Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN D DENGAN HALUSINASI DAN RISIKO BUNUH DIRI


DI RUANG PHCU WANITA RUMAH SAKIT
DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Oleh:
Bambang Julianto 1706107163
Nurul Miftahul Jannah 1506690183
Ratri Tamayanti 1506689742
Anggun Laellatul 1506668981
Kartika 1506690151
Misella Elvira Farida 1706107434
Alyani Yasmin 1406544690
Umi Marfungatun Mudrikah 1706107623

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan menurut WHO (2019) diartikan sebagai suatu kondisi sehat yang utuh dari segi fisik,
mental, dan sosial bukan sekedar tidak ada penyakit atau kelemahan. Kesehatan jiwa
merupakan suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif
sebagai bahan yang utuh dari kualitas hidup sejahtera seseorang (Keliat, Akemat, Helena, dan
Nurhaeni, 2011). Videbeck (2011) menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang
memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri positif dan kestabilan emosional.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang menyusun
kesehatan jiwa seseorang. Faktor individual (keharmonisan hidup, vitalitas, menemukan arti
hidup, daya tahan emosional, spiritualitas, identitas yang positif), faktor interpersonal
(komunikasi efektif, membantu orang lain, keintiman, mempertahankan keseimbangan antara
perbedaan dan kesamaan), serta faktor budaya atau sosial (penghasilan, bermasyarakat, norma
masyarakat, keragaman individu).

Videbeck (2016) mengartikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau kumpulan pola
psikologis atas perilaku yang secara klinis terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan, nyeri, atau
sangat kehilangan kebebasan. Kejadian gangguan jiwa di dunia berdasarkan WHO (2019)
sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta bipolar, 21 juta jiwa mengalami skizofrenia, serta
47,5 juta terkena demensia. Sedangkan, di Indonesia data menunjukkan dari 236 juta
penduduk, sebesar 6% mengalami gangguan jiwa ringan, 0,17% mengalami gangguan jiwa
berat (Riskesdas, 2013). RS Marzoeki Mahdi sebagai pelayanan tersier gangguan jiwa,
memiliki masalah kesehatan jiwa yang paling banyak ditemukan yaitu halusinasi, harga diri
rendah, isolasi sosial, dan perilaku kekerasan.

Masalah keperawatan jiwa tersebut paling banyak muncul pada diagnosis medis Skizofrenia
(Videbeck, 2011). Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan
terganggu (Videbeck, 2011). Selain skizofrenia, diagnosis medis yang sering ditemui yaitu
gangguan psikotik akut. Gangguan psikotik akut merupakan penyakit psikiatri yang ditandai
dengan onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala berikut ini; delusi, halusinasi, postur dan perilaku
yang bizarre, serta bicara yang kacau, Gangguan psikotik akut dapat menjadi gejala awal dari
penyakit psikotik lainnya, seperti Skizofrenia. Perbedaan antara penyakit ini dengan gangguan
psikotik lainnya adalah dalam hal jenis dan intensitas gejala, durasi waktu, serta perjalanan
gangguan psikotik yang dapat kembali penuh pada fungsi premorbid (Harrison, Cowen, Burns,
& Fazel, 2018). Diagnosis gangguan psikotik akut ditegakkan berdasarkan kriteria Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5). Perbedaan dengan Skizofrenia pada
kriteria waktu (terjadi dalam 1 hari namun kurang dari 1 bulan) dan tidak disebabkan gangguan
medis umum. Tidak adanya fase prodromal pada gangguan psikotik akut menjadikan
klasifikasi diagnosis ini tampak seperti perubahan fungsi mental mendadak yang akhirnya
kembali pada kondisi seperti sebelum mengalami gangguan (tampak pulih sempurna) (DSM-
5, 2013).

Gangguan psikotik akut dapat disebabkan oleh adanya stresor yang jelas. Stresor berupa stresor
berat dari masalah interpersonal, pekerjaan dan pola relasi harian yang menimbulkan
kecenderungan perilaku membahayakan diri sendiri atau orang lain. Berdasarkan sebuah
analisis, menemukan bahwa stres akut dan substance use disorder berhubungan dengan
perilaku bunuh diri pada klien gangguan psikotik akut (Memon, 20117; Lopez-Diaz, Lorenzo-
Herrero, Lara, Fernandez-Gonzalez, & Ruiz-Veguilla, 2018). Patofisiologi gangguan psikotik
akut terdiri dari faktor biologis dan psikodinamik. Berdasarkan faktor psikodinamik menilai
bahwa kondisi psikotik muncul sebagai respons terhadap kondisi emosional yang penuh
tekanan, disertai dukungan lingkungan yang inadekuat atau tidak ada. Seseorang dengan
ketidakmampuan menyelesaikan masalah mengarahkan pikiran pada fantasi, hilang kontak
dengan realita seolah hidup dalam dunianya sendiri (De Masi, 2017). Kondisi
kegawatdaruratan psikiatri yang menyertai gangguan psikotik akut yaitu gaduh gelisah,
perilaku menyakiti diri sendiri dan/atau lingkungan, serta percobaan bunuh diri.

Gejala paling sering dari klien gangguan psikotik akut salah satunya yaitu halusinasi.
Gangguan persepsi sensori atau halusinasi adalah penerimaan informasi berupa sentuhan, bau,
rasa, pendengaran, penglihatan, kinestetik, dan pemahaman data yang berdampak pada
penamaan, hubungan, dan pola pengenalan (Herdman dan Kamitsuru, 2018). Halusinasi adalah
perubahan sensori dimana klien merasakan sensasi yang tidak ada berupa suara, penglihatan,
pengecapan, dan perabaa. Halusinasi membuat individu yang mengalaminya merasakan
stimulus dan memberikan respons terhadap rangsangan yang tidak nyata.
Gangguan persepsi sensori ini dapat menimbulkan rasa curiga, takut, merasa tidak aman,
gelisah dan bingung, perilaku merusak dan melukai diri sendiri, kurangnya perhatian,
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, serta ketidakmampuan membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Jika tidak dilakukan penanganan segera lebih lanjut, akan
mengakibatkan risiko tinggi mencederai diri yang dapat menjadi ancaman bagi diri sendiri serta
lingkungannya. Perilaku mencederai diri sendiri dapat diartikan juga sebagai risiko bunuh diri.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien untuk mengakiri
hidupnya (Keliat, Akemat, Helena, dan Nurhaeni, 2011). Terdapat tiga macam perilaku bunuh
diri, yaitu isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Isyarat bunuh diri
ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri. Ancaman bunuh diri
umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk
mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencanan tersebut. Sedangkan,
percobaan bunuh diri adalah tindakan klien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri
kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri,
minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.

Kemudian, perilaku harga diri rendah yang tampak dari klien yang mengalami halusinasi
adalah kehilangan kontrol dirinya. Hal inilah yang terjadi pada klien D yang dirawat di ruang
PHCU Wanita yang memiliki diagnosis medis gangguan psikiatrik akut. Klien D
mengungkapkan keinginan untuk bunuh diri sehingga diagnosis keperawatan yang dapat
ditegakkan yaitu risiko bunuh diri. Selain itu, diagnosis keperawatan lainnya yang ditemukan
pada klien D mencakup halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan defisit
perawatan diri. Makalah ini akan memaparkan asuhan keperawatan yang diberikan kepada
klien. D.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini ialah
1.2.1 Bagaimana pengkajian keperawatan jiwa pada klien D?
1.2.2 Bagaimana analisis masalah keperawatan pada klien D?
1.2.3 Bagaimana pohon masalah keperawatan pada klien D?
1.2.4 Bagaimana diagnosis keperawatan pada klien. D?
1.2.5 Bagaimana intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan pada klien D?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Memaparkan asuhan keperawatan jiwa yang telah diaplikasikan kelompok pada klien D
dengan masalah risiko bunuh diri, halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri
rendah, dan defisit perawatan diri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi proses pengkajian keperawatan jiwa yang telah dilakukan
1.3.2.2 Mengidentifikasi analisis masalah keperawatan pada klien D
1.3.2.3 Mengidentifikasi asuhan keperawatan dan proses implementasi keperawatan
jiwa pada klien D
1.3.2.4 Mengidentifikasi evaluasi intervensi yang dilakukan pada klien D
1.3.2.5 Mengetahui proses asuhan keperawatan jiwa yang tepat pada klien dengan
masalah risiko bunuh diri, halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri
rendah, dan defisit perawatan diri.

1.3.2.6 Manfaat
1.3.3 Bagi Mahasiswa
Penyusunan makalah ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam
memahami dan mengaplikasikan proses asuhan keperawatan jiwa pada klien
terutama dengan masalah risiko bunuh diri, halusinasi, risiko perilaku kekerasan,
harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.
1.3.4 Bagi Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Makalah ini dapat membantu tenaga keperawatan di Rumah Sakit Dr H Marzoeki
Mahdi Bogor dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun pengaplikasian
asuhan keperawatan kesehatan jiwa khususnya pada kasus risiko bunuh diri,
halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.
1.4.1 Institusi Pendidikan
Makalah ini sebagai salah satu kriteria penilaian (evaluasi hasil pembelajaran)
mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan gangguan jiwa kepada
individu.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Metode
deskriptif yang digunakan adalah metode ilmiah dengan pendekatan studi kasus dan
teknik pengumpulan data primer melalui observasi dan wawancara terhadap klien dan
perawat ruangan serta pengumpulan data sekunder melalui rekam medis dan studi
kepustakaan.
1.5.1 Observasi
Kelompok mengumpulkan data dengan cara pengamatan langsung kepada klien
untuk mendapatkan data objektif dengan menggunakan format pengkajian.
1.5.2 Wawancara
Kelompok mengumpulkan data dengan cara tanya jawab langsung, baik kepada
klien maupun petugas kesehatan (perawat ruangan) untuk mendapatkan data yang
subjektif maupun objektif dengan menggunakan format pengkajian.
1.5.3 Dokumentasi
Catatan perawatan dalam rekam medis menjadi salah satu acuan kelompok untuk
dapat membandingkan ketepatan data yang diperoleh baik dari klien maupun dari
hasil pengkajian sebelumnya. Catatan terhadap klien serta hasil pemeriksaan dalam
rekam medis ini dapat berupa hasil pemeriksaan oleh dokter, perawat, analis,
maupun tim kesehatan lain.
1.5.4 Studi kepustakaan
Kelompok menggunakan acuan dari beragam referensi keilmuan keperawatan jiwa
dalam mempelajari teori yang berhubungan dengan masalah klien yaitu risiko bunuh
diri, halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan defisit perawatan
diri.

1.6 Sistematika Penulisan


Makalah ini ditulis secara sistematika yang terdiri dari:
1.6.1 Bab I Pendahuluan
Pendahuluan dalam makalah ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
1.6.2 Bab II Landasan Teoritis
Landasan teoritis yang digunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari landasan
teoritis meliputi definisi masalah, proses terjadinya masalah, faktor penyebab baik
itu dari sudut pandang faktor predisposisi maupun dari sudut pandang faktor
presipitasi, serta tindakan keperawatannya.
1.6.3 Bab III Gambaran Kasus
Kelompok menggambarkan kasus yang berasal dari hasil pengkajian, analisis data
dan penentuan diagnosa keperawatan sesuai prioritas masalah,
penyusunan perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.
1.6.4 Bab IV Pembahasan
Pada bagian ini, kelompok melakukan pendekatan pembahasan dengan terlebih
dahulu menjelaskan garis besar masalah klien yaitu penjelasan diagnosa medis,
masalah keperawatan aktual yang dihadapi klien, penjabaran intervensi dan
implementasi keperawatan serta catatan perkembangan kemajuan perawatan klien.
1.6.5 Bab V Penutup
Pada bagian akhir dari makalah ini kelompok menempatkan kesimpulan dan saran
sebagai motivasi sekaligus masukan yang diperoleh pada pembahasan kasus ini.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Halusinasi
2.1.1 Definisi
Gangguan persepsi sensori (halusinasi) merupakan salah satu masalah keperawatan yang cukup
banyak terjadi pada pasien gangguan jiwa. Menurut Keliat, et al, (2011) halusinasi adalah satu
satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien jiwa. Menurut Stuart (2013),
halusinasi juga merupakan kegagalan dalam merasakan sesuatu. Pasien jiwa merasakan sensasi
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulasi nyata.
Halusinasi merupakan gangguan (persepsi sensorik palsu atau pengalaman persepsi yang tidak
benar-benar ada).
2.1.2 Proses Terjadinya Halusinasi
2.1.2.1 Faktor Predisposisi
Faktor presidposisi berupa faktor biologis (genetic, gangguan ottak, gangguan
neurotransmitter). Faktor psikologis dapat berupa stress keluarga, peran, dan konflik konflik
pribadi. Faktor sosial dan lingkungan dapat berupa hubungan sosial, pekerjaan, finansial dan
juga penyakit fisik (Stuart, 2013).
2.1.2.2 Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi berupa gejala pemicu respon neurobiologik (kondisi kesehatan, kondisi
lingkungan, sikap dan perilaku). Ketegangan peran oleh stressor yang memcicu gangguan
proses pikir (Stuart, 2013).
2.1.3 Jenis Halusinasi
2.1.3.1 Halusinasi Pendengaran
Halusinasi pendengaran adalah yang paling umum. Halusinasi perintah adalah yang
memerintahkan pasien untuk melakukan sesuatu, seperti membunuh diri sendiri, menyakiti
orang lain, atau bergabung dengan seseorang di akhirat (Stuart, 2013).
2.1.3.2 Halusinasi Penglihatan
Stimuli yang berasal dari penglihatan seperti cahaya, bayangan, tokoh karim, atau perpaduan
lain yang muncul pada penglihatan penderita. Halusinasi penglihatan dapat menakutkan dan
dapat pula menyenangkan (Stuart, 2013).
2.1.3.3 Halusinasi Olfactory (Penghidu)
Halusinasi penghidu dapat berupa klien mencium bau busuk, bau amis, bau anyir darah urine
atau feses. Olfaktory halusinasi dapat terjadi pada beberapa klien yang mengalami masalah
kesehatan seperti strike, tumor dan demensia (Stuart, 2013)
2.1.3.4 Halusinasi Tactile (Sentuhan)
Halusinasi yang datang tanpa didahului oleh rangsangan klien dapat merasakan nyeri dan
merasa tidak nyaman.
2.1.3.5 Halusinasi Gustastory (Rasa)
Halusinasi rasa klien dapat merasakan sedang memakan sesuatu yang asin pait, klien dengan
halusinasi gustastory biasanya sering meludah.
2.1.4 Tahapan Halusinasi
2.1.4.1 Comforting (menenangkan)
Halusinasi pada umumnya menyenangkan. Halusinasi mengalami emosi yang kuat, seperti
kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan, dan mencoba fokus pada pikiran yang
menenangkan untuk menghilangkan kecemasan. Orang tersebut mengakui bahwa pikiran
dan pengalaman indrawi berada dalam kendali sadar jika kecemasan itu dikelola (Stuart,
2013).
2.1.4.2 Condemming (menyalahkan)
Halusinasi umumnya menjadi menjijikkan. Pengalaman sensorik yang menjijikkan dan
menakutkan. Halusinasi mulai merasa kehilangan kontrol dan dapat berusaha menjauhkan
diri dari sumber yang dirasakan. Seseorang mungkin merasa malu dengan pengalaman
sensorik dan menarik diri dari orang lain. Masih mungkin untuk mengarahkan pasien ke
kenyataan (Stuart, 2013).
2.1.4.3 Controlling (mengendalikan)
Pengalaman sensorik menjadi mahakuasa. Orang yang mengalami halusinasi mulai
menyerah untuk mencoba melawan pengalaman itu dan menyerah padanya. Konten
halusinasi bisa menjadi menarik. Seseorang dapat mengalami kesepian jika pengalaman
inderawi berakhir (Stuart, 2013).
2.1.4.4 Conquering (menakutkan)
Halusinasi umumnya menjadi rumit dan terjalin dengan delusi. Pengalaman sensorik bisa
menjadi ancaman jika orang tidak mengikuti perintah. Halusinasi dapat berlangsung berjam-
jam atau berhari-hari jika tidak ada intervensi terapeutik (Stuart, 2013)
2.1.5 Asuhan Keperawatan
Proses pengkajian data yang dapat dikaji dari halusinasi yang dapat di dapatkan diantara lain
sebagai berikut (Keliat dkk, 2011):
1. Jenis dan Isi Halusinasi

No. Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif


1. Halusinasi Bicara atau tertawa sendiri tanpa Mendengar suara atau
Dengar lawan bicara, marah-marah tanpa kegaduhan, mendengar suara

2. Halusinasi sebab,
Melihat mencondongkan telinga
kea rah tertentu, yang
Melihat mengajak
bayangan, mengobrol,
melihat
Penglihatan kearah
menunjuk tertentu. objek yang tidak mendengar suara hantu
menyuruh
3. Halusinasi Menghidu padaseperti sedang sinar,
Membau bentuk,
baui melihat atau
seperti bau darah,
terlihat melakukan
monster sesuatu yang
Penghidu membaui bau bauan. Menutup urine, feses dan terkadang baunya
4. Halusinasi Menggaruk garuk permukaan kulit berbahaya
Mengatakan ada serangga pada
hidung. menyenagngkan
Perabaan permukaan kulit, merasa
5. Halusinasi Sering meludah, muntah Merasakan seperti merasakan
tersengat listrik
Pengecapan darah, urine atau feses
2. Waktu, Frekuensi dan Situasi

Hal yang dapat dikaji ialah kapan waktuny muncul halusinasi, waktu mendetail,
seberapa sering munculnya halusinasi, dan situasi seperti apa yang biasanya halusinasi
muncul.
3. Respon terhadap halusinasi
Perawat dapat menanyakan perasaan klien saat halusinasi muncul. Perawat dapat
menanyakan kepada keluarga dan orang terdekat klien. Setelah itu dapat
mengobservasi perilaku klien.
2.1.6 Tindakan Keperawatan
2.1.6.1 Tujuan tindakan keperawatan bagi klien;
1. Klien dapat mengenali halusinasi
2. Klien dapat mengontrol halusinasinya
3. Klien dapat mengikuti regimen pengobatan secara optimal
2.1.6.2 Tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga :
1. Keluarga dapat terlibat dalam proses perawatan klien

2. Keluarga dapat menjadi system pendukung yang efektif bagi klien


2.1.6.3 Tindakan keperawatan untuk Pasien

Pasien dapat mengenal halusinasi (isi, frekuensi, waktu), melatih mengontrol halusinasi
dengan 4 (empat cara) mengontrol halusinasi.
1. Menghardik
2. Menggunakan obat dengan teratur
3. Bercakap-cakap
4. Melakukan aktivitas yang terjadwal
2.1.6.4 Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien
2. Memberikan pendidikan kesehta jiwa tentang halusinasi seperti pengertia,
jenis, tanda dan gejala serta cara merawat klien.
3. Memberikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat
klien dengan halusinasi langsung dihadapan klien.
4. Memberikan pendidikan kesehatan kepada kelarga tentang perawatan lanjutan
klien.
2.1.6.5 Terapi Aktiivitas Kelompok
Keliat dan Akemat (2010) menyebutkan bahwa terapi Aktivitas Kelompok (TAK) yang
dapat diberikan untuk pasienHalusinasi adalah TAK jenis stimulasi persepsi, yaitu terapi
yang melatih klien untuk mempersepsikan stimulus yang disediakan maupun yang
pernah dialami sebelumnya, kemudian persepsi klien terhadap stimulus tersebut
dievaluasi dan ditingkatkan dari mal-adaptif hingga menjadi adaptif pada setiap tahapan
sesi terapi. TAK stimulasi persepsi untuk halusinasi, meliputi: 1) Sesi 1: Mengenal
Halusinasi; 2) Sesi 2: Melatih cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Sesi
3 : Melatih cara mengontrol halusinasi dengan bercakap- cakap. Sesi 4: Melatih cara
mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas. Sesi 5 : Melatih cara mengontrol
halusinasi dengan cara minum obat (Keliat & Akemat, 2010; Keliat, Akemat, Helena &
Nurhaeni, 2011).
2.2 Risiko Bunuh Diri
2.2.1 Pengertian Risiko Bunuh Diri
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri
sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh
diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.

2.2.2 Proses terjadinya Risiko Bunuh Diri


2.2.2.1 Faktor Predisposisi
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif-diri sepanjang
siklus kehidupan adalah diagnosis psikiatrik, sifat kepribadian, lingkungan psikososial, riwayat
keluarga, dan faktor biokimia. Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia. Sedangkan sifat kepribadian yang erat hubungannya
dengan besarnya resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi. Faktor predisposisi
terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan
dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau
bahkan perceraian.
Kekuatan dukungan social sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik,
dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain. Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat
kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotinin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2.2.2.2 Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami oleh individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
2.2.3 Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat melakukan
perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan
bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun
budaya. Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong klien
melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam
kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
2.2.4 Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang berhubungan
dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization, regression, dan magical
thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan
koping alternatif.

Respon adaptif Respon maladaptif

Peningkatan diri Beresiko Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri


destruktif tidak langsung

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh diri
mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi
masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada
diri seseorang.

Perilaku bunuh diri dibagi menjadi tiga kategori yang sebagai berikut.

1. Upaya bunuh diri (scucide attempt) yaitu sengaja kegiatan itu sampai tuntas akan
menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin
mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.

2. Isyarat bunuh diri (suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung verbal
atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di sekitar kita lagi atau juga
mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya.
Kurangnya respon positif dari orang sekitar dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri.

2.2.5 Respon Protektif-diri dan Perilaku Bunuh Diri

Perilaku destruktif-diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada
kematian. Aktivitas ini dapat diklasifikasikan sebagai langsung atau tidak langsung. Perilaku
destruktif-diri langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri. Niatnya adalah kematian,
dan individu menyadari hal ini sebagai hasil yang diinginkan. Lama perilaku berjangka pendek,
(Stuart,2006, hal 226).

2.2.6 Tanda dan Gejala


Mempunyai ide untuk bunuh diri, mengungkapkan keinginan untuk mati, mengungkapkan rasa
bersalah dan keputusasaan, impulsif, menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya
menjadi sangat patuh), memiliki riwayat percobaan bunuh diri, dan verbal terselubung
(berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis mematikan).

Referensi
Keliat, B.A., Akemat., Daulima, N., Nurhaeni, E. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC
Riset kesehatan dasar (Riskesdas). (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan
Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric-mental health nursing. China: Wolter Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins
WHO. (2019). Mental health: a state of well-being. Retrieved from
https://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, S. (2019). NANDA International Nursing Diagnostic:
Definition & Classification, 2017-2020. 11th Ed. Oxford: Wiley Blackwell
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (10th ed.). St Louis:
Elsevier.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama
De Masi, F. (2017). Some paths towards psychotic alienation. American Journal
Psychoanalysis, 77(4), 347-358. doi:10.1057/s11231-017-9111-8
DSM-5. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 5th edition. In W.T.
Carpenter, D. M. Barch, J. R. Bustillo, W. Gaebel, R. E. Gur. S. H. Heckers, J. v. Os,
Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic Disorders (pp. 94-96). Washington:
American Psychiatric Publishing.
Harrison, P., Cowen, P., Burns, T., and Fazel, M. (2018). Shorter Oxford textbook of
psychiatry, 7th edition. Oxford: Oxford University Press.
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, S. (2019). NANDA International Nursing Diagnostic:
Definition & Classification, 2017-2020. 11th Ed. Oxford: Wiley Blackwell
Keliat, B.A., Akemat., Helena, N., Nurhaeni, E. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.
Lopez-Diaz, A., Lorenzo-Herrero, P., Lara, I., Fernandez-Gonzalez, J., and Ruiz-Veguilla, M.
(2018). Acute stress and substance use as predictors of suicidal behavior in acute and
transient psychotic disorder. Psychiatry Research, 269, 414-418.
doi: 10.1016/j.psychres.2018.08.036
Memon, M. A. (2017). Emedicine Medscape. (D. Bienenfeld, Editor). Retrieved from
Emedicine Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/294416-overview
Riset kesehatan dasar (Riskesdas). (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan
Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric-mental health nursing. China: Wolter Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins
WHO. (2019). Mental health: a state of well-being. Retrieved from
https://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/

Anda mungkin juga menyukai