Makalah Bab 1-2
Makalah Bab 1-2
Oleh:
Bambang Julianto 1706107163
Nurul Miftahul Jannah 1506690183
Ratri Tamayanti 1506689742
Anggun Laellatul 1506668981
Kartika 1506690151
Misella Elvira Farida 1706107434
Alyani Yasmin 1406544690
Umi Marfungatun Mudrikah 1706107623
Videbeck (2016) mengartikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau kumpulan pola
psikologis atas perilaku yang secara klinis terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan, nyeri, atau
sangat kehilangan kebebasan. Kejadian gangguan jiwa di dunia berdasarkan WHO (2019)
sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta bipolar, 21 juta jiwa mengalami skizofrenia, serta
47,5 juta terkena demensia. Sedangkan, di Indonesia data menunjukkan dari 236 juta
penduduk, sebesar 6% mengalami gangguan jiwa ringan, 0,17% mengalami gangguan jiwa
berat (Riskesdas, 2013). RS Marzoeki Mahdi sebagai pelayanan tersier gangguan jiwa,
memiliki masalah kesehatan jiwa yang paling banyak ditemukan yaitu halusinasi, harga diri
rendah, isolasi sosial, dan perilaku kekerasan.
Masalah keperawatan jiwa tersebut paling banyak muncul pada diagnosis medis Skizofrenia
(Videbeck, 2011). Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan
terganggu (Videbeck, 2011). Selain skizofrenia, diagnosis medis yang sering ditemui yaitu
gangguan psikotik akut. Gangguan psikotik akut merupakan penyakit psikiatri yang ditandai
dengan onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala berikut ini; delusi, halusinasi, postur dan perilaku
yang bizarre, serta bicara yang kacau, Gangguan psikotik akut dapat menjadi gejala awal dari
penyakit psikotik lainnya, seperti Skizofrenia. Perbedaan antara penyakit ini dengan gangguan
psikotik lainnya adalah dalam hal jenis dan intensitas gejala, durasi waktu, serta perjalanan
gangguan psikotik yang dapat kembali penuh pada fungsi premorbid (Harrison, Cowen, Burns,
& Fazel, 2018). Diagnosis gangguan psikotik akut ditegakkan berdasarkan kriteria Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5). Perbedaan dengan Skizofrenia pada
kriteria waktu (terjadi dalam 1 hari namun kurang dari 1 bulan) dan tidak disebabkan gangguan
medis umum. Tidak adanya fase prodromal pada gangguan psikotik akut menjadikan
klasifikasi diagnosis ini tampak seperti perubahan fungsi mental mendadak yang akhirnya
kembali pada kondisi seperti sebelum mengalami gangguan (tampak pulih sempurna) (DSM-
5, 2013).
Gangguan psikotik akut dapat disebabkan oleh adanya stresor yang jelas. Stresor berupa stresor
berat dari masalah interpersonal, pekerjaan dan pola relasi harian yang menimbulkan
kecenderungan perilaku membahayakan diri sendiri atau orang lain. Berdasarkan sebuah
analisis, menemukan bahwa stres akut dan substance use disorder berhubungan dengan
perilaku bunuh diri pada klien gangguan psikotik akut (Memon, 20117; Lopez-Diaz, Lorenzo-
Herrero, Lara, Fernandez-Gonzalez, & Ruiz-Veguilla, 2018). Patofisiologi gangguan psikotik
akut terdiri dari faktor biologis dan psikodinamik. Berdasarkan faktor psikodinamik menilai
bahwa kondisi psikotik muncul sebagai respons terhadap kondisi emosional yang penuh
tekanan, disertai dukungan lingkungan yang inadekuat atau tidak ada. Seseorang dengan
ketidakmampuan menyelesaikan masalah mengarahkan pikiran pada fantasi, hilang kontak
dengan realita seolah hidup dalam dunianya sendiri (De Masi, 2017). Kondisi
kegawatdaruratan psikiatri yang menyertai gangguan psikotik akut yaitu gaduh gelisah,
perilaku menyakiti diri sendiri dan/atau lingkungan, serta percobaan bunuh diri.
Gejala paling sering dari klien gangguan psikotik akut salah satunya yaitu halusinasi.
Gangguan persepsi sensori atau halusinasi adalah penerimaan informasi berupa sentuhan, bau,
rasa, pendengaran, penglihatan, kinestetik, dan pemahaman data yang berdampak pada
penamaan, hubungan, dan pola pengenalan (Herdman dan Kamitsuru, 2018). Halusinasi adalah
perubahan sensori dimana klien merasakan sensasi yang tidak ada berupa suara, penglihatan,
pengecapan, dan perabaa. Halusinasi membuat individu yang mengalaminya merasakan
stimulus dan memberikan respons terhadap rangsangan yang tidak nyata.
Gangguan persepsi sensori ini dapat menimbulkan rasa curiga, takut, merasa tidak aman,
gelisah dan bingung, perilaku merusak dan melukai diri sendiri, kurangnya perhatian,
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, serta ketidakmampuan membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Jika tidak dilakukan penanganan segera lebih lanjut, akan
mengakibatkan risiko tinggi mencederai diri yang dapat menjadi ancaman bagi diri sendiri serta
lingkungannya. Perilaku mencederai diri sendiri dapat diartikan juga sebagai risiko bunuh diri.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien untuk mengakiri
hidupnya (Keliat, Akemat, Helena, dan Nurhaeni, 2011). Terdapat tiga macam perilaku bunuh
diri, yaitu isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Isyarat bunuh diri
ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri. Ancaman bunuh diri
umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk
mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencanan tersebut. Sedangkan,
percobaan bunuh diri adalah tindakan klien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri
kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri,
minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.
Kemudian, perilaku harga diri rendah yang tampak dari klien yang mengalami halusinasi
adalah kehilangan kontrol dirinya. Hal inilah yang terjadi pada klien D yang dirawat di ruang
PHCU Wanita yang memiliki diagnosis medis gangguan psikiatrik akut. Klien D
mengungkapkan keinginan untuk bunuh diri sehingga diagnosis keperawatan yang dapat
ditegakkan yaitu risiko bunuh diri. Selain itu, diagnosis keperawatan lainnya yang ditemukan
pada klien D mencakup halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan defisit
perawatan diri. Makalah ini akan memaparkan asuhan keperawatan yang diberikan kepada
klien. D.
1.3.2.6 Manfaat
1.3.3 Bagi Mahasiswa
Penyusunan makalah ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam
memahami dan mengaplikasikan proses asuhan keperawatan jiwa pada klien
terutama dengan masalah risiko bunuh diri, halusinasi, risiko perilaku kekerasan,
harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.
1.3.4 Bagi Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Makalah ini dapat membantu tenaga keperawatan di Rumah Sakit Dr H Marzoeki
Mahdi Bogor dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun pengaplikasian
asuhan keperawatan kesehatan jiwa khususnya pada kasus risiko bunuh diri,
halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.
1.4.1 Institusi Pendidikan
Makalah ini sebagai salah satu kriteria penilaian (evaluasi hasil pembelajaran)
mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan gangguan jiwa kepada
individu.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Metode
deskriptif yang digunakan adalah metode ilmiah dengan pendekatan studi kasus dan
teknik pengumpulan data primer melalui observasi dan wawancara terhadap klien dan
perawat ruangan serta pengumpulan data sekunder melalui rekam medis dan studi
kepustakaan.
1.5.1 Observasi
Kelompok mengumpulkan data dengan cara pengamatan langsung kepada klien
untuk mendapatkan data objektif dengan menggunakan format pengkajian.
1.5.2 Wawancara
Kelompok mengumpulkan data dengan cara tanya jawab langsung, baik kepada
klien maupun petugas kesehatan (perawat ruangan) untuk mendapatkan data yang
subjektif maupun objektif dengan menggunakan format pengkajian.
1.5.3 Dokumentasi
Catatan perawatan dalam rekam medis menjadi salah satu acuan kelompok untuk
dapat membandingkan ketepatan data yang diperoleh baik dari klien maupun dari
hasil pengkajian sebelumnya. Catatan terhadap klien serta hasil pemeriksaan dalam
rekam medis ini dapat berupa hasil pemeriksaan oleh dokter, perawat, analis,
maupun tim kesehatan lain.
1.5.4 Studi kepustakaan
Kelompok menggunakan acuan dari beragam referensi keilmuan keperawatan jiwa
dalam mempelajari teori yang berhubungan dengan masalah klien yaitu risiko bunuh
diri, halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan defisit perawatan
diri.
2. Halusinasi sebab,
Melihat mencondongkan telinga
kea rah tertentu, yang
Melihat mengajak
bayangan, mengobrol,
melihat
Penglihatan kearah
menunjuk tertentu. objek yang tidak mendengar suara hantu
menyuruh
3. Halusinasi Menghidu padaseperti sedang sinar,
Membau bentuk,
baui melihat atau
seperti bau darah,
terlihat melakukan
monster sesuatu yang
Penghidu membaui bau bauan. Menutup urine, feses dan terkadang baunya
4. Halusinasi Menggaruk garuk permukaan kulit berbahaya
Mengatakan ada serangga pada
hidung. menyenagngkan
Perabaan permukaan kulit, merasa
5. Halusinasi Sering meludah, muntah Merasakan seperti merasakan
tersengat listrik
Pengecapan darah, urine atau feses
2. Waktu, Frekuensi dan Situasi
Hal yang dapat dikaji ialah kapan waktuny muncul halusinasi, waktu mendetail,
seberapa sering munculnya halusinasi, dan situasi seperti apa yang biasanya halusinasi
muncul.
3. Respon terhadap halusinasi
Perawat dapat menanyakan perasaan klien saat halusinasi muncul. Perawat dapat
menanyakan kepada keluarga dan orang terdekat klien. Setelah itu dapat
mengobservasi perilaku klien.
2.1.6 Tindakan Keperawatan
2.1.6.1 Tujuan tindakan keperawatan bagi klien;
1. Klien dapat mengenali halusinasi
2. Klien dapat mengontrol halusinasinya
3. Klien dapat mengikuti regimen pengobatan secara optimal
2.1.6.2 Tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga :
1. Keluarga dapat terlibat dalam proses perawatan klien
Pasien dapat mengenal halusinasi (isi, frekuensi, waktu), melatih mengontrol halusinasi
dengan 4 (empat cara) mengontrol halusinasi.
1. Menghardik
2. Menggunakan obat dengan teratur
3. Bercakap-cakap
4. Melakukan aktivitas yang terjadwal
2.1.6.4 Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien
2. Memberikan pendidikan kesehta jiwa tentang halusinasi seperti pengertia,
jenis, tanda dan gejala serta cara merawat klien.
3. Memberikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat
klien dengan halusinasi langsung dihadapan klien.
4. Memberikan pendidikan kesehatan kepada kelarga tentang perawatan lanjutan
klien.
2.1.6.5 Terapi Aktiivitas Kelompok
Keliat dan Akemat (2010) menyebutkan bahwa terapi Aktivitas Kelompok (TAK) yang
dapat diberikan untuk pasienHalusinasi adalah TAK jenis stimulasi persepsi, yaitu terapi
yang melatih klien untuk mempersepsikan stimulus yang disediakan maupun yang
pernah dialami sebelumnya, kemudian persepsi klien terhadap stimulus tersebut
dievaluasi dan ditingkatkan dari mal-adaptif hingga menjadi adaptif pada setiap tahapan
sesi terapi. TAK stimulasi persepsi untuk halusinasi, meliputi: 1) Sesi 1: Mengenal
Halusinasi; 2) Sesi 2: Melatih cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Sesi
3 : Melatih cara mengontrol halusinasi dengan bercakap- cakap. Sesi 4: Melatih cara
mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas. Sesi 5 : Melatih cara mengontrol
halusinasi dengan cara minum obat (Keliat & Akemat, 2010; Keliat, Akemat, Helena &
Nurhaeni, 2011).
2.2 Risiko Bunuh Diri
2.2.1 Pengertian Risiko Bunuh Diri
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri
sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh
diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh diri
mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi
masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada
diri seseorang.
Perilaku bunuh diri dibagi menjadi tiga kategori yang sebagai berikut.
1. Upaya bunuh diri (scucide attempt) yaitu sengaja kegiatan itu sampai tuntas akan
menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin
mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
2. Isyarat bunuh diri (suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung verbal
atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di sekitar kita lagi atau juga
mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya.
Kurangnya respon positif dari orang sekitar dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri.
Perilaku destruktif-diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada
kematian. Aktivitas ini dapat diklasifikasikan sebagai langsung atau tidak langsung. Perilaku
destruktif-diri langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri. Niatnya adalah kematian,
dan individu menyadari hal ini sebagai hasil yang diinginkan. Lama perilaku berjangka pendek,
(Stuart,2006, hal 226).
Referensi
Keliat, B.A., Akemat., Daulima, N., Nurhaeni, E. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC
Riset kesehatan dasar (Riskesdas). (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan
Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric-mental health nursing. China: Wolter Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins
WHO. (2019). Mental health: a state of well-being. Retrieved from
https://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, S. (2019). NANDA International Nursing Diagnostic:
Definition & Classification, 2017-2020. 11th Ed. Oxford: Wiley Blackwell
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (10th ed.). St Louis:
Elsevier.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama
De Masi, F. (2017). Some paths towards psychotic alienation. American Journal
Psychoanalysis, 77(4), 347-358. doi:10.1057/s11231-017-9111-8
DSM-5. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 5th edition. In W.T.
Carpenter, D. M. Barch, J. R. Bustillo, W. Gaebel, R. E. Gur. S. H. Heckers, J. v. Os,
Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic Disorders (pp. 94-96). Washington:
American Psychiatric Publishing.
Harrison, P., Cowen, P., Burns, T., and Fazel, M. (2018). Shorter Oxford textbook of
psychiatry, 7th edition. Oxford: Oxford University Press.
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, S. (2019). NANDA International Nursing Diagnostic:
Definition & Classification, 2017-2020. 11th Ed. Oxford: Wiley Blackwell
Keliat, B.A., Akemat., Helena, N., Nurhaeni, E. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.
Lopez-Diaz, A., Lorenzo-Herrero, P., Lara, I., Fernandez-Gonzalez, J., and Ruiz-Veguilla, M.
(2018). Acute stress and substance use as predictors of suicidal behavior in acute and
transient psychotic disorder. Psychiatry Research, 269, 414-418.
doi: 10.1016/j.psychres.2018.08.036
Memon, M. A. (2017). Emedicine Medscape. (D. Bienenfeld, Editor). Retrieved from
Emedicine Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/294416-overview
Riset kesehatan dasar (Riskesdas). (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan
Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric-mental health nursing. China: Wolter Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins
WHO. (2019). Mental health: a state of well-being. Retrieved from
https://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/