Kajian ini menjelaskan tentang pandangan Ki Hajar Dewantara terhadap
realitas yang mengandung unsur sufisme. Meskipun dikenal sebagai bapak Pendidikan bangsa, dalam pemikiran Ki Hajar, terkandung beberapa nalar sufistik. Salah satu titik awal dalam mengkaji pemikiran sufistik Ki Hajar adalah pandangannya terhadap realitas. Dengan menggunakan pendekatan eksistensialisme- sufistik, kajian ini menyimpulkan bahwa keberadaan manusia dan alam yang merupakan pancaran dari Tuhan (al-fayd al-wuju>di>), memiliki dua eksistensi “ada”, ada yang tidak berkesadaran (being in it self) dan ada dengan berkesadaran (being for its self). Eksistensi ada dalam pemikiran Ki Hajar tidak mengarah pada eksistensi mutlak seperti yang dimaksud kalangan eksistensialis barat tapi berada pada wilayah eksistensi relatif (wuju>d id}afi>). Ada dengan tidak berkesadaran memiliki kodrat yang telah ditentukan, sedangkan ada dengan berkesadaran adalah kemampuan untuk mengatasi selain dirinya. Manusia diidentifikasi oleh Ki Hajar dengan sebutan makhluk yang berjiwa luhur yang menandakan keunggulannya dari ciptaan Tuhan yang lain, sedangkan alam (al-insa>n al-kabi>r) mengandung kekuatan kodrat ketuhanan. Keduanya merupakan representasi wujudnya Tuhan. Manusia, menurut Ki Hajar, merupakan bagian dari alam yang terus mengelilinginya, sehingga manusia menghimpun realitas-realitas (h}aqa>iq) alam dalam dirinya. Disisi yang lain, manusia sempurna memiliki jiwa yang bersemayam dalam dirinya. Hakikat kemanusian (al-insa>niyah) manusia yang paling esensial bagi Ki Hajar adalah terletak pada posisinya sebagai wakil Tuhan (khalifah) dalam ikut mengatur pada zaman (alam). Dalam konteks ini, penyatuan (manunggaling) antara Tuhan dan manusia terjadi pada saat manusia memainkan peran aktif dalam memberi aliran pada zaman dan mewujudkan sifatnya alam.