Anda di halaman 1dari 1

Manunggaling dalam Realitas Sufistik

Ki Hajar Dewantara

Oleh:
Naufal Cholily
UIN Sunan Ampel Surabaya
naufalcholily@gmail.com

Kajian ini menjelaskan tentang pandangan Ki Hajar Dewantara terhadap


realitas yang mengandung unsur sufisme. Meskipun dikenal sebagai bapak
Pendidikan bangsa, dalam pemikiran Ki Hajar, terkandung beberapa nalar sufistik.
Salah satu titik awal dalam mengkaji pemikiran sufistik Ki Hajar adalah
pandangannya terhadap realitas. Dengan menggunakan pendekatan eksistensialisme-
sufistik, kajian ini menyimpulkan bahwa keberadaan manusia dan alam yang
merupakan pancaran dari Tuhan (al-fayd al-wuju>di>), memiliki dua eksistensi
“ada”, ada yang tidak berkesadaran (being in it self) dan ada dengan berkesadaran
(being for its self). Eksistensi ada dalam pemikiran Ki Hajar tidak mengarah pada
eksistensi mutlak seperti yang dimaksud kalangan eksistensialis barat tapi berada
pada wilayah eksistensi relatif (wuju>d id}afi>). Ada dengan tidak berkesadaran
memiliki kodrat yang telah ditentukan, sedangkan ada dengan berkesadaran adalah
kemampuan untuk mengatasi selain dirinya. Manusia diidentifikasi oleh Ki Hajar
dengan sebutan makhluk yang berjiwa luhur yang menandakan keunggulannya dari
ciptaan Tuhan yang lain, sedangkan alam (al-insa>n al-kabi>r) mengandung
kekuatan kodrat ketuhanan. Keduanya merupakan representasi wujudnya Tuhan.
Manusia, menurut Ki Hajar, merupakan bagian dari alam yang terus mengelilinginya,
sehingga manusia menghimpun realitas-realitas (h}aqa>iq) alam dalam dirinya.
Disisi yang lain, manusia sempurna memiliki jiwa yang bersemayam dalam dirinya.
Hakikat kemanusian (al-insa>niyah) manusia yang paling esensial bagi Ki Hajar
adalah terletak pada posisinya sebagai wakil Tuhan (khalifah) dalam ikut mengatur
pada zaman (alam). Dalam konteks ini, penyatuan (manunggaling) antara Tuhan dan
manusia terjadi pada saat manusia memainkan peran aktif dalam memberi aliran pada
zaman dan mewujudkan sifatnya alam.

Anda mungkin juga menyukai