Anda di halaman 1dari 3

BERPUASA SUNNAH,

WHY NOT ?
Barangsiapa mengerjakan kebaikan secara
Sukarela, maka itulah yg lebih baik baginya
(Q. S. Al-Baqarah [2] : 184)

B agi kaum muslimin, tidak ada teladan yang baik, yang dapat dijadikan sebagai
contohdalam kehidupan kecuali Baginda Nabi Muhammad SAW. Diutusnya beliau
kepada seluruh umat manusia adalah sebagai “Duta Cinta” Yang mengajak sekaligus
memberikan panduan nyatatentang bagaimana seharusnya menjalani hidup yang baik, agar
selamat dunia dan akhirat. Kemudian, yang tak boleh dilupakan adalah tindakan-tindakan
atau perilaku, bagaimana supaya Allah SWT menjadi lebih sayang kepada kita.
Semua resep-resep kehidupan yang penuh “cinta” tersebut telah diajarkan dan
dipraktikkan Nabi SAW selama belau hidup agar menjadi contoh bagi generasi selanjutnya.
Lupakah kita pada sebuah fragmen kehidupan Nabi SAW? Bagaimana Aisyah sampai
terheran-heran denga amalan Rasullah, sampai dia tak tahan uuntuk bertanya, “Ya Rasullah
bagaimana Anda tetap menjalankan shalat malam dan puasa-puasa sunnah lainnya?
Bukankah Anda telah dijamin Allah masuk surga?” Mendengarkan pertanyaan istri
tersayangnya itu, Rasul pun tersenyum dan menjawab, “Ya Aisyah, tidak bolehkah kalau
sekiranya aku menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur?”
Ya, ternyata manusia agung itu (Rasullah) menjadikan ibadahnya, terlebih diluar yang
diwajibakan oleh Allah, sebagai cara beliau mengungkapkan rasa syukurnya kepada-Nya.
Dalam konteks ini, amalan-amalan beliau diluar yang wajib adalah puasa-puasa sunnah.
Maha benar Allah yang telah memilihnya sebagai Nabi akhir zaman; penuntun manusia dari
kegelapan menuju cahaya-Nya.
Jika Nabi SAW yang telah dijamin masuk surga saja tetap bersemangat puasa-puasa
sunnah, lalu bagaimana dengan kita? Sebagai engikut setianya, sudah semestinya pula kita
meneladani amalan-amalan mlia yang beliau lakukan, termasuk puasa-puasa sunnah. Puasa-
puasa sunnah inilah yang akan menjadikan kita semakin dekat dan lekat dengan Allah SWT.
Dengan berpuasa sunnah, berarti kita tengah menghamba secara tulus kepada Allah
SWT dan berjalan menuju keridhaan-Nya yang Maha sempurna. Selain membuktikan
penghambaan, puasa sunnah juga membuktikan hal-hal lain sebagai berikut.
1. Bukti Kecintaan
Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa
kalian. ‘Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. “ (Q. S. Ali ‘Imran [3] : 31)
Bersyukur adalah kata yang umum digunakan dalam hubungan seorang hamba
dengan Sang Penciptanya atas segala anugerah dan karunia yang telah Ia berikan.
Dalam bahasa sehari-hari, syukur atau bersyukur esensinya tak jauh berbeda dengan
ungkapan terima kasih. Maka, hamba-hamba Allah yang selalu bersyukur kepada-Nya
dengan demikian adalah mereka yang selalu mengucapkan terima kasih.
Sesunguhnya, ungkapan terima kasih (syukur) itu sejatinya merupakan bentuk cinta.
Lihatlah bagaimana seseorang yang saling mencitai, perilaku mereka akan mudah
dideteksi dengan seringnya kata “terima kasih” keluar dari bibir mereka. Sikap
tersebut, ada dasarnya digunakan pula sebagai motif untuk lebih meningkat kadar
kecintaan di antara mereka. Bahkan, atas motif cinta pula, banyak pasangan yang rela
melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diminta pasanganya. Semua dilakukan
hanya demi tujuan menyenangkan dan mendekatkan hati, dan tentu saja menyuburkan
cinta itu sendiri.
Demikian pula yang sesungguhnya berlaku pada ibadah-ibadah sunnah dalam
ajaran Islam, termasuk puasa sunnah. Dalam sebuah hadist qudsi, Allah SWT
berfirman, “Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku (Allah) dengan amal yang lebih
Aku cintai daripada amal yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan, hamba-Ku
senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sehingga Aku pun
mencintainya. Maka, jika Aku telah mencintainya, Aku adalah pendengarannya. Aku
adalah pengliahatannya yang dengannya dia melihat. Aku adalah tangannya yang
dengannya dia berbuat. Aku adalah kakinya yang dengannya dia berjalan. Apabila dia
memohon, Aku pasti memberinya,dan bila dia memohon perlindungan, Aku akan
melindunginya.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadist qudsi dia atas, tergambarkan betapa cinta Allah akan turun
kepada kita dengan amalan-amalan sunnahsetelah amalan-amalan wajib yang mesti
Kita tunaikan terlebih dahulu.
Allah SWT sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang) telah melimpahkan cinta dan kasih-Nya tersebut karena pada
dasarnya cinta tidak berlaku hanya satu arah, tetapi dua arah-timbal balik. Meski pada
hakikatnya, Allah sungguh tidak memerlukan dan tidak mengharap cinta dari manusia
yang Dia ciptakan (makhluq). Karena, sejatinya Dia adalah Dzat Yang Maha Berdiri
Sendiri (Al-Qayyum).
Maka, puasa-puasa sunnah yang kita jalankan adalah bentuk jawaban cinta
kita kepada-Nya karena dalam Islam segala segala pengakuan keimanan dan juga
“cinta” tidak hanya berhenti pada pengakuan di bibir, tetapi harus dibuktikan dengan
perbuatan sebagai pengejawantahannya.
Dengan demikian, pembuktian cinta kita dan cinta yang berjalan secara dua
arah itu terpenuhi maksudnya. Cinta antara seseorang hamba sebagai makhluq
terhadap Sang Khalik (Penciptanya) dan sebalinya, “Aduhai, betapa indah.”
Puasa sunnah sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan Nabi SAW adalah
pembuktian cinta yang aktif. Dengan kata lain, manusia tidak hanya semata-semata
mengharapkan cinta dari Tuhannya karena dengan begitu dia telah bersikap pasif.
Dalam hal ini, dia juga harus bertindak aktif dengan meneguhkan hati dan dirinya
untuk mencintai Tuhannya. Bagaimana caranya? Ya, salah satunya dengan
mengamalkan puasa sunnah.
2. Bukti Keimanan
Dua buah kalimat persaksian (syahadatain), yang berbunyi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya merupakan pilar pokok dalam Islam.
Inilah yang menandai dimulainnya keimanan seseorang pada keesaan Allah,
kebenaran Islam, dan keagungan ajaran-ajarannya yang termanifestasikan dalam
ucapan dan perilaku. Termasuk dalam wilayah ini adalah ibadah-ibadah sunnah yang
beliau amalkan, yang di dalamnya mengandung banyak keutamaan. Tidak ada satu
pun yang Muhammad SAW bicarakan dan lakukan merupakan sebuah kesia-siaan.
Pada dasarnya, apa yang berlaku bagi dia untuk umatnya merupakan ajaran yang
diwahyukan kepadanya untuk kebaikan umat manusia, dan Nabi SAW sangat
menginginkan umatnya selamat dan bahagia. Allah SWT berfirman,”Sesunngguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan) bagimu, serta amat belas kasih dan
penyanyang terhadap orang-orang yang beriman.” (Q. S. At-Taubah [9]: 128)
Karena itu, bila ada seseorang yang melakukan puasa sunnah, sesuai dengan
yang dituntunkan Nabi SAW, secara langsung maupun tidak langsung orang tersebut
telah membuktikan sebuah kebenaran dari apa yang pernah diajarkan oleh Rasullulah.
Selain itu, hal tersebut merupakan upaya pembuktian keimanan kita kepada beliau.
Karenanya, orang tersebut akan memperoleh kebaikan atau keutamaan dalam hidup-
baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT,
“Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman maka sesungguhnya Kami akan memberikan padanya kehidupan
yang baik.” (Q. S. An-Nahl [16] : 97)
Berikut ini beberapa ayat yang menyuratkan adanya kebaikan apabila kita
melakukan amalan sunnah. Di antaranya adalah kebaikan dengan mendapatkan
pertolongan dari-Nya, “Dan, Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang
beriman,” (Q. S. Ar-Rum [30] : 47); keberkahan yang melimpah, “Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Q. S. Al-A’raf [7] : 96)
Selanjutnya, manfaat mengikuti anjuran Rasulullah SAW untuk berpuasa
sunnah adalah bahwasanya doanya dikabulkan ketika berbuka (ifthar), “Orang yang
berpuasa memiliki kesempatan berdoa yang tidak akan ditolak (mstajab) pada saat
berbuka,” (HR Ibnu Majah). Itulah sebagian dari apa yang akan diberikan oleh Allah
SWT untuk mereka yang sungguh-sungguh membuktikan keimanan dan
keyakinannya atas kebenaran ajaran Islam.
Renungkanlah, betapa Allah SWT Maha Pemurah. Dia tak pernah
menganggap sepi dan sepele atas kesungguhan iman hamba-Nya. Tak ada setitik
kebaikan punyang tak dibalas oleh-Nya. Benarlah firman-Nya, “Dan, barangsiapa
yang beramal kebaikan seberat biji zarah maka dia akan mendapatkan balasannya.”
(Q. S. Al-Zalzalah [99] : 7)
Keimanan, pembuktian, dan janji-janji Allah mestinya menjadi perhatian kita
bahwa segala amalan yang dituntunkan pasti akan mendapatkan balasannya,
sementara yang tidak ada tuntunannya hanya akan berakhir sia-sia. Nabi SAW
bersabda, “Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan (agama) kami yang
tidak ada dasarnya, maka ia tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, tak ada pilihan lain bagi kita terutama bagi mereka yang
gemar berpuasa, namun puasanya di luar dari apa yang diturunkan oleh Nabi SAW,
seperti puasa patigeni, puasa mutih, dan sejenisnya untuk segera sadar dan beralih
menuju puasa sebagaimana yang diajarkan oeh Rasulullah SAW sehingga nantinya
dalam banyak kesempatan kita akan merasa percaya diri untuk berdoa, “WahaiTuhan
kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, kami juga teah
mengikuti rasul. Kareba itu, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang
bersaksi.” (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 53)
3. Bukti Keikhlasan
Bila dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain, puasa memiliki kelebihan
dan keistimewaan tersendiri karena Allah SWT berjanji bahwa Dia sendirilah yang
akan membalas pahala orang-orang yang berpuasa.
Hal penting yang tidak boleh kita abaikan dari ibadah puasa adalah bahwa
ibadah tersebut lebih dinilai tingkat keikhlasan pelakunya. Keikhlasan inilah yang
menjadi barometer diterimanya suatu ibadah, termasuk puasa. Mengapa keikhlasan
menjadi barometernya? Karena, keikhlasan merupakan bukti pengabdian yang tulus
dari seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan keikhlasan pula, ibadah akan memiliki
“roh” untuk selanjutnyadihadapkan kepada Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai