasarkan hasil penelitian dan teori, peneliti berpendapat bahwa jenis
kelamin mempengaruhi tingkat stres.
Karakteristik umur keluarga yang merawat lansia dengan demensia mayoritas berumur
dewasa (25-60 tahun) (92%), Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan Tobing, Keliat, & Wardhani (2012) yang menunjukkan bahwa
umur berkaitan erat terhadap perubahan ansietas dan depresi sebesar 36,5%, dimana
tingkat stres berada diantara ansietas dan depresi (Crawford & Henry, 2003). Hasil
penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian Sutejo (2009) yang berpendapat bahwa
tahapan umur dewasa berkonstribusi terhadap terjadinya stres terkait dengan tugas
perkembangan yang kompleks. Pada tahap masa dewasa, individu mempunyai tanggung
jawab kemandirian yang tinggi terhadap sosial ekonomi dan kemampuan mengatasi
masalah dalam menghadapi stres kehidupan dibanding dengan tahap kehidupan yang lain.
Pendapat lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini adalah pendapat Tarwoto dan
Wartonah (2003) yang menyatakan bahwa maturitas individu juga mempengaruhi tingkat
stres seseorang. Individu yang memiliki kepribadian matang akan lebih sulit mengalami
stres dibanding dengan individu yang tidak berkepribadian matang, hal ini dikarenakan
individi yang mempunyai kepribadian matang mempunyai daya adaptasi yang besar
terhadap stresor yang timbul, sehingga individu yang berkepribadian tidak matang akan
sangat mudah mengalami stres. Individu yang tidak mempunyai kepribadian matang
merupakan individu yang tergantung dan tidak peka terhadap rangsangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan keluarga lansia dengan demensia
mayoritas (96%) sudah menikah, dan 4% janda. Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan
tingkat stres yang dialami keluarga lansia dengan demensia, maka sependapat dengan
penelitian Adams (2008) di Amerika yang menyatakan bahwa keluarga yang sudah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 299
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
menikah sebagai pelaku rawat secara signifikan lebih banyak mengalami stres
dibandingkan dengan pasangan yang tidak sebagai pelaku rawat, hal ini dikarenakan
beban yang ditanggung keluarga individu tersebut dan ditambah lagi beban merawat lansia
dengan demensia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas keluarga lansia dengan demensia tidak
bekerja (73%) dan 23% keluarga lansia dengan demensia bekerja. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan pendapat Thoits (2010) yang menyatakan bahwa dampak stres dapat
dicegah dengan merencanakan kegiatan yang bermanfaat yaitu dengan bekerja.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori tersebut, peneliti berpendapat bahwa mayoritas
keluarga lansia demensia mengalami stres karena tidak bekerja sedangkan beban biaya
yang harus ditanggung dalam merawat lansia cukup tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas (73%) keluarga lansia dengan demensia
tidak memiliki penghasilan. Hasil penelitian ini tidak mendukung teori fungsi keluarga
yang dikemukakan oleh Friedman (2010) yang menyatakan bahwa satu dari lima fungsi
pokok keluarga adalah fungsi ekonomi yang merupakan fungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi seperti makanan, pakaian, perumahan, dll. Hasil
penelitian dan teori yang ada, jika dikaitkan dengan tingkat stres yang terjadi pada
keluarga lansia dengan demensia maka peneliti berpendapat bahwa keluarga lansia dengan
demensia mengalami stres disebabkan karena tidak memiliki penghasilan sehingga fungsi
ekonomi dalam keluarga tidak terpenuhi secara maksimal sehingga beban biaya dalam
merawat lansia dengan demensiapun akan menjadi salah satu penyebab stres yang dialami
keluarga.
Karakteristik hubungan keluarga dengan lansia dari hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa mayoritas dari resonden memiliki hubungan anak (76%). Hasil penelitian ini jika
dikaitkan dengan tingkat stres yang terjadi pada keluarga menunjukkan bahwa mayoritas
keluarga lansia dengan demensia yang merawat lansia dengan demensia karena hubungan
yang sangat dekat yaitu hubungan antara anak dan orangtua.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres keluarga lansia dengan demensia
sebelum pemberian terapi relaksasi otot progresif mayoritas (69`%) mengalami stres
tingkat sedang dan 27% mengalami stres tingkat berat, sedangkan setelah pemberian terapi
relaksasi otot progresif menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami tingkat stres
ringan (73%) dan 12% mengalami stres sedang. Hasil analisis diketahui bahwa pemberian
terapi relaksasi otot progresif selama enam hari secara rutin mampu menurunkan tingkat
stres sebesar 85%. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 (p Value < 0,005) maka
dapat diartikan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara tingkat stres sebelum dan
setelah latihan terapi relaksasi otot progresif selama enam hari secara rutin.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Ramdhani (2009) bahwa relaksasi otot progresif
dapat membantu merilekskan ketegangan otot tubu. Relaksasi otot progresif bertujuan
menurunkan respons fisiologis ansietas dan stres seperti pegal-pegal akibat ketegangan
otot tubuh dan gangguan tidur, hal ini membantu keadaan tubuh untuk mengabaikan otot-
otot tubuh yang sedang tegang sehingga pikiran menjadi rileks. Hasil penelitian ini juga
mendukung pendapat beberapa peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa relaksasi otot
progresif mampu menurunkan respons fisiologis dan psikologis dari ansietas dan stres
(Smeltzer & Bare, 2002); relaksasi otot progresif selama enam hari secara bermakna dapat
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 300
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
menurunkan tekanan darah sistolik (Hamarno, Nurachmah, & Widyastuti, 2010); relaksasi
otot progresif dapat menghilangkan gejala-gejala fisik akibat stres (Brooker, 2009);
relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat ansietas dan depresi secara bermakna
pada klien kanker (Tobing; Keliat; & Wardhani, 2012); efektifitas relaksasi otot progresif
mampu menurunkan tingkat stres (Scheufele, 2013); relaksasi otot progresif secara rutin
mampu menurunkan berbagai situasi stres (Chen, et al, 2009); relaksasi otot progresif
mampu mengurangi efek psikolosis seperti stres dan ketegangan mental (Shinde, 2013),
relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat stres, tekanan darah dan denyut
jantung pada pasien rehabilitasi jantung (Wilk, 2012); relaksasi otot progresif yang
dilakukan selama 4 hari pada pasien gangguan fisik menunjukkan ada penurunan tingkat
ansietas setelah pemberian terapi relaksasi otot progresif (Supriati, 2010); relaksasi otot
progresif menginduksi respons suasana hati dalam mengatasi kebingungan, depresi, dan
kelelahan (Hashim, 2011); relaksasi otot progresif juga dapat menurunkan tingkat stres
biologis pada pengasuh lanjut usia (Oktavianis, 2010).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Edmund Jacobson pada tahun 1930-an yang
menyatakan bahwa relaksasi otot progresif efektif untuk mengurangi ketegangan otot dan
meningkatkan relaksasi mental atau pikiran. Pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif
dilakukan untuk membedakan perasaan yang dialami saat bagian otot tegang dan saat
bagian otot dirilekskan sehingga saat otot ditegangkan maka akan diikuti dengan relaksasi
dari 15 kelompok otot tubuh (Berstein & Borkovec, 1973; dalam Kwekkeboom &
Gretarsdottir, 2006; conrad & Roth, 2007; Supriati, 2010; Alini, 2012).
Keberhasilan pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif pada penelitian ini, yaitu karena
peneliti mempraktekkan terlebih dahulu setiap gerakan yang akan dilatih, selanjutnya
keluarga lansia dengan demensia diminta untuk mengulang setiap gerakan yang sudah
dilatih.keluarga lansia dengan demensia yang telah mampu mempraktekan kembali setiap
gerakan hingga 15 gerakan secara berurutan, maka peneliti melakukan evaluasi dengan
menanyakan kembali perasaan keluarga lansia setelah latihan relaksasi otot progresif.
Keluarga lansia dengan demensia selanjutnya diminta untuk melakukannya secara mandiri
dirumah secara rutin selama 6 hari dan keluarga lansia diminta untuk mendokumentasikan
setiap latihan gerakan relaksasi otot progresif pada malam sebelum tidur dan pagi setelah
bangun tidur di buku kerja yang telah tersedia.
Berdasarkan teori, hasil penelitian, dan hasil penelitian sebelumnya, peneliti berpendapat
bahwa terapi relaksasi otot progresif yang diberikan pada keluarga lansia dengan demensia
secara rutin selama enam hari pada malam sebelum tidur dan pagi setelah bangun tidur,
mampu menurunkan tingkat stres dibandingkan dengan sebelum melakukan latihan
relaksasi otot progresif. Hal ini dikarenakan komitmen keluarga lansia dengan demensia
dalam melakukan latihan relaksasi otot progresif tersebut. Hasil penelitian ini sejalan
dengan rekomendasi penelitian Livana, Helena, dan Mustikasari (2014) tentang
pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif selama 6 hari diharapkan mampu menurunkan
tingkat stres secara maksimal. Hal ini terbukti bahwa pelaksanaan latihan relaksasi otot
progresif yang dilakukan selama enam hari mampu menurunkan tingkat stres sebesar 85%
dibandingkan dengan latihan yang hanya dilakukan selama empat hari dan mampu
menurunkan tingkat stres hanya sebesar 78%, sehingga untuk mencapai hasil yang lebih
maksimal (100%) maka direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya, pemberian terapi
relaksasi otot progresif sebaiknya diberikan selama 7-8 hari secara rutin.
Abstrak
Latar belakang. penderita diabetes melitus terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Laporan
menunjukkan bahwa terapi pijat merupakan terapi komplementer yang digemari di indonesia
serta memiliki banyak fungsi. Perlu digali lebih dalam mengenai pengaruh terapi pijat terhadap
tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus.
Tujuan. Mengetahui pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien
dengan diabetes melitus.
Metoda. Pencarian artikel dilakukan menggunakan Science Direct, Medline, Google Search
dan Pro Quest untuk menemukan artikel sesuai kriteria inklusi dan ekslusi kemudian
dilakukan review.
Hasil. terapi pijat secara signifikan mampu mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anak-
anak dengan diabetes melitus P value < 0,0001. Faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan
pengobatan komplementer adalah gender dengan P value = 0.049, pemasukan rumah tangga
P= 0.048 dan frekuensi kontrol gula darah P= 0.036. Swedish massage terbukti efektif
memberikan efek penurunan kadar glukosa darah pada anak dengan DM nilai P =0.00. sampel
menggunakan pengobatan herbal mencapai 100%. Intervensi mind body 94,2%. 100%. Sampel
mempercayai bahwa obat herbal dapat menurunkan kadar glukosa darah dan dapat mengatasi
gejala DM 35,7%. Terdapat signifikansi kadar glukosa darah dan laktat sebelum dan sesudah
pijat dengan nilai P<0.05. Terdapat penurunan level ansietas dan glukosa darah sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi pijat dengan nilai P 0.00.
Kesimpulan. terapi pijat merupakan terapi komplementer yang digemari. Hasil penelitian belum
dapat digeneralisasi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang melanda
seluruh belahan dunia hingga saat ini. Data dari International Diabetes Federation (IDF)
tahun 2014 menunjukkan bahwa 1 dari 12 orang di dunia menderita DM. Jumlah penderita
Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia saat ini berjumlah 387 Juta jiwa dengan
prevalensi 8,3%. setiap 7 detik 1 orang di dunia meninggal akibat DM, total jumlah
penderita DM yang meninggal mencapai 4,9 juta jiwa. Diprediksi pada tahun 2035
jumlah penderita DM akan mengalami penambahan jumlah penderita hingga 205 juta jiwa
(IDF, 2014).
Salah satu terapi komplementer yang sedang berkembang saat ini adalah terapi pijat
(massage therapy). Penelitian menunjukkan bahwa tindakan komplementer seperti terapi
pijat memiliki banyak manfaat, terapi pijat dapat meningkatkan mood pasien setelah
melakukan ope rasi jantung terbuka (Babae, 2012). Terapi pijat mampu menurunkan
tingkat depresi pasien penderita HIV (Polland, 2013). Back massage dapat menurunkan
ansietas, meningkatkan aliran darah pada pasien CHF (congestif heart failure) (Chen
2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Kashaninia, et al, 2011) menunjukkan bahwa
swedish massage dapat mengontrol kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus.
Penelitian yang dilakukan oleh (Finch, et al, 2007) menunjukkan bahwa massage therapy
berefek positif terhadap potensial pergerakan, menurunkan insiden ulcer neuropati pada
diabetes melitus. Dengan banyaknya manfaat yang dilaporkan mengenai terapi pijat
maka penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai pengaruh terapi pijat
terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus.
Tujuan
Mengetahui pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien
dengan diabetes melitus.
Metoda
Jenis design penelitian yang dimasukkan didalam literatur review adalah RCT dan quasi
eksperiment. Jenis metode penelitian ini dirasa sudah dapat menjawab pertanyaan
klinis yang sudah ditentukan sejak awal. Tipe study yang akan direview adalah semua jenis
penelitian yang menggunakan terapi pijat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada
pasien dengan diabetes melitus. Partisipan yang ditentukan untuk di review tidak dibatasi
secara umur maupun tipe diabetesnya. Semua jenis partisipan baik anak-anak, dewasa
maupun lansia dimasukkan sebagai partisipan dalam literature review. Intervensi yang
dimasukkan dalam kriteria inklusi adalah semua jenis intervensi terapi pijat yang
dilakukan untuk menurunkan tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes
melitus. Tipe outcome yang diukur hanya berbatas pada pengaruh terapi pijat terhadap
tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus.
Literature review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel penelitian yang
sudah terpublikasi dimana populasi pasiennya adalah penderita diabetes melitus yang
mendapatkan perlakuan terapi pijat dimana hasilnya mampu menurunkan kadar glukosa
darah. Penelusuran dilakukan menggunakan Science direct, Medline, Google Search dan
Pro-quest dengan kata kuci tiap variabel yang telah di pilih. Artikel yang ditemukan dari
masing-masing pencarian kemudian dilakukan pembacaan secara cermat untuk melihat
artikel mana yang memenuhi kriteria inklusi penulis untuk dijadikan sebagai literatur
dalam penulisan literature review. Pencaharian dibatasi dari tahun 2000-2015 yang
dapat diakses fulltext dalam format pdf dengan desain RCT dan quasy eksperiment. Setiap
Artikel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan penulis dianalisis, ditentukan level
dari evidancenya sampai melakukan ekstraksi data dan sintesis. harapannya dari banyak
penelitian tersebut didapatkan sebuah kesimpulan yang nantinya menjadi dasar dalam
melakukan praktek keperawatan di rumah sakit, masyarakat, maupun komunitas.
Ekstraksi data penelitian dilakukan dengan membaca hasil dari penelitian kemudian
mengambil intisari dari penelitian. Intisari dari penelitian yang diambil adalah judul
penelitian, nama peneliti, metode penelitiannya, jumlah sampel dengan melihat
karakteristik sampel dan berapa jumlah kelompok intervensi dan kontrol, alat yang
digunakan dalam proses penelitian serta hasil akhir dari penelitian lengkap dengan nilai
signifikansinya. Semua bagian-bagian tersebut dimasukkan dalam sebuah tabel agar
mempermudah dalam membaca hasil ekstraksi.
Hasil
Untuk mendapatkan artikel penelitian yang dibutuhkan, penulis melakukan
pencarian dengan menggunakan kata kunci. Jumlah artikel yang didapatkan serta
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah 7 artikel, 7 artikel tersebut kemudian
dianalisis. Berikut merupakan daftar artikel yang di ekstraksi dalam bentuk tabel:
Artikel keempat dengan desain cross sectional menujukkan bahwa Favorit sampel
menggunakan pengobatan herbal mencapai 100%. Intervensi mind body 94,2%. 100%
Sampel mempercayai bahwa obat herbal dapat menurunkan kadar glukosa darah,
menyehatkan tubuh 76,6% dan dapat mengatasi gejala DM 35,7%. Informasi mengenai
pengobatan herbal 98,7% di dapatkan dari relasi dan teman, 89% mengetahui sendiri,
semantara informasi dari market lokal 36,4%. Artikel kelima menunjukkan bahwa
thermomechanical massage dapat menurunkan tekanan darah dengan P value = 0.00;
glukosa darah pasien dengan diabetes mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan
dengan P value = 0.00; kelompok dengan diabetes dan hipertensi signifikan mengalami
penurunan tekanan darah dan penurunan kadar glukosa darah dengan P value < 0.05.
Artikel ke enam menjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar group setelah
dilakukan intervensi, namun terdapat penurunan selisih antar group dengan nilai P
<0.05; intervensi pijat dapat meningkatkan perbaikan persepsi pasien dengan nilai P
<0.01; tidak ada perbedaan kandungan laktat dan glukosa darah dari intervensi dan pasiv
rest intervensi. Namun terdapat signifikansi kadar glukosa darah dan laktat sebelum dan
sesudah pijat dengan nilai P<0.05. Sedangkan artikel ketujuh menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan signifikansi level oksitosin pasien sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi tactile massage. Terdapat penurunan level ansietas dan glukosa darah sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi dengan nilai P = 0.00.
Pembahasan
Hasil pencarian dengan menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat
mempengaruhi jumlah artikel yang didapatkan. Awalnya penentuan artikel yang
diambil hanya berbatas pada artikel yang menggunakan metode penelitian RCT dan quasy
eksperiment, namun karena jumlah dari artikel sangat terbatas maka kriteria diturunkan,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 309
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
artikel dengan metode penelitian apapun akhirnya tetap dimasukkan selama tetap terkait
dengan terapi pijat pada pasien diabetes melitus serta korelasi terhadap kadar glukosa
darah. Setelah menurunkan kriteria berupa metode penelitian, akhirnya artikel yang
didapatkan berjumlah 7 artikel. Hasil yang beragam ditunjukkan pada hasil penelitian di
artikel, hasil penelitian secara umum menyebutkan bahwa terapi pijat memang terbukti
signifikan mampu menurunkan kadar glukosa darah. Khasiat lain, terapi pijat mampu
menurunkan tekanan darah dan menurunkan tingkat ansietas pasien dengan diabetes
melitus.
Peningkatan kadar glukosa darah, ansietas dan tingginya tekanan darah pada pasien
diabetes melitus terkait dengan kerja hormon dan vaskularisasi. Pada pasien diabetes
melitus, kekentalan darah meningkat karena tingginya kadar glukosa di dalam darah,
akibatnya aliran darah menjadi tidak lancar sehingga memicu terjadinya hipertensi
(Smeltzer & Bare, 2008).
Pasien dengan diabetes melitus harus terus melakukan kontrol glukosa darah, kontrol
diet, penyesuaian gaya hidup dikarenakan resiko komplikasi penyakit lain hingga luka
yang sulit sembuh, kondisi ini akan menyebabkan terjadinya ansietas pada pasien.
Ansietas akan memicu peningkatan hormon kortisol diikuti oleh peningkatan konversi
asam amino, laktat dan piruvat di hati menjadi glukosa melalui proses glukogenesis,
kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (Smeltzer
& Bare, 2008).
Terapi pijat memiliki efek fisiologis melancarkan predaran darah. Bekuan dan kekentalan
darah dapat dipecah karena manipulasi pijat pada otot sehingga darah akan menjadi
lancar. Lancarnya predaran darah akan memicu keluarnya hormon endorphin sehingga
pasien yang dilakukan terapi pijat mengalami relaksasi (Arovah, 2010). Dengan
terjadinya peningkatan relaksasi diharapkan akan diikuti juga dengan penurunan
kadar glukosa di dalam darah.
Hasil penelitian pada artikel lainnya menunjukkan bahwa ternyata terapi pijat termasuk
salah satu terapi komplementer alternative yang sangat diminati masyarakat di
Singapura yang memiliki latar rumpun Asia sama dengan di Indonesia, itulah mengapa
hasil dari penelitian yang dilakukan di Singapura dan di Indonesia cenderung memiliki
kaitan yang erat yaitu minat masyarakat akan terapi komplementer seperti terapi pijat
sangat digemari.
Kualitas evidence
Kualitas dan bukti yang ditampilkan pada artikel sudah cukup kuat, hanya saja masih
dibutuhkan penelitian lanjutan dengan desain RCT untuk membuktikan efektifitas
pelaksanaan terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan
diabetes melitus. Penelitian yang terbukti berkorelasi terhadap kadar glukosa darah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 310
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
dengan menggunakan desain RCT hanya terbukti pada sampel anak-anak. Dibutuhkan
penelitian lain dengan desain RCT yang dilakukan pada orang dewasa hingga lansia.
Kesimpulan
Hasil literature review ini menunjukkan bahwa terapi pijat terbukti dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Khasiat lainnya adalah menurunkan ansietas dan menurunkan
tekanan darah. Terapi pijat sangat digemari di Negara asia seperti Singapura dan
Indonesia. Pengaplikasian terapi pijat tergolong mudah, low cost, serta sudah didukung
oleh tempat pelatihan dan instruktur pelatih yang cukup memadai. Dengan sedikitnya
hasil penelitian dengan menggunakan metode penelitian yang terbaik, penelitian
selanjutnya dengan kualitas lebih baik akan memiliki efek serta dampak yang lebih besar
terhadap perkembangan terapi komplementer khususnya terapi pijat dimasa depan.
Jika sudah terdapat bukti baru dengan kualitas study yang lebih baik maka literature
review ini dapat diperbaharui sebagai pedoman dalam pemberian pelayanan
kompelementer terapi pijat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pada pasien
dengan diabetes mellitus.
Daftar Pustaka
Arovah, NI.,(2010). Dasar-Dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. (hlm 63-74),
Yogyakarta: UNY
Babae, S. Safiei, Z. Sadeghi, M.M. Nik, A.Y. Valiani, M., (2012). Effectiveness of
massage therapy on the mood of patients after open-heart surgery. Iranian
Journal of Nursing and Midwifery Research | February 2012 | Vol.17 | Issue 2
(Special)
Chen, W.L. Liu, G.J. Yeh, S.H. Chiang, M.C. Fu, M.Y. Hsieh, Y.K., (2013). Effect of
Back Massage Intervention on Anxiety, Comfort, and Physiologic Responses in
Patients with Congestive Heart Failure. The Journal Of Alternative And
Complementary Medicine Volume 19, Number 5, 2013, pp. 464–470
Finch, P. Baskwill, A. Marincola, F and Becker, P., (2007). Changes in pedal plantar
pressure variability and contact time following massage therapy. Acase study of