Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN NY.

S DENGAN DIAGNOSA STRUMA DAN


TINDAKAN THYROIDEKTOMY
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSD. DR SOEBANDI

MAKALAH INI DISUSUN SEBAGAI TUGAS PRAKTIK PELATIHAN


BASIC SKILL COURSE OPERATING ROOM NURSES 2019

Disusun Oleh:

Deddy Yuliansyah, S.Kep.,Ns


Resa Novana Djauwardani, Amd. Kep

RSUD DR. SOEBANDI JEMBER


PESERTA LATIH BASIC SCRUB OPERATING ROOM
ANGKATAN 20
2019-2020
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat Rahmat, Hidayah dan
Karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas soca dengan judul “dengan diagnosa
struma dan tindakan thyroidektomy di instalasi bedah sentral rsd. dr soebandi” pada kegiatan
pelatihan basic skill course operating room nurses. Penulis menyadari bahwa penyusunan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.

Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan
saran yang bersifat membangun kearah perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan peserta pelatihan basic skill course operating
room nurses.

Jember, Desember 2019


Penuli

2
3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari struma ialah defisiensi yodium.
Diperkirakan bahwa struma mempengaruhi sebanyak 200 juta dari 800 juta orang yang
kekurangan yodium. Angka kejadian struma baik difusa maupun nodosa sangat
tergantung pada asupan yodium masyarakat. Pada area dengan defisiensi yodium,
prevalensi struma dapat sangat tinggi (Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW & M, Setyohadi B,
2014).
Berdasarkan Riskes Kesehatan Dasar tahun 2013 bahwa, secara nasional 77,1 persen RT
yang mengkonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 14,8 persen RT
mengkonsumsi garam dengan kandungan kurang yodium dan 8,1 persen RT
mengkonsumsi garam yang tidak mengandung yodium. Provinsi dengan proporsi RT
yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup yodium tertinggi adalah Bangka
Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih
belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beryodium untuk
semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan
cukup yodium (Balitbang Kemenkes, 2013).
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid karena terjadi penambahan jaringan kelenjar
tiroid (Nurarif, Amin Huda & Kusuma, 2015). Gambaran awal pasien struma adalah
penurunan kadar hormon tiroid menyebabkan penurunan seluruh metabolisme basal.
Penurunan metabolisme di seluruh tubuh menyebabkan achlorhydria (penurunan sekresi
asam hidroklorik/ HCI di lambung), penurunan motilitas saluran pencernaan, bradikardi,
penurunan fungsi neurologis dan penurunan produksi panas pada temperatur tubuh basal.
Kecepatan pemulihan bergantung pada jenis atau tingkat operasi, faktor risiko
manajemen nyeri dan komplikasi pasca operasi (Tarwoto, 2012). Peran perawat sangat
dibutuhkan sebagai pelaksanan keperawatan dengan memberikan asuhan keperawatan
yang komprehensif. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menulis
laporan asuhan keperawatan pada pasien dengan sturma nodusa post operasi
ismolobektomi.

4
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien dengan Struma di Rumah Sakit dr.
Soebandi Jember.

2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien Struma
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan selama memberikan asuhan
keperawatan dengan tepat
c. Mampu merumuskan rencana tindakan selama memberikan asuhan keperawatan
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan
e. Mampu melakukan evaluasi dari asuhan keperawatan yang telah diberikan

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Struma
1. Definisi Struma
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan
jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak
sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebardebar, keringat, gemetaran, bicara
jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan
hipertiroid (Smeltzer, 2013). Struma didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid.
Struma dapat meluas keruang retro sternal, dengan atau tanpa pembesaran substansial.
Karena hubungan anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring, saraf laring, superior dan
inferior, dan esophagus, pertumbuhan abnormal dapat menyebabkan berbagai sindrom
komperhensif .
2. Etiologi Struma
Struma disebabkan oleh gangguan sintesis hormone tiroid yang menginduksi
mekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga akibatnya menyebabkan
hipertrofi dan hyperplasia selfolikel tiroid dan pada akhirnya menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik, defisiensi iodin penyakit otoimun dan
penyakit nodular juga dapat menyebabkan struma walaupun dengan mekanisme yang
berbeda. Bentuk goitrous tiroiditis hashimoto terjadi karena defek yang didapat pada
hormone sintesis, yang mengarah ke peningkatan kadar TSH dan konsuekensinya efek
pertumbuhan (Tarwoto, 2012).

Beberapa teori menjelaskan adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon


tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain:
a. Defisiensi yodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia seperti substansi dalam kol, lobak,
kacang kedelai
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan misalnya: thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium.

6
Penyebab kelainan ini bermacam-macam, pada setiap orang dapat dijumpai masa
karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa pubertas, pertumbuhan,
menstruasi, kehamilan, laktasi, monopouse, infeksi atau stres lain. Pada masa -masa
tersebut dapat dijumpai hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid (Braverman,, L.E.,
Pearce, E.N., Leung, 2010). Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar
tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah
di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia .

3. Klsifikasi dan karakteristik Struma


a. Klasifikasi secara fisiologik
1) Eutiroid
Keadaan dimana fungsi kelenjar tiroid berfungsi secara normal, meskipun
pemeriksaan kelenjar tiroid menunjukkan kelainan, gejala yang terjadi jika
seseorang sakit, mengalami kekurangan gizi atau telah menjalani pembedahan,
maka hormon tiroid T4 tidak diubah menjadi T3. Akan tertimbun sejumlah
besar hormone T3, yang merupakan hormon tiroid dalam bentuk tidak aktif.
Meskipun T4 tidak diubah menjadi T3, tetapi keenjar tiroid tetap berfungsi dan
mengendalikan metabolisme tubuh secara normal (Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW & M, Setyohadi B, 2014).

2) Hipotiroid
Keadaan dimana terjadi kekurangan hormon tiroid yang dimanifestasikan oleh
adanya metabolisme tubuh yang lambat karena menurunnya konsumsi oksigen
oleh jaringan dan adanya perubahan personaliti yang jelas. Pasien dengan
hipotiroi mempunyai sedikit jumlah hormon tiroid sehingga tidak mampu
menjaga fungsi tubuh secara normal. Penyebab umumnya adalah penyakit
autoimun, operasi pengangkatan tiroid, dan terapi radiasi (Tarwoto, 2012).

3) Hipertiroid
Suatu keadaan atau gambaran klinis akibat produksi hormon tiroid yang
berlebihan oleh kelenjar tiroid yang terlalu aktif. Karena tiroid memproduksi
hormon tiroksin dan lodium, maka lodium radiaktif dalam dosis kecil dapat
digunakan untuk mengobatinya atau mengurangi intensitas fungsinya (Nurarif,
Amin Huda & Kusuma, 2015).

7
b. Klasifikasi secara klinik
1) Toksik
Pembesaran pada kelenjar tiroid yang berisi nodul dengan sel-sel autonom
sehingga menyebabkan hipertiroidisme.

2) Non toksik
Pembesaran kelenjar tiroid karena adanya nodul yang tidak disertai gejala
hipertiroidisme .

4. Patofisiologi
Pembentukan hormon tiroid membutuhkan unsur yodium dan stimulasi dari TSH.
Salah satu penyebab paling sering terjadi penyakit gondok karena kekurangan
yodium. Aktivitas utama dari kelenjar tiroid adalah untuk berkonsentrasi dalam
pengambilan yodium dari darah untuk membuat hormon tiroid. Kelenjar tersebut tidak
cukup membuat hormon tiroid jika tidak memiliki cukup yodium. Oleh karena itu,
dengan defisiensi yodium individu akan menjadi hipotiroid. Kekurangan hormon
tiroid (hipotiroid) tubuh akan berkompensasi terhadap pembesaran tiroid, hal ini juga
merupakan proses adaptasi terhadap defisiensi hormon tiroid. Namun demikian
pembesaran dapat terjadi sebagai respon meningkatnya sekresi pituitari yaitu TSH
(Tarwoto, 2012).

5. Manifestasi klinis
Beberapa manifestasi dari struma sebagai berikut (Tarwoto, 2012):
a. Adanya pembesaran kelenjar tiroid
b. Pembesaran kelenjar limfe
c. Nyeri tekan pada kelenjar tiroid
d. Kesulitan menelan
e. Kesulitan bernafas
f. Kesulitan dalam bicara
g. Gangguan bodi image

6. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari struma (Smeltzer, 2013) meliputi:
a. Penyakit jantung hipertiroid

8
Gangguan pada jantung terjadi akibat dari rangsangan berlebihan pada jantung
oleh hormone tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung meningkat dan
terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika menghebat. Pada pasien yang
berumur diatas 50 tahun, akan lebih cenderung mendapat komplikasi payah
jantung.

b. Ovtalmopati graves
Ovtalmopati graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan diplopa, aliran
air mata yang berlebihan, dan peningkatan foto fobia dapat mengganggu kualitas
hidup pasien sehingga akan aktifitas rutin pasien terganggu.

c. Dermopati Graves
Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit dibagian atas tibia
bagian bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan glikosaminoglikans. Kulit
sangat menebal dan tidak dapat dicubit.

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang penyakit struma (Lina, 2010) meliputi:
a. Pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan dengan radioisotop untuk mengetahui
ukuran, lokasi dan fungsi tiroid, melalui hasil tangkapan yodium radioaktif oleh
kelenjar tiroid.
b. Pemeriksaan ultraspnografi (USG), mengetahui keadaan nodul kelenjar tiroid
misalnya keadaan padat atau cair, adanya kista, tiroiditis.
c. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) yaitu dengan melakukan aspirasi
menggunakan jarum suntik halus nomor 22-27, sehingga rasa nyeri dapat
dikurangi dan relative lebih aman. Namun demikian kelemahan dari pemeriksaan
ini adalah menghasilkan negative atau positif palsu.
d. Pemeriksaan T3, T4, TSH, untuk mengetahui hiperfungsi atau hipofungsi kelenjar
tiroid atau hipofisis.
e. Termografi, yaitu dengan mengukur suhu kulit pada daerah tertentu,
menggunakan alat yang disebut Dynamic Tele Thermography. Hasilnya keadaan
panas apabila selisih suhu dengan daerah sekitar > 0.9 derajat, dan dingin apabila
< 0.9 derajat. Sebagian besar keganasan tiroid pada suhu panas (Tarwoto, 2012).

9
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit struma dilakukan berdasarkan ukuran struma, semakin
besar ukuran struma maka akan menimbulkan banyak keluhan, terdapat beberapa
penatalaksanaan (Sjattar Lilianty Elly, 2018) meliputi:

a. Pengobatan
Pasien dengan satu atau lebih nodul tiroid yang mengalami hipertiroid diberikan
obat anti tiroid.

b. Terapi radioiodine
Merupakan terapi alternatif untuk single toxic adenoma atau toxic multinodular
goiter. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mempertahankan fungsi dari jaringan
tiroid normal. Radioiodine juga digunakan untuk mengurangi volume nodul pada
nontoksik multinodular goiter.

c. Pembedahan
Tujuan pembedahan adalah untuk mengurangi massa fungsional pada
hipertiroid, mengurangi penekanan pada esophagus dan trakhea, mengurangi
ekspansi pada tumor atau keganasan (Tarwoto, 2012). Pembedahan yang
dilakukan pada kasus struma antara lain pembedahan tiroidektomi.

Tiroidektomi secara umum merupakan tindakan bedah yang cukup aman.


Persiapan praoperasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi pada angka
yang sangat kecil. Kurang dari 2-3 persen. Komplikasi terbanyak adalah cedera
nervus rekuren dan hipoparatiroid permanen meskipun hematom pasca
tiroidektomi relatif jarang terjadi komplikasi ini sangat serius dan dapat
berakibat fatal. Insiden hematom pasca tiroidektomi dilaporkan antara 0,1 sampai
1,1 persen.

Kunci untuk meningkatkan keberhasilan dari penanganan tiroid sampai saat ini
adalah pemahaman yang seksama terhadap fisiologi dan anatomi dari kelenjar
tiroid. Perkembangan besar dalam teknik dan instrumentasi pembedahan serta
kemajuan antisepsis dan teknik anestesi juga penting. Ketika tiroidektomi aman
untuk dikerjakan, komplikasi spesifik dari tindakan ini harus dapat diketahui,
termasuk mencegah perlukaan nervus rekuren laringeus dan menghindari
kecelakaan atau pengangkatan kelenjar 2 paratiroid. Teknik pembedahan yang
berkembang saat ini berdasar pada prinsip sama, yakni melakukan diseksi kapsul

10
cukup luas dengan meminimalkan diseksi terhadap nervusrekuren laringeus dan
preservasi suplai darah ke kelenjar paratiroid.

Ukuran struma merupakan salah satu faktor resiko dari komplikasi operasi
tiroidektomi. Hipertiroidism dan ukuran tumor merupakan dua faktor yang akan
saling menguatkan resiko yang lebih sedikit dibandingkan struma toksik atau
karsinoma tiroid. Komplikasi tiroidektomi total pada struma multi nodul berkisar
1%. Resiko komplikasi tidak menghalangi ahli bedah untuk melakukan tindakan
tiroidektomi total bilamana diperlukan.

Komplikasi tersering terjadi pada operasi tiroid adalah paralisis nervus rekuren
laringeus, hipoparatiroidism dan perdarahan pasca operasi. Studi terhadap
tiroidektomi total pada tumor jinak akhir-akhir ini melaporkan kejadian paralisis
nervus rekuren laringeus berkisar antara 0,3-1,7% dan hipoparatiroidism
permanen berkisar 0,7-3%. Kegagalan identifikasi nervus rekuren laringeus
meningkatkan resiko terjadi kerusakan terhadapnya, Implantasi potongan
kelenjar paratiroid kedalam otot sebagian besar diterima sebagai langkah efektif untuk
menghindari hipoparatiroid berkepanjangan (Smeltzer, 2013).

Timbulnya paresis korda vokalis kanan pada pasien ini dapat disebabkan oleh
karena trauma terhadap nervus laringeus superior. Tindakan operasi yang
dikerjakan oleh operator yang belum berpengalaman dan dalam proses
pendidikan, memungkinkan terjadinya resiko operasi lebih tinggi dibandingkan
mereka yang sudah cukup berpengalaman dan melakukan teknik operasi lebih
baik.

Komplikasi dapat dikurangi dengan melakukan kontrol perdarahan dan


pengalaman dalam manajemen masalah trakea. Pengalaman operator sangat
penting untuk mendapatkan hasil operasi yang baik dan mengurangi terjadinya
operasi. Perdarahan terjadi karena teknik operasi atau gangguan metabolik.
Kejadian perdarahan lebih tinggi pada hipertiroidism, yang menggambarkan
adanya vaskularikasi yang lebih besar pada struma tersebut. Komplikasi primer
berhubungan dengan penyakit tiroid terdiri dari perlukaan nervus rekuren
laringeus, hipoparatiroidi dan perdarahan pasca operasi. Komplikasi yang kurang
tampak adalah badai tiroid, infeksi, symphatic nerve injury. Perdarahan pasca
operasi merupakan komplikasi yang sering terjadi.

11
Perdarahan pasca operasi yang terjadi diakibatkan oleh karena terlepasnya ligasi
dari cabang vena jugularis anterior kiri. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyebutkan etiologi perdarahan pasca tiroidektomi bisa terdiri dari (Louis,
2011):
1) Terlepasnya ikatan pembuluh darah
2) Terbukanya pembuluh darah vena yang dikauter
3) Muntah
4) Manuver valsavah
5) Peningkatan tekanan darah selama fase pemulihan

B. Tiroidektomi
1. Definisi Tiroidektomi
Tiroid adalah kelenjar yang ada di bagian bawah leher, tepat di bawah kotak suara.
Kelenjar yang berbentuk seperti kupu-kupu ini berfungsi untuk mengatur proses
metabolisme dan fisiologi. Apabila terjadi gangguan pada tiroid, salah satu
pengobatan yang dapat dilakukan adalah reseksi kelenjar tiroid atau tiroidektomi.
Prosedur tiroidektom bertujuan mengangkat kelenjar tiro id supaya gangguan tiroid
dapat disembuhkan atau tidak memburuk, misalnya pembesaran tiroid,
hipertiroidisme (Smith PW, Salomone LJ, 2012).
2 Anatomi
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus (kiri dan kanan) dihubungkan melalui isthmus, dan
kadang-kadang terdapat lobus piramidalis, berwarna coklat terang, kenyal. Lokasinya
terdapat pada anterior leher, vertebra CV-TI, berat 15-20g, panjang 4-5cm, lebar 2cm,
tebal 2-4cm. Tebal isthmus 2-6 mm. Dikelilingi dua kapsul, yaitu true capsule dan false
capsule (perithyroid sheath, surgical capsule). Pada sisi posterior melekat erat pada
trakea dan laring (Ligamentum suspensorium dari Berry).

12
Struktur Penting
a. Ventral: platysma, false capsule, m.sternotiroid, m.sternohyoid
b. Strap muscles (sternotiroid, sternohyoid, omohyoid, thyrohyoid)
c. Superior: kartilago tiroid
d. Posterolateral: carotid sheath dan m.sternocleidomastoid
e. Posterior: menempel dengan membrana cricotiroid dan cartilago cricoid melalui
Ligamentum of Berry.
f. Kelenjar paratiroid (4 buah) yang terletak di posterolateral superior dan inferior. Di
superior terletak di antara true dan false capsule setinggi cartilago cricoid. Di inferior
terletak anterior dari n.laryangeus reccurens
g. Fascia superficialis dan deep fascia.

Organ-Organ Berdekatan :
a. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, N.rekuren laringeus dan
esofagus.
b. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangN.rekuren laringeus terletak
pada sulkus trakeo-esofagus.
c. Pada sisi posterior melekat erat pada trakea dan laring (Ligamentum suspensorium
dari Berry).
d. Ekstensi posterior dari tiap lobus berupaTubercles of Zuckerkandl, sangat penting,
karena berhubungan dengan N. rekuren larungeus.

13
Kompartemen Fascia
a. Superficial Fascia : membungkus platysma.
b. Deep Cervical Fascia :
1) Superficial (Anterior or Investing) Layer : membungkus otot trapezius dan
sternocleidomasteodeus (SCM), strap (infrahyoid) muscles.
2) Pretracheal (Middle) Layer : membungkus glandula Tiroid & trachea. Vasa
yang mensuplai tiroid berada profunda dari fascia ini.
3) Prevertebral (Posterior) Layer

Strap Muscle
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid ditutupi otot pretrakealis (m.sternohyoid dan
m.sternotiroid) kanan dan kiri yang bertemu padamidline, otot ini diinervasi oleh cabang
akhir nervus kranialis hipoglossus desendens dan yang kaudal oleh ansa hipoglossi.

14
Vaskularisasi
Vaskularisasi arteri tiroid dibagi menjadi tiga, yaitu :
1) A. tiroidea superior cabang dari a.karotis eksterna dan memberi darah sebesar 15-
20%. Sebelum mencapai kelenjar tiroid, bercabang dua menjadi ramus ventral yang
akan beranastomose dengan arteri yang sama dari pihak lain dan ramus dorsal, yang
akan beranastomose dengan ramus ascendens a.tiroidea inferior. Berdekatan dengan
cabang eksterna n. laryngeus superior.
2) A. tiroidea inferior lanjutan dari trunkus tiroservikalis yang berasal dari a.subklavia,
dan memberikan darah paling banyak yaitu 76-78%. Tepat pada kutub kaudal kelenjar
tiroid, arteri akan bercabang dua yaitu ramus anterior dan ramus posterior yang
beranastomose dg cabang a.tiroidea superior.
3) A.tiroidea ima (1,5-2,2%), arteri ini berjalan kearah isthmus, merupakan percabangan
dari a.brakiosefalika / anonyma(2%), atau dari arkus aorta (0,36%) atau arteri
mamaria interna dan memberi darah 1-2%. Arteri ini tidak selalu ada, kalau ada
kadang cukup besar sehingga bisa membahayakan pada waktu trakeostomi.
Suplai tambahan dapat dari : ascending cervical artery, tracheal, pharyngeal, dan
esophageal branches, dan arteri laryngeal inferior yang menyertai N. rekuren laryngeus.

Vaskularisasi Vena
Drainase vena dari kelenjar tiroid berawal dari pleksus venosus yang kemudian
bergabung menjadi tiga percabangan yaitu :
1) V.tiroidea superior yang menuju ke vena jugularis interna atau vena fasialis,
2) V.tiroidea media ke vena jugularis interna,
3) V.tiroidea inferior ke vena brakiosefalika/ anonyma.

15
Pembuluh Limfe
1) Tiroid mempunyai jaringan saluran getah bening yang menuju KGB di daerah laring
diatas isthmus (Delphian node), KGB paratrakeal dekat n.rekuren, KGB bagian depan
trakea.
2) Dan dari kelenjar tersebut bergabung alirannya diteruskan ke KGB rantai jugular.

Kelenjar Paratiroid
Berwarna kekuning-kuningan, dengan diameter 4-7mm, mirip jaringan lemak,
biasanya ditemukan 4 buah, dua buah dikutub atas tiroid dan dua buah dikutub bawah,
berat keseluruhan 120-140mgr. Untuk membedakan dengan lemak, di samping lokasi
yang menempel pada kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid mempunyai massa jenis yang
lebih besar diandingkan dengan lemak, sehingga apabila dimasukkan ke dalam air,
kelenjar paratiroid akan tenggelam.
Suplai darah paling sering dari a. tiroidea inferior. Drainase vena melalui vena
tiroidea superior, media, & inferior. Bila vaskularisasi terganggu, dapat dilakukan
autograft kedalam m. sternocleidomastoideus, strap muscles atau lengan bawah.

16
2. Jenis-Jenis tiroidektomi
Tiroidektomi dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti:
a. Lobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus dari kelenjar tiroid
b. Tiroidektomi subtotal, yaitu pengangkatan tiroid sebagian
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh bagian tiroid

3. Indikasi Tiroidektomi
Tiroidektomi biasanya disarankan bagi pasien yang mengalami kondisi seperti
Hipertiroidisme, suatu kondisi di mana kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid
dalam jumlah berlebih. Namun, prosedur ini hanya dilakukan bila pasien memiliki
alergi obat dan menolak terapi iodin radioaktif (Smith PW, Salomone LJ, 2012).
Tiroidektomi juga sebaiknya dilakukan jika hipertiroidisme disebabkan oleh nodul
beracun. Kanker tiroid, yang memerlukan tiroidektomi dilakukan untuk mencegah
penyebaran sel kanker ke bagian tubuh lain.

17
Tiroidektomi memiliki tingkat keberhasilan yang sangat tinggi, dengan tingkat
kematian yang sangat rendah. Setelah prosedur, pasien harus menginap di rumah
sakit selama beberapa hari. Pasien biasanya dapat kembali beraktivitas seperti
biasa setelah beberapa minggu. Kadar kalsium pasien akan diawasi dan pasien
mungkin perlu menjalani terapi penggantian hormon, tergantung pada jenis
tiroidektomi (total atau sebagian).

4. Prosedur Tiroidektomi
Secara sederhana prosedur tindakan tiroidektomi adalah membuat sayatan di
tengah leher. Lalu, dokter bedah akan mencari kelenjar tiroid serta memastikan
kelenjar paratiroid dan saraf di sekitarnya tidak rusak. Pembulu h darah akan diikat,
lalu sebagian atau seluruh bagian tiroid akan diangkat. Apabila menggunakan
teknik minim invasif, dokter bedah akan membuat 3-4 sayatan kecil di leher. Alat
bedah kecil yang dilengkapi kamera akan dimasukkan melalui sayatan untuk
mengangkat tiroid. Teknik ini dapat mengurangi nyeri pasca bedah, pendarahan,
dan waktu pemulihan (Lang, 2010). Sebelum sayatan ditutup, sebuah tabung
drainase akan dimasukkan untuk mencegah akumulasi cairan. Lalu, sayatan akan
ditutup dengan jahitan.

5. Komplikasi dan Resiko Tiroidektomi


Pasien akan diberitahu tentang komplikasi yang dapat terjadi selama pembedahan,
seperti pendarahan atau infeksi. Tindakan anestesi juga mungkin menyebabkan
efek samping yang tak diinginkan. Segera setelah tiroidektomi, pasien akan
merasakan sakit di leher dan suaranya menjadi serak. Ini terjadi karena dokter
bedah memasukkan tabung ke trakea (Lang, 2010). Namun, dua kondisi ini
biasanya akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari.

Walaupun dokter bedah sangat berhati-hati dalam melakukan tiroidektomi, tetap ada
kemungkinan kecil bahwa akan terjadi cedera pada kelenjar paratiroid, pembuluh
darah, dan saraf di sekitar tiroid. Setelah tiroidektomi, kadar kalsium pasien akan
diawasi untuk mengetahui apakah ada kerusakan pada kelenjar paratiroid. Pasien juga
dapat mengalami cedera pada saraf laring. Cedera ini dapat membuat pita suara rusak,
sehingga pasien tidak dapat berbicara. Apabila timbul abses di leher, cairannya perlu
dikeluarkan dan diberi antibiotic.

18
Kemungkinan komplikasi lainnya adalah hematoma, yaitu kondisi menumpuknya
darah di bagian leher tertentu. Staf medis perlu memastikan bahwa hematoma tidak
membesar atau menimbulkan pendarahan, karena komplikasi ini merupakan kondisi
gawat darurat. Walaupun jarang, pasien juga dapat mengalami krisis tiroid
(thyrotoxic storm) setelah pembedahan (Smith PW, Salomone LJ, 2012). Gejala
kondisi ini dapat berupa hipertermia, takikirdia, mual, dan perubahan status
mental. Komplikasi ini sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan koma atau
kematian

19
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
a. Nama Pasien : Ny. S
b. Tgl lahir/ Umur : 49 th
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : SMP
e. Alamat : Jember
f. No CM : 272183
g. Diagnosa Medis : Struma Multinodusa

2. Pre Operasi
a. Keluhan utama : Terdapat benjolan di leher sebelah kanan ukuran
kurang lebih 8 cm
b. Riwayat penyakit : DM Asma HT √ Tidak ada
c. Riwayat operasi : ada, √ Tidak ada
d. Riwayat alergi : ada, sebutkan …………….. √ Tidak ada
e. Jenis operasi : Besar
f. TTV : Suhu 36,2 0C, Nadi 72x/mnt, Respirasi 19x/mnt,
TD 109/63 mmHg.
g. ASA :2

Riwayat Psikososial/Spiritual
h. Status emosional :
√ Tenang □Bingung □ Kooperatif □ Tidak kooperatif □Menangis

i. Tingkat kecemasan :
□ Tidak cemas √ Cemas

j. Skala kecemasan
□ 0 = Tidak cemas
√ 1 = Mengungkapkan kerisauan .
□ 2 = tingkat perhatian tinggi

20
□ 3 = kerisauan tidak berfokus
□ 4 = respon simpati-adrenal
□ 5 = panik

k. Skala nyeri menurut VAS (visual analog scale) : Nyeri sedang (5)

l. Pemeriksaan head to toe secara prioritas


Normal
Bagian Jika tidak, jelaskan
Ya Tidak
Kepala √
Leher √ Terdapat benjolan di leher sebelah kanan
±8 cm
Dada √

Abdomen √

Genitalia √

Integument √

Ekstremitas √

3. Intra Operasi
a. Anestesi dimulai jam : 09.50 wib
b. Pembedahan dimulai jam : 10.15 wib
c. Jenis anestesi : General anestesi
d. Posisi operasi : Supine
e. Catatan anestesi : Pasien ASA 1
f. Pemasangan alat-alat : EKG, Oksimetri, Oksigen

g. TTV : Suhu 36 0C, Nadi 69 x/mnt teraba kuat,


RR 23 x/mnt spontan, TD 117/74 mmHg,
Saturasi O2 99%.
4. Post Operasi
a. Pasien pindah ke : RR, Jam 12.00 WIB
b. Keluhan saat di RR : Menggigil
c. Keadaan umum : Sedang

d. TTV : Suhu 36 0C , Nadi 76 x/mnt, TD 127/81 mmHg,


RR 22 x/mnt

e. Kesadaran : Somnolen

21
B. Diagnosa Keperawatan, Intervensi dan Implementasi pada Struma
Rencana Keperawatan
No Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
1 Dx. Nyeri b.d NOC: 1. Kaji tingkat nyeri
hyperplasia kelenjar - Pain Level, pasien
tiroid - Pain control, 2. Ajarkan penggunaan
- Comfort level teknik manajemen
DS : Pasien mengatakan Setelah dilakukan nyeri (latihan nafas
“nyeri pada benjolan di tinfakan keperawatan dalam, imajinasi visual,
leher, terutama ketika selama 1x 30 menit doa)
menelan” nyeri pasien berkurang, 3. Kontrol lingkungan
dengan kriteria hasil: yang mempengaruhi
DO : pasien
- Ekspresi wajah pasien - Mampu mengontrol 4. Observasi reaaksi
terlihat meringis nyeri (tahu nonverbal dari
- Pasien tampak penyebab nyeri, ketidaknyamanan
memegang benjolan mampu 5. Evaluasi TTV
pada leher menggunakan tehnik
- Skala nyeri 5 nonfarmakologi untuk
- Nyeri dirasa seperti mengurangi nyeri,
tertekan mencari bantuan)
- Muncul nyeri ketika - Melaporkan bahwa
menelan nyeri berkurang
dengan menggunakan
manajemen nyeri
- Mampu mengenali
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
- Tanda vital dalam
rentang normal

2 Dx: Cemas b.d NOC: 1. BHSP


interpretasi yang salah - Kontrol kecemasan 2. Gunakan komunikasi
dengan prosedur - Koping afektif terapeutik
pembedahan Setelah dilakukan 3. Tanyakan penyebab
asuhan selama 1x30 menit cemas
DS : Pasien mengatakan klien kecemasan teratasi 4. Beri kesempatan pasien
“saya takut karrna dgn kriteria hasil: untuk bertanya
pertama kali dilakukan 5. Kenalkan pasien pada
operasi ” - Klien mampu lingkungan kamar
mengidentifikasi dan operasi
DO : mengungkapkan gejala 6. Anjurkan pasien untuk
- Ekspresi wajah pasien cemas berdoa
tegang - Mengidentifikasi,

20
- Pasien tidak berfokus mengungkapkan dan
pada pertanyaan menunjukkan tehnik
perawat untuk mengontrol
- Pasien terus cemas
menanyakan apakah - Vital sign dalam
operasi akan berhasil batas normal
dan akan sembuh - Postur tubuh,
- Verbalisasi pasien ekspresi wajah,
meningkat bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
3 Dx: gangguan body NOC: 1. Diskusikan dengan
image b.d involusi - Body image klien mengenai
kelenjar tiroid - Self esteem bagaimana proses
Setelah dilakukan penyakit dan
DS : Pasien mengatakan tindakan keperawatan
“saya malu karena pengaruhnya
selama 1x30 menit 2. Kaji kesulitan yang
terdapat benjolan di gangguan body image
leher” dialami pasien
pasien teratasi dengan
kriteria hasil: 3. Berikan support pada
DO : pasien dalam
- Terdapat benjolan di - Body image positif
melakukan pengobatan
leher sebelah kanan - Mampu
- Pasien terlihat ingin mengidentifikasi
menutupi benjolan kekuatan personal
yang ada di lehernya - Mendiskripsikan secara
- Usia pasien 20 th faktual perubahan
fungsi tubuh
- Mempertahankan
interaksi sosial
Intra Operasi
1 Dx: Resiko hipotermi b.d NOC: 1. Gunakan alat
tindakan perioperatif - Kontrol hipotermi thermoregulator yang
Setelah dilakukan diperlukan
DS: - tindakan keperawatan 2. Monitor temperature
selama 1x 2 jamresiko tubuh pasien
DO: hipotermi pasien teratasi 3. Evaluasi respon
- Kulit pasien teraba dengan kriteria hasil: terhadap thermoregulasi
dingin
- Kondisi suhu dikamar - Suhu tubuh dalam batas
operasi 19 0C normal
- Pasien menggunakan - TTV dalam batas normal
selimut untuk - Tidak terjadi nyeri otot
menutupi bagian - Berkeringat saat dalam
ekstremitas kondisi suhu yang panas
- Tindakan operasi ±2
jam

21
2 Dx: Resiko cidera Noc : 1. Gunakan alat pelindung
positioning b.d tindakan - Cidera positioning tidak maksimal untuk
perioperatif terjadi mencegah cidera akibat
listrik, laser, radiasi
Setelah dilakukan
DS: - 2. Catat alat yang tertanam
tindakan
selama prosedur
keperawatan selama
DO: invasive
1x 2 jam resiko
- Posisi supine selama 3. Evaluasi adanya
cidera positioning
kurang lebih 2 jam tanda/gejala cidera laser,
pasien teratasi
- Punggung pasien listrik, radiasi
dengan kriteria hasil:
diganjal dengan rol
punggung - Kesadaran dalam batas
- Terpasang ESUpasive normal
di betis kiri - Gerak motoric dalam batas
normal
- Vital sign dalam rentang
normal
- Tidak ada sakit kepala
Post Operasi
1 Dx: Resiko Noc : 1. Pantau TTV, frekuensi
ketidakefektifan bersihan - Respiratory status : pernafasan pasien
jalan nafas b.d obstruksi Ventilation 2. Kaji adanya dipsnea dan
trakea, pembengkakan - Respiratory status : sianosis, perhatikan
dan spasme laringeal Airway patency kualitas suara
- Aspiration Control 3. Bantu dalam perubahan
DS : - Setelah dilakukan posisi dan latihan nafas
tindakan keperawatan dalam
DO : selama 1x3 jam pasien 4. Lakukan pengisapan
- Terdapat luka post menunjukkan resiko lender pada mulut sesuai
operasi (panjang luka keefektifan jalan nafas indikasi
operasi ±10cm) dibuktikan dengan 5. Kaji kesulitan menelan
- Suhu 36 0C , Nadi 76 kriteria hasil : dan penumpukan sekresi
x/mnt, TD 127/81 oral
mmHg, RR 22 x/mnt - Mendemonstrasikan 6. Observasi pasien untuk
- Pasien dalam batuk efektif dan menghindari ikatan pada
pengaruh general suara nafas yang leher
anestesi bersih, tidak ada
- Pasien terpasang sianosis dan dyspneu
drainage no.12 (mampu
mengeluarkan
sputum, bernafas
dengan mudah, tidak
ada pursed lips)
- Menunjukkan jalan
nafas yang paten
(klien tidak merasa
tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan
dalam rentang

22
normal, tidak ada
suara nafas
abnormal)
- Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah
faktor yang
penyebab.
- Saturasi O2 dalam
batas normal

2 Dx: Risiko gangguan NOC : 1. Kaji fungsi bicara secara


komunikasi verbal b.d - Anxiety self control periodic
cidera pita suara atau - Coping 2. Pertahankan komunikasi
kerusakan laring, edema - Sensory function: hearing yang sederhana
jaringan & vision 3. Antisipasi kebutuhan
- Fear sef control pasien sebaik mungkin
DS : - Setelah dilakukan 4. Kunjungi pasien seara
tindakan keperawatan teratur
DO : selama 1x3 jam pasien
- Keadaan umum: menunjukkan
sedang komunikasi yang baik
- Suhu 36 0C , Nadi 76 dibuktikan dengan
x/mnt, TD 127/81 kriteria hasil :
mmHg, RR 22 x/mnt
- Pasien kesulita bicara - Komunikasi: penerimaan,
intrepretasi dan ekspresi
pesan lisan, tulisan, dan
non verbal meningkat
- Komunikasi ekspresif
(kesulitan berbicara) :
ekspresi pesan verbal dan
atau non verbal yang
bermakna
- Komunikasi reseptif
(kesutitan mendengar) :
penerimaan komunikasi
dan intrepretasi pesan
verbal dan/atau non verbal
- Gerakan Terkoordinasi :
mampu mengkoordinasi
gerakan dalam
menggunakan isyarat
- Pengolahan informasi :
klien mampu untuk
memperoleh, mengatur, dan
menggunakan informasi

23
- Mampu mengontrol respon
ketakutan dan kecemasan
terhadap ketidakmampuan
berbicara
- Mampu memanajemen
kemampuan fisik yang di
miliki
- Mampu
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan sosial

26
BAB 4
INSTRUMENT TEKHNIK DAN OPERATING TEKHNIK INTRAOPERATIF

A. TEAM OPERASI
Operator :
1. dr. Samsul Sp.B
Asisten :
1. B.ien
2. Fajar
Instrument :
1. Resa Novana Dj
Sirkulator Nurse :
1. Tino
2. Dedy

B. SET RUANGAN
1. SET RUANGAN
SET RUANGAN JUMLAH
MEJA OPERASI 1
MEJA MAYO 1
MEJA BESAR 1
SUHU RUANGAN 18-220C
KELEMBAPAN RUANGAN 60%
SUCTION 1
ESU 1
MESIN ANESTESI 1
PAPAN TULIS 1
LAMPU OPERASI 2
TEMPAT SAMPAH 2

2. DESINFEKSI
DESINFEKSI JUMLAH
POVIDONE IODINE 10% ±35 CC

27
3. DRAPING
BAHAN JUMLAH
DOEK STERIL
1. Doek Besar 2 Buah
2. Doek Kecil 5 Buah
3. Kertas 2 Buah

4. GOWNING
BAHAN JUMLAH
GOWNING 4 BUAH

5. GLOVING
JENIS/UKURAN JUMLAH
GLOVING
1. DOBLE GLOVE 7 1
2. DOBLE GLOVE 7.5 2
3. DOBLE GLOVE 6,5 1

6. SET INSTRUMEN
NO JENIS/UKURAN JUMLAH
1 Dressing Forceps 1
2 Towel Forcep 6
3 Krom klem bengkok 7
4 Krom klem lurus 3
5 Scalpel handle no 3 1
6 Dissecting Chirurgische Forceps 14 cm 1
7 Dissecting Chirurgische Forceps 20 cm 1
8 Dissecting Anatomische Forceps 14 cm 1
9 Dissecting Anatomische Forceps 20 cm 1
10 Dissecting Scissors Metzemboum 1
11 Gunting kasar 1
12 Gunting benang 1
13 Nald Fouder 2
14 Kocker 2
28
15 Kloe hak 2
16 Langen beck 2
17 Kanul sction kecil 1
18 Cucing 2
19 Bengkok 1

7. BAHAN HABIS PAKAI


NO JENIS/UKURAN JUMLAH
1 Scalpel Blader No 10 1
2 ALkohol 10% 20 cc
3 Povidone Iodine 10 % 20 cc
4 Nacl 0,9% 500ml
5 Kassa 60
6 Benang side 2-0 cutting 1
7 Benang side 2-0 no needle 1
8 Benang side 3-0 no needle 3
9 Benang vicryl 3-0 2
10 Benang T-Nylon 3-0 2
11 Underpad 1
12 Connecting 1
13 Pen diatermi 1
14 Drain 12 1
15 Spongostan 1
16 Bactigras 1

29
8. TEKNIK OPERASI
1. Posisi penderita telentang, leher ekstensi dg ganjal bantal dibawah pundak penderita,
posisi meja sedikit “head up”, dg sudut 20 derajat (reverse Trendelenburg).
2. Kepala diletakkan diatas donut baloon, yakinkan posisi dagu sejajar dg long axis
tubuh pada garis median.

3. Desinfeksi lapangan operasi dengan batas lateral: tepi depan m.trapezius, batas atas:
bibir bawah, batas bawah: kosta 3.
4. Dibuat marker untuk insisi dg menggunakan silk 2-0 pada lipatan kulit leher ± 2 jari
diatas sternal notch (atau 1 cm dibawah kartilago krikoid), memanjang sampai ke
tepi anterior sternokleidomastoid.

5. Insisi kulit, subkutis dan platysma, sekaligus menjadi satu flap, untuk mencegah
perdarahan, edema, dan perlengketan pasca operasi.

30
6. Klem lurus pada dermis untuk traksi. Pertama kali flap atas. Diseksi dapat
dikerjakan secara tumpul, atau secara tajam menggunakan kauter atau skalpel.

7. Diseksi tumpul dengan jari atau kassa pada batas platysma dengan loose areolar
tissue dibawahnya, tepat superfisial dari vena jugularis anterior. Diseksi dilakukan ke
arah kaudal (sampai sternal notch) dan kranial (sampai terlihat cartilago tiroidea) dan
dibuat flap yang difiksasi ke kain drapping.
8. Insisi fascia coli superficialis secara vertikal pada garis tengah strap muscle hingga
batas bawah sampai level
sternal notch, batas atasnya
sampai cartilago tiroid.

31
9. Diseksi tumpul pertengahan strap muscles sampai fascia colli profunda.

10. Strap muscle (m.sternohyoid dan


m.sternotiroid) diretraksi ke kiri dan ke
kanan.
11. Dilakukan pemisahan kelenjar tiroid pada
cleavage plane (antara kel.tiroid dengan
m.sternokleidomastoideus).

12. Pada tumor yang besar dapat dilakukan pemotongan strap muscle secara horizontal
di 1/3 proksimalnya (seproksimal mungkin) setelah sebelumnya v.jugularis anterior
diligasi.

32
13. Dilakukan diseksi tumpul dan tajam mulai dari tiroid di bagian tengah dengan
mengidentifikasi v.tiroid media.

14. Vena tiroid media diligasi dan dipotong.


15. Profunda dari vena ini, kelenjar. Paratiroid & RLN dapat diidentifikasi.

33
16. Diseksi dilanjutkan ke pool bawah dengan mengidentifikasi arteri dan vena tiroidea
inferior, juga harus diidentifikasi dan preservasi n.rekuren laringeus yang terletak di
daerah sulkus trakeo-esofageal, umumnya berjalan di antara bifurcatio arteri
tiroidalis inferior.
17. Ligasi a. tiroidea inferior distal dari suplai ke paratiroid.

18. Vena tiroidea inferior pada pool bawah tiroid diligasi dengang silk 2/0 pada 2
tempat dan dipotong diantaranya.
19. Untuk melakukan subtotal lobektomi maka dengan menggunakan klem lurus dibuat
‘markering’ pada jar tiroid diatas n.rekuren dan kel.paratiroid atas bawah dan
jaringan tiroid disisakan sebesar satu ruas jari kelingking penderita (± 6-8 gram).

34
20. Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior pada pool atas tiroid, kemudian dibuat
2 (3) ligasi pada pembuluh darah tadi dan dipotong diantaranya, yang diligasi betul-
betul hanya pembuluh darah saja.
21. Untuk hindari cedera n. laringeus superior : hindari kauter & diseksi dari medial ke
lateral.
22. Kelenjar paratiroid dilepaskan dari kel.tiroid, sambil dipreservasi arteri yang
memperdarahinya.
23. Diseksi dilanjutkan kearah isthmus (pada cleavage plane), ligamentum Berry dan
isthmus diklem dan dipotong.
24. Perhatian : a & v kecil (laryngeal inferior) yang biasanya menembus posterior lig.
Berry sisi cranial / pada lokasi RLN memasuki m. krikotiroid → pressure /
Gelfoam.

25. Dilakukan penjahitan “omsteking” (jahit ikat) (continuous interlocking) pada


jaringan tiroid yang diklem tadi.
26. Kontrol perdarahan, terutama dilihat pada vasa tiroidea superior.
27. Setelah klj. Tiroid terangkat → inspeksi apakah kelj. Paratiroid ikut terangkat.
35
28. Cuci dg NaCl fisiologis
29. Posisi leher dikembalikan dengan mengambil bantal dibawah pundak penderita.
30. Evaluasi ulang, rawat perdarahan.
31. Pasang drain Penrose (Shah) melalui celah pada luka atau Redon no.12 yang
ditembuskan ke kulit searah dg tepi sayatan luka operasi, kemudian difiksasi dg silk
3/0.
32. Kalau kelenjar paratiroid terambil, sebelum menutup luka operasi kelenjar
paratiroid ditanam (replantasi) pada m. SCM, strap muscles atau otot lengan bawah.
Dipotong-potong setebal 1 mm dan ditanamkan dalam kantong-kantong secara
terpisah.
33. Strap muscle diaproksimasikan dengan jahitan interrupted
34. Platysma didekatkan dan dijahit interrupted dg vicryl 2-0
35. Kulit dijahit secara subkutikular dengan benang monofilament sintetik non
absorbable 2-0
36. Luka operasi ditutup dg kassa steril.
37. Pada waktu ekstubasi, perhatikan keadaan pita suara dg melihat laring
menggunakan laringoskop, adakah parese / asimetri pada korda vokalisnya.

36
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, baik secara teoritis maupun secara tinjauan kasus
didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Diagnosa keperawatan yang berhubungan pada
pasien dengan Struma ada tujuh diagnosa keperawatan, yaitu nyeri b.d hyperplasia
kelenjar tiroid, cemas b.d interpretasi yang salah dengan prosedur pembedahan,
gangguan body image b.d involusi kelenjar tiroid, Resiko hipotermi b.d tindakan
perioperatif, Resiko cidera positioning b.d tindakan perioperative, Resiko
ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi trakea, pembengkakan dan spasme
laryngeal, Risikogangguan komunikasi verbal b.d cidera pita suara atau kerusakan laring,
edema jaringan.
Intervensi dan implementasi yang diberikan kepada pasien disesuaikan dengan kondisi
pasien saat pre, intra dan post operasi. Adapun evaluasi yang dilakukan selama
pemberian asuhan keperawatan sudah sesuai dengan intervensi yang disusun oleh
penulis.

B. Saran
1. Pasien
Diharapkan pasien dapat mengetahui cara menjaga luka operasi dan selalu
memperhatikan petunjuk dokter/perawat serta dukungan keluarga sangat penting
dalam proses penyembuhan pada pasien yang mengalami fraktur cruris.
2. Perawat
perawat maupun tim medis lainya harus terampil dalam melakukan asuhan
keperawatan perioperative dan harus memperhatikan konsep aspetik untuk mencegah
terjadinya resiko infeksi pada pasien.

37
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes.
Braverman,, L.E., Pearce, E.N., Leung, A. (2010). Role of iodine in thyroid physiology. Expert
Reviews Endocrinol Metabolism. USAn: Boston University Medical Centre.
Lang, B. (2010). Minimally invasive thyroid and parathyroid operations : surgical techniques
and pearls. Journal of Advances in Surgery, 185–198.
Lina, J. (2010). Ketepatan pemeriksaan terpadu sitologi biopsi aspirasi jarum halus (si-bajah)
dan ultrasonografi pada nodul tiroid di RSUP H. Adam Malik Medan. Thesis USU.
Louis, F. (2011). Thyroidectomy : post-operative care and common complication. Nursing
Standard.
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. (10th ed.). Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, S., & M, Setyohadi B, S. A. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta. Jakarta: Interna Publishing.
Sjattar Lilianty Elly. (2018). Asuhan keperawatan sistem endokrin. Makasar: Isam Cahaya
Indonesia.
Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Handbook For Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical-Surgical Nursing (12th ed.). Jakarta: EGC.
Smith PW, Salomone LJ, H. J. (2012). Textbook of Surgery (19th ed). Philadelphia: Elsevier
Saunders.
Tarwoto, dkk. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan sistem Endokrin. Jakarta
TransInfo Media.

38

Anda mungkin juga menyukai