Anda di halaman 1dari 20

Rhinosinusitis Akut Akibat Jamur: Update yang Komprehensif dari Temuan

CT Scan dan Desain dari Model Gambaran Diagnostik Yang efektif.

Abstrak

Latar belakang dan tujuan : rhinosinusitis akibat jamur memiliki angka

mortalitas yang tinggi. Penggunaan model dalam hal imaging sampai saat ini

masih kurang. Kita menilai sejumlah temuan pada CT scan untuk

mengidentifikasi rhinosinusitis dan mensitesisnya secara sederhana agar dapat

mengaplikasikannya dengan mudah dalam hal skreening.

Metode : penelitian retrospektif yang dilakukan oleh ahli neuroradiologi secara

two blinded berhasil menemukan 23 gambaran kelainan yang prespesifik pada

regio kraniofasial pada pemeriksaan CT scan pada kraniofasial dari 42 pasien

dengan bukti patologi dari rinosinusitis akut akibat jamur dan 42 pasien kontrol

yang dibuktikan dengan adanya hasil negatif untuk rinosinusitis akut akibat jamur

yang berasal dari populasi risiko tinggi. Pada penelitian yang third blinded Ahli

neuoroligi memutuskan untuk diskrepansi, spesifisitas, sensitivitas, nilai positif

yang diprediksi, dan nilai negatif yang di prediksi yang ditentukan pada seluruh

variabel individu. 23 variabel telah dievaluasi untuk hubungan interkorelasi dan

hubungan univariat dan di intergogasu dengan menggunakan regresi yang linear.

Hasil : memberikan nilai prediksi yang rendah pada variabel individu, a7-variabel

model (lemak perinatal, densitas tulang, invasi orbita, ulkus septum, fossa

pterygopalatine, duktus nasolakrimalis, dan sac lakrimalis) telah disintesis dalam

basis dari analisis multivariate. Adanya gambaran yang abnormal yang melibatkan

variabel tunggal dalam model memiliki nilai prediktif positif sebanyak 87%, 95
%nilai prediktif negatif, sensitivitas 95%, dan spesifisitas 86% (R2= 0,661). Hasil

positif pada 2 variabel model dapat memprediksi rinosinusitis akut akibat jamur

dengan nilai spesifisitas 100% dan 100% nilai prediksi positif.

Kesimpulan : 7 variabel dari CT scan pada penelitian kita mendukung sebuah

penggunaan aplikasi yang mudah dan dapat menjadi alat skreening untuk

mentriase dari rinosinusitis akut akibat jamur ke dalam kategori positif atau

negatif dengan derajat konfiden yang tinggi.

Penyakit pada cavum nasal dan sinus paranasal yang berhubungan dengan

jamur memiliki gejala klinis yang luas, rinosinusitis akut akibat jamur (AIFR)

menjadi salah satu yang paling bahaya dan mengancam nyawa. Faktor risiko

primer pada AIFR yang didapat adalah neutropenia dan disfungsi dari neutrofil,

dan yang paling banyak dilapporkan adalah kondisi predisposisi yaitu kegabnasan

dalam hematologi, diabetes yang tidak terkontrol, kemoterapi, dan transplantasi

organ. Walaupun AIFR merupakan penyakit yang relatif langka, penyakit ini

memiliki angkat mortalitas yang tinggi, pada penelitian meta analisis yang telah

dippublikasikan hal ini menunjukkan adanya angka mortalitas bberkisar 50%.

Angka mortalitas yang tinggi ini mengindikasikan bahwa pentingnya diagnosis

dengan segera. Pasien dengan AIFR yamg hanya terjadi pada kavum nasi

memiliki angka mortalitas yang lebih rendah, sementara itu kasus dengan

keterlibatan intrakranial memliki angka mortalitas dua kali lipat. Cara skreening

yang mudah dan akurat untuk mendiagnosis AIFR sampai saat ini masih kurang.

CT scan telah ditentukan sebagai bagian penting dari skreening papda

pasien dengan risiko, namun spesifisitasny sampai saat ini masih rendah. Yang
paling sering dilaporkan ppada temuan CT scan pada awal penyakit adalah

ppenebalan unilateral mukosa pada kavum nasi dan infiltrasi pada jaringan lunak

dari lemak periantral pada maksila. Adanya keterlibatan dari pterygopalatine fossa

juga dapat ditemukan. Daerah yang paling sering terkena adalah konka bagian

tengah, sinus maksilaris, ethmoid air cells, dan sinus phenoid. Sinus frontalis juga

dilaporkan sebagai area yang jarang terkena. Bone dehiscence, invasi pada

orbbita, dan intrakranial merupakan gambaran sppesifik dari AIFR tetapi tidak

muncul pada awal penyakit. Temuan ini juga berimplikasi sebagai indikasi

penyakit sudah ke stadium lanjut.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkataresitikkan dari

gambaran abnormal pada kavum nasi, sinus, dan struktur sekitar yang

berhubbungan dengan AIFR, dan juga untuk mengetahui insiden dan nilai

prediksinya. Pengalaman instusional sebelumnya menyatakan bahwa beberapa

gambaran dari AIFR jarang di sebut atau bahkan tidak ada dalam literatur.

Penelitian ini di desain sebagain penelitian retrospektif blinded untuk secara

komprehensif menganalisis regio kraniofasial pada pperubahan CT scan yang

berhubungan dengan AIFR. Karena literatur sebelumnya melibatkan tingkat

keparahan sebagai penanda dari AIFR, kami menggunakan skala ordinat untuk

mendapatkan derajat dari ppenyakit pada mukosa nasal dan paranasal dan regio

yang terlibat dalam penyakit.target kunci dari analisis multivariat kita adalah

mensintesis secara sederhana dan memperkuat diagnostik melalui CT scan yang

dapat digunakan sebagai alat skreening rutin bagi pasien dengan risiko. Idealnya,
model ini ppdapat mendiagnosis atau menyingkirkan AIFR dengan tingkat

keberhasilan lebbih tinggi dari model sebelumnya.

Metode

Pemilihan sampel dan desain penelitian

Informed consent untuk dibebaskan dalam portabilitas dan akuntabilitas

ari asuransi kesehatan diperlukan, yang disetujui oleh institusi universitas. Dalam

uppaya kita untuk menemukan semua pasien yang kemungkinan mengalami

AIFR, kita mencari rumah sakit yang muncul dalam laporan penelitian tentang

invasif fungal dari tanggal 1 januari 2007 sampai 31 oktober 2013, untuk

mengidentifikasi penelitian yang potensial. Kriteria inklusi yang dicari adalah : 1)

pembuktian histoppatologi dari rinosinusitis akibat jamur yang memenuhi kriteria

European Organization fro Research and Treatment of Cancer/Invasive Fungal

Infection Cooperative Group and teh National Institue of Allergy and Infectious

Disease Mycoses Study Group Consensus Group untuk membuktikan adanya

penyakit jamur yang invasif pada sinonasal, 2) waktu perjalanan penyakit <

4minggu, dan 3) terdapat gambaran Ct scan pada regio kraniofasial dalam 5 hari

sebelum biopsi atau operasi. Empat pppuluh empat ppasien masuk kedalam

kriteria. Kriteria ekslusi adalah sebagai berikut: 1) gambaran yang tidak cukup

untuk meliputi seluruh regio kraniofasial (1 pasein, 2%), atau 2) banyaknya

artifact pada gambaran Ct scan. 42 pasien merupakan pasien dengan positif AIFR.

Standar kita dalam menentukan ppasien positif AIFR adalah dengan konfirmasi
dari gambaran histopatologi dari mukosa yang terinvasi oleh jamur, yang

memenubhi kriteria standar.

Untuk membedakan temuan yang berhubungan secara spesifik terhadap

AIFR, kita memilih kelompok kontrol yang sesuai pada pasien dengan risiko.

Pasien kontrol ini berasal dari populasi berisiko yang sama dan telah melakukan

endoskopi atau pembedahan karena adanya kecurigaan klinis terhadap AIFR.

Pasien yang telah melakukan endoskopi yang memngalami peningkatan serum

galaktomanan (19%, 8 dari 42), memiliki temuan gambaran ct scan (33,3%, 14

dari 42), atau adanya kecurigaan klinis pada tidak adanya temuan serologi atau

imaging (contoh, gejala sinonasal dan demam persisten yang tidak diketahui

sumbernya [47,6%, 20 dari 42]). Tidak ada pasien yang postif pada beta-D-

glucan. Pada empat puluh dua pasien yang diidentifikasi dengan kriteria inklusi,

dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menilai rongga nasal dan kita

mendapatkan hasil yang negatif, dan gambaran CT scan dari regio kraniofasial

dalam waktu 5 hari. Kriteria eksklusi adalah sama pada pasien dengan positif

AIFR. Untuk kelompok kontrol, semua pasien melakukan survey endoskopi nasal

dengan temuan klinis negatif. Biopsi atau pembedahan juga dilakukan pada pasien

dengan lesi yang dicurigai. Semua gambaran histopatologi pada kelompok kontrol

menunjukkan tidak adanya penyakit jamur pada sinonasal. Nasal endoskopi

dengan bioppsi pada lesi yang dicurigai telah divalidasi sebagai alat skreening dan

dilakukan sebagai kriteria standar untuk identifikasi dari subjek kontrol dalam

penelitian kita
Data klinis juga dikumpulkan dari rekam medis pdiantaranya laporan

operasi, laporan histopatologi, hasil kultur, kondisi predisposisi, hitung sel darah

putih, neutofil. Hitung netrofil ditabulasi hanya pada pasien dengan keganasan

hematologi atau pada transplantasi sumsum tulang. Penyebab kematian juga

dicatat jika tertulis pada rekam medik.

Protokol dari Imaging

81 dari 84 penelitian yang dilkakukan oleh ppenulis pada rumah sakit,

menggunakan protokol CT scan kraniofasial. Mengacu pada protokol kita,

didapatkan gambar dengan ketebalan 1 mm dengan sppacing 0,8 mm dan dalam

potongan FOV dari 170 sampai 190 mm. Rekonstruksi menggunakan algoritme

tulang juga dilakukan pada potongan dengan ketebalan 0,75 mm dengan pspacing

0,5 mm. Gambaran scan yang didapatkan pada potongan aksial dari atas bagian

sinus frontalis melallui palatum mole. Multiplanar reformations juga dilakukan

pada potongan koronal dan sagital. Pada 3 pasien, hanya penelitian kraniofasial

yang dilakukan di luar institusi. Penelitian ini membutuhkan ketebalan 2,5 mm

dengan reformasi koronal dan sagital. Baik algortime tulang dan jaringan lunak di

lakukan, dan hanya 1 yang menggunakan kontras intravena. Pasien dengan

kecurigaan klinis terdapa keterlibatan intraorbital atau intrakranial mendapatkan

kontras intravena iodin (75-mL iohexol, Omipaque 350; GE healthcare,

Piscataway, New Jersey) pada 0,8 mL/s dengan penundaan 90 detik untuk

pengambilan gambar setelah injeksi kontras. Kontras diberikan pada 11 dari 42

pasien dengan AIFR dan 12 dari 42 pasien kontrol.

Analisis Gambar
Kita menggunakan desain eksperimental retrospektive blinded. Setiap

penelitian secara lengkap di perlakukan secara anonim sebelum dimasukan pada

PACS. Dua neuroradiologist secara independen menginterpretasi hasil penelitian.

Masing-masing pembaca memiliki akreditasi dari konsil kedokteran berupa

neuroradiology fellowshipp dan adanya fellowship dari head and neck imaging.

Satu pembaca (R.O.D.J) memiliki pengalaman 3 tahun dalam menginterpretasi

dari gambaran radiologi pada kepala dan leher, dan pembaca keua (T.C.M)

memiliki pengalaman 2 tahun. Pembaca ketiga (A.A.M) dengan pengalaman 35

tahun dalam membaca gambaran radiologi pada kepala dan leher merupakan

pemecah masalah untuk adanya diskrepansi dengan cara mendukung niali ordinat

untuk menggantikan hasil bacaan dari pembaca awal. Pembaca tidak mengetahui

semua informasi klinis, hasil histopatologi, dan angka dari kasus AIFR pada

kelompok kontrol. Penelitian berlangsung dalam teknik random pada setiap

pembaca.

Pembaca akan membuat tingkatan dari penyakit mukosal di setiap sinus

maksilaris, sinus frontalis, sinus sfenoidalis, anterior ethmoid air cells, posterior

ethmoid air cells, anterior kavum nasi, posterior kavum nasi, dan nasofaring.

Penyakit mukosa Diklasifikasikan berdasarkan skala 0-5 (ket. 0=normal, 1=<25%

yang menjadi opaque, 2 = 25%-5-% yang menjadi opaque, 3= 50%-75% yang

menjadi opaque, 4= 75%-100% yang menjadi opaque, 5= mucocele [100% yang

menjadi opaque dengan ekspansi]. Para pembaca juga mencatat foramen

sfenopalatina, fossa pterygopalatine, lemak periantral anterior, lemak periantral

posterior, duktus nasolakrimal, sakus lakrimal, lemak orbital inferior, dan


submukosa/tulang dari palatum durum dengan skala 0-5 berdasarkan derajat

keparahan subjektif dari keterlibatan sisi kiri dan sisi kanan secara terpisah.

Adanya ulserasi mukosa septum nasal dinilai dengan “ada” atau “tidak ada”.

Adanya perluasan ke subdural, epidural, atau parenkim otak, bersama dengan

keterlibatan sinus kavernosus, pembentukan abses, terbukanya tulang, thrombosis

arteri, dan/atautrombois vena, juga dinilai dengan skala 0-5. Tujuan

menggunakan skala penilaian yang diperluas pada sinus adalah untuk lebih

memperjela sperbedaan antar pembaca. Nilai-nilai ini dianalisis sebagai variabel

bertingkat dan variabel biner untuk memastikan tidak ada perbedaan yang

bermakna. Dasar proses vertical darios palatine menentukan batasan antara

formaen sfenopalatin edan fossa ptegyropalatine.

Terdapat 3 hal yang tidak disepakati (variasi klasifikasi skala> 1) pada 2

pembaca primer yang membutuhkan rekonsiliasi oleh pembaca ketiga. Hal yang

tidak disepakati meliputi adanya thrombosis vena oftalmka superior (0 versus 2;

final = 0), keterlibatan fossa pterygopalatine (0 versus 3; final =3), dan

keterlibatan sinus kavernosus (1 versus 5, final = 5). Ketiganya terdapat pada

pasien dengan AIFR positif.

Tabel 1: Data DemografikdanKarakteristikklinisdarikeduakelompok

Karakteristik Kelompok AIFR KelompokKontrol NilaiP

Umur (tahun)a 49,5 ± 21,2 (2-8) 46,7 ± 21,2 (2-75) 0,54

Pria 20 25

Wanita 22 17
Hitungseldarahputh (x 0,9 ± 1,5 (0-6) 4,5 ± 12,4 (0,1-65,6) 0,3

1000/m3)a,b

Hitung neutrophil absolut(x 0,51 ± 1,2 (0-4,9) 1,8 ± 4,0 (0-20,3) 0,66

1000/m3)a,b

Jumlahpasien<500/mm3b 60%(18/30) 57,1%(20/35)

Jumlahpasien<1000/mm3b 83,3%(25/30) 68,6%(24/35)

Jangkawaktudari CT 0,95 ± 1,1 0,83 ± 0,82 0,57

ketatalaksana (hari)

Waktutindaklanjut (hari) 412,9 ± 587,5 (2- 346,7 ± 402,4 (18- 0,56

2836) 2174)

Meninggalkarena AIFR 7c 0

Meninggalbukankarena AIFR 14 9

Tidakmeninggal 20 33

Mortalitaskeseluruhan 52%(22/42) 21%(9/42) 0,003

Mortalitasterhubung AIFR 17%(7/41) a 0%0/42

Mortalitastidakterhubung AIFR 34%(14/41) a 21%(9/42)


a
Data dilaporkandalam rata-rata, dengan range in parentheses
b
Dihitunghanyapadapasiendengankeganasanhematologi (termasukmultiple

myeloma) atautransplantasitulangmarrow
c
satupasiendikecualikankarenapenyebabkematiannyamasihrancu,

dilaporkansebagaikemaiandenganconcomitant fulminant liver failuredan

AIFR
Tabel 2: Prevalensidarikondisipredisposisiuntuk AIFR

KondisiPredisposisi Prevalensidalamgrup PrevalensidalamGrupKontrol

AIFR

Acute myelogenous 42,9% (18/42) 38,1% (16/42)

leukemia

Diabetes 28,6% (12/42) 9,5% (4/42)

Leukemia lainnya (non- 19,0% (8/42) 21,4% (9/42)

AML)

Multiple myeloma 7,1% (3/42) 7,1% (3/42

Keganasan organ padat 7,1% (3/42) 0% (0/42)

Transplantasi organ padat 4,8% (2/42) 9,5% (4/42)

Myelodysplastic 2,4% (1/42) 7,1% (3/42)

syndrome

Non-Hodgkin lymphoma 2,4% (1/42) 11,9% (5/42)

Tidakada 2,4% (1/42) 0% (0/42)

Catatan : - AML mengindikasikanacute myelogenous leukemia

Tabel 3: KulturJamurPatogenpadapasiendengan AIFR

Spesies fungi JumlahKasus

Aspergilussp 42,9% (18/42)

Mucorsp 23,8% (10/42)

Curvulariasp 7,1% (3/42)

Fusariumsp 2,4 (1/42)

Bipolarissp 2,4% (1/42)


Alternariasp 2,4% (1/42)

Tidakdiketahui 19,0% (8/42)

Catatan: - spmengindikasikanspesies

AnalisisStatistik

Kompilasi dan manipulasi data dasar dilakukan di Excel (Microsoft,

Bothell, Washington). Analisis statistic dilakukan dengan menggunakan JMP

Software (SAS Institute, Cary, North Carolina). Spesifisitas, sensitivitas, positive

predictive value, dan negative predictive value ditentukan pada rentang ordinal

secara biner (ada/tidak ada) hingga berdasarkan derajat tertinggi dari opasitas atau

keterlibatan penyakit. Data lateral digunakan untuk menilai predominansi lateral

penyakit. Selain daripada itu, data dari masing-masing region yang diukur

dengan lateralitas digabungkan untuk menghasilkan pestimasi ordinal tunggal

dari prevalensi atau keterlibatan penyakit. Kedua puluh tiga variabel yang

dihasilkan dievaluasi untuk mengetahui ada tidaknya interkorelasi dan korelasi

univariat dengan AIFR dan diolah lebih lanjut dengaan menggunakan regresi

linear stepwise untuk memperjelas predictor paling pentingdari AIFR. Pemasukan

variabel kedalam regresi membutuhkan pengurangan Akaike Information

Criterion, yang merupakan suatu ukuran dari kualitas relatif dari suatu model

statistic. ANOVA, t tests, dan nonparametric X2 tests digunakan untuk menilai

perbedaan statistic pada atau antar variabel. Cohcran-Armitage Trend test

digunakan sebagai modifikasi X2 untuk variabel ordinal untuk menilai hubungan

antara deraja topasitas (atau derajat keterlibatan) dan AIFR.

HASIL
Terdapat sedikit perbedaan statistic yang tercatat dari variabel demografik

atau klinis yang dikumpulkan (Tabel 1). Biasanya, tidak terdapat perbedaan

bermakna pada hitung neutrophil absolut pada kedua kelompok (P=0,66).

Adanya krisis blast pada 2 pasien control meningkatkan rata-rata hitung

neutrophil absolut pada kelompok control; namun, hal ini tidak bermakna secara

statistic. Pasien control seluruhnya dipulangkan dan di-follow up selama minimal

18 hari (346,7 ± 402,4 hari) setelah temuan endoskopi negatif. Tidak terdapat

bukti adanya sinusitis akibat jamur pada saat follow-up. Kondisi predisposisi yang

paling sering adalah leukemia, khususnya acute myelogenous leukemia dan

diabetes (Tabel 2). Seperti yang diharapkan dari regimen sampel kami, kondisi

predisposisi ini muncul dengan pola statistic yang serupa antara pasien control

dan pasien dengan AIFR.

Spesies Aspergillus (42,9%) dan spesies Mucor (23,8%) merupakan jamur

patogen yang paling sering diisolasi (Tabel 3). Oleh karena kultur jamur

umumnya gagal untuk tumbuh, tidak terdapat jamur yang dapat ditentukan

spesiesnua pada 8 pasien (19%). Mortalitas keseluruhan pada kelompok AIFR

lebih tinggi secara bermakna dibandingakn dengan kelompok control (52% versus

21%, X2= 8,845, P= 0,003). Mortalitas yang berkaitan lagsung dengan AIFR

adalah sebesar 17%.

AIFR berkorelasi paling kuat dengan keterlibatan penyakit di fossa

pterygopalatin (r=0,64), lemakperiantral (r=0,61), duktus nasolacrimal (r=0,52),

dansakuslakrimalis (r=0,52). Bila dimasukkan sebagai varabel biner (contoh,

tidak ada [0] / ada [1-5]), 4 variabel ini menunjukkan spesifisitas yang relatif
tinggi (93-100%) dan sensitivitas yang relatif tinggi (50%-74%, Gambar 1).

Korelasi yang perlu dicatat adalah keterlibatan fossa sfenopalatina terdapa tpada

72% pasien yang positif AIFR dengan keterlibayan fossa pterygopalatina.

Tiga belas varianbel memiliki spesifisitas sebesar 100% untuk AIFR,

namun hanya 5 di antaranya yang memiliki sensitivitas>30% (duktus

nasolacrimal, sakuslakrimal, ulserasi septum, keterlibatan orbita, dan terbukanya

tulang; gambar 2 dan 3).Variabelsisanya yang memiliki spesifisitas 100% terdapat

pada temuan penyakit tahap lanjut (epidural, subdural, abses, thrombosis vena,

thrombosis arteri, keterlibatan sinus kavernosus, perluasan intraparenkimal, dan

keterlibatan palatum horizontal; gambar 4). Variabel yang berkaitan dengan

derajat opasitas memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang relatif buruk sebagai

variabel biner.

Spesifisitas AIFR meningkat secara bermakna sebagai fungsi dari derajat

opaitas pada 6 dari 8 regio yang diukur (Gambar 5), yaitu –jumlah kasus positif

AIFR yang lebih besar secara proporsi lebih besar dengan tingkat keparahan yang

tinggi dari penyakit mukosa di kavumnasi anterior (Z=-3,99, P< 0,001), kavitas

nasal posterior (Z=-4,51, P<0,001), nasofaring (Z=-2,72, P=0,003), sinus sfenoid

(Z=-2,89, P=0,002), sel udara aetmoid anterior (Z=-3,53, P<0,001), dan sel udara

etmoid posterior (Z=-3,91, P<0,001). Secara umum , 93% dari 100% pasien

dengan opasitas ≥75% (rangking ordinal,3-5) di kavitas nasal atau nasofaring,

positif untuk AIFR.

Data lateral diambil di awal untuk menentukan apakah terdapat

predominasnsi unilateral. AIFR unilateral terdapat pada 78,6% dari kasus (33/42,
X2 = 14,58, P < 0,001) dengan predileksi kuat dari penyakit pada sisi bagian

kanan. Hanya bagian kanan yang terkena pada 69,7% kasus unilateral (23/33.

X2=5,26, P=0,022). Kami tidak menemukan bahwa lateralitas merupakan

positive predictive value tambahan pada model kami;

Gambar 3. Ilustrasi yang kurang umum menggambarkan area/bagian AIFR,

termasuk duktus nasolakrimal, kantong lakrimal/lacrimal sac, dan nasofaring. A,

gambaran CT aksial dengan peningkatan kontras menunjukkan penebalan jaringan

lunak dan inflamasi pada bagian kantong lakrimal kiri (panah putih) dan pada

bagian medial orbit/rongga mata (mata panah putih). Duktus nasolakrimal kanan

normal (panah lengkung) dinilai sebagai perbandingan. Penyakit mukosa simetris

unilateral juga terlihat pada sel udara/air cell etmoid kiri (tanda bintang). B,

gambaran koronal menunjukkan penebalan dan perubahan inflamasi pada kantong

lakrimal kiri (panah putih) dan medial orbit (mata panah hitam). Perubahan

inflamasi yang sama juga terlihat pada duktus lakrimal kiri (mata panah putih). C,

CT aksial pada pasien berbeda dengan AIFR yang ditandai penebalan mukosa

yang asimetris pada rongga hidung/cavum nasi kanan (bintang) dan nasofaring

kanan (panah). D, CT aksial dengan peningkatan kontras pada pasien ketiga

dengan ditandai penebalan mukosa asimetris pada nasofaring kiri (panah) dan

inflamasi halus termasuk lemak parafaring kiri (mata panah).

Gambar 4. Contoh manifestasi lebih lanjut dari AIFR. A dan B, gambaran

CT aksial postcontrast menunjukkan filling defect/kecacatan pada sinus

kavernosus kanan (matah panah putih) dengan hiperatenuasi parenkim yang


berdekatan atau peningkatan area setempat (panah lengkung) lebih konsisten

dengan infaksi perdarahan akut pada lubang temporal anterior kanan atau

parenkim anterior kanan pada AIFR. Ada juga trombosis parsial pada arteri

karotid interna kanan (panah putih). C, CT koronal postcontrast pada pasien

berbeda menunjukkan penebalan halus epidural kiri sepanjang lantai fosa korona

tengah (panah putih). D, CT aksial noncontrast pada pasien ketiga menunjukkan

infiltrasi jaringan lunak pada foramen sfenopalatina dan fosa pterygopalatina

(mata panah hitam), dengan perpanjangan ke dalam apeks orbita kanan (mata

panah putih).

Gambar 5. Korelasi/hubungan derajat opasitas kavum nasi/rongga hidung

dan bagian paranasal dengan spesifisitas (A) dan sensitivitas (B). Peningkatan

opasitas, pada bagian tertentu di rongga hidung, nasofaring, dan sel udara etmoid

posterior, mempunyai hubungan kuat dengan spesifisitas untuk AIFR.

Pengurangan sensitivitas juga dibuktikan dengan peningkatan derajat opasitas.

Oleh karena itu, data literatur digabungkan dengan analisis lebih lanjut

dengan menggunakan skor unilateral tertinggi

Kami menyeimbangkan kekakuan statistik dari regresi bertahap multivariat

(kriteria informasi Akaike minimal) dengan kenyataan klinis dari positive

predictive value (PPV) dan negative predictive value (NPV) untuk menghasilkan

7 model/bentuk variabel diagnostik untuk memprediksi AIFR (pada tabel). 4

variabel teratas pada model (lemak periantral, fosa pterigopalatina, duktus

nosolakrimal, dan kantong lakrimal) yang paling berhubungan dengan AIFR.

Variabel-variabel ini hubungannya satu sama lain sangat tinggi dan ada pada
kebanyakan atau semua model statistik yang dihasilkan selama evaluasi ini. 7

model variabel, adanya variabel positif tunggal mempunyai PPV 87%, NPV 95% ,

sensitivitas 95% , spesifisitas 86%. Bahkan hasil positif pada 2 variabel lainnya

memprediksi AIFR dengan spesifisitas 100%, PPV 100%, sensitivitas 88,1%.

Hasil kami menunjukkan bahwa ≥2 dari 7 model variabel positif pada 88% (37

dari 42) pasien dengan AIFR (gambar 6).

Gambar 6. Ilustrasi sejumlah variabel positif (7 model variabel) pada pasien

dengan AIFR dibandingkan kontrol. Grafik tersebut mengilustrasikan kebanyakan

pasien dengan AIFR >1 area/bagian positif termasuk pada 7 model variabel.

Diskusi

Kami menampilkan model klinis sederhana yang akurat berdasarkan CT

yang didapat dari institusi penelitian terbesar yang dapat mengeklusi atau

mendiagnosis AIFR dengan derajat keyakinan tinggi dibandingkan sebelumnya.

Atribut utama pada model ini adalah dengan dataset klinis kami, termasuk 2 dari 7

variabel yang memprediksi AIFR dengan spesifisitas 100%. Kekuatan prediksi

juga meningkat karena 88% pasien dengan AIFR menampilkan dengan temuan

yang didapat oleh ≥ 2 variabel. Model ini mempunyai variabel-variabel yang

sebelumnya dianggap sebagai temuan pencitraan/gambaran karakter untuk AIFR

(lemak periantral, terbukanya lapisan tulang, invasi orbita, fosa pterigopalatina),

dan juga digambarkan secara tidak umum petanda untuk AIFR seperti duktus

nasolakrimal dan kantong lakrimal.

Kekuatan model klinis ini terletak pada evaluasi keseluruhan dari 7 variabel

karena tidak ada variabel individu yang mempunyai PPV yang tinggi dan NPV
yang tinggi. Sebagai contoh, penyakit yang termasuk pada lemak periantral-

indikator awal AIFR- merupakan indikator invidual terbaik AIFR pada penelitian

kami tetapi, indikator tersebut mempunyai sensitivitas hanya 74%. Bone

dehiscence/terbukanya lapisan tulang dibuktikan sebagai petanda yang spesifik

untuk AIFR (spesifisitas 100%) tetapi mempunyai sensitivitas rendah (35%), yang

sependapat dengan data yang dilaporkan sebelumnya. Karena jamur/fungi

berusaha menyebar melalui vaskular atau sepanjang saraf, ekstensi/perpanjangan

luar dari sinus terjadi lebih sering pada tidak adanya destruksi/penghancuran

tulang. Oleh karena itu, destruksi tulang bukan merupakan kriteria eksklusi yang

berguna. Fenomena ini sepertinya menjelaskan hubungan/korelasi tinggi terlihat

dengan keterlibatan foramen spenopalatina dan fosa pterigopalatina ipsilateral,

perpanjangan dari rongga hidung sepanjang saraf nasal posterior superior atau

arteri spenopalatina. Hal ini bertolakbelakang dengan keterlibatan lemak

periantral posterior, yang lebih berhubungan ke perpanjangan langusng dari sinus

maksila sepanjang jalur vaskular.

Penelitian kami sependapat dengan literatur sebelumnya yang melibatkan

penebalan mukosa rongga hidung pada CT sebagai temuan umum pada pasien

dengan AIFR. Hal ini penting karena prognosis yang relatif baik ketika AIFR

terbatas pada rongga hidung. Sangat disayangkan, penyakit rongga hidung

unilateral mempunyai spesifisitas rendah meskipun hal ini merupakan satu dari

banyak temuan dari AIFR (78,6% pasien pada penelitian ini mempunyai penyakit

unilateral yang dominan). Akibatnya, penyakit rongga hidung unilateral bukan

merupakan prediktor individual yang dapat diandalkan pada AIFR.


Hubungan dari AIFR dengan beratnya penebalan mukosa juga terjadi pada

area luar pada kavum nasal. Kami menemukan suatu hubungan yang signifikan

antara insiden dari AIFR dan derajat dari penyakit mukosa pada 6 hingga 8 daerah

yang diukur, namun, menggabungkan hal demikian bergantung pada progres

variabel dari penyakit mukosa ternyata sulit (dan tidak diperlukan). Kami memilih

suatu bentuk klinis yang memberikan PPV yang tinggi dan NPV yang tinggi,

tidak tergantung dari opasitas penempatan untuk penerapan secara klinis yang

sederhana.

Sebagai pengetahuan kita, angka mortalitas dari grup pasien kami (17%)

adalah salah satu yang terendah yang dipublikasikan untuk suatu penelitian dalam

skala ini, yang mana menyarankan bahwa pasien-pasien tersebut didiagnosa pada

stadium penyakit yang relatif baik. Namun, kami tidak mampu untuk

mengidentifikasi indikator-indikator spesifik lainnya dari prognosis pada data

kami – hal ini, pada bukan bagiannya penyakit yang termasuk indikasi dari

mortalitas pasien. Hal ini sedikit mengejutkan karena temuan-temuan klasik

mempertimbangkan faktor-faktor pada stadium awal dan stadium akhir yang

keduanya terdapat pada pasien kami. Jika monikers tersebut akurat, pasien yang

ada dengan gejala-gejala stadium akhir akan diperkirakan secara relatif memiliki

mortalitas yang tinggi, tetapi ini bukan kasusnya. Sebagai contoh, tidak ada dari 7

pasien yang meninggal dengan AIFR mengalami terbukanya lapisan tulang. Hasil

ini menyarankan kehati-hatian dalam memperkirakan waktu perjalanan penyakit

atau prognosis berdasarkan temuan sebelumnya dengan mempertimbangkan

temuan-temuan pada stadium akhir.


Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa CT merupakan suatu alat

skreening yang efektif untuk AIFR. Literature yang ada secara langsung

membandingkan MRI dan CT menemukan secara relatif sensitifitas yang lebih

tinggi dan PPV pada AIFR dengan menggunakan MRI. Temuan ini membawa

rekomendasi bahwa CT dipertimbangkan sebagai teknik pilihan kedua.

Sedangkan pada populasi penelitian kami berbeda, model prediksi berdasarkan

CT kami meskipun demikian didemonstrasikan memiliki sensitifitas yang lebih

tinggi (95% vs 86%), spesifitas (86% vs 75%), dan NPV (95% vs 60%) daripa

publikasi sebelumnya dari data MRI. Estimasi PPV kami hampir sama (87% vs

92%). Bahkan, model prediksi kami juga menghasilkan sensitifitas, spesifisitas,

dan NPV yang lebih tinggi daripada laporan sebelumnya dengan CT. NPV adalah

bagian khusu yang penting dalam penelitian-penelitian skreening hasil NPV

rendah yang keliru mengeluarkan satu pasien yang positif dari AIFR. Sehingga,

sebagai dasar dari hasil penelitian kami, CT yang diaplikasikan pada model

prediksi kami harus dipertimbangkan sebagai suatu tekhnik utama untuk

mengevaluasi AIFR.

Beberapa batasan pada penelitian kami yang patut diperhatikan. Pertama,

jarangnya kasus AIFR mengharuskan suatu disain penelitian retrospektif untuk

mendapatkan jumlah besar dari kasus itu. Pembaca dibuat tidak mengetahui

terhadap semua data klinis untuk menimimalkan bias, tetapi hal ini suatu

pertimbangan dari disain retrospektif. Kedua, beberapa seleksi bias adalah inheren

karena grup kontrol semuanya dikembangkan dari endoskopi atau pembedahan,

menimbulkan keraguan klinis yang lebih tinggi dari penyakit sinus. Bias yang ada
mungkin memunculkan underestimate dari NPF dan overestimate dari PPV.

Ketiga, kami bertujuan menseleksi pasien grup kontrol dengan kondisi-konsisi

predisposisi dari AIFR sehingga model klinis kami dapat diterapkan untuk

interpretasi radiologis dalam mengevaluasi kemungkinan AIFR di antara populasi

pasien yang beresiko di seluruh lingkingan klinis dunia. Oleh karena itu, beberapa

hal yang menjadi perhatian dijamin dalam ekstrapolasi hasil penelitian kami pada

grup pasien lainnya yang mana AIFR tidak menjadi perhatian klinis.

Kesimpulan

Kami mengajukan model berdasarkan CT untuk mengexclude atau

mendiagnosis AIFR dengan derajat kepercayaan yang lebih tinggi dari pada yang

disarankan sebelumnya. Penerapan dari pengajuan ini 7- model variabel mungkin

meningkatkan evaluasi dari potensial AIFR pada populasi yang beresiko dan

memberikan pelayanan sebagai dasar penelitian prospektif selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai