Anda di halaman 1dari 17

Nama : Wira Rila Zulma

NPM : 11310430

TUGAS
1. Hasil pemeriksaan LCS pada infeksi virus, bakteri, TBC ?
2. Logaritma penanganan kejang ?
3. Logaritma penanganan MCI, VT, SVT ?
4. Gambar EKG infark ( inferior, septal,anterior) VT, SVT, Blok derajat 1,2,3,flutter ) ?
5. Logaritma penanganan oedem paru ?
6. Logaritma penanganan DBD derajat 3/dss ?
7. Terapi cairan dehidrasi berat pada anak ?

Jawaban

1. Hasil pemeriksaan LCS pada infeksi virus, bakteri, TBC ?

No Variabel Infeksi bakteri Infeksi virus Infeksi TB Normal


1 Warna Abu-abu / jernih Kuning Jernih
Kuning
kehijauan
2 Kekeruhan keruh - Sedikit keruh -
3 Bekuan Bekuan kasar - Con web / -
spider web
4 Glukosa ↓ ( bisa → 0 ) N ↓ (˂ 40, x → 50-80 mg /
0) dl
5 Protein ↑ ↑ ↑↑ 15-40 mg /
dl
6 Chlorida ↓ (680) N ↓ ( ↓ 600) 720-750
mg NaCl/dl
7 Hitung jenis sel PMN MN Akut : PMN Hanya MN
Kronik : MN & sesikit
endotel
8 Kultur / Gram Kultur virus Ziehl nielsen -
Bakterioskopi → BTA (+)
2. LOGARITMA PENANGANAN KEJANG
Pemberian obat rumat

Indikasi pemberian obat rumat


Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menun-
jukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd,
cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
• Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
• Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
• Kejang demam> 4 kali per tahun

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua berang-
gapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mem-
punyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang
efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila


kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan
kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila
kejang telah berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

3.Logaritma MCI

Perawatan tersebut dapat dibagi menjadi 3 fase (Hopper, 1989) :

(1) Penanganan darurat dengan pertimbangan utama untuk menghilangkan nyeri dan
mencegah atau menangani henti jantung.

(2) Penanganan dini dengan pertimbangan utama untuk reperfusi dan mencegah
perluasan infark, serta untuk menangani komplikasi akut seperti kegagalan pompa
jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.

(3) Penanganan lanjut yang ditujukan untuk menangani komplikasi yang terjadi di
CCU (coronary care unit), dan post CCU. Terdapat 3 fase perawatan di CCU yaitu :
perawatan emergensi; menghilangkan nyeri dada dan mencegah dan mengobati aritmia,
perawatan awal berupa; terapi reperfusi dan penanganan komplikasi, serta perawatan
lanjut; untuk mencegah komplikasi dan kematian.

 Pengobatan Pra Hospital dapat berupa pemasangan infus, pemberian oksigen,


monitoring EKG, opioid, trombolitik dan penderita segera diangkut ke hospital.
Selanjutnya perawatan di Hospital dilakukan tindakan-tindakan untuk
mengkonfirmasikan diagnosa dengan pemeriksaan EKG, serum enzim, bila
mungkin dengan Radio Nuclide Imaging, prosedur non invasif dan invasif seperti
Swan Ganz Kateter dan Balloon Flotation Kateter, dan mengobati komplikasi-
komplikasi berupa : gagal jantung, aritmia, syok, tromboemboli.

 Perawatan Pasca Hospital berupa penilaian terhadap risiko, program


rehabilitasi dan prevensi sekunder. Penilaian risiko digolongkan
menjadi risiko tinggi, risiko menengah dan rendah, program
rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan keadaan fisik,
psikologik dan sosio ekonomi seperti sebelum sakit serta prevensi
sekunder berupa penanganan faktor risiko, program diet, olah raga
dan obat-obat : antiplatelet agregasi,  -blocker, Calcium antagonist,
Nitrat, ACE inhibitor serta obat penurun lipid.
3.VT
A. Ketika irama jantung masih VT, maka penolong pertama tetap melakukan RJP
ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, RJP dihentikan
dan shock kembali dilakukan. Setelah itu RJP langsung dilanjutkan kembali selama
2 menit, dan nilai irama dan nadi kembali. Penolong yang memberikan kompresi
jantung luar sebaiknya digantikan setiap 2 menit untuk mengurangi kelelahan.
Kualitas RJP sebaiknya dimonitor berdasarkan parameter mekanis dan fisiologi.

B. Medikamentosa pada VT mengunakan amiodarone. Amiodarone merupakan


agen antiaritmia lapis pertama (first-line antiarrhythmic) pada cardiac arrest,
karena secara kinis telah terbukti meningkatkan tercapainya Return of Spontaneous
Circulation (ROSC) pasien VT. Amiodarone harus dipertimbangkan ketika VT
yang tidak memberikan respon pada RJP, defibrillasi, dan terapi vasopressor. Jika
tidak terdapat amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan sebagai pengganti,
tetapi dari beberapa study klinis, efek lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam
meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat hanya dapat diberikan pada Torsades de
pointes dengan interval QT yang memanjang.

C. Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab
reversibel dan dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada
irama sinus. Pada VF/VT refrakter, ACS atau infark miokardium harus
dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi seperti coronary angiography dan
PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass dapat dilakukan pada
kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac
arrest dapat segera dimulai.

3. (SVT) :

Pada PSVT yang stabil tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

• Manuver vagal: Tindakan Manuver vagal meningkatkan tonus


parasimpatik dan memperlambat konduksi ke AV node sehingga frekuensi
jantung akan menurun.

• Obat-obatan: Adenosin. Dosis awal adenosin yang diberikan adalah 6 mg


secara bolus melalui intra vena dan diberikan dengan cepat (1-3 detik)
kemudian diikuti dengan 20 cc cairan pembilas. Pemberian dapat diulang
setelah 1-2 menit dengan dosis 12 mg.

• PSVT yang tidak dapat diatasi dengan adenosin dapat dipertimbangkan


untuk pemberian verapamil, digoxin, beta blocker.
1. Gambaran ekg :
1. IMA inferior & inferoseptal :

Elevasi segmen ST dan/ atau gelombang Q di II, III, dan aVF


Elevasi segmen ST dan/ atau gelombang Q di II, III,aVF,V1-V3

2. IMA anterior septal :

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3


3. VT :

Heart Rate : >100 kali/menit (250-300 kali/menit)


Gelombang P : tidak terlihat
Interval PR : tidak terukur
Gelombang QRS : lebar > 0,12 detik

4. SVT :

irama : teratur
frekwensi : lebih dari 150x/menit
gel P tertutup oleh gel T
komplek QRS normal dan tingginya harus sama (ingat duri ikan)

5. AV blok derajat 1 :

Irama : sinus
Heart Rate : biasanya 60-100 kali/menit
Gelombang P : normal (0,04 detik)
Interval PR : memanjang > 0,20 detik
Gelombang QRS : normal (0,04-0,08 detik)

AV blok derajat 2 :

Irama : sinus
Heart Rate : biasanya < 60 kali/menit
Gelombang P : normal, ada gelombang P yang tidak diikuti QRS
Interval PR : semakin lama semakin panjang kemudian blok
Gelombang QRS : normal

AV blok komplit :

Irama : sinus
Heart Rate : biasanya < 60 kali/menit, dibedakan heart rate
gelombang P dan kompleks QRS
Gelombang P : normal, tapi gelombang P dan QRS berdiri sendiri
Interval PR : berubah-ubah/tidak ada
Gelombang QRS : normal dari bradikardi, yang biasanya
menimbulkan kegawatan adalah AV blok derajat 2 dan 3

Atrial flutter :

Irama : atrial flutter


Heart rate : bervariasi
Gelombang P : banyak bentuk seperti gergaji, perbandingan
dengan komplek QRS bisa 3 atau 4 atau 5 dan seterusnya : 1
Interval PR : tidak dapat dihitung
Gelombang QRS : 0,04 – 0,08 detik

5. EDEMA PARU :
1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang
direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat dulang
jika diperlukan.
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 atau PaO2 <60 dapat diberikan hipoksemia
mengobati mmhg < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko mortalitas jangka
pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung
3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada
pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi
adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit, bingung/kesadaran
menurun, iskemia miokardial.
6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis dinaikkan 2x
lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia,
aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan
dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi
beta-2 adrenoseptor.
7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung,
SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap
10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi). Dosis
>100 μg/min jarang sekali dipelukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang adekuat
(produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 (jika
hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan
yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat
meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan
suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv dengan
pengobatan diuretik oral.
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek
samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tanda-tanda
kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah, perfusi
perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark)
dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus
diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan
diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon awal
pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan diagnosis
alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat
(terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan
tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan
terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat
kontraindikasi. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP)
dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea
dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan
edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru
menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada perbedaan yang
signifikan terhadap penurunan angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar,
termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda
dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi
Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada
pasien dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien yang
kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk
penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan
pneumotoraks, dan depressed consciousness.
16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi
invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya kebingungan
/ penurunan tingkat kesadaran , dll
17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (≥ dosis
250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).
18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan
pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka
mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk
meningkatkan diuresis.
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap
terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan.
6. DBD derajat 3/ DSS :
Dengan Renjatan (Grade III) :

1) Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam


Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan
frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10
mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung
berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk
dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan).

Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jam diperhitungkan sebagai berikut :


o 100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg
o 75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.
o 60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.
o 50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.

2) Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan tensi masih
terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut
memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau yang lainnya) sebanyak 10 mL/ Kg
BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan
umum membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan
yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.

3) Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi
menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka
penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya)
sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu
24 jam.

Bila pasien sudah masuh dalam tahap DSS (Dengue Syok Syndrom) yaitu pada grade 3 atau 4
maka penatalaksanaan yang terpentingadalah pengelolaan cairan diantaranya adalah :

1. Resusitasi volume pada DSS :


Pilihan cairan colume intra verkuler dan kemampuan menyumpal vaskuler. Cepat
mempertahankan volume vaskuler, bertahan lama didalam intra vaskuler sehingga cepat
mengatasi syok.

Hal – hal yang perlu dipertahankan dalam tubuh / cairan pada DSS :

1) Kristaloid
oR/C
o NacL 0,9%
Tujuan : memperbaiki volume extra vaskuler seperti pada diare akut dengan dehidrasi
2) Koloid
o HES
o Wida HES
o Voluven
o Fima HES, dll.

Efek yang menguntungkan :


o Dapat meningkatkan ankotik plasma
o Dapat meningkatkan volume darah
o Dapat membatasi kebocoran vaskuler

3) Kolaborasi MedisPemberian terapi /oksigen

4) Transfusi komponen darah


o Komponen yang biasa dipakai FFP : 15 cc / kg BB
o Bila terdapat trombositopeni beratTrombosit konsentrit (Trombo <30.000 / m3).

5) Obat – Obatan (Kolaborasi Medis)


o Pemberian Antibiotika
o Pemberian obat antipiretik
o Imunoglobolin intravena (Gamaras)
o Bichat Bila asidosis metabolik

7. Terapi cairan dehidrasi berat pada anak :


Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat
yang diikuti dengan terapi rehidasi oral. Mulai berikan cairan intravena segera.
Pada saat infus disiapkan, beri larutan oralit jika anak bisa minum.

Catatan: larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer Laktat (disebut pula
larutan Hartman untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer Asetat. Jika
larutan Ringer Laktat tidak tersedia, larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat
digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak efektif dan jangan
digunakan. Beri 100 ml/kg larutan yang dipilih dan dibagi sesuai berikut ini.
Pemberian cairan intravena pada anak dengan dehidrasi berat

pertama, berikan 30 ml/kg selanjutnya, berikan 70


dalam : ml/kg dalam :

Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam

Umur > 12 bulan 30 menit* 2 ½ jam

*ulangi jika denyut nadi radial masih lemah atau tdk


teraba

PENANGANAN DEHIDRASI BERAT DENGAN CEPAT

Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut, sementara
infus disiapkan. Beri 100 ml/kgBB cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak
tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut :

umur pemberian pertama pemberian berikut 30 ml/kg selama : 70 ml/kg selama :

Bayi (dibawah umur 12 bulan) 1 jam* 5 jam

Anak (12 bulan sampai 5 tahun) 30 menit * 2½ jam

*Ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tak teraba.

Periksa kembali anak setiap 15 - 30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan
intravena lebih cepat. Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau
minum: biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri anak tablet Zinc
sesuai dosis dan jadwal yang dianjurkan. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak
sesudah 3 jam.

Anda mungkin juga menyukai