Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, seseorang pernah bertanya pada ‘Ali
mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Orang tadi
berkata, “Bukan. Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi
pada hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al-Baihaqi, 3: 278.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al-Irwa’, 1: 177)
Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri sebelum
ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Al-Muwatho’ 426. Imam
Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih)
Dikatakan dianjurkan karena saat itu adalah berkumpungnya orang banyak sama halnya
dengan shalat Jum’at. Kalau shalat Jum’at dianjurkan mandi, maka shalat ‘ied pun sama.
Ada juga riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ‘Umar
pernah mengambil jubah berbahan sutera yang dibeli di pasar. Ketika ‘Umar
mengambilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Ibnu ‘Umar lantas
berkata, “Wahai Rasulullah, belilah pakaian seperti ini lantas kenakanlah agar engkau
2
bisa berpenampilan bagus saat ‘ied dan menyambut tamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas berkata,
خل صقص ل ص م
ه نلص ص
م ل
س ص
ما هصذ إهإ ل إصبا م
إ إن ل ص
“Pakaian seperti ini membuat seseorang tidak mendapatkan bagian di akhirat.” (HR.
Bukhari, no. 948)
معصةإ
ج م
ن وصي صولم إ ال م ل ة ي صل لب ص م سل ل ص
ه ع صل صي لهإ وص ص
صللى الل م ص
سصها ل إلعإي لد صي ل إ جب ل ة
م م ي ص
ن إللن لب إ ي
كا ص
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul
Fithri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada hari Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah
dalam kitab shahihnya, 1765)
Diriwayatkan pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma biasa memakai pakaian terbaik di hari ‘ied.
Aturan berpenampilan menawan di hari ‘ied berlaku bagi pria. Sedangkan bagi wanita,
lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya di hadapan laki-laki lain.
Kecantikan wanita hanya spesial untuk suami.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri
dan sebelumnya beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau
tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap
3
hasil qurbannya.” (HR. Ahmad 5: 352. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan)
Untuk shalat Idul Fithri disunnahkan untuk makan sebelum keluar rumah dikarenakan
adanya larangan berpuasa pada hari tersebut dan sebagai pertanda pula bahwa hari
tersebut tidak lagi berpuasa.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (2: 446) menyatakan bahwa diperintahkan makan
sebelum shalat Idul Fithri adalah supaya tidak disangka lagi ada tambahan puasa. Juga
maksudnya adalah dalam rangka bersegera melakukan perintah Allah.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari Idul Fithri (ke tempat
shalat, pen.) sampai beliau makan beberapa kurma terlebih dahulu. Beliau memakannya
dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Bukhari, no. 953)
شك ممرو ص
ن م وصل صعصل لك م ل
م تص ل داك م ل ه ع صصلى ص
ما هص ص مملوا ال لعإد لة ص وصل إت مك صب يمروا الل ل ص
وصل إت مك ل إ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya Idul Fithri
sambil bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika
shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/1/2. Hadits ini mursal dari Az-Zuhri namun memiliki
penguat yang sanadnya bersambung. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 171.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan bahwa kaum muslimin ketika itu keluar dari rumah
mereka sambil bertakbir hingga imam hadir (untuk shalat ied, pen.)
Namun kalau kita lihat dari keumuman ayat Surat Al-Baqarah ayat 185 yang
menunjukkan perintah bertakbir itu dimulai sejak bulan Ramadhan sudah berakhir,
berarti takbir Idul Fithri dimulai dari malam Idul Fithri hingga imam datang untuk shalat
‘ied.
Takbir yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi
Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd.
(artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Kalau lafazh di atas takbir “Allahu Akbar” ditemukan sebanyak dua kali. Dalam riwayat
Ibnu Abi Syaibah pula disebutkan dengan sanad yang sama dengan penyebutan tiga kali
takbir. (Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 36442)
Syaikhul Islam menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu
akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24: 220)
5
كا ص
م ال لإعيد إ
وا ي صول ص ذا ا إل لت صقص ل سل ل ص
م إإ ص ه ع صل صي لهإ وص صصللى الل ل مل الل لهإ ص
سو إ
ب صر م
حا م
ص ص
نأ ل ص ص:ل
في لرع صقا ص
ن نم ص
جب صي لرإ ب ل إ
فعن م
ملنك ملنا وص إه إ ل
ل الل م ت صقصب ل ص: ض قو م
م ل إب صعل ع
ضه م ل ل ب صعل م يص م
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling
mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan
amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fath Al-
Bari, 2: 446)
ص ل
ملنك
ملنا وص إ ل الل ل م
ه إ ت ص ص: م ال لإعيد إ
قب ل ص ل ي صول ص
ج إ
جل إلللر م قو ص
ل اللر م ن يص م
سأ لوصصل ب صأ ص
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied
mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka.” (Al-Mughni, 2: 250)
Namun ucapan selamat di hari raya sebenarnya tidak diberi aturan ketat di dalam syari’at
kita. Ucapan apa pun yang diutarakan selama maknanya tidak keliru asalnya bisa dipakai.
Contoh ucapan di hari raya ‘ied:
Ucapan selamat di atas biasa diucapkan oleh para salaf setelah shalat ‘ied. Namun jika
diucapkan sebelum shalat ‘ied pun tidaklah bermasalah. (Lihat bahasan Fatwa Islam Web
187457)
ف الط ل إ
ريقص خال ص ص
عيد ع ص
م إ
ن ي صول م ذا ص
كا ص ى – صلى الله عليه وسلم – إ إ ص
ن الن لب إ ى ل ص
كا ص جاب إرع صقا ص
ن ص
عص ل
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berada di hari ied (ingin pergi ke tempat shalat, pen.), beliau membedakan jalan antara
pergi dan pulang. (HR. Bukhari, no. 986)
Di antara hikmah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara jalan
pergi dan pulang adalah agar banyak bagian bumi yang menjadi saksi bagi kita ketika
beramal. Allah Ta’ala berfirman,
ها ث أص ل
خصباصر ص حد ي م
مئ إذ ع ت م ص
ي صول ص
Rasul lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”
“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua
perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di
muka bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari
ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan oleh bumi. (HR. Tirmidzi no. 2429. Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini dha’if. Namun hadits ini punya penguat dalam Al-Kabir karya Ath-
7
Thabrani 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin, 1: 439)
Sumber https://rumaysho.com/13875-6-sunnah-nabi-di-hari-idul-fithri.html