Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik
a. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud
dengan karakteristik adalah ciri atau sifat yang berkemampuan untuk
memperbaiki kualitas hidup. Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau
mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Karakteristik
adalah mengacu kepada karakter dan gaya hidup seseorang serta nilainilai
yang berkembang secara teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih
konsisten dan mudah di perhatikan (Nanda, 2013). Selain itu, menurut
Supranto (2009) karakteristik adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki
oleh elemen. Elemen yang dimaksud dapat berupa manusia, hewan, kondisi
geografi dan sebagainya.
b. Karakteristik Balita (Umur)
Umur adalah lamanya seorang hidup sejak dilahirkan sampai sekarang
yang dihitung dalam tahun (Depkes RI, 2011). Umur adalah waktu atau
bertambahnya hari sejak lahir sampai akhir hidup, usia sangat mempengaruhi
seseorang semakin bertambah usia maka semakin banyak pengetahuan yang
di dapat. Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita dibagi menjadi dua
yaitu :
1) Usia Toddler (1-<3 tahun)
Pada masa ini anak masih belum dapat berbicara atau berkomunikasi
secara aktif. Jika anak ingin sesuatu, akan memiliki caranya sendiri,
seperti menangis, melempar sesuatu kearah yang diinginkan untuk
dicapai. Perkembangan komunikasi pada masa ini dapat ditunjukkan
dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan mampu
memahami ± 10 kata (Jayanti, 2013).
2) Usia Pra Sekolah (3-5 tahun)
Anak prasekolah umumnya sangat aktif.Mereka telah memiliki
penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai
kegiatan-kegiatan yang dapat di lakukan sendiri, mudah bersosialisasi
dengan orang sekitarnya, cenderung mengekspresikan emosinya
dengan bebas dan terbuka (Kartono, 2007).

2.2 Status Gizi


a. Pengertian Status Gizi
Kata gizi berasal dari bahasa Arab “ghidza”, yang berarti
“makanan”. Secara klasik kata gizi dihubungkan dengan kesehatan tubuh,
yaitu untuk menyediakan energi, membangun, dan memelihara jaringan
tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Sekarang
kata gizi mempunyai pengertian yang lebih luas, disamping untuk
kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi
berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar, dan
produktivitas kerja (Almatsier, 2009).
Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan dan
kebutuhan zat gizi. Status gizi dikatakan baik bila jumlah asupan zat gizi
sesuai dengan yang dibutuhkan.Status gizi tidak seimbang dapat
diinterpretasikan dalam bentuk gizi kurang sedangkan status gizi lebih
bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Sehingga status gizi
merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan menjadi status gizi buruk,
kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2009).
Status gizi seseorang ditentukan oleh kualitas makanan yang
dikonsumsi dan kemampuan tubuh untuk memanfaatkannya sesuai
dengan kebutuhan metabolik. Hal ini mencakup tentang penyerapan
makanan, sisa pembuangan dan sintesis biokimia yang penting untuk
keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Amosu et al,
2011).
Anak usia dibawah 5 tahun atau balita membutuhkan pasokan nutrisi
yang tinggi karena pada masa ini mereka sangat aktif dan
pertumbuhannya juga sangat cepat, sehingga sangat penting untuk
perkembangan fisik, mental, dan sosial (Amosu et al, 2011).
Menurut Call dan Levinson, status gizi anak pada dasarnya
ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dimakan dan keadaan
kesehatanya. Kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan seorang anak
banyak tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut. Ada
tidaknya pemberian makanan diluar keluarga, daya beli keluarga dan
kepercayaan ibu tentang makanan dan kesehatan, keadaan lingkungan
serta sosial anak.
b. Klasifikasi Status Gizi
- Status Gizi berdasarkan indikator BB/U
Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya
umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk dan kurang
mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak
memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau
akut. Dengan kategori sebagai berikut:
 Gizi lebih > 2.0 SD baku WHO-NCHS
 Gizi baik -2.0 SD s.d. +2.0 SD
 Gizi kurang <-2.0 SD
 Gizi buruk <-3.0 SD
- Status gizi berdasarkan indikator TB/U
Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya
muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita
penyakit secara berulang karena hygiene dan sanitasi yang kurang baik.
Dengan kategori sebagai berikut:
 Normal > -2.0 SD baku WHO-NCHS
 Pendek (Stunted) < -2.0 SD
- Status gizi berdasarkan indikator BB/TB
Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai
akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek, seperti
menurunnya nafsu makan akibat sakit atau karena menderita diare. Dalam
keada an demikian berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak
proporsional lagi dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus.
Dengan kategori sebagai berikut:
 Gemuk >2.0 SD baku WHO-NCHS
 Normal -2.0 SD s.d. +2.0 SD
 Kurus/Wasted <-2.0 SD
 Sangat kurus < 3.0 SD

2.3 Gizi Kurang


a. Pengertian Gizi Kurang
Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U) -3 SD (Standard Deviasi) sampai -2
SD(Depkes RI, 2011). Gizi kurang adalah gangguan kesehatan yang
disebabkan kekurangan dan ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan
asupan dan protein.(Rahardjo, 2012). Gizi kurang adalah gangguan
kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang
berhubungan dengan kehidupan. Gizi kurang banyak terjadi pada anak
usia kurang dari 5 tahun (Ariyanto, 2010). Nutrisi yang dimaksud bisa
berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang
Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak
dijumpai pada balita (Lusa, 2009).

b. Faktor Risiko Gizi Kurang


Faktor risiko gizikurang pada balita menurut konferensi
international tentang “At Risk Factors and The Health and Nutrition of
Young Children” di Kairo tahun 1975 mengelompokkan menjadi tiga
(Moehji,2009), yaitu :
1) At risk factors yang bersumber dari masyarakat
a) Ketahanan pangan
Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang
cukup dan baik mutunya (Waryono, 2010). Daya beli keluarga
dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan keluarga. Jika daya
beli rendah maka akan berpengaruh pada ketahanan pangan
keluarga, sehingga konsumsi pangan juga berkurang yang
dampaknya bisa kepada gangguan gizi.
b) Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat
akan sangat membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh
keluarga (Waryono, 2010).

2) At risk factors yang bersumber pada keluarga


a) Tingkat Pengetahuan
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan
tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, higiene
pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran
terhadap kesehatan.Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh
terhadap pola konsumsi makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan
ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang
berkurang (Septikasari & Septiyaningsih, 2016). Keluarga akan
lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan
lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena
kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi
dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh
Rakhmawati (2013), menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan
sikap ibu dalam pemberian makan anak sangat berhubungan dengan
status gizi kurang anak balita.
b) Tingkat Pendidikan
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relative tinggi bila
pendidikan gizi ibu tinggi (Kemenkes, 2013). Dan balita yang
mengalami pertumbuhan yang lambat/balita dengan status gizi
buruk juga berisiko 3 kali lebih besar berasal dari ibu yang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nafi’ah tahun 2015, Sebagian besar tingkat pendidikan ibu
balita yang memiliki balita gizi kurang dalam kategori pendidikan
dasar.
c) Tingkat Pekerjaan
Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat
memberikan perhatian penuh terhadap anak balitanya, apalagi untuk
mengurusnya. Meskipun tidak semua ibu bekerja tidak mengurus
anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban kerja yang ditanggungnya
dapat menyebabkan kurangnya perhatian ibu dalam menyiapkan
hidangan yang sesuai untuk balitanya (Septikasari dkk., 2016).
d) Tingkat Pendapatan
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan, karena dengan pendapatan yang memadai dapat
menyediakan semua kebutuhan anak balita yang primer maupun
yang sekunder. Pendapatan yang meningkat akan menyebabkan
semakin besarnya total pengeluaran termasuk pengeluaran untuk
pangan (Paputungan, 2009).
e) Sanitasi Lingkungan
Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih dan
perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi risiko kejadian
penyakit infeksi. Sebaliknya, lingkungan yang buruk seperti air
minum tidak bersih, tidak ada saluran penampungan air limbah,
tidak menggunakan kloset yang baik dapat menyebabkan
penyebaran penyakit. Penyakit inilah yang akan menjadikan infeksi,
sehingga dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan sehingga
menyebabkan asupan makanan menjadi rendah dan akhirnya
menyebabkan kurang gizi.

3) At risk factors yang bersumber pada individu anak


a) Usia
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak
usia 1 – <3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (3-5 tahun). Anak
usia 1 - <3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa
batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan
jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih
kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya
dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar.
Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering. Di usia ini anak memasuki usia pra sekolah
dan mempunyai risiko besar terkena gizi kurang bahkan gizi buruk.
Pada usia ini anak tumbuh dan berkembang dengan cepat sehingga
membutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sementara mereka
mengalami penurunan nafsu makan dan daya tahan tubuhnya masih
rentan sehingga lebih mudah terkena infeksi dibandingkan anak
dengan usia lebih tua. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen
aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada
usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah
playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam
perilaku. penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil dan Kurniati
tahun 2013 menunjukkan bahwa balita yang berusia 1-3 tahun
mempunyai peluang lebih besar mengalami gizi baik dibandingkan
dengan balita yang berusia 3-5 tahun.
b) Jarak Kelahiran
Sebagian besar masyarakat memiliki jumlah balita dalam satu
keluarga >2 balita dan tidak sedikit jarak kelahiran berdekatan < 2
tahun. Jarak kelahiran turut serta mempengaruhi status gizi balita.
Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan (<2 tahun) juga
dapat memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik maupun
psikis, yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidaksiapan
berbagi kasih sayang dari orang tuanya (Yolan, 2007).Banyak
kakak-beradik dengan jarak kehamilan atau kelahiran terlalu pendek
menimbulkan sikap iri atau cemburu.Seperti kakak tidak gembira
atas kehadiran si kecil, justru sering menganggapnya musuh karena
merampas jatah kasih sayang orang tuanya (Diana, 2007). Namun
berdasarkan catatan statistik penelitian bahwa jarak kelahiran yang
aman antara anak satu dengan lainnya adalah >2 tahun. Pada jarak
ini si ibu akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati
proses kehamilan (Agudelo, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nurjanah dan Septiani tahun 2013 yang
menunjukan bahwa adanya hubungan jarak kelahiran dengan status
gizi balita yaitu jarak kelahiran >2 tahun mempunyai peluang lebih
besar mengalami gizi normal dibandingkan jarak kelahiran <2 tahun.
Penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan
bahwa anak-anak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak
sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi
daripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak
kehamilan yang aman adalah 2-5 tahun (Yolan, 2007). Penelitian
oleh Dewi tahun 2013 menunjukkan bahwa ada hubungannya antara
jarak kelahiran dengan status gizi balita.
c) Pemberian ASI Eksklusif
ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO) 2011
adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan
minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berumur 6 bulan,
kecuali obat dan vitamin. ASI akan terus diberikan kepada anak
sampai berusia 2 tahun. WHO (2009) menyatakan sekitar 15% dari
total kasus kematian anak di bawah usia lima tahun di negara
berkembang disebabkan oleh pemberian ASI secara tidak eksklusif.
Dalam upaya peningkatan status gizi pada hakekatnya harus dimulai
sedini mungkin, salah satunya yaitu dengan pemberian ASI
eksklusif. ASI dapat menigkatkan kekebalan tubuh bayi yang baru
lahir, karena mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan alergi. Bayi ASI
eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi
yang tidak mendapat ASI eksklusif, hal ini juga akan mempengaruhi
status gizi balita. Dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian
anak, United Nations Children's Fund (UNICEF) dan WHO
merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berumur
enam bulan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Giri tahun
2013 menunjukan bahwa ibu yang memberikan ASI eksklusif
memiliki balita dengan status gizi lebih baik dibandingkan dengan
ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan
oleh Monica, Dewi dan Susilo (2014) juga menunjukkan bahwa
terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian gizi kurang pada balita.
d) Penyakit Infeksi
Terdapat pengaruh yang cukup besar dari penyakit infeksi terhadap
keadaan gizi seseorang. Penyakit infeksi tersebut antara lain seperti
diare dan demam, penyakit tersebut dapat menyebabkan hilangnya
nafsu makan, dimana makanan yang dikonsumsi menjadi berkurang,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada status gizi
(Waryono, 2010). Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian
penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita
gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan,
sehingga rentan terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang menderita
sakit akan cenderung menderita gizi buruk. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Baculu, Juffrie dan Helmyati tahun 2015 yaitu balita
yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki risiko 2,83 kali
lebih besar menderita gizi buruk dibandingkan dengan balita yang
tidak memiliki riwayat penyakit infeksi.
e) Riwayat Berat Lahir
Berat lahir adalah berat bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam
pertama setelah bayi lahir. Klasifikasi berat bayi lahir menurut
Kosim, et al.,(2009) dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
(1) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
BBLR merupakan berat bayi yang dilahirkan dengan berat lahir
<2500 gram tanpa memandang usia gestasi (Kosim, et al.,2009).
Bayi yang BBLR menandakan kurang terpenuhinya kebutuhan
zat gizi dan berisiko lebih tinggi terhadap kematian bayi,
penyakit kronis pada usia dewasa, keterlambatan mental dan
pertumbuhan yang lambat karena kondisi kekurangan gizi yang
berisiko mengakibatkan balita menderita KEP. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa bayi
yang BBLR berkali-kali berisiko memiliki status gizi kurang
pada usia 1-5 tahun dibandingkan yang tidak BBLR, penelitian
yang lain juga menyebutkan bahwa anak yang BBLR
pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari anak
dengan berat bayi lahir normal. Gizi Buruk dapat terjadi apabila
BBLR jangka panjang. Pada BBLR zat anti kekebalan kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama
penyakit infeksi. Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu
makan sehingga asupan makanan yang masuk kedalam tubuh
menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk.
Penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil, dan Kurniati
tahun 2013 menemukan anak dengan berat lahir sama atau lebih
dari 2500 gram berisiko seperlima kali lebih kecil untuk
mengalami malnutrisi dibandingkan anak dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram.
(2) Bayi Berat Lahir Normal
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan
sampai 42 minggu dan berat badan lahir > 2500 - 4000 gram
(Jitowiyono dan Weni, 2010).
(3) Bayi Berat Lahir Lebih
Bayi berat lahir lebih adalah Bayi yang dilahirkan dengan
beratlahir lebih > 4000 gram (Kosim et al., 2009). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Arnisam tahun 2007 menunjukan
bahwa BBLR mempunyai risiko 3,34 kali lebih besar untuk
mengalami status gizi kurang dibandingkan dengan anak yang
tidak BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah tahun
2016 menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat BBLR
dan status gizi balita. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Susanti tahun 2011 menunjukan bahwa bayi yang
BBLR mempunyai kemungkinan mengalami status gizi buruk
41,5 kali lipat dibandingkan dengan yang berat bayi lahir normal.
Artinya ada hubungan yang bermakna antara BBL dengan status
gizi balita.
f) Riwayat Imunisasi
Menurut Depkes RI No.42 (2013) imunisasi adalah suatu upaya
untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah
mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang
telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah
menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada
seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif
terhadap penyakit infeksi tertentu. Jenis imunisasi menurut
Kemenkes RI, 2013 yaitu:
(1) Imunisasi wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh
pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam
rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat
sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri
dari :
(a) Imunisasi Hepatitis B mencegah penularan hepatitis B dan
kerusakan hati. Pemberian vaksin hepatitis B dilakukan pada
usia 0-7 hari (Kemenkes RI, 2013)
(b) Imunisasi BCG. Vaksin BCG mengandung kuman BCG
yang masih hidup namun telah dilemahkan berfungsi untuk
mencegah penularan TBC (Tuberculosis) berat. Pemberian
vaksin BCG hanya dilakukan satu kali, yaitu pada saat anak
baru dilahirkan hingga berusia dua bulan.
(c) Vaksin Poliomielitis. Vaksin ini mengandung virus polio
yang dilemahkan, berfungsi untuk mencegah kelumpuhan
(Kemenkes RI, 2013). Pemberian vaksin polio harus
dilakukan dalam satu rangkaian, yaitu pada saat anak baru
dilahirkan dan pada saat anak berusia satu, dua, tiga dan
empat bulan. Vaksin ini selanjutnya bisa diberikan kembali
di usia satu setengah tahun, dan yang terakhir di usia lima
tahun.
(d) Vaksin DPT-HB. Mengandung DPT berupa toxoid difteri
dan toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis yang
inaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang merupakan sub unit
vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat
non infectious (Kemenkes RI, 2013). Yang mencegah difteri,
batuk rejan dan tetanus serta mencegah hepatitis B. Vaksin
ini diberikan pada usia dua, tiga dan empat bulan.
(e) Vaksin Campak. Mengandung vaksin campak hidup yang
telah dilemahkan yang berfungsi mencegah penyakit campak
(Kemenkes RI, 2013). Vaksin ini diberikan pada saat usia 9
bulan, dua tahun dan enam tahun .
(2) Imunisasi pilihan
Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan
kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu.
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit
menular khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) yang diberikan tidak hanya anak sejak masih
bayi hingga remaja tetapi juga dewasa (Kemenkes RI, 2016).
Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri
atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dimatikan
dengan tujuan merangsang sistem imun tubuh untuk membentuk
antibodi. Antibody ini meningkatkan kekebalan tubuh seseorang
sehingga dapat mencegah atau mengurangi akibat penularan
PD3I tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Amelia
tahun 2014 menunjukkan bahwa anak balita yang mengalami
gizi kurang sebagian besar status imunisasinya tidak lengkap,
sementara itu untuk status gizi baik terbanyak pada balita dengan
status imunisasi lengkap.
g) Pemberian Vitamin A
Vitamin A atau retinol adalah salah satu vitamin yang larut dalam
lemak, dan disimpan tubuh di organ hati. Fungsinya untuk proses
pembentukan dan pertumbuhan sel darah merah, sel limfosit,
sehingga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Karena itu vitamin
A ini merupakan antioksidan kuat yang dapat menangkal radikal
bebas yang berbahaya bagi tubuh. Selain itu, bermanfaat bagi
kesehatan mata seperti mencegah rabun senja, kerusakan kornea dan
kebutaan. Bermanfaat pula bagi kesehatan kulit dan
pernafasan.Sasaran program ini adalah balita dari usia 6 bulan
sampai dengan 59 bulan. Vitamin A yang dibagikan adalah vitamin
A dosis tinggi. Ada 2 jenis vitamin A yang diberikan yaitu yang biru
(100.000 IU) untuk bayi usia 6 - 11 bulan, dan yang merah (200.000
IU) untuk usia 12 - 59 bulan. pemberian vitamin A ini diberikan dua
kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Kurang
Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di
seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada
semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA merupakan
suatu ganguan yang disebabkan karena kurangnya asupan vitamin A
dalam tubuh. KVA dapat mengakibatkan kebutaan, mengurangi
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi, yang sering
menyebabkan kematian khususnya pada anak-anak. Selain itu KVA
dapat menurunkan epitelisme sel-sel kulit . Faktor yang
menyebabkan timbulnya KVA adalah kemiskinan dan minim
pengetahuan akan gizi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuni tahun 2012 menunjukkan bahwa pemberian vitamin A
mempunyai hubungan signifikan dengan status gizi anak balita
dengan hasilnya yaitu balita yang pernah mendapatkan kapsul
vitamin A, status gizinya 72,3 % baik.

c. Penilaian Status Gizi Kurang


Penilaian status gizi menurut Supariasa (2011), dapat dilakukan
dengan cara penilaian status gizi secara langsung yaitu dengan
pengukuran antropometri. Antropometri adalah sebuah studi tentang
pengukuran tubuh dimensi manusia dari tulang, otot dan jaringan adiposa
atau lemak (Survey, 2009). Secara umum, antropometri digunakan untuk
melihat ketidakseimbangan konsumsi energi dan protein dilihat dari pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan
jumlah air dalam tubuh (Tjahyani, 2011). Bidang antropometri meliputi
berbagai ukuran tubuh manusia seperti berat badan, posisi ketika berdiri,
ketika merentangkan tangan, lingkar tubuh, panjang tungkai, dan
sebagainya. Antropometri adalah pengukuran dan komposisi tubuh
(Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Sedangkan antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh,
komposisi tubuh, tingkat umur dan tingkat gizi.Berdasarkan Kemenkes
RI (2012), Indonesia masih mengalami permasalahan gizi pada anakanak,
maka usaha deteksi dini penting untuk dilakukan. Kita mengenal alat ukur
yang digunakan untuk melihat gizi balita antara lain dengan pengukuran
status gizi melalui kegiatan posyandu dengan Kartu Menuju Sehat (KMS)
sebagai alat ukur dan deteksi dini untuk memantau tingkat pertumbuhan
dan perkembangan balita. KMS bagi balita merupakan kartu yang
memuat kurva laju pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks
antropometri berat badan menurut umur yang dibedakan berdasarkan
jenis kelamin (Kemenkes RI, 2010). Status pertumbuhan anak dapat
diketahui dengan dua cara yaitu menilai garis pertumbuhan atau dengan
menghitung berat badan anak dibandingkan dengan Kenaikan Berat
Badan Minimum (KBM). Penentuan status pertumbuhan dapat
disimpulkan bahwa :
1) Naik (N)
Grafik BB mengikuti garis pertumbuhan atau kenaikan BB sama
dengan KBM atau lebih.
2) Tidak Naik (T)
Grafik BB mendatar atau menurun memotong garis pertumbuhan
dibawahnya atau KBM kurang dari KBM.

Cara membaca grafik pertumbuhan pada KMS (Depkes, 2012) :


1) Berat Badan Naik (N), bila:
a) Hasil penimbangan bulan ini sama atau lebih dari kenaikan berat
badan minimum.
b) Garis pertumbuhannya naik mengikuti salah satu pita warna
c) Garis pertumbuhannya pindah ke pita warna di atasnya
2) Berat Badan Tidak Naik (T), bila:
a) Berat badan hasil penimbangan bulan ini sama atau kurang dari
berat badan minimum.
b) Garis pertumbuhannya menurun
c) Berat badan tetap, garis pertumbuhannya mendatar
d) Berat badan naik, tetapi garis pertumbuhannya pindah ke pita
warna di bawahnya
3) Disebut Bawah Garis Merah (BGM), bila: garis pertumbuhan anak
berada di bawah garis merah Menurut WHO-NCHS (World Health
Organization-National Centre for Health Statistics), keadaan status
gizi baik berada pada warna hijau/hijau tua, gizi kurang pada warna
kuning, gizi buruk dibawah garis merah dan gizi lebih berada jauh
diatas warna hijau. Berat badan yang berada di Bawah Garis Merah
(BGM) pada KMS merupakan perkiraan untuk menilai seseorang
menderita gizi buruk, tetapi bukan berarti balita tersebut telah
menderita gizi burukkarena ada anak yang telah mempunyai pola
pertumbuhan yang memang selalu dibawah garis merah pada KMS.
Balita dengan pemenuhan gizi yang cukup memiliki berat badan
yang berada pada daerah berwarna hijau, sedangkan warna kuning
menujukkan status gizi kurang, dan jika berada di bawah garis merah
menunjukkan status gizi buruk (Sulistyoningsih, 2011).
Indeks antropometri adalah kombinasi antara beberapa
parameter antropometri (Suyatno, 2009).Indeks antropometri yang
digunakan dalam menentukan gizi kurang yaitu berat badan. Berat
badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan
lemak). Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U
(Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengan
melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan,
yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini.
Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan
satu pengukuran dan bergantung pada ketetapan umur, tetapi
kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi
gizi dari waktu ke waktu (Depkes, 2011).

d. Tanda Gejala Gizi Kurang


Gejala kurang gizi ringan relatif tidak jelas, hanya terlihat bahwa
berat badan anak tersebut lebih rendah dibanding anak seusianya. Dr
Rachmi Untoro ahli gizi anak dari Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia
mengungkapkan ciri-ciri anak kurang gizi adalah rambut kusam, kering,
pucat, bibir dan mulut bengkak.

e. Dampak Gizi Kurang


Menurut Nency dan Arifin (2008), bahwa beberapa penelitian
menjelaskan dampak jangka pendek dari kasus gizi kurang adalah anak
menjadi apatis, mengalami gangguan bicara serta gangguan
perkembangan yang lain, sedangkan dampak jangka panjang dari kasus
gizi kurang adalah penurunan IQ, penurunan perkembangan kognitif,
gangguan pemusatan perhatian, serta gangguan penurunan rasa percaya
diri. Oleh karena itu kasus gizi kurang apabila tidak tangani dengan baik
akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan mengancam
hilangnya generasi penerus bangsa (Zulfita, 2013).Gizi kurang jika tidak
segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang menjadi gizi buruk
(Dewi, 2013).

f. Pencegahan Gizi Kurang


1) Timbang balita tiap bulan ke posyandu untuk memantau BB anak
Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, Juniarti dan Mardiyah
tahun 2008, menunjukan bahwa keluarga yang berada dalam kategori
aktif ke posyandu memiliki persentase lebih besar memiliki balita
dengan status gizi baik.
2) Berikan ASI Eksklusif. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
terbaik untuk bayi. ASI sangat dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal.
Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan terpenuhi kebutuhan
gizinya secara maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan
terhadap infeksi, tidak mudah terkena alergi, dan lebih jarang sakit.
Karena dengan pemberian ASI eksklusif status gizi bayi akan baik dan
mencapai pertumbuhan yang sesuai dengan usianya (Sulistyoningsih,
2011).
3) Suplementasi zat gizi mikro. Pemberian vitamin A, zat besi, iodium
dan seng. Kekurangan zat gizi mikro merupakan penyebab timbulnya
masalah gizi dan kesehatan disebagian besar wilayah Indonesia.
4) Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini maupun terlambat akan
menyebabkan bayi rentan mengalami penyakit infeksi, alergi,
kekurangan gizi, dan kelebihan gizi, sehingga dapat menyebabkan
malnutrisi dan gangguan pertumbuhan (Hakim, 2014). Sehingga
setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan, maka diberikan MP-ASI sesuai
dengan umurnya.

g. Penanganan Gizi Kurang


1) Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah salah satu bentuk
intervensi langsung untuk menyediakan jenis makanan yang penting
contohnya makanan tambahan pemulihan untuk balita gizi buruk dan
gizi kurang (Setiarini, 2007). Pemberian makanan tambahan bertujuan
untuk memperbaiki keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang
menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria anak balita yang
tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat
badannya pada KMS terletak dibawah garis merah.
2) Menjadikan KADARZI (Keluarga Sadar Gizi)
KADARZI adalah keluarga yang setiap anggotanya menerapkan
perilaku gizi yang baik (Depkes, 2012).KADARZI merupakan sikap
dan perilaku keluarga yang dapat secara mandiri mewujudkan keadaan
gizi yang sebaik-baiknya tercermin dari konsumsi pangan yang
beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang (Arisman, 2010). Seperti
penelitian oleh Muliati, Ismanto dan Malara (2014) menunjukan
bahwaada hubungan antara Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan
status Gizi Balita. Artinya keluarga khususnya yang mempunyai anak
balita dengan status gizi baik memiliki sikap dan perilaku mandiri
dalam mewujudkan keadaan gizi seimbang yang dapat terlihat dari
konsumsi makan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang.
3) Gerakan SIAGA GADA
Keputusan Bupati Cilacap Nomor : 23 Tahun 2016 tentang Pedoman
Pelaksanaan Gerakan Siaga Terhadap Gizi Buruk, Angka Kematian
Ibu, Demam Berdarah Dengue dan AIDS (SIAGA GADA) Kabupaten
Cilacap. Maka SIAGA GADA merupakan program prioritas/strategi
pada tahun 2016 sebagai upaya penurunan kasus gizi buruk melalui
penemuan dan penanganan kasus secara berkesinambungan di wilayah
Kabupaten Cilacap (Dinkes Cilacap, 2016). Pelaksanaan
penanggulangan kasus gizi buruk dilakukan melalui pendampingan dan
pemantauan kasus secara berjenjang mulai dari kader hingga
puskesmas. Gerakan Siaga Gada tersebut melibatkan semua unsur
mulai dari pemerintah hingga masyarakat (Marwoto, 2016).
2.4 Balita
a. Pengertian Balita
Menurut Sutomodan Anggraeni (2010), balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-<3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Masa balita
merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia.
b. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun
prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama (Hartono, 2008).
Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif.Pada
konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan
intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses
multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuranukuran
tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
1) Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
2) Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
3) Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
4) Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
5) Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan
sebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis.
Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara
proporsional pada tiapbulannya. Ketika didapati penambahan ukuran
tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya
jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu berarti salah satu tanda
terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan (Hartono, 2008).
c. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Menurut Evelin dan Djamaludin (2010), dalam proses tumbuh kembang,
anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yaitu :
1) Pemenuhan Kebutuhan Gizi (ASUH)
Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menopang tumbuh kembang
fisik dan biologis balita perlu diberikan secara tepat dan berimbang.
Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zat-zat gizi yang
sesuai kebutuhannya berdasarkan usia. Berimbang berarti komposisi
zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya.
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan
otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan
berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang
mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik
atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas
tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan
tidak mudah terserang penyakit (Sulistyoningsih, 2011).
2) Pemenuhan Kebutuhan Emosi Dan Kasih Sayang (ASIH)
Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua mengekspresikan perhatian
dankasih sayang, serta perlindungan yang aman dan nyaman kepada si
anak. Orang tua perlu menghargai segala keunikan dan potensi yang
ada pada anak. Pemenuhan yang tepat atas kebutuhan emosi atau kasih
sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama
dalam kemampuannya membina hubungan yang hangat dengan orang
lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang baik bagi
anak-anaknya.
3) Pemenuhan Kebutuhan Stimulasi Dini (ASAH)
Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan
tertentu pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini dianjurkan ketika
anak masih dalam kandungan dengan tujuan agar tumbuh kembang
anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan
merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan
berkelanjutan, kegiatan mengajari anak berkomunikasi, mengenal
objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini dapat
mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,
kreatifitas dan lain.

Anda mungkin juga menyukai