Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

MANAGEMEN NYERI

Pembimbing
dr. Imam Wahudi, Sp. An

Disusun Oleh :

Nur Rohmat Maulana Saepudin

201720401011091

SMF ILMU ANESTESI

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

NYERI DAN PENATALAKSANAAN

Referat dengan judul “Managemen Nyeri” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah

satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian

Ilmu Anestesiologi

Surabaya, Oktober 2019


Pembimbing

dr. Imam Wahudi, Sp. An

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

Managemen Nyeri. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis

laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di SMF Anastesi RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan terima kepada dr. Imam Wahudi, Sp. An selaku dokter
pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas bimbingan dan
waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat pada

pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang

dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Surabaya, Oktober 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... 1

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. 2

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 3

DAFTAR ISI .................................................................................................. 4

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... 5

DAFTAR TABEL ............................................................................................ 6

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 8

2.1 Definisi Nyeri..................................................................................... 8

2.2 Patofisiologi Nyeri ............................................................................. 8

2.3 Klasifikasi Nyeri ................................................................................ 13

2.4 Instrumen Penilaian Nyeri ................................................................. 14

2.5 Tatalaksana Nyeri .............................................................................. 16

2.5.1 Non Farmakologi ................................................................... 17

2.5.2 Farmakologi ........................................................................... 20

BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 35

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses Terjadinya Stimulus Rangsangan Nyeri ............................. 12

Gambar 2. Pilihan Pengunaan Skala Penilaian Nyeri ...................................... 15

Gambar 3. WHO Analgesic Ladder ................................................................. 20

Gambar 4. WFSA Analgesic Ladder ............................................................... 21

Gambar 5. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid ................................. 23

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penilaian Nyeri Untuk Anak Di Bawah 4 Tahun ................................ 16

Tabel 2. Metode Non Farmakologi .................................................................. 17

Tabel 3 Pilihan Obat-Obatan untuk Manajemen Nyeri.................................... 21

6
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International

Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional

yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual

maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan1.

Lebih dari 80 % pasien yang menjalani prosedur operasi mengalami

pengalaman nyeri akut pasca operasi dan sekitar 75 % dari itu dilaporkan tingkat

keparahannya sebagai moderat, berat/parah, atau ekstrim. Bukti menunjukkan bahwa

kurang dari setengah dari pasien yang menjalani operasi melaporkan nyeri yang

edekuat pasca operasi. Pengontrolan nyeri yang tidak adekuat memberi efek negative

terhadap kualitas hidup, fungsi, dan pemulihan secara fungsional, risiko komplikasi

pasca pembedahan, dan risiko nyeri persisten pasca operasi2.

Tatalaksana nyeri terdiri dari non farmakologi dan farmakologi. Secara

farmakologi penyembuhan nyeri menggunakan analgetik. Analgetik adalah suatu

senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Secara

umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik

narkotik (opioid). Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering

digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri pada saat pembedahan dan

nyeri pada pasca pembedahan3.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International

Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional

yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual

maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan1.

2.7 Patofisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang

nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas

dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial

merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri

(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf

perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada

daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga

memiliki sensasi yang berbeda.4

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari

daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Klasifikasi nosiseptor

didasarkan pada klasifikasi ujung serabut saraf terminal. Ada dua jenis serabut

saraf:1

8
1. Diameter kecil, saraf tidak bermielin yang menghantarkan impuls lambat

(2 m/sek=7.2 km/jam) , disebut serabut C.

2. Diameter besar, saraf yang bermielin yang menghantarkan impuls saraf

dengan cepat (20 m/sek = 72 km/jam), disebut serabut A delta.

Nosiseptor Serat C merespon berbagai stimulus panas, mekanis, dan kimia, dan

serat A delta merespon dua jenis stimulus yakni mekanis dan mekanis panas. Ini

baik diketahui bahwa sensasi nyeri itu dapat dibuat dalam dua kategori, yang

munculnya cepat, tajam (epikritik) dan kedua nyeri lambat, tumpul, sangat lama

(protopatik). Pola ini dapat dijelaskan dengan perbedaan pada kecepatan perambatan

dari impuls saraf pada dua tipe serabut saraf yang dijelaskan diatas. Impuls serabut

saraf penghantarannya cepat A delta menghasilkan sensasi yang tajam, nyeri cepat

sementara nosiseptor serabut saraf C menghasilkan sensai yang lambat, dan nyeri

tumpul.1

Aktivasi perifer dari nosiseptor (transduksi) dimodulasi oleh jumlah substansi

kimia yang diproduksi atau dihasilkan ketika terdapat kerusakan sel. Mediator-

mediator ini mempengaruhi derajat aktifitas saraf dan karena itu intensitas nyeri,

dapat disensasikan. Stimulasi berulang biasanya menyebabkan sensasi dari serabut-

serabut saraf perifer, menyebabkan penurunan ambang rasa sakit dan nyeri spontan,

mekanisme itu dapat dialami sebagai hipersensitifitas kutaneus seperti area kulit

dengan terbakar sinar matahari.1

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor nyeri

yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga

9
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri

yang tumpul dan sulit dilokalisasi.5

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-

organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul

pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat

sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. 5

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri

dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi

stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering

didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi

epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai

dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf

besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor

ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A

delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).1,5

Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu1,5 :

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas

listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti

prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,

serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa

stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

10
2. Transmisi

Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor

saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C

sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut

mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus

sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls

disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,

dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang

dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga

melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan

aktifitas di reseptor nyeri.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari

proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan

suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

11
Gambar 1. Proses terjadinya stimulus rangsangan nyeri.(dikutip dari kepustakaan 5)

Respon fisiologis terhadap nyeri

1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b. Peningkatan heart rate

c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d. Peningkatan nilai gula darah

e. Diaphoresis

f. Peningkatan kekuatan otot

g. Dilatasi pupil

h. Penurunan motilitas GI

2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a. Muka pucat

b. Otot mengeras

c. Penurunan HR dan BP

d. Nafas cepat dan irreguler

e. Nausea dan vomitus

12
f. Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

2. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

3. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari

& tangan).

4. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas

menghilangkan nyeri).

2.8 Klasifikasi Nyeri

1. Menurut onset dan stimulus penyebabnya, terbagi menjadi:6,7

a. Nyeri akut

Disebabkan oleh kerusakan jaringan dan ini menghilang seiring dengan

penyembuhan jaringan. Nyeri akut hilang setelah beberapa jam hingga

beberapa hari (7 hari). Contohnya adalah nyeri karena pembedahan.

b. Nyeri kronik

Bila nyeri menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun,

walaupun kerusakan jaringan telah sembuh.

13
2. Menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif

dan nyeri non nosiseptif.6,7

a. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan disebabkan

kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung lokasinya nyeri dapat

digolongkan nyeri somatic dan nyeri visera.

b. Nyeri non nosiseptif (nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan

kerusakan jaringan saraf sentral maupun perifer. Kerusakan saraf dapat

disebabkan oleh infeksi /inflamasi, proses metabolic(diabetes mellitus),

trauma pembedahan maupun infiltrasi atau tekanan tumor.

 Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu kerusakan pada tingkat

corda spinalis atau thalamus misalnya differentiation pain atau

central pain.

 Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional misalnya nyeri pada

polineuropati dan causalgia ( sympathetic dystrophy pain)

3. Menurut berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang,

berat. Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang dijelaskan

pada penilaian skala nyeri.6,7

2.9 Instrumen Penilaian Nyeri

Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat intesitas nyeri.7,8

1. Eskpresi wajah. Skala ini digunakan untuk pasien yang mengalami komunikasi.

Misalnya anak-anak, orang tua, pasien jiwa, pasien ganguan mental atau pasien

yeng tidak dapat berbicara dengan bahasa setempat.

14
2. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat nyeri. Yaitu

nyeri ringan, sedang, hebat dan sangat hebat

3. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10 dimana

pasien ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk angka.

4. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang 100 mm

dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang mengambarkan itensitas

nyerinya

Gambar 2. Pilihan Pengunaan Skala Penilaian Nyeri (Dikutip dari kepustakaan 8)

Pada anak-anak usia dibawah empat tahun untuk menilai nyerinya bisa

menggunakan beberapa indikator yang hasilnya diakumulasi. Bila pasien tidur, tidak

dibutuhkan penilaian lebih lanjut. Bila pasien bangun periksalah hal-hal berikut:

15
Cry Not crying Score 0

Crying Score 1
Posture Relaxed Score 0
Tense Score 1
Expression Relaxed or happy Score 0
Distressed Score 1
Response Responds when spoken to Score 0
No response Score 1
Note: Total skor 1: nyeri ringan, 2: nyeri sedang, 3: nyeri berat dan 4: nyeri yang
mungkin paling buruk.
Tabel 1 : Penilaian Nyeri Untuk Anak Di Bawah 4 Tahun (Dikutip dari kepustakaan 9)

2.10 Tatalaksana Nyeri

Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri

Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus

memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan

nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama

2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan

5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-

besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum

untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.

2.10.1 Non Farmakologi

16
Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakologis yang

sering dipakai.

Contoh metode non farmakologi pada penanganan nyeri


Dingin Air es digunakan pada operasi ortepedi setelah
operasi kaki. Air es dapat digunakan di rumah
sakit maupun dirumah. Ada system komersial
yang mudah digunakan. Penggunaan air es
dalam jenis lain dari operasi perlu adanya
investigasi lebih lanjut.
Akupuntur Tidak ada efek yang didokumentasikan pada
akupuntur dalam manajemen nyeri pasca
operasi. Dimana, mungkin ada efek dalam
mengurnagi mual dan muntah.
Terapi relaksasi dan gangguan, Ini mungkin memiliki efek positif pada kasus
seprti music, citra/imajinasi, perorangan. Ada CD musik yang tersedia untuk
atau hypnosis relaksasi.
Tabel 2. Metode Non Farmakologi (Dikutip dari kepustakaan 10)
Tindakan non farmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa

tindakan penanganan berdasarkan.11,12

a. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:

1) Stimulasi kulit

Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot.

Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar,

sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri

2) Stimulasi electric (TENS)

Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara

ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa

dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi

saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS

17
merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang

dihantarkan melalui elektroda luar.

3) Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk

mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan

menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok

transmisi nyeri ke otak.

4) Plasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa

kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti

kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.

b. Intervensi perilaku kognitif meliputi:

1)Relaksasi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa

keuntungan, antara lain:

1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau

stress

2. Menurunkan nyeri otot

3. Menolong individu untuk melupakan nyeri

4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur

5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain

6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai berikut:

18
1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru

2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan

rasakan betapa nyaman hal tersebut

3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu

4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-lahan,

pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk

mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan dan hangat.

5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut, punggung dan

kelompok otot-otot lain

6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila

nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.

2) Umpan balik biologis

Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang

respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon

tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara

memasang elektroda pada pelipis.

3) Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

4) Distraksi

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai

sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio

(mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi

intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.

19
5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)

Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,

tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari

pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan

ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.

2.10.2 Farmakologi

World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk

meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat

juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk

mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali

diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang

merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri

tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti

kodein dan dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai

kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,

misalnya morfin.10

Gambar 3. WHO Analgesic Ladder

20
Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of

Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati

nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga

perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan

berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui

suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan penggunaan rute oral

untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang

memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang

berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat

dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.7,9

Gambar 4. WFSA Analgesic Ladder (Dikutip dari kepustakaan 9)


Pilihan obat-obatan untuk manajemen nyeri seperti pada tabel dibawah ini.
Pilihan farmakologi pada manajemen nyeri
Analgetik non opioid Paracetamol, NSAID, termasuk penghambat COX-2,
Gabapentin, Pregabalin.
Opioid lemah Codein, Tramadol, Paracetamol dikombinasi dengan
Codein atau tramadol
Opioid kuat Morfin, Diamorfin, Petidin, Pintramide, Oxycodon
Adjuvant Ketamin, Clonidine
Tabel 3 : Pilihan Obat-Obatan untuk Manajemen Nyeri (Dikutip dari kepustakaan 8)

21
 Analgesik Non-Opioid

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang,

menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan OAINS.

Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti

inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil

salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri

akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat

kanker ringan.7,9

Gambar 5. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

 Parasetamol

Parasetamol merupakan nama lain dari asetaminofen

 Farkodinamik : Efek analgesic serupa dengan salisilat yatu

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.

22
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanismie yang diduga

juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.

Efek iritasi-erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat, demikian

juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa

 Farmakokinetik :

o Absorbsi secara cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Obat ini

terserbar ke seluruh cairan tubuh. Mentabolisme oleh enzim

mikrosom hati. Sebagian dikonjugasi dengan asam glukuronat dan

sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Ekskresi melalui ginjal,

sebagian kecil sebagai parasetamol dan sebagian besar dalam bentuk

terkonjugasi

o Onset : Oral : <1jam; IV : 5-10menit (analgesik); 30menit (antipretik)

o Durasi : 4-6 jam (analgesik), IV ≥6 jam

o Peak Effect : ½ jam

 Efek Samping

Reaksi alergi jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau

urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada

mukosa

 Dosis untuk dewasa: 300mg-1g/x minum maksimal 4g/hari; anak 6-

12th: 150-300mg/x dengan dosis maksimal 1,2g/hari; anak 1-6th: 60-

120mg/x dan bayi <1th: 60mg/x dengan diberikan maksimal 6x/hari

 Ketorolak

23
Merupakan analgesik poten dengan anti-inflamasi sedang.

 Farmakodinamik : reversible menghambat enzim COX-1 dan COX-

2 yang menghasilkan penurunan pembentukan precursor

prostaglandin. Ini menunjukkan efek anti-inflamasi minimal pada

dosis analgesiknya

 Farmakokinetik :

Absorbsi oral dan intramuscular berlangsung cepat mencapai puncak

dalam 30-50 menit. Bioavaibilitas oral 80% dan hamper seluruhnya

terikat protein plasma. Ketorolak IM sebagai analgesic pascabedah

memperlihatkan efektivitas sebanding morfin/meperidin dosis

umum; masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih

ringan, dapat diberikan per oral

- Onset : 30 menit (IV/IM)

- Durasi : 4-6 jam

 Dosis IM 30-60mg; IV 15-30mg; dan oral 5-30mg

 Efek Samping

- Nyeri pada tempat suntikan

- Gangguan saluran cerna

- Kantuk

- Pusing

- Sakit kepala

 Antrain/Santagesik

24
 Farmakodinamik : Menghambat sintesis dari prostaglandin D dan E

pada efek analgesik, anti inflamasi, dan anti piretik

 Farmakokinetik

o Absorbsi: hidrolisa cepat dalam cairan lambung metabolisme oleh

enzim 4-metil-amino-antipirine didistribusi hingga ke asi dan

diekskresikan melalui ginjal

 Efek samping : Reaksi anafilatik, dyspnea, urtikaria

 Dosis : Oral: 1tab sebagai dosis tunggal, max: 4x1 tab; Inj: 2-5 ml

IM/IV sebagai dosis tunggal, maks: 10 ml/hari; syr: 10-20ml sebagai

dosis tunggal, maks: 4x20 ml/hari

 Opioid Kuat

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan

opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah

sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan

karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat

melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan.7,9

Drug name Route of Dose Length of


delivery (mg) Action (h)
Morphine Intramuscular/ 10-15 2-4
subcutaneous
Methadone Intramuscular 7.5-10 4-6
Pethidine/Meperidine Intramuscular 100-150 1-2
Buprenorphine Sublingual 0.2-0.4 6-8
(Intravenous - half the IM dose slowly over 5 minutes)
Tabel 4.Opioid kuat (Dikutip dari kepustakaan 9)

 Morfin

25
Morfin masih popular sampai saat ini, pada premedikasi sering

dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin (largaktil). Pada

pemeliharaan anestesia umum di kamar bedah sering digunakan sebagai

tambahan analgesia dan diberikan secara intravena.11

Morfin adalah analgesik narkotik pertama yang digunakan untuk

mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan,

mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anestesia dengan

trikloretilen, dan membantu agar anestesia berlangsung baik. Morfin 8-10

mg yang diberikan IM biasanya cukup untuk tujuan tersebut. 12

 Farmakodinamik : Efek morfin pada SSP dan usus terutama

ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor mu

(μ). Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah

terhadap reseptor delta dan kappa

 Farmakokinetik :

- Onset : IV < 1 menit; IM 1-5 menit; SC 15-30 menit; PO 15-60 menit;

Epidural atau spinal 15-60 menit. 13

- Peak effect : IV 5-20 menit; IM 30-60 menit; SC 50-90 menit; PO 30-60

menit; Epidural atau spinal 90 menit. 13

- Durasi : IV/IM/SC 2-7 jam; Epidural atau spinal 6-24 jam. 13

 Efek samping :

Jarang dijumpai alergi, gatal seperti alergi kadang ditemukan ditempat

suntikan berupa bentol kecil atau gatal, mual dan muntah. Pruritus sering

26
dijumpai pada pemberian morfin secara epidural dan intratekal, tetapi dapat

segera dihilangkan dengan pemberian nalokson tanpa menghilangkan efek

analgesinya. 11

- Kardiovaskular : Hipotensi, hipertensi, bradikardoa, aritmia13

- Pulmoner : Bronkospasme, laringospasme.13

- SSP : Penglihatan kabur, syncope, euphoria, disforia.13

- GU : Retensi urin, efek antidiuretic, spasme ureter.13

- GI : Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual muntah,

penundaan pengosongan lambung.13

- Mata : Miosis13

- Muskuloskeletal : Kekakuan dinding dada. 13

- Alergik : Pruritus, urtikaria.13

Untuk digunakan sebagai obat utama anestesia harus ditambahkan

benzodiazepine atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatil dosis rendah.

Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialah 0,1-

0,2 mg/kgBB. Subkutan, intramuskular dapat diulang tiap 4 jam.11

Untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai

yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri

persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal dan

dapat diulang antara 6-12 jam.11

 Petidin

27
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya

sangan berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek

samping yang mendekati sama.14 Perbedaan dengan morfin sebagai

berikut11 :

- Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang

lebih larut dalam air

- Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan mormeperidin,

asam meperidinat, dan asam normeperidinat.

- Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,

kekaburan pandangan dan takikardia

- Seperti morfin, menyebabkan konstipasi tetapi efek terhadap sfingter

oddi lebih ringan

- Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah

yang taka da hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg

iv pada dewasa (morfin tidak).

- Lama kerja petidin lebih pendek disbanding morfin

 Farmakodinamik : Bekerja sebagai agonis reseptor μ.12

28
 Farmakokinetik :

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik.

Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah pemberian

IM. Setelah pemberian IV kadar meperidin dalam plasma menurun secara

cepat dalam 1-2 jam pertama. Kemudian penurunan berlangsung dengan

lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.

Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. 12

- Onset : PO 10-45 menit; IV < 1 menit ; IM 1-5 menit ; Epidural atau

spinal 2-12 menit. 13

- Peak effect : PO < 1 jam; IV 5-20 menit; IM 30-50 menit; Epidural

atau spinal 2-12 menit. 13

- Durasi : PO/IV/IM 2-4 jam ; Epidural atau spinal 0,5-3 jam. 13

 Efek Samping :

- Kardiovaskular : hipotensi, henti hantung. 13

- Pulmoner : Depresi pernapasan, henti napas, laringospasme. 13

- SSP : Euforia, disforia, sedasi, kejang, ketergantungan psikis. 13

- GI : Konstipasi, spasme traktus biliaris. 13

- Muskuloskeletal : kekakuan dinding dada. 13

- Alergik : Urtikaria, pruritus. 13

Seperti morfin, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria,

depresi napas, dan efek sentral lain.3 Dosis petidin umumnya 12,5-50 mg

IV juga efektif mengatasi menggigil akibat berbagai sebab anesthsia. Dosis

29
petidin intamuskular 1-2mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat diulang

tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB.14 Efek analgetik meperidin

serupa dengan efek analgetik morfin, efek analgetik meperidin mulai

timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam dua

jam.12


Fentanil

Fentanyl ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin.

Lebih larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan

dengan mudah. Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek

analgesinya, Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung

30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan

tidak untuk pasca bedah.11

Dosis besar 50-150 µg/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan

pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik

inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. 11

 Farmakodinamik : Fentanyl dan derivatnya (sulfentanil, alfentanil,

dan remifentanil) merupakan opioid sintetik dari kelompok

fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor µ.12

 Farmakokinetik :

- Onset : IV 30 detik; IM < 8menit; Epidural atau spinal 4-10menit

Tramsdermal 12-18 jam; Oral transmukosa 5-15 menit. 13

30
- Peak effect : IV 5-15 menit; IM <15 menit; Epidural atau spinal <30

menit; Oral transmukosa 20-30 menit. 13

- Durasi : IV 30-60 menit; IM 1-2 jam; Epidural atau spinal 1-2 jam;

Transdermal 3 hari. 13

 Efek samping :

Dapat menimbulkan mual dan muntah, serta gatal. Kekakuan otot

yang mungkin terjadi lebih sering terjadi bila diberikan secara bolus dan

dapat dikurangi dengan menghindarkan atau memperlambat pemberian

secara bolus. Fentanil dosis tinggi juga dapat merangsang saraf dan

kadang-kadang menimbulkan reaksi konvulsi.12

- Kardiovaskular : hipotensi, bradikardia. 13

- Pulmoner : depresi pernapasan, apnea. 13

- SSP : Pusing, penglihatan kabur, kejang. 13

- GI : Mual, emesis, pengosongan lambung tertunda, spasme traktus

biliaris. 13

- Mata : Miosis. 13

- Muskuloskeletal : Kekakuan otot. 13

 Ketamine

Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan

relatif aman (batas keamanan lebar). Ketamin mempunyai sifat analgesik,

anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat. Efek anestesinya

ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan neurotransmitor

31
eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya

sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral.

Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang

tonusnya sedikit meninggi.12

 Farmakodinamik : Ketamin bekerja sebagai antagonis nonkompetitif pada

reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat) sehingga terjadi hambatan pada

depolarisasi neuron di SSP.15

 Farmakokinetik :

- Onset : IV < 30 detik ; IM atau rektal 3-4 menit.13

- Peak effect : IV 1 menit; IM atau rektal 5-20 menit; PO 30 menit.

- Durasi : IV 5-15menit; IM atau rektal 12-25menit; Epidural 4 jam.

 Efek samping :

- Kardiovaskular : Hipertensi, takikardia, hipotensi, aritmia,

bradikardia. 13

- Pulmoner : Depresi pernapasan, apnea, laringospasme. 13

- SSP : Gerakan tonik, klonik, delirium bangkitan. 13

- GI : Hipersalivasi, mual, muntah. 13

- Mata : Diplopia, nistagmus, peningkatan ringan dari tekanan

intaokular. 13

Anetesia dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental

pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal

sebagai anestesia disosiatif. Disosiasi ini sering disertai dengan keadaan

32
kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan

tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran pulih setelah 10-15

menit. Analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangun

1-2 jam.12

Pada masa pemulihan dapat terjadi emergence phenomenon yang

merupakan kelainan psikis berupa disorientasi, ilusi sensoris, ilusi

perseptif, dan mimpi buruk. Kejadian ini dapat dikurangi dengan

pemberian diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB 5 menit sebelum pemberian

ketamin.12

Dosis induksi ketamin adalah 1-2mg/kgBB IV atau 3-5mg/kgBB IM.

Stadium depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan

anestesia dapat diberikan dosis 25-100 mg/kgBB/menit. Stadium operasi

terjadi dalam 12-25 menit.12

33
BAB III

KESIMPULAN

Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang

didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :

menurut onset dan stimulus penyebabnya yakni akut, kronik, dan menurut mekanisme

terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif dan nyeri non nosiseptif. Ada

beberapa skala yang digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yaitu : Wong-Baker

Faces Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale, Numerical Rating Scale, dan Visual

Analogue Scale. Manajemen nyeri pada pasien dengan pasca operasi terdiri atas terapi

farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah

obat analgesik yang dapat dibagi menjadi 3 kelompok : analgetik nonopioid, opioid

dan adjuvant. Terapi non farmakologis yang dapat diberikan yaitu penanganan fisik

dan intervensi perilaku kognitif.

34
DAFTAR PUSTAKA

2. Patel, NB. Physiologi of Pain. 2010. [cited 15 Oktober 2019]. Available from URL:

https://sbs.uonbi.ac.ke/npatel/files/chapter_3_physiology_of_pain_.pdf

3. Chou R, et all. Guidelines on the management of postoperative pain. 2016. [cited 15

Oktober 2019] Available from URL: http://www.jpain.org/article/S1526-

5900(15)00995-5/abstract

4. Ratna, Ratih, Pryambodho. 2012. Buku Ajar Anastesiologi. Departemen Anestesiologi

dan Intensive Care FKUI : Jakarta. Hal. 149-175

5. Guyton, AC. Hall, JE. Sensai Somatik dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11.

Jakarta: EGC. 2007.

6. Anonim. [cited 15 Oktober 2019]. Available from URL :

http://www.scribd.com/doc/76378479/Referat-Anestesi-Penanganan-Nyeri#scribd

7. Cole, BE. Pain management : Classifying, understanding, and treating pain . [cited 15

Oktober 2019]. Available from URL : http://www.turner-

white.com/pdf/hp_jun02_pain.pdf

8. Anonim. [cited 15 Oktober 2019]. Available from URL :

https://www.scribd.com/document/170351363/Manajemen-Nyeri-Pasca-Operasi

9. Andres, Jose, Fischer, J, Ivani, Girgio, et.all. Postoperative Pain Management Good

Clinical Pratice. Of European Society of Regional Anasthesia.2005. [cited 15 Oktober

2019] Available from URL: http

http://polanest.webd.pl/pliki/varia/books/PostoperativePainManagement.pdf

35
10. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of

Anaesthesiologists. [cited 15 Oktober

2019]http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm

11. Ramsay MA., 2000, Acut Postoperative Pain Manajement, [cited 15 Oktober 2019]

Available from URL: http.//www.bumc.com

12. Said, Kartini, Ruswan. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Badan

Penerbit FKUI : Jakarta. Hal. 77-83

13. Zunlida, Elysabeth. 2011. Farmakologi dan Terapi. Badan Penerbit FKUI : Jakarta.

Hal. 122- 138

14. Omoigui, Sota. 2014. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia. EGC : Jakarta. Hal. 179-183

15. Setiawan,, Irvan. 2014. Perbandingan Pemulihan Bising Usus Pada Pasien

Pascaoperasi Histerektomi per Laparotomi Menggunakan Analgetik Kombinasi

Ketamin – Morfin Dengan Morfin Intravena. Bandung : Jurnal JAP Vol. 2 No. 1

16. Katzung. G Bertram. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC Jakarta. Hal. 479-496

36

Anda mungkin juga menyukai