PENDAHULUAN
Trauma kepala merupakan suatu traume yang mengenai daerah kulit kepala baik mengenai tulang tengkorak atau
otak akibat terbenturnya atau terjadinya injury baik secara langsung maupun tidak langsung.
Seorang perawat sangat berperan di dalam penanganan gawat darurat dalam kasus trauma kepala, bagaimana cara
kita melakukan pengkajian keperawatan tentang trauma kepala sampai dengan melakukan evaluasi dari kasus yang
telah tersedia.
1. Trauma kepala minor, apabila trauma kapala dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran atau amnesia kurang dari 30
menit
2. Trauma kepala sedang, apabila trauma kepala yang dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran dan bisa
3. Trauma kepala berat, apabila trauma kepala yang dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran dan menyebabkan
Dari penyusunan makalah ini, diharapkan dapat memebrikan manfaat bagai mahasiswa keperawatan dalam
menganalisa kasus dan menyusun proses keperawatannya mualai dari pengkajian hingga melakukan evaluasi dari
kasus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi
akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
2.2 Klasifikasi
1. Minor
SKG 13 – 15·
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.·
1. Sedang
SKG 9 – 12·
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.·
1. Berat
SKG 3 – 8·
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari
suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi
alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi
yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala
berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal
yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang
menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma
bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau
dua-duanya.
Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala banyak
mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga banyak trauma kepala
dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah infeksi.
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan
otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, moentum, trauma langsung
atau tidak.
Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan dengan CSF. Rhinorrhea
(keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata).
Ada dua metoda yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung, yaitu melakukan test
glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan bercampur dengan darah ada
kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula. Metoda kedua dilakukan yaitu cairan ditampung
dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila ada CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan
dibagian luarnya nampak berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign).
Komplikasi
Komplikaasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan hematoma sebagai akibat
adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi fraktur frontal atau orbital dimana cairan CSF disekitar
periorbital (periorbital ecchymosis. Fraktur dasar tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid
pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital.
Commotio serebral :
Concussion/commotio serebral adalah keadaan dimana berhentinya sementara fungsi otak, dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran, sehubungan dengan aliran darah keotak. Kondisi ini biasanya tidak terjadi kerusakan dari
struktur otak dan merupakan keadaan ringan oleh karena itu disebut Minor Head Trauma. Keadaan phatofisiologi
secara nyata tidak diketahui. Diyakini bahwa kehilangan kesadaran sebagai akibat saat adanya
stres/tekanan/rangsang pada reticular activating system pada midbrain menyebabkan disfungsi elektrofisiologi
sementara. Gangguan kesadaran terjadi hanya beberapa detik atau beberapa jam.
Pada concussion yang berat akan terjadi kejang-kejang dan henti nafas, pucat, bradikardia, dan hipotensi yang
mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran. Amnesia segera akan terjadi. Manifestasi lain yaitu nyeri kepala,
mengantuk,bingung, pusing, dan gangguan penglihatan seperti diplopia atau kekaburan penglihatan.
Contusio serebral:
Contusio didefinisikan sebagai kerusakan dari jaringan otak. Terjadi perdarahan vena, kedua whitw matter dan gray
matter mengalami kerusakan. Terjadi penurunan pH, dengan berkumpulnya asam laktat dan menurunnya konsumsi
oksigen yang dapat menggangu fungsi sel.
Kontusio sering terjadi pada tulang tengkorak yang menonjol. Edema serebral dapat terjadi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan ICP. Edema serebral puncaknya dapat terjadi pada 12 – 24 jam setelah injury.
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila
kondisi berangsur kembali, maka tingat kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa,
tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan
ICP terjadi bila terjadi edema serebral.
Walaupun perdarahan tidak dapat dideteksi, pembuluh darah pada sekitar midbrain akan mengalami perdarahan
yang hebat pada midbrain. Klien dengan injury batang otak akan mengalami coma yang dalam, tidak ada reaksi
pupil, gangguan respon okulomotorik, dan abnormal pola nafas.
2.6 Pathway
2.7 Kasus
Ny. A, 34 tahun, islam, menikah, pendidikan terakhir S-1 Accountant, bekerja sebagai pegawai bank BCA cabang
Kota Kediri, beralamat di Jl. Wulirang No.54 Kota Kediri. MRS datang ke UGD RS Gambiran Kediri, 25 Maret 2011
pukul 13.00 WIB dalam kondisi tidak sadarkan diri dan keadaan kepala mengalami perdarahan akibat kecelakaan
sepeda motor. Dan berdasarkan diagnosa medis pasien mengalami trauma kepala ringan. Pengkajian dilakukan
perawat tanggal 28 Maret 2011 pukul 15.00 WIB, dengan RM 012345, pasien kehilangan kesadaran dan terdapat
luka di bagian punggung kanan atas berdekatan dengan clavicula namun hanya ringan bukan luka dalam. Dan
berdasarkan keterangan adiknya, pasien sempat membuka matanya sekitar 5 menit dengan keadaan menahan nyeri
bagian kepala. Lalu pasien tidak sadarkan diri, sehingga tidak dapat memberi keterangan lebih lanjut. Data lain yang
di dapat saat pengkajian :
KU = Lemah
S = 320C
N = 80 x / menit
TD = 90/60 mmhg
RR = 24 x / menit
Mata = Anemis
Gerakan dada simetris, dan kondisi pernafasan normal. S1/S2 tunggal, irama jantung normal tidak ada bunyi
tambahan CRT 4 dt, kulit pucat, akral dingin basah, turgor 3 dtk. Konjunktiva pucat, pupil isokor 3 mm, tdk ada
pembesaran tiroid, sudah terpasang infus, terpasang oksigenisasi,dan terpasang kateter. Produksi urin 1500 cc/hari,
warna kuning, bau khas. Mulut tampak plak putih, mukosa kotor. Pasien terbaring dengan posisi supine pernafasan
normal.
DATA UMUM
Nama px : Ny. A
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
No. RM : 012345
Ruang : UGD
1. Subyektif
o Q : rintihan nyeri
o S :7
1. Obyektif
KU = Lemah
o Aiway
a. Tidak ada bunyi ronci ataupun wheezing
o Breathing
a. Gerakan dada simetris
b. Pernafasan normal
o Circulation
a. Akral kaki dan tangan dingin
b. CRT 4 dtk
o Disability
a.Tingkat Kesadaran : Tidak sadar namun berespon terhadap nyeri ( Pain)
b.Pupil : Isokor
o Exposure
Tidak ada tanda kelainan fisik
b. RR : 24x/ menit
c. N : 80x/menit
d. S : 320C
e. Pasien terpasang infus
h. Warna urine kuning, bau khas dan produksi urine 1500 cc/ hari
o History
Berdasarkan mekanisme terjadinya kecelakaan yang dialami pasien, pasien mengalami perdarahan ketika itu,
kondisi pasien sebelum kehilangan kesadaran sempat sadar selma kurang lebih 5 menit dan merasa nyeri di bagian
kepalanya akibat perdarahan.
1. Nyeri akut
Trauma
Kerusakan saraf otak
Hipoxia
Nyeri akut
2.
Trauma
Suplai nutrisi
Vasodilatasi cerebri
3.
S : (-)
O : pasien tampak kesakitan pada daerah otak
Trauma
Suplai nutrisi
Vasodilatasi cerebri
RENCANA KEPERAWATAN
No. RM : 0123456
Hari Rawat ke : 2
1. Nyeri akut
K : berikan terapi obat dengan tim medis lainnyaTindakan tersebut dilakukan karena mempermudah perawat dalam
mengikuti perkembangan pasien
2.
E : berikan edukasi pada pasien agar tidak terlalu banyak aktifitas dulu
Tindakantersebut dilakukan karena merupakan salah satu pilihan alternatif yang bisa dijadikan acuan dalam
menangani pasien dengan trauma kepala
3.
Untuk memperlancar jalannya udara yang masuk seimbang dengan udara yang keluar tubuhK : kaji pernafasan
pasien
K : kolaborasi pemberisn obat dengan tindakan medisTindakan tersebut dilakukan karena dapat membantu pasie
dalam memperlancar pernafasan kembali
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
3. melakukan terapi dekstraksi relaksasiS :setelah dilakukan pengukuran skala nyeri di daerah kepala dan dipenuhi
kebutuhan manusianya
2.
O : pasien tampak nyaman dengan kondisi sekarang,skala nyeri berkurang dan pasien dapat bermobilisasi dengan
bantuan minimal
P : modfikasi intervensi
3.
2. Memberikan injeksi kolaborasi obatS : pasien merasa agak baik dengan kondisi badannya namun kondisi kepala
masih sangat terasa nyeri
P : modifikasi intervensi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma kepala telah didefinisikan sebagai kerusakan jaringan di kepala yang diakibatkan oleh benturan kesobekan
pada kulit kepala. Dan dari jenisnya dapat dilihat bahwa trauma kepala dapat bersifat ringan, sedang maupun berat,
hal ini dapat dilihat dari jenis benturan yang terjadi misalnya pada waktu terjadi kecelakaan klien terbentur dan dapat
mengakibatkan luka dalam pada tulang tengkorak otak, hal ini dapat beresiko terjadinya trauma kepala berat namun
kita tidak bisa mendefinisikan hal tersebut sebagai trauma berat apabila sebelum adanya diagnosa medis dari dokter
terkait
3.2 Saran
Kami sangat menyadari bahwa penyusnan makalah kami ini sangatlah kurag dari kesempurnaan, oleh karena itu
bagai pembaca atau mahasiswa yang membaca makalah ini, kami mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah arti
dan kami sebagai manuasia membuka hati kami untuk kritik dan saran yang membangun demi penyusunan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
2. Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
3. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
4. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
5. http://makalahkeperawatan.wordpress.com/2012/09/26/makalah-cedera-kepala
\
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di
Indonesia. Beberapa Rumah Sakit ada yang memakai istilah cedera kepala dan cedera otak
sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara harfiah
kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi responds Glaso Coma Scale (GCS)
sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang
mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal neuruanatomi, neurofisiologi,
neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari
pengkajian fisik yang didapat bias sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang
melakukan asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kepala,tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi
dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium atau helem yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala
dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Efek-efek ini harus dihindaridan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling serius diantara penyakit neurologis,
dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban
dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih
dari setengah dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikan cedera terhadap
bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena
cedera pada bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai responds terhadap cedera
dan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala” mahasiswa
mampu memahami “Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala”.
2. Tujuan Khusus
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Cedera Kepala” mahasiswa mampu :
a. Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit Cedera Kepala.
b. Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala.
c. Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Sesuai Kasus.
C. METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode deskriptif, yang diperoleh dari
literature dari berbagai media baik buku maupun internet yang disajikan dalam bentuk makalah.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Metode, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II : Terdiri dari Konsep Penyakit Cedera Kepala, Asuhan Keperawatan Cedera Kepala,
Kasus Cedera Kepala.
BAB III : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang
diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai / tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas jaringan otak. Merupakan
suatu keadaan gawat darurat neurologic, memerlukan penanganan yang cepat,cermat dan tepat
karena dapat mentebabkan cacat dan kematian.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang
mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal neuruanatomi, neurofisiologi,
neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari
pengkajian fisik yang didapat bias sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan
asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kepala,tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium atau helem yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami
kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Efek-efek ini harus dihindaridan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling serius diantara penyakit neurologis,
dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
B. Tujuan Penulisan
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala”
mahasiswa mampu memahami “Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala”.
BAB II
PEMBAHASAN
ASKEP CEDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai / tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas jaringan otak. Merupakan
suatu keadaan gawat darurat neurologic, memerlukan penanganan yang cepat,cermat dan tepat
karena dapat mentebabkan cacat dan kematian.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal
96)
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di bagi menjadi
3 gradasi :
a. Cedera kepala ringan (CKR) = GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang (CKS) = GCS 9-12
c. Cedera kepala berat (CKB) = GCS ≤ 8
2. Kerusakan Sekunder
Terjadi akibat lanjutan dari kerusakan otak primer, kemungkinan karena adanya : edema
serebri, iskemia otak, perdarahan intrakranial lanjutan, infeksi, hipoksia, hipotensi ataupun
serangan kejang.
B. ETIOLOGI
Cidera kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan
industri, kecelakaan olah raga, luka persalinan pada bayi baru lahir ( Tarwoto, Wartonah, 2007 :
125)
C. PATOFISIOLOGI
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma mendadak, langsung atau tidak langsung pada
kepala yang menimbulkan tiga mekanisme yang berpengaruh yaitu :
Akselerasi (benda bergerak membentur kepala yang diam misalnya terkena lemparan batu)
Deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya kepala membentur tanah)
Deformitas adalah kerusakan pada bagian tubuh akibat trauma misalnya adanya fraktur kepala,
kompresi, ketegangan atau pemotongan otak.( Tarwoto dan Wartonah, 2007: 123)
Pada cidera kepala terjadi perdarahan kecil- kecil pada permukaan otak yang tersebar
melalui substansi otak daerah tersebut dan bila area contusio besar akan menimbulkan efek
massa yang dapat menyebabkan peningkatan Tekanan Intracranial/ TIK (Carolyn dan Barbara,
1996: 227).
Peningkatan TIK menyebabkan aliran darah ke otak menurun dan terjadi berhentinya
aliran darah ke otak/ iskemik Bila terjadi iskemik komplet dan lebih dari 3 sampai 5 menit, otak
akan menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada iskemik serebral, pusat vasomotor
terstimulasi dan tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan aliran darah yang disertai
dengan lambatnya denyutan nadi dan pernafasan yang tidak teratur Dampak dari peningkatan
intracranial yang lain diantaranya : penurunan kesadaran yang menyebabkan gangguan aktivitas
dan gangguan persepsi sensori. Dampak terhadap medulla oblongata yang merupakan pusat
pengatur pernafasan terjadi gangguan pola nafas (Brunner dan Suddart, 2002: 2114)
D. Manifestasi Klinis
Berdasarkan anatomis
1) Gegar otak (combutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2) Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3) Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung lokasi dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4) Laserasi
a. Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan
periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan penurunan
kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
1. kacau mental → koma
2. gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3. pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1. Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya karena aselerasi,
deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2. Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidural
3. Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-bulan
4. Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5. perluasan massa lesi
6. peningkatan TIK
7. sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8. disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
1. Nyeri kepala hebat
2. Kaku kuduk
E. Komplikasi
a) Oedem cerebal
b) Infeksi
c) Hidrosefalus
d) Diabetes Insipidus
e) Disritmia
f) Oedem pulmo
g) Post trauma respon
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menunjang diagnosa terjadinya cidera kepala maka perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan yaitu sebagai berikut:
1. Spinal X ray : Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan
atau ruptur atau fraktur).
2. CT Scan : Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti
3. Myelogram : Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance) : Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5. Thorax X ray;Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Angiografi Serebal : Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat oedema, perdarahan atau trauma.
7. EEG : untuk memperlihatkan berkembangnya gelombang patologis,
8. BAER : menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9. PET : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme otak .
10. Pemeriksaan fungsi pernafasan : Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang
penting diketahui bagi penderita dengan cedera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
11. Fungsi Lumbal : menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
12. Analisa Gas Darah : Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan
3. PERENCANAAN
Adapun perencanaan yang akan dibuat adalah
a. Bersihan jalan nafas dan ventilasi tidak ektif yang berhubungan dengan hipoksia Intervensi
1. Mempertahankan pasien yang tidak sadar pada posisi yang memudahkan pengeluaran sekresi
melalui mulut, dengan kepala pada tempat tidur ditinggikan 30 derajat untuk menurunkan
tekanan vena intrakranial
2. Menempatkan prosedur penisapan efektif. (sekresi pulmonal yang menimbulkan batuk dan
mengejan, yang menimbulkan TIK)
3. Melindungi terhadap aspirasi dan insufisiensi paru-paru
4. Memantau gas darah arteri untuk mengkaji keadekuatan ventilasi. ( Sasarannya adalah untuk
mempertahankan gas darah dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral
adekuat).
5. Memantau pasien pada ventilasi mekanik.
6. Observasi tanda-tanda vital.
7. Monitor kecepatan, irama, kedalaman respirasi
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
Intervensi:
a) Tinggikan posisi kepala 150-300 dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
b) Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau
hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri.
c) Bila akan memiringkan, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus
bersamaan).
d) Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intracranial sesuai dosis.
e) Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan
edema serebral.
c. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan kesadaran dan disfungsi
hormonal .
Intervensi
a) Pemeriksaan serial elektrolit darah dan urine dan osmolalitas yang diharapkan.
b) Fungsi endokrin dievaluasi dengan memantau elektrolit, glukosa serum, serta asupan dan
haluaran.
c) Urine diuji secara teratur terhadap kandungan aseton.
d) Pertahankan pencatatan terhadap berat badan setiap hari, terutama jika mengenai hipotalamus
pasien beresiko terhadap terjadinya diabetes insipidus.
e) Pantau status hidrasi seperti kelembaban mukosa, dan keadekuatan nadi.
f) Berikan cairan intra vena sesuai program
d. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan
metabolisme, pembatasan cairan, dan asupan yang tidak adekuat
Intervesi
a) Meninggikan kepala tempat tidur dan Aspirasi cairan lambung melalui selang nasogastrik
sebelum pemberian makanan.
b) Pemberian infus tetes terus menerus atau dengan pompa dapat digunakan untuk mengatur
makanan.
c) Memonitor turgor kulitklien
d) Monitor kecendurungan atau penurunan berat badan.
e) Sediakan nutrisi yang tinggi kalori dan protein.
f) Ukur intake output
g) Pantau status nutrisi
e. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
Intervensi:
a) Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya,
peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat.
b) Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri. Kurangi rangsangan.
c) Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
d) Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
e) Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
f. Resiko terhadap kecelakaan (yang diarahkan pada diri sendiri dan orang lain) yang berhubungan
dengan disorentasi, gelisah dan kerusakan otak
Intervensi
a) Mengkaji pasien untuk menjamin jalan nafas adekuat dan tidak ada distensi. Periksa balutan dan
gips untuk adanya kontriksi.
b) Untuk melindungi pasien dari mencederai diri dan melepaskan selang tubuh, menggunakan
bantalan pada pagar tempat tidur atau membungkus tangan pasien dengan sarung tangan.
Menghindari restrein bila memungkinkan karena regangan terhadapnya dapat meningkatkan TIK
atau menyebabkan cedera lain
c) Menimalkan rangsangan lingkungan dengan mempertahankan ruangan tenang, membatasi
penunjung, berbicara dengan lembut, dan memberikan orientasi yang lebih sering melalui
informasi.
d) Memberikan cahaya yang adekuat untuk mencegah halusinasi penglihatan.
e) Identifikasi factor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan.
f) Jangan mengganggu siklus tidur-bangun pasien sesui siklus
g) Lumasi kulit dengan minyak atau pelembab untuk mencegah iritasi karena gesekan dengan linen.
h) Jika ada masalah inkontinen, pertimbangkan untuk menggunakan kantung kateter pada pasien
pria.
g. Perubahan proses pikir (defisit fungsi intelektual, komunikasi, ingatan, proses pikir) yang
berhubungan dengan cedera otak
Intervensi
a) Memperlihatkan peningkatan fungsi kognitif dan meningkatkan memori
b) Mengajarkan fungsi kognisi kepada klien.
c) Memberikan arahan atau pengetahuan kepada klien
h. Potensial terhadap koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan pasien tidak
responsif, hasil yang tidak jelas, periode pemulihan yang lama, sisa kemampuan fisik pasien dan
defisit emosi.
Intervensi
a) Mempunyai hubungan dengan kelompok pendukung
b) Berbagi perasaan dengan tenaga pelayanan kesehatan yang tepat
c) Memberikan informasi kepada keluarga sesuai dengan keadaan pasien yang sebenarnya.
d) Memberikan arahan dan ketenangan kepada pihak keluarga
i. Kurang pengetahuan tentang proses rehabilitasi
Intervensi
a) Melakukan peran aktif dalam mengidentifikasi tujuan rehabilitas dan berpartisipasi dalam
menentukan aktivitas.
b) Memberikan pengetahuan kepada klien atau keluarga tentang penyakit yang dideritanya.
c) Selalu memberikan perkembangan kesehatan.
d) Mempersiapkan keluarga untuk menerima pasien keluar dari rumah sakit.
4. PELAKSANAAN
“Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan yang spesifik untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan”(Nursalam, 2001).
5. Evaluasi
“Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
klien”(Budi,1998).
Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi hasil atau formatif yang dilakukan
setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi proses atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan. Evaluasi
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP.
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih
tetap muncul atau ada masalah baru atau ada masalah yang kontradiktif dengan masalah yang
ada
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. ETIOLOGI
Cidera kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan
industri, kecelakaan olah raga, luka persalinan pada bayi baru lahir.
DAFTAR PUSTAKA
http://buddifarma.blogspot.com/2013/03/askep-cedera-kepala.html
http://tutorialkuliah.blogspot.com/2013/07/konsep-asuhan-keperawatan-cedera-kepala.html
http://hanyasekedarblogg.blogspot.com/2013/06/askep-cedera-kepala.html
http://macrofag.blogspot.com/2013/02/askep-cedera-kepala.html
CEDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada
tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan.
B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak
boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang
merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan
dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak,
lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan kejang Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama
yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien. 3.
Pemeriksaan Fisik Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda
vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII. 4.
Pemeriksaan Penujang · CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. · MRI : Digunakan sama seperti CT-
Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. · Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi
cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. · Serial
EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis · X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur
tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang. · BAER: Mengoreksi batas
fungsi corteks dan otak kecil · PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak · CSF, Lumbal
Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. · ABGs: Mendeteksi keberadaan
ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial · Kadar
Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial ·
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan Konservatif: · Bedrest total · Pemberian obat-obatan · Observasi tanda-tanda vital
(GCS dan tingkat kesadaran) Prioritas Perawatan: 1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak 2. Mencegah
komplikasi 3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal 4. Mendukung proses
pemulihan koping klien / keluarga 5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi. Tujuan: 1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap 2.
Komplikasi tidak terjadi 3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain 4.
Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan 5. Proses penyakit, prognosis,
program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi. B. DIAGNOSA
KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah: 1. Tidak efektifnya pola napas
sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. 2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas
sehubungan dengan penumpukan sputum. 3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem
otak 4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma) 5. Resiko
tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. C.
INTERVENSI Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. Tujuan
: Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu
napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-
batas normal. Rencana tindakan : · Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat
dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa
Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik. · Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang
adekuat dalam pemberian tidal volume. · Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi
biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya
udara terhadap gangguan pertukaran gas. · Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi
dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi. ·
Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya
pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat. · Siapkan ambu bag tetap
berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada
ventilator. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum. Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak
terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan : · Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube. · Evaluasi
pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang
bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum. · Lakukan
pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu
rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia. · Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.
Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan
sputum. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak Tujuan : Mempertahankan dan
memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik. Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada
peningkatan intrakranial. Rencana tindakan : Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan
metode GCS. Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran. Respon motorik
menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang
baik. Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang
otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan
intracranial adalah terganggunya abduksi mata. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit. Peningkatan
sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme
sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan. Perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan
pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon otomatik
penngkatan intrakranial. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang terjadi
akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania. Berikan oksigen sesuai
dengan kondisi pasien. Dapat menurunkan hipoksia otak. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan
tepat dan benar (kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti
osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid
(dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk
menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan
intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.
Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma ) Tujuan : Kebutuhan
dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat. Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan
terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat. Rencana Tindakan : Berikan
penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun. Beri
bantuan untuk memenuhi kebersihan diri. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi,
membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang
harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan. Berikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan
sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan
kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan
untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih. Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga
hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di
ruangan. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan. Lingkungan yang
bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis
pada pasien. Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang Kriteri evaluasi : Ekspresi wajah tidak
menunjang adanya kecemasan Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien Pengetahuan
keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat. Rencana tindakan : · Bina hubungan
saling percaya. Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga. Dengarkan dengan aktif dan
empati, keluarga akan merasa diperhatikan. · Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan
yang akan dilakukan pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan. ·
Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Mempertahankan hubungan pasien dan
keluarga. · Berikan dorongan spiritual untuk keluarga. Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa
cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis. Resiko tinggi gangguan
integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. Tujuan : Gangguan
integritas kulit tidak terjadi Rencana tindakan : · Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi
perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit. · Kaji kulit pasien setiap 8 jam :
palpasi pada daerah yang tertekan. · Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk
daerah yang menonjol. · Ganti posisi pasien setiap 2 jam · Pertahankan kebersihan dan kekeringan
pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit. · Massage dengan lembut di
atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali. · Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang. ·
Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam. · Berikan perawatan kulit
pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2. DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A.
Davis Company. Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing
Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company. Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita
Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta. Harsono (1993) Kapita
Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press
V